Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Laporan Kasus COVER

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 29

Laporan Kasus

Demam Tifoid pada Anak

Pembimbing :
dr. Dwi Herawati Ritonga, M.Ked(Ped), Sp.A

Oleh :
Falhan Muhamad Fazdin (NPM 20360183)
Muhammad Dirgantara Hr (NPM 20360199)
Cindy Tiara (NPM 20360176)
Regi Mohammad Rochmat (NPM 20360213)

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DELI SERDANG
LUBUK PAKAM SUMATERA UTARA
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya sehingga Laporan Kasus ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya dengan
judul “Demam Tifoid (Pada Anak)”.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari cara penulisannya, penggunaan tata bahasa, dan dalam penyajiannya
sehingga penulis menerima saran dan kritik konstruktif dari semua pihak. Namun terlepas
dari semua kekurangan yang ada, semoga dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Penulis tak lupa pula mengucapkan terima kasih kepada dr. Dwi Herawati Ritonga,
M.Ked(Ped), Sp.A yang telah membimbing dan mengarahkan saya dalam menyelesaikan
referat ini. Penulis juga berterima kasih kepada rekan-rekan yang telah bekerja sama
membantu menyusun referat ini.
Akhirnya semoga Laporan Kasus ini dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu
pengetahuan, khususnya di bidang kedokteran. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, Aamiin.

Lubuk Pakam, 3 Januari 2021


DAFTAR ISI
Halaman Judul..........................................................................................................
Kata Pengantar......................................................................................................... N/A
Daftar Isi................................................................................................................... N/A
Daftar Tabel.............................................................................................................. N/A
Daftar Gambar.......................................................................................................... N/A

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ N/A


Latar Belakang Masalah....................................................................... N/A

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. N/A


2.1. Definisi Demam Tifoid......................................................................... N/A
2.2. Epidemiologi Demam Tifoid................................................................ N/A
2.3. Etiologi.................................................................................................. N/A
2.4. Manifestasi Klinis................................................................................. N/A
2.5. Patogenesis Demam Tifoid................................................................... N/A
2.6. Diagnosis............................................................................................... N/A
2.7. Diagnosis Banding................................................................................ N/A
2.8. Pemeriksaan Penunjang........................................................................ N/A
2.9. Tatalaksana Demam Tifoid................................................................... N/A
2.10. Prognosis............................................................................................... N/A
2.11. Edukasi dan Pencegahan....................................................................... N/A
2.12. Komplikasi............................................................................................ N/A

BAB III KESIMPULAN.......................................................................................... N/A

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 2.1 ............................................................................................................... 11
Tabel 2.2 ............................................................................................................... 11
Tabel 2.3 ............................................................................................................... 14
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 2.1 .................................................................................................. 9
Gambar 2.2 .................................................................................................. 15
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Demam Tifoid


Demam tifoid (typus abdominalis, typhoid fever) adalah penyakit infeksi yang
di sebabkan oleh Salmonella typhi dan Salmonella parathypi A, B, atau C. penyakit
ini mempunyai tanda-tanda yang khas berupa perjalanan yang cepat yang berlangsung
lebih kurang tiga minggu di sertai demam, toksemia, pembesaran limpa, dan erupsi
kulit. (Hidayat & Azis Alimul 2005 dalam Suhaimi 2010).
Demam tifoid atau biasa di kenal dengan tipus abdominalis adalah penyakit
yang biasa mengancam kematian atau infeksi akut usus halus, yang di sebabkan oleh
bakteri Salmonella dengan gejala-gejala panas, sakit kepala, anoreksia, batuk non
produktif, muntah-muntah dan perdarahan usus bila sudah kronik. (Depkes. RI. 2004
dalam Suhaemi 2010)

2.2. Epidemiologi Demam Tifoid


Demam tifoid di Indonesia jarang di jumpai secara epidemik tetapi sering
bersifat sporadik, terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih
dari satu kasus. Ada sumber penularan yaitu pasien dengan demam tifoid yang lebih
sering carrier, orang-orang tersebut yang mensekresi 109-1011 kuman pergram tinja. Di
daerah endemik, transmisi terjadi melalui air yang tercemar serta makanan yang di
olah tidak bersih. Makanan yang tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan
paling sering di daerah non endemik.(suhaemi, 2010).
Demam thphoid menyerang penduduk di semua Negara. Seperti penyakit menular
lainnya. Typhoid banyak ditemukan di Negara berkembang di mana higine pribadi
dan sanitasi lingkungannya kurang baik. Prevalensi kasus bervariasi tergantung
lokasi, kondisi lingkungan, setempat, dan perilaku masyarakat. Angka insidensi di
seluruh dunia sekitar 17 juta per tahun dengan 600.000 orang meninggal karena
karena penyakit ini. WHO memperkirakan 70% kematian berada di asia. Indonesia
merupakan Negara endemic demam typhoid. Diperkirakan terdapat 800 penderita per
100.000 penduduk setiap tahun yang ditemukan sepanjang tahun (Widoyono, 2011:
42)
2.3. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh jenis Salmonella tertentu yaitu Salmonella,
Salmonella paratyphi A, dan Salmonella paratyphi B dan kadang-kadang jenis
salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh Salmonella typhi cenderung
untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi Salmonella yng lain. (Ashkenazi et
al, 2002 dalam Suhaemi, 2010).
Demam tifoid timbul akibat dari infeksi oleh bakteri golongan Salmonella
yang memasuki tubuh penderita melalui saluran pencernaan. Sumber utama yang
terinfeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab
penyakit, baik ketika ia sedang sakit atau sedang dalam masa penyembuhan.
Pada masa penyembuhan, penderita masih mengandung Salmonella di dalam
kandung empedu atau di dalam ginjal. Sebanyak 5% penderita demam tifoid kelak
akan menjadi carrier sementara, sedang, 2% yang lain akan menjadi karrier menahun.
Sebagian besar dari carrier tersebut merupakan carrier intestinal (intestinal type)
sedang yang lain termasuk urinary type. Kekambuhan yang ringan pada carrier
demam tifoid terutama pada karrier jenis intestinal, sukar di ketahui karena gejala dan
keluhannya yang tidak jelas.

2.4. Manifestasi Klinis


A. Gambaran Klinik
Dalam (Nusantara, 2016), Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada
umumnya adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah
khas, berupa :
- Anoreksia
- Rasa malas
- Sakit kepala bagian depan
- Nyeri otot
- Lidah kotor
- Gangguan perut (perut meragam dan sakit)

B. Gambaran klasik demam tifoid (Gejala Khas)


Biasanya jika gejala khas itu yang tampak, diagnosis kerja pun bisa langsung
ditegakkan. Yang termasuk gejala khas Demam tifoid adalah sebagai berikut.
a. Minggu Pertama (awal terinfeksi)
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada
awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam
tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39ºc hingga 40ºc, sakit kepala,
pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara
80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan
gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak,
sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama,
diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah,
tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami
oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan meradang. Jika
penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam
dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit
lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan
terbatas pada abdomen disalah satusisi dan tidak merata, bercak-bercak ros
(roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna.
Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa
makula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul paling sering pada
kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila
ditekan. Pada infeksi yang berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai.
Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi.

b. Minggu Kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap
hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada
sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita
terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi,
dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan
relatif nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat bersamadengan
peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan
peningkatan suhu tubuh. Gejala toksemia semakin berat yang ditandai
dengan keadaan penderita yangmengalami delirium. Gangguan
pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak kering,merah mengkilat.
Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare
menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi
perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering
berbunyi. Gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai kacau
jika berkomunikasi dan lain-lain.

c. Minggu Ketiga
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu.
Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan
membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun.
Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan
perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus.
Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat
dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot
bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Meteorisme dan
timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti
dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut
nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka
hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat
dingin, gelisah, sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya
memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik
merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam
tifoid pada minggu ketiga.

d. Minggu keempat
Merupakan stadium penyembuhan

2.5. Patogenesis Demam Tifoid

2.6. Diagnosis
Gambaran klinis demam tifoid pada anak umur < 5 tahun, khususnya di bawah 1
tahun lebih sulit diduga karena seringkali tidak khas dan sangat bervariasi. Masa
inkubasi demam tifoid berkisar antara 7-14 hari, namun dapat mencapai 3-30 hari.
Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak
enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul
gejala dan tanda klinis yang biasa ditemukan.
 Gejala
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit.
Demam berlangsung 3 minggu bersifat febris, remiten dan suhu tidak terlalu
tinggi. Pada awalnya suhu meningkat secara bertahap menyerupai anak tangga
selama 2-7 hari, lebih tinggi pada sore dan malam hari, tetapi demam bisa pula
mendadak tinggi. Dalam minggu kedua penderita akan terus menetap dalam
keadaan demam, mulai menurun secara tajam pada minggu ketiga dan mencapai
normal kembali pada minggu keempat. Pada penderita bayi mempunyai pola
demam yang tidak beraturan, sedangkan pada anak seringkali disertai menggigil.
Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan nyeri, perut kembung, konstipasi
dan diare. Konstipasi dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal dan
kemudian pada minggu kedua timbul diare. Selain gejala – gejala yang
disebutkan diatas, pada penelitian sebelumnya juga didapatkan gejala yang
lainnya seperti sakit kepala , batuk, lemah dan tidak nafsu makan.
 Tanda
Tanda klinis yang didapatkan pada anak dengan demam tifoid antara lain adalah
pembesaran beberapa organ yang disertai dengan nyeri perabaan, antara lain
hepatomegali dan splenomegali. Penelitian yang dilakukan di Bangalore
didapatkan data teraba pembesaran pada hepar berkisar antara 4 – 8 cm dibawah
arkus kosta. Tetapi adapula penelitian lain yang menyebutkan dari mulai tidak
teraba sampai 7,5 cm di bawah arkus kosta. Penderita demam tifoid dapat disertai
dengan atau tanpa gangguan kesadaran. Umumnya kesadaran penderita menurun
walaupun tidak terlalu dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Selain tanda – tanda
klinis yang biasa ditemukan tersebut, mungkin pula ditemukan gejala lain. Pada
punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola, yaitu bintik kemerahan
karena emboli dalam kapiler kulit. Kadang-kadang ditemukan ensefalopati,
relatif bradikardi dan epistaksis pada anak usia > 5 tahun. Penelitian sebelumnya
didapatkan data bahwa tanda organomegali lebih banyak ditemukan tetapi tanda
seperti roseola sangat jarang ditemukan pada anak dengan demam tifoid.

2.7. Diagnosis Banding


Pada awal penyakit demam tifoid, pasien datang ke dokter karena demam. Demam
turun naik (demam intermiten) terutama sore dan malam hari. Keluhan biasanya
disertai sakit kepala (pusing-pusing) pada area frontal, nyeri otot, pegal, insomnia,
anoreksia, mual, muntah, gangguan pencernaan berupa konstipasi dan meteorismus
atau diare, nyeri abdomen dan BAB berdarah. Demam tinggi dapat terjadi terus
menerus (demam kontinu) sampai minggu kedua. Diagnosis banding penyakit demam
tifoid selain malaria adalah demam berdarah dengue dan leptospirosis.

2.8. Pemeriksaan Penunjang


Uji baku emas diagnosis demam tifoid sampai saat ini adalah kultur. Kultur
darah mempunyai sensitivitas terbaik (40–60%) bila dilakukan pada minggu pertama
—awal minggu kedua. Pada anak yang menderita demam ≥6 hari dengan gejala ke
arah demam tifoid, untuk pengobatan pasien segera dapat digunakan pemeriksaan
serologis antibodi terhadap antibody Salmonella typhi. Pemeriksaan Widal untuk
diagnosis demam tifoid tidak direkomendasikan, karena memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang rendah.
1. Kultur
Sampai saat ini baku emas diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan
kultur.Pemilihan spesimen untuk kultur sebagai penunjang diagnosis pada demam
minggu pertama dan awal minggu kedua adalah darah, karena masih terjadi
bakteremia. Hasil kultur darah positif sekitar 40%-60%. Sedangkan pada minggu
kedua dan ketiga spesimen sebaiknya diambil dari kultur tinja (sensitivitas <50%)
dan urin (sensitivitas 20-30%). Sampel biakan sumsum tulang lebih sensitif,
sensitivitas pada minggu pertama 90% namun invasif dan sulit dilakukan dalam
praktek.

2. PCR
Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. Typhi hanya membutuhkan
waktu kurang dari 8 jam, dan memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga lebih
unggul dibanding pemeriksaan biakan darah biasa yang membutuhkan waktu 5–7
hari. In-flagelin PCR terhadap S. typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan
spesifisitas 87,9%. Pemeriksaan nestedpolymerase chain reaction (PCR)
menggunakan primer H1-d dapat digunakanuntuk mengamplifikasi gen spesifik S.
typhi dari darah pasien dan merupakan pemeriksaan diagnostik cepat yang
menjanjikan. Pemeriksaan nested PCR terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi
dapat dideteksi dari spesimen urin 21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen darah
20/22 (90%), dan tinja 15/22 (68,1%).13 Sampai saat ini, pemeriksaan PCR di
Indonesia masih terbatas dilakukan dalam penelitian.

3. Pemeriksaan serologis tes cepat/rapid test


Pemeriksaan serologis test cepat antibodi S. typhi saat ini merupakan diagnostik
bantu yang paling banyak dilaporkan dan dikembangkan, mengingat sebagian
besar penderita demam tifoid adalah penduduk negara berkembang dengan sarana
laboratoriumnya terbatas. Alat diagnostik seperti Typhidot dan Tubex mendeteksi
antibodi IgM terhadap antigen spesifik outermembrane protein (OMP) dan O9
lipopolisakarida dari S. typhi. Telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa
pemeriksaan ini memiliki sensitivitas spesifisitas hampir 100% pada pasien
demam tifoid dengan biakan darah positif S. typhi. Pemeriksaan antibodi IgM
terhadap antigen O9 lipopolisakarida S. Typhi (Tubex)® dan IgM terhadap S.
typhi (Typhidot)® memiliki sensitivitas dan spesifisitas berkisar 70% dan 80%.
Studi meta analisis di 2015 menunjukkan bahwa Tubex TF memiliki sensitivitas
69% dan spesifisitas 88%. Rapid Diagnostic Test (RDT) Tubex dan Typhidot
tidak direkomendasi sebagai uji diagnosis cepat tunggal, pemeriksaan kultur darah
dan teknik molekuler tetap merupakan baku emas. Penelitian di Bangladesh
(2008) menunjukan bahwa Tubex memiliki sensitivitas 60%, spesifisitas 58%,
positive predictive value 90% dan negative predictive value 58%; sedangkan
Typhidot memiliki sensitivitas 67%, spesifisitas 54%, positive predictive value
85% dan negative predictive value 81%.19 Hari pemeriksaan terbaik adalah pada
anak dengan demam ≥5 hari. Penelitian di Palembang (2014), menunjukan bahwa
pemeriksaan Tubex-TF untuk deteksi antibodi IgM S. typhi pada anak demam hari
ke-4 dengan nested PCR positif S. typhi mendapatkan sensitivitas 63% dan
spesifisitas 69%, nilai duga positif 43% dan nilai duga negatif 83%, sehingga
pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada anak dengan demam < 5 hari.2
Pemeriksaan serologi dengan nilai ≥ 6 dianggap sebagai positif kuat. Namun,
interpretasi hasil serologi yang positif harus berhati-hati pada kasus tersangka
demam tifoid yang tinggal di daerah endemis. IgM anti Salmonella dapat bertahan
sampai 3 bulan dalam darah. Positif palsu pada pemeriksaan TUBEX bisa terjadi
pada pasien dengan infeksi Salmonella Enteridis, sedangkan hasil negatif palsu
didapatkan bila pemeriksaan dilakukan terlalu cepat. Perkembangan ilmu
pengetahuan dalam pemeriksaan serologis demam tifoid masih terus berkembang,
antara lain dari spesimen urin dan saliva.

4. Widal
Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H dari S.
typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah, sehingga penggunaannya sebagai satu-
satunya pemeriksaan penunjang di daerah endemis dapat mengakibatkan
overdiagnosis. Pada umumnya antibodi O meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H
hari ke 10-12 sejak awal penyakit.25 Interpretasi pemeriksaan Widal harus
dilakukan secara hati-hati karena dipengaruhi beberapa faktor yaitu stadium
penyakit, pemberian antibiotik, teknik laboratorium, endemisitas dan riwayat
imunisasi demam tifoid. Sensitifitas dan spesifisitas Widal rendah tergantung,
kualitas antigen yang digunakan, bahkan dapat memberikan hasil negatif hingga
30% dari sampel biakan positif demam tifoid.25 Pemeriksaan Widal memiliki
sensitivitas 69%, spesifisitas 83%.17 Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat
terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella, infeksi bakteri
enterobacteriaceae lain, infeksi dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid atau
standardisasi reagen yang kurang baik. Hasil negatif palsu dapat terjadi karena
teknik pemeriksaan tidak benar, penggunaan antibiotik sebelumnya, atau produksi
antibodi tidak adekuat. Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak
mempunyai arti penting dan sebaiknya dihindari. Diagnosis demam tifoid baru
dapat ditegakkan jika pada ulangan pemeriksaan Widal selang 1-2 minggu
terdapat kenaikan titer agglutinin O sebesar 4 kali. Uji Widal memiliki beberapa
keterbatasan sehingga tidak dapat dipercaya sebagai uji diagnostik tunggal

5. Hematologi
Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Leukopeni sering
dijumpai namun bisa terjadi leukositosis pada keadaan adanya penyulit misalnya
perforasi. Trombositopenia dapat terjadi, namun bersifat reversibel. Anemia pada
demam tifoid dapat disebabkan depresi sumsum tulang dan perdarahan intra
intestinal. Pada hitung jenis dapat ditemukan aneosinofilia dan limfositosis relatif.
Pada demam tifoid dapat terjadi hepatitis tifosa ditandai peningkatan fungsi hati
tanpa adanya penyebab hepatitis yang lain.

2.9. Tatalaksana
A. Terapi Farmakologis ( terapi antibiotik )
1. Ciprofloxasin
Ciprofloxacin mempunyai mekanisme menghambat sintesis asam nukleat sel
mikroba (Sandika dan Suwandi, 2017). Fluroquinolones yaitu Ciprofloxacin
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk anak – anak dan orang
dewasa yang terinfeksi dengan resistensi sensitif dan multi-obat, Salmonella
typhi dan paratyphi (Upadhyay, et al., 2015)
2. Sefalosporin generasi ketiga yaitu Ceftriaxone menjadi penggunaan alternatif
untuk kasus seperti halnya resistensi multi-obat (resistensi terhadap
kloramfenikol, amoksisilin dan cotrimoxazole). Pada penelitian prospektif
India utara ada perkembangan bertahap resistensi terhadap Fluroquinolones
4,4 % resistensi diamati pada Sparfloxacin, resistensi 8,8 % pada ofloxacin
dan resistensi yang tinggi 13 % pada Ciprofloxacin (Naveed and Ahmed,
2016). Golongan quinolon (ciprofloxacin) ini tidak dianjurkan untuk anak-
anak, karena dapat menimbulkan efek samping pada tulang dan sendi, bila
diberikan pada anak akan menggganggu pertumbuhan tulang pada masa
pertumbuhan anak (Tandi dan Joni, 2017).
3. Cefixime
Cefixime mempunyai mekanisme menghambat sintesis dinding sel mikroba
(Sandika dan Suwandi, 2017). Sefalosporin generasi ketiga yaitu Cefixime
oral (15-20 mg/kg/hari, untuk orang dewasa, 100-200 mg dua kali sehari) telah
banyak digunakan pada anak-anak dalam berbagai daerah geografis diamati
penggunaan Cefixime oral memuaskan. Namun, dalam beberapa percobaan
Cefixime menunjukan tingkat kegagalan dan kekambuhan yang lebih tinggi
daripada fluoroquinolones (Paul, 2017)
4. Amoksisilin
Amoksisilin mempunyai mekanisme menghambat sintesis dinding sel mikroba
(Sandika dan Suwandi, 2017). Pada percobaan kombinasi Kloramfenikol dan
Amoksisilin mempunyai efek anti bakteri lebih lemah dibandingkan dengan
bentuk tunggal Kloramfenikol dalam menghambat pertumbuhan bakteri
Salmonella typhi (Friambodo, et al., 2017)
5. Kloramfenikol
Kloramfenikol mempunyai mekanisme menghambat sintesis protein sel
mikroba (Sandika dan Suwandi, 2017). Kloramfenikol masih merupakan
pilihan utama untuk pengobatan demam tifoid karena efektif, murah, mudah
didapat, dan dapat diberikan secara oral (Rampengan, 2013). Efek samping
yang sangat berat yaitu anemia aplastik atau biasa dikenal dengan depresi
sumsum tulang dan jika diberikan pada bayi < 2 minggu dengan gangguan
hepar dan ginjal, kloramfenikol akan terakumulasi dengan darah pada bayi
khususnya pada pemberian dosis tinggi akan menyebabkan gray baby
sindrom, serta dapat menghambat pembentukan selsel darah
(eritrosit,trombosit dan granulosit) yang timbul dalam waktu 5 hari sesudah
dimulainya terapi, dari efek samping yang timbul sehingga kloramfenikol
memiliki persentase nomor dua dibandingkan penggunaan golongan
sefalosporin (Tandi dan Joni, 2017). Walaupun penggunaan kloramfenikol
memerlukan kehati-hatian, namun penggunaannya masih lebih baik pada
tifoid dibandingkan antibiotika lain yang dilaporkan sudah resistensi, seperti
ampisilin, amoksisilin, kotrimoksasol, nalidixic acid, ciprofloxacin
(Rampengen, 2013).
6. Tiamfenikol
Tiamfenikol mempunyai mekanisme menghambat sintesis protein sel mikroba
(Sandika dan Suwandi, 2017). Pilihan lain yang analog dengan kloramfenikol,
yang masih digunakan di Indonesia dan masih dianggap efektif untuk
menyembuhkan demam tifoid adalah tiamfenikol. Efek samping hematologis
pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang daripada kloramfenikol
(Rampengan, 2013).
7. Azitromicin
Azitromisin mempunyai mekanisme menghambat sintesis protein sel mikroba
(Sandika dan Suwandi, 2017). Golongan kuinolon dan azitromisin hampir
sama efikasinya dan aman untuk demam tifoid. Namun azitromisin bisa
digunakan sebagai alternatif, karena kuinolon memiliki kontraindikasi seperti
pada anak-anak, wanita hamil, dan kejadian resisten kuinolon. Namun
penggunaanya jika lebih dari 7 hari tidak diperbolehkan karena penetrasi
jaringan lebih kuat dan terakumulasi di kantung empedu. Penggunaan
azitromisin selama 5 hari ekuivalen dengan penggunaan antibiotik lain selama
10 hari, penggunaan 7 hari sama optimalnya dengan penggunaan antibiotik
lain selama 14 hari (Upadhyay, et al., 2015).
8. Ceftriaxone
Ceftriaxone mempunyai mekanisme menghambat sintesis dinding sel mikroba
(Sandika dan Suwandi, 2017). Bila dibandingkan dengan intravena ceftriaxone
(75 mg / hari; maksimum 2,5 g / hari) setiap hari selama 5 hari, azitromisin
oral (20 mg / kg / hari; maksimum 1000 mg / hari) tercapai tingkat efikasi
yang hampir serupa (97% vs. 94%). Tidak terdapat pasien yang menggunakan
azitromisin mengalami kekambuhan, sedangkan beberapa kekambuhan
diamati pada pasien yang menggunakan ceftriaxone (Upadhyay, et al., 2015).

Pasien penderita demam tifoid

Isolasi pasien (tetap dibawah pengawasan,


menjaga status hidrasi pasien dan
pengobatan demam. (Grouzard, et al.,2016)

 Perawatan di rumah dapat dilakukan apabila keadaan umum dan kesadaran


pasien lumayan baik, serta gejala dan tanda klinis tidak menunjukkan
infeksi tifoid berlanjut.
 Perawatan di rumah sakit dilakukan pada keadaan tertentu dapat
dilakukan di bangsal umum maupun ICU, tergantung pada keadaan klinis
pasien.
Antibiotik Dosis Keterangan
Ciprofloxacin PO 5-7 hari Tidak direkomendasikan
(Grouzard, et al., Dewasa: 1 gr/hari dalam 2 dosis untuk anak-anak dibawah
2016) terbagi. usia 15 tahun, akan tetapi
Anak-anak: 30 mg/kg/hari dalam 2 resiko yang mengancam
dosis terbagi jiwa dari tifoid melebihi
resiko efek samping
(alternative 2, fully sensitive
multidrugs resistant)
Cefixime (Grouzard, PO 7 hari Dapat menjadi alternatif dari
et al., 2016) Anak-anak >3 bulan : 20 Ciprofloxacin bagi anak –
mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi anak di bawah 15 tahun.
Amoksisilin PO 14 hari Dewasa : 3 gram / hari Jika tidak adanya resisten
(Grouzard, et al., dalam 3 dosis terbagi Anak- anak : (fully sensitive)
2016) 75-100 mg/kg/hari dalam 3 dosis
terbagi
Kloramfenikol PO 10-14 hari (tergantung tingkat Jika tidak adanya resisten
(Grouzard, et al., keparahan) Anak – anak 1-12 tahun (pilihan utama, fully
2016) : 100 mg/kg/hari dalam 3 dosis sensitive)
terbagi ≥ 13 tahun : 3 gram/ hari
dalam 3 dosis terbagi
Tiamfenikol PO 5-6 hari 75 mg/kgBB/hari Efek samping hematologis
(Rampengan, 2013) pada penggunaan
tiamfenikol lebih jarang
daripada kloramfenikol
(alternatif 1)
Azitromisin PO 6 hari 20 mg/kg/hari Azitromisin efektif dan
(Rampengan, 2013) aman diberikan pada anak-
anak dan dewasa yang
menderita demam tifoid
tanpa komplikasi
Ceftriaxone* IM/IV (3 menit) Infus (30 menit) Salmonella typhi dengan
(Grouzard, et al., 10 – 14 hari (tergantung tingkat cepat berkembang resisten
2016) keparahan) Dewasa : 2-4 gram terhadap kuinolon
sehari sekali Anak – anak: 75 (quinolone resistant). Pada
mg/kg sehari sekal kasus ini gunakan
ceftriaxone
Tabel 1. Terapi antibiotik penyakit demam tifoid

Kortikosteroid Dosis Keterangan


Dexamethasone (Grouzard, et IV 2 hari Dosis awal : 3 mg/kg Pada pasien yang mengalami
al., 2016) dan kemdian 1 mg/kg setiap 6 tifoid berat dengan keadaan
jam (halusinasi, perubahan
kesadaran atau pendarahan
usus)
Tabel 2. Terapi kortikoteroid penyakit demam tifoid

Non-farmakologis keterangan
Tirah baring (Sakinah dan Indria, 2016) Dilakukan sampai minimal 7 hari bebas
demam atau kurang lebih sampai 14 hari
Diet lunak rendah serat (Sakinah dan Indria, Asupan serat maksimal 8 gram/hari,
2016) menghindari susu, daging berserat kasar,
lemak, terlalu manis, asam, berbumbu tajam
serta diberikan dalam porsi kecil.
Menjaga kebersihan (Upadhyay, et al., Tangan harus dicuci sebelum menangani
2015) makanan, selama persiapan makan, dan
setelah menggunakan toilet.
Tabel 3. Terapi non farmakologis demam tifoid

2.10. Prognosis
Prognosis pada umumnya baik pada demam tifoid tanpa komplikasi. Hal ini juga
tergantung pada ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya dan
komplikasi. (Soegijanto, dan Hapsari, 2013)

2.11. Edukasi dan Pencegahan


Edukasi pasien tentang tata cara :
1. Pengobatan dan perawatan serta aspek lain dari demam tifoid yang yang harus
diketahui pasien dan keluarganya
2. Diet, jumlah cairan yang dibutuhkan, pentahapan mobilisasi, dan konsumsi obat
sebaiknya diperhatikan atau dilihat langsung oleh dokter, dan keluarga pasien
telah memahami serta mampu melaksanakan
3. Tanda tanda kegawatan harus diberitahukepada pasien dan keluarga supaya bisa
segera dibawa kerumah sakit terdekat untuk perawatan.
4. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Rumah Tangga, yaitu cuci tangan
dengan sabun, tersedianya air bersih, makan dengan makanan yang mengandung
gizi seimbang, dan aktivitas fisik setiap hari. Selain edukasi PHBS, dilakukan juga
edukasi 5 kunci keamanan menurut WHO, yaitu:
 menggunakan bahan makanan yang baik
 memasak bahan makanan dengan sempurna
 memisahkan makanan matang dan mentah
 menyimpan makanan pada suhu yang tepat
 menggunakan air bersih selain itu, membiasakan diri mencuci tangan
menggunakan sabun dan air mengalir.
Ketika intervensi dilakukan, keluarga juga turut mendampingi dan
mendengarkan apa yang disampaikan kepada pasien. Intervensi ini dilakukan
dengan tujuan untuk merubah pola pikir dan perilaku pasien terhadap penyakit
yang diderita serta mencegah penularan dan kekambuhan kepada anggota
keluarga lainnya (Veeraraghavan dan Pragasam, 2018)

Pencegahan terhadap demam tifoid adalah dengan memperbaiki sanitasi,


pengobatan karier dan vaksinasi. Tindakan sanitasi harus dilakukan untuk
mencegah kontaminasi makanan dan air oleh hewan pengerat atau hewan lain
yang mengeluarkan Salmonella. Hewan ternak, daging dan telur yang terinfeksi
harus dimasak sampai matang. Carrier tidak boleh diizinkan bekerja sebagai
pemegang makanan dan mereka harus melakukan tindakan pencegahan higienis
yang ketat. (Soegijanto, dan Hapsari, 2013)

2.12. Komplikasi
Perforasi usus halus dilaporkan terjadi pada 0,5 – 3%, sedangkan perdarahan usus
terjadi pada sekitar 1 – 10% kasus demam tifoid pada anak. Biasanya didahului
dengan penurunan suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Serta nyeri
abdomen lokal pada kuadran kanan bawah, nyeri yang menyelubung, muntah, nyeri
pada perabaan abdomen, defance muskulare, hilangnya keredupan hepar dan tanda
peritonitis lain yang terjadi pada perforasi usus halus. Selain itu dapat terjadi
komplikasi seperti neuropsikiatri, miokarditis, hepatitis tifosa, dan lainnya. Relaps
dilaporkan jarang terjadi. (Soegijanto, dan Hapsari, 2013)

BAB III

KESIMPULAN
STATUS ORANG SAKIT

I. ANAMNESA PRIBADI PASIEN


Nama : Eka Wulandari
Umur : 14 tahun, 9 bulan, 11 hari
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Tanjung Morawa
Tanggal Masuk : 28 Desember 2020
BB masuk : 35,4 kg

II. ANAMNESA ORANG TUA


Nama Ayah : Susiadi (alm.)
Umur : 25 tahun (meninggal tahun 2010 saat Os usia 4 tahun)
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Buruh Kasar
Perkawinan : Menikah
Alamat : Tanjung Morawa
Riwayat Penyakit : ODHA

Nama Ibu : Yusiati (almh.)


Umur : 25 tahun (meninggal tahun 2009 saat Os usia 3 tahun)
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Petani
Perkawinan : Menikah
Alamat : Tanjung Morawa
Riwayat Penyakit : ODHA
III. RIWAYAT KELAHIRAN PASIEN
Tanggal Lahir : 17 Maret 2006
Tempat Lahir : RS Tanjung Morawa
Kelahiran : normal di vakum
BB lahir : (neneknya lupa)
Panjang lahir : (neneknya lupa)
Ditolong oleh : dokter

IV. PERKEMBANGAN FISIK


0-3 bulan : sudah bisa angkat kepala, tengok kiri-kanan
4-6 bulan : sudah bisa terlungkup-terlentang
7-12 bulan : sudah bisa duduk, belajar berdiri, belajar jalan dituntun
1 tahun – sekarang : sudah bisa jalan, lari

V. ANAMNESA MAKANAN
0-4 bulan : ASI
5-6 bulan : ASI
7-12 bulan : ASI + Bubur Biskuit
1 tahun – sekarang : bubur nasi

VI. RIWAYAT IMUNISASI


BCG : (neneknya lupa)
DPT : (neneknya lupa)
POLIO : (neneknya lupa)
CAMPAK : (neneknya lupa)
HEPATITIS B : (neneknya lupa)
KESAN : Tidak Lengkap

VII. PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA PASIEN


Limfadenitis TB

VIII. KETERANGAN MENGENAI SAUDARA PASIEN


Os terdiagnosis HIV/AIDS sejak usia 3 tahun. Os terinfeksi dari alm ayah dan almh
ibu nya.

IX. ANAMNESA PENYAKIT PASIEN


Keluhan Utama: Demam, menggigil, nyeri tengkuk sebelah kiri sejak 3 hari yang lalu
Telaah : Demam naik-turun, meningkat saat malam dan turun saat siang tapi
badan masih hangat. Nyari menjalar ke kepala, bagian belakang
telinga. Nyeri memberat Ketika kepala diangkat dan mereda Ketika
istirahat atau tidur. 7 hari yang lalu batuk-batuk sudah diobati dan saat
ini batuk sudah tidak ada. Os punya kebiasaan jajan di warung, minum
es tiap hari. Mual (-), muntah (-), sesak (-), mencret (-), riwayat
bepergian (-) kontak dengan orang-orang (-). Nyeri saat menelan (+)
RPO : Amoxicillin, paracetamol, obat ARV sejak usia 3 tahun, OAT usia 3
tahun
RPT : Limfadenitis TB

X. PEMERIKSAAN FISIK
1. STATUS PRESENT
KU/KP/KG : Tampak Sakit Sedang Status Gizi (CDC)
Sensorium : Composmentis BB/U  <3 persentil
HR : 108x/I TB/U  10 persentil
RR : 28x/I BB/TB  84% (gizi kurang)
Temperatur : 36.7°C
BB masuk : 35.4 kg
TB : 152 cm
Tekanan Darah :110/90 mmHg
Cyanosis : (-) Edema : (-)
Anemia : (-) Ikterus : (-)
Dyspnea : (-)

2. STATUS LOKALISATA
A. Kepala : Normocephali  DBN
Rambut : Hitam, tebal, tidak mudah rontok  DBN
Mata : Simteris (+/+), Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)  DBN
Hidung : PCH (-/-), kemerahan (-/-), sekret (-/-), nyeri tekan (-/-)  DBN
Telinga : Kemerahan (-/-), sekret (-/-), serumen (-/-) nyeri tekan (-/-)  DBN
Mulut : Bibir kering, lidah kotor (-), hiperemis (-)  DBN

B. Leher : kemerahan (-), benjolan (-), nyeri tekan (-)  DBN

C. Thorax : Inspeksi: simetris (+/+) kemerahan (-), benjolan (-)  DBN


Palpasi: Fremitus vocal kanan=kiri, nyeri tekan (-)  DBN
Perkusi: Sonor (+/+), pekak jantung di ICS IV midclavicula sinistra
 DBN
Auskultasi: Bunyi Jantung Reguler, suara napas vesikuler
(+/+)DBN

D. Abdomen : Inspeksi : kemerahan (-), kembung (-) benjolan (-)  DBN


Palpasi : nyeri tekan (-)  DBN
Perkusi : pekak hepar di regio hipokondrium dextra, timpani di
hampir seluruh regio abdomen  DBN
Auskultasi : Peristaltik (+)  DBN

E. Ekstremitas : Superior : akral hangat (+/+), kemerahan (-), sianosis (-), edema (-)
nyeri tekan (-) CRT <2 detik, jari lengkap (+/+) DBN

Inferior : akral hangat (+/+), kemerahan (-), sianosis (-), edema (-),
nyeri tekan (-) CRT <2 detik, jari lengkap (+/+) DBN

F. Genitalia : Tidak Diperiksa

XI. STATUS NEUROLOGI


1. Syaraf Otak :
2. Sistem motorik :
Pertumbuhan gigi :
Neuromuskular :
Involunter movement :
3. Koordinasi :
4. Sensibilitas :

XII. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


1. DARAH
Hemoglobin : 14,6
Hematokrit : 38,4
Trombosit : 122,2
Leukosit : 10,1
Eitrosit : 4,00
2. FESES
3. URIN
XIII. RESUME
Perempuan usia 14 tahun datang ke poli anak bersama neneknya dengan keluhan
demam, menggigil dan nyeri tengkuk sebelah kiri sejak 3 hari yang lalu. Demam naik-
turun, meningkat saat malam dan turun saat siang tapi badan masih hangat. Nyeri
tengkuk kiri menjalar ke kepala bagian belakang telinga kiri. Nyeri memberat Ketika
diangkat dan membaik ketika istirahat atau tidur. 7 hari yang lalu batuk-batuk, sudah
diobati dan saat ini batuk tidak ada. Os punya kebiasaan jajan di warung dan minum es
tiap hari. Mual (-), muntah (-), sesak (-), mencret (-), riwayat bepergian (-) kontak
dengan orang-orang di keramaian (-). Nyeri saat menelan (+)
XIV. DIAGNOSA BANDING
1. Suspek demam tifoid
2. Febris + cephalgia

XV. DIAGNOSA KERJA


Suspek demam tifoid

XVI. TATALAKSANA
Cek lab darah, uji widal atau tubex
Farmakoterapi :
- Analgetik-Analgesik : Ibuprofen dosis 20-30 mg/kgBB/hari
- Antibiotik broad spektrum : Amoxicilin dosis 20-40 mg/kgBB/hari
- Multivitamin : Apialys dosis >5 tahun 1-2 cth

Kebutuhan Os
Ibuprofen : 35.4 x (20) – (30)  708-1062 mg/hari
Amoxicilin : 34.4 x (20) – (40)  708 – 1416 mg/hari
Apialys : 1-2 cth

XVII. PROGNOSA
Ad Vitam
Ad Functionam
Ad Sanationam
DAFTAR PUSTAKA

Dirjen PPM dan PLP, 2004. Petunjuk teknis survailans demam typhoid di Indonesia. Depkes
RI : Jakarta

Friambodo, B., Purnomo, Y., dan Dewi, R,A. 2017. Efek Kombinasi Amoksisilin dan
Kloramfenikol terhadap Pertumbuhan Bakteri Salmonella typhi. Journal of Islamic
Medicine. Universitas Islam Malang

Innesa PA, C., Hapsari, M. M., & Budijitno, S. (2013). Perbaikan Gambaran Klinis Demam
Terhadap Terapi Antibiotik Pada Anak Dengan Demam Tifoid (Doctoral dissertation,
Diponegoro University).

Hidayat, Azis Alimul, 2005. Pengantar ilmu keperawatan anak jilid 2, Jakarta : Salemba
medika

Pria Nusantara, 2016, DETERMINAN KEJADIAN DEMAM THPOID PADA


MAHASISWA YAG BEROBAT DI UNIT PELAKSANA TEKNISI PELAYANAN
KESEHTAAN UNIVERSITAS JEMBER. (SKRIPSI) fakultas kesehatan Universitas
Jember.

Paul, K, U. 2017. Typhoid Fever. International Journal of Advance in Medicine. ISSN 2349-
3925

Rekomendasi IDAI (2016) mengenai Pemeriksaan Penunjang Diagnostik Demam Tifoid,


Tentang Pemeriksaan Penunjang Diagnostik Demam Tifoid.
Rampengan, N.H. 2013. Antibiotik Terapi Demam Tifoid Tanpa Komplikasi pada Anak. Sari
Pediatri Local Journal, 14(5): 271-6.

Sakinah dan Indria, A. 2016. Tata Laksana Demam Tifoid Tanpa Komplikasi pada Wanita
Hamil Trimester Pertama: Peran Intervensi Dokter Keluarga. Jurnal Medula
Unil.Volume 5. Nomor 2

Sandika, J. dan Suwandi, F.J. 2017. Sensitivitas Salmonella typhi Penyebab Demam Tifoid
terhadap Beberapa Antibiotik. Majority Jurnal Kedokteran, 6(1).

Sari, V. M. 2017. Studi penggunaan sefalosporin generasi ketiga pada pasien demam tifoid
rawat inap di RSUD Kabupaten Sidoarjo (Doctoral dissertation, Widya Mandala
Catholic University Surabaya).

Tandi, Joni. 2017 Kajian Kerasionalan Penggunaan Obat pada Kasus Demam Tifoid di
Instalasi Rawat Inap Anutapura Palu. Jurnal Ilmiah Pharmacon, 6(4). ISSN 2302 –
2493

Upadhyay, Rajesh., Nadkar., Milind,Y., et al. 2015. API Recommendations for the
Management of Typhoid Fever. Journal of The Association of Physicians of India, 63.

Soegijanto, M. W., Hapsari, M. M., & Budijitno, S. (2013). Perbedaan Kualitas Penggunaan
Antibiotik Pada Anak Dengan Demam Tifoid Di Kelas III Dan Non Kelas III:
(Penelitian di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada Tahun 2011) (Doctoral dissertation,
Faculty of Medicine Diponegoro University).

Veeraraghavan B, Pragasam AK, Bakthavatchalam YD, Ralph R. 2018. Typhoid fever: issues
in laboratory detection, treatment options, and concerns in management in
developing countries. Future Sci OA.; 4(6):1-12.

Suhaemi, 2010,’ FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN


DEMAM TYFOID DI RSUD SYEKH YUSUF KAB. GOWA’,(SKRIPSI)
FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
ALAUDDIN MAKASSAR.

Widoyono,2011, Penyakit Tropis, Jakarta : Erlangga

Anda mungkin juga menyukai