Laporan Kasus COVER
Laporan Kasus COVER
Laporan Kasus COVER
Pembimbing :
dr. Dwi Herawati Ritonga, M.Ked(Ped), Sp.A
Oleh :
Falhan Muhamad Fazdin (NPM 20360183)
Muhammad Dirgantara Hr (NPM 20360199)
Cindy Tiara (NPM 20360176)
Regi Mohammad Rochmat (NPM 20360213)
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya sehingga Laporan Kasus ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya dengan
judul “Demam Tifoid (Pada Anak)”.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari cara penulisannya, penggunaan tata bahasa, dan dalam penyajiannya
sehingga penulis menerima saran dan kritik konstruktif dari semua pihak. Namun terlepas
dari semua kekurangan yang ada, semoga dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Penulis tak lupa pula mengucapkan terima kasih kepada dr. Dwi Herawati Ritonga,
M.Ked(Ped), Sp.A yang telah membimbing dan mengarahkan saya dalam menyelesaikan
referat ini. Penulis juga berterima kasih kepada rekan-rekan yang telah bekerja sama
membantu menyusun referat ini.
Akhirnya semoga Laporan Kasus ini dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu
pengetahuan, khususnya di bidang kedokteran. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 2.1 ............................................................................................................... 11
Tabel 2.2 ............................................................................................................... 11
Tabel 2.3 ............................................................................................................... 14
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 2.1 .................................................................................................. 9
Gambar 2.2 .................................................................................................. 15
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
b. Minggu Kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap
hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada
sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita
terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi,
dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan
relatif nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat bersamadengan
peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan
peningkatan suhu tubuh. Gejala toksemia semakin berat yang ditandai
dengan keadaan penderita yangmengalami delirium. Gangguan
pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak kering,merah mengkilat.
Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare
menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi
perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering
berbunyi. Gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai kacau
jika berkomunikasi dan lain-lain.
c. Minggu Ketiga
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu.
Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan
membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun.
Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan
perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus.
Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat
dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot
bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Meteorisme dan
timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti
dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut
nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka
hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat
dingin, gelisah, sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya
memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik
merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam
tifoid pada minggu ketiga.
d. Minggu keempat
Merupakan stadium penyembuhan
2.6. Diagnosis
Gambaran klinis demam tifoid pada anak umur < 5 tahun, khususnya di bawah 1
tahun lebih sulit diduga karena seringkali tidak khas dan sangat bervariasi. Masa
inkubasi demam tifoid berkisar antara 7-14 hari, namun dapat mencapai 3-30 hari.
Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak
enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul
gejala dan tanda klinis yang biasa ditemukan.
Gejala
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit.
Demam berlangsung 3 minggu bersifat febris, remiten dan suhu tidak terlalu
tinggi. Pada awalnya suhu meningkat secara bertahap menyerupai anak tangga
selama 2-7 hari, lebih tinggi pada sore dan malam hari, tetapi demam bisa pula
mendadak tinggi. Dalam minggu kedua penderita akan terus menetap dalam
keadaan demam, mulai menurun secara tajam pada minggu ketiga dan mencapai
normal kembali pada minggu keempat. Pada penderita bayi mempunyai pola
demam yang tidak beraturan, sedangkan pada anak seringkali disertai menggigil.
Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan nyeri, perut kembung, konstipasi
dan diare. Konstipasi dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal dan
kemudian pada minggu kedua timbul diare. Selain gejala – gejala yang
disebutkan diatas, pada penelitian sebelumnya juga didapatkan gejala yang
lainnya seperti sakit kepala , batuk, lemah dan tidak nafsu makan.
Tanda
Tanda klinis yang didapatkan pada anak dengan demam tifoid antara lain adalah
pembesaran beberapa organ yang disertai dengan nyeri perabaan, antara lain
hepatomegali dan splenomegali. Penelitian yang dilakukan di Bangalore
didapatkan data teraba pembesaran pada hepar berkisar antara 4 – 8 cm dibawah
arkus kosta. Tetapi adapula penelitian lain yang menyebutkan dari mulai tidak
teraba sampai 7,5 cm di bawah arkus kosta. Penderita demam tifoid dapat disertai
dengan atau tanpa gangguan kesadaran. Umumnya kesadaran penderita menurun
walaupun tidak terlalu dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Selain tanda – tanda
klinis yang biasa ditemukan tersebut, mungkin pula ditemukan gejala lain. Pada
punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola, yaitu bintik kemerahan
karena emboli dalam kapiler kulit. Kadang-kadang ditemukan ensefalopati,
relatif bradikardi dan epistaksis pada anak usia > 5 tahun. Penelitian sebelumnya
didapatkan data bahwa tanda organomegali lebih banyak ditemukan tetapi tanda
seperti roseola sangat jarang ditemukan pada anak dengan demam tifoid.
2. PCR
Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. Typhi hanya membutuhkan
waktu kurang dari 8 jam, dan memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga lebih
unggul dibanding pemeriksaan biakan darah biasa yang membutuhkan waktu 5–7
hari. In-flagelin PCR terhadap S. typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan
spesifisitas 87,9%. Pemeriksaan nestedpolymerase chain reaction (PCR)
menggunakan primer H1-d dapat digunakanuntuk mengamplifikasi gen spesifik S.
typhi dari darah pasien dan merupakan pemeriksaan diagnostik cepat yang
menjanjikan. Pemeriksaan nested PCR terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi
dapat dideteksi dari spesimen urin 21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen darah
20/22 (90%), dan tinja 15/22 (68,1%).13 Sampai saat ini, pemeriksaan PCR di
Indonesia masih terbatas dilakukan dalam penelitian.
4. Widal
Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H dari S.
typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah, sehingga penggunaannya sebagai satu-
satunya pemeriksaan penunjang di daerah endemis dapat mengakibatkan
overdiagnosis. Pada umumnya antibodi O meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H
hari ke 10-12 sejak awal penyakit.25 Interpretasi pemeriksaan Widal harus
dilakukan secara hati-hati karena dipengaruhi beberapa faktor yaitu stadium
penyakit, pemberian antibiotik, teknik laboratorium, endemisitas dan riwayat
imunisasi demam tifoid. Sensitifitas dan spesifisitas Widal rendah tergantung,
kualitas antigen yang digunakan, bahkan dapat memberikan hasil negatif hingga
30% dari sampel biakan positif demam tifoid.25 Pemeriksaan Widal memiliki
sensitivitas 69%, spesifisitas 83%.17 Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat
terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella, infeksi bakteri
enterobacteriaceae lain, infeksi dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid atau
standardisasi reagen yang kurang baik. Hasil negatif palsu dapat terjadi karena
teknik pemeriksaan tidak benar, penggunaan antibiotik sebelumnya, atau produksi
antibodi tidak adekuat. Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak
mempunyai arti penting dan sebaiknya dihindari. Diagnosis demam tifoid baru
dapat ditegakkan jika pada ulangan pemeriksaan Widal selang 1-2 minggu
terdapat kenaikan titer agglutinin O sebesar 4 kali. Uji Widal memiliki beberapa
keterbatasan sehingga tidak dapat dipercaya sebagai uji diagnostik tunggal
5. Hematologi
Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Leukopeni sering
dijumpai namun bisa terjadi leukositosis pada keadaan adanya penyulit misalnya
perforasi. Trombositopenia dapat terjadi, namun bersifat reversibel. Anemia pada
demam tifoid dapat disebabkan depresi sumsum tulang dan perdarahan intra
intestinal. Pada hitung jenis dapat ditemukan aneosinofilia dan limfositosis relatif.
Pada demam tifoid dapat terjadi hepatitis tifosa ditandai peningkatan fungsi hati
tanpa adanya penyebab hepatitis yang lain.
2.9. Tatalaksana
A. Terapi Farmakologis ( terapi antibiotik )
1. Ciprofloxasin
Ciprofloxacin mempunyai mekanisme menghambat sintesis asam nukleat sel
mikroba (Sandika dan Suwandi, 2017). Fluroquinolones yaitu Ciprofloxacin
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk anak – anak dan orang
dewasa yang terinfeksi dengan resistensi sensitif dan multi-obat, Salmonella
typhi dan paratyphi (Upadhyay, et al., 2015)
2. Sefalosporin generasi ketiga yaitu Ceftriaxone menjadi penggunaan alternatif
untuk kasus seperti halnya resistensi multi-obat (resistensi terhadap
kloramfenikol, amoksisilin dan cotrimoxazole). Pada penelitian prospektif
India utara ada perkembangan bertahap resistensi terhadap Fluroquinolones
4,4 % resistensi diamati pada Sparfloxacin, resistensi 8,8 % pada ofloxacin
dan resistensi yang tinggi 13 % pada Ciprofloxacin (Naveed and Ahmed,
2016). Golongan quinolon (ciprofloxacin) ini tidak dianjurkan untuk anak-
anak, karena dapat menimbulkan efek samping pada tulang dan sendi, bila
diberikan pada anak akan menggganggu pertumbuhan tulang pada masa
pertumbuhan anak (Tandi dan Joni, 2017).
3. Cefixime
Cefixime mempunyai mekanisme menghambat sintesis dinding sel mikroba
(Sandika dan Suwandi, 2017). Sefalosporin generasi ketiga yaitu Cefixime
oral (15-20 mg/kg/hari, untuk orang dewasa, 100-200 mg dua kali sehari) telah
banyak digunakan pada anak-anak dalam berbagai daerah geografis diamati
penggunaan Cefixime oral memuaskan. Namun, dalam beberapa percobaan
Cefixime menunjukan tingkat kegagalan dan kekambuhan yang lebih tinggi
daripada fluoroquinolones (Paul, 2017)
4. Amoksisilin
Amoksisilin mempunyai mekanisme menghambat sintesis dinding sel mikroba
(Sandika dan Suwandi, 2017). Pada percobaan kombinasi Kloramfenikol dan
Amoksisilin mempunyai efek anti bakteri lebih lemah dibandingkan dengan
bentuk tunggal Kloramfenikol dalam menghambat pertumbuhan bakteri
Salmonella typhi (Friambodo, et al., 2017)
5. Kloramfenikol
Kloramfenikol mempunyai mekanisme menghambat sintesis protein sel
mikroba (Sandika dan Suwandi, 2017). Kloramfenikol masih merupakan
pilihan utama untuk pengobatan demam tifoid karena efektif, murah, mudah
didapat, dan dapat diberikan secara oral (Rampengan, 2013). Efek samping
yang sangat berat yaitu anemia aplastik atau biasa dikenal dengan depresi
sumsum tulang dan jika diberikan pada bayi < 2 minggu dengan gangguan
hepar dan ginjal, kloramfenikol akan terakumulasi dengan darah pada bayi
khususnya pada pemberian dosis tinggi akan menyebabkan gray baby
sindrom, serta dapat menghambat pembentukan selsel darah
(eritrosit,trombosit dan granulosit) yang timbul dalam waktu 5 hari sesudah
dimulainya terapi, dari efek samping yang timbul sehingga kloramfenikol
memiliki persentase nomor dua dibandingkan penggunaan golongan
sefalosporin (Tandi dan Joni, 2017). Walaupun penggunaan kloramfenikol
memerlukan kehati-hatian, namun penggunaannya masih lebih baik pada
tifoid dibandingkan antibiotika lain yang dilaporkan sudah resistensi, seperti
ampisilin, amoksisilin, kotrimoksasol, nalidixic acid, ciprofloxacin
(Rampengen, 2013).
6. Tiamfenikol
Tiamfenikol mempunyai mekanisme menghambat sintesis protein sel mikroba
(Sandika dan Suwandi, 2017). Pilihan lain yang analog dengan kloramfenikol,
yang masih digunakan di Indonesia dan masih dianggap efektif untuk
menyembuhkan demam tifoid adalah tiamfenikol. Efek samping hematologis
pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang daripada kloramfenikol
(Rampengan, 2013).
7. Azitromicin
Azitromisin mempunyai mekanisme menghambat sintesis protein sel mikroba
(Sandika dan Suwandi, 2017). Golongan kuinolon dan azitromisin hampir
sama efikasinya dan aman untuk demam tifoid. Namun azitromisin bisa
digunakan sebagai alternatif, karena kuinolon memiliki kontraindikasi seperti
pada anak-anak, wanita hamil, dan kejadian resisten kuinolon. Namun
penggunaanya jika lebih dari 7 hari tidak diperbolehkan karena penetrasi
jaringan lebih kuat dan terakumulasi di kantung empedu. Penggunaan
azitromisin selama 5 hari ekuivalen dengan penggunaan antibiotik lain selama
10 hari, penggunaan 7 hari sama optimalnya dengan penggunaan antibiotik
lain selama 14 hari (Upadhyay, et al., 2015).
8. Ceftriaxone
Ceftriaxone mempunyai mekanisme menghambat sintesis dinding sel mikroba
(Sandika dan Suwandi, 2017). Bila dibandingkan dengan intravena ceftriaxone
(75 mg / hari; maksimum 2,5 g / hari) setiap hari selama 5 hari, azitromisin
oral (20 mg / kg / hari; maksimum 1000 mg / hari) tercapai tingkat efikasi
yang hampir serupa (97% vs. 94%). Tidak terdapat pasien yang menggunakan
azitromisin mengalami kekambuhan, sedangkan beberapa kekambuhan
diamati pada pasien yang menggunakan ceftriaxone (Upadhyay, et al., 2015).
Non-farmakologis keterangan
Tirah baring (Sakinah dan Indria, 2016) Dilakukan sampai minimal 7 hari bebas
demam atau kurang lebih sampai 14 hari
Diet lunak rendah serat (Sakinah dan Indria, Asupan serat maksimal 8 gram/hari,
2016) menghindari susu, daging berserat kasar,
lemak, terlalu manis, asam, berbumbu tajam
serta diberikan dalam porsi kecil.
Menjaga kebersihan (Upadhyay, et al., Tangan harus dicuci sebelum menangani
2015) makanan, selama persiapan makan, dan
setelah menggunakan toilet.
Tabel 3. Terapi non farmakologis demam tifoid
2.10. Prognosis
Prognosis pada umumnya baik pada demam tifoid tanpa komplikasi. Hal ini juga
tergantung pada ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya dan
komplikasi. (Soegijanto, dan Hapsari, 2013)
2.12. Komplikasi
Perforasi usus halus dilaporkan terjadi pada 0,5 – 3%, sedangkan perdarahan usus
terjadi pada sekitar 1 – 10% kasus demam tifoid pada anak. Biasanya didahului
dengan penurunan suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Serta nyeri
abdomen lokal pada kuadran kanan bawah, nyeri yang menyelubung, muntah, nyeri
pada perabaan abdomen, defance muskulare, hilangnya keredupan hepar dan tanda
peritonitis lain yang terjadi pada perforasi usus halus. Selain itu dapat terjadi
komplikasi seperti neuropsikiatri, miokarditis, hepatitis tifosa, dan lainnya. Relaps
dilaporkan jarang terjadi. (Soegijanto, dan Hapsari, 2013)
BAB III
KESIMPULAN
STATUS ORANG SAKIT
V. ANAMNESA MAKANAN
0-4 bulan : ASI
5-6 bulan : ASI
7-12 bulan : ASI + Bubur Biskuit
1 tahun – sekarang : bubur nasi
X. PEMERIKSAAN FISIK
1. STATUS PRESENT
KU/KP/KG : Tampak Sakit Sedang Status Gizi (CDC)
Sensorium : Composmentis BB/U <3 persentil
HR : 108x/I TB/U 10 persentil
RR : 28x/I BB/TB 84% (gizi kurang)
Temperatur : 36.7°C
BB masuk : 35.4 kg
TB : 152 cm
Tekanan Darah :110/90 mmHg
Cyanosis : (-) Edema : (-)
Anemia : (-) Ikterus : (-)
Dyspnea : (-)
2. STATUS LOKALISATA
A. Kepala : Normocephali DBN
Rambut : Hitam, tebal, tidak mudah rontok DBN
Mata : Simteris (+/+), Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) DBN
Hidung : PCH (-/-), kemerahan (-/-), sekret (-/-), nyeri tekan (-/-) DBN
Telinga : Kemerahan (-/-), sekret (-/-), serumen (-/-) nyeri tekan (-/-) DBN
Mulut : Bibir kering, lidah kotor (-), hiperemis (-) DBN
E. Ekstremitas : Superior : akral hangat (+/+), kemerahan (-), sianosis (-), edema (-)
nyeri tekan (-) CRT <2 detik, jari lengkap (+/+) DBN
Inferior : akral hangat (+/+), kemerahan (-), sianosis (-), edema (-),
nyeri tekan (-) CRT <2 detik, jari lengkap (+/+) DBN
XVI. TATALAKSANA
Cek lab darah, uji widal atau tubex
Farmakoterapi :
- Analgetik-Analgesik : Ibuprofen dosis 20-30 mg/kgBB/hari
- Antibiotik broad spektrum : Amoxicilin dosis 20-40 mg/kgBB/hari
- Multivitamin : Apialys dosis >5 tahun 1-2 cth
Kebutuhan Os
Ibuprofen : 35.4 x (20) – (30) 708-1062 mg/hari
Amoxicilin : 34.4 x (20) – (40) 708 – 1416 mg/hari
Apialys : 1-2 cth
XVII. PROGNOSA
Ad Vitam
Ad Functionam
Ad Sanationam
DAFTAR PUSTAKA
Dirjen PPM dan PLP, 2004. Petunjuk teknis survailans demam typhoid di Indonesia. Depkes
RI : Jakarta
Friambodo, B., Purnomo, Y., dan Dewi, R,A. 2017. Efek Kombinasi Amoksisilin dan
Kloramfenikol terhadap Pertumbuhan Bakteri Salmonella typhi. Journal of Islamic
Medicine. Universitas Islam Malang
Innesa PA, C., Hapsari, M. M., & Budijitno, S. (2013). Perbaikan Gambaran Klinis Demam
Terhadap Terapi Antibiotik Pada Anak Dengan Demam Tifoid (Doctoral dissertation,
Diponegoro University).
Hidayat, Azis Alimul, 2005. Pengantar ilmu keperawatan anak jilid 2, Jakarta : Salemba
medika
Paul, K, U. 2017. Typhoid Fever. International Journal of Advance in Medicine. ISSN 2349-
3925
Sakinah dan Indria, A. 2016. Tata Laksana Demam Tifoid Tanpa Komplikasi pada Wanita
Hamil Trimester Pertama: Peran Intervensi Dokter Keluarga. Jurnal Medula
Unil.Volume 5. Nomor 2
Sandika, J. dan Suwandi, F.J. 2017. Sensitivitas Salmonella typhi Penyebab Demam Tifoid
terhadap Beberapa Antibiotik. Majority Jurnal Kedokteran, 6(1).
Sari, V. M. 2017. Studi penggunaan sefalosporin generasi ketiga pada pasien demam tifoid
rawat inap di RSUD Kabupaten Sidoarjo (Doctoral dissertation, Widya Mandala
Catholic University Surabaya).
Tandi, Joni. 2017 Kajian Kerasionalan Penggunaan Obat pada Kasus Demam Tifoid di
Instalasi Rawat Inap Anutapura Palu. Jurnal Ilmiah Pharmacon, 6(4). ISSN 2302 –
2493
Upadhyay, Rajesh., Nadkar., Milind,Y., et al. 2015. API Recommendations for the
Management of Typhoid Fever. Journal of The Association of Physicians of India, 63.
Soegijanto, M. W., Hapsari, M. M., & Budijitno, S. (2013). Perbedaan Kualitas Penggunaan
Antibiotik Pada Anak Dengan Demam Tifoid Di Kelas III Dan Non Kelas III:
(Penelitian di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada Tahun 2011) (Doctoral dissertation,
Faculty of Medicine Diponegoro University).
Veeraraghavan B, Pragasam AK, Bakthavatchalam YD, Ralph R. 2018. Typhoid fever: issues
in laboratory detection, treatment options, and concerns in management in
developing countries. Future Sci OA.; 4(6):1-12.