Isi Abk Fixk
Isi Abk Fixk
Isi Abk Fixk
DEFINISI
B. PREVALENSI
Prevalensi masalah perkembangan dan perilaku anak di US sebesar 12-16
persen, sedangkan prevalensi di Indonesia sebesar 13-18%. Penelitian yang
dilakukan di Bantul pada tahun 2007 mendapatkan hasil sebesar 8 persen
dinyatakan suspek gangguan keterlambatan perkembangan (Ismail, Sitaresmi &
Wahab, 2008).
Keterlambatan perkembangan bicara dan bahasa merupakan gangguan
perkembangan yang paling umum pada anak-anak usia 3-16 tahun. Prevalensi
gangguan ini berkisar antara 1% - 32% pada populasi normal dan dipengaruhi
oleh faktor-faktor seperti usia anak, metode dan hasil tes yang digunakan dalam
diagnosis (Busari, 2004).
Menurut National Center for Health Statistics (NCHS), berdasarkan atas
laporan orang tua (diluar gangguan pendengaran serta celah pada platum), maka
angka kejadian keterlambatan perkembangan bicara dan bahasa adalah 0,9% pada
anak dibawah umur 5 tahun dan 1,94% pada anak yang berumur 5-14 tahun. Dari
hasil evaluasi langsung terhadap anak usia sekolah, angka kejadiannya 3,8 kali
lebih tinggi dari yang berdasarkan hasil wawancara. Berdasarkan hal ini,
diperkirakan gangguan bicara dan bahasa pada anak adalah sekitar 4-5%
(Soetjiningsih, 1995).
Penelitian di Amerika Serikat melaporkan prevalensi kombinasi keterlambatan
bicara dan bahasa anak umur pra sekolah, 2-4,5 tahun, antara 5% sampai 8%, dan
keterlambatan bahasa melaporkan prevalensi antara 2,3% sampai 19% (Nelson et
al, 2006).
C. AREA GANGGUAN
Chaer (2009: 148-165) dalam bukunya Psikolinguistik, menjelaskan
setidaknya ada tiga macam gangguan berbicara, yakni gangguan mekanisme
berbicara, gangguan akibat multifaktorial, dan gangguan psikogenik, sedangkan
ada dua macam yang merupakan kasus gangguan berbahasa, yakni afasia motorik,
dan afasia sensorik. Selain itu, ada gangguan yang lain yang masih dapat
dimasukkan ke dalam gangguan berbahasa, namun berkaitan dengan kinerja
pikiran yakni pikun (demensia) dan sisofrenik.
1
kalau penderita gangguan ini mempunyai daya dengar yang normal, bila tidak
tentu menjadi sukar. Beliau memadukan kedua aliran yang begitu kuatnya yakni
nativisme (mentalisme) dan behaviorime, beliau juga menghendaki faktor
auditoris sebagai solusi mengatasi gangguan berbahasa (language disorders).
a. Gangguan Berbicara
Berbicara merupakan aktivitas motorik yang mengandung
modalitas praktis. Berbicara juga merupakan kebutuhan. Gangguan
berbicara dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kategori, yaitu (1)
gangguan mekanisme berbicara, (2) gangguan akibat multifaktorial, dan
(3) gangguan berbicara psikogenik (Chaer, 2009: 149).
1) Gangguan mekanisme berbicara
Gangguan mekanisme berbicara berimplikasi pada gangguan
organik. Mekanisme berbicara merupakan kegiatan yang terpadu dari
paru-paru, kerongkongan, pita suara, rongga-rongga mulut, dan lidah.
Setio (1994: 29) menjelaskan bahwa gangguan alat wicara berkaitan
dengan gangguan pada alat-alat ucap. Pada dasarnya penderita
gangguan ini masih bisa berkomunikasi dengan baik dengan orang
lain. Namun, karena salah satu bagian alat ucapnya terganggu ia
mengalami masalah ketika berbicara.
Jika yang terkena gangguannya adalah bagian paru-paru, nada
biacaranya sangat monoton, suaranya kecil sekali dan terputus-putus.
Jika yang terkena gangguan bagian pita suara, suaranya serak atau
hilang.jika yang terkena gangguan adalah lidah, pengucapan sejumlah
fonem yang meibatkan lidah menjadi tidak sempurna. Jika bibirnya
sumbing, atau yang terganggunya adalah rongga hidung, atau langit-
langit (palatum) mulutnya terganggu, suaranya menjadi sengau.
2
Kerusakan yang diderita oleh penderita bibir sumbing ini adalah
kerusakan pada rongga hidung, akibat robeknya langit-langit, celah
menuju rongga hidung menjadi lebih besar sehingga volume dari paru-
paru cenderung keluar melalui rongga hidung. Oleh karena itu suara
yang dihasilkan oleh penderita sumbing terdengar bindeng atau
sengau. Bibir sumbing yang dialami oleh kedua orang ini adalah cacat
bawaan sejak lahir. Walaupun ada juga yang menderita bibir sumbing
akibat kecelakaan.
Anggarani dan Subakti (2013: 123) memaparkan penyebab bibir
sumbing yang terjadi saat bayi dalam kandungan. Saat kehamilan
mencapai usia 6 minggu, bibir atas dan langit-langit rongga mulut bayi
dalam kandungan akan mulai terbentuk dari jaringan yang berada di
kedua sisi dari lidah dan bersatu di tengah-tengah. Apabila jaringan-
jaringan ini gagal bersatu maka akan terbentuk celah pada bibir atas
atau lagit-langit rongga mulut. Beliau menjelaskan lebih lanjut bahwa
penyebabnya belum diketahui secara pasti. Namun, factor
penyebabnya merupakan kombinasi antara faktor genetik dan faktor
lingkungan, seperti obat-obatan, penyakit, infeksi yang dialami ibu
saat mengandung, alkohol, dan rokok. Risiko akan semakin tinggi
apabila memiliki saudara kandung atau orang tua menderita kelainan
ini serta kekurangan asam folat.
Cadel merupakan ketidakmampuan lidah yang berperan penting
saat kita berbicara melafalkan huruf dan kata (Kusumawardani, 2014).
Beliau menambahkan pelafalan bunyi huruf atau kata akan terganggu
apabila kekuatan lidah dan fungsi koordinasi terganggu. Selain karena
terganggunya lidah dan fungsi koordinasi cadel pun bisa saja bawaan
sejak lahir atau kultur sekitar. Misalnya seorang ibu berkomunikasi
dengan balitanya dengan lafal /r/ menjadi /l/ atau /y/, misalnya /merah/
menjadi /meyah/.
Banyak yang mengira bahwa cadel disebabkan lidah yang pendek.
Bagi pemahaman yang awam sebenarnya ada benarnya, karena ketika
lidah dijulurkan terlihat pendek, padahal bukan lidahnya yang pendek
3
melainkan adanya gangguan pada bagian yang bernama frenulum
linguae. frenulum linguae ini merupakan jaringan yang
menghubungkan dasar mulut dan lidah. Perbedaan panjang dan pendek
frenulum linguae ini menyebabkan lidah sulit bergetar.
b. Gangguan akibat multifactorial
Akibat gangguan multifaktoral atau berbagai faktor bisa menyebabkan
terjadinya berbagai gangguan berbicara. Ada beberapa jenis gangguan
multifaktorial yaitu berbicara serampangan atau sembrono, berbicara
propulsif, berbicara mutis, gangguan berbicara psikogenik. Dalam hal ini,
penelitian berfokus ke gangguan berbicara psikogenik yaitu gagap
(stuttering) dan latah.
1. Berbicara Gagap
Gagap adalah berbicara yang kacau karena sering tersendat-sendat,
mendadak berhenti, lalu mengulang-ulang suku kata pertama, kata-
kata berikutnya, dan setelah berhasil mengucapkan kata-kata itu
kalimat dapat diselesaikan. Menurut Hidayat (2007: 27) gagap
merupakan gangguan dalam arus bicara pada anak, yang ditandai
dengan adanya pengulangan suara, suku kata atau terjadi bloking
(berhenti) dalam bicara. Gagap ini dapat disebabkan faktor psikologis
anak atau juga disebabkan kelainan neurologis, yaitu gangguan dalam
dominasi cerebral. Untuk mengatasi masalah gagap, dapat dilakukan
dengan terapi psikologis, membantu mengatasi masalah anak, dan
psikoterapi pada orang tua.
2. Berbicara Latah
Latah sering disamakan dengan ekolalla yaitu perbuatan membeo
atau menirukan apa yang dikatakan orang lain tetapi sebenarnya latah
adalah suatu sindrom yang terdiri dari curah verbal repetitif yang
bersifat jorok koprolalla dan gangguan lokomotorik yang dapat
dipancing. Latah merupakan suatu emosi kebudayaan yang khas dari
masyarakat (Gimmlette, 1912; Kenny, 1978; dan Winzeler, 1995
dalam Kadir, 2009: 50). Dalam perspektif peneliti Barat, latah
merupakan suatu kondisi kebudayaan masyarakat yang sulit
4
dimengerti sebab akibatnya (Geentz, 1968). Namun Chaer (2009: 154)
memberikan gambaran tentang awal mula timbulnya latah ini,
menurut mereka yang terserang latah, adakah setelah bermimpi
melihat banyak sekali penis lelaki sebesar dan sepanjang belut. Latah
ini punya korelasi dengan kpribadian histeris. Kelatahan ini
merupakan “excuse” atau alasan untuk dapat berbicara dan bertingkah
laku porno, yang pada hakikatnya berimplikasi invitasi seksual.
Pendapat Gimmlette, Kenny, Winzeler, dan Geentz dilengkapi oleh
Dardjowidjojo ( 2008: 154) yang menekankan aspek prilaku seperti
yang diungkapkan Chaer (2009). Beliau berkata bahwa latah
merupakan suatu tindak kebahasaan di mana seseorang ketika terkejut
atau dikejutkan mengeluarkan kata-kata secara spontan dan tidak
sadar dengan apa yang dikatakan. Telah diungkapkan Geentz (1968)
bahwa sebab akibat latah sulit dimengerti, namun setidaknya
Dardjowidjojo ( 2008: 154) memberikan hipotesis tentang ciri-ciri
latah, yaitu: 1) konon latah hanya terjadi di Asia Tenggara; 2)
pelakunya hampir selalu wanita; 3) kata-kata yang keluar umumnya
berkaitan dengan seks atau alat kelamin pria atau jantan; 4) kalau
kejutannya berupa kata, maka si latah juga bisa hanya mengulang kata
itu saja, terkecuali kalau dia dikejutkan dengan gertakan atau
dijatuhkannya sebuah ember didekatnya, maka kata yang muncul
umumnya adalah yang berkaitan denga seks atau kata yang merujuk
alat kelamin pria.
c. Gangguan Berbahasa
Seorang anak dengan gangguan bahasa mungkin saja tidak memiliki
kesulitan memproduksi ujaran, tetapi kemampuannya untuk
berkomunikasi mungkin dibatasi oleh pemahaman yang buruk tentang apa
yang orang lain kepadanya, dengan kosa kata yang terbatas dan
ketergantungan pada kalimat sederhana. Namun, ia masih dapat
menggunakan keterampilan bahasa tertentu untuk berbagi pikiran dengan
orang lain. Sebaliknya, beberapa anak memiliki artikulasi yang sempurna,
kosa kata yang luar biasa, dan dapat mengekspresikan diri dengan
5
menggunakan kalimat yang panjang dan tata bahasa yang kompleks,
namun keterampilan komunikasi mereka dibatasi oleh pengucapan yang
aneh, berulang-ulang, dan kurangnya kemampuan untuk memperbaiki
kekacauan dalam percakapan, sebagai contoh kasus beberapa anak dengan
gangguan spektrum autisme (ASD) (Paul & Norbury, 2012: 4). Dalam hal
ini, otak mempunyai peran yang sangat besar dalam kemampuan kognitif
seseorang. Jika otak seseorang mengalami gangguan atau kelainan, maka
akan mengalami kesulitan berbahasa. Mungkin saja ia mengalami
kesulitan memahami atau mengingat ujaran, atau kesuliltan memproduksi
ujaran (Setio, 1994: 29).
Supaya seseorang dapat berbahasa diperlukan kemampuan
mengeluarkan kata-kata. Dalam otak ada daerah-daerah yang mengatur
masalah bahasa yakni daerah Broca dan Wernicke. Untuk dapat berbahasa
dengan baik, maka daerah-daerah otak tersebut harus terhindar dari
kerusakan. Walaupun telah dikatakan di atas berkaitan dengan alat
artikulasi, namun apabila otak tidak bisa memproses bahasa maka akan
menjadi hambatan bagi penutur. Chaer (2009: 155) menyebut kerusakan
pada daerah Broca, Wernicke, dan daerah sekitarnya menyebabkan
terjadinya gangguan bahasa dengan istilah afasia.
Satyanegara, dkk. (2010: 145) mengklasifikasikan afasia berdasarkan
manifestasi klinik yang terbagi menjadi dua yaitu afasia lancar dan afasia
tidak lancar. Afasia lancar dapat berbicara lancar, artikluasi baik, dan
irama yang baik, namun isi pembicaraannya tidak bermakna. afasia afasia
lancar meliputi 1) afasia sensorik (wernicke), 2) afasia konduksi, 3) afasia
amnestik (anomik), dan 4) afasia transkortikal sensorik. Namun secara
garis besar Yuwono (2007: 30-31) mengatakan penderita afasia dibedakan
atas afasia Broca dan afasia Wernicke, tergantung pada bagian otak yang
mengalami kerusakan. Perbedaan keduanya dapat dilihat dalam bagan
berikut ini.
6
Penderita mengalami kesukaran Penderita tidak kesukaran untuk
menghasilkan ujaran. menghasilkan ujaran.
Terdapat banyak jeda di dalam ujarannya. Penderita afasia jenis ini lancar dan
sangat cepat berbicara.
Struktur sintaksis ujaran yang dihasilkan Struktur sintaksis ujaran yang dihasilkan
penderita biasanya tidak beraturan. penderita sangat baik dan kompleks.
Di dalam ujaran hanya terdapat sedikit Di dalam ujaran terdapat kata-kata fungsi
(bahkan ada yang tidak ada) kata-kata dan bentuk-bentuk afiks.
sebagai fungsi seperti di, ke, atau dari,
atau yang, dan juga bentuk-bentuk afiks.
Sebagian besar ujaran yang dihasilkan Sebagian besar ujaran adalah nomina
adalah bentuk nomina konkret. umum (seperti hal) dan verba.
Berdasarkan ciri-ciri yang ada pada penderita afasia ini, penderita afasia ini
tergolong afasia motorik atau afasia Broca atau bisa disebut juga ekspresif.
Muttaqin (2008: 25) memaparkan penderita mengalami gangguan pada bagian
posterior girus frontalis inferior (area Broca) dengan indikasi bahwa penderita
afasia ini mengerti terhadap apa yang dia dengar, tetapi tidak dapat berbicara
dengan lancar. Dalam hal ini, penderita afasia ini tidak bisa melakukan ekspresi
verbal (lisan). Lebih lanjut Muttaqin (2008: 26) menjelaskan tentang posisi daerah
Broca yang berada di daerah lobus frontalis. Beliau menjelaskan bahwa lobus
frontalis adalah area dari korteks serebrum yang terletak di depan sulkus sentralis
(suatu fisura atau alur) dan di luar sulkus lateralis, bagian ini mengandung daerah-
7
daerah motorik dan pramotorik. Daerah Broca terletak di lobus frontalis dan
mengendalikan ekspresi bicara. Area-area asosiasi di lobus frontalis menerima
informasi dari seluruh otak dan menghubungkan informasi-informasi tersebut
menjadi pikiran, rencana, dan perilaku.
Penderita afasia motorik ini mengalami benturan yang serius di kepala bagian
depan dan samping kiri. Lobus frontalis terletak di otak bagian paling depan yang
mengandung daerah-daerah motorik dan pramotorik. Di dalam lobus frontalis
terdapat area Broca yang mengendalikan ekspresi bicara. Afasia motorik yang
dialami oleh penderita ini terjadi karena terjadi gangguan di lobus frontalis dan
area broka akibat terbentur sangat keras di kepada bagian depan dan samping kiri.
Tropper, B. & Schwartz, R. (2009) menggambarkan daerah hubungan bahasa
pada hemisfer kiri otak manusia sebagai berikut.
Gambar 2.1 Daerah hubungan bahasa pada hemisfer kiri otak manusia
Satyanegara, dkk. (2010: 146) mengatakan bahwa afasia motorik ini paling
sering dijumpai, dengan gejala seperti yang sudah diungkapkan Yuwono dan
muttaqin di atas. Namun beliau melengkapinya dengan menyebutkan lesi yang
menyebabkan afasia motorik mencakup area Broadmann 44 dan sekitarnya. Lesi
yang menyebabkan afasia Broca biasanya melibatkan operkulum frontal
(Broadmann 45 dan 44). Sehingga jelaslah afasia Broca bisa diakibatkan benturan
kepala serius di bagian depan dan samping kiri seperti yang dialami oleh penderita
afasia motorik ini.
8
D. SEBAB – SEBAB
Penyebab kelainan komunikasi adalah sangat kompleks. Meskipun
kebanyakan anak-anak dievaluasi dalam konteks sistem pendidikan mempunyai
kelainan komunikasi fungsional, tetapi pengenalan faktor-faktor penyebab lainnya
yang bersifat organik sangat penting diketahui oleh para guru. Penyebab dapat
termasuk di dalamnya ketidaknormalan sebelum lahir, kecelakaan prenatal, tumor,
dan masalah dengan sistem syaraf atau otot, otak, atau mekanisme bicara itu
sendiri. Pengaruh dari agen yang mempengaruhi embrio atau janin, termasuk sinar
X, virus, obat-obatan, dan racun lingkungan dapat juga menyebabkan kelainan
yang dibawa sejak lahir. Dalam enam minggu pertama sampai duabelas minggu
kehidupan janin, banyak organ tubuh sedang dibentuk. Apabila ada agen yang
merusak satu organ, maka dapat berpengaruh terhadap berbagai sistem
perkembangan secara terus menerus. Contoh untuk agen seperti itu adalah rubella
(German measles). Ketika terjadi kontraksi selama tiga bulan pertama dari
kehamilan, agen yang mempengaruhi janin ini dapat menyebabkan masalah
congenital yang majemuk seperti kelainan jantung, katarak, ketunagrahitaan,
microchepalus, kecebolan, ketunarunguan, dan berbagai patologi bicara dan
bahasa secara bersamaan (Northern, 1996). Masalah komunikasi yang diakibatkan
oleh penyakit atau akibat kecelakaan setelah lahir adalah kelainan yang diperoleh.
Kecelakaan yang mengakibatkan luka otak sebagai akibat dari kecelakaan ketika
mengendarai sepeda motor merupakan contoh dari kelainan yang diperoleh yang
sering mempunyai implikasi negatif terhadap kemampuan bicara dan bahasa.
Meningitis, suatu penyakit yang mengakibatkan adanya iritasi pada lapisan otak,
biasanya secara umum berhubungan dengan kelainan pediatrik. Komplikasi dari
meningitis ini dapat mengakibatkan ketunarunguan dan disertai dengan kurangnya
komunikasi. Masalah bicara dan bahasa yang diakibatkan
E. IDENTIFIKASI
Masalah-masalah yang berkaitan dengan karakteristik perkembangan murid
SD (Kartadinata, 1998) adalah sebagai berikut :
1. Perkembangan Fisik dan Kesehatan Berdasarkan hasil pengamatan guru,
terungkap bahwa gangguan perkembangan fisik dan kesehatan di kelas
rendah (kelas 1,2, dan 3) sangat lamban dalam bereaksi, gangguan
pertumbuhan gigi, perkembangan fisik tidak sesuai dengan usia, dan lebih
besar dari teman sebaya. Sementara itu pada kelas tinggi (kelas 4,5 dan 6)
terungkap bahwa gangguan perkembangan fisik dan kesehatan, berupa
:persoalan gizi, pertumbuhan fisik tidak sesuai dengan usia dan lebih kecil
dari teman sebaya.2. Perkembangan Diri Dilihat dari karakteristik
perkembangan emosi, tampak bahwa kehidupan emosi, murid SD tidak
lagi sepenuhnya dikuasai oleh kehidupan emosi yang egoistik. Sikap
9
toleran terhadap diri sendiri mulai tampak, akan tetapi kecenderungan ini
belum merupakan pola perilaku yang konsisten.
Keberanian berbuat atas inisiatif dan pilihan sendiri dengan disertai
menerima saran dan bekerja sama dalam kelompok mulai tampak pada
murid SD. Kendati demikian murid SD ini merupakan manifestasi
dorongan kekuatan eksternal.3. Perkembangan Sosial Perkembangan
hubungan sosial murid SD telah menunjukkan kecenderungan orientasi
kelompok yang cukup kuat. Hubungan sosial murid SD telah diwarnai
pula oleh kesadaran akan identitas diri, walaupun masih berada pada
intensitas yang lemah. Perkembangan sosial murid SD telah menunjukkan
pula sikap loyal dan kesedihan berkorban untuk kelompok. Kegiatan
kelompok tidak semata-mata didasarkan atas kesenangan diri sendiri
melainkan didasarkan atas hasrat kerjasama dan berkompetisi. Namun
demikian ketidakkonsistenan dalam berkelompok masih tampak. Aturan
kelompok mulai berkembang dan disepakati sebagai aturan permainan
10
dan berkomunikasi yang diperlihatkan anak atau behavior modification.
Dalam prosedur pelaksanaannya, pendekatan ini dilakukan dengan
memperhatikan interaksi interpersonal anak dengan teman-teman
sebayanya atau orang yang berada di sekitarnya, dan ungkapan-ungkapan
verbal yang diperlihatkan oleh anak. Hasil observasi tersebut akan
menjelaskan apakah perilaku anak dalam melakukan ungkapan verbal
sesuai atau tidak sesuai dengan konteksnya dan temuan ini menjadi dasar
untuk program remedial yang ditekankan pada perubahan perilaku yang
bertujuan untuk perbaikan atau perubahan perilaku berbahasa dalam
berkomunikasi, khususnya dalam bahasa verbal.
11
holistik yang dilakukan melalui pengaturan sistem lingkungan secara
menyeluruh atau disebut dengan istilah “A Whole Language Aproach”
merupakan pendekatan yang sangat efektif, khususnya untuk memperkuat
kemampuan dan adaptasi berkomunikasi dalam berbagai bidang pekerjaan
dan berbagai profesi. A whole Language Aproach juga sangat bermanfaat
dalam mengembangkan kemampuan bahasa dan komunikasi anak usia
dini, terutama bagi anak yang telah menguasai kemampuan dalam aturan-
aturan dasar berbahasa (basic linguistic rules), ekspresi verbal dan
pemahaman ungkapan bahasa verbal. Dengan demikian kemampuan
menulis dan ungkapan tertulis tidak menjadi prasyarat dalam pelaksanaan
pendekatan ini.
12
DAFTAR PUSTAKA
Busari J.O., Weegelaar N.M. 2004. How to Investigate and Manage the
Child Whois Slow to Speak. Journal of British Medical Journal. 328(6):272-275.
Nelson D., Heidi, Peggy N., Miranda W., Rita P., 2006. Screening for
Speech andLanguage Delay in Preschool Children: Systematic Evidence Review
for the US Preventive Services Task Force. Journal of The American Academy of
Pediatrics. 117(2):298-319.
Ismail D., Sitaresmi M. N., Wahab A. 2008. Risk factors of developmental
delay: a community-based study. Paediatric Indonesia. 48(3):161-165.
Soetjiningsih, 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC
Jamaris, Martini. 2009. Kesulitan Belajar – Perspektif, Asesmen, dan
Penanggulangannya. Jakarta:Yayasan Penamas Murni.
Yusuf, Munawir, dkk. 1997. Mengenal Siswa Kesulitan Belajar.
Jakarta:Pusbang Kurrandik Balitbang Dikbut.
Lund, S. K. & Light, J. (2006). “Long-Term Outcomes for Individuals
Who Use Augmentative and Alternative Communication: Part I -What is a
Good Outcome?” Augmentative and Alternative Communication. Volume 22. P
284 –299.
13