07-Contoh Artikel
07-Contoh Artikel
07-Contoh Artikel
Oleh
Eko Suroso
ekosuroso@gmail.com
Abstract: The phenomena that occur in society show that many people's
language is convoluted, ungrammatical, or hurtful. Even though they have
been corrected and reminded many times, they still make mistakes in
language. This raises the assumption to the author that there may be a brain
damage factor that causes a person's language disorder. Therefore, it is
important to discuss the language of detecting brain damage in a person. The
function of language is as a communication tool and as a tool for thinking. A
person who has an injury to his brain will have a bad impact on his language,
so that a person's language in that case will reflect the condition of his brain
being healthy or injured. A person whose language is convoluted,
ungrammatical, or hurtful will reflect that his left brain is damaged.
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai adanya seseorang yang
pembicaraannya senantiasa berbelit-belit. Pembicaraan yang semacam ini
biasanya tidak jelas pangkal ujungnya. oleh karena itu, inti dari
100
pembicaraanpun sulit ditentukan. Fenomena lain menunjukkan bahwa ada
pula pembicaraan seseorang yang sering terhenti di tengah pembicaraan
(jeda yang sangat lama). Dalam pemberhentiannya itu tampak seolah-olah
pembicara tersebut kesulitan mencari kata-kata berikutnya atau kesulitan
merangkai kalimat berikutnya (Maret & Sutami, 2012). Untuk
mengkompensasi pemberhentian itu, orang sering menggunakan “e” atau
“anu” atau kata-kata lain yang tidak ada hubungannya dengan topik
penbicaraan. Selain hal tersebut, ada pula seseorang yang apabila berbicara,
pembicaraannya sering menyakitkan hati orang lain; apapun yang
dibicarakannya banyak yang menyakitkan hati atau paling tidak membuat
orang lain tidak simpati. Pada sisi lain, juga ada seseorang yang
pembicaraannya senantiasa menyenangkan; apapun yang dibicarakan
senantiasa menyenangkan orang lain atau paling tidak, tidak membuat orang
lain menjadi tidak suka.
Kenyataan yang lain lagi menunjukkan bahwa ada seseorang yang
pembicaraannya senantiasa membuat orang lain menjadi ikut dan merasa
asik berpikir sehingga pendengar merasa senang karena mendapat fakta-
fakta yang biasa namun diolah dengan logika-logika baru. Walaupun tidak
dengan suara keras, apa saja yang dikatakannya itu selalu membuat orang
lain ingin tahu kelanjutannya. Akibatnya mau tidak mau pendengar selalu
ingin memdengarkan lebih jauh lagi. Pendengar yang demikian ini akhirnya
melihat “siapa yang berbicara” dan bukannya “apa yang dibicarakannya.”
Begitu pula sebaliknya, ada pembicaraan seseorang yang senantiasa
membuat pendengar cepat jenuh yang pada akhirnya tidak berminat lagi
untuk mendengarkan pembicaraan selanjutnya.
Orang tua sering merasa gelisah apabila pada usia lazim, putranya
belum mampu berbicara (Stalnaker, 1999). Anak umur sepuluh bulan belum
meleter, umur delapan belas bulan belum menguasai kata yang berarti selain
“papa” dan “mama”, atau belum dapat menunjuk apa yang diingini. Anak usia
dua tahun belum dapat mengucapkan rangkaian kalimat yang terdiri atas dua
kata, atau bicaranya tidak dapat dimengerti atau dipahami oleh orang lain
101
atau bahkan orang tuanya sendiri (Amin, 2018). Di taman kanak-kanak
biasanya sudah dianjurkan membaca dan menulis; akibatnya anak yang
terlambat perkembangan bicaranya tidak dapat mengikuti pelajaran di TK. Hal
demikian ini juga merupakan problem bagi orang tua.
Fenomena-fenomena di atas memunculkan asumsi pada penulis
bahwa kemungkinan ada faktor lain yang malatarbelakangi mengapa
seseorang mengalami gangguan berbahasa tersebut. Kemungkinan lain yang
melatarbelakangi gangguan berbahasa tersebut perlu dikaji secara khusus.
Artikel ini bertujuan mengkaji faktor-faktor yang melatarbelaknagi munculnya
fenomena gangguan berbahasa tersebut dari sudut pandang kondisi otak
manusia. Kajian ini sifatnya sebatas kajian teoritis sebab tidak didasarkan
kajian empiris. Namun demikan, teori-tori yang digunakan merupakan teori
hasil kajian empiris. Oleh karena itu, pembahasan tentang Bahasa Pendeteksi
Kerusakan Otak Seseorang penting untuk dilakukan.
PEMBAHASAN
Pengertian dan Fungsi Bahasa
Bahasa itu merupakan sistem lambang bunyi yang bersifat arbiter dan
kovensional (Petrey, 2016). Sebagai sebuah sistem bahasa berarti
merupakan rangkaian unsur yang membentuk totalitas. Unsur-unsur yang
dimaksud adalah bunyi, jeda, dan intonasi. Sebagai lambang bunyi berarti
bahasa yang primer adalah yang berupa bunyi. Selain bunyi dapat
dikategorikan sebagai bahasa yang sekunder. Bersifat abritrer berarti bahasa
itu bersifat mana suka begantung konvensi ataua kesepakatan para
pemakainya. Benda berkaki empat yang biasanya terbuat dari kayu dan biasa
digunakan untuk menulis oleh orang indonesia disebut meja, namun demikian
oleh orang Inggris disebut sebagai table.
Fungsi bahasa diantaranya adalah sebagi alat komunikasi dan
sebagai alat untuk berpikir. Bahasa –baik sebagai alat komunikasi maupun
sebagai alat berpikir— hampir semua manusia dapat menggunakannya.
Namun demikain, hasil dari penggunaan bahasa itu tidak setiap manusia
102
mampu menikmatinya. Seseorang dikatakan berhasil dalam komunikasi
apabila orang tersebut berhasil menjalin relasi yang saling menguntungkan
sebanyak mungkin. Keberhasilan seseorang dalam berkomunikasi banyak
bergantung pada kemampuan berbahasa. Seseorang yang kemampuan
berbahasanya minim, biasanya relasinyapun juga minim. Begitu pula
sebaliknya, seseorang yang kemampuan bahasanya bagus, biasanya
kemampuan komunikasinya juga bagus, sehingga relasinyapun dimungkinkan
banyak.
Kemampuan berbahasa yang dimaksud dalam hal ini bukanlah
sekedar kemampuan berbicara. Banyak orang terampil berbicara tetapi orang
tersebut tidak terampil berkomunikasi sebab hal-hal yang dibicarakan
baisanya : (1) tidak mengarah pada kemajuan bersama, (2) banyak
membicarakan orang lain yang sekedar untuk membaikkan diri sendiri. Dalam
kaitannya dengan fungsi bahasa untuk berpikir, kemampuan seseorang dalam
menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat juga menandakan pula
bahwa orang tersebut mampu berpikir dengan baik dan mampu menggunakan
bahsa dengan baik pula.
Kalimat Berputar-putar
Di dalam latar belakang disebutkan bahwa ada seseorang yang
apabila berbicara kalimatnya berputar-putar sehingga pendengar mengalami
kesulitan untuk menangkap inti pembicaraan. Pembicara yang demikian
biasanya lancar dalam pembicaraan, mengucapkan bunyi-bunyi ujar yang
lancar dan tidak terputus, tetapi sangat sedikit maknanya bagi pendengar atau
paling tidak berisi semantik yang sangat minim. Orang yang mengalami gejala
demikian ini dimungkinkan mempunyai luka pada otak kiri bagian belakang.
Luka yang demikian ini disebut Wernicke Aphasia (lupa bahasa wernicke).
Wernicke Aphasia adalah gangguan pada area Wernicke yang
memicu gangguan komunikasi pada seseorang. Wernicke Aphasia membuat
penderitanya bisa berbicara dengan fasih dan lancar namun ucapan tersebut
sedikit atau tidak memiliki makna. Wernicke Aphasia dikenal pula dengan
103
afasia sensori dan afasia reseptif. Wernicke Aphasia dapat menimbulkan
beberapa gejala, misalnya: 1) mengucapkan kalimat yang tidak masuk akal, 2)
mengucapkan kata-kata yang tidak memiliki arti, 3) tidak menyadari kesalahan
dalam ucapan mereka, 4) mengalami kesulitan dalam mengulang frasa, 5)
menambahkan kata-kata sendiri saat mencoba mengulangi ucapan
seseorang, 6) menyela orang lain dan berbicara dengan cepat
Selain gejala di atas, orang dengan Wernicke Aphasia juga cenderung
memiliki ciri 1) sulit membaca dan menulis, 2) sulit memahami bahasa lisan, 3)
memahami materi visual dengan lebih baik dibandingkan bahasa lisan dan
tulisan, 4) lebih mampu memelihara kemampuan kognitif ketimbang hal-hal
yang berkaitan dengan bahasa. Afasia berbeda dengan penyakit Alzheimer.
Afasia merupakan gangguan berbahasa yang memengaruhi kemampuan
seseorang untuk memahami dan memproduksi bahasa lisan dan tulisan.
Sementara itu, penyakit Alzheimer terjadi karena penurunan fungsi otak
seiring berjalannya waktu
105
Bahasa sangat erat kaitannya dengan perkembangan kemampuan
berfikir individu. Perkembangan pikiran individu tampak dalam perkembangan
bahasanya yaitu kemampuan membentuk pengertian, menyusun pendapat,
dan menarik kesimpulan. Perkembangan pikiran itu dimulai pada usia 1,6-2,0
tahun yakni pada saat anak dapt kalimat dengan dua atau tiga suku kata.
Secara berurutan perkembangan bahasa anak adalah sebagai berikut:
a. Usia 1,6 tahun anak dapat menyusun pendapat positif;
misalnya: “bapak makan”
b. Usia 2,6 tahun anak dapat menyusun pendapat negative
(menyangkal); misalnya: “bapak tidak makan”
c. Usia 2,6 tahun ke atas anak dapat menyusun pendapat
seperti: (1) kritikan: “ini tidak boleh, ini tidak baik,” (2) keragu-raguan:
barangkali, mungkin, bias jadi, hal ini terjadi apabila anak sudah
menyadari akan kemungkinan kekhilafannya, (3) menarik kesimpulan
analogi, seperti: anak melihat ayahnya tidur karena sakit, pada waktu lain
anak melihat ibunya tidur, dia mengatakan bahwa ibunya tidur karena
sakit
Tugas-Tugas Perkembangan
Ada empat hal yanmg harus dilakukan atau diselesaikan oleh seorang
anak agar mereka dapat memperoleh bahasa. Keempat hal itu adalah sebagai
berikut:(Maret & Sutami, 2012)
a. Pemahaman: kemampuan memahami
makna ucapan orang lain. Dalam hal ini, bayi tersebut berusaha
memahami bahsa orang lain. Yang dimaksud dengan bahasa dalam hal
ini adalah sesuatu yang dapat menjadikan komunikasi antara bayi dengan
orang tua; misalnya gerakan tangan atau gerakan tubuh atau ekspresi
wajah.
b. Pengembangan: kemampuan untuk
mengembangkan kosa kata yang telah diterimanya. Perbendaharaan kata
106
anak berkembang secara lambat dahulu pada usia kira-kira dua tahun
pertama, kemudian makin lama, makin cepat pada usia prasekolah.
c. Penyusunan: kemampuan anak untuk
menyusun kosa kata atau perbendaharaan kata yang telah dikuasainya
sehingga menjadi kalimat. Bentuk kalimat pertama biasanya kalimat
tunggal yang disertai dengan gesture untuk melengkapi cara berfikirnya.
Dalam perkembangannya seiring dengan pergaulannyapula, anak
semakin dewasa panjang dan kompleks kalimatnya. Anak yang terampil
berbicara pada usia perkembangan ini biasanya anak yang cerdas.
d. Ucapan: kemampuan anak untuk
mengucapkan kata-kata yang telah dimilikinya sebagai hasil belajar
melalui imitasi terhadap bunyi-bunyi yang didengar dari orang lain. Usia
11-18 bulan pada umumnya mereka belum dapat mengucapkan kata-kata
dengan jelas. Kejelasan ucapan itu dicapai pada usia kira-kira pada usia
tiga tahun (Syamsu Yusuf Ln, 2001 : 119).
PENUTUP
Dari berbagai kajian teori tersebut dapat disimpulkan bahwa ada
faktor lain yang malatarbelakangi mengapa seseorang mengalami gangguan
berbahasa tersebut. Faktor lain yang melatarbelakangi gangguan berbahasa
tersebut adalah normal tidaknya otak seseorang. Orang yang kalimatnya
berputar-putar mendnadakan bahwa orang ini mempunyai luka pada otak kiri
bagian belakang. Luka yang demikian ini disebut Wernicke Aphasia (lupa
bahasa wernicke). Orang yang kalimatnya selalu menyakitkan hati
menandakan bahwa orang tersebut mengalami luka atau sakit pada otak kiri
bagian depan. Orang yang demikian ini menandakan bahwa orang tersebut
mengalami gangguan emosi. Dalam hal ini orang tersebut berbicara asal
mengungkapkan apa yang menurut rasionya benar. Otaknya tidak lagi
mampu memikirkan apakah kalimat-kalimat yang diucapkannya itu
menyinggung perasaan orang lain atau bukan.
107
Daftar Pustaka
Amin, M. S. (2018). Perbedaan Struktur Otak dan Perilaku Belajar Antara Pria
dan Wanita; Eksplanasi dalam Sudut Pandang Neuro Sains dan Filsafat.
Jurnal Filsafat Indonesia, 1(1), 38. https://doi.org/10.23887/jfi.v1i1.13973
Maret, U. S., & Sutami, J. I. (2012). ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA
INDONESIA SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS * Nur Endah
Ariningsih , Sumarwati , Kundharu Saddhono PENDAHULUAN Salah
satu keterampilan menulis yang dipelajari dalam mata pelajaran Bahasa
Indonesia adalah menulis eksposisi di samping. 1, 40–53.
Petrey, S. (2016). Speech acts and literary theory. In Speech Acts and
Literary Theory (Vol. 20, pp. 1–175).
https://doi.org/10.4324/9781315537436
Stalnaker, R. (1999). Robert C. Stalnaker Context and Content- Essays on
Intentionality in Speech and Thought (Oxford Cognitive Science Series)
1999.pdf. Oxford University Press.
108