LKPD 3.3
LKPD 3.3
LKPD 3.3
Langkah-langkah:
1. Peserta didik membaca teks pemodelan cerpen Kebaikan Membawa Keberuntungan
yang dibaca.
2. Peserta didik bersama pasangannya menelaah struktur cerpen Kebaikan Membawa
Keberuntungan sebagai pemodelan dengan mengisi format.
3. Peserta didik mendiskusikan hasil telaah dengan pasangannya.
4. Peserta didik membaca teks cerpen Pohon Keramat pada buku siswa (halaman 63-75).
5. Peserta didik menelaah struktur cerpen Pohon Keramat dalam kelompok
sesuai dengan format yang telah diberikan.
6. Peserta didik mendiskusikan hasil telaah dalam kelompoknya, kemudian
mempresentasikan hasil telaah di hadapan kelompok lain.
TUGAS
Hari itu matahari bersinar dengan sangat terik, seakan-akan sang raja siang itu
ingin membakar semua yang ada di bawahnya. Namun, di tengah-tengah panasnya
hari tersebut, seorang anak laki- laki sedang duduk di bawah pohon sambil menjaga
keranjang kuenya. Dia adalah Doni, seorang anak kurus dengan rambut hitam yang
sedikit ikal.
“Hey, Don, berapa harga donat itu?” tanya Aisyah, sambil menunjuk ke arah kue
yang ada di dalam keranjang miliknya.
“Murah kok, hanya lima ribu,” jawab Doni.
“Kalau begitu berikan aku satu dong,” pinta Aisyah.
Aisyah adalah seorang gadis yang baik, salah satu teman sekolah Doni. Mereka
berdua bersekolah di SMP Teladan, sebuah sekolah yang sangat bagus dan
kebanyakan muridnya berasal dari keluarga yang kaya. Kecuali Doni, dia berbeda
dengan teman-temannya. Ayahnya telah meninggal dunia, yang ada hanyalah
ibunya yang bekerja sebagai buruh pabrik. Doni dan ibunya hidup dengan sangat
susah, bahkan dia harus membantu ibunya berjualan kue di sekolah untuk
membiayai sekolahnya.
Meskipun dia harus berjualan di sekolah, dia sama sekali tidak merasa malu.
Padahal banyak teman-temannya yang selalu mengejek dirinya. Bahkan ada
sebagian guru yang tidak menyukai perbuatannya tersebut, tetapi itu semua tidak
menjadi masalah bagi Doni. Dia telah kebal dengan itu semua karena dia memiliki
cita-cita yang lebih kuat dari ejekan-ejekan yang menghampirinya.
“Kamu masih membeli makanan kotor itu, Aisyah?” kata Anjar dengan nada
menghina.
“Kenapa kamu berbicara seperti itu”
“Apa kamu tidak malu makan makanan seperti itu. Donat itu mengandung
kuman yang sangat banyak. Kalau kamu mau nanti aku belikan Pizza,” Anjar
menjawab sambil merampas donat yang ada di tangan Aisyah dan membuangnya ke
tanah..
Melihat perbuatan Anjar, Aisyah menjadi marah. Dia pun hendak menampar
wajah Anjar, tetapi Doni menghalanginya.
“Sudahlah Aisyah, nanti aku ganti yang baru. Jangan dipermasalahkan”
“Apa kamu tidak tersinggung dengan perbuatannya?”
“Sudah, tidak apa-apa kok?” jawab Doni.
“Kau dengar sendiri kan, dia pun mengakui kalau kue yang dia jual tidak sehat?”
ejek Anjar.
Meskipun Anjar terus saja mengejeknya, Doni tetap bersabar. Dia memang
sudah mengetahui watak Anjar yang sombong. Dia pun tahu, Anjar berperilaku
begitu karena ayahnya merupakan ketua komite di sekolah ini.
“Anjar, kenapa kau sombong sekali? Aku tidak menyangka kau berkata seperti
itu? Kau bukan seperti Anjar kecil yang dahulu aku kenal. Mulai sekarang aku tidak
mau lagi berbicara denganmu” bentak Aisyah kepada Anjar sambil menarik tangan
Doni dan menjauhinya.
Semenjak dari kejadian itu, Anjar semakin membenci Doni. Dia selalu
mengganggunya seperti menyembunyikan sepatu Doni, melempar keranjang Doni,
bahkan dia juga sengaja mengancam teman-temannya untuk tidak membeli kue
Doni.
Akibat dari perbuatan Anjar tersebut, penjualan kue Doni semakin berkurang.
Bahkan untuk mengembalikan modal pun sangat susah. Doni pun semakin
kebingungan karena dia tidak bisa membayar SPP untuk bulan depan. Akhirnya dia
memutuskan untuk meninggalkan sekolahnya untuk sementara waktu dan
berjualan kue di pasar.
Satu minggu sudah Doni tidak masuk ke sekolah, dia terus berjualan di pasar
mencari uang untuk membayar SPP-nya. Aisyah yang tidak mengetahui hal tersebut
merasa khawatir dengan Doni, lalu dia berusaha mencari tahu keberadaan Doni,
tetapi usahanya tersebut nihil.
Doni berusaha dengan sekuat tenaga untuk berjualan di pasar. Dia telusuri
lorong demi lorong pasar itu, dan dia juga menawarkan kuenya kepada semua orang
yang dia temui. Doni terus mengitari isi pasar tersebut hingga hari menjadi sangat
terik, lalu dia beristirahat di sebuah kursi panjang dekat tempat parkiran mobil.
Ketika dia sedang menghitung hasil yang diperolehnya, Doni melihat seorang yang
mencurigakan tengah membuntuti laki-laki tua yang sedang membawa tas hitam.
Benar saja, pria misterius itu hendak merampas tas milik bapak itu. Doni pun
berteriak untuk memperingatinya hingga dia bisa menghindari perampokan itu.
“Terimakasih, nak, berkatmu perampok itu gagal mengambil tas ini,”
“Tidak apa-apa kok, pak, kita sesama manusia sudah sepatutnya saling
membantu.”
Pria itu merasa kasihan dengan Doni, dia juga bertanya mengapa dia tidak
bersekolah.
Akhirnya Doni menceritakan semua permasalahannya, dia harus mencari uang di
pasar untuk membayar SPP karena ulah temannya si Anjar.
Dia lalu beranjak dari tempat duduknya dan berkata, “Teruskan mimpimu nak,
aku salut dengan perjuanganmu untuk terus bersekolah. Andai saja anakku bisa
sepertimu.”
Sesudah berjuang dengan sangat keras, akhirnya Doni sanggup
mengumpulkan uang untuk membayar SPP. Lalu ia mengajak Aisyah untuk
menemui kepala sekolah. Namun, betapa terkejutnya Doni ternyata SPP-nya sudah
lunas. Kepala sekolah juga mengatakan bahwa mulai saat ini Doni tidak perlu lagi
membayar uang SPP hingga lulus dari sekolah ini.
Perasaan Doni menjadi tak menentu, di satu sisi ia merasa bahagia tetapi di sisi lain
ia merasa heran. Dia pun berterimakasih kepada kepala sekolah.
Ketika Doni hendak meninggalkan ruang kepala sekolah, ia terkejut melihat
foto lelaki yang pernah ditolongnya tergantung di tembok.
“Itu foto siapa?” tanya Doni kepada Aisyah.
“Itu ketua komite sekolah kita” balas Aisyah.
Doni pun tersenyum, ternyata orang yang sudah ditolongnya dulu adalah ketua
komite sekolah ini. Pantas saja akhir-akhir ini Anjar tidak pernah mengganggunya
lagi. Sejak hari itu, Doni bisa bersekolah dengan tenang.
2. Isilah format di bawah ini sesuai dengan Struktur Cerpen Kebaikan Membawa
Keberuntungan
Struktur Paragraf
Teks
Orientasi
Rangkaian
Peristiwa
Komplikasi
Resolusi
POHON KERAMAT
Yus R. Ismail
Di sebelah barat kampung ada gunung yang tidak begitu besar. Disebut gunung
barangkali tidak tepat karena areanya terlalu kecil. Lebih tepatnya disebut bukit. Tapi,
penduduk kampung, sejak dulu sampai sekarang, menyebutnya dengan Gunung
Beser.
Meski areanya kecil, jangan tanya siapa saja penduduk yang pernah masuk ke
dalam Gunung Beser, mereka akan bergidik hanya membayangkan keangkerannya.
Mereka, dari Kakek-nenek sampai anak-anak, hafal cerita keangkeran Gunung Beser.
Konon, saat pendudukan Belanda, di kampung saya ada seorang tokoh yang
melawan Belanda yang berjuang sendirian tanpa pasukan bernama Jayasakti. Tentu
saja tokoh ini menjadi incaran Belanda untuk ditangkap dan dipenjarakan. Jayasakti
lari dari kampung ke Gunung Beser dan bersembunyi agar Belanda tidak
menimpakan kemarahan kepada masyarakat kampungnya. Bertahun-tahun pasukan
Belanda dan centeng-centeng demang mengepung Gunung Beser, tapi Jayasakti tidak
pernah menyerah. Pasukan Belanda dengan dipandu centeng-centeng demang pernah
melacak Jayasakti ke dalam gunung. Tapi tidak ada seorang pun dari mereka yang
selamat. Kata orang-orang pintar, Jayasakti bersemedi dan tubuhnya menjadi pohon
harum yang baunya dibawa angin ke sekitar gunung.
Karena cerita itu dipercaya kebenarannya, tidak seorang pun penduduk pun
berani masuk ke kelebatan Gunung Beser. Mereka menghormati perjuangan yang
pernah dilakukan Mbah Jayasakti. Tapi selain itu, konon, mereka takut masuk ke
dalam gunung karena dulu ada beberapa orang pencari kayu bakar nekad masuk ke
dalam tapi dia bernasib seperti pasukan Belanda dan centeng-centeng demang itu,
tidak bisa kembali. Siapa pun akan berhati-hati bila berhubungan dengan Gunung
Beser. Para pencari kayu bakar dan penyabit rumput hanya berani sampai ke kaki
gunung.
Sejak saya ingat, cerita yang diketahui seluruh penduduk kampung juga
meliputi kharisma Gunung Beser. Tiap malam tertentu, katanya, dari Gunung Beser
keluar cahaya yang begitu menyejukkan. Hanya orang tertentu yang melihat cahaya
itu. Konon, bila seseorang dapat melihat cahaya itu dengan mata batinnya, maka ia
termasuk orang yang bijaksana dan tinggi ilmunya. Bila ada seorang saja dari seluruh
penduduk kampung yang bisa melihat cahaya itu, artinya Mbah Jayasakti, begitu
penduduk kampung menyebut penghuni Gunung Beser, melindungi kampung. Tapi
bila ada orang yang sembrono melanggar keheningan Gunung Beser, Mbah Jayasakti
bisa marah. Jangankan menebang pohon tanpa izin, masuk saja ke dalam gunung
bisa kualat. Bisa-bisa dianggap mata-mata Belanda oleh Mbah Jayasakti. Itulah
sebabnya penduduk kampung begitu takut mengganggu ketenangan Gunung Beser.
***
Bagi saya, Gunung Beser menyimpan kenangan tersendiri. Sejak umur 5 tahun
saya sering tidur di rumah Kakek. Setiap subuh Kakek membangunkan saya dan
mengajak pergi ke mesjid kecil di pinggir sawah. Saya yang kadang masih merasa
ngantuk, begitu turun dari rumah selalu takjub melihat Gunung Beser berdiri kokoh.
Saya merasa kesegaran pagi--harum dedaunan dan bau tanah—adalah bau khas
Gunung Beser. Saya selalu berharap begitu turun dari rumah bisa melihat gunung itu
bercahaya.
Selesai sholat Kakek biasa mengontrol air sawah. Saya selalu menguntitnya dari
belakang tanpa banyak bicara. Barangkali anak lain akan mengeluh karena air dan
udara sawah dingin. Tapi, saya tidak. Saya menyukai kesegaran air dan udara itu. Tak
jarang saya mandi di pancuran sawah.
Dari pematang yang lebar-lebar saya menyaksikan bagaimana Gunung Beser
yang seperti patung raksasa hitam itu lambat laun bercahaya tertimpa sinar matahari.
Saya sering beranggapan bahwa cahaya itu bukan dari matahari, tapi keluar dari hati
saya sendiri. Setiap melihat dedaunan yang bergoyangan, saya sering melamun
melihat Jayasakti sholat di atas daun pisang.
Bagi sawah-sawah di kampung saya, air tidak mesti diperebutkan. Gunung
Beser memang memberikan air yang melimpah. Nama Gunung Beser sendiri berarti
mengeluarkan air terus-terusan. Mata air yang berada di kaki gunung mengalirkan
sungai yang lumayanbesar. Sebagian air itu dialirkan ke kampung untuk memenuhi
bak-bak mandi. Sisanya yang masih melimpah mengairi sawah dan kolam. Selain itu,
masih banyak mata air kecil yang dipakai penduduk sebagai pancuran.
Oleh karena itu, belum pernah ada berita para petani berkelahi karena berebut
air. Kakek dan para petani lain yang juga sering mengontrol sawah pagi-pagi, bukan
mengontrol takut sawah kekeringan, tepi memeriksa kalau-kalau ada urugan kecil
atau lubang-lubang yang dibikin ketam. Atau siapa tahu ada berang-berang yang
menyerang kolam. Biasanya pemangsa ikan itu menyisakan kepala ikan di atas
pematang. Bila hal itu terjadi, kemarahan para petani tidak akan terbendung lagi.
Berang-berang itu akan diburu oleh orang sekampung.
Saya beberapa kali melihat para petani berburu berang-berang atau tikus.
Mereka mengasapi seluruh lubang yang ditemui. Bila ada buruannya yang keluar,
orang-orang mengejar sambil berteriak-teriak. Tentu pemukul tidak ketinggalan ikut
beraksi. Sekali berburu, puluhan tikus atau berang-berang bisa didapatkan.
Bila panen tiba, setiap petani yang punya sawah luas akan mengadakan
syukuran. Para tetangga diundang. Ikan ditangkap atau ayam disembelih. Saya selalu
senang. Selain sering dibawa Kakek ke tempat syukuran, saya senang dengan
hari-hari di sawah. Anak-anak seluruh kampung mengalihkan tempat bermain ke
sawah. Ada yang membikin baling-baling, bermain musik dengan teromet-terompet
kecil dari batang padi, atau berburu burung beker. Saya pernah mengikuti seluruh
permainan itu. Saya bermain dengan anak dari kelompok mana saja. Setiap orang di
kampung saling mengenal, termasuk anak-anak.
Bagi anak-anak, sawah adalah tempat yang paling banyak memberi kenangan.
Kami mandi sore di pancuran sawah. Setiap sore, kecuali hari Jumat, anak-anak
belajar ngaji di masjid. Kakek awalnya mengajar, tapi akhirnya diteruskan oleh Kang
Hasim. Saya menjadi anak emas bila Kang Hasim mengajar. Selain dari Kang Hasim,
saya belajar ngaji dari Kakek dulunya, bagi saya ngaji bukan hal baru. Sejak sebelum
sekolah, setiap malam Kakek mengajar saya. Maka pelajaran yang diberikan Kang
Hasim kepada anak-anak lain sering merupakan hal yang sudah saya hapal betul.
Pulang dari mengontrol sawah sering saya diajak Kakek jalan-jalan ke pasar yang
buka seminggu sekali. Kakek membeli berbagai keperluan sehari-hari dan saya selalu
punya jajanan enak. Kalau tidak kue serabi, saya memilih kue pukis. Sering oleh para
pedagang itu saya dikasih sebungkus besar kue sebelum saya memilih.
Saya merasa waktu itu Kakek adalah orang yang dihormati oleh penduduk
kampung. Siapa pun akan mengangguk hormat bila bertemu Kakek. Di sawah saat
mengontrol air Kakek menjadi tempat bertanya bila ada masalah. Dan Kakek adalah
orang yang memutuskan apakah tikus atau berang-berang yang mulai merusak itu
harus diburu segera atau tidak.
Sering Kakek juga diminta mengobati orang-orang yang sakit. Apalagi bila sakit
itu dikarenakan oleh makhluk halus yang‘main-main’. Bila ada orang yang kesambet
oleh penghuni Gunung Besar, mereka juga membawanya ke rumah Kakek. Saya tidak
tahu bagaimana Kakek mengobatinya. Mungkin beliau memakai doa-doa, tapi tidak
jarang Kakek malah membawa si sakit ke rumah Pak Mantri.
***
Kedamaian kampung saya mulai terusik saat jalan besar menghubungkan
dengan kota kecamatan dan kota kabupaten diperbesar dan diaspal. Memang aspal
alakadarnya, tidak sebagus sekarang.Tapi, jalan itu memberikan gejolak tersendiri.
Para petani hilir mudik ke kota kabupaten, menjual hasil bumi. Anak-anak remaja
tidak sedikit yang kemudian meneruskan sekolah ke kota. Pembangunan
pabrik-pabrik semakin santer diinformasikan orang kecamatan.
Perkenalan kampung saya dengan dunia luar, menyadarkan penduduk bahwa di
luar sana sudah banyak yang terjadi. Kebutuhan hidup semakin meningkat.
Kampung saya semakin sibuk. Ngobrol-ngobrol santai di sawah atau di masjid sehabis
sholat jarang dilakukan para orang tua. Bila panen tiba, undangan syukuran semakin
jarang. Panen pun hanya dilakukan oleh segelintir orang,tidak lagi merupakan pesta
kampung.
Kebutuhan yang semakin mendesak itu memaksa penduduk kampung untuk
memfungsikan segala yang dipunyai. Para lulusan sekolah dari kota merencanakan
untuk membuat pertanian terpadu di kaki gunung dengan melibatkan seluruh
penduduk. Pengelolaan kaki gunung itu dilakukan dengan gotong-royong.
Pembangunan pabrik air mineral dan tekstil mulai dibuat orang kota. Saya waktu itu
sudah meningkat remaja.
Perselisihan antarpenduduk mulai terasa ketika penggerak pembangunan yang
merupakan lulusan sekolah dari kota itu merencanakan untuk membuka sebagian
Gunung Beser, untuk perluasan lahan pertanian dan kebutuhan pabrik. Banyak
penduduk yang tidak setuju. Tapi, tidak sedikit yang mendukungnya.
“Saat ini adalah waktunya untuk membangun demi kemajuan. Dan kita tidak
akan pernah bisa maju bila masih takut dengan hal-hal yang tidak masuk akal.”
Begitu di antaranya kata-kata yang biasa diucapkan para penggerak pembangunan
dan orang kabupaten yang memperjuangkan perluasan pabrik.
“Apanya yang mesti ditakuti dari penghuni Gunung Beser? Mereka malah telah
memberikan apa yang dipunyainya. Air yang melimpah, tanah yang subur, udara yang
segar.Dan, kita tidak bisa memanfaatkan kekayaan itu karena kita takut oleh hal-hal
yang tidak perlu ditakutkan,” kata mereka.
Semakin banyak penduduk yang mendukung pembukaan Gunung Beser.
Sebagian yang masih menghormati kharisma Gunung Beser, datang ke rumah Kakek.
Mereka meminta pendapat Kakek. Saya tidak tahu apa Kakek katakan sebelum
mereka pulang. Besoknya wakil dari panitia pembangunan itu datang ke rumah
Kakek. Mereka tahu bahwa Kakek adalah kunci dari masalah ini. Penduduk yang
tidak setuju dengan pembukaan Gunung Beser hanya akan mendengarkan apa yang
dikatakan Kakek.
Saya tidak begitu jelas menangkap apa yang dibicarakan mereka. Tapi, dari nada
suara yang semakin meninggi, saya tahu bahwa mereka bersitegang. Saya mengintip
peristiwa itu dari bilik kamar. Saya bersiap meloncat seandainya mereka melakukan
kekerasan terhadap Kakek. Tapi, kejadian yang saya lamunkan itu tidak terjadi.
Mereka pulang setelah terlebih dahulu menyalami Kakek. Besoknya saya baru tahu
bahwa Kakek menyetujui pembukaan sebagian Gunung Beser.
“Saat ini saat sulit,” kata Kakek ketika malamnya saya menanyakan kenapa
Kakek menyetujui pembukaan sebagian Gunung Beser.
“Semakin banyak kebutuhan hidup dan semakin banyak orang yang merasa pintar.
Tapi, orang-orang pintar itu tidak tahu tentang kebijaksanaan. Mereka tidak sadar
bahwa sebagian besar manusia yang ada di dunia ini adalah yang ada di bawah
standar kepintaran. Kisah Mbah Jayasakti masih diperlukan untuk melindungi
Gunung Beser.”
Saya kurang mengerti apa yang dikatakan Kakek. Dan ketika malam besoknya
Kakek bercerita bahwa Mbah Jayasakti dan keangkeran Gunung Beser itu tidak ada,
saya semakin tidak mengerti dengan Kakek. Kalau begitu, kenapa tidak dari dulu
Gunung Beser itu dibuka?
“Gunung Beser akan marah kalau dibuka,” kata Kakek.
“Kan Mbah Jayasakti dan keangkeran itu tidak ada.”
“Ya, tidak ada. Tapi, Gunung Beser tetap akan marah bila dibuka.”
“Kenapa Kakek menyetujui?”
“Mereka berjanji akan membuka sampai perbatasan kaki gunung saja.”
Pembukaan kaki Gunung Beser itu akan dilakukan dengan bergotong-royong.
Bantuan tenaga dan dana besar dari pihak pabrik disambut masyarakat. Kejadian
yang semakin langka itu ditandai dengan syukuran kampung yang dipimpin oleh pak
bupati yang sengaja datang. Tidak ada kejadian-kejadian aneh selama pembukaan
kaki gunung. Tanaman pun tumbuh bagus karena tanahnya memang subur dan air
melimpah. Rumah-rumah dibangun karena pabrik-pabrik membutuhkan pekerja
banyak yang sebagian besar didatangkan dari daerah lain.
Para penggerak pembangunan itu mendapat pujian dari hampir seluruh
penduduk kampung. Mereka dibicarakan di setiap pertemuan resmi dan tidak resmi.
Kakek meninggal tidak lama kemudian. Kematian Kakek tidak mendatangkan
perhatian yang besar dari penduduk. Saya sedikit cemburu kepada penggerak
pembangunan yang sudah mencuri perhatian penduduk dari Kakek itu. Tapi,
kecemburuan itu bisa diredam karena saya sudah masuk sekolah menengah
mengagumi juga apa yang mereka lakukan.
Keberhasilan pertanian dan pabrik itu memberi kemewahan tersendiri bagi
kampung saya. Sarana-sarana umum dibangun. Banyak rumah memiliki pesawat
televisi. Semakin banyak anak-anak yang meneruskan sekolah di kota. Tapi,
kepercayaan bahwa keangkeran Gunung Beser itu tidak ada, mendorong penduduk
untuk membuka Gunung Beser lebih jauh. Tempat-tempat pertanian baru dibuka,
rumah-rumah dibangun, perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan mata air besar
dibangun, izin-izin pengelola Gunung Beser semakin banyak dimiliki orang.
Pohon-pohon besar ditebang. Yang tidak punya izin, berdagang kayu
sembunyi-sembunyi.
Gunung Beser bercahaya siang malam. Sinar matahari memantul dari
bangunan-bangunan dan daerah-daerah kering. Malam bercahaya oleh semaraknya
listrik. Penduduk kampung, termasuk saya, menyambut kemajuan itu. Tapi, mereka,
termasuk saya, tidak menyadari bahwa di kampung semakin terdengar berita adanya
perkelahian petani gara-gara berebut air, para remaja putus sekolah kebingungan
mencari kerja karena menggarap lahan pertanian yang semakin tidak subur itu terasa
rendah, musin yang datang tidak lagi bersahabat. Tiba-tiba saya merasa bahwa hal
seperti itu bukan merupakan bagian dari kampung saya.
Kekeringan di musim kemarau dan banjir-banjir kecil di musim hujan tidak lagi
asing. Tapi, para penduduk tidak menyerah. Alam harus ditaklukkan. Kipas angin
dan kulkas menjadi kebutuhan di musim kemarau. Bendungan-bendungan kecil
dibangun untuk menanggulangi musim hujan. Tiba-tiba saya merasa bahwa
persahabatan dengan alam menghilang dari kamus kampung saya.
Perlawanan terhadap alam itu berakhir ketika tahun yang oleh peneliti disebut El
Nino itu tiba. Kekeringan membakar kampung saya. Banyak bangunan dan lahan
yang hangus. Dan, saat musim hujan tiba banjir besar melanda. Rumah-rumah hanya
kelihatan atapnya. Saya sedang duduk di atas atap rumah ketika bantuan puluhan
perahu itu tiba.
Saya hanya bisa mencatat peristiwa-peristiwa seperti itu tanpa mengerti apa
yang telah terjadi. Seperti kebanyakan remaja di kampung saya, saya kebingungan
dengan banyak hal. Satu hal yang pasti, kita harus lebih dekat bersahabat dengan
alam agar alam lebih bersahabat dengan kita. Pohon memang keramat, harus
dihargai, dihormati, dijaga dipelihara. Tanpa pohon bencana akan lebih sering terjadi
menimpa kita. Mbah Jayasakti mestinya berubah menjadi kesadaran ilmu. Kakek
benar, banyak orang cuma merasa pintar padahal tidak.
4. Isilah format berikut ini sesuai dengan struktur cerita pendek Pohon Keramat!
Struktur Paragraf
Teks
Orientasi
Rangkaian
Peristiwa
Komplikasi
Resolusi