Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Modul Ilmu Bedah 1

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 327

MODUL KEPANITERAAN KLINIK

DEPARTEMEN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH


RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA
TAHUN 2021
PANDUAN KEPANITERAAN KLINIK
MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIMAL
TAHUN 2021

Tim penyusun dan kontributor

dr. Adi Rizka, Sp.B(K) Onk


dr. Mufrizal, Sp.B(K) Onk
dr. Sayuti, Sp.B (K) BD
dr. Hendra Kastiaji, Sp.B
dr. Andrian, Sp.B
dr. Fadhli Hasan, Sp.U
dr. M. Bayu, Sp.OT
dr. M. Ifani S. R., Sp.B
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas izin dan karunia-
Nya kami dapat menyusun modul kepaniteraan klinik departemen Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh. Shalawat beriring salam kita
hanturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa manusia dari
zaman kebodohan ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Ucapan terima kasih kami hanturkan kepada Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Malikussaleh, dr. M. Sayuti, Sp.B (K) BD dan ketua program studi
profesi, dr. Anna Milizia, M.Ked(An), Sp.An yang telah memfasilitasi
penyusunan modul ini. Modul ini disusun untuk membantu mahasiswa klinik
dalam memahami beberapa ilmu terkait dengan bidang bedah. Adapun pedoman
penyusunan dari modul ini adalah sesuai dengan SNPPDI tahun 2021.
Pengetahuan yang komprehensif dan aplikatif diharapkan dapat dimiliki oleh
mahasiswa kedokteran UNIMAL sehingga nantinya dapat menjadi dokter yang
kompeten dan kompetitif.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan modul ini masih terdapat
banyak kekurangan, sehingga kami mengharapkan kritik dan saran dari sejawat
untuk kesempurnaan modul. Terima kasih.

Lhokseumawe, 31 Maret 2021


Atas nama tim penyusun

dr. Adi Rizka, Sp.B(K) Onk


dr. Mufrizal, Sp.B(K) Onk
dr. Sayuti, Sp.B (K) BD
dr. Hendra Kastiaji, Sp.B
dr. Andrian, Sp.B
dr. Fadhli Hasan, Sp.U
dr. M. Bayu, Sp.OT
dr. M. Ifani S. R., Sp.B
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................3

DAFTAR ISI............................................................................................................4

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................6

BAB II TATA TERTIB...........................................................................................9

BAB III DAFTAR MASALAH DAN PENYAKIT ILMU BEDAH....................29

A. DAFTAR MASALAH PENYAKIT DI DEPARTEMEN ILMU BEDAH..29

A.1 Bedah Digestif.........................................................................................29

A.2 Bedah Anak.............................................................................................29

A.3 Bedah Urologi.........................................................................................30

A.4 Bedah Onkologi......................................................................................30

A.5 Bedah Saraf.............................................................................................31

A.6 Bedah Plastik...........................................................................................31

A.7 Bedah Orthopedi.....................................................................................31

A.8 Bedah Toraks Kardiak Vaskular.............................................................32

B. DAFTAR PENYAKIT DEPARTEMEN ILMU BEDAH............................32

B.1 Daftar Penyakit Ilmu Bedah Digestif......................................................32

B.2 Daftar Penyakit Ilmu Bedah Anak..........................................................33

B.3 Daftar Penyakit Ilmu Bedah Urologi.......................................................33

B.4 Daftar Penyakit Ilmu Bedah Onkologi....................................................34

B.5 Daftar Penyakit Ilmu Bedah Saraf...........................................................35

B.6 Daftar Penyakit Ilmu Bedah Plastik........................................................35

B.7 Daftar Penyakit Ilmu Bedah Orthopedi...................................................36

B.8 Daftar Penyakit Ilmu Bedah Toraks Kardiak Vaskular...........................37


MINGGU 1 BEDAH DIGESTIF.......................................................................38

MINGGU 2 BEDAH DIGESTIF.......................................................................72

MINGGU 3 BEDAH ANAK.............................................................................97

MINGGU 4 UROLOGI...................................................................................113

MINGGU 5 BEDAH ONKOLOGI..............................................................144

MINGGU 6 BEDAH ONKOLOGI.................................................................172

MINGGU 7 BEDAH SARAF..........................................................................183

MINGGU 8 BEDAH PLASTIK......................................................................188

MINGGU 10 BEDAH THORAKS DAN KARDIOVASKULAR..................279

PENANGANAN BEDAH DALAM KONDISI BENCANA..........................308


Modul Ilmu Bedah FK Unimal

vi
BAB I
PENDAHULUAN

Program Pendidikan dokter bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dokter


di Indonesia yang kompeten dan menghargai berbagai tata tertib dan perundang-
undangan yang berlaku. Mahasiswa ditahap klinik akan dihadapkan dengan
berbagai masalah-masalah klinis praktis sehingga diharapkan setelah
menyelesaikan pendidikannya, dokter lulusan Fakultas Kedokteran UNIMAL
mampu memberikan pelayanan secara komprehensif dan holistik.
Mahasiswa klinis menempuh rotasi di departemen Ilmu Bedah selama 10
minggu dengan total SKS yang diambil yaitu 6 SKS. Selama menempuh kegiatan
tahap klinis di departemen ilmu bedah, mahasiswa akan dibimbing dalam
mendiagnosis dan menatalaksana secara tepat sesuai dengan kompetensi dokter
yang harus dikuasai, selain itu mehasiswa juga diajarkan beberapa keterampilan
klinik yang dapat mendukung dalam penegakan diagnosis suatu penyakit.

A. KOMPETENSI DOKTER LULUSAN


Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh harus menerapkan
beberapa prinsip-prinsip pembelajaran sebagai berikut:
1. Profesionalisme yang luhur
2. Mawas diri dan pengembangan diri
3. Komunikasi efektif
4. Pengelolaan informasi
5. Landasan ilmiah kedokteran
6. Keterampilan klinis

1
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

B. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa/i mampu untuk melakukan pemeriksaan fisik
gastrointestinal, dan hepatobilier.
2. Mahasiswa/i mampu mengetahui indikasi pemasangan NGT dan
stoma bag serta rectal toucher, mampu melakukan pemasangan NGT
dan stoma bag, membaca foto polos abdomen, dan melakukan rectal
toucher.
3. Mahasiswa/i mampu mengetahui diagnosis dan tatalaksana pada kasus
akut abdomen.
4. Mahasiswa/i mampu mengetahui diagnosis dan tatalaksana pada kasus
kelainan kongenital.
5. Mahasiswa/i mampu mengetahui diagnosis dan tatalaksana pada
penyakit saluran kemih.
6. Mahasiswa/i mampu mengetahui diagnosis dan tatalaksana pada
tumor jinak dan ganas payudara.
7. Mahasiswa/i mampu mengetahui diagnosis dan tatalaksana pada
tumor jinak dan ganas tiroid.
8. Mahasiswa/i mampu mengetahui diagnosis dan tatalaksana pada
tumor jinak dan ganas pada kulit
9. Mahasiswa/i mampu mengetahui diagnosis dan tatalaksana pada
tumor jinak dan ganas pada kelenjar limfoid.
10. Mahasiswa/i mampu mengetahui diagnosis dan tatalaksana pada
tumor jinak dan ganas pada kepala dan leher.
11. Mahasiswa/i mampu mengetahui diagnosis dan tatalaksana pada kasus
trauma dan non- trauma kepala.
12. Mahasiswa/i mampu mengetahui diagnosis dan tatalaksana pada kasus
luka bakar, trauma maxilofacial, labiopalatoschizis, dan wound
management.
13. Mahasiswa/i mampu mengetahui diagnosis dan tatalaksana pada
kelainan/penyakit pada bidang orthopedi.

2
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

14. Mahasiswa/i mampu mengetahui diagnosis dan tatalaksana pada


kelainan/penyakit pada bedah thoraks dan kardiovaskular.

C. KOMPETENSI
Standar kompetensi yang harus dikuasai oleh mahasiswa klinik mengacu
pada SNPPDI tahun 2021 yaitu sebagai berikut:
1. Kompetensi 1: mahasiswa mampu mengenali dan menjelaskan
gambaran klinis penyakit.
2. Kompetensi 2: mahasiswa mampu menjelaskan, mendiagnosis dan
merujuk suatu penyakit.
3. Kompetensi 3a: mahasiswa mampu menjelaskan, mendiagnosis dan
memberikan tatalaksana awal, kemudian merujuk suatu penyakit.
4. Kompetensi 3b: mahasiswa mampu menjelaskan, mendiagnosis dan
memberikan tatalaksana awal, kemudian merujuk (kasus gawat
darurat).
5. Kompetensi 4: mahasiswa mampu menjelaskan, mendiagnosis dan
memberikan tatalaksana terhadap suatu penyakit secara mandiri.

3
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

BAB II
TATA TERTIB

A. TATA TERTIB DI BAGIAN ILMU BEDAH


Dokter muda mengikuti tahap kepaniteraan klinik dengan membawa surat
dari Ketua Program Studi Pofesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas
Malikussaleh, menghadap kepala bagian dan Ketua Bakordik. DM wajib hadir
dan mengisi absensi pada semua bagian sesuai dengan jadwal yang telah
ditentukan.
I. Pakaian Selama Mengikuti Kepaniteraan Klinik:
1. Bagi Dokter Muda Pria:
a. Rapi, bersih, dan sopan
b. Tidak memakai T-shirt/kaos
c. Tidak memakai jeans
d. Rambut rapi, tidak panjang, dan tidak melewati krah baju
e. Memakai sepatu
2. Bagi Dokter Muda Wanita:
a. Rapi, bersih, sopan
b. Muka terlihat jelas, tidak memakai cadar
c. Tidak memakai celana panjang, kecuali pada keadaan khusus
d. Tidak memakai jeans
e. Tidak memakai T-Shirt, kaos/blus ketat/transparan
f. Memakai rok panjang hingga mata kaki, tidak ketat/ berbelahan
tinggi
g. Memakai sepatu
3. Pakaian Clerkship/ KKS
a. Warna putih dengan model yang telah ditentukan oleh Prodi Profesi
Dokter
b. Dipakai hanya di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas
Malikussaleh, RS Pendidikan, RS Satelit dan Puskesmas
c. Harus memakai tanda pengenal yang jelas dan telah ditentukan

4
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

II. Semua Dokter Muda dilarang:


a. Melakukan kegiatan yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkoba
b. Melakukan pemalsuan surat/dokumen berkaitan dengan kegiatan
akademik
c. Melakukan kegiatan perjudian dan meminum minuman beralkohol
d. Membawa senjata tajam/senjata api di lingkungan Rumah Sakit dan
Kampus
e. Menghalangi/ mengganggu proses belajar
f. Melakukan kegiatan yang merusak saran dan prasarana kampus
g. Berperilaku dan sikap tingkah laku yang bertentangan dengan nilai
agama, adat istiadat dan etika yang berlaku di RS dan kampus
h. Memakai aksesoris berlebihan bagi wanita atau beranting bagi pria
i. Memakai tato atau lukisan pada badan
j. Merokok di lingkungan kampus dan Rumah Sakit
k. Parkir yang ditempatkan untuk dosen

III. Daring
Kegiatan Kepanitraan Klinik untuk dokter muda sekarang tidak lagi 100%
dilaksanakan secara tatap muka namun sekarnag dibagi dalam dua pertemuan
yaitu pertemuan secara daring (online) dan luring (tatap muka) dengan presentase
kegiatan 20% daring dan 80% luring. Kegiatan daring dilaksanakan bertepatan
dengan pencegahan wabah COVID-19 yang sedang mengalami peningkatan di
Indonesia. Dokter Muda wajib melaksanakan daring yang mana kegiatannya
dilaksanakan pada awal memasuki stase baru tepatnya pada Minggu 1 dan
minggu. Apabila tidak memperhatikan peraturan tersebut diatas, maka dokter
muda yang bersangkutan tidak diperkenankan mengikuti kegiatan kepaniteraan
klinik.

IV. Peraturan Khusus Bagian Ilmu Bedah

5
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

1. Periode kepaniteraan klinik senior (KKS) di Bagian Bedah Universitas


Malikussaleh adalah 10 minggu, dengan 2 minggu kegiatan dilakukan
secara daring, dan 8 minggu kegiatan dilakukan tatap muka secara
langsung.
2. Kegiatan pada bagian bedah berlangsung di 6 (enam) tempat, yaitu
poliklinik bedah, ruang bedah, kamar operasi, IGD, urologi, dan
orthopedi.
3. Kegiatan kepaniteraan klinik senior (KKS) dilaksanakan pada hari
kerja (senin s/d jumat) kecuali hari libur nasional, dimulai pada pukul
07:00 WIB s/d 15:30 WIB.
4. Melakukan absensi harian sebanyak 2 (dua) kali, yaitu pukul 07:00
WIB dan 14:00 WIB, dan tidak dapat diwakili.
5. Setiap dokter muda mengikuti aturan performance kampus, sebagai
berikut:
6. Dokter muda yang berhalangan hadir, wajib melampirkan surat
keterangan tidak hadir (tertulis) dengan alasan yang jelas. Bila tidak
hadir dengan alasan yang tidak jelas, maka dokter muda tersebut
dianggap melanggar disiplin dan harus menerima sanksi yang
diputuskan secara Bersama oleh tim di bagian Bedah (sesuai Buku
Panduan Kepaniteraan Klinik Senior).
7. Dokter muda yang akan masuk bagian bedah harus melapor pada
kepala bagian bedah pada hari senin (minggu 1) pukul 07:30 WIB
yang dilakukan secara berkelompok (tidak boleh diwakili) dengan
membawa surat pengantar masuk stase. Selanjutnya dokter muda
harus melapor kepada kepala ruangan bedah, kepala ruangan IGD, dan
kepala ruang operasi.
8. Selama berada di bagian bedah, setiap dokter muda melakukan
aktivitas sesuai dengan jadwal kegiatan per minggu (terlampir) serta
melaporkannya secara tertulis (log book). Tugas tersebut selanjutnya
dilaporkan dalam diskusi bersama preceptor.

6
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

9. Pada hari jum’at minggu 9, setelah melakukan ujian dengan preceptor,


setiap dokter muda wajib menyerahkan tugas (poin 8) bentuk CD
10. Setelah menyerahkan tugas (poin 9), dokter muda melapor pada
kepala bagian bedah untuk keluar stase, yang dilakukan secara
berkelompok (tidak boleh diwakili).

B. SANKSI AKADEMIK
Hal yang berkenaan dengan sanksi akademik dokter muda (DM)
sebagaimana di bawah ini:
1. Peringatan
a. DM yang meninggalkan kegiatan kepaniteraan klinik tanpa izin
akan diberi peringatan.
b. DM yang berperilaku tidak sesuai dengan etika kepaniteraan klinik
akan diberi peringatan.
2. Sanksi akademik
a. Apabila DM melakukan pelanggaran etika, akademik akan
mendapat sanksi mulai peringatan, skorsing, hingga dikeluarkan.
b. Berat ringan sanksi sesuai keputusan dan hasil rapat pimpinan.
3. Pemberhentian DM.
Pemberhentian DM dibicarakan dalam rapat senat dan dilakukan atas
dasar:
a. Permintaan sendiri.
b. Tidak mampu menyelesaikan pendidikan dalam batas waktu yang
telah ditentukan.
c. Adanya hambatan kepribadian dan kejiwaan berdasarkan hasil
evaluasi fisik dan psikologis serta kepribadian yang dilakukan
oleh tim ahli yang ditunjuk
d. Melanggar ketentuan dan tata tertib Fakultas
Kedokteran Universitas Malikussaleh.

7
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

e. Dinyatakan bersalah dalam tindak kegiatan kriminal oleh


pengadilan dimana keputusannya telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap.
f. DM yang akan diberhentikan terlebih dahulu dibicarakan dalam
Rapat Pimpinan Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh,
kemudian diusulkan ke Rektor Universitas Malikussaleh.
g. Pemberhentian DM diputuskan oleh Rektor Universitas
Malikussaleh dan ditetapkan dalam suatu Surat Keputusan.

KETENTUAN MENGULANG STASE


Ketidakhadiran dokter muda dalam kegiatan profesi diberikan sanksi
mengulang stase sesuai dengan jumlah hari dan tempat stase, seperti pada tabel
berikut ini:

No Keterangan Sanksi
Mengulang sebanyak hari libur
1. <3 hari dengan alasan bisa diterima*
pada akhir siklus
2. <3 hari dengan alasan tidak bisa diterima** Mengulang 1 minggu
3. >3 hari dengan alasan apapun Mengulang penuh
Keterangan:
*Alasan bisa diterima: sakit dengan surat keterangan dokter spesialis,
keperluan keluarga, keperluan Fakultas/RS dengan surat keterangan
dari yang berwewenang.
**Alasan tidak bisa diterima adalah alasan selain tersebut diatas.

Jika dokter muda (DM), tidak menyelesaikan tugas di bagian dan belum
melaksanakan ujian akhir (post test) maka DM tersebut wajib mengulang stase
dan ujian di akhir semua siklus selama 2 minggu.

KETENTUAN LULUS DOKTER, PELAKSANAAN SUMPAH DOKTER


DAN PEMBERIAN IJAZAH
1. DM dinyatakan lulus pendidikan profesi dokter apabila telah
dinyatakan lulus pada uji kompetensi yang diselenggarakan oleh

8
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

lembaga yang ditunjuk dan diakui oleh Kementrian Riset, Teknologi


dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.
2. Sumpah dokter dilaksanakan terhadap DM yang telah lulus Uji
Kompetensi tersebut.
3. Wisuda dan ijazah dokter diberikan kepada DM yang telah dinyatakan
lulus uji kompetensi dan telah disumpah sebagai dokter.
4. Kategori/predikat kelulusan dokter:
a. Lulus dengan pujian (cum laude), apabila memenuhi persyaratan:
- IPK = 3,76 – 4,00
- Masa studi kepaniteraan klinik minimal 4 semester
- Tidak mendapat sanksi terhadap pelanggaran moral dan etika.
b. Sangat memuaskan, apabila memenuhi persyaratan:
- IPK 3,51 – 3,75
- Masa studi kepaniteraan klinik 5 semester
- Tidak mendapat sanksi terhadap pelanggaran moral dan etika.
c. Memuaskan, apabila memenuhi persyaratan:
- IPK = 3,00 – 3,50

PERPINDAHAN MAHASISWA
Perpindahan DM program studi profesi dari Fakultas Kedokteran
Universitas Malikussaleh ke universitas lain atau dari Fakultas Kedokteran lain ke
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh setelah menyelesaikan tahap
program pendidikan S.Ked akan diperlakukan sesuai ketentuan yang berlaku di
Universitas Malikussaleh

KETENTUAN TAMBAHAN
Apabila terdapat perubahan atau hal yang belum tercantum pada
petunjuk/peraturan di atas, keputusan diambil dengan mengacu pada ketentuan
peraturan yang lebih tinggi atau akan diambil kebijaksanaan oleh pimpinan
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh/pimpinan Universitas
Malikussaleh.

9
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

C. KEGIATAN SELAMA ROTASI KLINIK


Berikut adalah kegiatan yang akan dijalani oleh mahasiswa selama
menjalani kegiatan rotasi klinik
Keterangan
No
Kegiatan Minggu
.
1. Pre test 1
2. Case report session 1,2,3,4,6,6,7,8,9,10
3. Clinical scientific session 1,2,3,4,6,6,7,8,9,10
4. Meet the expert 1,2,3,4,6,6,7,8,9,10
5. Bimbingan di poliklinik/bangsal/IGD 1,2,3,4,6,6,7,8,9,10
6 Bedside teaching 1,2,3,4,6,6,7,8,9,10
7. Post Test 9

D. JADWAL ROTASI KLINIK


Minggu 1: Kegiatan Rutin Bagian Bedah Digestive
No
Hari Jam Kegiatan
.
Melapor ke bagian administrasi
07.00 – 09.00 WIB
ilmu bedah
09.00 – 11.00 WIB Orientasi
Meet the expert (alur
11.00 – 12.00 WIB
1. Senin diagnostik bedah)
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
Mengetahui pasien bedah di
13.00 – 15.00 WIB
ruangan bedah
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Promosi Kesehatan di poliklinik
11.00 – 12.00 WIB Poliklinik
2. Selasa
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Bed side teaching
15.00 – 15.30 WIB Belajar Mandiri
3. Rabu 07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Visite ruangan
11.00 – 12.00 WIB Bimbingan di ruangan

10
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

12.00 – 13.00 WIB ISHOMA


13.00 – 15.00 WIB Clinical scientific session
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Visite ruangan
11.00 – 12.00 WIB Promosi Kesehatan di ruangan
4. Kamis 12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
Meet the expert (NGT dan
13.00 – 15.00 WIB
Stoma)
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Visite ruangan
11.00 – 12.00 WIB Bed side teaching
5. Jum’at
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Case report session
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri

Minggu 2: Kegiatan Rutin Bagian Bedah Digestive


No
Hari Jam Kegiatan
.
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Visite ruangan
Meet the expert (akut
11.00 – 12.00 WIB
1. Senin abdomen)
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Promosi Kesehatan di ruangan
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Poliklinik
11.00 – 12.00 WIB Promosi kesehatan di poliklinik
2. Selasa
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Bed side teaching
15.00 – 15.30 WIB Belajar Mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Visite ruangan
11.00 – 12.00 WIB Bimbingan di OK
3. Rabu
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Clinical scientific session
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Visite ruangan
4. Kamis 11.00 – 12.00 WIB Promosi kesehatan di ruangan
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Meet the expert (Tumor

11
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

traktus digestivus)
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Visite ruangan
11.00 – 12.00 WIB Bed side teaching
5. Jum’at
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Case report session
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri

Minggu 3: Kegiatan Rutin Bagian Bedah Anak


No
Hari Jam Kegiatan
.
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Poliklinik
11.00 – 12.00 WIB Bimbingan di poliklinik
1. Senin 12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
Meet the expert (Kasus bedah
13.00 – 15.00 WIB
pada kelainan kongenital 1)
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Poliklinik
11.00 – 12.00 WIB Visite ruangan
2. Selasa
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Bed side teaching
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Poliklinik
11.00 – 12.00 WIB Bed side teaching
3. Rabu
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Clinical scientific session
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Poliklinik
11.00 – 12.00 WIB Visite ruangan
4. Kamis
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Case report session
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
5. Jum’at 07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Poliklinik

12
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

11.00 – 12.00 WIB Visite ruangan


12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
Meet the expert (Kasus bedah
13.00 – 15.00 WIB
pada kelainan kongenital 2)
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri

Minggu 4: Kegiatan Rutin Bagian Urologi


No
Hari Jam Kegiatan
.
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Promosi kesehatan di ruangan
Meet the expert (Bedah Urologi
11.00 – 12.00 WIB
1. Senin 1)
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Visite ruangan
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Poliklinik
11.00 – 12.00 WIB Bimbingan di poliklinik
2. Selasa
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Visite ruangan
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Bed side teaching
11.00 – 12.00 WIB Clinical scientific session
3. Rabu
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Visite ruangan
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Poliklinik
Meet the expert (Bedah Urologi
11.00 – 12.00 WIB
4. Kamis 2)
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Visite ruangan
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Case report session
11.00 – 12.00 WIB Bed side teaching
5. Jum’at
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Visite ruangan
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri

Minggu 5: Kegiatan Rutin Bagian Bedah Onkologi

13
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

No
Hari Jam Kegiatan
.

14
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien


09.00 – 11.00 WIB Poliklinik
11.00 – 12.00 WIB Bed side teaching
1. Senin
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Clinical scientific session
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Visite ruangan
11.00 – 12.00 WIB Bimbingan di ruangan
2. Selasa 12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
Meet the expert (Tumor
13.00 – 15.00 WIB
payudara)
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Poliklinik
11.00 – 12.00 WIB Bimbingan di poliklinik
3. Rabu
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Promosi kesehatan di poliklinik
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Belajar mandiri
11.00 – 12.00 WIB Bed side teaching
4. Kamis
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Case report session
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Visite ruangan
11.00 – 12.00 WIB Meet the expert (Tumor tiroid)
5. Jum’at
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Promosi Kesehatan di ruangan
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri

Minggu 6: Kegiatan Rutin Bagian Onkologi


No
Hari Jam Kegiatan
.
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Poliklinik
11.00 – 12.00 WIB Bed side teaching
1. Senin
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Clinical scientific session
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
2. Selasa 07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Visite ruangan
11.00 – 12.00 WIB Bimbingan di OK

15
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

12.00 – 13.00 WIB ISHOMA


Meet the expert (STT dan
13.00 – 15.00 WIB
Tumor Ganas Kulit)
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Poliklinik
11.00 – 12.00 WIB Bimbingan di poliklinik
3. Rabu
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Promosi kesehatan di poliklinik
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Visite ruangan
11.00 – 12.00 WIB Bed side teaching
4. Kamis
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Case report session
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Visite ruangan
11.00 – 12.00 WIB Promosi kesehatan di ruangan
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
5. Jum’at Meet the expert (Diagnosis dan
Tatalaksana Limfadenopati
13.00 – 15.00 WIB
Regio Coli dan Tumor Ganas
Kepala Leher)
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri

Minggu 7: Kegiatan Rutin Bagian Bedah Saraf


No
Hari Jam Kegiatan
.
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Poliklinik
11.00 – 12.00 WIB Bimbingan di poliklinik
1. Senin
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Bed side teaching
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Poliklinik
11.00 – 12.00 WIB Clinical scientific session
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
2. Selasa
Meet the expert (Diagnosis dan
13.00 – 15.00 WIB Tatalaksana Trauma Kepala
dan Non Trauma)
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
3. Rabu 07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien

16
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

09.00 – 11.00 WIB Poliklinik


11.00 – 12.00 WIB Promosi kesehatan di poliklinik
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Bed side teaching
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Poliklinik
Meet the expert (Penanganan
11.00 – 12.00 WIB Bedah dalam Kondisi
4. Kamis
Bencana)
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Visite ruangan
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Poliklinik
11.00 – 12.00 WIB Case report session
5. Jum’at
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Visite ruangan
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri

Minggu 8: Kegiatan Rutin Bagian Bedah Plastik


No
Hari Jam Kegiatan
.
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Poliklinik
11.00 – 12.00 WIB Bed side teaching
1. Senin
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Clinical scientific session
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Poliklinik
11.00 – 12.00 WIB Promosi kesehatan di poliklinik
2. Selasa 12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
Meet the expert (Bedah Plastik
13.00 – 15.00 WIB
1)
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Poliklinik
11.00 – 12.00 WIB Bed side teaching
3. Rabu
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Visite ruangan
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
4. Kamis 07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Poliklinik

17
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

11.00 – 12.00 WIB Promosi kesehatan di poliklinik


12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
Meet the expert (Bedah Plastik
13.00 – 15.00 WIB
2)
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Poliklinik
11.00 – 12.00 WIB Bimbingan di poliklinik
5. Jum’at
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Case report session
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri

Minggu 9: Kegiatan Rutin Bagian Bedah Orthopedi


No
Hari Jam Kegiatan
.
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Promosi kesehatan di ruangan
11.00 – 12.00 WIB Clinical scientific session
1. Senin
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Bed side teaching
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
Meet the expert (Bedah
09.00 – 11.00 WIB
Orthopedi 1)
2. Selasa 11.00 – 12.00 WIB Bimbingan di OK
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Visite ruangan
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Poliklinik
11.00 – 12.00 WIB Promosi kesehatan di poliklinik
3. Rabu
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Visite ruangan
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
Meet the expert (Bedah
09.00 – 11.00 WIB
Orthopedi 2)
4. Kamis 11.00 – 12.00 WIB Post Test
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Visite ruangan
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
5. Jum’at 07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Bed side teaching
11.00 – 12.00 WIB Visite ruangan

18
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

12.00 – 13.00 WIB ISHOMA


13.00 – 15.00 WIB Case report session
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri

Minggu 10: Kegiatan Rutin Bagian Bedah Toraks dan Kardiovaskular


No
Hari Jam Kegiatan
.
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Poliklinik
Meet the expert (Bedah Toraks
11.00 – 12.00 WIB
1. Senin Kardiovaskular 2)
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Promosi kesehatan di ruangan
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Poliklinik
11.00 – 12.00 WIB Bimbingan di poliklinik
2. Selasa
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Clinical scientific session
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Poliklinik
11.00 – 12.00 WIB Promosi kesehatan di poliklinik
3. Rabu
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Bed side teaching
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Poliklinik
Meet the expert (Bedah Toraks
11.00 – 12.00 WIB
4. Kamis Kardiovaskular 2)
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Visite ruangan
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri
07.00 – 09.00 WIB Follow up pasien
09.00 – 11.00 WIB Poliklinik
11.00 – 12.00 WIB Bed side teaching
5. Jum’at
12.00 – 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Case report session
15.00 – 15.30 WIB Belajar mandiri

19
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

E. EVALUASI (ASSESSMENT)
Metode penilaian beserta bobot nilai yang akan diberikan kepada peserta
didik yaitu sebagai berikut:
No Bobot
Metode assessment Minggu
. penilaian
1. Pre Test I 10%
2. Attitude I-X 10%
3. Clinical scientific session I-X 15%
4. Case report/ journal reading I-X 15%
5. Bed side teaching I-X 20%
6. Ujian (tulis dan ujian pasien) IX 30%
Total Nilai Akhir 100%
Mahasiswa akan dinilai dengan 3 metode assessment dan setiap
assessment memiliki nilai bobot tertentu. Hasil akhir dari nilai mahasiswa
ditentukan berdasarkan akumulasi dari ketiga metode assessment tersebut yang
selanjutnya akan dirata-ratakan. Adapun untuk indeks nilai yang akan diperoleh
mahasiswa adalah sebagai berikut:
Nilai Angka Nilai Mutu Angka Mutu Mutu
85,00 - 100 A 4 Istimewa
80,00-84,99 A- 3,70 Sangat baik
75,00-79,99 B+ 3,30 Antara sangat baik dan memuaskan
70,00-74,99 B 3 Baik
65,00-69,99 B- 2,70 Cukup baik
60,00-64,99 C+ 2,30 Antara baik dan cukup
55,00-59,99 C 2 Kurang
50,00-54,99 C- 1,70 Sangat kurang
45,00-49,99 D 1 Gagal
<44,99 E 0 Tidak lulus
0,00 (Tunda) T 0 Tunda

Bila nilai akhir yang diperoleh dibawah standar kelulusan (<80), maka
dokter muda tersebut wajib mengulang selama 1 minggu dan menerima tugas
yang diberikan oleh preseptor serta mengikuti ujian Kembali (sesuai Buku
Panduan Kepaniteraan Klinik Senior). Bagian bedah melakukan evaluasi
bagi setiap dokter muda yang melakukan pelanggaran disiplin dan etika. Bila
terbukti melakukan pelanggaran, maka nilai akhir dokter muda yang bersangkutan
akan dibatalkan dan harus mengulang bagian bedah selama 2 minggu.

20
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

21
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

BAB III
DAFTAR MASALAH DAN PENYAKIT ILMU BEDAH

A. DAFTAR MASALAH PENYAKIT DI DEPARTEMEN ILMU BEDAH


A.1 Bedah Digestif
1. Mata kuning
2. Sulit menelan
3. Nyeri perut (mules, melilit)
4. Nyeri ulu hati
5. Perut kembung
6. Benjolan di daerah perut
7. Muntah (termasuk hijau dan darah)
8. Sulit/ tidak bisa buang air besar
9. Tidak bisa menahan buang air besar
10. Feses seperti dempul
11. Nyeri daerah anus
12. Benjolan / kutil di anus
13. Nafsu makan hilang/ turun/ berlebihan
14. Penurunan berat badan drastis/ mendadak
15. Nyeri abdomen
16. BAB berdarah

A.2 Bedah Anak


1. Muntah
2. Perut kembung
3. Sulit/ tidak bisa buang air besar
4. Tinja berlendir dan berdarah
5. Waktu buang air kecil kulup melembung
6. Air seni campur tinja
7. Kencing dari bagian bawah kemaluan
8. Kemaluan / penis tidak lurus/ bengkok ke bawah

22
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

9. Buah zakar tidak teraba


10. Benjolan di lipat paha

A.3 Bedah Urologi


1. Gangguan miksi (frekuensi, urgensi, disuria, nokturia, hesistensi, anuria)
2. Waktu buang air kecil kulup melembung
3. Hematuria
4. Ejakulasi berdarah
5. Kencing dari bagian bawah kemaluan
6. Kemaluan / penis tidak lurus/ bengkok ke bawah
7. Kencing berpasir/batu
8. Nyeri buah zakar
9. Buah zakar tidak teraba
10. bengkak/benjolan pada alat kelamin/buah zakar
11. Buah zakar merah
12. Nyeri punggung/nyeri pinggang

A.4 Bedah Onkologi


1. Benjolan di jaringan lunak
2. Benjolan di payudara
3. Payudara mengencang bengkak dan/atau nyeri pada Payudara
4. Gangguan/perubahan warna/permukaan payudara (Puting tertarik ke
dalam/ retraksi, Payudara seperti kulit jeruk)
5. Payudara mengeluarkan cairan/discharge
6. Penurunan berat badan drastis/ mendadak
7. Benjolan di leher
8. Mata menonjol (Exopthalmus)
9. Badan dan tangan gemetar
10. Sering lapar dan atau sering haus
11. Benjolan pada ketiak, leher, selangkangan
12. Benjolan di otot-otot

23
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

13. Benjolan di tulang


14. Benjolan pada kulit
15. Tahi lalat berubah sifat (bertambah besar, berubah warna, nyeri,
berambut)
16. Borok di wajah
17. Sariawan yang sulit sembuh di mulut dan lidah
18. Benjolan di bawah telinga

A.5 Bedah Saraf


1. Penurunan kesadaran
2. Nyeri kepala
3. Muntah proyektil
4. Benjolan di tulang belakang dan dahi
5. Bayi kepala membesar
6. Penglihatan kabur

A.6 Bedah Plastik


1. Luka di wajah
2. Bibir sumbing
3. Luka bakar
4. Mulut tidak bisa menutup
5. Wajah tidak simetris
6. Luka sulit sembuh

A.7 Bedah Orthopedi


1. Patah tulang
2. Terkilir
3. Gangguan jalan (sakit, pincang, tidak bisa jalan)
4. Gerakan terbatas
5. Gangguan otot (nyeri, kaku, kram, lemah, mengecil, kontraktur)
6. Gangguan sendi (nyeri, kaku, bengkak, kelainan bentuk)

24
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

7. Kelemahan otot
8. Otot mengecil
9. Tulang bengkok
10. Kelainan bentuk tulang belakang
11. Benjolan di tulang
12. Nyeri tulang

A.8 Bedah Toraks Kardiak Vaskular


1. Sakit dada/ nyeri tulang dada
2. Gangguan bernafas
3. Sesak post trauma
4. Nyeri tungkai saat aktivitas dan/atau saat istirahat (klauddikasio)
5. Rasa dingin di tungkai/kaki
6. Bercak merah/biru di kulit
7. Perdarahan sukar berhenti/cedera vaskular
8. Luka yang tidak sembuh-sembuh
9. Pelebaran pembuluh darah kaki

B. DAFTAR PENYAKIT DEPARTEMEN ILMU BEDAH


B.1 Daftar Penyakit Ilmu Bedah Digestif
N PENYAKIT DIAGNOSIS DIFERENTIAL KOMPETENSI
O
1. Dinding, Rongga Hernia (inguinalis, femoralis,
Abdomen dan skrotalis) reponibilis, 2
Hernia irreponibilis
Hernia (inguinalis, femoralis,
skrotalis) 3B
strangulata, inkarserata
Hernia (diaframatika, hiatus) 2
Hernia umbilikalis 3A
Peritonitis 3B
Perforasi usus 3B
2. Kandung Empedu, Kole(doko)litiasis 2
Saluran Empedu, Kolesistitis 3B
dan Pankreas Karsinoma pancreas 2
3. Kolon dan rektum Karsinoma kolon 2

25
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Fistula 2
Hemoroid grade 1-2 4
Hemoroid grade 3-4 3A

B.2 Daftar Penyakit Ilmu Bedah Anak


N PENYAKIT DIAGNOSIS DIFERENTIAL KOMPETENSI
O
1. Lambung, Omphalocoele-Gastroschisis 2
Duodenum, Stenosis Pilorik 2
Jejunum, Ileum
2. Kolon dan rektum Hirschprung Disease 2
Intususepsi atau invaginasi 3B
Atresia anus 2
Fisura anus 3A

B.3 Daftar Penyakit Ilmu Bedah Urologi


N PENYAKIT DIAGNOSIS DIFERENTIAL KOMPETENSI
O
1. Batu Saluran Batu saluran kemih (vesika
Kemih urinaria, ureter, uretra) tanpa 3B
kolik
2. Genitalia eksterna Epispadias 2
dan interna Hipospadia 2
Hiperplasia prostat jinak 3A
Varikokel 2
Hidrokel 2
Fimosis 4
Parafimosis 3A
Torsio testis 3B
Karsinoma prostat 2
Striktur uretra 2

B.4 Daftar Penyakit Ilmu Bedah Onkologi


N PENYAKIT DIAGNOSIS DIFERENTIAL KOMPETENSI
O
Payudara Fibroadenoma mammae (FAM) 2
1.
Karsinoma payudara 2
2. Endocrine glands Goiter 3A
Goiter pada anak 2
Rujuk balik Goiter 4
Adenoma tiroid 2

26
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Karsinoma tiroid 2
3. Kelenjar Limfe Limfadenopati 3A
dan Darah Limfoma non-Hodgkin's,
1
Hodgkin's
Tumor jinak (kista dermoid,
neuroblastoma) 1
4. Mulut Tumor lidah 2
Tumor rongga/dasar mulut 1
5. Neoplasma Tumor epitel jinak 2
Integumen Keratosis seboroik 2
Kista epitel/ epidermal 2
Kista atheroma 2
Lipoma 4
6. Tumor Epitel Squamous cell carcinoma 2
Premaligna dan
Maligna Basal cell carcinoma 2
7. Tumor Dermis Xanthoma 2
Hemangioma 2
Limfangioma 1
Angiosarkoma 1
Neurofibromatosis (von
2
Recklinghausen)
8. Tumor Sel Lentigo 2
Melanosit Nevus pigmentosus 2
Melanoma maligna 1

B.5 Daftar Penyakit Ilmu Bedah Saraf


No PENYAKIT DIAGNOSIS DIFFERENTIAL KOMPETENSI
Penyakit Hematom intraserebral 3B
1.
Neurovaskuler Perdarahan subaraknoid 3B
Trauma Hematom/ perdarahan epidural 3B
2.
Hematom/ perdarahan subdural 3B
3. Genetik & Spina bifida 2
Kongenital Hidrosefalus kongenital 2
Ensefalokel 2
4. Tumor SSP Tumor otak primer 2
Tumor otak sekunder 2

B.6 Daftar Penyakit Ilmu Bedah Plastik


N PENYAKIT DIFFERENTIAL DIAGNOSIS KOMPETENSI
O
1. Trauma Trauma kelopak mata (kontusio, 3A
abrasi, avulsi, laserasi, ruptur)

27
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Trauma tumpul dan tajam 3B


Vulnus laseratum, punctum 4
Vulnus laceratum, punctum di 2
wajah
Vulnus perforatum, penetratum 3B
Fraktur mandibula 3A
Fraktur maksila 3A
Fraktur tulang wajah lain 3A
2. Luka bakar Luka bakar derajat 1 4
Luka bakar derajat 2 ≤ 10% 4
luas permukaan tubuh
Luka bakar derajat 2 > 10% 3B
luas permukaan tubuh
Luka bakar derajat 3 3B
3. Luka akibat Luka akibat trauma dingin 3B
penyebab lainnya Luka akibat bahan kimia 3B
Luka akibat sengatan listrik 3B
4. Kelainan Sumbing pada bibir dan palatum 2
kongenital Sumbing bibir 2
(labiopalatognatoschizis)

B.7 Daftar Penyakit Ilmu Bedah Orthopedi


N
PENYAKIT DIAGNOSIS DIFERENTIAL KOMPETENSI
O
1. Fraktur dan
Fraktur terbuka, tertutup 3B
dislokasi
Fraktur klavikula 3A
Fraktur patologis 2
Fraktur dan dislokasi tulang
2
belakang
Dislokasi pada sendi ekstremitas 3B
2. Infeksi tulang Artritis septik 3A
dan sendi Tenosinovitis supuratif 3A
Spondilitis, spondilodisitis 2
Spondilitis TB 3B
Osteomielitis 3B
3. Tumor tulang Tumor tulang primer, sekunder 2
Osteosarkoma 1
Sarcoma Ewing 1
4. Kelainan Osteogenesis imperfekta 1
kongenital Ricketsia, osteomalasia 1
pada tulang Akondroplasia 2
Displasia fibrosa 2
Hemifasial / craniofacial 2

28
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

microsomia
Kelainan bentuk tulang
belakang (skoliosis,
2
kifosis, lordosis)
Displasia panggul 2
Malformasi kongenital
(genovarum, genovalgum, club
2
foot, pes planus)

B.8 Daftar Penyakit Ilmu Bedah Toraks Kardiak Vaskular


N DIAGNOSIS
PENYAKIT KOMPETENSI
O DIFERENTIAL
1. Kegawatdaruratan Trauma vascular 3B
Trauma toraks 3B
Iskemik tungkai akut 3B
2. Arteri dan Vena Peripheral artery disease 3A
Varises (primer, sekunder) 3A
3. Penyakit Jantung Kelainan jantung
Bawaan kongenital (Ventricular
Septal Defect, Atrial
Septal Defect, Patent 2
Ductus Arteriosus,
Tetralogy of Fallot)

29
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

MINGGU 1 BEDAH DIGESTIF

1.1 Alur Diagnostik Bedah Digestif


1.1.1 Anamnesis Kasus Bedah Digestive
a. Informasi Awal
Tanggal dan Waktu selalu penting. Pastikan untuk mendokumentasikan
tanggal dan waktu anda mengevaluasi pasien, terutama dalam keadaan mendesak,
darurat, atau kebutuhan rumah sakit.1

b. Mengenali Identitas Pasien


Termasuk usia, jenis kelamin, status perkawinan, dan pekerjaan. Sumber
riwayat atau rujukan dapat berupa pasien, anggota keluarga atau teman, petugas,
konsultan, atau rekam medis. Menentukan sumber rujukan membantu anda
menilai jenis informasi yang diberikan dan kemungkinan bias.1

c. Keluhan Utama
Satu atau lebih gejala atau masalah yang menyebabkan pasien mencari
perawatan. Berusahalah untuk mengutip kata-kata pasien. Misalnya, "Perut saya
sakit dan saya merasa tidak enak." Terkadang pasien tidak memiliki keluhan
khusus. Laporkan tujuan mereka sebagai gantinya. Misalnya, "Saya datang untuk
pemeriksaan rutin saya".1

d. Riwayat Penyakit Sekarang


Bagian riwayat ini adalah penjelasan lengkap, jelas, dan kronologis dari
masalah yang mendorong pasien untuk mencari perawatan. Narasi harus
mencakup permulaan masalah, latar di mana ia berkembang, manifestasinya, dan
perawatan apa pun yang didapat.1
1) Setiap gejala utama harus ditandai dengan baik, dengan deskripsi:
 Lokasi
 Kualitas
 Kuantitas atau keparahan

30
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

 Waktu, termasuk onset, durasi, dan frekuensi


 Pengaturan di mana itu terjadi
 Faktor-faktor yang memperburuk atau menghilangkan gejala, dan
 Manifestasi terkait.
2) Informasi lain sering relevan, seperti faktor risiko penyakit arteri
koroner pada pasien dengan nyeri dada, atau pengobatan saat ini pada
pasien dengan sinkop. “Penyakit Sekarang” harus mengungkapkan
respons pasien terhadap gejalanya dan apa pengaruh penyakit tersebut
terhadap kehidupan pasien. Selalu ingat, data mengalir secara spontan
dari pasien, tetapi alur anamnesis secara lisan dan terlulis adalah milik
anda. Pasien sering memiliki lebih dari satu gejala atau kekhawatiran.
Setiap gejala memiliki paragraf dan deskripsi lengkapnya sendiri.1
3) Obat harus dicatat, termasuk nama, dosis, cara pakai, dan frekuensi
penggunaan. Serta daftar pengobatan rumahan, obat-obatan tanpa
resep, vitamin, suplemen mineral atau herbal, kontrasepsi oral, dan
obat-obatan yang dipinjam dari anggota keluarga atau teman. Minta
pasien untuk membawa semua obat mereka sehingga anda dapat
melihat dengan tepat apa yang mereka minum.1
4) Alergi, termasuk reaksi spesifik terhadap setiap obat, seperti ruam
atau mual, harus dicatat, serta alergi terhadap makanan, serangga, atau
faktor lingkungan.1
5) Riwayat kebiasan, misalnya merokok, termasuk jenisnya. Jika
seseorang telah berhenti, catat berapa lama. Penggunaan alkohol dan
obat-obatan terlarang.1

e. Riwayat Penyakit Terdahulu


1) Penyakit masa kanak-kanak, seperti campak, rubella, gondongan,
batuk rejan, cacar air, demam rematik, demam berdarah, dan polio,
termasuk dalam Riwayat Masa Lalu. Juga termasuk penyakit kronis
pada masa kanak-kanak.1

31
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

2) Berikan informasi terkait Penyakit Saat Dewasa di masing-masing


dari empat bagian:1
 Medis: Penyakit seperti diabetes, hipertensi, hepatitis, asma, dan
HIV; rawat inap; jumlah dan jenis kelamin pasangan seksual; dan
praktik seksual berisiko
 Operasi: Tanggal, indikasi, dan jenis operasi
 Obstetri/Ginekologi: Riwayat kebidanan, riwayat menstruasi,
metode kontrasepsi, dan fungsi seksual
 Psikiatri: Penyakit dan kerangka waktu, diagnosis, rawat inap, dan
perawatan
3) Aspek pemeliharaan kesehatan tertentu, terutama imunisasi dan tes
skrining. Untuk imunisasi, cari tahu apakah pasien sudah mendapat
vaksin tetanus, pertusis, difteri, polio, campak, rubella, gondongan,
influenza, varicella, hepatitis B, Haemophilus influenzae tipe B, dan
pneumokokus. Untuk tes skrining, tinjau tes umbi culin, Pap smear,
mammogram, tes tinja untuk darah samar, dan tes kolesterol, bersama
dengan hasil dan kapan terakhir kali dilakukan. Jika pasien tidak
mengetahui informasi ini, izin tertulis mungkin diperlukan untuk
mendapatkan rekam medis lama.1

f. Riwayat Penyakit Keluarga


Tinjau setiap kondisi berikut dan catat apakah ada atau tidak ada dalam
keluarga: hipertensi, penyakit arteri koroner, peningkatan kadar kolesterol, stroke,
diabetes, penyakit tiroid atau ginjal, radang sendi, TBC, asma atau penyakit paru-
paru, sakit kepala, gangguan kejang, penyakit mental, bunuh diri, penyalahgunaan
zat, dan alergi, serta gejala yang dilaporkan oleh pasien. Tanyakan riwayatnya
tentang kanker payudara, ovarium, usus besar, atau prostat. Tanyakan tentang
penyakit yang diturunkan secara genetik.1

32
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

g. Kebiasaan Sosial dan Pribadi


Riwayat Pribadi dan Sosial menangkap kepribadian dan minat pasien,
sumber dukungan, kekuatan, dan ketakutan. Situasi rumah, sumber stres, baik
baru-baru ini maupun jangka panjang, situasi keuangan, dan aktivitas hidup
sehari-hari. Kebiasaan gaya hidup yang meningkatkan kesehatan atau
menimbulkan risiko seperti olahraga dan diet.1
Pikirkan tentang mengajukan serangkaian pertanyaan mulai dari "kepala
sampai kaki." Mewawancarai pasien menghasilkan berbagai temuan yang dapat
diatur ke dalam format tertulis setelah wawancara dan pemeriksaan selesai 1. List
di bawah ini adalah serangkaian pertanyaan standar pada saat anamnesis1:
1) Umum: Berat badan biasa, perubahan berat badan baru-baru ini,
pakaian apa pun yang lebih ketat atau longgar dari sebelumnya.
Kelemahan, kelelahan, atau demam.
2) Kulit: Ruam, benjolan, luka, gatal, kekeringan, perubahan warna;
perubahan pada rambut atau kuku; perubahan ukuran atau warna tahi
lalat.
3) Kepala: Sakit kepala, cedera kepala, pusing, pusing. Mata:
Penglihatan, kacamata atau lensa kontak, pemeriksaan terakhir, nyeri,
kemerahan, robekan berlebihan, penglihatan ganda atau kabur, bintik-
bintik, bintik, lampu berkedip, glaukoma, katarak. Telinga:
Pendengaran, tinitus, vertigo, sakit telinga, infeksi, sekret. Jika
pendengaran menurun, gunakan atau tidak gunakan alat bantu dengar.
Hidung dan sinus: Sering masuk angin; hidung tersumbat, keluar
cairan, atau gatal; demam alergi serbuk bunga; mimisan; masalah
sinus. Tenggorokan (atau mulut dan faring): Kondisi gigi dan gusi;
gusi berdarah; gigi palsu, jika ada, dan cara pemasangannya;
pemeriksaan gigi terakhir; lidah sakit; mulut kering; sering sakit
tenggorokan; suara serak.
4) Leher: "Kelenjar bengkak"; gondok; benjolan, nyeri, atau kaku pada
leher.

33
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

5) Payudara: Benjolan, nyeri, atau ketidaknyamanan; keluarnya puting


susu; praktik pemeriksaan diri.
6) Pernapasan: Batuk, dahak (warna, kuantitas), hemoptisis, dispnea,
mengi, radang selaput dada, rontgen dada terakhir. Anda mungkin
ingin memasukkan asma, bronkitis, emfisema, pneumonia, dan
tuberkulosis.
7) Kardiovaskular: Gangguan jantung, tekanan darah tinggi, demam
rematik, murmur jantung; nyeri dada atau ketidaknyamanan; palpitasi,
dispnea, ortopnea, dispnea nokturnal paroksismal, edema; hasil
diogram elektrokardi masa lalu atau tes kardiovaskular lainnya.
8) Gastrointestinal: Kesulitan menelan, mulas, nafsu makan, mual.
Buang air besar, warna dan ukuran tinja, perubahan kebiasaan buang
air besar, nyeri saat buang air besar, pendarahan dubur atau tinja hitam
atau lembek, wasir, sembelit, diare. Sakit perut, intoleransi makanan,
sendawa berlebihan atau keluarnya gas. Penyakit kuning, hati, atau
masalah kandung empedu; hepatitis.
9) Pembuluh darah perifer: klaudikasio intermiten; keram kaki;
pembuluh mekar; gumpalan masa lalu di pembuluh darah;
pembengkakan di betis, tungkai, atau kaki; perubahan warna pada
ujung jari atau jari kaki selama cuaca dingin; bengkak dengan
kemerahan atau nyeri tekan.
10) Kencing: Frekuensi buang air kecil, poliuria, nokturia, urgensi, rasa
terbakar atau nyeri saat buang air kecil, hematuria, infeksi saluran
kemih, nyeri ginjal atau pinggang, batu ginjal, kolik ureter, nyeri
suprapubik, inkontinensia; pada pria, penurunan kaliber atau kekuatan
aliran urin, keragu-raguan, dribbling.
11) Kelamin: Pria: Hernia, keluarnya cairan dari atau luka pada penis,
nyeri atau massa testis, nyeri atau pembengkakan skrotum, riwayat
penyakit menular seksual dan perawatannya. Kebiasaan seksual,
minat, fungsi, kepuasan, metode pengendalian kelahiran, penggunaan
kondom, dan masalah. Kekhawatiran tentang infeksi HIV. Wanita:

34
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Usia saat menarche; keteraturan, frekuensi, dan durasi menstruasi;


jumlah perdarahan; perdarahan di antara periode atau setelah
hubungan seksual; periode menstruasi terakhir; dismenore;
ketegangan sebelum menstruasi. Usia saat menopause, gejala
menopause, perdarahan pasca menopause. Keputihan, gatal, luka,
benjolan, penyakit menular seksual dan pengobatannya. Jumlah
kehamilan, jumlah dan jenis persalinan, jumlah aborsi (spontan dan
induksi), komplikasi kehamilan, metode pengendalian kelahiran.
Preferensi seksual, minat, fungsi, kepuasan, masalah apa pun,
termasuk dispareunia. Kekhawatiran tentang infeksi HIV.
12) Muskuloskeletal: Nyeri otot atau sendi, kekakuan, arthritis, asam urat,
sakit punggung. Jika ada, jelaskan lokasi sendi atau otot yang terkena,
pembengkakan, kemerahan, nyeri, nyeri tekan, kekakuan, kelemahan,
atau keterbatasan gerak atau aktivitas; termasuk waktu gejala
(misalnya, pagi atau sore hari), durasi, dan riwayat trauma. Nyeri leher
atau punggung bawah. Nyeri sendi dengan gejala sistemik seperti
demam, menggigil, ruam, anoreksia, penurunan berat badan, atau
kelemahan.
13) Psikiatri: Gugup; ketegangan; suasana hati, termasuk depresi,
perubahan memori, upaya bunuh diri, jika relevan.
14) Neurologis: Perubahan suasana hati, perhatian, atau ucapan;
perubahan orientasi, ingatan, wawasan, atau penilaian; sakit kepala,
pusing, vertigo; pingsan, pingsan, kejang, kelemahan, kelumpuhan,
mati rasa atau kehilangan sensasi, kesemutan atau “kesemutan”,
tremor atau gerakan tak sadar lainnya; kejang.
15) Hematologi: Anemia, mudah memar atau berdarah, transfusi
sebelumnya, reaksi transfusi.
16) Endokrin: Masalah tiroid, intoleransi panas atau dingin, keringat
berlebihan, rasa haus atau lapar yang berlebihan, poliuria, perubahan
ukuran sarung tangan atau sepatu.

35
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Contoh anamnesis kasus bedah digestive


Upper Abdominal Pain, Discomfort, dan Heartburn.
Acute Upper Abdominal Pain atau Discomfort:1
a. Pertama-tama tentukan waktu nyeri. Apakah itu akut atau kronis? Nyeri
perut akut memiliki banyak pola. Apakah rasa sakit mulai tiba-tiba atau
bertahap? Kapan itu dimulai? Berapa lama itu bertahan? Bagaimana
polanya selama periode 24 jam? Selama berminggu-minggu atau berbulan-
bulan? Apakah Anda berurusan dengan penyakit akut atau kronis dan
berulang?
b. Minta pasien untuk menggambarkan rasa sakit dengan kata-kata mereka
sendiri. Mengejar detail penting: "Dari mana rasa sakit itu mulai?"
"Apakah itu memancar atau bepergian ke mana saja?" “Seperti apa rasa
sakitnya?” Jika pasien kesulitan menggambarkan rasa sakitnya, coba
tawarkan beberapa pilihan: “Apakah itu sakit, terbakar, menggerogoti?”
c. Kemudian minta pasien untuk menunjukkan rasa sakitnya. Pasien tidak
selalu jelas ketika mereka mencoba untuk menggambarkan dengan kata-
kata di mana rasa sakit yang paling intens. Kata-kata kasar quad di mana
rasa sakit itu berada dapat membantu. Seringkali organ yang mendasari
terlibat. Jika pakaian mengganggu, ulangi pertanyaan selama pemeriksaan
fisik.
d. Minta pasien untuk mengurutkan tingkat keparahan nyeri pada skala 1
sampai 10. Perhatikan bahwa tingkat keparahan tidak selalu membantu
Anda mengidentifikasi penyebabnya. Sensitivitas terhadap nyeri perut
sangat bervariasi dan cenderung berkurang pada pasien yang lebih tua,
menutupi kondisi perut akut. Ambang nyeri dan bagaimana pasien
mengakomodasi nyeri selama aktivitas sehari-hari juga mempengaruhi
penilaian keparahan.

36
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

e. Saat Anda menyelidiki faktor-faktor yang memperparah atau


menghilangkan rasa sakit, berikan perhatian khusus pada hubungan apa
pun dengan makanan, alkohol, obat-obatan (termasuk aspirin dan obat-
obatan serupa aspirin dan obat-obatan yang dijual bebas), stres, posisi
tubuh, dan penggunaan dari antasida. Tanyakan apakah gangguan
pencernaan atau ketidaknyamanan berhubungan dengan aktivitas dan
berkurang dengan istirahat.

Chronic Upper Abdominal Discomfort or Pain:1


Untuk gejala yang lebih kronis, dispepsia didefinisikan sebagai
ketidaknyamanan kronis atau berulang atau nyeri yang berpusat di perut bagian
atas. Ketidaknyamanan didefinisikan sebagai perasaan negatif subjektif yang tidak
menyakitkan. Ini dapat mencakup berbagai gejala seperti kembung, nau laut, perut
bagian atas penuh, dan mulas.
a. Perhatikan bahwa kembung, mual, atau sendawa dapat terjadi sendiri dan
terlihat pada gangguan lain. Ketika mereka terjadi sendiri mereka tidak
memenuhi kriteria dispepsia.
b. Banyak pasien dengan ketidaknyamanan atau nyeri perut bagian atas akan
mengalami dispepsia fungsional, atau nonulkus, yang didefinisikan
sebagai riwayat ketidaknyamanan atau mual perut bagian atas nonspesifik
selama 3 bulan yang tidak disebabkan oleh kelainan struktural atau
penyakit ulkus peptikum. Gejala biasanya berulang dan biasanya muncul
selama lebih dari 6 bulan.
Banyak pasien dengan rasa tidak nyaman atau nyeri kronis pada perut
bagian atas mengeluh terutama mulas, refluks, atau regurgitasi. Jika pasien
melaporkan gejala ini lebih dari sekali seminggu, kemungkinan besar mereka
menderita penyakit refluks gastroesofageal (GERD) sampai terbukti sebaliknya1.
a. Heartburn adalah nyeri terbakar retrosternal yang meningkat terjadi
setiap minggu atau lebih sering. Hal ini biasanya diperburuk oleh
makanan seperti alkohol, coklat, buah jeruk, kopi, bawang, dan

37
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

peppermint; atau posisi seperti membungkuk, berolahraga, mengangkat,


atau berbaring terlentang.
b. Beberapa pasien dengan GERD memiliki gejala pernapasan atipikal
seperti batuk, mengi, dan pneumonia aspirasi. Lainnya mengeluh gejala
faring, seperti suara serak dan sakit tenggorokan kronis.
c. Beberapa pasien mungkin memiliki “gejala alarm”, seperti kesulitan
menelan (disfagia), nyeri menelan (odyophagia), muntah berulang, bukti
perdarahan gastrointestinal, penurunan berat badan, anemia, atau faktor
risiko kanker lambung.

Lower Abdominal Pain and Discomfort—Acute and Chronic


Acute Lower Abdominal Pain
Pasien mungkin mengeluhkan nyeri akut yang terlokalisasi pada kuadran
kanan bawah. Cari tahu apakah itu tajam dan terus menerus atau terputus-putus
dan kram, menyebabkan mereka berlipat ganda. Ketika pasien melaporkan nyeri
akut di kuadran kiri bawah atau nyeri perut difus, selidiki gejala terkait seperti
demam dan kehilangan nafsu makan.1

Chronic Lower Abdominal Pain.


Jika ada nyeri kronis di kuadran perut bagian bawah, tanyakan tentang
perubahan kebiasaan buang air besar dan diare dan konstipasi yang bergantian.1
Gastrointestinal Symptoms Associated With Abdominal Pain
Mual, sering digambarkan sebagai "merasa sakit perut," dapat berkembang
menjadi Retching dan muntah. Retching menggambarkan spasme involunter pada
perut, diafragma, dan esofagus yang mendahului dan berujung pada muntah,
pengeluaran isi lambung secara paksa dari mulut. Beberapa pasien mungkin tidak
benar-benar muntah tetapi meningkatkan isi esofagus atau lambung tanpa mual
atau muntah, yang disebut regurgitasi. Tanyakan tentang muntahan atau bahan
yang dimuntahkan dan periksa jika memungkinkan. Warna? bau? berapa banyak
(satu sendok teh, dua sendok teh, secangkir)?, mengandung darah?. Jus lambung
jernih dan berlendir. Sejumlah kecil empedu kekuningan atau kehijauan umum

38
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

terjadi dan tidak memiliki arti khusus. Muntah kecoklatan atau kehitaman dengan
tampilan "bubuk kopi" menunjukkan darah diubah oleh asam lambung. Emesis
ampas kopi atau darah merah disebut hematemesis. Apakah ada dehidrasi atau
ketidak seimbangan elektrolit dari muntah berkepanjangan, atau kehilangan darah
yang signifikan? Apakah gejala pasien menunjukkan adanya komplikasi muntah,
seperti aspirasi ke paru-paru, terlihat pada pasien yang lemah, tumpul, atau lanjut
usia?1.
Anoreksia adalah hilangnya atau kurang nafsu makan. Cari tahu apakah itu
timbul dari intoleransi terhadap makanan tertentu atau keengganan untuk makan
karena ketidaknyamanan yang diantisipasi. Periksa gejala terkait mual dan
muntah. Pasien mungkin mengeluh perut penuh yang tidak menyenangkan setelah
makan ringan atau sedang, atau cepat kenyang, ketidakmampuan untuk makan
makanan lengkap.1

Gejala Gastrointestinal Lain


Disfagia dan/atau Odinofagia.
Pasien mungkin melaporkan kesulitan menelan dari gangguan perjalanan
makanan padat atau cairan dari mulut ke perut, atau disfagia. Makanan tampaknya
lengket, tertahan, atau "tidak turun dengan benar", menunjukkan gangguan
motilitas atau anomali struktural. Sensasi benjolan di tenggorokan atau daerah
retrosternal yang tidak berhubungan dengan menelan bukanlah disfagia yang
sebenarnya1.
Tanyakan jenis makanan mana yang memicu gejala: makanan padat, atau
makanan padat dan cair? Tetapkan waktunya. Kapan disfagia dimulai? Apakah itu
tenda intermit atau persisten? Apakah itu maju? Jika ya, dalam jangka waktu
berapa lama? Apakah ada gejala dan kondisi medis yang terkait? Apakah ada
odinofagia, atau nyeri saat menelan?.1

Change in Bowel Function.


Anda akan sering perlu menilai fungsi usus. Mulailah dengan pertanyaan
terbuka: “Bagaimana pergerakan usus Anda?” “Seberapa sering mereka?”

39
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

"Apakah kamu memiliki kesulitan?" "Apakah kamu melihat ada perubahan?"


Kisaran normalnya luas. Parameter saat ini menyarankan minimal mungkin
serendah dua kali buang air besar per minggu. Beberapa pasien mungkin
mengeluhkan keluarnya gas yang berlebihan, atau flatus, biasanya sekitar 600 ml
per hari.1

Diarrhea and Constipation.


Pasien sangat bervariasi dalam pandangan mereka tentang diare dan
sembelit. Peningkatan kadar air tinja menyebabkan diare, atau volume tinja lebih
dari 200 gram dalam 24 jam. Namun, pasien biasanya fokus pada perubahan feses
yang encer atau frekuensi yang meningkat.1
a. Tanyakan tentang durasinya. Diare akut berlangsung selama 2 minggu atau
kurang. Diare kronis didefinisikan sebagai berlangsung 4 minggu atau
lebih.
b. Menanyakan ciri-ciri diare, meliputi volume, frekuensi, dan konsistensi.
c. Apakah ada lendir, nanah, atau darah? Apakah ada tenesmus terkait,
dorongan konstan untuk buang air besar, disertai dengan rasa sakit, kram,
dan mengejan yang tidak disengaja?
d. Apakah diare terjadi pada malam hari?
e. Apakah tinja berminyak atau berminyak? Berbusa? Berbau busuk?
Mengambang di permukaan karena gas yang berlebihan.
1) Fitur terkait penting dalam mengidentifikasi kemungkinan penyebab.
mengidentifikasi obat-obatan saat ini, termasuk obat-obatan alternatif
dan terutama antibiotik, perjalanan baru-baru ini, pola diet, kebiasaan
buang air besar awal, dan faktor risiko untuk gangguan kekebalan.
2) Gejala umum lainnya adalah sembelit. Definisi terbaru menetapkan
bahwa konstipasi harus ada setidaknya selama 12 minggu dari 6 bulan
sebelumnya dengan setidaknya dua dari kondisi berikut: kurang dari 3
buang air besar per minggu; 25% atau lebih buang air besar dengan
mengejan atau merasa evakuasi tidak lengkap; tinja kental atau keras;
atau fasilitasi manual.

40
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

f. Tanyakan tentang frekuensi buang air besar, buang air besar yang keras
atau menyakitkan, mengejan, dan rasa pengosongan atau tekanan rektum
yang tidak lengkap.
g. Periksa apakah pasien benar-benar melihat tinja dan dapat
menggambarkan warna dan massanya.
h. Obat apa yang telah dicoba pasien? Apakah obat atau stres berperan?
Apakah ada gangguan sistemik terkait?
i. Kadang-kadang tidak ada pengeluaran feses atau gas, atau obstipasi.
j. Tanyakan tentang warna tinja. Apakah ada melena, atau tinja berwarna
hitam, atau hematochezia, tinja yang berwarna merah atau merah marun?
Mengejar detail penting seperti jumlah dan frekuensi darah apa pun.
Apakah bercampur dengan tinja atau di permukaan? Apakah ada goresan
di kertas toilet atau lebih banyak?

Jaundice
Pada beberapa pasien, Jaundice atau ikterus, perubahan warna kulit
menjadi kekuningan dan sklera akibat peningkatan kadar biliru bin, pigmen
empedu yang terutama berasal dari pemecahan hemoglobin. Hepatosit juga tidak
mengkonjugasi, atau menggabungkan, bilirubin tak terkonjugasi dengan zat lain,
membuat air empedu larut, dan kemudian mengeluarkannya ke dalam empedu.
Empedu melewati duktus sistikus ke dalam duktus biliaris komunis, yang juga
mengalirkan duktus ekstrahepatik dari hati. Lebih distal duktus biliaris komunis
dan duktus pankreatikus bermuara ke duodenum di ampula Vater. Mekanisme
Jaundice antara lain sebagai berikut:1
a. Peningkatan produksi bilirubin
b. Penurunan pengambilan bilirubin oleh hepatosit
c. Penurunan kemampuan hati untuk mengkonjugasikan bilirubin
d. Penurunan ekskresi bilirubin ke dalam empedu, mengakibatkan
penyerapan bilirubin terkonjugasi kembali ke dalam darah
Ikterus intrahepatik dapat berupa hepatoseluler, dari kerusakan hepatosit,
atau kolestatik, dari gangguan ekskresi akibat kerusakan hepatosit atau saluran

41
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

empedu intrahepatik. Ikterus ekstrahepatik timbul dari obstruksi duktus biliaris


ekstrahepatik, paling sering duktus kistikus dan duktus biliaris komunis.1
Saat Anda menilai pasien dengan penyakit jaundice, berikan perhatian
khusus pada gejala yang terkait dan pengaturan di mana penyakit itu terjadi. Apa
warna urin saat pasien jatuh sakit? Ketika tingkat bilirubin terkonjugasi meningkat
dalam darah, itu dapat diekskresikan ke dalam urin, mengubah urin menjadi coklat
kekuningan tua atau warna teh. Bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air,
sehingga tidak diekskresikan ke dalam urin.1
Tanyakan juga tentang warna tinja. Ketika ekskresi empedu ke dalam usus
benar-benar terhambat, tinja menjadi abu-abu atau berwarna terang, atau acholic,
tanpa empedu. Apakah kulit terasa gatal tanpa penjelasan lain yang jelas? Apakah
ada rasa sakit yang terkait? Apa polanya? Apakah itu berulang di masa lalu?
Tanyakan tentang faktor risiko penyakit hati, seperti:1
a. Hepatitis: Perjalanan atau makan di daerah dengan sanitasi yang buruk,
konsumsi air atau bahan makanan yang terkontaminasi (hepatitis A);
pajanan selaput lendir atau parenteral terhadap cairan tubuh yang menular
seperti darah, serum, air mani, dan air liur, terutama melalui kontak
seksual dengan pasangan yang terinfeksi atau penggunaan jarum suntik
bersama untuk penggunaan narkoba suntikan (hepatitis B); penggunaan
obat terlarang intravena; atau transfusi darah (hepatitis C)
b. Hepatitis alkoholik atau sirosis alkoholik (wawancarai pasien dengan
seksama tentang penggunaan alkohol)
c. Kerusakan hati toksik akibat obat-obatan, pelarut industri, atau racun
lingkungan
d. Penyakit kandung empedu atau pembedahan yang dapat menyebabkan
obstruksi bilier ekstrahepatik
e. Gangguan herediter dalam Riwayat Keluarga

1.1.2 Pemeriksaan Fisik Abdomen


Untuk pemeriksaan abdomen yang terampil, Anda memerlukan
pencahayaan yang baik dan pasien yang rileks, dengan paparan abdomen tepat di

42
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

atas prosesus xiphoid hingga simfisis pubis. Selangkangan harus terlihat. Alat
kelamin harus tetap tertutup. Otot-otot perut harus rileks untuk meningkatkan
semua aspek pemeriksaan, terutama ketika palpasi. Catatan penting ketika akan
melakukan pemeriksaan abdomen:1
a. Periksa apakah kandung kemih pasien kosong.
b. Buat pasien nyaman dalam posisi terlentang, dengan bantal di bawah
kepala dan mungkin bantal lain di bawah lutut. Geser tangan Anda di
bawah punggung bawah untuk melihat apakah pasien rileks dan berbaring
rata di atas meja.
c. Minta pasien untuk menjaga lengan di samping atau terlipat di dada. Jika
lengan berada di atas kepala, dinding perut meregang dan mengencang,
membuat palpasi menjadi sulit. Pindahkan gaun ke bawah garis puting,
dan tirai setinggi simfisis pubis.
d. Sebelum Anda memulai palpasi, minta pasien untuk menunjukkan area
mana saja yang nyeri sehingga Anda dapat memeriksa area tersebut
terakhir kali.
e. Hangatkan tangan dan stetoskop Anda. Untuk menghangatkan tangan
Anda, gosokkan keduanya atau letakkan di bawah air panas. Anda juga
dapat meraba melalui gaun pasien untuk menyerap kehangatan dari tubuh
pasien sebelum memperlihatkan perut.
f. Dekati pasien dengan tenang dan hindari gerakan yang cepat dan tidak
terduga. Perhatikan wajah pasien untuk tanda-tanda nyeri atau
ketidaknyamanan. Pastikan Anda menghindari kuku yang panjang.
g. Alihkan perhatian pasien jika perlu dengan percakapan atau pertanyaan.
Jika pasien ketakutan atau geli, mulailah palpasi dengan tangan pasien di
bawah tangan Anda. Setelah beberapa saat, selipkan tangan Anda ke
bawah untuk meraba secara langsung.

Berdiri di sisi kanan pasien dan lanjutkan secara teratur dengan inspeksi,
auskultasi, perkusi, dan palpasi.1
Inspeksi

43
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Mulai dari posisi biasakan berdiri di sisi kanan tempat tidur. Periksa permukaan,
kontur, dan gerakan perut, termasuk yang berikut:1
a. Kulit. catatan: Bekas luka. jelaskan atau diagram lokasi mereka. striae.
Striae perak tua atau stretch mark adalah normal, vena melebar. Beberapa
vena kecil mungkin terlihat normal, ruam dan luka
b. Umbilikus. Amati kontur dan lokasinya serta adanya peradangan atau
tonjolan yang menunjukkan hernia.
c. Kontur perut
d. Apakah datar, bulat, menonjol, atau skafoid (sangat cekung atau
berlubang)?
e. Apakah panggulnya menonjol, atau adakah tonjolan lokal? Juga survei
daerah inguinal dan femoralis.
f. Apakah perutnya simetris?
g. Apakah ada organ atau massa yang terlihat? Cari hati atau limpa yang
membesar yang telah turun di bawah tulang rusuk.
h. Peristaltik. Amati selama beberapa menit jika Anda mencurigai adanya
obstruksi usus. Peristaltik mungkin terlihat normal pada orang yang sangat
kurus.
i. Pulsasi. Pulsasi aorta normal sering terlihat di epigastrium

Auskultasi
Auskultasi memberikan informasi penting tentang motilitas usus.
Dengarkan perut sebelum melakukan perkusi atau palpasi karena manuver ini
dapat mengubah frekuensi bising usus. Latih auskultasi sampai Anda benar-benar
terbiasa dengan variasi bunyi usus normal dan dapat mendeteksi perubahan yang
menunjukkan peradangan atau obstruksi. Auskultasi juga dapat mengungkapkan
bruit, atau suara vaskular yang menyerupai murmur jantung, di atas aorta atau
arteri lain di perut.1
Tempatkan diafragma stetoskop Anda dengan lembut di perut. Dengarkan
bunyi usus dan catat frekuensi dan karakternya. Suara normal terdiri dari klik dan
gurgle, terjadi pada frekuensi perkiraan 5 hingga 34 per menit. Kadang-kadang

44
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Anda mungkin mendengar borborygmi—gurgles hiperperistaltik yang


berkepanjangan—"perut keroncongan" yang sudah dikenal. Karena bising usus
ditransmisikan secara luas melalui perut, mendengarkan di satu tempat, seperti
kuadran kanan bawah, biasanya sudah cukup.1

Abdominal Bruits dan Friction Rub


Jika pasien memiliki tekanan darah tinggi, dengarkan di epigastrium dan
di setiap kuadran atas untuk mengetahui adanya bruit. Kemudian pada
pemeriksaan, saat pasien duduk, dengarkan juga pada sudut costovertebral. Bruit
epigastrium terbatas pada sistol dapat terdengar normal.1
Dengarkan bruit pada aorta, arteri iliaka, dan arteri femoralis. Bruit
terbatas pada sistol relatif umum, bagaimanapun, dan tidak selalu menandakan
penyakit oklusif. Dengarkan hati dan limpa untuk friction rubs.1

Perkusi
Perkusi membantu Anda untuk menilai jumlah dan distribusi gas di perut
dan untuk mengidentifikasi kemungkinan massa yang padat atau berisi cairan.
Perkusi abdomen dengan ringan pada keempat kuadran untuk menilai distribusi
timpani dan tumpul. Timpani biasanya mendominasi karena gas di saluran cerna,
tetapi area kusam yang tersebar dari cairan dan feses juga khas.1
a. Perhatikan area redup besar yang mungkin mengindikasikan massa di
bawahnya atau organ yang membesar. Pengamatan ini akan memandu
palpasi Anda.
b. Di setiap sisi perut yang menonjol, perhatikan di mana timpani perut
berubah menjadi tumpul pada struktur posterior padat.
Lakukan perkusi singkat dada anterior bawah, antara paru-paru di atas dan
tepi kosta di bawah. Di sebelah kanan, Anda biasanya akan menemukan suara hati
yang redup; di sebelah kiri, timpani yang menutupi gelembung udara lambung dan
fleksura splenikus kolon.1

Palpasi

45
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Palpasi Ringan. Meraba perut dengan lembut sangat membantu untuk


mengidentifikasi nyeri perut, resistensi otot, dan beberapa organ dan massa
superfisial. Ini juga berfungsi untuk meyakinkan dan membuat pasien rileks.1
Pertahankan tangan dan lengan bawah Anda pada bidang horizontal,
dengan jari-jari rapat dan rata di permukaan perut, raba perut dengan gerakan
mencelupkan yang ringan dan lembut. Saat menggerakkan tangan Anda dari satu
tempat ke tempat lain, angkat tangan dari kulitnya. Bergerak dengan lancar, terasa
di semua kuadran.1
Identifikasi organ atau massa superfisial dan area nyeri tekan atau
peningkatan resistensi pada tangan Anda. Jika ada resistensi, coba bedakan
guarding volunter dari spasme otot involunter. Untuk melakukan ini:1
a. Coba semua metode relaksasi yang Anda tahu
b. Rasakan relaksasi otot perut yang biasanya menyertai pernafasan.
c. Minta pasien untuk bernapas melalui mulut dengan rahang terbuka.
Palpasi Dalam. Ini biasanya diperlukan untuk menggambarkan massa
perut. Sekali lagi menggunakan permukaan palmar jari-jari Anda, rasakan di
keempat kuadran. Identifikasi massa dan catat lokasi, ukuran, bentuk, konsistensi,
nyeri tekan, denyut, dan mobilitas dengan respirasi atau dengan tangan pemeriksa.
Hubungkan temuan Anda yang gamblang dengan catatan perkusi mereka.1

Penilaian Apakah Terapat Inflamasi Pada Peritoneum


Nyeri perut dan nyeri tekan, terutama bila berhubungan dengan spasme
otot, menunjukkan inflamasi peritoneum parietal. Lokalisasi rasa sakit seakurat
mungkin. Pertama, bahkan sebelum palpasi, minta pasien untuk batuk dan
tentukan di mana batuk menimbulkan rasa sakit. Kemudian, palpasi dengan
lembut dengan satu jari untuk memetakan area nyeri. Nyeri yang dihasilkan oleh
perkusi ringan memiliki nilai lokalisasi yang serupa. Manuver lembut ini mungkin
yang Anda butuhkan untuk membentuk area peradangan peritoneum.1
Jika tidak, carilah rebound tenderness/nyeri lepas tekan. Tekan dengan jari
Anda dengan kuat dan perlahan, lalu tarik dengan cepat. Perhatikan dan
dengarkan pasien untuk tanda-tanda nyeri. Tanyakan kepada pasien “Mana yang

46
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

lebih sakit, ketika saya menekan atau melepaskan?” Mintalah pasien menemukan
rasa sakit dengan tepat. Nyeri yang diinduksi atau meningkat dengan cepat dengan
penarikan merupakan "rebound tenderness" yang disebabkan oleh gerakan cepat
dari peritoneum yang meradang.1

1.1.3 Status Bedah


I. Identitas Pasien
Nama :
Usia :
Jenis Kelamin :
No Rekam Medis :
Berat Badan :
Tinggi Badan :
Agama :
Alamat :
Suku :
Status Perkawinan :
Pekerjaan :
Tanggal Masuk :
Tanggal Keluar :
Tanggal Pemeriksaan :

II. Anamnesis
A. Keluhan Utama :
B. Keluhan Tambahan :
C. Riwayat Penyakit Sekarang:
D. Riwayat Penyakit Dahulu (termasuk operasi)
Riwayat gejala serupa :
Penyakit lain :
Operasi sebelumnya :
Hipertensi :

47
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Diabetes Mellitus :
Keganasan :
Trauma :
E. Riwayat Penyakit di Keluarga :

F. Riwayat Penggunaan Obat :


G. Riwayat Pekerjaan, Sosial, dan Ekonomi:
H. Riwayat Kebiasaan :
I. Riwayat Alergi :
Obat :
Makanan :

III. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum :
Kesadaran/GCS :
Vital Sign : TD :
RR :
Nadi :
SpO2 :
Temp :

STATUS GENERALIS
1. Kulit
Warna :
Oedema :
Sianosis :
Icterus :
Anemia :
Pigmen :
2. Kepala
Rambut :

48
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Wajah :
Mata :
Telinga :
Hidung :
Mulut :
3. Leher
KGB :
Tiroid :
JVP :
4. Thorax
Jantung
I :
P :
P :
A :
Paru
I :
P :
P :
A :
5. Abdomen
I :
P :
P :
A :
6. Ekstremitas
Akral hangat :
Oedema :

7. Genitalia

49
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

STATUS LOKALIS
Regio:
1. Ispeksi:
Bengkak:
Kemerahan:
Pendarahan:
………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
2. Palpasi:
Nyeri tekan:
Krepitasi:
Massa/benjolan:
………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………

3. Gerakan:
Limitasi gerak:
Nyeri saat gerakan aktif dan pasif:

………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………

50
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Skema Status Lokalis

Keterangan:

51
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

IV. Pemeriksaan Penunjang

V. Resume

VI. Diagnosa Sementara

VII. Planning/Penatalaksanaan

52
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

1.1.4 Indikasi dan Pemeriksaan Foto Polos


Abdomen
a. Definisi
Foto polos abdomen adalah suatu pemeriksaan abdomen tanpa
menggunakan kontras dengan sinar X yang menggambaran struktur dan
organ di dalam abdomen.
b. Prinsip Kerja
Sinar-X adalah pancaran gelombang elektromagnetik yang sejenis
dengan gelombang radio, panas, cahaya dan ultra violet, tetapi dengan
panjang gelombang yang sangat pendek. Gelombang /sinar
elektromagnetik terdiri atas, listrik, radio, inframerah, cahaya, ultraviolet,
sinar-X, sinar gamma, dan sinar kosmik. Sinar-X bersifat heterogen,
panjang gelombangnya bervariasi dan tidak terlihat. Perbedaan antara
Sinar-X dengan sinar elektomagnetik lainnya juga terletak pada panjang
gelombang, dimana panjang gelombang sinar-X sangat pendek, yaitu
hanya 1/10.000 panjang gelombang cahaya yg kelihatan. Karena panjang
gelombang yg pendek itu, maka sinar-X dapat menembus benda-benda.
Panjang gelombang sinar elektromagnetik dinyatakan dalam satuan
Angstrom. Gelombang yang dipergunakan dalam dunia kedokteran antara
0,50 A-0,125 A. Sinar-X mempunyai beberapa sifat fisik, yaitu daya
tembus, pertebaran, penyerapan efek fotografik, pendar fluor (fluoresensi),
ionisasi, dan efek biologik.

c. Macam-macam Pemeriksaan Foto Polos Abdomen


1) Pemeriksaan radiodiagnostik sederhana, tanpa persiapan:
Foto polos abdomen tanpa persiapan dimana terutama melihat gambaran
distribusi dari gas dalam usus serta kelainannya (BOF).
2) Pemeriksaan radiodiagnostik sederhana dengan persiapan
sebelumnya:
Dikerjakan terutama bila nantinya diperkirakan akan ada gangguan dari hasil
photo bila kondisi penderita belum memenuhi syarat, yaitu.: Foto

53
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

polos abdomen melihat saluran kencing (BNO atau KUB) dalam hal
ini kotoran dalam usus sangat mengganggu hasil photo sehingga harus
dibersihkan sebelumnya. Foto polos abdomen dengan persiapan untuk
melihat keadaan ginjal dan salurannya serta bagian belakang
abdomen. Dalam hal ini kita harus membersihkan sisa makanan
(faecal material) dari usus yang akan mengganggu gambaran di film.
Sehingga diperlukan penanganan sebelum pemeriksaan dengan
mempersiapkan penderita dengan makanan yang bebas serat selama
beberapa hari, kemudian dibersihkan dengan pencahar agar kotoran
makanan dalam usus yang ada dikeluarkan semua dengan demikian
usus akan bersih dari kotoran sisa makanan/faecal material yang
menutupi daerah dibelakangnya. Hal ini tidak dapat kita kerjakan
sendiri terutama penderita rawat inap, perlu bantuan rekan kerja
terkait.

d. Persiapan Penderita untuk BNO / Foto Polos Abdomen


1) Tujuan: membersihkan usus dari faecal material, agar photo polos
abdomen bebas dari bayangan faecal material yang menutupi
bayangan organ abdomen, yaitu bayangan ginjal, limpa, psoas shadow
dan adanya kalsifikasi/batu didaerah tractus urinarius dan di kandung
empedu.
2) Dasar: faecal material adalah bentukan sisa makanan berserat didalam
usus, terutama colon yang dapat hilang sesudah 2-3 hari keluar
bersama defecasi.
3) Cara: makan bebas serat 2-3 hari sebelum pemeriksaan dilanjutkan
dengan pencahar/laxant/urus-urus malam sebelum pemeriksaan
(dengan minum banyak air sebagai pembantu untuk mengencerkan
faecal material, sekitar 1-1,5 liter air pada malam tersebut), sesudah
itu puasa pada pagi hari pemeriksaan dan diberikan pencahar
suppositoria per anum pada pagi hari tersebut untuk merangsang

54
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

defekasi dan menghabiskan sisa makanan dalam rektum dan kolon


sigmoid. Diingatkan agar jangan merokok dan banyak bicara
(aerophagia).
4) Obat-obatan: Garam inggris (sulfas magnesicus) atau pencahar lain
yang relatif kuat. Suppositoria per anum, seperti Dulcolax
supposutoria atau Microlax.

e. Teknik Pemeriksaan
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang
dapat mencakup seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran
kaset dan film ukuran 35 x 43 cm. Foto polos abdomen dapat dilakukan dalam 3
posisi, yaitu:
1) Tiduran telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior (AP).
2) Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan
sinar horizontal proyeksi AP.
3) Tiduran miring ke kiri (Left Lateral Decubitus = LLD), dengan sinar
horizontal, proyeksi AP.
f. Prosedur Kerja
1) Posisi AP supine
 Persyaratan teknis: ukuran film 35x43 cm/30x40 cm, posisi
memanjang menggunakan grid yang bergerak maupun statis,
dengan variasi 70-80 kV dan 20-25 mAs.
 Sedangkan posisi pasien:
- Tidak ada persiapan khusus untuk pemeriksaan foto polos
abdomen.
- Penderita diminta untuk melepaskan pakaian dan perhiasan
untuk menghidanri terjadinya artefak pada film dan memakai
perlindungan untuk daerah gonad, terutama untuk pria

55
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

- Pasien tidur terlentang, lengan pasien diletakkkan di samping


tubuh, garis tengah badan terletak tepat pada garis tengah
pemeriksaan, kedua tungkai ekstensi.
 Posisi obyek: bagian tengah kaset setinggi krista iliaka dengan
batas tepi bawah setinggi simfisis pubis, tidak ada rotasi pelvis
dan bahu. Pusat sinar pada bagian tengah film dengan jarak
minimal 102 cm.
 Kriteria hasil foto polos abdomen yang baik antara lain :
- Tampak diafragma sampai dengan tepi atas simphisis pubis.
- Alignment kolom vertebra di tengah, densitas tulang costae,
pelvis dan panggul baik.
- Processus spinosus terletak di tengah daan crista iliaca
terletak simetris.
- Pasien tidak bergerak saat difoto yang ditandai dengan
tajamnya batas gambar costae dan gas usus.
- Foto dapat menggambarkan batas bawah hepar, ginjal, batas
lateral muskulus psoas dan procesus transversus dari vertebra
lumbal.
- Marker yang jelas untuk mengindikasi posisi pasien saat
pemeriksaan.
2) Posisi Left Lateral Decubitus (LLD)
 Pasien tidur miring ke kiri, tekuk lengan melingkari kepala. Film
diletakan di depan atau belakang perut pasien. Mengikuti area
simphisis pubis pada film. Titik tengah terletak pada garis tengah
film.
 Arah sinar horizontal 90° dengan film dengan proyeksi AP untuk
melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus.
3) Posisi Setengah Duduk atau Berdiri
 Pasien dapat dengan posisi duduk atau berdiri kalau
memungkinkan, dengan sinar horizontal proyeksi AP 90° dari film.

56
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

 Posisi pasien dalam posisi anteroposterior dengan bagian belakang


tegak. Pastikan punggung tidak rotasi. Letakan lengan dan tangan
dalam posisi anatomi. Pasien tidak boleh bergerak. Point sentral
terletak pada garis tengah tubuh dengan garis tengah film.
 Pengambilan foto dengan posisi ini dipengaruhi oleh gravitasi,
sehingga yang paling utama nampak adalah:
- Udara bebas
- Fluid sinks
- Kidneys drop
- Transverse colon drops
- Small bowel drops
- Breast drop
- Lower abdomen bulges dan penambahan densitas pada X-ray
- Diaphragm descends
 Posisi erect ditandai dengan T11
 Berdasarkan posisis dari payudara, menyebabkan penambahan
densitas pada kuadran kanan dan kiri.
 Gas di fundus gaster- khas pada posisi erect
 Kuantitas yang kecil pada gas yang terjebak di perut
 Letak film di tengah atas akan menunjukan dasar paru tetapi tidak
dapat melihat bagian dari pelvis.
 Posisi kolon akan jatuh mengikuti gravitasi dan memenuhi
abdomen bagian bawah anterior, menyebabkan penambahan
densitas pada abdomen bagian bawah.

57
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

1.2 NGT dan Stoma


1.2.1 Indikasi dan Pemasangan NGT
a. Definisi
Pemasangan pipa nasogastrik atau nasogastric tube (NGT)
merupakan prosedur pemasangan pipa melalui lubang hidung (nostril)
turun ke nasofaring kemudian ke lambung. Prosedur ini bermanfaat untuk
tujuan diagnosis maupun terapi. Dua indikasi yang sering yaitu untuk
akses pemberian nutrisi bagi pasien yang tidak mampu makan melalui
mulut dan untuk mengevaluasi isi lambung bagi pasien yang dicurigai
mengalami perdarahan gastrointestinal.
Ada beberapa tipe-tipe NGT antara lain pipa Levin, pipa Salem
sump, dan pipa Moss, namun yang sering digunakan adalah pipa Levin.
Pemasangan NGT lebih dipilih karena lebih sederhana, aman, dan jarang
menyebabkan trauma pada pasien dibandingkan dengan pipa orogastrik.
Meskipun demikian kemungkinan terjadinya komplikasi yang serius
seperti aspirasi isi lambung dapat terjadi. Komplikasi ini dapat dicegah
bila pasien koperatif, diposisikan secara benar, serta persiapan peosedur
dilakukan dengan baik serta observasi yang tepat selama prosedur
dilakukan dan memastikan posisi pipa sudah tepat. Selain itu teknik
melepaskan pipa yang benar juga dapat mengurangi terjadinya komplikasi
berupa trauma mukosa dan aspirasi.

b. Indikasi
Indikasi pemasangan NGT yaitu untuk kepentingan diagnosis maupun terapi.
1) Diagnosis:
 Drainase isi lambung untuk bahan pemeriksaan laboratorium atau
sampling.
 Pemberian agen diagnostik seperti kontras media radioopak.
2) Terapi:

58
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

 Pemberian nutrisi yang adekuat atau obat-obatan pada pasien yang


tidak mampu mengkonsumsi secara oral. Indikasi pemasangan
NGT untuk nutrisi:
- Ketidakmampuan untuk memasukkan makanan melalui rute
oral. Contoh: pasien tidak sadar, kanker lidah, anoreksia
nervosa, trauma dan luka bakar pada wajah.
- Saluran cerna bagian atas tidak mampu menyalurkan makanan
ke usus halus. Contoh: karsinoma esofagus dan tumor esofagus.
- Gangguan pencernaan atau malabsorbsi yang membutuhkan
asupan makanan terus menerus. Contoh: insufisiensi pankreas
atau empedu, fibrosis kistik, penyakit radang usus dan diare
berkepanjangani.
 Pemberian ASI, formula atau makanan cair langsung ke dalam
lambung untuk tambahan kalori.
 Evakuasi isi lambung yang berbahaya, misalnya pada kasus over
dosis obat atau keracunan.
 Gastric lavage dengan pemasangan NGT dan suction pada pasien
perdarahan gastrointestinal yang masif bermanfaat untuk
mengurangi gejala dan memfasilitasi visualisasi endoskopi untuk
melihat gambaran mukosa lambung dan duodenum.
 Pemberian activated charcoal.
 Dekompresi lambung dengan pemasangan NGT dan suction
berguna untuk mengeluarkam sekresi saluran cerna dan udara yang
tertelan pada pasien- pasien dengan obstruksi pada usus halus atau
gastric outlet, serta mengurangi keluhan pada pasien pankreatitis
dan ileus.

c. Tahapan Pemasangan Nasogastric Tube


Salah satu cara yang tepat untuk mencegah terjadinya komplikasi
selama pemasangan NGT yaitu dengan melakukakan tahapan-tahapan

59
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

pemasangan NGT secara sistematis meliputi tahap persiapan serta


prosedural.
1) Persiapan
 Persiapan preprosedural
- Lakukan inform konsen tertulis.
- Mengevaluasi tingkat kesadaran pasien.
- Melindungi jalan napas pasien yang tidak sadar dengan pipa
endotrakeal
 Manajemen pasien
- Menjelaskan tentang tindakan yang akan dilakukan, risiko,
indikasi, dan alternatif lain serta menyepakati sinyal yang akan
digunakan bila pasien ingin menghentikan segera tindakan saat
dilakukan pemasangan NGT.
- Jika menggunakan lokal anastesi untuk mengurangi rasa nyeri,
sampaikan kepada pasien kemungkinan efek samping yang
timbul.
- Pada pasien agitasi disarankan untuk memberikan
benzodiasepine dosis rendah. Bila pasien tidak koperatif lakukan
fiksasi tangan.
 Persiapan Prosedur Penyelamatan
Persiapan peralatan suction bila terjadi aspirasi, nasal packing untuk
epistaksis masif, serta intubasi endotrakeal jika terjadi aspirasi
berat atau hipoksia.
2) Prosedur
 Persiapan alat-alat
Ukuran NGT yang sesuai, senter, jelly/pelumas larut air, spuit 10 cc,
stetoskop, handscoen steril, plester/hypafix, tisu dan tempat
sampah, segelas air.
 Teknik pemasangan
Teknik pemasangan NGT yang tepat bertujuan memastikan penempatan
NGT serta mengurangi komplikasi yang terjadi.

60
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

- Pasien posisi Fowler dengan tujuan memudahkan pasien saat


menelan dan dengan bantuan gaya gravitasi akan memudahkan
masuknya pipa, tutupi pakaian dengan handuk, lalu petugas
mencuci tangan.
- Periksa pasien dari sisi kanan bila bertangan dominan kanan
atau sebaliknya.
- Evaluasi patensi dan simetrisitas kedua lubang hidung serta
akses aliran udaranya, pilih yang lebih lapang.
- Lubrikasi jalan nafas dengan gel lidokain 2% untuk efek
anastesi.
- Pilih diameter pipa terbesar yang masih bisa melewati hidung
pasien. Untuk gastric lavage, buat lobang yang cukup besar pada
ujung pipa untuk mengakomodasi pil yang lebih besar dan
fragmen-fragmen charchoal, serta pastikan patensi pipa.
- Mengukur panjang NGT yang akan dimasukkan dengan
mengukur jarak dari ujung hidung ke daun telinga lalu ke
procesus xiphoideus sternum, tandai dengan plester atau tali
untuk mencegah insersi terlalu dalam.
- Lubrikasi ujung pipa dengan jeli anastesi atau lubrikan larut air
kurang lebih 3” (7,6cm) untuk mengurangi trauma pada mukosa
hidung dan lipoid pneumonia. Fleksikan kepala pasien kedepan
sehingga saluran faring akan lebih lurus lanjutkan memasukkan
NGT secara gentle dan perlahan untuk mencegah turbinasi,
nyeri serta perdarahan.
- Jangan dipaksakan mendorong NGT bila ada tahanan terutama
di nasofaring minta pasien untuk menurunkan kepalanya untuk
menutup akses ke trakea serta membuka akses ke esofagus. Saat
tahanan berkurang, minta pasien untuk menelan atau minum
segelas air sambil lanjutkan mendorong pipa. Bila muncul
respon muntah saat mendorong pipa, dorong ke belakang dahi
pasien untuk memfasilitasi pipa masuk ke dalam faring posterior

61
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

dan esofagus daripada ke laring, sedangkan menelan atau


minum air akan membuat epiglotis menutup dan mempermudah
masuknya pipa. Ini diharapkan mampu mengurangi risiko
terjadinya komplikasi.
- Jika muncul tanda-tanda batuk, stridor, sianosis, dan gejala-
gejala distres napas, kemungkinan pipa masuk ke dalam trakea.
Tarik pipa beberapa sentimeter, putar sedikit, kemudian dorong
secara perlahan-lahan, minta pasien untuk menelan kembali
sampai tanda yang sudah ditentukan. Konfirmasi penempatan
NGT lalu fiksasi dengan plaster hipoalergenik.
- Konfirmasi penempatan NGT dengan memeriksa mulut dan
tenggorokan pasien, pastikan NGT tidak melengkung terutama
pasien yang tidak sadar. Selama pemasangan evaluasi tanda-
tanda distres nafas yang menunjukan bahwa pipa berada di
bronkus sehingga harus segera ditarik. Hentikan mendorong
pipa bila penanda pada pipa sudah mencapai ujung hidung
pasien. Jika cairan lambung tidak keluar, konfirmasi letak pipa
dengan cara mengaspirasi isi lambung, bila gagal coba
miringkan pasien ke kiri sehingga isi lambung akan berkumpul
di kurvatura lambung yang lebih besar. Jangan pernah
meletakkan ujung pipa di dalam kontainer yang berisi air.
Karena jika ujung distal pipa berada atau melengkung di dalam
trakea, pasien akan berisiko mengaspirasi air di dalamnya. Bisa
juga dengan menginjeksikan spuit yang berisi 10 cc udara ke
dalam NGT bersamaan dengan itu lakukan auskultasi di area
epigastrik dengan menggunakan stetoskop. Bila terdengar suara
udara saat spuit didorong, berarti posisi pipa sudah benar. Bila
belum yakin dengan posisi NGT dapat konfirmasi menggunakan
X-ray.
- Lakukan perawatan yang rutin selama terpasang NGT.

62
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

1.2.2 Indikasi dan Penggantian Stoma


a. Definisi
Kolostomi adalah eksteriorisasi sebagian kolon ke dinding anterior
abdomen. Ini adalah salah satu prosedur darurat penyelamatan jiwa yang
paling umum dilakukan di seluruh dunia. Kolostomi dapat dilakukan untuk
kondisi bedah darurat atau elektif untuk pengelolaan berbagai kondisi
gastrointestinal jinak atau ganas bawaan dan didapat untuk dua tujuan
utama: pengalihan usus besar atau dekompresi usus besar.2,3
Pengalihan dilakukan untuk melindungi kontaminasi dari segmen
usus besar distal oleh tinja dan komplikasi yang menyertainya. Pengalihan
biasanya dilakukan untuk trauma atau operasi elektif rektal distal
Dekompresi dilakukan untuk meredakan usus besar yang tersumbat.
Contohnya termasuk volvulus sigmoid dan tumor sisi kiri ganas.
Kolostomi diklasifikasikan menjadi empat jenis utama:2,3
1) Hartman's
2) Loop
3) Double barrel, dan
4) Spectacle
Kolostomi bisa bersifat sementara atau permanen. Kolostomi sementara
akan dibalik setelah beberapa waktu ketika kondisi pasien dan alasan
dilakukannya kolostomi memungkinkan. Kolostomi permanen diindikasikan
ketika reseksi abdominoperineal dilakukan, kanker tidak dapat direseksi atau
sfingter rusak yang tidak dapat diperbaiki. Meskipun merupakan prosedur
penyelamatan jiwa, baik konstruksi maupun pembalikannya memiliki morbiditas
dan mortalitas yang signifikan.2,3
Stoma usus telah lama menjadi salah satu prosedur bedah penyelamatan
jiwa yang paling umum dilakukan di seluruh dunia dan memainkan peran penting
dalam pengelolaan kondisi gastrointestinal bawaan dan didapat. Alasan utama
untuk melakukan stoma adalah untuk mengalihkan aliran tinja, melindungi situs
anastomosis, dekompresi usus, atau kombinasi dari indikasi ini.2,3

63
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

b. Indikasi Stoma
Indikasi untuk stoma usus pada anak-anak berbeda dari orang tua.
Tidak seperti orang dewasa, pembentukan stoma pada anak-anak, sebagian
besar waktu dilakukan sebagai operasi sementara, sebagai pilihan
pengelolaan kelainan bawaan usus, sebagai contoh hirschsprung dan
malformasi anorectal. Pada orang dewasa, kondisi lain seperti volvulus,
divertikulitis, trauma, dan keganasan kadang kadang, memerlukan
pembentukan stoma sebagai bagian dari pengelolaannya.2,3

c. Indikasi untuk pembentukan stoma usus:2,3


1) Anomali kongenital merupakan indikasi utama untuk stoma usus
2) Malformasi anorektal adalah indikasi paling umum untuk stoma usus
pada anak-anak, diikuti oleh Hirschsprung.
3) Perforasi usus diikuti oleh obstruksi usus mekanis adalah indikasi
utama untuk stoma usus pada orang dewasa.
Pasien yang diindikasikan untuk pembentukan stoma usus: 2,3
1) Penyakit bawaan: malformasi anorectal, hirschprung, atresia kolon
2) Penyakit yang didapat: perforasi usus, obstruksi usus mekanis cedera
anal, penetrasi abdomen, penyebab neoplasma, kebocoran
anastomosis, pasca hemoridektomi, inkontinensia feses

64
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

MINGGU 2 BEDAH DIGESTIF

2.1 Akut Abdomen


2.1.1 Diagnosis dan Tatalaksana Akut Abdomen
a. Definisi
Nyeri perut akut umumnya mengacu pada nyeri yang sebelumnya tidak
terdiagnosis yang muncul tiba-tiba dan durasinya kurang dari 7 hari (biasanya
kurang dari 48 jam). Nyeri perut akut ini dapat disebabkan oleh berbagai macam
gangguan intraperitoneal, banyak di antaranya membutuhkan perawatan bedah,
serta oleh berbagai gangguan ekstraperitoneal, yang biasanya tidak memerlukan
perawatan bedah. Nyeri perut yang menetap selama 6 jam atau lebih biasanya
disebabkan oleh gangguan signifikansi pembedahan. Tujuan utama dalam
pengelolaan pasien dengan nyeri perut akut adalah:4
1) Untuk menetapkan diagnosis banding dan rencana untuk
mengkonfirmasi diagnosis melalui studi pencitraan yang tepat.
2) Untuk menentukan apakah intervensi operatif diperlukan.
3) Untuk mempersiapkan pasien untuk operasi secara aman yang
meminimalkan morbiditas dan mortalitas

b. Diagnosis
1) Anamnesis
Riwayat klinis pasien harus ditanyakan oleh dokter secara lengkap.
Riwayat klinis meliputi cara, onset, durasi, frekuensi, karakter, lokasi,
kronologi, dan intensitas, serta ada atau tidak adanya yang
memberatkan atau meringanka gejala terkait.4
2) Membuat diagnosis banding
Setelah diagnosis diperoleh, pemeriksa harus membuat diagnosis
banding sementara dan melakukan pemeriksaan fisik untuk mencari
tanda-tanda atau temuan-temuan khusus yang mengesampingkan atau
menegaskan kemungkinan diagnosis.4
3) Pemeriksaan fisik

65
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Pemeriksaan fisik dimulai dengan evaluasi singkat namun menyeluruh


tentang penampilan umum pasien dan kemampuan menjawab
pertanyaan. Derajat nyeri yang jelas harus diperkirakan. Posisi pasien
di tempat tidur harus diperhatikan. Pasien yang berbaring tidak
bergerak dengan fleksi pinggul dan lutut lebih mungkin mengalami
peritonitis umum. Pasien gelisah yang menggeliat di tempat tidur lebih
mungkin mengalami nyeri kolik. Area nyeri maksimal harus
diidentifikasi sebelum pemeriksaan fisik dimulai. Pemeriksa dapat
dengan mudah melakukan ini dengan hanya meminta pasien untuk
batuk dan kemudian menunjuk dengan dua jari ke area di mana nyeri
tampaknya terfokus.
Sebelum perhatian diarahkan ke perut pasien, tanda-tanda penyakit
sistemik harus dicari. Tanda-tanda sistemik syok (misalnya, pucat,
hipotermia, takipnea, takikardia dengan ortostasis, dan hipotensi nyata)
biasanya menyertai kondisi intra-abdomen yang progresif cepat atau
lanjut dan tanpa adanya penyebab ekstraabdomen adalah indikasi
untuk laparotomi segera. Tidak adanya perubahan tanda vital,
bagaimanapun, tidak berarti menyingkirkan proses intra-abdomen
yang serius. Pemeriksaan perut dimulai dengan pasien dalam posisi
terlentang yang nyaman. Pemeriksa dengan tangan kanan harus berdiri
di sisi kanan pasien, dan perut pasien harus sejajar dengan siku saat
berbaring. Pemeriksaan harus mencakup inspeksi, auskultasi, perkusi,
dan palpasi semua sendi, daerah perut, panggul, dan selangkangan
(termasuk semua lubang hernia) selain pemeriksaan rektal dan genital.4
4) Pemeriksaan penunjang
Pada semua pasien, hitung darah lengkap, kimia darah, dan urinalisis
secara rutin dilakukan sebelum keputusan untuk operasi. Hematokrit
penting karena memungkinkan ahli bedah untuk mendeteksi perubahan
signifikan dalam volume plasma (misalnya, dehidrasi yang disebabkan
oleh muntah, diare, atau kehilangan cairan ke dalam peritonus atau
lumen usus), anemia yang sudah ada sebelumnya, atau perdarahan.

66
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Peningkatan jumlah sel darah putih (WBC) merupakan indikasi dari


proses inflamasi dan merupakan temuan yang sangat membantu jika
dikaitkan dengan pergeseran ke kiri yang nyata, namun ada atau tidak
adanya leukositosis tidak boleh menjadi penentu tunggal apakah pasien
harus menjalani operasi. Jumlah WBC yang rendah mungkin
merupakan ciri infeksi virus, gastroenteritis, atau NSAP. Tes lain,
seperti uji protein C-reaktif, mungkin berguna untuk meningkatkan
keyakinan dalam diagnosis kondisi inflamasi akut.4
Hingga saat ini, evaluasi radiologis awal pasien dengan nyeri perut
akut termasuk foto polos abdomen dalam posisi terlentang dan berdiri
dan radiografi dada. Saat ini, pemindaian CT-Scan (bila tersedia)
umumnya dianggap lebih mungkin membantu dalam kebanyakan
situasi. Namun, masih ada beberapa situasi di mana foto polos
abdomen mungkin merupakan bentuk penyelidikan yang lebih berguna
dan aman seperti etabo obstruksi strangulasi, dianggap sebagai
diagnosis yang paling mungkin dan foto polos abdomen digunakan
untuk konfirmasi cepat. Namun, jika diagnosis obstruksi strangulasi
diragukan, CT scan berguna untuk membuat diagnosis dan untuk
mengidentifikasi strangulasi yang tidak terduga secara klinis.4

c. Terapi
1) Acute surgical abdomen
Pendekatan menyeluruh tapi cepat untuk pasien dengan nyeri perut
akut sangat penting karena pada beberapa pasien, etaboli harus
diambil segera dan tidak ada cukup waktu untuk evaluasi menyeluruh.
Pendekatan semacam itu harus mencakup penilaian awal singkat,
etabol klinis lengkap, pemeriksaan fisik menyeluruh, dan studi
laboratorium dan pencitraan yang ditargetkan. Langkah-langkah ini
biasanya dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari 1 jam dan harus
ditekankan dalam evaluasi kebanyakan pasien.4

67
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

2) Suspected nonsurgical abdomen


Ada banyak gangguan yang menyebabkan nyeri perut akut tetapi tidak
memerlukan intervensi bedah. Kondisi non-bedah ini seringkali sangat
sulit untuk membedakan dari kondisi bedah yang hadir dengan
karakteristik yang tidak dapat dibedakan. Misalnya, nyeri perut akut
akibat keracunan timbal atau porfiria akut sulit dibedakan dari nyeri
intermiten akibat obstruksi usus, karena hiperperistaltik yang nyata
adalah ciri dari keduanya. Selain banyak gangguan ekstraperitoneal,
penyebab nonsurgical nyeri perut akut termasuk berbagai gangguan
intraperitoneal, seperti gastroenteritis akut (dari bakteri, virus, atau
infeksi jamur), gastritis akut, duodenitis akut, hepatitis, adenitis
mesenterika, peritonitis spontan, dan peritonitis. Laparoskopi dapat
sangat membantu, memungkinkan eksplorasi yang lengkap dan
sistematis tanpa melibatkan potensi morbiditas atau pemulihan pasca
operasi dan periode rehabilitasi yang lebih lama terkait dengan
eksplorasi terbuka.4

2.1.2 Diagnosis dan Tatalaksana Apendisitis


a. Etiologi
Etiologi apendisitis pada anak dapat disebabkan karena proses obstruksi
luminal yang terjadi sebagai akibat dari hiperplasia limfoid, sedangkan pada orang
dewasa dapat disebabkan oleh karena fekalit, fibrosis, benda asing (makanan,
parasit, kalkuli) atau neoplasia.5

b. Diagnosis
Pada awal apendisitis akut, pasien akan merasakan nyeri periumbilikus
yang kemudian terlokalisasi pada bagian kanan bawah diikuti rasa mual,
muntah, demam derajat rendah dan sedikit peningkatan jumlah sel darah
putih perifer. Gejala klinis klasik adalah tanda Mcburney’s yaitu nyeri
tekan pada lokasi dua per tiga jarak dari umilikus ke spina iliaka anterior

68
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

superior kanan (titik Mcburney’s). Tanda dan gejala ini sering kali tidak
ada, sehingga menimbulkan kesulitan dalam tampilan klinis.5
Pemeriksaan fisik akan memperlihatkan pasien yang umumnya memiliki
suhu tubuh yang hangat saat disentuh dan memiliki focal tenderness. Pasien akan
mengeluhkan nyeri saat dilakukan penekanan pada titik Mcburney’s. Rovsing’s
sign, Dunphy’s sign, obturator sign, dan iliopsoas sign dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis apendisitis.5
Pasien dengan apendisitis biasanya memiliki leukositosis (10.000
sel/mm3), dengan leukositosis yang lebih tinggi apabila terdapat gangrene dan
apendisitis perforasi (∼17.000 sel/mm3). Protein C-reaktif, bilirubin, Il-6, dan
prokalsitonin semuanya dapat diperiksa untuk membantu dalam diagnosis
apendisitis, khususnya dalam memprediksi apendisitis perforasi. Pemeriksaan
penunjang lain dapat dilakukan dengan CT scan yang akan menunjukkan radang
appendiks yang meliputi lumen yang membesar dan ketebalan dinding (lebih dari
6 mm), penebalan dinding (lebih dari 2 mm). Pemeriksaan lain dapat dilakukan
menggunakan fitur pada USG yang menunjukkan radang appendiks yaitu
diameter lebih besar dari 6 mm, nyeri dengan kompresi, adanya appendicolith,
peningkatan ekogenisitas lemak, dan cairan periappendiceal.5

c. Diagnosa Banding, meliputi:5


- Acute mesenteric adenitis
- Cecal diverticulitis
- Meckel’s diverticulitis
- Acute ileitis
- Crohn’s disease
- Acute pelvic inflammatory disease
- Torsion of ovarian cyst atau grafian follicle
- Acute gastroenteritis

69
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

d. Tatalaksana5
1) Open Appendectomy
Apendektomi terbuka biasanya dilakukan dengan anestesi umum,
meskipun anestesi regional dapat digunakan. Setelah persiapan dilakukan,
sayatan biasanya dibuat pada titik McBurney baik secara miring (sayatan
McBurney) atau sayatan melintang (sayatan Rocky-Davis).
2) Laparoscopy Appendectomy

2.1.3 Diagnosis dan Tatalaksana Kolesistitis dan Koledokolitiasis


Kolesistitis
a. Epidemiologi
Kejadian kolesistitis akut lebih sering terjadi pada usia paruh baya dan
orang tua, dengan rasio kejadian yaitu 1: 3,5 pada pasien di bawah usia 40
dibandingkan dengan mereka yang berusia di atas 40 tahun.6

b. Etiologi
Penyebab infeksi cacing, seperti Ascariasis merupakan penyebab yang
sering mengakibatkan obstruksi etabo sistikus. Bakteri yang paling umum adalah
E. coli, Streptococcus Sp., Klebsiella Sp., dan Enterobacter Sp.7

c. Gambaran Klinis
Presentasi klinis kolesistitis akut terdiri dari tiga serangkai:7
1) Nyeri perut kanan atas yang konstan,
2) Peningkatan parameter inflamasi seperti leukositosis dan peningkatan
protein C-reaktif, dan
3) Nyeri tekan pada palpasi di kuadran kanan atas perut (Tanda Murphy)
4) Gejala lain dapat berupa mual dan muntah juga sering digambarkan
pada kolesistitis akut.

70
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

d. Patofisiologi

Gambar 2.1 Patofisiologi Kolesistitis (dikutip sesuai dengan aslinya dari


kepustakaan no.).

Pada sebagian besar kasus, kolesistitis akut berasal dari obstruksi etabo
sistikus. Obstruksi kolesistikus di negara besar disebabkan oleh batu empedu,
sedangkan di negara berkembang, infeksi cacing, seperti Ascariasis merupakan
penyebab tersering obstruksi kolesistikus. Obstruksi tersebut mengakibat distensi
dan secara berurutan menginduksi pelepasan mediator inflamasi, seperti
prostaglandin E2 dan I2, yang menyebabkan respons inflamasi di dalam kandung
empedu. Kerusakan akibat batu pada mukosa dan edema mukosa menyebabkan
obstruksi limfatik dan vena, dan kemungkinan mengakibatkan iskemia yang
terlokalisir. Cairan empedu menjadi terkonsentrasi dan menyebabkan kerusakan
mukosa lebih lanjut. Kerusakan ini selanjutnya dapat berkembang menjadi abses
atau perforasi. Temuan histologis pada fase awal menunjukkan reaksi inflamasi
akut yang ditandai dengan edema, kongesti, perdarahan, infiltrasi neutrofilik, dan
nekrosis mukosa. Pada fase selanjutnya, inflamasi transmural, dan nekrosis
mural.7

e. Pemeriksaan Penunjang7

71
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

1) Kultur empedu: menunjukkan hasil positif ditemukan pada 40 sampai


60% pasien, dengan temuan hasil meliputi bakteri gram positif dan
gram aerob dan anaerob, seperti Escherichia coli, Klebsiella,
Streptococcus faecalis, Clostridium tetani, Proteus, Enterobacter, dan
streptococcus anaerobik.
2) USG: merupakan modalitas pencitraan pilihan untuk kolesistitis akut
karena hemat, tersedia secara luas, dan menawarkan akurasi yang
tinggi. Hal ini dapat mengungkapkan batu empedu, penebalan dinding
kandung empedu (lebih dari 4 mm), cairan pericholecystic, dilatasi
duktus bilier, dan tanda Murphy sonografi (nyeri maksimal dengan
tekanan probe langsung di atas kandung empedu). Temuan
ultrasonografi, dengan nilai prediksi positif 92%, adalah adanya
kolesistolitiasis dengan batu empedu yang terimpaksi di leher kandung
empedu dalam kombinasi dengan tanda Murphy sonografi. Batu
empedu divisualisasikan dalam USG sebagai bayangan hypoechoic.

Gambar 2.2 USG kolesistitis kalkulus akut dengan dinding kandung empedu
menebal dan batu empedu (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan tidak.)

3) Computed tomography (CT): Jika penyebab gejala perut tidak spesifik


atau jika hasil USG tidak meyakinkan, CT dapat dilakukan.
Kemampuan deteksi CT untuk batu empedu terbatas pada 75%.
Bennet dkk. Telah mendefinisikan batu empedu, penebalan dinding
kandung empedu, cairan pericholecystic, dan edema subserosa sebagai
kriteria major dan distensi kandung empedu dan lumpur sebagai

72
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

kriteria minor. Dengan adanya satu kriteria mayor dan dua kriteria
minor, sensitivitas, spesifisitas, dan akurasi CT untuk diagnosis
kolesistitis akut masing-masing sebesar 91,7%, 99,1%, dan 94,3%.

Gambar 2.3 Computed tomography kolesistitis akut dengan dinding kandung


empedu yang menebal dan batu empedu yang terimpaksi (dikutip sesuai dengan
aslinya dari kepustakaan no).

4) Pencitraan resonansi magnetik(MRI)/kolangiopankreatografi


resonansi magnetik (MRCP): MRI tidak direkomendasikan sebagai
pemeriksaan untuk kolesistitis akut meskipun dapat diindikasikan
pada pasien dengan kecurigaan batu saluran empedu atau presentasi
klinis yang tidak jelas. Kehadiran satu-satunya cairan pericholecystic
pada gambar T2-weighted tanpa agen kontras memiliki sensitivitas
91%, spesifisitas 79%, nilai prediksi positif 87%, dan nilai prediksi
etaboli 85% untuk kolesistitis akut dibandingkan dengan diagnosis
yang dibuat dari temuan klinis, sonografi, dan bedah.
5) Koleskintigrafi radioisotope: Koleskintigrafi etabolic ar, sering
disebut pemindaian HIDA (asam iminodiasetat hepatobilier), adalah
studi pencitraan nuklir yang digunakan untuk mendiagnosis obstruksi
kolesistikus. Turunan asam iminodiacetic berlabel teknesium
radioaktif (99 m analog technetium iminodiacetic) disuntikkan secara

73
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

intravena dan biasanya akan diambil oleh hati dan kemudian kantong
empedu. Penyerapan oleh hati dan ekskresi ke duodenum tanpa
pengisian kandung empedu merupakan indikasi oklusi kolesistikus.
Tes ini memiliki sensitivitas hingga 86% dalam pengaturan klinis
yang benar. Meskipun pemindaian HIDA normal dapat
menyingkirkan kolesistitis akut, pemindaian ini tidak memberikan
informasi tentang struktur perut lainnya dan mungkin tidak
mengungkapkan penyebab nyeri perut pasien. Pemindaian HIDA
dianjurkan di Amerika Serikat karena akurasi diagnostiknya yang
tinggi.

f. Tatalaksana
Penatalaksanaan kolesistitis akut non bedah terdiri dari puasa, pemberian
cairan intravena, analgesia, dan antibiotic. Indometasin dalam dosis supositoria
diberikan sebanyak 75 mg sekali sehari selama 3 hari telah dilaporkan secara
signifikan mengurangi suhu, nyeri, leukosit, bilirubin, dan waktu rawat inap
dibandingkan dengan kelompok placebo. Penggunaan meperidine sebagai
pengganti morfin untuk mengontrol nyeri pada kolesistitis akut sering
direkomendasikan karena diasumsikan bahwa morfin meningkatkan tekanan
sfingter Oddi lebih besar daripada meperidine.7
Persyaratan antibiotik yang cocok untuk pengobatan kolesistitis akut
adalah ekskresi bilier, tidak ada inaktivasi oleh cairan empedu, dan efisiensi
terhadap bakteri Gram-positif dan Gram-negatif. Pilihannya adalah amoksisilin
dengan asam klavolanat, sefalosporin generasi kedua dengan metronidazole,
piperasilin dengan tazobaktam, atau ciprofloxacin. Terapi antibiotik harus
dilanjutkan selama 7 sampai 10 hari, tergantung pada temuan klinis. Pembedahan
diindikasikan pada pasien yang berlanjut menjadi peritonitis atau terjadi
perburukan kondisi klinis pasien.
Kolesistektomi adalah pengobatan definitf untuk pasien dengan kolesistitis
akut. Cameron dkk., merekomendasikan kolesistektomi elektif setelah episode
kolesistitis akut tidak lebih dari 2 bulan setelah timbulnya gejala. Meskipun dalam

74
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

praktek klinis, banyak ahli bedah masih lebih memilih manajemen konservatif
awal rutin untuk pasien dengan kolesistitis akut, kesimpulan yang diambil dari
data saat ini kolesistektomi dini dengan pendekatan laparoskopi adalah
pengobatan pilihan untuk kolesistitis kalkulus akut.7

g. Komplikasi
Pasien dengan kolesistitis akut berat mungkin mengalami icterus ringan
(konsentrasi serum bilirubin 70 tahun), terutama laki-laki, dengan durasi gejala
yang lama (>3,5 hari), serta peningkatan kadar protein C-reaktif (>150 mg/L) dan
jumlah sel darah putih (>14.000/µL). Kolesistitis gangren terjadi pada 30% pasien
yang dirawat dengan kolesistitis akut. Gangren paling sering terjadi pada fundus
kandung empedu, karena suplai darah terbatas di daerah ini. Jika peradangan di
dalam kantong empedu berlanjut, itu dapat menyebabkan perforasi dinding
kantong empedu.7

Koledokolitiasis
a. Definisi
Koledokolitiasis merupakan batu saluran empedu, dimana batu ini dapat
menyebabkan kolangitis dan pankreatitis.7

b. Diagnosis
Penegakkan diagnosis dapat dilakukan melalui ERCP (endoscopic
retrograde cholangiopancreatography) dan intraoperative cholangiography
(IOC) dianggap sebagai standar emas dalam diagnosis koledocholithiasis. Namun,
keakuratan diagnosis itu tergantung pada keahlian operator. Sensitivitas ERCP
untuk mendiagnosis choledocholithiasis berkisar diantara 79 hingga 95%, dengan
spesifisitas dalam kisaran 92 hingga 98%.7

c. Pemeriksaan
1) Ultrasonografi transabdomial adalah tes pencitraan paling murah dan
non-invasif yang tersedia untuk menegakkan diagnosis

75
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

koledokolitiasis, dan karena itu harus dilakukan terlebih dahulu.


Meskipun spesifisitas tinggi (95%), sensitivitas ultrasound rendah,
berkisar antara 20 hingga 80%.7
2) CT juga memiliki keterbatasan dalam diagnosis choledocholithiasis,
terutama ketika diameter batu kurang dari ketebalan “irisan” CT.
Meskipun spesifisitas CT untuk mendeteksi koledokolitiasis lebih dari
95%, sensitivitasnya buruk, berkisar antara 23 hingga 85%.7
3) Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) telah
berkembang pesat menjadi modalitas pencitraan crosssectional yang
sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis gangguan pancreas dan
bilier. Sensitivitasnya berkisar antara 71 hingga 100%.7

d. Tatalaksana
1) Sfingterotomi
Sfingterotomi endoskopi (ES) dapat dilakukan dengan mortalitas
kurang dari 0,5% dan morbiditas terkait prosedur kurang dari 10%. ES
adalah prosedur paling invasif yang rutin dilakukan oleh ahli
endoskopi gastrointestinal. Sfingterotome adalah kanula yang
dimodifikasi dengan kawat terbuka di ujung distal yang dilalui oleh
arus listrik ditransmisikan. Sfingterotom dimasukkan ke dalam saluran
empedu dan aliran arus pendek diterapkan untuk menorehkan atap
ampulla (termasuk sfingter Oddi).7
2) Ekstraksi batu setelah sfingterotomi
Setelah ES berhasil, pengangkatan batu dapat dicapai pada 80 hingga
95% pasien. Meskipun batu kecil dapat keluar secara spontan setelah
sfingterotomi, tidak bijaksana untuk mengandalkan hal ini terjadi.
Ekstraksi paksa melawan resistensi harus dihindari, karena risiko
trauma ekstensi insisi sfingterotomi.7

76
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

2.1.4 Diagnosis dan Tatalaksana Hernia


a. Definisi
Hernia merupakan suatu penonjolan atau tonjolan dari isi perut melalui
otot/fasia dinding perut, yang dapat muncul saat lahir atau bersifat didapat
dikarenakan melemahnya atau terganggunya fasia di atasnya, atau juga dari
kegagalan penyembuhan sayatan bedah. Hernia dapat muncul sebagai tonjolan
tanpa gejala yang meningkat dengan manuver Val salva. Pada pemeriksaan fisik,
dinding perut pasien harus dievaluasi, baik dalam posisi berdiri dan berbaring5.
Hernia dapat berkurang secara spontan atau dengan tekanan manual.
Jika hernia dipenjara/inkaserata, itu tidak dapat dikurangi dan umumnya dan
membutuhkan koreksi bedah. Jika usus terkurung dalam defek hernia, obstruksi
usus dapat terjadi, yang menunjukkan: darurat bedah. Hernia inkarserata hadir
dengan rasa sakit yang signifikan, mual, dan muntah. Hernia dianggap tercekik
jika suplai darah ke isinya terganggu. Iskemia lokal dapat menyebabkan infark
dan akhirnya perforasi jika tidak diobati.5

Hernia Insisional
Hernia yang berkembang di lokasi perut dengan riwayat sayatan
sebelumnya. Hingga 20% dari sayatan garis tengah akan mengembangkan hernia
pada akhirnya. Sayatan vertikal mungkin memiliki risiko lebih tinggi
pembentukan hernia daripada sayatan melintang atau miring. Sayatan perut bagian
atas juga berisiko lebih tinggi daripada sayatan bawah. Situs port laparoskopi juga
dapat mengembangkan hernia.5
Etiologi hernia insisional sangat kompleks. Beberapa faktor turunan
pasien meningkatkan risiko hernia, termasuk diabetes, penggunaan
imunosupresan, obesitas, merokok, malnutrisi, dan kelainan jaringan ikat. Faktor
operasi lokal mungkin juga terlibat, termasuk teknik, infeksi luka, atau
ketegangan tinggi pada saat penutupan. Hernia dapat berkembang hingga 10 tahun
setelah operasi tetapi biasanya terjadi pada periode awal pasca operasi. Hernia
insisional dapat muncul sebagai tonjolan tanpa gejala atau dengan

77
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

ketidaknyamanan yang parah. Beberapa hernia dapat hadir di sepanjang sayatan.


Operasi elektif dianjurkan pada pasien dengan gejala. Defek kecil menimbulkan
risiko inkaserasi yang lebih tinggi dan harus diperbaiki. Untuk meminimalisir
terjadinya hernia post operasi, pasien terkait faktor, termasuk merokok dan
obesitas, harus diatasi sebelum perbaikan bedah.5
Manajemen bedah hernia insisional termasuk: jaringan primer atau
perbaikan mesh. Hernia juga dapat diperbaiki melalui laparoskopi atau
pendekatan terbuka. Perbaikan jahitan sederhana dikaitkan dengan tingkat
kekambuhan setinggi 54%. Sebuah Cochrane review dari beberapa uji coba
terkontrol secara acak menemukan bahwa perbaikan jala terbuka meningkatkan
tingkat kekambuhan hernia ketika dibandingkan dengan penutupan sederhana
(33% dengan perbaikan sederhana vs. 16% dengan perbaikan jala). Mesh repair,
terkait dengan tingkat infeksi yang lebih tinggi.5
Mesh repair telah menjadi standar untuk manajemen elektif sebagian
besar hernia insisional. Mesh dapat ditempatkan di atas garis tengah fasia
(overlay), menjembatani defek fasia (interlay), di bawahnya fasia (sublay), atau di
dalam rongga perut (underlay). Sebuah tinjauan sistematis menemukan bahwa
penempatan sublay mesh mungkin mengurangi kekambuhan hernia dan mencegah
komplikasi terkait luka. Teknik sublay dilakukan dengan mengembangkan bidang
antara otot rektus dan selubung posterior, dan membubuhkan mesh di ruang ini.
Selubung anterior dapat didekati jika tidak ada tegangan. Bahan yang digunakan
untuk pembuatan mesh dapat diklasifikasikan menjadi dua kelas: sintetis dan
biologis.5

Hernia Noninsisional
Hernia epigastrium
Hernia noninsisional diberi nama berdasarkan lokasinya pada dinding
perut. Hernia epigastrium adalah kelainan pada dinding perut yang terletak di
antara umbilikus dan xiphoid proses. Hernia ini biasanya kecil tetapi mungkin
berhubungan dengan banyak defek. Merupakan hasil dari beberapa faktor,
termasuk kelemahan otot, epigastrium yang melemah secara kongenital, fasia,

78
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

atau peningkatan tekanan intra-abdomen. Epigastrium hernia jarang mengandung


usus dan biasanya mengandung bagian dari omentum atau ligamen falsiformis.
Mengingat jenis yang inkaserata jarang terjadi, perbaikan hernia epigastrium
diindikasikan untuk pasien bergejala saja. Perbaikan laparoskopi dapat dicoba,
tetapi ini Jenis hernia biasanya dapat ditangani dengan sayatan kecil dimana defek
ditutup dengan jahitan terputus.5

Hernia Umbilikalis
Hernia umbilikalis dapat bersifat kongenital atau didapat. Hernia
umbilikus sering terjadi pada bayi baru lahir, terutama pada bayi prematur.
Penutupan defek pada pusar dapat terjadi setelah lahir dimana otot rektus
abdominis tumbuh ke arah satu sama lain. Sebagian besar hernia umbilikalis
menutup secara spontan pada usia 5 tahun dan dapat dipantau karena mereka akan
sembuh secara spontan. Indikasi untuk perbaikan yaitu pada jenis inkaserata,
hernia simtomatik, kegagalan untuk mengecilkan ukuran atau jika defek gagal
menutup pada usia 5 tahun.5
Pada orang dewasa, hernia umbilikalis terbentuk karena peningkatan
tekanan perut karena kehamilan, obesitas, atau asites. Wanita memiliki risiko
lebih tinggi untuk jenis hernia ini daripada pria. Hernia yang kecil secara klinis
dapat terjadi tampa gejala. Namun, jika hernia umbilikalis membesar,
menyebabkan gejala, atau mengalami inkaserata, perawatan bedah harus
dilakukan. Hernia bisa diperbaiki secara laparoskopi atau dengan prosedur
terbuka. Mesh harus digunakan untuk cacat besar di mana tepi fasia tidak dapat
didekati tanpa ketegangan. Dalam hal ini, mesh harus ditempatkan sebagai teknik
sublay (di bawah fasia) dan dijahit di tempat untuk mencegah migrasi.5

Hernia Spigelian
Hernia yang terjadi di sepanjang garis arkuata dikenal sebagai Hernia
Spigelian. Meskipun jarang, hernia ini terbentuk karena kelemahan anatomis
karena tidak adanya selubung rektus posterior di bawah garis arkuata. Saat hernia
berkembang, peritoneum yang lewat melalui garis arkuata akan lewat secara

79
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

lateral ke arah luar otot oblik dengan aponeurosis di atasnya. Sebagian besar
pasien datang dengan rasa sakit dan bengkak di bagian tengah ke bawah perut.
Ikaserata umum terjadi hingga 20% pasien hadir dengan hernia yang tidak dapat
direduksi. Mengingat tingginya tingkat inkarserasi, perbaikan bedah biasanya
dianjurkan. Baik terbuka atau perbaikan laparoskopi dapat dilakukan. Defek
ditutup mendekati tepi medial dan lateral transversalis fasia ke selubung rektus.5

Hernia Inguinalis
Hernia inguinalis umumnya diklasifikasikan sebagai langsung, tidak
langsung, atau femoralis berdasarkan lokasi herniasi relatif terhadap struktur
sekitarnya. Hernia indirek menonjol ke lateral dari inferior pembuluh darah
epigastrium, melalui cincin inguinalis dalam. Hernia direk menonjol ke medial
dari pembuluh epigastrika inferior, di dalam segitiga Hesselbach. Batas-batas
segitiga adalah ligamentum inguinalis inferior, tepi lateral selubung rektus medial,
dan pembuluh epigastrika inferior superolateral. Hernia femoralis menonjol
melalui cincin femoralis yang kecil dan tidak fleksibel. Mereka melintasi ruang
kosong antara vena femoralis dan saluran limfatik. Batas cincin femoralis
meliputi: traktus iliopubik dan ligamen inguinalis di anterior, ligamen Cooper di
posterior, ligamen lakunar di medial, dan vena secara lateral. Klasifikasi Nyhus
mengkategorikan hernia cacat berdasarkan lokasi, ukuran, dan jenis.5
Perbaikan hernia inguinalis laparoskopi membutuhkan pengetahuan
tentang anatomi inguinal dari perspektif posterior. Titik acuan intraperitoneal
adalah lima lipatan peritoneum, kandung kemih, pembuluh epigastrium inferior,
dan psoas otot. Dua ruang potensial ada di dalam peritoneum pra. Antara
peritoneum dan lamina posterior fasia transversalis adalah ruang Bogros
(preperitoneal). Daerah ini mengandung lemak preperitoneal dan jaringan areolar.
Yang paling aspek medial ruang preperitoneal, yang terletak superior ke kandung
kemih, dikenal sebagai ruang Retzius.5

b. Patofisiologi

80
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Hernia inguinalis dapat karena bawaan atau didapat. Kebanyakan hernia


inguinalis dewasa dianggap sebagai defek didapat pada dinding perut. Faktor
risiko yang paling mungkin untuk inguinalis hernia adalah kelemahan pada otot-
otot dinding perut; Namun, ada beberapa faktor risiko lain yang telah dipelajari.
Hernia kongenital, yang merupakan mayoritas hernia pediatrik, dapat dianggap
sebagai cacat perkembangan daripada kelemahan yang didapat. Selama perjalanan
normal perkembangan, testis turun dari ruang intra-abdominal ke dalam skrotum
pada trimester ketiga. Proses tunrunya testis dipandu oleh gubernaculum melalui
evaginasi peritoneum, yang menonjol melalui kanalis inguinalis dan menjadi
prosesus vaginalis. Antara usia kehamilan 36 dan 40 minggu, processus vaginalis
menutup dan menghilangkan lubang peritoneum pada cincin inguinalis interna.
Kegagalan penutupan peritoneum menyebabkan proses patent processus vaginalis
(PPV). Pada bayi prematur, terjadinya hernia inguinalis akibat PPV sangatlah
tinggi.5

c. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting untuk diagnosis hernia inguinalis. Pasien
harus diperiksa dalam posisi berdiri untuk meningkatkan tekanan intra-abdomen,
dengan selangkangan dan skrotum terbuka penuh. Inspeksi dilakukan terlebih
dahulu, dengan tujuan mengidentifikasi tonjolan abnormal di sepanjang
selangkangan atau di dalam skrotum. Jika tonjolan yang jelas tidak terdeteksi,
palpasi dilakukan untuk memastikan adanya hernia. Palpasi dilakukan dengan
memajukan jari telunjuk melalui skrotum menuju cincin inguinalis eksternal. Hal
ini memungkinkan kanal inguinalis untuk dieksplorasi, pasien kemudian diminta
untuk melakukan manuver Valsava untuk meningkatkan tekanan intraabdomen.
Manuver ini akan mengungkapkan tonjolan abnormal dan memungkinkan dokter
untuk menentukan apakah hernia dapat direduksi atau tidak. Pemeriksaan sisi
kontralateral memberi kesempatan pada klinisi untuk membandingkan kehadiran
dan luasnya herniasi antar sisi. Ini sangat berguna dalam kasus hernia kecil. Selain
hernia inguinalis, sejumlah diagnosis lain dapat dipertimbangkan dalam
diferensial tonjolan pangkal paha.5

81
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

82
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

d. Pencitraan
Dapat digunakan sebagai tambahan untuk anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Pencitraan dapat digunakan dalam kasus yang kurang jelas. Modalitas
radiologis yang paling umum adalah ultrasonografi (AS), komputer tomografi
(CT), dan pencitraan resonansi magnetik (MRI). Setiap teknik memiliki
keunggulan tertentu dibandingkan pemeriksaan fisik saja; Namun, setiap
modalitas dikaitkan dengan keterbatasan potensial. CT dan MRI memberikan
gambar statis yang mampu menggambarkan anatomi selangkangan, untuk
mendeteksi hernia selangkangan, dan untuk mengecualikan diagnosis yang
berpotensi membingungkan (Gbr.5). CT memiliki sensitivitas 80%, spesifisitas
65%. Meskipun herniografi memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi
daripada CT, invasinya dan ketersediaan yang terbatas membatasi penggunaan
rutinnya.5

e. Tatalaksana
Tatalaksana bedah pada hernia dapat dilakukan terbuka, laparoskopi, atau
dengan bantuan robot. Perbaikan bedah adalah pengobatan etabolic hernia
inguinalis. Alasan paling umum untuk perbaikan elektif adalah rasa sakit.
Inkaserasi ataupun strangulasi adalah indikasi utama untuk perbaikan segera.
Hernia simtomatik harus dioperasi secara elektif, dan minimal simtomatik atau
hernia asimtomatik harus ditatalaksana di bawah pengawasan Perbaikan hernia
inguinalis dengan gejala minimal pada pasien dengan komorbiditas medis yang
signifikan, operasi harus ditunda dan pasien dioptimalkan secara medis. Jika
meskipun optimal dalam manajemen komorbiditas, pasien tetap berisiko tinggi,
perbaikan terbuka dengan anestesi lokal dapat dilakukan.5

83
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

2.2 Diagnosis dan Tatalaksana Karsinoma Kolorektal


a. Epidemiologi
Kanker kolorektal (CRC) adalah penyakit dengan beban utama di
seluruh dunia. Kanker kolorektal adalah yang keempat yang paling sering
didiagnosis keganasan pada pria dan ketiga tersering pada wanita, dengan
hampir satu juta orang mengembangkan CRC setiap tahun. CRC adalah
kanker paling umum ketiga pada pria dan wanita, dan merupakan
penyebab paling umum kedua kematian akibat kanker secara keseluruhan,
terhitung 11% dari kanker yang terdiagnosis. Diperkirakan bahwa 147.000
kasus didiagnosis di AS pada tahun 2009 danbahwa ada 50.000 kematian
akibat penyakit ini.7

b. Etiologi
Kolorektal adalah banyak proses, sejumlah atau kombinasi paparan
mungkin diperlukan, dan kerentanan genetik mungkin memainkan peran.
Faktor risiko CRC yang mengonsumsi makanan yang tinggi serat, buah-
buahan, sayuran, dan rendah lemak hewani dan daging merah aktif rata-
rata berisiko lebih rendah CRC daripada individu yang makan diet rendah
serat, buah-buahan, dan sayuran dan tinggi lemak hewani dan daging
merah, sulit untuk menentukan dengan pasti yang mana komponen atau
kombinasi makanan bertanggung jawab atas penurunan risiko.7

c. Pemeriksaan dan Skrining7


Rekomendasi skrining untuk orang dengan risiko rata-rata dimulai
pada usia 50 disertakan (penyaringan harus dimulai pada usia 45 dalam
warna hitam pasien):
1) Kolonoskopi setiap 10 tahun
2) Tes imunokimia tinja tahunan (FIT) untuk darah.
Tes pencegahan alternatif:
1) Sigmoidoskopi fleksibel setiap 5-10 tahun
2) CT kolonografi setiap 5 tahun.

84
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Tes deteksi kanker alternatif:


1) Sensa Hemoccult Tahunan
2) Tes DNA tinja setiap 3 tahun.

Sigmoidoskopi
Efektivitas sigmoidoskopi sebagai alat skrining tergantung pada
kemampuannya untuk mendeteksi kanker dan adenomatosa polip di kolon
distal. Jika polip adenomatosa ditemukan pada sigmoidoskopi fleksibel,
kolonoskopi harus kuat dipertimbangkan karena hampir sepertiga dari
pasien tersebut akan memiliki lesi neoplastik di kolon proksimal.
Efektivitas sigmoidoskopi dalam mengurangi kematian akibat kolorektal
kanker belum pernah dibuktikan secara acak terkontrol percobaan,
meskipun studi kasus-kontrol telah menunjukkan manfaat.7

Barium enema
Khasiat barium enema dalam mencegah kematian kanker
kolorektal tidak pernah dievaluasi dalam uji coba terkontrol, tetapi dapat
disimpulkan dari fakta bahwa mendeteksi polip dan kanker stadium
dengan metode lain mengurangi kejadian dan kematian akibat kanker
kolorektal. Barium enema kontras udara akan mendeteksi 50-80% polip <1
cm, 70-90% polip >1 cm, dan 50-80% adenokarsinoma Stadium I dan II.
Pemeriksaan barium enema saja kurang sensitif dan harus dikombinasikan
dengan sigmoidoskopi fleksibel, jika digunakan sebagai skrining alat.
Proktoskopi harus dianggap sebagai pemeriksaan tambahan karena balon
pada kateter enema sering mencegah pencitraan yang memadai dari
rektum distal.7

Kolonoskopi
Kolonoskopi adalah satu-satunya teknik skrining yang
memungkinkan deteksi dan pengangkatan lesi prakanker di seluruh usus
besar dan rektum merupakan jalur umum terakhir untuk semua tes skrining

85
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

positif. Meskipun keefektifannya tergantung pada keterampilan dan


pengalaman ahli endoskopi untuk mencapai keduanya sekum dan
mengidentifikasi lesi kecil, itu tetap emas standar untuk mengevaluasi
mukosa kolon. Kemampuan kolonoskopi untuk mengurangi kematian
akibat kanker kolorektal telah ditunjukkan secara tidak langsung melalui
penelitian yang menunjukkan bahwa mendeteksi dan menghilangkan polip
mengurangi kejadian kolorektal kanker dan bahwa mendeteksi kanker dini
menurunkan angka kematian dari penyakit.7

Chromoendoscopy
Chromoendoscopy adalah teknik yang menggunakan permukaan
pewarna seperti nila carmine untuk membuat penyimpangan di mukosa
kolon lebih mudah terlihat oleh ahli endoskopi.7

d. Stadium kanker kolorektal


Klasifikasi memiliki tiga tahap, A, B, dan C. Stadium A memiliki
kanker terbatas pada dinding usus, Stadium B memiliki kanker yang
menyebar melalui perluasan langsung ke jaringan ekstrarektal, dan
Stadium C memiliki kanker dengan metastasis kelenjar getah bening
regional. Kemudian tahap D ditambahkan untuk metastasis jauh.7

e. Tatalaksana (colorectal surgical)


1) Kolektomi Kanan
Pasien dibaringkan terlentang di meja operasi. Setelah insisi dibuat,
pemeriksaan menyeluruh terhadap isi perut dan panggul harus
dilakukan. Perhatian khusus harus diberikan pada situs metastasis
potensial, terutama hati. Meningkatnya akses dan keakraban dengan
ultrasonografi intraoperatif telah menunjukkan keunggulan hati
penilaian dengan modalitas ini dibandingkan dengan pemeriksaan
klinis atau CT. Pada pasien Wanita, ovarium harus diperiksa tidak
hanya untuk deposit metastasis, tetapi juga untuk neoplasma primer.

86
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Resectability tumor harus dinilai dengan manipulasi minimal dari lesi.


Penting untuk menentukan apakah penyakit ini melekat pada usus
yang berdekatan yang kemudian harus dimasukkan sebagai reseksi
blok. Jarang ada sisi kanan tumor tidak dapat direseksi, namun,
keterlibatan luas vena cava, arteri mesenterika superior, atau etaboli
dapat mendikte reseksi paliatif atau prosedur bypass. Kolektomi kanan
yang diperpanjang biasanya harus dilakukan untuk setiap lesi yang
melibatkan kolon transversum. Prosedur ini sekali lagi harus mencapai
reseksi lengkap, pembersihan kelenjar getah bening, dan yang paling
penting dua vaskularisasi segmen usus untuk anastomosis.8
2) Kolektomi Kiri
Kolon kiri dapat dimobilisasi baik di lateral ke medial atau pendekatan medial
ke lateral. Untuk lateral ke medial pendekatan, usus kecil dikemas ke
kuadran kanan atas. Peritoneum lateral dari kolon sigmoid ke fleksura
limpa diinsisi. Mesenterium kolon kiri diangkat dari retroperitoneum,
sehingga ureter kiri terbuka dan usus besar serta mesenteriumnya
dibawa ke garis tengah. Hal ini memungkinkan arteri mesenterika
inferior diligasi pada asalnya di aorta dan vena mesenterika inferior
menjadi diligasi di dekat ligamentum Treitz dan batas inferior
pankreas. Untuk pendekatan medial ke lateral, yang kecil mesenterium
usus dimobilisasi ke kuadran kanan atas untuk mengekspos asal arteri
mesenterika inferior yang terletak hanya kaudal ke bagian ketiga
duodenum.8
3) Kolektomi Abdominal Total dengan Ileorektal Anastomosis
Prosedur ini harus diterapkan pada keadaan, di mana: pasien telah didiagnosis
dengan HNPCC, dilemahkan Poliposis Adenomatous Familial, kanker
metachronous di segmen usus besar yang terpisah, dan sering pada
keganasan akut obstruksi usus distal dengan status yang tidak
diketahui dari usus proksimal. Akses ke suplai vaskular dan diseksi
mesenterika telah dijelaskan di atas. Ileum terminal seharusnya cukup
dimobilisasi untuk memungkinkan jangkauan yang mudah ke rektum.8

87
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

4) Polipektomi
Kemampuan untuk menghilangkan jaringan adenomatosa secara endoskopi
merupakan dasar dari semua pencegahan kanker dan program
pengawasan. Kemampuan resektabilitas dari polip tergantung pada
ukuran, karakteristik, dan aksesibilitasnya. Polip yang kemungkinan
tidak bisa dilepas endoskopi adalah mereka dengan invasi submukosa,
polip sessile besar melampaui 50% dari 50% lingkar dinding usus,
polip rektum besar yang meluas di luar garis dentate, atau lesi yang
mengelilingi lubang apendiks.8
5) Reseksi mukosa endoskopi (EMR)
EMR melibatkan injeksi cairan ke dalam ruang submukosa untuk mengangkat
mukosa (dan polip) dari lapisan otot dinding usus. Penghapusan lesi
sessile atau datar, mengurangi risiko cedera termal pada dinding usus.8

88
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

MINGGU 3 BEDAH ANAK

3.1 Kasus Bedah pada Kelainan Kongenital 1


3.1.1 Diagnosis dan Tatalaksana Malformasi Anorektal
a. Definisi
Malformasi anorektal menggambarkan kelainan-kelainan kongenital yang
tejadi pada anorektal meliputi imperforata anus dan kloaka persisten.9

b. Epidemiologi
Malformasi anorektal terjadi sekitar 1 dari 5000 kelahiran hidup dan
mempengaruhi laki-laki dan perempuan dengan proporsi yang sama.
Malformasi yang paling sering terjadi pada laki-laki adalah anus
imperforata dengan fistula rectourethral, diikuti oleh fistula rektoperineal,
kemudian fistula rektovesikal atau leher rectobladder. Pada perempuan,
paling banyak defek yang sering terjadi adalah defek rektovestibular,
diikuti oleh fistula perineum kulit, kemudian kloaka persisten.9

c. Patofisiologi
Dasar embriologis terjadinya malformasi pada anorektal adalah kegagalan
penurunan septum urorektal. Tingkat di mana septum ini turun menentukan jenis
anomali yang ada, yang kemudian mempengaruhi pendekatan bedah. Pada pasien
dengan anus imperforata, rektum gagal untuk turun melalui kompleks sfingter
eksternal. Sebagai gantinya, kantong dubur berakhir “blindly” di panggul, di atas
atau di bawah otot levator ani. Dalam kebanyakan kasus, kantong rektal terhubung
lebih distal dengan system genito-urinari atau dengan perineum melalui traktus
fistula. Secara tradisional, deskripsi anatomis anus imperforata dicirikan sebagai
letak “tinggi” atau “rendah” tergantung pada apakah rektum berakhir di atas
kompleks otot levator ani atau sebagian turun melalui otot ini.9

89
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Gambar 3.1 Anus imperforata rendah pada pria (dikutip sesuai dengan aslinya dari
kepustakaan no).

Berdasarkan sistem klasifikasi ini, pada pasien laki-laki dengan anus


imperforata lesi tinggi, rektum biasanya berakhir sebagai fistula ke dalam uretra
membranosa. Pada wanita, tinggi anus anus imperforate sering terjadi dalam
konteks kloaka persisten. Sedangkan pada anus imoperforata lesi rendah pada pria
dan wanita dikaitkan dengan fistula ke perineum. Pada laki-laki, fistula
berhubungan dengan raphe median skrotum atau penis. Pada wanita, fistula
mungkin berakhir di dalam ruang depan vagina, yang terletak tepat di luar selaput
dara atau di perineum.9
Klasifikasi yang secara khusus dan jelas menggambarkan lokasi
pembukaan fistulous. Pada pria, fistula dapat berhubungan dengan: (a) perineum
(fistula perineum kulit); (b) bagian terendah dari uretra posterior (fistula bulbar
rectourethral); (c) bagian atas uretra posterior (fistula prostat rectourethral); atau
(d) leher kandung kemih (fistula rektovesikular). Pada wanita, urethra dapat
terbuka ke perineum antara alat kelamin wanita dan pusat sfingter (fistula
perineum kulit) atau ke dalam ruang depan vagina (fistula vestibular). Dalam
kasus yang jarang terjadi, pasien mungkin memiliki saluran anus yang normal,
namun mungkin ada atresia total atau berat berupa stenosis rektum.9

90
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Gambar 3.2 Anus imperforata pada anak perempuan (dikutip sesuai dengan
aslinya dari kepustakaan no).

d. Diagnosis
Pasien dengan anus imperforata biasanya stabil, dan diagnosisnya akan
langsung mudah terlihat. Meskipun terjadinya obstruksi, pada awalnya perut tidak
tampak buncit, dan jarang terjadi urgensi. Mungkin diperlukan waktu hingga 24
jam sebelum kehadiran fistula, karena itu penting untuk mengamati neonatus
selama beberapa waktu sebelum operasi definitf dilakukan. Oleh karena itu,
semua pasien harus memiliki tabung orogastrik untuk memantau ada atau
tidaknya mekonium di dalam atau di sekitar perineum dan urin. Tes lainnya harus
mencakup ekokardiogram dan radiografi tulang belakang. Untuk
mengklasifikasikan lokasi fistula letak “tinggi” atau “rendah,” radiografi perut
lateral dapat dilakukan dengan penanda radiopak pada perineum.9

e. Tatalaksana
Manajemen bedah pada bayi dengan anus imperforata ditentukan oleh
defek anatomisnya. Secara umum, untuk lesi yang rendah, hanya operasi
perineum yang diperlukan tanpa sebuah kolostomi. Bayi dengan lesi tinggi
memerlukan kolostomi pada periode neonatus, diikuti dengan prosedur pull-
through di umur kurang lebih 2 bulan. Pada kloaka persisten, saluran kemih perlu
dievaluasi secara hati-hati saat waktu pembentukan kolostomi untuk memastikan
pengosongan normal dapat terjadi dan untuk menentukan apakah kandung kemih
perlu dikeringkan dengan cara vesikostomi. Jika ada keraguan tentang jenis lesi,

91
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

lebih aman untuk melakukan kolostomi daripada membahayakan peluang jangka


panjang bagi bayi sehingga menyebabkan kontinensia.9
Jenis prosedur pull-through yang banyak digunakan oleh sebagian besar
ahli bedah pediatrik saat ini adalah posterior sagital anorectoplasty (PSARP).
Pasien diposisikan tengkurap dengan posisi jack-knife, yang membagi kompleks
levator ani dan sfingter eksternal tepat pada garis tengah posterior, membagi
antara saluran pencernaan dan saluran kemih, dan membuat rektum menjadi turun.
Kemudian otot-ototnya direkonstruksi dan dijahit ke rektum. Sebagai aturan,
pasien dengan lesi tinggi menunjukkan peningkatan insiden inkontinensia,
sedangkan mereka yang memiliki lesi rendah lebih mungkin mengalami
konstipasi9.
Penatalaksanaan pasien dengan anus imperforata tinggi dapat juga
dilakukan dengan laparoskopi, di mana pasien dioperasi dalam posisi terlentang,
dan rektum dimobilisasi ke sambungan fistula ke leher kandung kemih.
Sambungan fistulous ini kemudian dibagi, dan rektum sepenuhnya dimobilisasi ke
bawah peritoneum refleksi. Operasi kemudian dilanjutkan di perineum, dan lokasi
kompleks otot ditentukan menggunakan saraf perangsang. Jarum Veress
kemudian dimasukkan melalui kulit di lokasi yang ditunjukkan, dengan
laparoskop memberikan panduan untuk orientasi intrapelvic yang tepat. Dilator
kemudian ditempatkan di atas jarum Veress, rektum kemudian ditarik melalui
lubang perito neal ini, dan anoplasti dilakukan.9

3.1.2 Diagnosis dan Tatalaksana Intususepsi


a. Definisi
Intususepsi merupakan penyebab utama obstruksi usus pada anak.
Mengacu pada kondisi di mana segmen usus menjadi tertarik ke dalam lumen
yang lebih proksimal usus. Proses ini biasanya dimulai di regio ileum terminal,
dan meluas ke distal, asendens, transversal, atau kolon desendens. Intususepsi
jarang bisa prolaps melalui rektum.9

92
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

b. Etiologi dan Epidemiologi


Penyebab intususepsi tidak jelas, namun ada satu hipotesis menunjukkan
bahwa hipertrofi patch Peyer di ileum terminal yang disebabkan oleh infeksi virus
sebelumnya dapat menjadi penyebab utama. Peristaltik pada usus menyebabkan
usus distal berinvaginasi ke dalam dirinya sendiri. Intususepsi yang idiopatik
biasanya terjadi pada anak-anak usia sekitar usia 6 dan 24 bulan. Di luar
kelompok usia ini, seseorang harus mempertimbangkan kemungkinan patologis
yang mungkin menjadi penyebabnya. Ini termasuk polip, tumor ganas seperti:
seperti limfoma, kista duplikasi enterik atau divertikum Meckel.9

c. Manifestasi klinis
Intususepsi sering muncul denga didahului oleh penyakit virus
gastrointestinal, sehingga onsetnya menjadi tidak mudah untuk ditentukan.
Biasanya, bayi mengalami kram disertai nyeri perut yang paroxysms dan muntah
intermiten. Di antara serangan, bayi dapat bertindak normal, namun secara
bertahap gejala akan meningkat, ditandai dengan gejala kelesuan pada bayi yang
meningkat. Lendir berdarah (“currant-jelly”) dapat dikeluarkan pada rektum. Pada
pemeriksaan fisik tampak massa memanjang yang terdeteksi di kuadran kanan
atas atau epigastrium dengan tidak adanya usus di kuadran kanan bawah (Dance’s
sign). Massa dapat terlihat pada foto polos abdomen tetapi lebih mudah
ditunjukkan pada udara atau kontras enema.9

d. Tatalaksana
Pasien dengan intususepsi harus dinilai ada atau tidaknya peritonitis dan
tingkat keparahan penyakit sistemik. Setelah resusitasi dan pemberian antibiotik
IV, anak dinilai kesesuaiannya untuk dilanjutkan dengan radiografik versus
reduksi bedah. Dengan tidak adanya peritonitis, anak harus menjalani reduksi
radiografi. Jika peritonitis ada, atau jika anak tampak sakit sistemik, laparotomi
segera diindikasikan. Pada pasien yang stabil, enema udara bersifat diagnostik dan
kuratif, dan merupakan metode diagnosis serta pengobatan pada intususepsi.

93
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Udara dimasukkan dengan manometer, dan tekanan yang diberikan dipantau


dengan cermat. Dalam kebanyakan kasus, tidak boleh melebihi 120 mmHg.
Reduksi yang berhasil ditandai dengan refluks bebas udara ke dalam beberapa
loop usus kecil dan perbaikan gejala seperti bayi tiba-tiba menjadi bebas dari rasa
sakit. Sebelum kedua tanda ini muncul, intususepsi tidak dapat dikatakan
berkurang. Jika reduksi tidak berhasil, dan bayi tetap stabil, bayi harus dibawa
kembali ke ruang radiologi untuk pengecekan ulang setelah beberapa jam. Strategi
ini terbukti meminimalisir tindakan nonoperatif. Selain itu, reduksi hidrostatik
dengan barium mungkin berguna jika reduksi pneumatik tidak berhasil. Tingkat
keberhasilan keseluruhan reduksi radiografi bervariasi berdasarkan pengalaman,
dan biasanya antara 60% dan 90%.9

3.1.3 Diagnosis dan Tatalaksana Hirschprung Disease


a. Definisi
Hirschsprung disease atau disebut juga dengan megakolon merupakan
gambaran usus besar yang melebar secara kronis, memanjang, dan hipertrofi.
Megakolon dapat terjadi karena adanya kelainan kongenital ataupun didapat
(acquired) dan biasanya berhubungan dengan chronic mechanical atau functional
Obstruction. Secara umum, derajat megakolon berhubungan dengan durasi
obstruksinya. Evaluasi harus selalu menyertakan pemeriksaan usus besar dan
rektum (baik secara endoskopi atau radiografi) untuk mengeksklusikan alas an
koreksi secara pembedahan.9
Hirschsprung disease adalah hasil dari kegagalan migrasi neural crest cell
ke usus besar distal. Tidak adanya sel ganglion yang dihasilkan dalam kolon distal
menyebabkan kegagalan relaksasi sehingga terjadinya obstruksi secara fungsional.
Menyebabkan usus pada bagian proksimal dan sehat menjadi dilatasi secara
progresif. Reseksi bedah pada segmen aganglionik hanya bersifat kuratif.
Meskipun penyakit Hirschsprung terutama muncul pada masa bayi dan anak-anak,
namun dapat pula muncul di masa dewasa, terutama jika mengenai segmen yang
sangat pendek dari usus (ultrashort-segment Hirschsprung’s disease). Megakolon
yang sifatnya didapat (acquired) dapat terjadi akibat infeksi atau sembelit kronis.

94
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Infeksi protozoa Trypanosoma cruzi (Chagas disease) menghancurkan sel


ganglion sehingga menyebabkan munculnya megakolon dan megaesofagus.9

b. Epidemiologi dan Etiologi


Angka kejadian Hirschsprung disease adalah 1 dari 5000 kelahiran hidup.
Ada laporan peningkatan frekuensi Hirschsprung disease di beberapa generasi
dari keluarga yang sama, disebabkan mutasi pada gen yang telah dijelaskan
sebelumnya, termasuk gen Ret.9
Karena usus yang aganglionik menyebabkan tidak terjadinya peristaltik
normal, anak-anak dengan Hirschsprung disease sering ditandai dengan obstruksi
pada usus fungsional distal. Pada periode baru lahir, Gejala yang paling umum
terjadi adalah distensi abdomen, gagal mengeluarkan mekonium, dan emesis
empedu. Setiap bayi yang tidak mengeluarkan mekonium melebihi 48 jam pada
awal kehidupan harus diselidiki apakah ada atau tidaknya Hirschsprung disease.
Bayi dapat datang dengan Hirschsprung disease yang telah mengalami
komplikasi yang disebut enteroco-litis, ditandai dengan perut distensi dan nyeri
tekan, yang berhubungan dengan manifestasi toksisitas sistemik meliputi demam,
gagal tumbuh, dan letargi. Bayi sering mengalami dehidrasi dan menunjukkan
leukositosis. Pada pemeriksaan rektal, biasanya didapatkan ekspulsi kuat dari
kotoran yang cair dan berbau busuk, hal ini menandakan adanya tekanan
dikarenakan akumulasi tinja di usus distal yang mengalami obstruksi.9
Perawatan termasuk rehidrasi, antibiotik sistemik, nasogastrik dekompresi,
dan irigasi rektal diperlukan saat diagnosis Hirschsprung disease sedang
dikonfirmasi. Pada anak-anak yang tidak berespon terhadap manajemen non-
operatif, diperlukan stoma dekompresi. Penting untuk memastikan bahwa stoma
ini ditempatkan di usus yang mengandung ganglion, yang harus dikonfirmasi
dengan bagian beku pada saat pembuatan stoma. Pada sekitar 20% kasus,
diagnosis Hirschsprung disease dilakukan setelah periode bayi baru lahir. Anak-
anak ini mengalami sembelit parah, yang biasanya diobati dengan pencahar dan
enema. Distensi perut dan gagal tumbuh juga dapat hadir saat diagnosis.9

95
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

c. Patofisiologi
Megakolon kongenital atau Hirschsprung disease disebabkan oleh
malformasi pada system parasimpatis panggul yang mengakibatkan tidak adanya
sel ganglion di pleksus Auerbach dari segmen kolon distal. Hirschsprung disease
adalah hasil dari kecacatan dalam migrasi sel-sel puncak saraf (neural crest cell),
yang merupakan prekursor embrio dari sel ganglion usus. Dibawah kondisi
normal, sel-sel neural crest bermigrasi ke dalam usus dari cephalo ke caudal.
Proses ini diselesaikan pada minggu ke-12 kehamilan, sedangkan migrasi dari
midtransverse usus besar ke anus membutuhkan waktu 4 minggu. Selama periode
terakhir ini, janin paling rentan terhadap cacat dalam migrasi sel-sel krista saraf.
Ini mungkin menjelaskan mengapa Sebagian besar kasus aganglionosis pada
periode ini melibatkan rektum dan rektosigmoid. Panjang segmen aganglionik
usus ditentukan oleh daerah paling distal yang mencapai sel-sel puncak saraf yang
bermigrasi.9

Beberapa kasus yang jarang, aganglionosis total kolon dapat terjadi. Studi
terbaru telah menjelaskan dasar molekuler untuk penyakit Hirschsprung. Pasien
dengan penyakit Hirschsprung memiliki peningkatan frekuensi mutasi pada
beberapa gen, termasuk GDNF (Glial Cell Derived Neurotrophic Factor),
reseptornya Ret, atau ko-reseptornya Gfra-1. Investigasi awal menunjukkan
bahwa GDNF mempromosikan survival, proliferasi, dan migrasi populasi
campuran neural crest cell dalam kultur. Studi lain telah mengungkapkan bahwa
GDNF diekspresikan dalam usus sebelum migrasi neural crest cell dan bersifat
kemoattraksi untuk neural crest cell tersebut dalam kultur. Temuan ini
meningkatkan kemungkinan bahwa mutase pada gen GDNF atau Ret dapat
menyebabkan gangguan migrasi neural crest dalam rahim dan berkembang
menjadi Hirschsprung disease.9

96
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Gambar 3.3 Neural Crest Cells (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan
no).
d. Diagnosis
Diagnosis pasti pada Hirschsprung disease adalah dengan dilakukannya
biopsi rektal. Sampel berupa mukosa dan submukosa yang diperoleh pada 1 cm, 2
cm, dan 3 cm dari garis dentata. Tindakan ini dapat dilakukan di tempat tidur
tanpa anestesi pada periode neonatal, karena sampel diambil dari usus yang tidak
memiliki persarafan somatik sehingga tidak menyakitkan bagi anak. Pada anak
yang lebih besar, prosedur harus dilakukan dengan menggunakan sedasi IV.
Pemeriksaan patologi dan histopatologi Hirschsprung disease adalah tidak adanya
sel-sel ganglion di pleksus mienterikus, peningkatan pewarnaan
asetilkolinesterase, dan adanya berkas saraf yang hipertrofi.9
Penting untuk menggunakan barium enema pada anak-anak di yang
dicurigai diagnosis penyakit Hirschsprung. Tes ini dapat menunjukkan lokasi zona
transisi antara kolon ganglion yang melebar dan kolon distal yang menyempit
pada segmen rektal aganglionik. Tes ini disarankan dilakukan sebelum melakukan
irigasi rektal jika memungkinkan sehingga perbedaan ukuran antara usus
proksimal dan distal dapat dipertahankan. Barium enema tidak dapat diandalkan
dalam menegakkan diagnosis penyakit Hirschsprung, namun sangat berguna
dalam menyingkirkan penyebab lain dari obstruksi usus distal, seperti small left
colon syndrome (yang terjadi pada bayi dengan ibu diabetes), atresia kolon, dan
meconium plug syndrome. Barium enema pada total aganglionosis kolon dapat
menunjukkan pemendekan kolon. Beberapa ahli bedah telah menemukan

97
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

penggunaan manometri rektal juga membantu, terutama pada anak yang lebih
besar, meskipun relatof tidak akurat.9
Pada semua kasus diagnosis Hirschsprung disease membutuhkan
pembedahan. Pendekatan bedah klasik terdiri dari beberapa tahap. Kolostomi di
periode baru lahir, diikuti oleh tahap terapi definitive dengan pull-through
operation setelah berat badan anak di atas 10 kg. Prinsip-prinsip pengobatan dari
dilakukannya pull-through procedure pada Hirschsprung disease adalah untuk
mengkonfirmasi lokasi tempat transisi zona antara usus ganglion dan aganglionik
ada, reseksi segmen usus yang aganglionik, dan melakukan anastomosis usus
ganglionated ke anus.9

e. Prognosis dan Komplikasi


Komplikasi utama dari pull-through procedure yaitu nterokolitis pasca
operasi, konstipasi, dan striktur anastomosis. Ada juga insiden Hirschsprung
berulang yang dilaporkan, yang mungkin mencerminkan sisa usus aganglionik
yang tersisa setelah pull-through, atau adanya iskemia di segmen pull-through
yang menyebabkan hilangnya sel ganglion.9

98
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

3.2 Kasus Bedah pada Kelainan Kongenital 2


3.2.1 Diagnosis dan Tatalaksana Omfalokel
a. Definisi
Omfalokel merupakan suatu kondisi pada bayi baru lahir yang ditandai
dengan adanya defek kongenital pada dinding abdomen yang mengakibatkan
organ cerna dan lapisan viscera abdomen yang dilapisi oleh peritoneum dan
membran amniotik keluar dari rongga abdomen. Kejadian omfalokel yaitu 1:5000
kelahiran hidup. Kejadian omfalokel dihubungkan dengan prematuritas dan
pertumbuhan janin terhambat.9

b. Gambaran Klinis
Pemeriksaan fisik akan memperlihatkan adanya defek pada dinding
abdomen disertai dengan keluarnya organ intestinal dan lapisan visceral abdomen
yang dilapisi oleh peritoneum dan membran amnion. Ukuran defek bervariasi
mulai ukuran kecil sampai dengan defek berukuran besar yaitu lebih dari 4 cm.
Omfalokel dapat terjadi bersamaan dengan anomali lain, seperti pada pasien
ekstrofi kloaka (fissura vesikointestinal), anomali Beckwith-Wiedemann
(makroglosia, makrosomia, hipoglikemia, visceromegali, dan omfalokel),
Cantrell’s pentalogy (malformasi dinding thoraks inferior, ektopik kordis,
omfalokel epigastric, hernia diafragma anterior media dan anomali kardiak).9

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan kadar glukosa perlu
dilakukan terutama pada pasien omfalokel dengan sindrom Beckwith-
Wiedemann.9

d. Tatalaksana
Tatalaksana bayi dengan omfalokel dipengaruhi oleh ukuran defek.
Tatalaksana utama meliputi pengawasan terhadap tanda vital dan
mempertahankan suhu normal pada bayi tersebut. Jika fungsi respirasi baik, maka
dapat dilakukan penutupan primer.9

99
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Penutupan primer dilakukan dengan cara reseksi membran omfalokel


kemudian dilakukan penutupan fascia. Namun pada bayi dengan ukuran
omfalokel yang besar, penutupan primer tidak dapat dilakukan karena
keterbatasan rongga intraabdomen pada bayi.9
Jika ditemukan kontraindikasi penutupan primer, seperti pada bayi dengan
ukuran defek yang besar, maka dapat dilakukan tindakan konvensional, yaitu
kantung omfalokel diberikan dengan menggunakan pengobatan topikal, sehingga
diharapkan terjadi re-epitelisasi atau pengerasan pada kantung omfalokel, yang
dimana melalui hal ini akan mampu melindungi organ intestinal yang ada di
dalam kantung. Bahan yang digunakan untuk proses re-epitelisasi larutan yang
mengandung iodine, silver sulfasdiazine atau saline. Proses re-epitelisasi
memakan waktu 2 sampai dengan 3 bulan, dan setelah terjadi proses re-epitelisasi,
dapat dilakukan penutupan dinding abdomen anterior. Setelah tindakan
pembedahan, bayi membutuhkan pemberian dukungan nutrisi yang tepat dan lebih
banyak, hal ini bertujuan untuk proses penyembuhan.9

e. Prognosis
Prognosis pada bayi omfalokel bergantung seberapa besar defek yang
terjadi dan apakah bayi tersebut disertai dengan insufisiensi pulmonal. Secara
umum, bayi dengan omfalokel berukuran kecil sampai sedang memiliki prognosis
yang lebih baik dibandingkan bayi dengan omfalokel berukuran besar9.

3.2.2 Diagnosis dan Tatalaksana Gastroschizis


a. Definisi
Gastroschisis merupakan suatu anomali kongenital yang ditandai dengan
defek pada dinding anterior abdomen yang mengakibatkan terjadi protusi organ
cerna melalui defek tersebut.9

b. Pemeriksaan Fisik
Tampilan secara klinis, gastroschisis berbeda dengan omfalokel, dimana
protusi organ cerna tidak memiliki lapisan pelindung dan defek biasanya

100
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

berukuran <4 cm. Defek pada gastroschisis biasanya terletak pada batas hubungan
antara umbilikus dengan kulit dan hampir selalu terletak di sisi kanan umbilicus.
Gastroschisis tidak disertai dengan anomali lain seperti pada pasien omfalokel,
meskipun 10% pasien gastroschisis disertai dengan atresia ani. Tampilan organ
cerna dapat memprediksikan waktu terjadinya defek pada saat in-utero. Defek
terjadi pada awal kehamilan ketika organ cerna yang mengalami protusi terlihat
menebal, edema, tertutupi oleh eksudat, dan telah terjadi perubahan warna.
Namun jika organ cerna terlihat normal, defek dinding abdomen terjadi saat fase
akhir kehamilan.9

c. Tatalaksana
Semua pasien dengan gastroschisis memerlukan tindakan pembedahan
urgensi. Beberapa pasien juga membutuhkan resusitasi cairan sebesar 160 – 190
cc/kg per hari untuk mengganti cairan yang secara evaporasi melalui defek
tersebut. Protusi organ cerna dapat dikembalikan ke dalam kavitas abdomen
melalui penutupan primer. Penutupan primer dilakukan dengan cara meregangkan
dinding abdomen secara mekanik melalui suction orogastric dengan dekompresi
foregut, irigasi rektum, dan evakuasi mekonium. Tindakan harus dilakukan secara
hati-hati untuk mencegah peningkatan tekanan intra-abdomen. Peningkatan
tekanan intra-abdomen mengakibatkan penekanan V. Cava Inf., gangguan
pernapasan, dan sindroma kompartemen abdomen. Untuk mencegah hal tersebut,
diperlukan monitoring tekanan dari vesica urinaria atau airway pressure selama
proses pengembalian organ cerna pada kavitas abdomen.9
Tindakan lain yang dapat dilakukan dengan cara penutupan bertahap
menggunakan suatu silo yang ditempatkan pada organ cerna dan sekaligus
mempertahankan bagian bawah fascia. Tindakan ini biasanya dilakukan pada bayi
gastroskisis dengan protusi organ cerna yang menebal, edema, tertutupi oleh
eksudat, telah terjadi perubahan warna, yang tidak memungkinkan untuk
dilakukan penutupan primer. Silo harus mampu menutup seluruh bagian organ
cerna dan memfasilitasi penurunan bertahap pada saat edema juga berkurang.
Tindakan pembedahan dapat dilakukan dalam waktu 1 sampai 2 minggu, dan

101
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

terkadang membutuhkan alat prostetik agar dapat menyatukan kedua ujung


fascia.9

3.2.3 Diagnosis dan tatalaksana Hypertrophic Pyloric Stenosis (HPS)


a. Definisi
HPS merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan hipertrofi pada
lapisan otot sirkuler pada pilorus gaster, yang mengakibatkan penyempitan dan
pemanjangan kanal pilorus disertai dengan penebalan pada otot di seluruh pilorus.
Kejadian HPS yaitu 1:300 kelahiran hidup, dan terjadi pada bayi berusia tiga
sampai dengan 6 minggu, dan cenderung terjadi pada bayi laki-laki dibandingkan
dengan bayi perempuan (rasio 5:1).9

b. Etiologi
Penyebab HPS belum dapat dijelaskan, namun beberapa penelitian
menyebutkan etabol merupakan etabo yang dapat menyebabkan HPS. Beberapa
penelitian etabol menyebutkan kejadian HPS disebabkan oleh kromosom
11q23.3 dan single-nucleotide polymorphism (SNP)9.

c. Gambaran Klinis
Bayi dengan HPS akan menunjukkan gejala berupa muntah tidak
mengandung cairan empedu dan memancar, intensitas muntah akan terus
bertambah semakin bertambahnya hari sampai minggu, hal ini disebabkan
semakin menebalnya otot pilorus gaster. Progresivitas penebalan otot pilorus
mengakibatkan obstruksi outlet gaster, dan jika obstruksi terjadi secara total, bayi
tidak mampu untuk mencerna makanan. Jika bayi sudah tidak mampu untuk
mencerna makanan, bayi akan memperlihatkan nafsu makan yang meningkat dan
akan terlihat dehidrasi. Karena penurunan masukan makanan serta minuman,
produksi urin semakin lama akan menurun diikuti dengan berkurangnya kentut.
Beberapa bayi akan akan memperlihatkan tampilan jaundice, hal ini disebabkan
oleh peningkatan bilirubin indirek, meskipun perjalanan keadaan patologis ini
belum dapat dijelaskan.9

102
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

d. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pada bayi akan memperlihatkan adanya massa di bagian
quadran kanan abdomen yang dapat di palpasi, terutama pada pasien dengan
obstruksi otot pilorus yang berat. Pemeriksaan inspeksi juga akan memperlihatkan
gelompang peristaltik gaster.9

e. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang utama yang dapat dilakukan untuk penegakkan
diagnosis pada pasien dengan HPS yaitu ultrasonografi (USG), dengan akurasi
diagnosis yaitu 95%. Diagnosis HPS melalui pemeriksaan USG pylorus yaitu
pemanjangan otot pilorus >16 mm dan tebal otot >4 mm. Jika terdapat keraguan
dalam penegakkan diagnosis, dapat dilakukan pemeriksaan menggunakan
radiografi dengan kontras, yang akan memperlihatkan gambaran waktu
pencernaan yang melambat terutama dari gaster menuju pilorus serta akan terlihat
penebalan dari otot pilorus. Pemeriksaan laboratorium akan memperlihatkan
gambaran hipokloremia, alkalosis metabolik, hipokalemia. Pemeriksaan urin akan
menunjukkan peningkatan Ph urin, namun jika hipokloremia memberat, Ph urin
akan mengalami penurunan.9

f. Tatalaksana
HPS bukan merupakan suatu kegawatdaruratan yang harus dilakukan
etaboli pembedahan segera, sehingga tatalaksana awal berfokus pada resusitasi
cairan dengan perbaikan elektrolit serta perbaikan alkalosis metabolik yang sering
terjadi pada bayi dengan HPS. Terapi cairan yang sering diberikan pada pasien
dengan HPS yaitu dextrose 5% dan saline 0,45% ditambah dengan cairan yang
mengandung K+ sebanyak 2 sampai 4 mEq/kgBB per hari, dengan kecepatan
pemberian 150 sampai 175 Ml/kgBB selama 24 jam. Selama resusitasi cairan,
produksi urin harus dipantau dan harus dijaga sampai produksi urin
(>2cc/kgBB/jam).9

103
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Setelah resusitasi cairan dilakukan dan keadaan umum bayi dengan HPS
membaik, dapat dilakukan tindakan pembedahan Fredet-Ramstedt
pyloromyotomy secara open atau melalui laporoskopi dengan insisi di atas
umbilikus atau insisi transversal di atas kuadran kanan atas. Insisi transversal
lebih memudahkan untuk mengakses bagian antrum dan pilorus gaster, sedangkan
pembedahan melalui laporoskopi memiliki hasil kosmetik yang lebih baik.
Tindakan pembedahan HPS dilakukan dengan memisahkan otot pilorus menjadi
dua bagian dan menyisakan bagian intak dari lapisan mukosa gaster. Setelah
tindakan pembedahan dilakukan, tatalaksana meliputi pemberian cairan secara IV,
kemudian dilanjutkan dengan Pedialyte, kemudian dilanjutkan pemberian makan
dengan ASI atau susu formula, yang dimana dosisnya dapat ditingkatkan secara
bertahap sampai 60 cc per 3 jam. Kebanyakan pasien dengan HPS dapat
dipulangkan dalam waktu 24 sampai 48 jam setelah tindakan pembedahan
dilakukan.9

g. Komplikasi
Komplikasi pada bayi HPS berasal dari tindakan pembedahan, meliputi
perforasi (dengan angka kejadian 30% dari total kasus), perdarahan, infeksi, HPS
berulang akibat miototomi yang tidak adekuat.9

104
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

MINGGU 4 UROLOGI

4.1 Bedah Urologi 1


4.1.1 Batu Saluran Kemih
Batu Ginjal dan Batu Ureter
a. Pendahuluan
Batu ginjal terbentuk pada tubuli ginjal kemudian berada di kaliks,
infundibulum, pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks
ginjal. Batu yang mengisi pielum dan lebih dari dua kaliks, ginjal memberikan
gambaran menyerupai tanduk rusa sehingga disebut batu staghorn.10

b. Gambaran Klinis
Keluhan yang disampaikan oleh pasien tergantung posisi atau letak batu,
besar batu, dan penyulit yang telah terjadi.10
1) Keluhan paling dirasakan oleh pasien adalah nyeri pada pinggang.
2) Batu yang terletak disebelah distal ureter dirasakan oleh pasien
sebagai nyeri pada saat kencing atau sering kencing.
3) Hematuria sering dikeluhkan oleh pasien akibat trauma pada mukosa
saluran kemih yang disebabkan oleh batu.
4) Demam dicurigai suatu urosepsis.

c. Pemeriksaan fisik, didapati:10


1) Didapatkan nyeri ketok pada daerah kostovertebra.
2) Teraba ginjal pada sisi sakit akibat hidronefrosis.
3) Terlihat tanda-tanda gagal ginjal.
4) Retensi urin.
5) Jika disertai infeksi didapatkan demam/menggigil.

d. Pemeriksaan penunjang, didapati:10


1) Pada pemeriksaan sedimen urin menunjukkan adanya leukosituria,
hematuria, dan dijumpai kristal pembentuk batu.

105
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

2) Pemeriksaan kadar elektrolit (kalsium, oksalat, fosfat maupun urat di


dalam darah maupun di dalam urine.
3) Foto polos abdomen.
4) Pielografi Intrra Vena (IVU).
5) Ultrasonografi.

e. Penatalaksanaan, meliputi:10
1) Medikamentosa
Ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5 mm, terapi yang
diberikan bertujuan untuk mengurangi nyeri, memperlancar aliran
urine dengan pemberian diuretikum, dan minum banyak.
2) ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy).
3) Endourologi.
4) Bedah laparoskopi.
5) Bedah terbuka.

f. Pencegahan, meliputi:10
1) Menghindari dehidrasi dengan minum dan diusahakan produksi urine
sebanyak 2-3 liter per hari.
2) Diet untuk mengurangi kadar zat komponen pembentuk batu.
3) Aktifitas harian yang cukup.

Batu buli-buli
a. Gambaran klinis terdiri dari:10
1) Nyeri kencing/disuria hingga stranguria.
2) Perasaan tidak enak sewaktu kencing.
3) Kencing tiba-tiba berhenti kemudian menjadi lancer kembali dengan
perubahan posisi tubuh.
4) Nyeri saat miksi seringkali dirasakan pada ujung penis, skrotum,
perineum, pingggang, sampai kaki.
5) pada anak seringkali mengeluh adanya enuresis nokturna.

106
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

b. Tatalaksana, meliputi:10
1) Litotripsi.
2) Vesikolitotomi.
3) Koreksi terhadap penyebab timbulnya stasis urin.

Batu Uretra
Batu uretra biasanya berasal dari batu ginjal/ureter yang turun ke buli-buli,
kemudian masuk ke uretra.10
a. Gambaran Klinis meliputi:10
1) Miksi tiba-tiba berhenti hingga terjadi retensi urin.
2) Didahului dengan nyeri pinggang.
3) Batu yang berada di uretra anterior sering kali dapat diraba oleh
pasien berupa benjolan keras di uretra pars bulbosa maupun
pendularis, atau kadang-kadang nampak di meatus uretra eksterna.
4) Batu yang berada pada uretra posterior, nyeri dirasakan di perineum
atau rektum
b. Tatalaksana, meliputi10:
1) Tindakan untuk mengeluarkan batu tergantung pada posisi, ukuran,
dan bentuk batu. Seringkali batu yang ukurannya tidak terlalu besar
dapat keluar spontan.
2) Batu yang ukuranya besar dilakukan litotripsi

107
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

4.1.2 LUTS dan BPH


Disfungsi Saluran Kemih Bagian Bawah atau Lower Urinary Tract Symptoms

Kegagalan dalam proses

Pengisian Urine (starage) Pengeluaran urin (Voiding)

Inkontinensia urine Retensi urine

Faktor buli-buli Faktor buli-buli


Overaktivitas detrusor Buli-buli neuropatik
Hiperrefleksia
detrusor
Faktor uretra
Kelainan pada uretra BPH/Ca prostat
Hipermobilitas uretra Batu uretra
Defisiensi sfingter
intrinsik
Bagan 4.1 Bagan Disfungsi Proses Miksi

a. Retensi urine
1) Definisi
Retensi urine adalah ketidak mampuan seseorang untuk mengeluarkan
urine yang terkumpul di dalam buli-buli hingga kapasitas maksimal
buli-buli terlampaui.10
2) Gambaran klinis, meliputi1:0
 Pasien mengeluh tertahan kencing atau kencing keluar sedikit
sedikit.
 Pada pemeriksaan fisik: pemeriksaan genetalia eksterna mungkin
teraba batu di uretra anterior, terlihat batu di meatus uretra

108
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

eksternum, teraba spongiofibrosis di sepanjang uretra anterior,


terlihat fistel atau abses di uretra, fimosis/ parafimosis, atau keluar
darah dari uretra akibat cidera uretra.
 Pemeriksaan penunjang: foto polos abdomen menunjukkan
bayangan buli-buli penuh, uretrografi
3) Penatalaksanaan, meliputi:10
Pemasangan kateter atau sistostomi untuk mengeluarkan urine yang
tertahan di buli-buli, meatotomi untuk batu di meatus uretra eksternum
atau meatal stenosis, fimosis dan parafimosis dilakukan sirkumsis atau
dorsumsisi.

Hiperplasia Prostat Benigna (BPH)


a. Anatomi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak
disebelah inferior buli-buli dan melingkari uretra posterior. Bentuknya sebesar
buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa 20 gram. McNeal (1976)
membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, anatara lain zona perifer, zona
sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona periuretra.10

b. Etiologi
Belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya etabolic a prostat.
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH
adalah10:
1) Teori dihidrotestosteron.
2) Adanya ketidak seimbangan antara esterogen-testosteron.
3) Interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat.
4) Berkurangnya kematian sel (apoptosis).
5) Teori stem sel.

109
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

b. Patofisiologi
Hiperplasia Prostat

Penyempitan Lumen Uretra Posterior

Peningkatan Tekanan Intravesikal

Buli-Buli Ginjal dan ureter


Hipertrofi otot detrusor refluks vesiko- ureter
Trabekulasi Hidroureter
Selula Hidronefrosis
Divertikel Buli_Buli Pionefrosis
Gagal ginjal
c. Gambaran klinis, meliputi:10
1) Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
2) Terdiri atas gejala voiding, storage, dan pasca miksi.
3) Gejala pada saluran kemih bagian atas
4) Berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di
pinggang (tanda hidronefrosis), demam (tanda infeksi atau urosepsis).
5) Gejala di luar saluran kemih
6) Adanya hernia inguinalis atau hemoroid.

d. Pemeriksaan fisik, meliputi:10


1) Mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kists
di daerah supra simfisis akibat retensi urine.
2) kadang-kadang didapatkan urine yang selalu menetes tanpa disadari
oleh pasien.
3) Pemeriksaan colok dubur

110
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

4) Didapatkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung,


lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul, sedangkan
pada karsinoma prostat, konsistensi prostat keras/teraba nodul dan
mungkin diantara lobus prostat tidak simetri.

e. Pemeriksaan Penunjang, meliputi:10


1) Laboraturium
2) Pencitraan: Foto polos abdomen, Ultrasonografi

f. Terapi10:
Tabel 4.1 Pilihan Terapi pada BPH (dikutip sesuai dengan aslinya dari
kepustakaan no.)
Invasif
Observasi Medikamentosa Operasi
Minimal
Menunggu Penghambat Prostatektomi terbuka TUMT
etabolic -α
Penghambat Endourologi TUBD
etabolic -α TUR P
Fitofarmaka TUIP Stent uretra
Hormonal TULP TUNA
Elektrovaporisasi

111
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

4.2 Bedah Urologi 2


4.2.1 Hipospadias dan Epispadia
Hipospadia
a. Definisi
Hipospadias adalah kelainan kongenital berupa muara uretra yang
terletak disebelah ventral penis dan sebelah proksimal ujung penis. Letak
meatus uretra bisa terletak pada glandular hingga perineal. Angka kejadian
hipospadia adalah 3,2 dari 1000 kelahiran hidup.10

Gambar 4.1 Tipe Hipospadia Berdasarkan Lokasi (dikutip sesuai dengan aslinya
dari kepustakaan no).

b. Kalsifikasi
Berdasarkan letak muara uretra setelah setelah dilakukan koreksi
korde, browne (1993) membagi hipospadia dalam tiga bagian besar.10
1) Hipospadi anterior terdiri atas tipe granular, subkoronal, dan penis
distal.
2) Hipospadi medius terdiri atas: midshaft, dan penis proksimal.
3) Hipospadi posterior terdiri atas: etabolic a, etabol, dan perineal.

112
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

c. Tindakan
Tujuan operasi hipospadia adalah:10
1) Kosmetik penis sehingga fungsi miksi dan fungsi seksual normal
(ereksi lurus dan pancaran ejakulasi kuat).
2) Penis dapat tumbuh dengan normal.
Tahapan rekonstruksi adalah koreksi korde (ortoplasti), membuat
neouretra dari kulit penis (uretroplasti), dan membuat glans. Metode
rekonstruksi dapat meggunakan metode satu tahap hingga dua tahap10.

d. Komplikasi, meliputi10:
1) Fistula uretrokutan.
2) Stensis meatus uretra.
3) Striktura uretra.
4) Korde yang belum sepenuhnya terkoreksi.
5) Timbulnya divertikel uretra.

Epispadia
a. Definisi
Epispadia adalah suatu bentuk kecacatan ringan pada kelenjar
penutup penis sampai bagian penopubik yag ditandai dengan inkontinensia
total pada pria ataupun perempuan. Epispadia merupakan defek atau
kecacatan pada dinding dorsal uretra. 11

b. Etiologi dan Epidemiologi


Epispadia pada laki-laki jarang ditemukan. Menurut laporan 1 dari
117.000 laki-laki mengalami etabolic . Sebagian besar pasien epispadia
laki-laki (sekitar 70%) mengalami complete epispadias dengan
inkontinensia.11

c. Manifestasi Klinis

113
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Epispadia ditandai dengan meatus uretra yang tergeser ke arah


dorsal dan dapat ditemukan pada glans penis, batang penis, atau di daerah
penopubik. Semua jenis tindakan berhubungan dengan berbagai derajat
chordee dorsal.11

Gambar 4.2 Epispadia complete pada laki-laki (dikutip sesuai dengan aslinya dari
kepustakaan no).

d. Tatalaksana
Meskipun inkontinensia urin tetap menjadi masalah yang paling
signifikan untuk pasien etabolic , kecemasan tentang ketidak-adekuatan
dan alat kelamin yang tidak menarik masih menjadi perhatian terbesar bagi
pria pasien. Banyak teknik yang telah dilakukan dalam rekonstruksi penis
dan uretra pada pasien dengan etabolic . Metode perbaikan etabolic
saat ini pada ekstrofi kandung kemih adalah Cantwell-Ransley repair
(1989), modifikasi Cantwell-Ransley (1995), dan teknik penis
pembongkaran dijelaskan oleh Mitchell dan Bägli (1996). Terlepas dari
teknik bedah yang dipilih untuk rekonstruksi penis dalam pada etabolic ,
empat perhatian utama harus ditujukan untuk memastikan penis yang
fungsional dan baik secara kosmetik.11

114
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

4.2.2 Diagnosis dan Tatalaksana Varikokel, Hidrokel, Fimosis, Parafimosis,


Torsio Testis, Karsinoma Prostat, Striktur Uretra, Retensi Urin
Varikokel
a. Definisi
Varikokel adalah dilatasi abnormal dari vena pada pleksus
pampiniformis akibat gangguan aliran darah balik vena spermatika.
Kelainan ini terdapat pada 15% pria. Varikokel juga salah satu penyebab
infertilitas pada pria.10

b. Patogenesis
Varikokel bisa menimbulkan gangguan proses spermatogenesis
melalui beberapa cara, antara lain:10
1) Terjadi stagnasi darah balik pada sirkulasi sehingga testis mengalami
hipoksia karena kekurangan oksigen.
2) Refluks hasil metabolit ginjal dan adrenal (antara lain katekolamin
dan prostaglandin) melalui vena spermatika interna ke testis.
3) Peningkatan suhu testis.
4) Adanya anastomosis antara pleksus pampiniformis kiri dan kanan,
memungkinkan zat-zat hasil metabolit tadi dapat dialirkan dari testis
kiri ke testis kanan, sehingga mengakibatkan gangguan
spermatogenesis testis kanan dan pada akhirnya terjadi infertilitas.

c. Gambaran Klinis dan Diagnosis


Pasien datang ke dokter biasanya mengeluh belum mempunyai
anak setelah beberapa tahun menikah, atau kadang-kadang mengeluh
adanya benjolan di atas testis yang terasa nyeri. Pemeriksaan pun
dilakukan dalam posisi berdiri, dengan memperhatikan keadaan skrotum,
kemudian dilakukan palpasi. Jika diperlukan, pasien diminta untuk

115
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

melakukan manuver valsava atau mengedan. Jika terdapat varikokel,


inspeksi dan papasi terdapat bentukan seperti kumpulan cacing-cacing di
dalam kantung yang berada di sebelah kranial testis. Secara klinis,
varikokel dibedakan dalam 3 tingkatan/derajat:10
1) Derajat kecil: yakni varikokel yang dapat dipalpasi setelah pasien
melakukan manuver valsava.
2) Derajat sedang: akni varikokel yang dapat dipalpasi tanpa melakukan
manuver valsava.
3) Derajat besar:akni varikokel yang sudah dapat dilihat bentuknya tanpa
melakukan manuver valsava.
Kadangkala, sulit untuk menemukan adanya bentukan varikokel
secara klinis, meskipun terdapat tanda-tanda lain yang menunjukkan
adanya varikokel. Untuk itu, pemeriksaan auskultasi dengan memakai
stetoskop doppler sangat membantu, karena bisa mendeteksi adanya
peningkatan aliran darah di pleksus pampiniformis. Varikokel yang sulit
diraba secara klinis seperti ini, disebut varikokel subklinik.10
Diperhatikan pula konsistensi testis maupun ukurannya, dengan
membandingkan testis kiri dengan testis kanan. Untuk lebih objektif dalam
menentukan besar atau volume testis, dilakukan pengukuran dengan alat
orkidometer. Pada beberapa keadaan, mungkin kedua testis teraba kecil
dan lunak, karena telah terjadi kerusakan di sel-sel germinal.10
Untuk menilai seberapa jauh varikokel telah menyebabkan
kerusakan di tubuli seminiferi, dilakukan pemeriksaan analisis semen.
Analisis semen di varikokel menujukkan pola stress, yaitu menurunnya
motilitas sperma, meningkatnya jumlah sperma muda (immature), dan
terdapat kelainan bentuk sperma (tapered).10

d. Terapi
Hingga kini, masih terjadi silang pendapat di antara para ahli
tentang perlu tidaknya melakukan operasi bagi penderita varikokel. Di
antara mereka berpendapat, varikokel yang telah menimbulkan gangguan

116
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

fertilitas atau gangguan spermatogenesis, merupakan indikasi untuk


mendapatkan suatu terapi. Tindakan yang dikerjakan adalah.10
1) Ligasi tinggi vena spermatika interna secara palomo, melalui operasi
terbuka atau bedah laparoskopi.
2) Varikokelektomi cara Ivanisevich.
3) Atau secara perkutan dengan memasukkan bahan sclerosing ke dalam
vena spermatika interna.

e. Evaluasi
Pasca tindakan dilakukan evaluasi keberhasilan terapi, dengan
melihat beberapa indikator antara lain:10
1) Bertambahnya volume testis,
2) Perbaikan hasil analisis semen (yang dikerjakan setiap 3 bulan)
3) Atau pasangan tersebut hamil
Pada kerusakan testis yang belum parah, evaluasi pasca bedah
vasoligasi tinggi dari palomo didapatkan 80% terjadi perbaikan volume
testis, 60-80% terjadi perbaikan analisis semen, dan 50% pasangan
menjadi hamil.10

Hidrokel
a. Definisi
Hidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan diantara lapisan
parietalis viseralis tunika vaginalis. Dalam keadaan normal, cairan yang berada di
dalam rongga itu memang ada dan berada dalam keseimbangan antara produksi
dan reabsorbsi oleh sistem limfatik di sekitarnya.10

b. Etiologi
Hidrokel yang terjadi pada bayi baru lahir dapat disebabkan
karena: (1) belum sempurnanya penutupan prosesus vaginalis sehingga
terjadi aliran cairan peritoneum ke prosesus vaginalis (hidrokel
komunikans) atau (2) belum sempurnanya etabo limfatik di daerah

117
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

skrotum dalam melakukan reabsorbsi cairan hidrokel. Pada orang dewasa,


hidrokel dapat terjadi secara idiopatik (primer) dan sekunder. Penyebab
sekunder terjadi karena didapatkan kelainan pada testis atau epididimis
yang menyebabkan terganggunya sistem sekresi atau reabsorbsi cairan di
kantong hidrokel. Kelainan pada terstis itu mungkin suatu tumor, infeksi,
atau trauma pada testis/epididimis.10

c. Gambaran Klinis
Pasien mengeluh adanya benjolan di kantong skrotum yang tidak
nyeri. Pada pemeriksaan fisis didapatkan adanya benjolan di kantong
skrotum dengan konsistensi kistus dan pada pemeriksaan penerawangan
menunjukkan adanya transiluminasi. Pada hidrokel yang terinfeksi atau
kulit skrotum yang sangat tebal kadang-kadang sulit melakukan
pemeriksaan ini, sehingga harus dibantu dengan pemeriksaan
ultrasonografi. Menurut letak kantong hidrokel terhadap testis, secara
klinis dibedakan beberapa macam hidrokel, yaitu (1) hidrokel testis, (2)
hidrokel funikulus, dan (3) hidrokel komunikan.10

Gambar 4.3 Pemeriksaan Transiluminasi (penerawangan) pada hidrokel (dikutip


sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no).

Pembagian ini penting karena berhubungan dengan metode operasi yang


akan dilakukan pada saat melakukan koreksi hidrokel:10

118
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

1) Pada hidrokel testis, kantong hidrokel seolah-olah mengelilingi testis


sehingga testis tak dapat diraba. Pada anamnesis, besarnya kantong
hidrokel tidak berubah sepanjang hari.
2) Pada hidrokel funikulu, kantong hidrokel berada di funikulus yaitu
terletak di sebelah kranial dari testis, sehingga pada palpasi, testis
dapat diraba dan berada di luar kantong hidrokel. Pada anamnesis
kantong hidrokel besarnya tetap sepanjang hari.
3) Pada hidrokel komunikan terdapat hubungan antara prosesus vaginalis
dengan rongga peritoneum sehingga prosesus vaginalis dapat terisi
cairan peritoneum. Pada anamnesis, kantong hidrokel besarnya dapat
berubah-ubah yaitu bertambah besar pada saat anak menangis. Pada
palpasi, kantong hidrokel terpisah dari testis dan dapat dimasukkan ke
dalam rongga abdomen.

d. Terapi
Hidrokel pada bayi biasanya ditunggu hingga anak mencapai usia 1
tahun dengan harapan setelah prosesus vaginalis menutup, hidrokel akan
sembuh sendiri; tetapi jika hidrokel masih tetap ada atau bertambah besar
perlu difikirkan untuk dilakukan koreksi. Tindakan untuk mengatasi cairan
hidrokel adalah dengan aspirasi dan operasi. Aspirasi cairan hidrokel tidak
dianjurkan karena selain angka kekambuhannya tinggi, kadang kala dapat
menimbulkan penyulit berupa infeksi.10
Beberapa indikasi untuk melakukan operasi pada hidrokel adalah:
(1) hidrokel yang besar sehingga dapat menekan pembuluh darah, (2)
indikasi kosmetik, dan (3) hidrokel permagna yang dirasakan terlalu berat
dan mengganggu pasien dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari. Pada
hidrokel kongenital dilakukan pendekatan inguinal karena seringkali
hidrokel ini disertai dengan hernia inguinalis sehingga pada saat operasi
hidrokel, sekaligus melakukan herniorafi. Pada hidrokel testis dewasa
dilakukan pendekatan skrotal dengan melakukan eksisi dan marsupialisasi
kantong hidrokel sesuai cara Winkelman atau plikasi kantong hidrokel

119
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

sesuai cara Lord. Pada hidrokel funikulus dilakukan ekstirpasi hidrokel


secara in toto.10

e. Penyulit
Jika dibiarkan, hidrokel yang cukup besar mudah mengalami
trauma dan hidrokel permagna bisa menekan pembuluh darah yang
menuju ke testis, sehingga menimbulkan atrofi testis.10

Fimosis
a. Definisi
Fimosis adalah prepusium penis yang tidak dapat diretraksi
(ditarik) ke proksimal sampai ke korona glandis. Fimosis dialami oleh
sebagian besar bayi baru lahir karena terdapat adesi alamiah antara
prepusium dengan glans penis. Hingga usia 3-4 tahun penis tumbuh dan
berkembang, dan debris yang dihasilkan oleh epitel prepusium (smegma)
mengumpul di dalam prepusium dan perlahan-lahan memisahkan
prepusium dari glans penis. Ereksi penis yang terjadi secara berkala
membuat prepusium terdilatasi perlahan-lahan sehingga prepusium menjadi
retraktil dan dapat ditarik ke proksimal.10

b. Gambaran klinis
Fimosis menyebabkan gangguan aliran urin berupa sulit kencing,
pancaran urin mengecil, menggelembungnya ujung prepusium penis pd saat
miksi, retensi urin. Higiene lokal kurang bersih menyebabkan terjadinya
infeksi pada prepusium (postitis), infeksi pada glans penis (balanitis), atau
infeksi pada glans & prepusium penis (balanopostitis). Kadangkala pasien
dibawa berobat oleh orang tuanya karena ada benjolan lunak di ujung
penis yang tak lain adalah korpus smegma yaitu timbunan smegma di
dalam sakus prepusium penis. Smegma terjadi dari sel-sel mukosa

120
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

prepusium dan glans penis yang mengalami deskuamasi oleh bakteri yang
ada di dalamnya.10

c. Tindakan
Tidak dianjurkan melakukan dilatasi atau retraksi yang dipaksakan
pada fimosis, karena menimbulkan luka dan terbentuk sikatriks pada ujung
prepusium sebagai fimosis sekunder. Fimosis yang disertai balanitis
etaboli obliterans dapat dicoba diberikan salep deksametasone 0,1% yang
dioleskan 3 atau 4 kali. Diharapkan setelah pemberian selama 6minggu,
prepusium dapat diretraksi spontan.10
Pada Fimosis yang menimbulkan keluhan
miksi,menggelembungnya ujung prepusium saat miksi, atau fimosis yang
disertai postitis merupakan indikasi untuk dilakukan sirkumsisi. Tentunya
pada balanitis atau psostitis harus diberi antibiotika dahulu
sebelumsirkumsisi.10

Parafimosis
a. Definisi
Parafimosis adalah prepusium penis yang diretraksi sampai ke
sulkus korinarius tidak dapat dikembalikan pada keadaan semula dan
timbul jeratan pada penis dibelakang sulkus koronarius. Menarik (retraksi)
prepusium ke proksimal biasanya dilakukan pada saat
bersenggama/masturbasi atau sehabis pemasangan kateter. Jika
prepusim tidak secepatnya dikembalikan ke tempat semula,dapat
menyebabkan gangguan aliran balik vena superficial sedangkan aliran
arteri tetap berjalan normal.Hal ini menyebabkan edema glans penis dan
dirasakan nyeri. Jika dibiarkan bagian penis disebelah distal jeratan makin
membengkak yang akhirnya bisa mengalami nekrosis glans penis.10

b. Tindakan

121
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Prepusium diusahakan untuk dikembalikan secara manual dengan


teknik memijat glans selama 3-5 menit diharapakan edema berkurang dan
secara perlahan-lahan prepusium dikembalikan pada tempatnya. Jika
usaha ini tidak berhasil, dilakukan dorsum insisi pada jeratan sehingga
prepusium dapat dikembalikan pada tempatnya. Setelah edema dan
proses inflamasi menghilang pasien dianjurkan untuk menjalani
sirkumsisi.10

Torsio Testis
a. Pendahuluan
Torsio testis adalah terpelintirnya funikulus spermatikus yang
berakibat terjadinya gangguan aliran darah pada testis. Keadaan ini
diderita oleh 1 diantara 4000 pria yang berumur kurang dari 25 tahun, dan
paling banyak diderita oleh anak pada masa pubertas (12-20 tahun).10

b. Patogenesis
Secara fisiologis otot kremaster berfungsi menggerakkan testis
mendekati dan menjauhi rongga abdomen guna mempertahankan suhu
ideal untuk testis. Adanya kelainan sistem penyanggah testis menyebabkan
testis dapat mengalami torsio jika bergerak secara berlebihan. Beberapa
keadaan yang menyebabkan pergerakan yang berlebihan itu, antara lain
perubahan suhu yang mendadak, ketakutan, latihan yang berlebihan,
batuk, celana dalam yang terlalu ketat, defekasi, dan trauma yang
mengenai skrotum.10
Terpelintirnya funukulus spermatikus menyebabkan obtruksi aliran
darah testis sehingga testis mengalami hipoksia, edema testis, dan iskemik.
Pada akhirnya testis akan mengalami nekrosis.10

c. Gambaran klinis dan diagnosis

122
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Keluhan berupa nyeri hebat di daerah skrotum, yang sifatnya


mendadak dan diikuti pembengkakan pada testis. Keadaan ini dikenal
sebagai akut skrotum. Nyeri dapat menjalar ke daerah inguinal atau perut
sebelah bawah, sehingga jika tidak diwaspadai sering dikacaukan dengan
apendisitis akut. Pada bayi gejalanya tidak khas yakni gelisah, rewel, atau
tidak mau menyusu.10
Pada pemeriksaan fisik, testis membengkak, letaknya lebih tinggi
dan lebih horizontal daripada testis sisi kontralateral. Kadang-kadang pada
torsio testis yang baru saja terjadi, dapat diraba adanya lilitan
atau penebalan funikulus spermatikus. Keadaan ini biasanya biasanya
tidak disertai disertai adanya demam.10
Pemeriksaan sedimen urine tidak menunjukkan adanya leukosit
dalam urine dan pemeriksaan darah tidak menunjukkan tanda inflamasi,
kecuali pada torsio testis yang sudah lama dan telah mengalami
peradangan steril. Pemeriksaan penunjang yang berguna untuk
membedakan torsio testis dengan keadaan akut skrotum yang lain adalah
dengan memakai: stetoskop doppler, ultrasonongrafi doppler, dan
sintigrafi testis yang kesemuanya bertujuan menilai adanya aliran darah ke
testis. Pada torsio testis tidak didapatkan adanya aliran darah ke testis
sedangkan pada peradangan akut testis, terjadi peningkatan aliran darah ke
testis.10

d. Diagnosis Banding10
1) Epididimis akut. Penyakit ini secara klinis sulit dibedakan dengan
torsio testis. Nyeri skrotum akut biasanya disertai dengan kenaikan
suhu tubuh, keluarnya nanah dari uretra, ada riwayat coitus suspectus,
atau pernah menjalani kateterisasi uretra sebelumnya. Jika dilakukan
elevasi (pengangkatan testis) testis, pada epididimis akut terkadang
nyeri akan berkurang sedangkan pada torsio testis nyeri tetap ada.
Pasien epididimis akut biasanya berumur lebih dari 20 tahun dan pada

123
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

pemeriksaan pemeriksaan sedimen sedimen urin didapatkan


didapatkan adanya leukositoria leukositoria atau bakteriuria.
2) Hernia skrotalis inkarserata, yang biasanya didahului dengan
anamnesis didapatkan benjolan yang dapat keluar dan masuk ke dalam
skrotum.
3) Hidrokel terinfeksi, dengan anamnesis sebelumnya sudah ada benjolan
di dalam skrotum.
4) Tumor testis, benjolan tidak dirasakan nyeri kecuali terjadi perdarahan
di dalam testis.
5) Edema skrotum yang dapat disebabkan oleh hipoproteinemia,
filariasis, adanya pembuntuan saluran limfe inguinal, kelainan
jantung, atau kelainan-kelainan yang tidak diketahui sebabnya
(idiopatik).

e. Terapi10
1) Detorsi Manual: pengembaliaan posisi testis ke asalnya, yaitu dengan
jalan memutar testis ke arah berlawanan dengan arah torsio. Karena
arah torsio biasanya ke medial maka dianjurkan untuk memutar testis
ke arah lateral dahulu, kemudian jika tidak terjadi perubahan, dicoba
detorsi ke arah medial. Hilangnya nyeri setelah detorsi menandakan
bahwa detorsi telah berhasil. Jika detorsi behasil operasi harus tetap
dilaksanakan.
2) Operasi
Tindakan operasi ini dimaksudkan untuk mengbalikan posisi testis pada arah
yang benar (reposisi) dan setelah setelah itu dilakukan dilakukan
penilaian penilaian viabilitas testis yang mengalami torsio, mungkin
masih viable atau sudah mengalami nekrosis. Jika testis masih hidup,
lakukan orkidopeksi (fiksasi testis) pada tunika dartos kemudian
disusul orkidopeksi pada testis kontralateral.
Orkidopeksi dilakukan dengan mempergunakan benang yang tidak diserap
pada 3 tempat untuk mencegah agar testis tidak terpluntir kembali,

124
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

sedangkan pada testis yang sudah mengalami nekrosis dilakukan


pengangkatan testis (orkidektomi) dan kemudian disusul orkidopeksi
pada testis kontralateral. Testis yang telah mengalami nekrosis jika
tetap dibiarkan berada di dalam skrotum akan merangsang
terbentuknya antibodi antisperma sehingga mengurangi kemampuan
fertilitas dikemudian hari.

Karsinoma Prostat
a. Pendahuluan
Karsinoma prostat merupakan keganasan yang terbanyak diantara
keganasan etabo urogenitalia pria. Tumor ini menyerang pasien yang
berusia diatas 50 tahun, diantaranya 30% menyerang pria berusia 70-80
tahun dan 75% pada usia lebih dari 80 tahun. Kanker ini jarang menyerang
pria berusia sebelum 45 tahun. Insiden karsinoma prostat akhir-akhir ini
mengalami peningkatan karena:10
1) Meningkatnya umur harapan hidup
2) Penegakan diagnosis yang menjadi lebih baik, dan
3) Kewaspadaan tiap individu mengenai adanya keganasan prostat makin
meningkat karena informasi dari majalah, media elektronika, atau
internet.

b. Etiologi
Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab timbulnya
adenokarsinoma prostat adalah:10
1) Predisposisi genetik
2) Pengaruh hormonal
3) Diet
4) Pengaruh lingkungan
5) Infeksi
Kemungkinan untuk menderita kanker prostat menjadi dua kali jika
saudara laki-lakinya menderita penyakit ini. Kemungkinannya naik

125
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

menjadi lima kali jika ayah dan saudaranya juga menderita. Hal tersebut
menunjukkan adanya faktor genetika yang melandasi terjadinya kanker
prostat.10
Diet yang banyak mengandung lemak, susu yang berasal dari
binatang, daging merah, dan hati diduga meningkatkan kejadian kanker
prostat. Beberapa nutrisi diduga dapat menurunkan insidens kanker
prostat, diantaranya adalah: vitamin A, beta karotin, isoflavon atau
fitoestrogen yang banyak terdapat pada kedelai, likofen, selenium, dan
vitamin E. Kebiasaan merokok dan paparan bahan kimia kadmium yang
banyak terdapat pada alat listrik dan baterai berhubungan erat dengan
timbulnya kanker prostat.10

c. Penyebaran
Tumor yang berada pada kelenjar prostat tumbuh menembus
kapsul prostat dan mengadakan infiltrasi ke organ sekitarnya. Penyebabran
secara limfogen melalui kelenjar limfe pada daerah pelvis menuju kelenjar
limfe retroperitoneal dan penyebaran secara hematogen melalui vena
vertebralis menuju tulang-tulang pelvis, femur sebelah proksimal, vertebra
lumbalis, kosta, paru, hepar, dan otak. Metastasis ke tulang pada umumnya
merupakan proses osteoblastik, meskipun kadang-kadang bisa juga terjadi
proses osteolitik10.

d. Gambaran klinis
Pada kanker prostat stadium dini, seringkali tidak menunjukkan
gejala atau tanda klinis.  Tanda itu biasanya muncul setelah kanker berada
pada stadium yang lebih lanjut.  Kanker prostat stadium Dini biasanya
ditemukan pada saat pemeriksaan colok dubur berupa nodul keras pada
prostat atau secara kebetulan ditemukan adanya peningkatan kadar
penanda tumor PSA (prostate specific antigens) Pada saat pemeriksaan
laboratorium.  Kurang lebih 10% pasien yang datang berobat ke dokter
mengeluh adanya gangguan saluran kemih berupa kesulitan miksi, Nyeri

126
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

kencing, atau hematuria yang menandakan bahwa kanker telah menekan


uretra.10
 Meskipun jarang, kanker dapat menekan rektum dan
menyebabkan keluhan buang air besar. Kanker prostat yang sudah
mengadakan metastasis ke tulang memberikan gejala nyeri tulang, fraktur
pada tempat metastasis, atau kelainan Neurologis jika metastasis pada
tulang vertebra.10
Pemeriksaan fisik yang penting adalah melakukan colok dubur. 
Pada stadium dini seringkali sulit untuk mendeteksi kanker prostat melalui
colok dubur sehingga harus dibantu dengan pemeriksaan ultrasonografi
transrektal (TRUS). Kemampuan TRUS dalam mendeteksi kanker prostat
dua kali lebih baik dari pada colok dubur.  Jika dicurigai ada area
hipoekoik selanjutnya dilakukan biopsi transektal pada area tersebut
dengan bimbingan TRUS.10

e. Stadium
Tingkat infiltrasi dan penyebaran tumor berdasarkan system TNM
adalah seperti terlihat pada gambar:10
Organ T1 T2
Confirmed (Non palpable tumor atau
(tumor incidental)
terbatas pada Secara kebetulan karsinoma Pada colok dubur teraba
prostat) prostat ditemukan nodul keras yang
pada hasil masih terbatas
pemeriksaan intrakapsuler
histopatologi setelah (prostat)
TRUP pada BPH

127
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Invasi Lokal T3
Tumor mengadakan invasi
ke vesikula
seminalis

T4
Tumor mengadakan invasi
ke organ lain selain
ke vesikula
seminalis (leher buli-
buli, sfingter
eksternal dan etabo)

Diseminasi Tumor sudah mengadakan


infiltrasi limfogen
(N) maupun
hematogen (M).

f. Derajat diferensiasi sel


Di samping penentuan derajat diferensiasi tumor menurut Mostofi,
dikenal pula deferensiasi Gleason. Sistem gleason didasarkan atas pola
perubahan arsitektur dari kelenjar prostat yang dilihat secara mikroskopik
dengan pembesaran rendah (60-100 kali), dan dibedakan dalam 5 tingkat
perubahan mulai dari tingkat very well differentiated (tingkat 1) hingga
undifferentiated (tingkat 5).  Dari pengamatan mikroskopis suatu
perangkat, kemudian ditentukan dua jenis pola tumor, yaitu tumor yang
mempunyai pola atau tingkat yang paling ekstensif disebut sebagai
primary pattern dan pola atau tingkat yang paling tidak ekstensif Atau
disebut secondary pattern. Dua tingkat tersebut kemudian dijumlahkan
sehingga menjadi grading dari gleason. Misalnya primary pattern tingkat 4
sedangkan secondary pattern dari tingkat 2, maka penjumlahan grading
gleason adalah 4 + 2 = 6. Karena itu grading gleason berkisar antara 2
sampai dengan 10, yaitu merupakan hasil penjumlahan dari 1 + 1 = 2
hingga 5 + 5 = 10. Dari penjumlahan itu kemudian disimpulkan tingkat
histopatologi nya seperti pada tabel:10

128
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Tabel 4.2 Derajat Diferensiasi Karsinoma Prostat Menurut Gleason.

Grade Tingkat Histopatologi


2-4 Well differentiated
5-7 Moderately differentiated
8-10 Poorly differentiated

g. Penanda Tumor
Untuk membantu menegakkan diagnosis suatu adenokarsinoma
prostat dan mengikuti perkembangan penyakit tumor ini terdapat beberapa
penanda tumor, yaitu:10
1) PAP (prostatic acid phosphatase) dihasilkan oleh sel asini prostat dan
disekresikan ke dalam etabol prostat, dan
2) PSA (prostate etaboli antigens) yaitu suatu glikoprotein yang
dihasilkan oleh sitoplasma sel epitel prostat, dan berperan dalam
melakukan likuefaksi cairan semen. Pada proses keganasan prostat,
PSA akan menembus basal etaboli sel epitel dan beredar melalui
pembuluh vaskuler, yang selanjutnya kadarnya meningkat pada
pemeriksaan darah perifer. PSA berguna untuk melakukan deteksi dini
adanya kanker prostat dan evaluasi lanjutan setelah terapi kanker
prostat.

h. Pemeriksaan Pencitraan10
1) USG transrektal (TRUS): pada pemeriksaan ultrasonografi dapat
diketahui adanya area hipoekoik (60%) yang merupakan salah satu
tanda adanya kanker prostat dan sekaligus mengetahui kemungkinan
adanya ekstensi tumor ke ekstrakapsular.
2) CT Scan dan MRI. CT scan diperiksa jika dicurigai adanya metastasis
pada limfonodi (N), yaitu pada pasien yang menunjukkan Skor
gleason tinggi (>7) atau kadar PSA tinggi. Dibandingkan dengan
ultrasonografi etabolic a, MRI lebih akurat dalam menentukan luas
ekstensi tumor ke ekstrakapsular atau ke vesikula seminalis.

129
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

3) Bone scan: Pemeriksaan sintigrafi pada tulang dipergunakan untuk


mencari metastasis hematogen pada tulang. Meskipun pemeriksaan ini
cukup senstif, tetapi beberapa kelainan tulang juga memberikan hasil
positif palsu antara lain artritis degeneratif pada tulang belakang.

i. Terapi
Tindakan yang dilakukan terhadap pasien kanker prostat
tergantung pada stadium, umur harapan hidup, dan derajat
diferensiasinya.10

Tabel 4.3 Pemilihan Terapi


STADIUM ALTERNATIF TERAPI
T1-T2 (A-B) Radikal prostatektomi
Observasi (pasien tua)
T3-T4 I Radiasi
Prostatektomi
N atau M (D) Radiasi
Hormonal

1) Observasi: ditujukan untuk pasien dalam stadium T1 dengan umur


harapan hidup kurang dari 10 tahun.
2) Prostatektomi radikal
Pasien yang berada dalam stadium T1-2 N0 M0 merupakan pasien yang cocok
untuk dilakukan prostatektomi radikal yaitu berupa pengangkatan
kelenjar prostat bersama dengan vesikula seminalis. Hanya saja
operasi ini dapat menimbulkan penyulit antara lain perdarahan
disfungsi ereksi, dan Inkontinensia. Tetapi dengan etabo nerve
sparring yang baik terjadinya kerusakan pembuluh darah dan saraf
yang memelihara penis dapat dihindari sehingga timbulnya penyulit
berupa disfungsi ereksi dapat diperkecil.
3) Radiasi
Ditujukan untuk pasien tua atau pasien dengan tumor loko-invasif dan tumor
yang telah mengadakan metastasis. Pemberian radiasi eksterna
biasanya didahului dengan limfadenektomi.  Diseksi kelenjar limfe

130
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

saat ini dapat dikerjakan melalui bedah laparoskopi di samping


operasi terbuka.
4) Terapi hormonal
Pemberian terapi hormonal berdasarkan atas konsep dari huggins yaitu: “sel
epitel prostat akan mengalami atrofi jika sumber androgen
ditiadakan”. Sumber androgen ditiadakan dengan cara pembedahan
atau dengan medikamentosa. Meniadakan sumber atau pengaruh
androgen pada sel target disebut sebagai androgen deprivation
therapy (ADT). Menurut Labrie, menghilangkan sumber androgen
yang hanya berasal dari testis belum cukup karena masih ada sumber
androgen dari kelenjar suprarenal yaitu sebesar 10% dari seluruh
testosteron yang beredar di dalam tubuh. Untuk itulah Laabrie
menganjurkan untuk melakukan blokade androgen total. Bermacam-
macam cara dan jenis obat untuk terapi hormonal terdapat pada tabel
berikut:10

Tabel 4.4 Terapi Hormonal pada Karsinoma Prostat Stadium Lanjut


Tindakan/obat Mekanisme kerja Macam obat
Orkidektomi Menghilangkan sumber -
androgen dari testis
Estrogen Anti androgen DES (di-etil stilbestrol)
LRH agonis Kompetisi dengan LRH Leuprolide, Buserelin,
Goserelin
Antiandrogen non Menghambat sintesa Ketonazole,
steroid androgen aminoglutetimid,
spironolakton,
Menghambat aktivitas Flutamid, casodex,
androgen (sebagai megasstrol assetat, dan
antagonis reseptor siproheptadin
Antiandrogen steroid androgen)
Siproteron asetat
Blokade androgen total Menghilangkan sumber Kombinasi orkidektomi
androgen dari testis atau LHRH agonist
maupun dari kelenjar dengan antiandrogen
suprarenal

Striktur Uretra

131
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

a. Definisi
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra karena fibrosis
pada dindingnya. Penyempitan lumen ini disebabkan karena dindingnya
mengalami fibrosis dan pada tingkat yang lebih parah terjadi fibrosis
korpus spongiosum.10

b. Etiologi
Striktura uretra dapat disebabkan karena suatu infeksi, trauma pada
uretra, dan kelainan bawaan. Infeksi yang paling sering menimbulkan
striktura  uretra adalah Infeksi oleh kuman gonokokus yang telah
menginfeksi uretra beberapa tahun sebelumnya. Keadaan ini sekarang
jarang dijumpai karena banyak pemakaian antibiotika untuk memberantas
uretritis. Trauma yang menyebabkan striktur uretra adalah trauma tumpul
pada selangkangan (straddle injury), fraktur tulang pelvis dan
instrumentasi atau tindakan transuretra uretra yang kurang hati-hati.
Tindakan yang kurang hati-hati pada pemasangan kateter dapat
menimbulkan salah jalan (false route) yang menimbulkan kerusakan uretra
dan menyisakan struktural di kemudian hari; demikian pula fiksasi kateter
yang tidak benar pada pemakaian kateter menetap menyebabkan
penekanan kateter pada perbatasan uretra bulbo-pendular yang
mengakibatkan penekanan uretra terus-menerus, menimbulkan hipoksia
uretra daerah itu yang pada akhirnya menimbulkan fistula atau striktura
uretra.10

c. Patofisiologi
Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan
menyebabkan terbentuknya jaringan sikatrik pada uretra. Jaringan sikatriks
pada lumen uretra menimbulkan hambatan aliran urine hingga retensi
urine. Aliran urine yang sumbat mencari jalan keluar di tempat lain di
sebelah proksimal struktural dan akhirnya mengumpul di rongga
periuretra.10

132
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

d. Derajat penyempitan uretra


Sesuai dengan penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi
menjadi 3 tingkatan, yaitu derajat:10
1) Ringan: jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra
2) Sedang: jika terdapat oklusi 1/3 sampai ½ diameter lumen uretra 
3) Berat: jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra

Gambar 4.4 Derajat Penyempitan Lumen (Striktur) Uretra (dikutip sesuai dengan
aslinya dari kepustakaan no).

e. Pemeriksaan Penunjang
Untuk mengetahui pola pancaran urine secara objektif, dapat diukur
dengan cara sederhana atau dengan memakai alat uroflometri. Derasnya
pancaran dapat diukur dengan membagi volume urine yang dikeluarkan
pada saat miksi dibagi dengan lama proses miksi. Kecepatan pancaran pria
normal adalah 20 ml/detik. Jika kecepatan pancaran kurang dari 10
ml/detik menandakan ada obstruksi.10
Untuk melihat letak penyempitan dan besarnya penyempitan uretra
dibuat foto uretrografi. Lebih lengkap lagi mengenai etabol striktura
adalah dengan membuat foto bipolar sisto-uretrografi dengan cara
memasukkan bahan kontras secara antegrad dari buli-buli dan secara
retrograde dari uretra.10

133
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Melihat penyumbatan uretra secara langsung dilakukan melalui


ureteroscopy yaitu melihat striktur transuretra. Jika ditemukan striktura
langsung diikuti dengan urethrotomy interna (sache) yaitu memotong
jaringan fibrotik dengan memakai pisau sachse.10

f. Terapi
Jika pasien datang karena retensi urine, secepatnya dilakukan
sistostomi suprapubik untuk mengeluarkan urine. Jika dijumpai abses
periuretra dilakukan insisi dan pemberian antibiotika. Tindakan khusus
yang dilakukan terhadap Tritura uretra adalah:10
1) Businasi (dilatasi) dengan busi logam yang dilakukan secara hati-hati.
Tindakan yang kasar tambah akan merusak uretra sehingga
menimbulkan luka baru yang pada akhirnya menimbulkan striktura
lagi yang lebih berat. Tindakan ini dapat menimbulkan salah jalan
(false route). 
2) Uretrotomi Interna: memotong jaringan sikatriks uretra dengan pisau
Otis atau pisau Sachse. Otis dikerjakan jika belum terjadi striktura
total, sedangkan pada striktura yang lebih berat, pemotongan striktura
dikerjakan secara visual dengan memakai pisau sachse.
3) Uretrotomi eksternal: tindakan operasi terbuka berupa pemotongan
jaringan fibrosis, kemudian dilakukan anastomosis di antara jaringan
uretra yang masih sehat.
Pada striktur yang panjang dan buntu total, seringkali diperlukan beberapa
tahapan operasi yakni, tahap pertama dengan membelah uretra dan
membiarkan untuk epitelisasi (johanson I) dan dianjurkan pada tahap
dengan membuat neouretra (Johanson II).10

g. Penyulit
Obstruksi uretra yang lama menimbulkan statis urine dan
menimbulkan berbagai penyulit, diantaranya adalah: infeksi saluran

134
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

kemih, terbentuknya divertikel uretra/buli-buli, abses periuretra,batu


uretra, fistel uretro-kutan, dan karsinoma uretra.10

h. Prognosis
Striktura uretra kerap kali kambuh, sehingga pasien harus sering
menjalani pemeriksaan yang teratur oleh dokter. Penyakit ini dikatakan
sembuh jika setelah dilakukan observasi selama 1 tahun tidak
menunjukkan tanda-tanda kekambuhan. Setiap kontrol dilakukan
pemeriksaan pancaran urin yang langsung dilihat oleh dokter atau dengan
rekaman uroflowmetri. Untuk mencegah timbulnya kekambuhan
seringkali pasien harus menjalani beberapa tindakan, antara lain: 1)
dilatasi berkala dengan busi, dan 2) kateterisasi bersih mandiri berkala
(KBMB) atau CIC (clean intermiten catheterization) yaitu pasien
dianjurkan untuk melakukan kateterisasi secara etaboli pada waktu
tertentu dengan kateter yang bersih (tidak perlu steril) guna mencegah
timbulnya kekambuhan striktur.10

Retensi Urin
a. Pendahuluan
Retensi urin adalah tidak mampuan seseorang untuk mengeluarkan
urine yang terkumpul di dalam buli-buli hingga kapasitas maksimal buli-
buli terlampaui. Proses miksi terjadi karena adanya koordinasi harmonik
antara otot detrusor buli-buli sebagai penampung dan pemompa urine
dengan uretra yang bertindak sebagai pipa untuk menyalurkan urine.
Beberapa penyebab retensi urine yaitu:10
1) Kelemahan otot detrusor: pada pasien dengan kelainan medula
spinalis, kelainan saraf perifer
2) Koordinasi antara dan uretra: pada pasien denga cedera cauda equina
3) Hambatan obstruksi ureter: gumpalan darah, sklerosis leher buli-buli,
hiperplasia prostat, karsinoma prostat, striktur uretra, batu uretra, klep 
uretra, cedera uretra, fimosis, parafimosis, stenosis meatus uretra

135
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

b. Gambaran klinis
Pasien mengeluh tertahan kencing atau kencing keluar sedikit-
sedikit (titik keadaan ini harus dibedakan dengan Inkontinensia paradoksa
yaitu keluarnya urine secara menetes, tanpa disadari, dan tidak mampu
ditahan oleh pasien). Selain itu tampak benjolan kista pada perut sebelah
bawah dengan disertai rasa nyeri yang hebat.10
Pemeriksaan pada genitalia eksterna memungkinkan teraba batu di
uretra anterior, terlihat batu di meatus uretra eksternum, teraba
spongiofibrosis di sepanjang uretra anterior, terlihat fistel atau abses di
uretra, fimosis/parafimosis, atau terlihat darah keluar dari uretra akibat
cedera uretra. Pemeriksaan colok dubur setelah buli-buli dikosongkan
ditujukan untuk mencari adanya hiperplasia Prostat atau karsinoma prostat,
dan pemeriksaan refleks bulbocavernosus untuk mendeteksi adanya buli
neurogenik.10
 Pemeriksaan foto polos perut menunjukkan bayangan buli-buli
penuh mungkin terlihat bayangan batu opak pada uretra atau pada buli-
buli. Pada pemeriksaan uretrografi tampak adanya striktur uretra.10

c. Penatalaksanaan
Urine yang tertahan lama di dalam buli-buli secepatnya harus
dikeluarkan karena jika dibiarkan akan menimbulkan beberapa masalah
antara lain: mudah terjadi infeksi saluran kemih, kontraksi otot buli-buli
menjadi lemah dan timbul hidroureter dan hidronefrosis yang selanjutnya
dapat menimbulkan gagal ginjal. Urine dapat dikeluarkan dengan cara
kateterisasi atau sistostomi. Tindakan penyakit primer dikerjakan setelah
keadaan pasien stabil.10
Untuk kasus tertentu mungkin tidak perlu pemasangan kateter
terlebih dahulu melainkan dapat langsung dilakukan tindakan definitif

136
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

terhadap penyebab retensi urin misalnya batu di meatus uretra eksternum


atau meatal stenosis dilakukan meatotomi fimosis atau parafimosis
dilakukan sirkumsisi atau dorsumsisi.10

137
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

MINGGU 5 BEDAH ONKOLOGI

5.1 Tumor Payudara


5.1.1 Tumor Jinak Payudara
Fibro Adenoma Mama (FAM)
a. Pendahuluan
FAM merupakan neoplasma jinak yang terbentuk baik dalam
jaringan payudara glandular maupun dalam jaringan stromal.
Fibroadenoma. Banyak terjadi pada etabo usia <20 tahun (60%). Ada 3
macam tipe:12,13
1) Common FAM
2) Giant FAM, diameter > 5 cm
3) Juvenile FAM, remaja, pertumbuhan cepat
Ciri ciri FAM:12,13
1) Timbul pada usia muda, 15-30 tahun
2) Membesar sangat pelan, dalam tahunan
3) Bentuk bulat atau oval
4) Batas tegas
5) Tidak besar, 2 – 5 cm
6) Permukaan rata
7) Konsistensi padat kenyal
8) Sangat mobil dalam korpus mamma
9) Tidak ada tanda invasi atau metastase
10) Dapat single atau multiple
11) >4 cm diperlukan FNA untuk menyingkirkan kemungkinan tumor
filodes
FAM memerlukan triple diagnostic jika:12,13
1) Tidak yakin dengan pemeriksaan klinis
2) Usia > 35 tahun
3) Multiple

138
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

b. Penatalaksanaan FAM
Terapi untuk FAM tergantung dari beberapa hal sebagai
berikut:12,13
1) Ukuran
2) Terdapat rasa nyeri atau tidak
3) Usia pasien
4) Hasil biopsi
Terapi dari FAM dapat dilakukan dengan operasi pengangkatan
tumor tersebut. Operasi tidak akan merubah bentuk dari payudara, tetapi
hanya akan meninggalkan luka atau jaringan parut yang nanti akan diganti
oleh jaringan normal secara perlahan.

TUMOR FILODES
Tumor filodes merupakan neoplasma jinak yang bersifat menyusup
secara lokal dan mungkin ganas, pertumbuhannya bisa lebih cepat. Tumor
pada mammae dengan karakteristik:12,13
1) Bentuk bulat atau oval
2) Batas tegas
3) Besar >5 cm
4) Permukaan dapat berbenjol-benjol
5) Tidak melekat dengan kulit atau m.pektoral sangat mobil dalam
korpus mamma
6) Tidak ada tanda invasi atau metastase
7) Vena subkutan melebar

DISPLASIA MAMMA
a. Tanpa tumor yang jelas, keluhan meliputi: 12,13
1) Keluhan nyeri pada mamma yang siklis sesuai dengan siklus
menstruasi. Nyeri pada mamma pra menstruasi dan menghilang
setelah menstruasi.

139
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

2) Jaringan mamma padat, menyeluruh atau segmental, uni atau bilateral.


Noduler (Fibrosklerosis)
b. Berbentuk tumor:12,13
1) Kista: dapat uni atau bilateral: kista berisi cairan serous atau keruh,
terbagi atas single (Kista mamma single, ICD. N 60.0) dan multiple
(Kista mamma multiple, ICD. N 60.3).
2) Tumor padat: bentuk tidak teratur, batas tidak tegas, sering multiple
dan bilateral, tumor padat ini sering sukar dibedakan dengan kanker
mamma.
3) Bentuk campuran padat: mammae padat noduler disertai tumor baik
yang kistus maupun yang padat
4) Hipertrofi Mammae: mammae membesar jauh melebihi ukuran
normal, kelainan dapat uni atau bilateral, dapat ditemukan pada bayi
(disebut hipertrofi mamma neonatorium), anak-anak (disebut
hipertrofi mamma pre-pubertal), laki-laki (disebut ginekomasti).

5.1.2 Tumor Ganas Payudara


Ductal Carcinoma in Situ (DCIS)
a. Definisi
Ductal Carcinoma in Situ (DCIS) adalah proliferasi dari sel-sel
abnormal di dalam duktus laktiferus di payudara. DCIS dianggap sebagai
bentuk paling awal dari kanker payudara. DCIS bersifat non-invasif,
artinya belum menyebar keluar dari duktus laktiferus dan memiliki risiko
rendah menjadi invasif.12–14

b. Epidemiologi
Satu dari delapan wanita (yaitu, 12%) di Amerika Serikat (AS)
akan didiagnosis dengan kanker payudara dalam hidupnya, dan 20%
hingga 25% di antaranya didiagnosis DCIS. Pada tahun 2016, diperkirakan
61.000 kasus DCIS didiagnosis di AS. Meluasnya penggunaan skrining
mamografi telah menghasilkan peningkatan 10 kali lipat dalam insiden

140
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

DCIS yang dilaporkan. Sekitar 1 dari setiap 1.300 pemeriksaan mamografi


dilakukan di AS akan mengarah pada diagnosis DCIS, mewakili 17% 34%
dari semua kanker payudara yang terdeteksi secara mamografi.12–14
c. Patologi
DCIS adalah proliferasi sel ganas yang belum menembus duktus
membrane basal. Sel ganas ini muncul dari epitel duktus di wilayah
terminal ductal–lobular unit (TDLU). DCIS sebelumnya telah dianggap
sebagai satu tahap dalam rangkaian perkembangan histologis dari atypical
ductal hyperplasia (ADH) menjadi karsinoma invasif. Namun, pada
kenyataannya, DCIS terdiri dari kelompok lesi yang heterogeny dengan
struktur histologis variabel, molekuler dan karakteristik seluler, serta
gejala klinis. Sel-sel ganas berproliferasi sampai lumen duktus
dilenyapkan, dan mungkin ada kerusakan terkait dari lapisan sel mioepitel
dari ruang bawah membran yang mengelilingi lumen duktus. DCIS juga
telah dikaitkan dengan perubahan stroma di sekitarnya yang
mengakibatkan proliferasi fibroblas infiltrasi limfosit, dan angiogenesis.
Jadi, meskipun prosesnya rumit, sebagian karsinoma duktal invasif
diyakini muncul dari DCIS12–14.

A B C D

Gambar 5.1 Pola Pertumbuhan DCIS, yang paling umum termasuk cribriform
(A), micropapilary (B), papiler (C), dan padat (D). (dikutip sesuai dengan aslinya
dari kepustakaan no).

d. Diagnosa
Sebagian besar pasien dengan DCIS datang dengan massa teraba,
penebalan puting susu atau keluarnya cairan, atau penyakit paget pada

141
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

puting. Kadang-kadang, DCIS adalah temuan insidental dalam spesimen


biopsi payudara jinak. Pada pasien dengan lesi teraba, hingga 25%
menunjukkan fokus invasif penyakit. Sekarang skrining mamografi lebih
lazim, kebanyakan kasus DCIS didiagnosis ketika tumor masih
tersembunyi secara klinis12–14.

142
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Mammografi tetap menjadi standar untuk evaluasi radiografi


DCIS. Pada mammogram, DCIS dapat muncul sebagai mikrokalsifikasi,
jaringan lunak kepadatan, atau keduanya. Mikrokalsifikasi adalah yang
paling umum (80% hingga 90%) manifestasi mamografi DCIS yang, pada
gilirannya, menyumbang untuk 80% dari semua karsinoma payudara
dengan kalsifikasi.12–14
Biaya dan aksesibilitas pencitraan resonansi magnetik (MRI)
membuatnya kurang layak sebagai metode penyaringan yang efektif. MRI
dengan kontras lebih baik sensitif daripada mamografi dalam mendeteksi
DCIS dan invasif kanker. MRI digunakan setelah diagnosis awal dalam
evaluasi pra operasi untuk mengidentifikasi lesi multisentrik dan
kontralateral karena dapat mengubah strategi perawatan bedah. MRI juga
dapat dipertimbangkan pada wanita muda dengan payudara yang padat
atau pada payudara dengan implant, dipertimbangkan pasien dengan risiko
tinggi untuk menderita kanker payudara. 12–14
Stereotactic core-needle or vacuum-assisted biopsy adalah metode
yang lebih dipilih untuk mendiagnosis DCIS. Kalsifikasi yang tampak
samar pada mammogram atau yang jauh di dalam payudara dan dekat
dengan dinding dada mungkin sulit untuk target dengan biopsi stereotactic.
Spesimen biopsi harus diradiografi untuk didokumentasikan pengambilan
sampel mikrokalsifikasi yang mencurigakan.12–14

e. Pengobatan
Setelah didiagnosis, tatalaksana bedah yang dapat dilakukan antara lain:12–14
1) Operasi konservasi seperti: mastektomi, lumpektomi, atau eksisi lokal
luas.
2) Terapi radiasi untuk meningkatkan kontrol lokal
3) Terapi endokrin pasca operasi dengan tamoxifen atau inhibitor
aromatase juga harus dipertimbangkan untuk pasien yang tumornya
adalah hormon (estrogen dan/atau progesteron) reseptor positif.

143
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Lobular Carcinoma In Situ (LCIS)


a. Pendahuluan
Karsinoma lobular in situ (LCIS) adalah kondisi yang jarang
terjadi di mana sel-sel abnormal terbentuk di kelenjar susu (lobulus) di
payudara. LCIS ditandai dengan proliferasi intraepitel terminal unit
duktal-lobular (TDLU), tetapi sel-sel yang berproliferasi tidak menembus
membran basal. Bentuk lobular dipertahankan di LCIS, tetapi semua asini
yang buncit dan sel-selnya monomorfik dengan inti yang seragam
mengandung kromatin yang tersebar merata, memiliki sitoplasma-ke-inti
yang rendah low rasio, dan hanya kohesif longgar antara nukleus ke
sitoplasma yang tinggi. Kalsifikasi, mitosis, dan nekrosis jarang terjadi.12–14

b. Diagnosa
LCIS biasanya tidak terdeteksi oleh pemeriksaan fisik atau
mamografi, LCIS sering ditemukan secara tidak sengaja dalam spesimen
biopsi payudara. Oleh karena itu, klinis pasien neoplasia lobular mirip
dengan pasien fibroadenoma, penyakit duktus jinak, DCIS, atau kanker
payudara invasif. Pasien yang didiagnosis dengan neoplasia lobular harus
menjalani mamografi diagnostik bilateral untuk menyingkirkan kelainan
lain di payudara. Ultrasonografi juga berguna dalam mengevaluasi temuan
yang mencurigakan.12–14

c. Penatalaksanaan
Pilihan penatalaksanaan antara lain:12–14
1) Surveilans seumur hidup,
2) total bilateral mastektomi dengan rekonstruksi, atau
3) farmakologis pengurangan risiko dengan pengobatan anti-estrogen.

144
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Invasive Breast Cancer


a. Pendahuluan
Kanker payudara invasif berarti bahwa sel-sel kanker telah tumbuh
melalui lapisan saluran ke jaringan payudara di sekitarnya. Sebagian besar
kanker payudara invasif tidak memiliki ciri khusus dan digolongkan
sebagai No Special Type (NST). Sebagian besar kanker payudara bersifat
invasif dan ada berbagai jenis kanker payudara invasif. Dua yang paling
umum adalah karsinoma duktal invasif dan karsinoma lobular invasif.12–14

b. Epidemiologi
Kanker payudara menjadi kanker yang paling umum didiagnosis
dan yang kedua penyebab paling umum kematian terkait kanker di
kalangan wanita di Amerika Serikat. The American Cancer Society
memperkirakan bahwa pada tahun 2016, sekitar 246.660 kasus baru
kanker payudara invasif didiagnosis dan hampir 40.450 kematian terkait
kanker payudara terjadi. Saat ini, resiko wanita terkena kanker payudara
selama hidupnya adalah 1:8 atau 12%. dibandingkan dengan 1:11 di tahun
1970-an.12–14

c. Faktor Resiko
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko mengembangkan
kanker payudara, antara lain adalah usia, kecenderungan genetik, riwayat,
penyakit payudara proliferatif, paparan radiasi sebelumnya, atau riwayat
keluarga kanker payudara, dan paparan hormon. Kanker payudara akibat
mutasi genetik menyumbang 5% hingga 10% dari penyebab semua kanker
payudara. Beberapa mutasi telah diidentifikasi memiliki peningkatan
hubungan dengan risiko kanker payudara. Ini termasuk BRCA1, BRCA2,
PALB2, CHEK2, p53 (Li-Fraumeni sindrom), PTEN (penyakit sapi),
ATM, CDH1, STK11 (Peutz– sindrom Jeghers) dan sindrom Lynch.12–14

d. Diagnosis

145
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Diagnosis kanker payudara telah mengalami evolusi yang dramatis


25 tahun terakhir. Sebelumnya, sebagian besar kanker payudara terdeteksi
dengan pemeriksaan diri namun, dengan adopsi skrining mamografi, telah
ada pergeseran yang lebih besar ke arah diagnosis lesi yang tidak dapat
dipalpasi. Evaluasi kanker payudara bergantung pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang komprehensif pemeriksaan, radiografi, dan
diagnosis jaringan.12–14
Anamnesis diarahkan untuk menilai risiko kanker dan menetapkan
ada atau tidak adanya gejala yang menunjukkan penyakit payudara. Ini
harus mencakup usia saat menarche, status menopause, kehamilan
sebelumnya, dan penggunaan kontrasepsi oral atau estrogen pengganti
pascamenopause. Riwayat pribadi kanker payudara dan usia saat
diagnosis, serta riwayat pribadi kanker lain yang diobati dengan radiasi
(misalnya, penyakit Hodgkin). Selain itu, riwayat keluarga kanker
payudara atau kanker ovarium pada kerabat tingkat pertama harus
ditetapkan. Riwayat payudara sebelumnya harus dijelaskan, termasuk
biopsi payudara sebelumnya, terutama jika dilakukan untuk penyakit
atipikal, pembesaran/pengurangan payudara, masalah payudara, dan
riwayat pencitraan apa pun. Setelah risiko kanker payudara ditentukan,
pasien harus dinilai untuk gejala spesifik. Nyeri payudara dan keluarnya
cairan dari puting sering, tetapi tidak selalu, terkait dengan proses jinak
seperti penyakit fibrokistik dan papiloma intraduktal. Malaise, nyeri
tulang, dan penurunan berat badan jarang terjadi, tetapi dapat
mengindikasikan penyakit metastasis. Pemeriksaan fisik oleh penyedia
layanan kesehatan harus mempertimbangkan kenyamanan dan
kesejahteraan emosional pasien. Pemeriksaan harus mencakup inspeksi
visual yang cermat dengan pasien dalam posisi tegak dan terlentang.
Perubahan puting, asimetri payudara, dan massa yang jelas semuanya
dicatat. Kulit harus diperiksa untuk halus perubahan; ini dapat berkisar
dari sedikit lesung pipit hingga peau yang lebih dramatis d'orange. Pada
payudara besar, payudara harus diangkat untuk memudahkan pemeriksaan

146
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

bagian inferior payudara dan lipatan inframammary. Setelah pemeriksaan


yang cermat dan dengan pasien tetap dalam posisi duduk, serviks,
oksipital, dan cekungan nodal periclavicular diperiksa untuk penyakit
potensial. Kedua aksila kemudian dipalpasi dengan hati-hati. Jika teraba,
nodus harus ditandai sebagai jumlah, ukuran, dan mobilitas mereka.12–14
Pilihan evaluasi diagnostik awal setelah deteksi massa payudara
harus dilakukan secara individual untuk setiap pasien menurut usia, risiko
kanker yang dirasakan, dan karakteristik lesi. Bagi kebanyakan pasien,
evaluasi mamografi adalah langkah awal yang penting, diikuti dengan
USG. American College of Radiology mengembangkan sistem pelaporan
dan data pencitraan payudara (BIRADS), yang mengkategorikan temuan
mamografi sebagai berikut:12–14
1) BIRADS 0, diperlukan pencitraan yang tidak lengkap atau lebih lanjut
2) BIRADS 1, negatif (tidak ada temuan)
3) BIRADS 2, penampilan jinak
4) BIRADS 3, penampilan mungkin jinak, tindak lanjut interval pendek
5) direkomendasikan (<2% kemungkinan keganasan)
6) BIRADS 4, temuan yang mencurigakan untuk kanker payudara (20%
hingga 35% kemungkinan keganasan)
7) BIRADS 5, temuan yang sangat mencurigakan untuk kanker payudara
(kemungkinan >90% keganasan)
8) BIRADS 6, dikenal sebagai keganasan yang terbukti melalui biopsi.
USG payudara merupakan tambahan penting untuk mamografi dan
membantu dalam pengambilan keputusan klinis. Terutama pada wanita
muda dengan padat jaringan payudara, ultrasound sering digunakan untuk
mengevaluasi lebih lanjut area yang mencurigakan atau lesi yang dapat
diraba. MRI payudara semakin populer untuk diagnosis dan pembedahan
perencanaan kanker payudara meskipun kegunaannya masih kontroversial.
MRI juga diindikasikan untuk skrining berisiko tinggi pada wanita dengan
riwayat radiasi mantel, mutasi gen BRCA1 atau BRCA2 atau risiko
seumur hidup kanker payudara lebih besar dari 20% sampai 25%.12–14

147
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Biopsi untuk diagnosis harus mengikuti evaluasi radiografi dari lesi


payudara yang mencurigakan. FNA tidak dapat membedakan antara
penyakit in situ dan penyakit invasif, oleh karena itu biopsi jarum inti
lebih disukai untuk diagnosis awal. Lesi yang dapat dipalpasi mungkin
dapat dilakukan biopsi dengan panduan ultrasound sedangkan lesi yang
tidak dapat dipalpasi yang diidentifikasi hanya dengan mamografi lebih
cocok untuk biopsi stereotactic.12–14
Biopsi eksisi untuk diagnosis kanker payudara tidak disukai karena
pentingnya histopatologi praoperasi menentukan perawatan multidisiplin
dan perencanaan operasi. Selanjutnya, kemajuan dalam intervensi
radiologis termasuk ultrasound dan biopsi terpandu stereotaktik dan biopsi
yang dipandu MRI, berarti bahwa diagnosis jaringan tidak dapat dicapai
secara perkutan dan biopsi eksisi mungkin diperlukan hanya dalam
beberapa keadaan. Penggunaan biopsi eksisi yang tepat meliputi: (1) eksisi
lesi berisiko tinggi seperti ADH atau LCIS dengan massa untuk
menyingkirkan kanker terkait, (2) pengangkatan fibroadenoma yang
tumbuh atau mencurigakan untuk menyingkirkan cystosarcoma phyllodes,
(3) preferensi pasien karena distorsi, nyeri, atau tekanan psikologis, (4)
ketidakmampuan untuk mendapatkan biopsi yang dipandu radiografi, (5)
ketidaksesuaian fitur klinis-patologis.12–14

e. Staging
Setelah diagnosis kanker payudara, pasien secara klinis
dikategorikan menggunakan pedoman American Joint Committee on
Cancer (AJCC). Sistem stadium kanker payudara AJCC TNM telah
diperbarui pada tahun 2017 dan diterbitkan dalam edisi kedelapan Manual
Staging Kanker AJCC. Klasifikasi TNM dan pengelompokan stadium,
meliputi:12–14

148
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

149
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Gambar 5.2 TNM Dan Staging Kanker Payudara (dikutip sesuai dengan aslinya
dari kepustakaan no).

d. Penatalaksanaan Lokal/Regional
Terapi pada kanker payudara harus didahului dengan diagnosa
yang lengkap dan akurat (termasuk penetapan stadium). Diagnosa dan
terapi pada kanker payudara haruslah dilakukan dengan pendekatan
humanis dan komprehensif. Terapi pada kanker payudara sangat
ditentukan luasnya penyakit atau stadium dan ekspresi dari agen
biomolekuler atau biomolekuler-signaling. Terapi pada kanker payudara
selain mempunyai efek terapi yang diharapkan, juga mempunyai beberapa
efek yang tak diinginkan (adverse effect), sehingga sebelum memberikan
terapi haruslah dipertimbangkan untung ruginya dan harus
dikomunikasikan dengan pasien dan keluarga. Selain itu juga harus
dipertimbangkan mengenai faktor usia, co- morbid, evidence-based, cost
effective, dan kapan menghentikan seri pengobatan sistemik termasuk end
of life isssues.12–14

150
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Pembedahan merupakan terapi yang paling awal dikenal untuk


pengobatan kanker payudara. Terapi pembedahan dikenal sebagai
berikut:12–14
1) Mastektomi Radikal Modifikasi (MRM)
MRM adalah tindakan pengangkatan tumor payudara dan seluruh payudara
termasuk kompleks I-areola, disertai diseksi kelenjar getah bening
aksilaris level I sampai II secara en bloc. Indikasi: Kanker payudara
stadium I, II, IIIA dan IIIB. Bila diperlukan pada stadium IIIb, dapat
dilakukan setelah terapi neoajuvan untuk pengecilan tumor12–14.
2) Mastektomi Radikal Klasik (Classic Radical Mastectomy)
Mastektomi radikal adalah tindakan pengangkatan payudara, kompleks I-
areola, otot pektoralis mayor dan minor, serta kelenjar getah bening
aksilaris level I, II, III secara en bloc. Indikasi12–14:
 Kanker payudara stadium IIIb yang masih operable
 Tumor dengan infiltrasi ke musculus pectoralis major
3) Mastektomi dengan teknik onkoplasti
Rekonstruksi bedah dapat dipertimbangkan pada institusi yang mampu
ataupun ahli bedah yang kompeten dalam hal rekonstruksi payudara
tanpa meninggalkan prinsip bedah onkologi. Rekonstruksi dapat
dilakukan dengan menggunakan jaringan autolog seperti latissimus
dorsi (LD) flap atau transverse rectus abdominis myocutaneous
(TRAM) flap; atau dengan prosthesis seperti silicon. Rekonstruksi
dapat dikerjakan satu tahap ataupun dua tahap, misal dengan
menggunakan tissue expander sebelumnya.
4) Mastektomi Simpel
Mastektomi simpel adalah pengangkatan seluruh payudara beserta kompleks
putting sampai areolar, tanpa diseksi kelenjar getah bening aksila.
Indikasi:12–14
 Tumor filodes besar
 Keganasan payudara stadium lanjut dengan tujuan paliatif
menghilangkan tumor.

151
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

 Penyakit Paget tanpa massa tumor


 DCIS

5) Mastektomi Subkutan (Nipple-skin-sparing mastectomy)


Mastektomi subkutan adalah pengangkatan seluruh jaringan payudara, dengan
preservasi kulit dan kompleks I-areola, dengan atau tanpa diseksi
kelenjar getah bening aksila. Indikasi:12–14
 Mastektomi profilaktik
 Prosedur onkoplasti
6) Breast Conserving Therapy (BCT)
Pengertian BCT secara klasik meliputi BCS (=Breast Conserving Surgery),
dan Radioterapi (whole breast dan tumor sit). BCS adalah
pembedahan atas tumor payudara dengan mempertahankan bentuk
(cosmetic) payudara, dibarengi atau tanpa dibarengi dengan
rekonstruksi. Tindakan yang dilakukan adalah lumpektomi atau
kuadrantektomi disertai diseksi kelenjar getah bening aksila level 1
dan level 2.12–14
Tujuan utama dari BCT adalah eradikasi tumor secara onkologis dengan
mempertahankan bentuk payudara dan fungsi sensasi. BCT
merupakan salah satu pilihan terapi lokal kanker payudara stadium
awal. Beberapa penelitian RCT menunjukkan DFS dan OS yang sama
antara BCT dan mastektomi. Namun pada follow up 20 tahun
rekurensi lokal pada BCT lebih tinggi dibandingkan mastektomi tanpa
ada perbedaan dalam OS. Sehingga pilihan BCT harus didiskusikan
terutama pada pasien kanker payudara usia muda. Indikasi:12–14
 Kanker payudara stadium I dan II.
 Kanker payudara stadium III dengan respon parsial setelah terapi
neoajuvan.
Kontra indikasi:12–14

152
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

 Kanker payudara yang multisentris, terutama multisentris yang


lebih dari 1 kwadran dari payudara.
 Kanker payudara dengan kehamilan
 Penyakit vaskuler dan kolagen (relatif)
 Tumor di kuadran sentral (relatif)
7) Terapi Sistemik
• Kemoterapi yang diberikan dapat berupa obat tunggal atau berupa
gabungan beberapa kombinasi obat kemoterapi, biasanya diberikan
secara bertahap sebanyak 6 – 8 siklus agar mendapatkan efek yang
diharapkan dengan efek samping yang masih dapat diterima
(Rekomendasi A).12–14
• Terapi hormonal diberikan pada kasus-kasus dengan hormonal positif,
dan diberikan selama 5-10 tahun (Rekomendasi A).12–14
• Pemberian anti-Her2 hanya pada kasus-kasus dengan pemeriksaan
IHK yang Her2 positif (Rekomendasi A).12–14

153
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

5.2 Tumor Tiroid


5.2.1 Tumor Jinak Tiroid
Adenoma Folikuler
Merupakan neoplasma jinak, berkapsul, non-invasif yang
menunjukkan diferensiasi sel folikuler tiroid tanpa gambaran etabol dari
karsinoma tiroid papiler. Diagnosis banding utama adalah nodul
hiperplastik pada etabolic a nodular. Adenoma folikuler dapat memiliki
berbagai pola pertumbuhan normofolikuler, makrofolikuler
mikrofolikuler, solid, dan trabekuler. Selain adenoma follicular klasik,
ada 8 varian adenoma folikuler. Varian tersebut adalah adenoma
hiperfungsi, adenoma folikuler dengan etabolic a, lipoadenoma, adenoma
folikuler dengan etabo aneh, adenoma folikuler sel signet-ring, adenoma
folikuler sel bening, varian etabol sel dari adenoma folikuler, dan
adenoma folikuler “hitam”. Yang terakhir adalah varian yang baru
disertakan dalam klasifikasi. Adenoma folikuler hitam terlihat pada pasien
yang diterapi dengan minosiklin dan mengakibatkan perubahan warna
hitam pada adenoma folikuler15.

Tumor trabekuler hyalinisasi


Tumor trabekuler hyalinisasi adalah neoplasma yang diturunkan
dari folikel yang terdiri dari trabekula besar dari sel memanjang atau
etabolic yang dicampur dengan sejumlah hialin intratrabekuler dan
intertrabekuler. Dalam seri terbesar yang dilaporkan sampai saat ini, tumor
ini sedikit lebih sering di lobus kanan tiroid. Gambaran sitologi (alur
nuklir, pseudoinclusions, dan batas etabolic) pada aspirasi jarum halus
dapat menyarankan karsinoma tiroid papiler. Hubungan dengan karsinoma
tiroid papiler disarankan dengan pendeteksian penyusunan ulang RET /
PTC1. Namun, etabo RAS maupun BRAF tidak terdeteksi15.

Tumor Sel Hürthle

154
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Tumor Sel Hürthle adalah neoplasma yang terdiri dari sel onkositik, dengan
sitoplasma granuler dan etabol besar terletak di tengah dan sering disertai
etabolic prominen. Istilah “Hürthle” lebih sering digunakan daripada “onkositik”.
Tumor Sel Hürthle biasanya tidak berkapsul. Sel tumor memiliki mitokondria
yang besar dan memiliki lebih banyak etabo mitokondria DNA dibandingkan
tumor sel non-Hürthle. Selain itu, tumor ini mempunyai profil etabol, klinis,
patologi, dan gambaran molekuler yang berbeda dari dari tumor tiroid lainnya15.

5.2.2 Karsinoma Tiroid


a. Pendahuluan
Karsinoma tiroid merupakan keganasan endokrin yang paling
umum; dengan insiden yang terus meningkat sejak tahun 1990-an, pada
tahun 2016 menjadi kanker yang paling cepat didiagnosis (>5% per tahun
pada pria dan etabo). Khususnya pada papillary thyroid carcinoma
(PTC), sekarang mewakili urutan kelima terbanyak kanker umum pada
etabo. Sebagian besar (hingga 40% pada tahun 2009) dari kanker ini
didiagnosis sangat dini, dengan tumor berukuran di bawah 1 cm, dan
dianggap mikrokarsinoma. Pasien dengan differentiated thyroid cancer
(DTC) biasanya memiliki efek jangka etabol yang sangat baik, dengan
tingkat kelangsungan hidup 5 tahun mendekati 100%. Evaluasi, skrining,
dan pengelolaan kanker tiroid terus berkembang dan pedoman baru baru-
baru ini diterbitkan mengenai luasnya reseksi bedah, peran
limfadenektomi, dan terapi medis adjuvant untuk karsinoma tiroid14.

b. Patologi
Karsinoma tiroid dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori
utama. Karsinoma tiroid berdiferensiasi baik, yang meliputi papillary
thyroid carcinoma (PTC) dan follicular thyroid carcinoma (FTC),
menyumbang etaboli besar penyakit. Karsinoma berdiferensiasi buruk
termasuk medullary thyroid carcinoma (MTC) dan anaplastic thyroid
carcinoma (ATC), yang hanya mencakup 5% - 6% dari kasus kanker

155
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

tiroid. Tumor primer yang jarang dari kelenjar tiroid yang jarang terjadi
adalah limfoma, karsinoma sel skuamosa, dan etabol. Tiroid dapat
berfungsi sebagai situs metastasis untuk keganasan lain (paling sering sel
ginjal, paru-paru, atau payudara)14.

Gambar 5.3 Klasifikasi Patologi Karsinoma Tiroid (dikutip sesuai dengan aslinya
dari kepustakaan no).

PTC dan FTC secara luas dikategorikan sebagai DTC, tetapi


subklasifikasi dapat berdasarkan penampilan histologis atau perilaku
biologisnya. PTC menyumbang lebih dari 80% dari semua keganasan
tiroid dan merupakan histologi dominan yang terlihat pada pasien yang
terpapar radiasi. Usia rata-rata penderita adalah 30 hingga 40 tahun dan
etabo lebih sering terkena daripada pria (rasio 2:1). Secara makroskopis,
tumor cenderung berbatas tegas dan berwarna putih. Tidak seperti tiroid
normal atau lesi koloid jinak yang menonjol saat dipotong, PTC tetap
datar. Diagnosis dibuat dengan evaluasi mikroskopis dan dapat dibuat atas
dasar fine needle aspiration (FNA) sebelum intervensi bedah. Diagnosis
etabolic dibuat berdasarkan karakteristik seluler dan inti dengan sel yang

156
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

mengadopsi bentuk kuboid dengan “grooving” inti dan inklusi sitoplasma.


Temuan karakteristik ini digambarkan sebagai inti “Orphan Annie” yang
patognomonik14.

c. Diagnosis
Patologi tiroid sering didiagnosis secara kebetulan, selama
pemeriksaan fisik/palpasi rutin atau dengan pencitraan leher yang
dilakukan untuk masalah yang tidak terkait (computed tomography, USG
leher, positron emission tomography, atau ultrasonography).
Ultrasonografi resolusi tinggi dapat mendeteksi nodul tiroid hingga 68%
dari individu yang dipilih secara acak. Kadang-kadang, pasien mungkin
mencari pengobatan untuk gejala massa leher yang teraba, simtomatologi
kompresif, atau perubahan suara/menelan. Disfagia, disfonia, dispnea, atau
hemoptisis yang signifikan dapat terjadi akibat invasi lokal dan dapat
menandakan patologi agresif. Harus diperhatikan apakah ada etabol
pajanan radiasi sebelumnya, etabol keluarga dengan tiroid atau keganasan
endokrin lainnya, etabol pribadi keganasan, atau operasi leher
sebelumnya harus dicatat dalam pemeriksaan fisik awal. Adanya nyeri
pada palpasi, flushing yang signifikan atau diare dapat meningkatkan
kemungkinan diagnosis MTC. Evaluasi radiografi kelenjar tiroid dan
kompartemen serviks sentral dan lateral merupakan bagian penting dari
pemeriksaan nodul tiroid. Ultrasonografi adalah modalitas yang lebih
sering dipakai, namun pencitraan cross-sectional dapat memberikan
informasi tambahan, terutama dalam kasus keganasan lanjut. Derajat
ekstensi leher harus dievaluasi sebelum setiap perencanaan pembedahan,
seperti halnya fungsi pita suara14.
Penilaian laboratorium awal fungsi tiroid harus mencakup
pengukuran etabol perangsang tiroid (TSH). Setelah nodul tiroid
diidentifikasi, keberadaan keganasan harus disingkirkan jika sesuai, hal ini
dipandu oleh penampilan ultrasonografi dari lesi. American Thyroid
Association Guidelines tahun 2015 merekomendasikan etabo FNA

157
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

berdasarkan ukuran dan pola sonografi. FNA etabolic direkomendasikan


untuk nodul 1 cm dalam dimensi terbesar dengan kecurigaan tinggi pada
pola sonografi dan nodul 1,5 cm dalam dimensi terbesar dengan
kecurigaan rendah pola sonografi. FNA etabolic dapat dipertimbangkan
untuk nodul 2 cm dalam dimensi terbesar dengan pola kecurigaan sangat
rendah; pengamatan tanpa FNA juga merupakan pilihan yang masuk akal
di grup ini. FNA etabolic adalah tidak direkomendasikan untuk nodul
yang murni kistik. Pola tertentu dan karakteristik dapat meningkatkan
kecurigaan mengidentifikasi keganasan tiroid, dan dapat mendorong FNA
untuk dilakukan bahkan pada nodul yang lebih kecil dari kriteria ukuran
yang direkomendasikan saat ini14.
FNA lesi tiroid adalah cara yang aman dan hemat biaya untuk
mendiagnosis keganasan tiroid, memberikan informasi etabolic langsung
pada lesi dan memiliki akurasi terbesar untuk lesi yang berukuran 1 hingga
4 cm. Lesi yang berukuran kurang dari 1 cm lebih sulit untuk diambil
sampelnya bahkan dengan USG, sedangkan lesi yang lebih besar dari 4 cm
memiliki peluang kesalahan pengambilan sampel yang lebih besar karena
ukurannya yang lebih besar. Keakuratan FNA untuk mendiagnosis
keganasan tiroid dapat mencapai 90% dengan tingkat etaboli palsu
kurang dari 5%14.

d. Tatalaksana
Setelah keganasan tiroid didiagnosis secara etabolic , reseksi
bedah harus dipertimbangkan. Tujuannya tetap pembersihan lengkap
penyakit dengan morbiditas minimal atau hilangnya fungsi. Perawatan
bedah yang tepat akan memungkinkan skrining pasca operasi yang cermat,
terapi etaboli jika perlu, dan meminimalkan kemungkinan kekambuhan
penyakit. Mengingat tingkat kematian yang rendah terkait dengan PTC,
kekambuhan penyakit yang mempengaruhi rencana perawatan bedah yang
optimal untuk etaboli besar pasien. Untuk pasien dengan PTC berukuran
lebih besar dari 1 cm, operasi secara historis terdiri dari tiroidektomi total

158
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

yang tentunya tetap merupakan operasi yang tepat untuk kanker tiroid
berdiferensiasi baik (WDTC) risiko tinggi14.
Pedoman ATA 2015 direvisi untuk menyatakan bahwa dalam 1
hingga 4 cm WDTC tanpa ekstensi ekstra-tiroid atau metastasis kelenjar
getah bening, baik lobektomi atau tiroidektomi total adalah pengobatan
yang dapat diterima. Dari studi yang tersedia, etaboli besar retrospektif,
tiroidektomi total memang memiliki sedikit, tetapi peningkatan signifikan
secara etabolic dalam kelangsungan hidup bebas penyakit. Dari sudut
pandang onkologi, baik lobektomi atau tiroidektomi total memiliki
kelangsungan hidup spesifik penyakit yang serupa. Rendahnya insiden
cedera ecurrent laryngeal nerve (RLN) atau hipoparatiroidisme permanen
(2%) dalam operasi yang dilakukan oleh ahli bedah berpengalaman
membuat tiroidektomi total menjadi pilihan yang masuk akal untuk risiko
rendah, ukuran 1 hingga 4 cm bila dilakukan oleh kelompok bedah yang
berpengalaman14.

Staging
The 8th edition (2016) of the AJCC memodifikasi definisi tumor
primer dan metastasis kelenjar getah bening regional. Secara umum,

159
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

prognosis pasien dengan karsinoma tiroid berdiferensiasi baik didasarkan


pada usia, jenis kelamin, tingkat penyakit, dan ukuran tumor primer
mereka. Masalah metastasis kelenjar getah bening dan prognosis masih
diperdebatkan karena keterlibatan kelenjar getah bening memprediksi
kekambuhan lokal tetapi tidak memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap kelangsungan hidup pasien. Keterlibatan kelenjar getah bening
mempengaruhi klasifikasi stadium hanya pada pasien yang lebih tua dari
55 tahun14.

160
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Gambar 5.4 AJCC Staging system (dikutip sesuai dengan aslinya dari
kepustakaan no).

e. Pengawasan
Kebanyakan kekambuhan DTC terjadi dalam 5 tahun pertama
setelah awal pengobatan, tetapi kekambuhan juga dapat terjadi beberapa
etabo kemudian. Pasien dengan PTC sering kambuh secara etabolic ar
di leher, sedangkan pasien dengan FTC lebih sering terjadi di tempat yang

161
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

jauh. MTC dapat berulang secara lokal atau jauh. Situs paling umum dari
metastasis jauh untuk tiroid kanker adalah paru-paru, tulang, jaringan
lunak, otak, hati, dan kelenjar adrenal. Metastasis paru lebih sering terjadi
pada pasien muda, sedangkan tulang metastasis lebih sering terjadi pada
pasien yang lebih tua. Pemeriksaan fisik menyeluruh dan ultrasonografi
harus dilakukan untuk mendeteksi kekambuhan locoregional di tempat
tidur bedah atau cekungan kelenjar getah bening yang berdekatan. Nilai Tg
biasanya turun setelah tiroidektomi dan ablasi dan berfungsi sebagai
etabolic etabolic dari rekurensi atau penyakit persisten. Namun, penting
untuk diingat bahwa Tg produksi bergantung pada TSH; oleh karena itu,
kadar TSH dapat mempengaruhi sensitivitas pengukuran Tg dalam
mendeteksi penyakit14.

162
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

MINGGU 6 BEDAH ONKOLOGI

6.1 STT dan Tumor Ganas Kulit


6.1.1 Diagnosis dan Tatalaksana Soft Tissue Tumor Jinak
Tumor Jinak Dan Ganas
a. Definisi
Tumor jaringan lunak mewakili kelompok tumor jinak dan ganas yang
sangat etabolic . Tumor jaringan lunak jinak dan ganas memiliki perawatan
klinis yang berbeda. Tumor jaringan lunak ganas terutama diobati menggunakan
reseksi bedah, sedangkan pasien asimtomatik dengan tumor jaringan lunak jinak
hanya memerlukan pengamatan klinis. Tangan adalah struktur yang kompak,
dengan saraf, pembuluh darah, otot dan tendon, tulang dan sendi terletak
berdekatan. Setiap tumor yang muncul di sana akan dengan cepat melibatkan
struktur yang berdekatan. Ini juga sangat terlihat, dan etaboli besar tumor
terdeteksi saat masih kecil. Meskipun etaboli besar tumor yang muncul di tangan
dan pergelangan tangan adalah jinak, tumor ganas juga kadang-kadang ditemui16.

b. Gambaran Klinis
Tumor yang timbul dari tangan dan pergelangan tangan biasanya muncul
sebagai massa yang tidak nyeri. Massa kulit dan subkutan sering terlihat lebih
awal, terutama di atas dorsum di mana kulit tipis dan lentur, dan dapat menjadi
nyeri jika terletak di atas tonjolan tulang atau jika mengganggu genggaman dan
cubitan. Tumor subungual dapat menyebabkan nyeri, kelainan bentuk kuku, atau
pendarahan. Massa yang lebih dalam terkait dengan saraf dapat menghasilkan
gejala sensorik (misalnya, mati rasa, parestesia, dan nyeri) atau gejala etabol
(misalnya, kelemahan, atrofi otot). Tumor yang muncul di sekitar sendi dapat
menyebabkan kekakuan sendi, dan massa yang muncul di sekitar selubung fleksor
dapat menyebabkan pemicu. Akhirnya, tumor tulang dapat muncul dengan nyeri
akut dan pembengkakan setelah fraktur patologis16.
Selain itu, etabol medis dan keluarga yang terperinci serta informasi
mengenai pekerjaan, rekreasi, perjalanan, dan aktivitas seksual berguna etabo

163
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

mempertimbangkan berbagai diagnosis banding. Faktor lain yang dapat


mempengaruhi hasil fungsional setelah operasi termasuk dominasi tangan,
pekerjaan, aktivitas rekreasi, dan status fungsional umum juga harus
didokumentasikan16.
Selama pemeriksaan fisik, penting untuk menenetukan lokasi massa, serta
ukuran, bentuk, perubahan kulit di atasnya, suhu, konsistensi, perlekatan pada
jaringan yang berdekatan, dan apakah massa lunak pada palpasi. Lesi etaboli
mungkin kompresibel dan memiliki suara bruit dan sensasi teraba. Transiluminasi
adalah tanda klinis yang sangat berharga etabo menilai ganglion. Tes Tinel
berguna untuk mengevaluasi massa yang muncul dari, atau terletak berdekatan
dengan saraf. Tumor yang muncul dari tendon atau selubung tendon biasanya
bergerak ke samping dan bergerak ke proksimal dan distal dengan ekskursi
tendon. Rentang gerak sendi pasif dan aktif harus dinilai dan didokumentasikan.
Pemeriksaan etaboli dengan tes Allen sangat penting, terutama jika massa berada
di dekat arteri radial, ulnaris, atau digital. Untuk lesi yang melibatkan kompleks
kuku, pigmentasi dan deformitas kuku yang abnormal (misalnya, guratan,
kehilangan perlekatan) harus dicari. Akhirnya, periksa daerah aksila dan
epitroklear untuk limfadenopati16.

c. Pemeriksaan Fisik
Hal-hal berikut yang mencakup16:
 Usia
 Onset dan laju perkembangan massa
 Gejala terkait (nyeri, mati rasa dan/atau kelemahan)
 Faktor risiko 
Selain itu, etabol medis dan keluarga yang terperinci serta informasi
mengenai pekerjaan, rekreasi, perjalanan, dan aktivitas seksual berguna etabo
mempertimbangkan berbagai diagnosis banding. Faktor lain yang dapat
mempengaruhi hasil fungsional setelah operasi termasuk dominasi tangan,
pekerjaan, aktivitas rekreasi, dan status fungsional umum juga harus
didokumentasikan16.

164
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

d. Pemeriksaan Penunjang
Radiografi polos, adalah modalitas utama untuk mengevaluasi tumor
tangan. Untuk tumor jaringan lunak, kalsifikasi jaringan lunak, scalloping tulang,
dan erosi harus dicari. Berikut ini harus dinilai untuk lesi tulang: tulang yang
terkena, lokasi di dalam tulang (diaphyseal, metaphyseal, epiphyseal), matriks
tumor, margin, reaksi periosteal, fraktur, dan adanya komponen jaringan lunak.
Karena anatomi rangka yang kompleks dari karpus dan sendi radioulnar distal, CT
scan, yang memberikan resolusi yang lebih baik dan anatomi tulang tiga dimensi,
sering diperlukan untuk menambah sinar-X untuk menilai perubahan tulang
dengan benar16.
Ultrasonografi adalah modalitas murah dan tersedia yang dapat membantu
menilai sifat massa (padat versus kistik), vaskularisasi, dan lokasi etaboli massa.
Bahkan memiliki resolusi yang lebih tinggi daripada pemindaian magnetic
resonance imaging (MRI). Namun, ini tergantung pada operator dan
kemampuannya terbatas untuk mengevaluasi massa yang lebih kompleks, dan
sulit untuk membedakan antara massa jinak dan ganas hanya dengan USG.
MRI tetap menjadi modalitas utama untuk pencitraan massa jaringan lunak
yang kompleks. Ini memainkan peran penting dalam karakterisasi aktivitas tumor,
dengan peningkatan kontras yang etabolic serta edema perilesional yang
menunjukkan tumor agresif lokal. Selain itu, MRI dapat digunakan untuk menilai
respons terhadap terapi ajuvan dan mencari kekambuhan lokal di tempat tidur
bedah. MRI juga dapat menggambarkan kompartemen jaringan lunak dan
hubungan massa dengan struktur etabolic ar yang sangat penting etabo
merencanakan eksisi bedah massa, terutama di tangan16.

e. Prinsip Biopsi untuk Dugaan Tumor Ganas


Standar untuk diagnosis adalah etabo. Biopsi yang baik membantu
menegakkan diagnosis, dan tidak mengganggu pengobatan etabolic . Sebaliknya,
etabo yang dilakukan dengan buruk dapat memiliki konsekuensi yang berbahaya,
dengan diagnosis yang salah, pengobatan etabolic yang terganggu, atau

165
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

keduanya. Saat melakukan etabo bedah untuk tumor, etabo-faktor berikut perlu
dipertimbangkan16:
1) Diagnosis dugaan
2) Rencana perawatan etabolic (limb salvage versus amputasi)
3) Siapa yang akan melakukan pengobatan etabolic , dan di mana harus
dilakukan (dan haruskah pasien dirujuk ke sana untuk etabo)
4) Apakah layanan dukungan tambahan (misalnya, bagian beku, patologi
khusus, imunohistokimia, dan etabolic molekuler) diperlukan dan
tersedia
5) Jarum inti versus etabo insisional terbuka versus etabo eksisi

f. Tatalaksana
Eksisi marginal cukup untuk hampir semua tumor jaringan lunak jinak. Ini
dilakukan segera di sekitar kapsul tumor, pada interfase dengan jaringan normal.
Eksisi luas, yang melibatkan eksisi tumor melalui margin jaringan normal,
mungkin diperlukan untuk beberapa tumor jinak tetapi agresif lokal seperti tumor
desmoid16.
Kuretase dan eksisi intralesi dilakukan untuk etaboli besar tumor tulang
jinak seperti enkondroma, dalam upaya untuk mempertahankan tulang sebanyak
mungkin. Untuk tumor tulang agresif lokal seperti tumor sel raksasa, pengobatan
ajuvan lokal menggunakan teknik seperti cryosurgery atau fenol ditambahkan
untuk mengurangi tingkat kekambuhan lokal16.
Eksisi tumor dengan margin kotor dan mikroskopis negatif. Untuk
sarkoma, tidak ada batas yang disepakati secara universal, tetapi secara umum, 1
cm jaringan lunak, atau lapisan anatomi yang sesuai seperti fasia, dapat diterima.
8-10 Margin yang lebih dekat dapat diterima untuk mempertahankan struktur
neurovaskular kritis yang tidak terlibat oleh tumor. Di tangan, margin selalu
sempit karena kedekatan struktur kritis16.
Radioterapi dan/atau kemoterapi praoperasi dapat dipertimbangkan untuk
tumor-tumor besar dan/atau bermutu tinggi tertentu, untuk menurunkan
stadiumnya dan memungkinkan reseksi bedah yang efektif. Namun, ada risiko

166
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

perkembangan tumor selama pengobatan neoadjuvant, dan tingkat infeksi luka


yang lebih tinggi terlihat pada pasien yang telah menjalani radioterapi pra operasi.
Radioterapi pascaoperasi harus dipertimbangkan untuk pasien yang mengikuti
reseksi dengan margin yang dekat atau margin yang positif secara mikroskopis.
Kemoterapi pascaoperasi juga dapat dipertimbangkan untuk pasien tertentu
dengan tumor derajat tinggi yang besar. Keputusan tentang jenis pengobatan, dan
waktu yang diberikan, harus individual dan dibuat oleh dewan tumor
multidisiplin16.
Jalur biopsi harus dieksisi en bloc bersama dengan tumor utama selama
reseksi definitif. Diseksi harus dilakukan melalui jaringan normal yang tidak
terkontaminasi tumor. Pembuluh darah dan saraf kritis yang tidak terlalu terlibat
oleh tumor dapat diawetkan dengan membedah melalui adventitia atau
epineurium. Reseksi radikal (reseksi seluruh kompartemen anatomis) tidak lagi
diperlukan secara rutin untuk sebagian besar pasien. Kadang-kadang, amputasi
mungkin masih diperlukan untuk mencapai kontrol tumor lokal, dan harus
dipertimbangkan ketika reseksi lengkap tumor akan mengakibatkan anggota
badan yang tidak berfungsi dan akan menjadi beban bagi pasien16.
Klip bedah dapat digunakan untuk menandai luasnya reseksi untuk
memfasilitasi perencanaan radioterapi selanjutnya. Drain bedah harus dimasukkan
dekat, dan sebaiknya sejajar dengan sayatan bedah16.

g. Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk massa tangan dan pergelangan tangan, dan ini
termasuk patologi etabolic ar seperti infeksi (misalnya, etabolic ar , artritis
etabo), trauma, kondisi autoimun (misalnya, rheumatoid arthritis), dan masalah
metabolisme (misalnya, asam urat, kalsinosis)16.

167
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

6.1.2 Diagnosis dan Tatalaksana Tumor Ganas Kulit


Melanoma Maligna
a. Definisi
Melanoma berasal dari sel melanosit yang terdapat pada lapisan etabolic
(ectodermal junctional cell) yang terletak di antara stratum basalis epidermis dan
stratum papilare dermis. Melanoma maligna dipisahkan karena mempunyai
behaviour yang berbeda. Lesi pra kanker16 :
1) Actinic keratosis
2) Kerato – acanthoma
3) Bowen’s disease (SCC insitu)
4) Erythroplasia Querat →bowen’ disease pada glans penis / vulva
5) Xeroderma pigmentosum
6) Solar/actinic cheilitis → bibir

b. Gambaran Klinis
1) Tumor (T): berdasarkan ABC rule of New York (NY University
Melanoma Cooperative Group), tumor dapat dilihat melalui beberapa
penilaian yaitu16:
A: Asymmetry
B: Border irregularity / distinctiveness
C: Color variation
D: Diameter > 6 mm
E: Elevation / Evolution (change in colour, size & shape)
F: Finding a new pigmented lesion, especially in person > 40 years
2) Lokasi: tempat yang sering terlewatkan
 Telapak kaki / tangan
 Bawah kuku
 Rongga mulut, mukosa anorektum, vulva vagina → prognosis
buruk
Metastase MM dapat terjadi secara :

168
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

 Intransit metastasis (5-10%) → nodul pada dermis / subkutis pada


jarak > 2 cm dari tumor primer namun belum keluar dari area
regional mengikuti aliran vena
 Vena saphena magna (medial) → KGB inguinal superfisialis
 Vena saphena parva (lateral) → KGB poplitea → v. femoralis →
KGB inguinal
 Limfogen/KGB (N) → lihat regionalnya
 Hematogen → organ viscera
 MM in situ→ Radial Growth Phase (RGP)→ Vertical Growth
Phase (VGP) sampai tempat pembuluh darah (dermis), metastasis
jauh

c. Pemeriksaan Penunjang
Radiologi Rutin16:
• Thoraks → melihat metastase paru & pleura, penyakit komorbid
• USG abdomen → melihat metastase hepar, KGB para aorta/para
iliaca
Radiologi Optional16 :
• Rontgen tulang di daerah lesi → melihat infiltrasi tulang
• Ctscan / MRI → evaluasi infiltrasi, ekspansi & kedalaman tumor
Laboratorium yaitu: Lactate Dehidrogenase (LDH)
• Sebagai tumor marker, namun tidak spesifik
• LDH diperlukan tumor untuk metabolisme glukosa (anerob) yang
menghasilkan laktat oleh karena sel tumor tidak memiliki
mitokondria karena telah hancur dalam proses apoptosis sehingga
sel tumor tidak bisa melakukan metabolisme aerob → Warburg
effect16.

169
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

d. Tatalaksana
Operasi, Prinsip:
Wide excision → 2 cm MM in situ → 0,5 cm Bila terdapat fasilitas, maka eksisi
disesuaikan menurut ketebalan tumor (kriteria Breslow)16.
1) Level I (< 0,76 mm) → 1 cm
2) Level II (0,76-1,5 mm)→ 1,5 cm
3) Level III (>1,5 mm) → 2 cm
Area khusus:
1) Subungual → amputasi interphalangeal media
2) Jari kaki → amputasi pada sendi metatarsophalangeal
3) Kulit payudara → wide excision; tidak dianjurkan mastektomi
Amputasi, diindikasikan pada:
1) Lesi intransit rekuren yang ekstensif mengenai etaboli besar kulit
2) Tumor yang mengisi arteri & vena femoralis sehingga tidak
memungkinkan isolated limb perfusion
3) Keterlibatan otot yang ekstensif

170
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

6.2 Diagnosis dan Tatalaksana Limfadenopati Regio Coli, dan Tumor


Ganas Kepala Leher
a. Definisi
Sistem limfatik memiliki tiga fungsi vital: mendukung sistem
kekebalan, penyerapan lipid gastrointestinal, dan keseimbangan cairan.
Secara fungsional, untuk mencapai keseimbangan cairan, sistem limfatik
secara struktural terdiri dari jaringan peredaran darah searah yang
bertanggung jawab untuk reabsorpsi dan pengembalian sekitar 90%
ultrafiltrasi kapiler interstisial ke sistem peredaran darah. Limfedema
adalah akibat dari gangguan keseimbangan cairan. Limfedema adalah
penyakit kronis, progresif, dan melemahkan yang ditandai dengan
akumulasi abnormal cairan interstisial kaya protein yang mengakibatkan
pembengkakan, peradangan, dan perubahan jaringan ireversibel yang
biasanya mempengaruhi anggota badan16.
Mekanisme yang mendasarinya adalah disfungsi drainase karena
malformasi atau gangguan sistem limfatik yang menyebabkan insufisiensi
reabsorpsi ultrafiltrat dan transportasi kembali ke sistem peredaran darah16.

b. Diagnosis
Limfedema adalah diagnosis klinis yang etaboli besar bergantung
pada pengumpulan etabol menyeluruh dan pemeriksaan fisik. Pasien
limfedema sekunder akan memiliki etabol trauma sebelumnya pada
etabo limfatik dan melaporkan gejala umum seperti pembengkakan dan
berat anggota badan, nyeri, kelelahan, mati rasa, kekakuan, dan gangguan
mobilitas. Sebaliknya, pasien limfedema primer, umumnya tidak akan
mengalami cedera sebelumnya pada etabo limfatik, kemungkinan besar
adalah perempuan, dan dapat merujuk pada etabol keluarga dengan
pembengkakan ekstremitas idiopatik. Dokter juga harus
mempertimbangkan bahwa pasien dapat etabo dengan gambaran
campuran limfedema primer dan sekunder16.

171
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Instrumen hasil yang dilaporkan pasien semakin mendapatkan


tempat sebagai bagian dari penilaian subjektif limfedema. Data digunakan
sebagai pelengkap gejala klinis, menambahkan informasi tentang
gangguan fungsional dan dampak psikososial untuk menangkap gambaran
yang lebih lengkap tentang pengalaman pasien dengan limfedema.
Kuesioner lymphedema-27 (ULL-27) ekstremitas atas, saat ini merupakan
satu-satunya PRO spesifik kondisi yang divalidasi untuk BCRL; namun,
etaboli besar penelitian hingga saat ini menggunakan etabolic PRO
fungsional, kanker, dan gejala spesifik generik16.

c. Tatalaksana
1) Perawatan Non-bedah
Umumnya, pengobatan limfedema bersifat paliatif dan bukan kuratif; oleh
karena itu, tujuan utamanya adalah mencegah perkembangan penyakit
dan memperbaiki gejala. Perawatan non-bedah adalah lini pertama,
termasuk dalam situasi etabo pembengkakan ekstremitas subklinis
diidentifikasi pada surveilans limfedema. Perawatan non-bedah juga
memainkan peran tambahan untuk mempertahankan hasil dari
perawatan bedah limfedema. Akhirnya, etabolic pasien adalah
elemen penting dari perawatan limfedema. Pasien yang berisiko
limfedema sekunder harus disadarkan akan risiko seumur hidup
mereka, dan mereka harus dididik tentang tanda dan gejala awal untuk
dikenali. Selain itu, dokter harus mendidik pasien tentang strategi
pengurangan risiko praktis dan berbasis bukti seperti perawatan kulit,
olahraga, dan penurunan berat badan16.
2) Terapi Dekongestan Lengkap
Terapi dekongestif lengkap dianggap sebagai lini pertama dalam manajemen
limfedema. Ini adalah pendekatan multimodal yang menggabungkan
drainase limfatik manual (MLD), perban kompresi, olahraga, dan
perawatan kulit. Perawatan ini melibatkan fase reduktif (fase I) dan
fase pemeliharaan (fase II). Pada fase I, pasien menemui spesialis

172
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

limfedema lima kali seminggu hingga 8 minggu dan menjalani MLD,


terapi kompresi, dan fisioterapi untuk mencapai pengurangan volume
tungkai. Fase II etaboli besar diarahkan pada pasien dan mencakup
perawatan kulit dan kuku yang cermat, mengenakan pakaian atau
lengan kompresi, pijat drainase limfa sendiri, dan olahraga untuk
mempertahankan keuntungan dalam pengurangan volume tungkai.
Kelemahan CDT adalah padat karya, mahal, dan memakan waktu,
membuat ketidakpatuhan pasien menjadi masalah. Oleh karena itu,
sejumlah percobaan acak telah meneliti efektivitas perawatan yang
kurang intensif seperti perban kompresi saja dan fisioterapi saja
dibandingkan dengan CDT dengan hasil yang beragam. Pada tahun
2015, Perpustakaan Cochrane menerbitkan tinjauan sistematis MLD
untuk pengobatan limfedema. Dalam tinjauan tersebut, dua percobaan
serupa yang dilakukan membandingkan MLD dengan perban
kompresi dengan perban kompresi saja melaporkan pengurangan
volume tambahan yang setara dengan MLD dan perban kompresi,
terutama untuk pasien dengan penyakit ringan hingga sedang. Namun,
percobaan lain yang membandingkan MLD dengan kompresi dengan
kompresi saja atau kompresi dengan fisioterapi tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan dalam pengurangan volume dan metrik
kualitas hidup subjektif. Jadi, dengan tidak adanya bukti yang tak
terbantahkan bahwa terapi yang kurang intensif lebih baik atau tidak,
CDT tetap menjadi pengobatan lini pertama untuk limfedema16.
3) Perawatan Bedah
Perawatan bedah diindikasikan etabo etaboli konservatif lini pertama gagal
dan etabo pasien etabo dengan penyakit stadium akhir. Ada dua
kategori utama perawatan bedah: prosedur eksisi dan fisiologis.
Prosedur eksisi pada dasarnya adalah pengurangan bedah jaringan
etabolic ar berlebih pada ekstremitas yang terkena sedangkan
prosedur fisiologis merekonstruksi etabo limfatik untuk
meningkatkan drainase fisiologis. Tujuan perawatan bedah adalah

173
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

untuk mengurangi beban produksi getah bening dengan prosedur


eksisi atau sedot lemak: untuk meningkatkan drainase getah bening
dengan melewati getah bening ke dalam venula subdermal atau
transfer flap kelenjar getah bening vaskularisasi yang kuat untuk
mengembalikan fungsi drainase limfatik16.

174
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

MINGGU 7 BEDAH SARAF

7.1 Diagnosis dan Tatalaksana Trauma Kepala dan Non-trauma


7.1.1 Diagnosis dan Tatalaksana Trauma Kepala
Epidural Hematoma (EDH)
a. Informasi Umum
Insidensi EDH: 1% dari trauma kepala (setara dengan insidensi akut
subdural ~ 50%). Rasio laki : perempuan = 4:1. Biasanya terjadi pada dewasa
muda, dan jarang terjadi sebelum usia 2 tahun atau setelah usia 60 tahun (mungkin
karena dura lebih melekat pada meja bagian dalam pada kelompok ini). Dogma
yang dulu adalah fraktur tengkorak temporoparietal mengganggu arteri meningeal
media saat keluar dari alur tulangnya untuk masuk ke tengkorak di pterion,
menyebabkan perdarahan arteri yang secara bertahap membedah dura dari meja
bagian dalam mengakibatkan kemunduran yang tertunda. Hipotesis alternatif:
diseksi dura dari meja bagian dalam terjadi terlebih dahulu, diikuti oleh
pendarahan ke dalam ruang yang tercipta17.
Sumber perdarahan: 85% = perdarahan arteri (arteri meningea media
adalah yang tersering di EDH fossa media). Banyak dari sisa kasus disebabkan
oleh perdarahan dari vena meningea media atau dural sinus. 70% terjadi lateral
dari hemisfer dengan epsentrum pterion, sisanya terjadi di frontal, oksipital, dan
fossa posterior (5-10% masing-masing)17.
b. Presentasi EDH
“Textbook” presentation (<10%-27% muncul presentasi klasik ini) 17:
1) Kehilangan kesadaran singkat pasca trauma (LOC): dari dampak awal
2) Diikuti oleh “lucid interval” selama beberapa jam
3) kemudian, obtundasi, hemiparesis kontralateral, dilatasi pupil
ipsilateral sebagai akibat dari efek massa dari hematoma
Deteriorasi biasanya terjadi selama beberapa jam, tetapi mungkin
memakan waktu berhari-hari dan jarang, berminggu-minggu (interval yang lebih
lama dapat dikaitkan dengan perdarahan vena). Temuan lain yang ada: H/A,
muntah, kejang (mungkin unilateral), hiperefleksia + tanda Babinski unilateral,

175
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

dan peningkatan tekanan CSF (LP jarang digunakan lagi). Bradikardia biasanya
merupakan temuan yang terlambat. Pada peds, EDH harus dicurigai jika ada
penurunan 10% hematokrit setelah masuk17.
Hemiparesis kontralateral tidak terlihat secara seragam, terutama dengan
lokasi EDH selain lateral di bagian hemisfer. Pergeseran otak berasal dari massa
dapat menghasilkan kompresi batang otak yang berlawanan pada kedudukan
tentorium yang dapat menghasilkan hemiparesis ipsilateral (disebut fenomena
Kernohan atau fenomena notch Kernohan ini), lokalisasi tanda palsu. 60% pasien
dengan EDH memiliki pupil yang melebar, 85% di antaranya adalah ipsilateral.
Tidak ada kehilangan kesadaran awal yang terjadi pada 60%. Tidak ada lucid
interval dalam 20%. Lucid interval juga dapat terlihat pada kondisi lain (termasuk
hematoma subdural)17.
c. Diagnosa banding17:
1) Subdural hematoma
2) Gangguan post trauma digambarkan oleh Denny-Brown, yaitu lucid
interval diikuti oleh bradikardi, periode singkat etab dan muntah,
tanpa hipertensi etabolic ar atau massa. Anak-anak biasanya ada H/A
dan bisa menjadi mengantuk dan bingung. Teori: salah satu bentuk
sinkop vagal. CT harus dilakukan untuk menyingkirkan EDH.
d. Evaluasi
1) Foto polos kepala
2) CT Scan
e. Mortalitas EDH
Mortalitas sebesar 20-25% (lebih tinggi pada penelitian lama).
Diagnosis dan tatalaksana yang optimal menghasilkan 5-10% mortalitas17.
f. Tatalaksana17:
1) Medis
2) Manajemen
3) Pembedahan

176
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Akut Subdural Hematoma (ASDH)


a. Informasi Umum
Besaran dampak kerusakan, dibandingkan dengan kerusakan sekunder
biasanya jauh lebih tinggi pada akut subdural hematoma (ASDH) dibandingkan
pada epidural hematoma, yang umumnya membuat lesinya jauh lebih mematikan.
etabolic cedera otak yang mendasari, yang mungkin kurang umum dengan
EDH. Gejala mungkin karena kompresi dari otak di bawah garis tengah, dengan
cedera otak parenkim dan mungkin edema serebral17.
1) Dua penyebab umum ASDH traumatik:
2) Akumulasi di sekitar laserasi parenkim (biasanya lobus frontal atau
temporal). Biasanya ada cedera otak primer yang mendasari parah.
Seringkali tidak ada lucid interval. Tanda fokal sering terjadi nanti dan
kurang menonjol dibandingkan dengan EDH
3) Permukaan atau pembuluh penghubung robek dari akselerasi-
deselerasi serebral selamakepala yang keras gerakan. Dengan etiologi
ini, kerusakan otak primer mungkin tidak terlalu parah, interval jernih
dapat terjadi dengan perburukan yang cepat kemudian.
ASDH dapat terjadi pada terapi ion koagulasi khusus, biasanya dengan,
tetapi kadang-kadang dengan tanpa, riwayat trauma (trauma mungkin kecil).
Menerima terapi antikoagulan meningkatkan risiko ASDH 7 kali lipat pada pria
dan 26 kali lipat pada wanita17.
b. CT Scan pada ASDH
Massa berbentuk bulan sabit dengan peningkatan densitas. Edema
biasanya terjadi17. Lokasi17:
1) Biasanya di atas konveksitas
2) Interhemisfer
3) Melapisi tentorium
4) Pada p-fossa
c. Tatalaksana
Indikasi pembedahan17:

177
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

1) Adanya antikoagulan atau inhibitor platelet: pasien dalam kondisi


neurologis yang baik mungkin lebih baik dilayani dengan
membalikkan agen ini sebelum operasi (untuk meningkatkan
keamanan operasi)
2) Lokasi hematoma: di umum, SDH tinggi di atas konveksitas kurang
mengancam daripada SDH temporal/parietal dengan volume yang
sama yang juga memiliki MLS
3) Tingkat fungsi dasar pasien, status DNR
4) Sementara pedoman menyarankan mengevakuasi SDH dengan tebal
<10 mm dalam beberapa keadaan, gumpalan yang lebih kecil dari ini
mungkin tidak menyebabkan masalah tetapi mungkin hanya sebuah
epifenomena

Non-Trauma
Spina Bifida Okulta (SBO)
Tidak adanya prosesus spinosus dan beberapa amina. Tidak terlihat
paparan meninges atau jaringan saraf. Rentang prevalensi SBO: 5 –30% orang
Amerika Utara (5–10% mungkin lebih realistis). Defek mungkin dapat diraba, dan
mungkin lebih dari itu menunjukkan manifestasi kutaneous17.
Sering kali merupakan temuan insidental, biasanya tidak penting secara
klinis jika terjadi sendiri. Beberapa ulasan telah menunjukkan tidak ada hubungan
statistik SBO dengan LBP nonspesifik. Peningkatan insidensi herniasi diskus
ditunjukkan dalam suatu studi. SBO mungkin diasosiasikan dengan
diastematomyelia, tethered cord, lipoma, atau tumor dermoid. Bila bergejala dari
salah satu kondisi terkait ini, presentasi biasanya adalah gangguan gaya berjalan,
kelemahan dan atrofi tungkai, gangguan kemih, deformitas kaki (sindroma
Tethered cord)17.

Spina Bifida Aperta (SBO)


Dua penyakit di bawah ini dikelompokkan ke dalam istilah spina bifida
aperta (aperta dari bahasa Latin untuk “terbuka”) atau spina bifida cystica17.

178
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

a. Meningocele
Penyakit kongenital dengan defek pada arkus vertebrae dengan distensi
kistik pada meningens, tetapi tidak ada kelainan pada jaringan saraf. Sepertiga
memiliki beberapa defisit neurologis17.
b. Myelomeningocele (MM)
Defek kongenital pada arkus vertebrae dengan dilatasi sistik pada
meningens dan kelainan struktural atau fungsional medulla spinalis atau cauda
equina17.
Manajemen Pembedahan
1) Penentuan waktu penutupan MM
Penutupan dini defek MM tidak terkait dengan peningkatan fungsi
neurologis, tetapi bukti mendukung tingkat infeksi yang lebih rendah
dengan penutupan dini. MM harus ditutup dalam waktu 24 jam terlepas
dari membrannya utuh (setelah 36 jam lesi di bagian punggung
terkolonisasi dan ada peningkatan risiko infeksi pascaoperasi)17.
2) Penutupan simultan defek MM dan VP shunting
Pada pasien tanpa hidrosefalus, sebagian besar dokter bedah menunggu
setidaknya 3 hari setelah perbaikan MM sebelum shunting. Pada pasien
MM dengan HCP yang nyata secara klinis saat lahir (ventrikulomegali
dengan OFC membesar dan/atau gejala). Perbaikan MM dan VP shunting
dapat dilakukan bersamaan tanpa peningkatan insiden infeksi, dan dengan
rawat inap yang lebih singkat. Hal ini juga dapat mengurangi risiko
kerusakan MM yang sebelumnya terlihat selama interval sebelum
shunting17.
Pasien diposisikan tengkurap, kepala menoleh ke kanan (untuk
mengekspos oksiput kanan), lutut kanan dan paha tertekuk untuk
mengekspos panggul kanan (pertimbangkan untuk menggunakan kiri
panggul untuk mencegah kebingungan dengan bekas luka apendektomi di
kemudian hari17.
MINGGU 8 BEDAH PLASTIK

179
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

8.1 Bedah Plastik 1


8.1.1 Diagnosis dan tatalaksana trauma maxillofacial
Fraktur Fasial dan Trauma Jaringan Lunak
Trauma wajah adalah salah satu etabol paling umum untuk
berkonsultasi dengan ahli bedah etabol; diperkirakan 407.000 kunjungan
gawat darurat terjadi setiap tahun untuk fraktur wajah saja. Evaluasi dan
perlakuan yang tepat merupakan keterampilan dasar bagi peserta pelatihan.
Prinsip-prinsip yang dipelajari dalam mendekati dan menstabilkan fraktur
berfungsi sebagai dasar untuk membangun konsep yang lebih maju dalam
penanganan jaringan lunak dan bedah ortognatik16.
Mekanisme cedera bervariasi dan pasien pertama-tama harus
dipertimbangkan dari sudut pandang trauma yang komprehensif. Setiap pasien
harus menjalani evaluasi trauma menyeluruh untuk cedera bersamaan, dimulai
dengan penilaian jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Lebih dari 45% pasien
dengan patah tulang wajah memiliki cedera etabolic ar bersamaan dan hampir
10% memiliki cedera tulang belakang leher. Dengan area tulang dan sinus yang
tipis, wajah dirancang untuk bertindak sebagai peredam kejut untuk membantu
mencegah trauma pada struktur neurologis kritis ini16.

Upper Facial Fractures


Fraktur Sinus Frontal
Tulang frontal adalah struktur yang sangat kuat dan mampu menahan
lebih banyak kekuatan daripada tulang wajah lainnya. Untuk etabol ini, patah
tulang frontal menandakan mekanisme traumatis berenergi tinggi dan sering
dikaitkan dengan cedera etabolic ar. Pneumatisasi sinus frontal dimulai sekitar
usia 2 tahun dan selesai pada usia 12 tahun. Karena tulang lebih tebal pada
masa kanak-kanak, fraktur sinus frontal tidak sering terlihat. Pada orang
dewasa, manajemen fraktur sinus frontalis tergantung pada apakah fraktur
meluas melalui meja anterior atau posterior atau keduanya, derajat perpindahan,
dan kemungkinan obstruksi saluran keluar nasofrontal16.

180
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Gambar 8.1 Penatalaksanaan fraktur sinus frontalis. NFOT, saluran keluar


nasofrontal (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no. 4)

Fraktur bagian anterior dapat menyebabkan ketidakteraturan kontur yang


terlihat atau teraba pada dahi atau ketidakstabilan bar supraorbital. Fraktur
dinding posterior memiliki potensi robekan dural, kebocoran cairan serebrospinal,
pneumosefalus persisten, atau meningitis. Saluran keluar nasofrontal
kemungkinan akan cedera dengan fraktur pada tulang frontal inferomedial dan
dasar sinus. Saluran tersebut dapat menjadi terhambat dengan cedera,
menyebabkan abses atau sinusitis. Evaluasi pola dan lokasi fraktur pada CT scan
akan menunjukkan kemungkinan keterlibatan saluran nasofrontal. Keterlibatan
saluran keluar nasofrontal dengan obstruksi sangat berkorelasi dengan tingkat
perpindahan fraktur yang lebih tinggi16.
Pengamatan nonoperatif harus mencakup pemeriksaan serial dan CT scan
untuk mengevaluasi mukokel atau pneumosefalus persisten. Obliterasi
memerlukan kuretase bedah mukosa sinus, burring tulang sinus untuk
menghilangkan invaginasi mukosa, oklusi bedah etabo nasofrontal, dan
penempatan flap tulang, otot, lemak, perikranial, atau galeal. Kranialisasi
dilakukan dengan membuang dinding posterior sehingga sinus dan fossa kranial
anterior berdekatan. Mukosa sinus harus dikuret dengan hati-hati, bagian dalam

181
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

dari tulang meja anterior dibuang, dan saluran nasofrontal ditutup dengan
cangkok tulang. Otak dibiarkan mengisi apa yang sebelumnya merupakan ruang
sinus frontal selama bulan-bulan berikutnya16.
Fraktur non-displaced dari dinding anterior atau gabungan dinding
anterior dan posterior tanpa obstruksi saluran keluar nasofrontal harus diamati.
Fraktur yang bergeser hanya pada meja anterior umumnya memerlukan reduksi
operatif dan fiksasi dengan pelat mini profil rendah untuk mengembalikan kontur
dahi. Pada fraktur dinding posterior, derajat perpindahan dan adanya kebocoran
cairan serebrospinal (CSF) menentukan manajemen. Fraktur yang bergeser
membawa risiko robekan dural, kebocoran CSF, dan meningitis yang lebih
tinggi. Komplikasi ini diminimalkan dengan obliterasi untuk fraktur yang tidak
terlalu parah atau kranialisasi untuk fraktur yang lebih tergeser atau kominutif.
Dengan obstruksi saluran keluar nasofrontal pada fraktur dinding anterior atau
posterior, sinus harus dilenyapkan atau dikranialisasi terlepas dari tingkat
perpindahan fraktur16.
Komplikasinya, abses dapat terjadi secara akut atau tertunda dan dapat
berkisar dari subkutan hingga etabolic ar. Ini dikelola dengan debridement
bedah berulang dan obliterasi atau kranialisasi. Mukokel dihasilkan dari
pertumbuhan berlebih yang lambat dari sisa mukosa sinus basilaris dari vena
diploik Breschet, yang merupakan kriptus mukosa kecil yang berinvaginasi ke
dalam tulang. Mucoceles biasanya hadir dalam mode tertunda dengan sakit
kepala kronis, efek massa, gangguan visual, obstruksi hidung, atau erosi tulang
frontal. Mukokel sulit diobati; oleh karena itu, pencegahan adalah yang utama.

Midfacial Fractures
Fraktur Orbital
Orbit adalah kotak atau ruang berdinding tipis, berbentuk kerucut, tempat
bola berada. Strukturnya dirancang untuk mendukung posisi etaboli dan etaboli

182
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

bola mata, dan untuk menyerap trauma tumpul pada wajah bagian tengah atas
untuk mencegah cedera bola mata. Dengan fraktur pada dinding atau lantai
medial, ruang orbita menjadi berdekatan dengan sinus ethmoid atau sinus
maksilaris, dan posisi bola mata dapat berubah. Fraktur sering meningkatkan
volume orbital, menyebabkan diplopia etabo bola mata turun ( etaboli etaboli)
atau menjadi lebih dalam di dalam rongga orbital (enophthalmos). Khususnya
pada anak-anak, fraktur greenstick pada dasar dapat terjadi, yang memungkinkan
otot rektus inferior prolaps ke dalam sinus maksilaris dengan fragmen tulang
etabol ke posisi semula karena rekoil periosteal. Jebakan otot ini merupakan
keadaan darurat bedah karena bagian otot yang prolaps dengan cepat menjadi
iskemik. Jika otot tidak dilepaskan dalam waktu 6 sampai 8 jam, akan menjadi
etaboli dengan risiko tinggi diplopia permanen. Hematoma retrobulbar dapat
secara akut meningkatkan tekanan intraorbital dan dengan cepat menyebabkan
kerusakan saraf etab jika tidak segera didiagnosis. Fisura orbital superior dan
sindrom apex orbital dapat dikaitkan dengan cedera langsung dari fragmen tulang
yang retak atau dengan perdarahan retrobulbar. Reduksi bedah dari fragmen
fraktur posterior ini umumnya tidak berhasil. Karena kompresi sering dari
jaringan lunak, pengobatan terutama medis, menggunakan kortikosteroid dosis
tinggi. Beberapa kasus dapat sembuh secara spontan saat edema mereda16.

183
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Gambar 8.2 pasien dengan fraktur kecil pada atap orbital dan dinding lateral,
fragmen tulang menyebabkan sindrom apex orbital dengan hasil kebutaan (dikutip
sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no. 4)

Tabel 8.1 Sekuel Cedera Pada Struktur Periorbital Terkait Dengan Fraktur
Orbital (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no. 4).

Fraktur orbital harus dicurigai dengan trauma tumpul substansial pada


wajah, termasuk jatuh dari berdiri, pukulan ke wajah, atau tabrakan kendaraan
bermotor. CT wajah adalah satu- satunya metode untuk memastikan diagnosis
yang akurat. Penjajaran dasar orbita harus dievaluasi pada potongan koronal dan
etaboli, dan dimensi fraktur pada arah anteroposterior dan mediolateral harus
diukur. Otot-otot ekstraokular dapat diperiksa pada jendela jaringan lunak untuk
mengevaluasi jebakan; namun, satu-satunya cara untuk mendiagnosis jebakan
secara akurat adalah dengan pemeriksaan fisik. Diplopia merupakan indikasi
bedah utama pada fraktur dasar orbita dan dinding medial. Diplopia lebih
mungkin terjadi dengan fraktur yang lebih besar melebihi 1 sampai 2 cm2.
Seringkali, etabo diperiksa di ruang gawat darurat, pasien telah mengalami
edema periorbital substansial yang menutupi enophthalmos dan etaboli etaboli
yang akan terjadi seiring waktu. Pasien harus diperiksa ulang dalam 7 sampai 10
hari, setelah pembengkakan mereda, untuk menentukan perlunya intervensi
bedah16.

184
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Setelah sayatan dipilih, diseksi berlanjut ke tepi infraorbital; periosteum


dasar orbita dan dinding medial yang terlibat diangkat. Pada titik ini, elevator
dapat digunakan untuk mengidentifikasi batas fraktur dan tepi tulang stabil
yang mengelilingi fraktur. Nervus optikus terletak kira-kira 32 sampai 42 mm
posterior dari tepi infraorbital; sebagai diseksi hasil lebih dalam ke orbit, hati-
hati digunakan untuk menghindari cedera saraf. Lift dapat dilepas secara
berkala untuk memeriksa posisi ujungnya dengan memegangnya di tepi
infraorbital dan mengukur jarak dari ujung ke ujung jari ahli bedah16.

Gambar 8.3 Tampilan penampang sayatan untuk eksplorasi dasar orbita (dikutip
sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no. 4).

185
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Gambar 8.4 Saat mengidentifikasi batas fraktur dasar orbita, elevator dapat
digunakan untuk meraba medial, lateral, dan posterior untuk tepi tulang yang
stabil (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no. 4)

Pelat harus dipilih berdasarkan karakteristik rekahan. Cakupan lengkap


dari cacat diperlukan untuk patah tulang yang lebih besar; pelat titanium anatomis
dengan ekstensi medial sering sesuai untuk fraktur dasar orbita yang meluas ke
dinding medial16.
Komplikasi yang dapat terjadi, diplopia lanjutan dapat terjadi akibat
reduksi yang tidak memadai, atau lebih khusus lagi, pemulihan volume orbital
yang tidak memadai. Lemak orbital yang prolaps ke dalam sinus maksilaris
harus diangkat etabol ke orbit sebelum penempatan pelat untuk menopang
posisi normal bola mata dengan benar. Diplopia juga dapat terjadi akibat
fibrosis otot ekstraokular atau nekrosis lemak intraorbital akibat manipulasi.
Malposisi kelopak mata bawah dapat mencakup ectropion, scleral show, dan
entropion. Risiko ektropion dan scleral show meningkat dengan penggunaan
insisi transkutan; ektropion dapat mempersulit 14% dari perbaikan lantai
orbital yang didekati melalui sayatan subciliary. Jahitan Frost, ditempatkan
melalui tarsus kelopak mata bawah dan diikat etabol, membantu mengangkat
kelopak mata bawah selama beberapa hari pertama sampai edema mereda.
Meskipun jahitan Frost dapat mencegah paparan bola mata akut dari kemosis,
namun belum terbukti mencegah ektropion16.

Zygomaticomaxillary Complex dan Zygomatic Arch Fractures


Fraktur kompleks zygomaticomaxillary (ZMC) juga disebut sebagai
fraktur tripod. Tulang zigomatika mengatur lebar dan proyeksi midface. Fraktur
biasanya menggeser zygoma ke inferior, lateral, dan posterior, melebarkan dan
mendatarkan wajah. Reduksi sangat penting untuk mengembalikan struktur ke
bagian tengah. Selain itu, perpindahan zygoma dapat mempengaruhi prosesus
koronoideus mandibula dan otot-otot pengunyahan yang terkait, menyebabkan
trismus, yang membatasi ekskursi mandibula. Reduksi yang tepat mengurangi

186
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

pelampiasan otot dan mengembalikan etabol mandibula16.


ZMC dapat didekati melalui insisi transkonjungtiva dan sulkus bukal
atas. Kadang- kadang kantotomi lateral atau sayatan blepharoplasty kelopak
mata atas/lateral juga diperlukan, tergantung pada tingkat perpindahan. Reduksi
dapat dilakukan dengan menempatkan elevator atau kait tulang melengkung di
bawah corpus zygoma melalui insisi sulkus bukal atas dan mengangkat tulang
dari posisi impaksinya. Sebagai alternatif, sekrup tulang Carroll-Girard dapat
dimasukkan secara perkutan dan digunakan untuk menempelkan bagian yang
patah ke posisi yang diinginkan. Penjajaran harus ditentukan pada artikulasi
zygomaticofrontal, zygomaticomaxillary, dan zygomaticosphenoid. Dari jumlah
tersebut, penopang zygomaticosphenoid paling penting dalam memverifikasi
penataan etabol etabo yang akurat. Penopang zygomaticosphenoid dapat
divisualisasikan melalui ekstensi kantotomi lateral dari sayatan
transkonjungtiva, atau melalui sayatan tepi lateral yang terpisah. Penopang
kemudian distabilkan dengan pelat mini titanium16.

Gambar 8.5 Sekrup Carroll-Girard dapat ditambatkan ke dalam zygoma secara


perkutan dan digunakan untuk memanipulasi tulang (dikutip sesuai dengan
aslinya dari kepustakaan no. 4).

Dalam banyak kasus, fraktur ZMC berhubungan dengan fraktur dasar


orbita. ZMC harus dikurangi terlebih dahulu, karena penyelarasannya akan
didasarkan pada tulang utuh pada penopang yang dijelaskan di atas. Lantai
orbital kemudian harus diperiksa untuk membuka kedok atau pelebaran fraktur.

187
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Fraktur yang signifikan harus diperbaiki seperti yang dijelaskan sebelumnya.


Fraktur lengkung zigomatikus yang terisolasi menjadi masalah jika fraktur cukup
tertekan untuk mempengaruhi kontur wajah atau menyebabkan trismus. Paparan
langsung tidak dapat dicapai melalui sayatan terbatas, mengingat lokasi yang
mencolok dan hubungan dekat dengan cabang temporal saraf wajah. Untuk
fraktur dengan pergeseran dan kominutif yang parah, insisi koronal harus
digunakan, karena ini adalah satu-satunya pendekatan untuk akses yang
diperlukan untuk fiksasi pelat16.
Untuk fraktur depresi dengan stabilitas bawaan, pendekatan Gillies
dapat digunakan untuk mengurangi fraktur. Insisi horizontal 2 cm dibuat di
dalam bagian bantalan rambut dari daerah temporal 2,5 cm anterior dan
superior akar heliks, setelah meraba dan menghindari arteri temporal. Diseksi
berlanjut ke lapisan dalam fasia temporal dalam, yang secara langsung
menutupi otot temporalis. Fasia kemudian diiris, memperlihatkan otot. Sebuah
elevator dimasukkan dan diarahkan ke inferior, tepat di bawah arcus
zygomaticus. Penerapan tekanan manual mengurangi fraktur melalui teknik
akses minimal ini16.
Sebagai alternatif, lengkungan dapat didekati dari insisi sulkus bukal atas
2 sentimeter (sayatan tajam) di dasar penopang zygomaticomaxillary. Sayatan
dibuat melalui mukosa saja, memungkinkan lift untuk lewat di bawah lengkungan
zygomatic yang berada di dekat sayatan16.

Fraktur Tulang Nasal


Tulang hidung adalah tulang wajah yang paling sering retak, terhitung
lebih dari 55% dari patah tulang wajah. Fraktur septum kartilaginosa sangat
rentan terhadap deformitas hidung dan obstruksi jalan napas. Bahkan setelah
reduksi tertutup tulang hidung, dengan adanya fraktur septum yang tidak lengkap,
tulang akan cenderung menyimpang etabol bagian septum yang bergeser selama
proses penyembuhan. Selain mengembalikan arsitektur jalan napas hidung,
pengurangan septum tulang rawan melawan gaya deformasi septum pada tulang
hidung dan meningkatkan keselarasan akhir16.

188
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Tulang hidung dan septum dapat direduksi dengan anestesi lokal


tergantung pada kompleksitas fraktur dan etabolic pasien. Reduksi hidung
tertutup di bawah anestesi umum belum terbukti memiliki hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan anestesi lokal, tetapi mungkin lebih tepat untuk pasien yang
cemas atau pasien muda, atau patah tulang yang lebih parah. Terlepas dari
pengaturannya, peralatan dan teknik untuk reduksi hidung tertutup adalah sama.
Anestesi lokal disuntikkan di dalam jaringan lunak dorsum hidung untuk
membius saraf infratroklear, di sekitar saraf infraorbital, dan di sepanjang dasar
kolumela dan dasar hidung (cabang saraf etmoidalis anterior dan posterior dan
ganglion etabolic ar e)16.
Untuk mencegah cedera etabolic ar yang tidak disengaja, jarak dari
lubang hidung eksternal ke tulang hidung yang dipindahkan diukur dengan
memegang elevator di bagian luar hidung dan memegang bagian distal elevator di
naris. Lift kemudian dimasukkan dan tekanan manual diterapkan etabo
menstabilkan kepala dan meraba tulang yang dipindahkan secara eksternal
dengan tangan lainnya. Setelah tulang hidung direduksi, septum dapat digenggam
dengan forsep Asch dan dimanipulasi ke posisi median anatomisnya16.

Gambar 8.6 Reduksi hidung tertutup dapat dilakukan dengan alat sederhana,
termasuk anestesi lokal, oxymetolazone yang direndam kokain, forsep bayonet,

189
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

spekulum hidung Killian, elevator Boies, dan forsep Asch (dikutip sesuai dengan
aslinya dari kepustakaan no. 4).
Setelah manipulasi septum, tekanan harus diterapkan untuk mencegah
hematoma septum. Ini dapat dilakukan dengan jahitan matras transseptal, atau
dengan kemasan kasa yang diresapi Vaseline yang dibiarkan di tempat selama 24
jam. Sebagai alternatif, bidai septum etabol, seperti bidai Doyle atau bivalve,
dapat dijahit di tempat selama 5 hingga 7 hari. Dorsum hidung harus distabilkan
dengan belat termoplastik eksternal. Perawatan bahan termoplastik adalah proses
eksotermik, sehingga kulit hidung yang tipis harus dilindungi dengan lapisan
plester bedah untuk mencegah kulit terbakar. Karena tulang hidung berkurang
tetapi tidak terfiksasi, belat yang terlalu ketat dapat menyebabkan perpindahan
tulang16.

Fraktur Nasoorbitoethmoidal
Kompleks nasoorbitoethmoidal (NOE) adalah area tulang tipis di wajah
tengah atas yang meliputi rongga hidung superior dan sel udara ethmoidal. Di
bagian superior dibatasi oleh sinus frontal, lempeng cribriform, dan dasar
tengkorak anterior; anterior oleh tulang hidung, proses frontal rahang atas, dan
proses hidung tulang frontal; lateral oleh tulang lakrimal dan lamina papiracea
tulang ethmoid; dan medial oleh septum dan lempeng tegak lurus ethmoid.
Tulang tipis dari fossa kranial anterior di fovea ethmoidalis dan adhesi dural
yang ketat pada pelat cribriform membuat fraktur NOE sangat rentan terhadap
kebocoran CSS. Tendon canthal medial menempel pada tarsal plate dan
orbicularis oculi ke dinding medial orbita, berinsersi ke crista lacrimalis anterior
dan posterior. Tendon canthal medial mengatur jarak intercanthal dan sudut fisura
palpebra16.
Fraktur NOE sering merupakan akibat dari cedera berdampak tinggi pada
wajah bagian tengah. Kominusi dan ketidakstabilan adalah tipikal. Klasifikasi
didasarkan pada keterlibatan fragmen pusat, atau fragmen tulang yang melekat
pada tendon canthal medial16. Fraktur NOE kelas I melibatkan satu fragmen
sentral dengan stabilitas etaboli. Fraktur NOE kelas II terdapat kominusi, tetapi

190
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

tendon canthal medial tetap melekat pada fragmen sentral yang cukup besar untuk
stabilisasi dengan miniplate atau microplate. Fraktur kelas III ditandai dengan
terlepasnya tendon canthal medial dari tulang, kehilangan tulang yang luas, atau
tingkat kominusi tulang yang tinggi sehingga fiksasi tidak dapat dicapai dengan
etaboli tradisional.

Gambar 8.7 Fraktur nasoorbitoethmoid dapat dibagi menjadi tipe I (A), II (B), dan
III (C) (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no. 4).

Manajemen ditentukan oleh jenis fraktur. Fraktur kelas I distabilkan


dengan miniplate di frontomaxillary, zygomaticomaxillary, dan medial maxillary
buttress. Penempatan miniplates untuk fraktur kelas II mirip dengan kelas I,
dengan penambahan miniplates atau microplates untuk stabilisasi fragmen pusat.
Pada beberapa fraktur kelas II dan semua kelas III, ketidakstabilan tendon canthal
medial membutuhkan kabel transkantal. Kawat baja tahan karat 3- 0 dilewatkan
dari titik superior dan posterior ke perlekatan canthal medial melalui lubang yang
dibor ke dinding orbital medial kontralateral. Dalam beberapa kasus, penempatan
cangkok tulang diperlukan terlebih dahulu untuk mencapai stabilitas tulang yang
cukup untuk menopang kawat16.
Restorasi perlekatan tendon yang adekuat sangat penting untuk
menghindari perubahan fisura palpebra atau telecanthus. Asimetri etaboli
sesedikit 2 mm terlihat pada jarak percakapan. Canthi medial harus diposisikan
tidak lebih dari 25 mm. Kabel transkantal ditempatkan anterior ke situs lampiran

191
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

canthal medial tidak akan mencegah migrasi lateral canthus, sehingga


menyebabkan telecanthus permanen dan dasar hidung yang luas. Seringkali,
beberapa pendekatan bedah diperlukan untuk mencapai pengurangan fraktur yang
tepat16.
Penatalaksanaan edema jaringan lunak sama pentingnya dengan reduksi
tulang. Seroma subperiosteal, hematoma, atau edema pascaoperasi dapat
menyebabkan penebalan jaringan lunak permanen, yang menghilangkan kontur
normal regio nasoorbital. Belat dengan guling logam empuk dianjurkan. Belat
difiksasi dengan kabel transkantal yang dirancang untuk dukungan jaringan lunak
saja. Pemantauan yang cermat diperlukan untuk menghindari cedera tekanan
jaringan lunak selama periode edema pascaoperasi16.

Fraktur Maxilla/Maxilla Fractures


Ahli bedah Prancis René Le Fort mengklasifikasikan tiga pola fraktur
rahang atas yang diakibatkan oleh trauma tumpul pada kerangka wajah orang
dewasa. Komponen kunci dari setiap jenis fraktur adalah gangguan pada lempeng
etabolic ipsilateral, yang merupakan sumber utama stabilitas midfasial. Skema
klasifikasi fraktur LeFort harus digunakan sebagai pedoman, karena pola fraktur
yang sebenarnya sering kali merupakan kombinasi dari pola klasik dan paling
akurat dijelaskan menggunakan istilah anatomi. Pola fraktur mungkin berbeda di
setiap sisi wajah. Dalam kasus ini, istilah hemi-LeFort sering digunakan16.
Fraktur LeFort I terjadi dalam pola horizontal sejajar dengan bidang
oklusal, memanjang dari apertura piriformis ke lateral melalui pterygomaxillary
junction. Fraktur LeFort II berbentuk etabolic, memanjang dari
pterygomaxillary junction melalui zygomaticomaxillary buttress dan orbital floor
secara oblique ke nasofrontal junction. Fraktur LeFort III adalah fraktur
berorientasi horizontal melalui wajah tengah atas yang menghasilkan pemisahan
tengkorak dari wajah, yang disebut disjungsi kraniofasial. Fraktur ini meluas dari
arkus zygomaticus, melalui pterygomaxillary junction, lateral orbital rim dan
orbital roof, ke nasofrontal junction16.

192
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Gambar 8.8 A. Fraktur LeFort I terjadi secara transversal pada maksila. B. Fraktur
LeFort II memiliki pola piramidal. C. Fraktur LeFort III menunjukkan disjungsi
kraniofasial (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no. 4).

Meskipun fraktur LeFort I dapat diobati melalui insisi sulkus bukal atas,
fraktur LeFort II dan III mendapat manfaat dari paparan pendekatan koronal.
Reduksi dapat dilakukan dengan forsep disimpaksi Rowe. Mengembalikan oklusi
normal adalah tujuan utama reduksi; lebar wajah normal, tinggi, dan proyeksi
harus mengikuti sekunder. Stabilitas wajah dipulihkan dengan menempatkan
pelat di sepanjang penopang wajah yang terlibat. Fraktur LeFort biasanya
merupakan akibat dari trauma berenergi tinggi dan jarang merupakan fraktur
yang terisolasi. Dalam kasus ini, urutan pengurangan fraktur menjadi
pertimbangan penting. Fraktur palatal biasanya terjadi pada bidang etaboli,
membelah ridge alveolar antara gigi insisivus sentralis atau antara gigi insisivus
lateral dan kaninus. Sebagai alternatif, tuberositas rahang atas yang mengandung
molar dapat dipisahkan dari ridge alveolar lainnya. Fraktur palatal sering terjadi
bersamaan dengan fraktur LeFort I. Setelah reduksi, stabilitas dapat dikembalikan
ke anterior dengan miniplate di area piriformis, dan di posterior dengan pelat
melintasi cekungan palatal untuk mempertahankan lebar palatal.

Lower Facial Fractures: Mandibula

193
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Biomekanisme
Sifat biomekanik mandibula adalah yang paling kompleks dari kerangka
wajah. Mandibula bertindak sebagai balok melengkung, didukung pada ujungnya
oleh selempang pterygomasseteric berotot. Masseter dan temporalis berfungsi
untuk mengangkat mandibula dan menciptakan kekuatan gigitan yang kuat.
Pterigoid medial dan lateral menonjolkan mandibula dan membantu membuka,
atau ekskursi. Otot-otot suprahyoid, terdiri dari otot digastrik, stylohyoid,
mylohyoid, dan geniohyoid, berfungsi untuk mengangkat hyoid dan pangkal
lidah dan menekan mandibula. Pada fraktur mandibula, otot-otot pengunyahan
menggeser segmen posterior ke superior, sedangkan otot suprahyoid menarik
segmen anterior ke inferior16.
Selama pengunyahan, gaya ke bawah eksternal yang ditimbulkan oleh
kontak gigi-ke- gigi menyebabkan daerah sekitar kompresi diseimbangkan oleh
ketegangan yang diciptakan baik secara kontralateral atau posterior oleh tarikan
ke atas dari otot-otot pengunyahan. Area ketegangan dan kompresi tergantung
pada lokasi pembebanan mandibula. Mandibula juga dapat dianggap sebagai
struktur cincin, yang berartikulasi dengan tulang temporal pada TMJ. Mirip
dengan membuka cincin pengikat, cincin mandibula sering terganggu melalui
kesalahan yang dibuat di setidaknya dua area. Sekitar ½ sampai 2/3 dari fraktur
mandibula melibatkan fraktur di beberapa tempat. Umumnya benturan anterior
seperti pada tabrakan kendaraan bermotor akan mengakibatkan fraktur kondilus,
symphyseal, dan parasymphyseal, sedangkan benturan lateral dari serangan akan
menyebabkan fraktur tubuh dan sudut kontralateral selama deglutition, dan
menekan mandibula. Pada fraktur mandibula, otot-otot pengunyahan menggeser
segmen posterior ke superior, sedangkan otot suprahyoid menarik segmen
anterior ke inferior16.

Prinsip dalam Penatalaksanaan


Tujuan paling penting dalam merawat fraktur mandibula adalah
pemulihan oklusi normal; reduksi anatomi adalah tujuan sekunder. Fraktur yang
stabil dan tidak bergeser dapat diobati secara nonoperatif dengan diet lunak.

194
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Kadang-kadang, luksasi etaboli gigi akan mencegah reduksi fraktur dan akan
mengaburkan oklusi normal; dalam kasus ini, gigi di garis fraktur harus dicabut.
Pencabutan gigi juga dianjurkan setiap kali akar gigi patah. Mengingat beban
biomekanik normal yang diberikan pada mandibula, jenis fiksasi terbagi menjadi
dua kategori: kaku dan stabil secara fungsional. Pada fiksasi kaku (beban), tidak
ada etabol mikro yang diterjemahkan melalui lokasi fraktur dan terjadi
penyembuhan tulang primer. Jenis fiksasi ini menanggung lebih banyak kekuatan
mekanik mandibula dan berguna jika penyembuhan tertunda, seperti pada tulang
atrofi, cacat tulang, perokok, kebersihan mulut yang buruk, atau pasien dengan
beberapa penyakit penyerta. Contohnya adalah pelat rekonstruktif yang
diterapkan pada batas mandibula inferior. Dalam fiksasi yang stabil secara
fungsional (pembagian beban), etabol mikro diperbolehkan di lokasi fraktur, dan
kalus tulang terbentuk selama proses penyembuhan tulang sekunder. Miniplate
bergantung pada akumulasi tulang di lokasi fraktur untuk berbagi beban
mandibula sebelum rentan terhadap kegagalan kelelahan. Contoh fiksasi
pembagian beban termasuk pelat Champy di sepanjang bubungan miring
eksternal, pelat mini batas bawah dengan fiksasi maksillomandibular (MMF),
atau pelat mini batas atas dan bawah dengan fiksasi sekrup monokortikal. Selain
pelat, MMF menggunakan kontak pada apeks gigi untuk berfungsi sebagai titik
lain dari fiksasi yang stabil secara fungsional. Pada mandibula yang mengalami
fraktur etaboli, setidaknya satu lokasi fraktur harus dirawat dengan pelat yang
lebih berat dan lebih kaku karena meningkatnya kompleksitas gaya etabo
biomekanik16.
Karena sifat mandibula yang melengkung, pelat pengunci sering kali
diinginkan. Sekrup yang mengunci pelat memfiksasi pelat pada posisi
penempatannya oleh ahli bedah dengan risiko lebih rendah untuk menggeser
fragmen fraktur. Sebaliknya, sekrup yang tidak mengunci dapat membuat pelat
menempel lebih dekat dengan tulang. Meskipun konsep lag berguna pada area
anatomi lainnya, penggunaannya pada mandibula dapat menggantikan fraktur
tulang lengkung dan menyebabkan maloklusi. Sekrup non-pengunci biasanya
hanya digunakan pada fraktur mandibula miring, dan sekrup lag biasanya hanya

195
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

digunakan pada simfisis16.

Fraktur Symphyseal dan Parasymphyseal


Simfisis mandibula terletak di antara apeks insisivus sentralis dan ditandai
dengan tulang yang tebal dan akar gigi insisivus yang pendek. Parasimfisis
didefinisikan oleh batas lateral akar gigi insisivus sentralis dan batas lateral
kaninus. Teknik fiksasi yang unik untuk simfisis adalah penempatan dua sekrup
lag bikortikal pada bidang koronal, tegak lurus terhadap garis fraktur. Pelat batas
bawah adalah metode umum fiksasi symphyseal atau parasymphyseal. Ini dapat
ditempatkan dengan sekrup bikortikal di bawah tingkat apeks gigi untuk stabilitas
tambahan. Fiksasi kaku dapat dicapai dengan penambahan pelat batas atas dengan
sekrup monokortikal. MMF biasanya lebih disukai sebagai titik stabilitas ekstra16.

Fraktur Badan dan Sudut


Tubuh mandibula memanjang dari kaninus lateral ke batas medial molar
ketiga. Tubuh membawa saraf alveolar inferior ke foramen mental, biasanya
terletak di antara gigi premolar pertama dan kedua di mana ia keluar sebagai saraf
mental. Tubuh mengandung akar gigi yang lebih etabol, yang terpanjang adalah
gigi taring. Selama fiksasi fraktur, menghindari cedera pada saraf alveolar
inferior dan akar gigi sangat penting16.
Sudut berisi geraham ketiga dan menghubungkan tubuh dengan ramus.
Badan dan sudut mengalami gaya etab sepanjang batas atas dan tekan sepanjang
batas bawah akibat beban aksial. Zona netral ada di pusat, di sepanjang kanal
etabolic ar . Metode fiksasi memperhitungkan sifat biomekanik. Fraktur sudut
memiliki insiden komplikasi tertinggi, terutama pada gigi molar ketiga yang
erupsi etaboli atau impaksi16.

Tabel 8.2 Pilihan Untuk Fiksasi Mandibula (dikutip sesuai dengan aslinya dari
kepustakaan no. 4).

196
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Fraktur Subcondylar dan Condylar


Fraktur kepala kondilus dan daerah subkondilus sering terjadi, terhitung
25% sampai 35% dari fraktur mandibula pada orang dewasa. Hilangnya tinggi
condylar muncul dengan kontak awal gigi posterior secara ipsilateral dan open
bite anterior. Risiko pengobatan terbuka termasuk kelumpuhan saraf wajah,
jaringan parut, dan pengurangan yang tidak memadai. Karena tingginya insiden
kekakuan dengan pendekatan terbuka, fraktur kondilus dan subkondilus sering
ditangani secara tertutup. Oklusi normal dibuat dan distabilkan dengan MMF
selama 2 sampai 3 minggu. Perawatan terbuka paling baik dilakukan untuk
fraktur yang dipindahkan tanpa kominusi dan memerlukan pelatihan dan
pengalaman khusus dari pihak ahli bedah16.

Komplikasi
Maloklusi dapat terjadi akibat reduksi yang tidak memadai atau hilangnya
reduksi selama proses penyembuhan karena fiksasi yang tidak memadai, kualitas
tulang yang buruk, atau kepatuhan pasien yang kurang optimal. Hal ini dapat
menyebabkan malunion atau nonunion. Cedera pada akar gigi dapat terjadi
karena pengeboran atau penempatan sekrup tulang. Cedera saraf wajah dapat
terjadi akibat sayatan Risdon (saraf mandibula marginal) atau pendekatan
kondilus (batang utama atau salah satu cabangnya). Parestesia dapat terjadi jika
saraf alveolar atau mental inferior terluka; bahkan tanpa transeksi,
neuropraxia sering terjadi karena traksi saraf. Kekakuan TMJ dapat terjadi
akibat dudukan kondilus yang tidak memadai selama fiksasi, fraktur kepala
kondilus, atau MMF yang berkepanjangan16.

197
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Fraktur Panfacial
Definisi fraktur panfacial bervariasi dalam literatur, kadang-kadang
mengacu pada fraktur yang mencakup sepertiga wajah, dan di lain waktu
menunjukkan fraktur yang melibatkan maksila, mandibula, dan ZMC. Dengan
fraktur panfacial, wajah berbentuk bulat, dengan hilangnya ketinggian etaboli,
pengurangan proyeksi anteroposterior, dan peningkatan lebar wajah. Fraktur
wajah yang luas adalah hasil dari trauma energi tinggi, dan kemungkinan
kominusi. Ahli bedah etabol harus mengenali mekanisme cedera yang
menunjukkan risiko cedera bersamaan dan berkonsultasi dengan tim trauma bila
diperlukan16.
Pemulihan dimensi wajah harus dibangun dari dasar kerangka yang stabil
dan dikenal sebagai titik referensi. Ini dapat diurutkan secara top-down, bottom-
up, atau inside-out. Urutan yang paling umum melibatkan membangun etabol
kerangka ke atas setelah memulihkan stabilitas mandibula. Memulihkan oklusi
sebelum cedera dengan MMF memungkinkan subunit oklusal berfungsi sebagai
satu kesatuan, dan fraktur ZMC dan NOE dapat dikurangi dari titik referensi ini.
Sebagai alternatif, ahli bedah dapat bekerja ke bawah dari dasar tengkorak yang
tidak terluka dan jahitan zygomaticofrontal. Cangkok tulang primer mungkin
diperlukan untuk menggantikan tulang yang mengalami devitalisasi atau sangat
kominutif 16.

Penyembuhan Luka dan Penatalaksanaan Luka Kronis

8.1.2 Diagnosis dan Tatalaksana Luka Bakar Dan Wound Management

198
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Penyembuhan Luka (Wound Healing)


a. Definisi
Penyembuhan luka adalah proses biologis yang kompleks dan sangat
terkoordinasi. Pemahaman yang baik tentang tahapan tradisional perbaikan luka
mendasari banyak aspek penelitian penyembuhan luka. Empat fase penyembuhan
luka yaitu hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling, tidak mengikuti
urutan kronologis yang sederhana dan linier tetapi etabol tindih dalam waktu dan
saling berhubungan erat. Yang penting, peningkatan penelitian telah menunjukkan
pentingnya kekuatan mekanik dan matriks ekstraseluler (ECM) dalam biologi
penyembuhan luka16.

Gambar 8. 1 Faktor-faktor yang terlibat dalam penyembuhan luka (dikutip sesuai


dengan aslinya dari kepustakaan no. ).

b. Tahapan Penyembuhan Luka


1. Hemostasis
Cedera jaringan dan kerusakan akibat pembuluh darah kapiler
memulai kaskade koagulasi melalui aktivasi fibrinogen. Aktivasi ini
menghasilkan pembentukan agregasi trombosit dan fibrin yang

199
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

menghambat kehilangan darah dan memungkinkan migrasi sel.


Trombosit memainkan peran penting dalam tahap penyembuhan luka dan
khususnya adalah sel efektor utama selama hemostasis. Selain
berkontribusi pada sumbat hemostatik, sitoplasmanya mengandung
granula yang melepaskan beberapa etabo pertumbuhan dan sitokin,
seperti etabo pertumbuhan yang diturunkan dari trombosit (PDGF) dan
etabo pertumbuhan transformasi-β (TGF-β), yang memfasilitasi
penyembuhan luka dengan menarik neutrofil, makrofag, dan etabolic .
Trombosit juga bertanggung jawab untuk melepaskan beberapa etabo
pertumbuhan etabolic ar dan antiangiogenik yang penting untuk
revaskularisasi luka, seperti etabo pertumbuhan endotel etaboli (VEGF)
dan etabo turunan sel stroma yang diturunkan dari trombosit 1 (SDF-
1)16.
2. Peradangan
Kaskade koagulasi, aktivasi komplemen, dan degradasi bakteri
memfasilitasi dan memicu fase inflamasi, yang biasanya berlangsung 48
jam. Jalur ini menghasilkan berbagai etabo kemotaktik (seperti TGF-β)
dan komponen pelengkap (seperti C3a dan C5a) untuk menarik sel
inflamasi ke scaffold. Neutrofil menginvasi luka dan memfagositosis
debris asing, diikuti oleh monosit yang akhirnya berdiferensiasi menjadi
makrofag dan selanjutnya memakan debris di jalurnya. Makrofag
bertanggung jawab untuk melepaskan seluruh host mediator terutama
melalui pengikatan reseptor integrin pada ECM, seperti etabo nekrosis
tumor leuk dan interleukin-1 (IL-1). Sitokin proinflamasi ini merangsang
infiltrasi etabolic dari ECM sehat di sekitarnya16.

200
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Gambar 8.2 Fase Inflamasi Penyembuhan Luka (dikutip sesuai dengan aslinya
dari kepustakaan no. ).

3. Proliferasi
Dari sekitar 48 jam sampai 10 hari setelah cedera jaringan, penyembuhan
memasuki fase proliferasi. Keratinosit bermigrasi untuk akhirnya
berkembang biak cukup untuk membuat lapisan epitel yang menutupi
luka. Ini secara langsung dirangsang oleh etabo pertumbuhan epidermal,
etabo pertumbuhan epidermal pengikat heparin (HB- EGF), dan etabo
pertumbuhan transformasi-alfa (TGF-α), yang merupakan anggota utama
dari keluarga etabo pertumbuhan epidermal yang terlibat dalam
penyembuhan luka. Fibroblas juga penting untuk tahap penyembuhan
luka ini, karena mereka menghasilkan kolagen yang bertindak sebagai
perancah untuk jaringan pembuluh darah. Lingkungan hipoksia
meningkatkan ekspresi protein hypoxia-inducible factor 1 (HIF-1α)
sebagai stimulus utama angiogenesis. HIF-1α mengaktifkan beberapa gen
target seperti VEGF dan SDF-1 untuk menginduksi neovaskularisasi.
Fibroblas dan makrofag menggantikan jalinan fibrin untuk membentuk
jaringan granulasi. Jaringan granulasi, juga dikenal sebagai stroma baru,
terdiri dari jaringan ikat baru (khususnya asam hialuronat, prokolagen,
elastin, dan proteoglikan) dan pembuluh darah. Pembentukan jaringan
pembuluh darah meningkatkan suplai oksigen ke permukaan luka.
Akhirnya, etabolic yang telah berdiferensiasi menjadi miofibroblas
memiliki kemampuan kontraktil untuk membantu menyatukan tepi luka
dalam proses yang dikenal sebagai kontraksi luka16.
4. Remodeling
Tahap keempat dan terakhir dari penyembuhan luka adalah fase

201
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

remodeling, yang dimulai sekitar 2 minggu dan dapat berlangsung


selama bertahun-tahun. Sepanjang tahap ini, banyak sel yang terdapat
pada luka mengalami apoptosis atau keluar dari luka, hingga akhirnya
meninggalkan kolagen dan protein ECM. Seluruh matriks ini dirombak
dan diperkuat dari kolagen tipe III menjadi kolagen tipe I terutama oleh
matrix metalloproteinase (MMPs). MMP diproduksi oleh etabolic serta
jenis sel lainnya. Luka akhirnya membentuk jaringan parut dan tidak
pernah mendapatkan etabol kekuatan penuh yang sebanding dengan
kulit yang tidak rusak, pada kekuatan normal sekitar 80%. ECM juga
terlibat dalam pembentukan jaringan parut. Jaringan parut kulit terdiri
dari makromolekul ECM yang sama seperti jaringan normal tetapi
mengandung rasio yang berbeda dari makromolekul ini dan biasanya
tidak adanya folikel rambut atau lemak. Peningkatan kadar TGF-β1 telah
terlibat dalam bekas luka dewasa hipertrofik16.

c. Proses Mekanik dalam Penyembuhan Luka


Sel dan jaringan manusia mengalami banyak gaya biofisik seperti gaya
listrik, magnet, dan mekanik. Kekuatan-kekuatan ini memiliki berbagai efek
biologis, dan di sini kita secara khusus membahas kekuatan mekanik. Gaya
mekanik pada sel termasuk tetapi tidak terbatas pada tegangan, gaya geser,
gravitasi, dan osmosis. Sekarang jelas bahwa semua fase penyembuhan luka
dipengaruhi oleh kekuatan mekanik. Dalam proses yang dikenal sebagai
mekanotransduksi, sel memiliki kemampuan untuk mendeteksi rangsangan
mekanis di lingkungan mikronya dan merespons dengan mengaktifkan jalur
seluler tertentu. Jalur ini dapat memodulasi fungsi sel seperti proliferasi, migrasi,
dan diferensiasi. Kompleks adhesi fokal (FA) yang merupakan protein
etabolic ar untuk menambatkan sitoskeleton sel ke sel lain atau ECM adalah
kunci untuk memahami mekanotransduksi. Kompleks FA mengandung integrin,
yang bertindak sebagai reseptor utama untuk ECM. Proses penjangkaran ini
menghasilkan tegangan mekanik intraseluler dan berfungsi tidak hanya untuk
merasakan lingkungan mikro luka tetapi juga untuk memodifikasi perilakunya dan

202
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

ECM di sekitarnya16.
Migrasi sel sangat penting dalam penyembuhan luka dan kekuatan
mekanik adalah kunci untuk ini. Ketegangan yang dihasilkan oleh koneksi
sitoskeleton-integrin menarik sitoplasma sel dari ujung depan ke depan dalam
proses yang dikenal sebagai penonjolan. Pada saat yang sama kompleks protein
dari trailing edge harus terputus dari ECM, mengakibatkan seluruh badan sel
bergerak maju dan sel menghasilkan gaya traksi. Fibroblas diperkirakan
menghasilkan gaya traksi sel yang jauh lebih besar daripada yang dibutuhkan
untuk migrasi sel, dan gaya berlebih ini merusak ECM yang berkontribusi pada
reorganisasi kolagen dalam penyembuhan luka. Demikian pula, kekuatan mekanik
yang terlibat dalam migrasi seluler juga terjadi selama perbaikan dan restorasi
epitel. Diketahui bahwa proliferasi sel dipengaruhi oleh tekanan mekanis, yang
dapat didefinisikan sebagai gaya per satuan luas. Keratinosit merespon etabo
mekanis dengan mengubah morfologi, seperti peregangan, dan jalur
mekanotransduksi ini mengatur proliferasi sel. Misalnya, sel-sel tanpa tekanan
atau rangsangan mekanis mengadopsi bentuk bola dan memasuki penghentian
siklus sel dan apoptosis. Medan listrik juga berperan penting dalam penyembuhan
luka. Potensial listrik transepitel diciptakan oleh pergerakan ion melintasi pompa
di epitel, yang disebut baterai kulit. Kerusakan pada epitel terus menerus
menghasilkan arus cedera dimana potensi listrik diarahkan ke luka untuk sinyal
migrasi sel, disebut elektrotaksis. Studi telah menunjukkan bahwa mempengaruhi
medan listrik tersebut dapat mengubah penyembuhan luka in vivo. Pengaruh
rangsangan mekanis pada lingkungan mikro luka dimanfaatkan oleh perawatan,
seperti terapi luka tekanan etaboli (NPWT) dan terapi gelombang kejut
ekstrakorporeal (ESWT), yang akan dijelaskan di bagian selanjutnya16.

d. Matriks Ekstraseluler dalam Penyembuhan Luka


ECM (extracellular matrix) adalah struktur dinamis seperti jala yang
terdiri dari berbagai makromolekul dan enzim proteolitik. Makromolekul ini
termasuk kolagen, elastin, glikosaminoglikan, glikoprotein, dan proteoglikan.
ECM memainkan peran penting dalam penyembuhan luka. Fungsinya termasuk

203
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

menyediakan organisasi untuk sel sebagai perancah fisik, penyimpanan etabo


pertumbuhan, mengontrol bentuk sel, etabolic sel, dan mempengaruhi banyak
perilaku sel seperti migrasi, proliferasi, dan diferensiasi16.

Gambar 8.3 Kekuatan biofisik dalam penyembuhan luka (dikutip sesuai dengan
aslinya dari kepustakaan no. ).

Komposisi, densitas, dan kekakuan ECM mempengaruhi lingkungan


mikro luka. Pada jaringan yang baru cedera, ECM lunak dan kaya akan fibrin dan
perubahan ini memulai proses perbaikan diferensiasi etabolic menjadi
miofibroblas yang berkontraksi dan menimbulkan ketegangan pada ECM di
sekitarnya. Setelah cedera jaringan kulit, kekuatan mekanik mengaktifkan jalur
adhesi fokal kinase. Jalur ini dikenal sebagai regulator utama FA. Jalur
kinase adhesi fokal telah terbukti mempotensiasi kolagen sekresi, serta monosit,
kemoatraktan protein-1, yang telah dikaitkan dengan fibrosis manusia.
Glikosaminoglikan yang paling menonjol, asam hialuronat (hyaluronan) diketahui
berinteraksi dengan reseptor permukaan sel, terutama CD-44 dan RHAMM
(reseptor untuk mobilitas yang dimediasi hyaluronan) untuk memicu kaskade
proses yang terlibat dalam penyembuhan luka, seperti modulasi inflamasi,
kemotaksis, migrasi sel, sekresi kolagen, dan angiogenesis16

204
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

PENYIMPANGAN PENYEMBUHAN LUKA


Luka kronis
1. Definisi
Luka kronis dapat didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas kulit akibat
cedera yang berlangsung lebih dari 6 minggu. Luka kronis diklasifikasikan
menjadi ulkus etaboli (arteri dan vena), ulkus diabetikum, dan ulkus etabolic.
Meskipun setiap jenis luka memiliki patologi dasar yang berbeda, mereka semua
berbagi fitur umum seperti fase inflamasi yang berlebihan dan persisten,
gangguan proliferasi sel, migrasi sel abnormal, kolonisasi mikroba, adanya
biofilm, dan akhirnya ketidakmampuan untuk menyelesaikan keempat fase luka.
Penyembuhan luka dalam jangka waktu normal16.
a. Ulkus Vaskular
Ulkus etaboli termasuk vena, arteri, atau etiologi campuran. Telah
dilaporkan bahwa ulkus yang berhubungan dengan insufisiensi vena
merupakan 70%, penyakit arteri 10%, dan ulkus dengan etiologi
campuran 15% dari presentasi ulkus tungkai. Sisanya 5% dari ulkus
kaki hasil dari penyebab patofisiologis kurang umum16.
b. Ulkus Vena
Ulserasi vena kaki kronis sering terjadi dan diperkirakan terjadi pada
5% populasi yang berusia lebih dari 65 tahun. Ulkus vena secara
klasik terdistribusi di area gaiter pada aspek medial antara lutut dan
pergelangan kaki. Mereka terjadi sekunder untuk insufisiensi vena di
mana ada inkompetensi katup dalam vena, dan aliran balik yang
dihasilkan dari darah menghasilkan peningkatan tekanan vena. Hal ini
menyebabkan kebocoran kapiler dari konstituen plasma ke daerah
etabolic ar sekitarnya, seperti fibrin, yang diketahui menurunkan
produksi kolagen. Peristiwa patologis utama yang menyebabkan
penyakit vena dan oleh karena itu ulserasi vena adalah perubahan pada
dinding vena dan lingkungan katup vena. Tekanan vena yang
meningkat mengubah tegangan geser dan gaya mekanik, yang
kemudian dideteksi oleh molekul adhesi antar sel endotel-1 (ICAM-1,

205
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

CD54) dan saluran vanilloid potensial reseptor transien


mekanosensitif. Sel-sel endotel merespon dengan mensekresi molekul
vasoaktif untuk memulai kaskade inflamasi, yang akhirnya mengarah
pada perkembangan penyakit vena16.
c. Ulkus Arteri
Ulkus arteri terjadi karena insufisiensi arteri dimana terjadi
penyempitan lumen arteri yang paling sering sekunder akibat
aterosklerosis. Mereka secara klasik terletak di atas tonjolan tulang
termasuk jari kaki, tumit, dan pergelangan kaki. Selain aterosklerosis,
kondisi lain yang menyebabkan obstruksi arteri termasuk emboli,
diabetes mellitus, etabolic , etaboli gangrenosum, dan gangguan
etabolic a penyakit sel sabit dan talasemia16.
d. Ulkus Pedis Diabetikum
Prevalensi ulkus kaki etaboli pada individu dengan diabetes mellitus
adalah umum dan terjadi pada sekitar 15% pasien sepanjang hidupnya.
Ada beberapa etabo patofisiologis yang berkontribusi terhadap
penyembuhan yang menyimpang pada individu diabetes. Ini termasuk
respon inflamasi abnormal dan kronis, hiperglikemia, kelainan
mikrovaskular, hipoksia, dan perubahan perancah ECM. Neuropati
perifer, penyakit arteri perifer, dan trauma juga berkontribusi terhadap
ulserasi etaboli. Peradangan kronis dan gangguan respon inflamasi
juga merupakan ciri dari luka diabetes. Studi telah menunjukkan
tingkat sitokin proinflamasi yang persisten dan meningkat, seperti IL-
1, IL-6, dan etabo nekrosis tumor. Luka juga biasanya memiliki
ketidakseimbangan dalam produksi protease dan penghambatnya,
yang menghentikan sintesis dan remodeling matriks normal.
Hiperglikemia menyebabkan pengikatan nonenzimatik residu gula ke
protein melalui gugus asam amino bebas, dan perubahan lebih lanjut
menyebabkan produk akhir glikasi lanjut. Produk akhir glikasi lanjut
diketahui menurunkan kelarutan ECM dan memperburuk perubahan
inflamasi. Glikasi ECM terkait dengan apoptosis sel dan gangguan

206
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

proses penyembuhan luka normal seperti angiogenesis, migrasi sel,


dan proliferasi. Kadar glukosa yang tinggi menginduksi ekspresi
MMP oleh etabolic , sel endotel, dan makrofag untuk memecah
matriks. Suplai oksigen ke luka juga penting untuk penyembuhan, dan
lingkungan hipoksia mempengaruhi penyembuhan luka.
Hiperglikemia kronis memperpanjang peradangan dan menunda
penyembuhan luka dengan meningkatkan kadar radikal bebas16.
e. Trauma/Cedera Tekanan
Patofisiologi yang mendasari cedera tekanan adalah kombinasi dari
tekanan, gesekan, gaya geser antara bidang jaringan, dan kelembaban.
Tekanan yang melebihi tekanan arteriol menyebabkan hipoksia
jaringan, pembentukan radikal bebas, cedera reperfusi iskemik, dan
nekrosis jaringan. Faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan
ulkus tekan termasuk imobilitas berkepanjangan, posisi pasien,
neuropati, dan insufisiensi etabolic a vena yang ada. Sistem
pementasan National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP)
mendefinisikan empat tahap keparahan cedera tekanan: cedera
tekanan tahap 1 adalah eritema kulit utuh yang tidak pucat, cedera
tekanan tahap 2 adalah hilangnya etaboli ketebalan kulit dengan
paparan dermis, cedera tekanan tahap 3 melibatkan hilangnya seluruh
ketebalan kulit, dan cedera tekanan tahap 4 melibatkan hilangnya
seluruh ketebalan kulit dan jaringan16.

207
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Gambar 8.4 Tingkat Keparahan Luka (dikutip sesuai dengan aslinya dari
kepustakaan no. 4)

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka


1. Terapi radiasi
Terapi radiasi seperti yang digunakan sebagai bagian dari terapi
onkologis mengganggu jalur kompleks penyembuhan luka. Radiasi
pengion menghasilkan efek akut dan efek lambat pada jaringan. Secara
akut, etaboli basal rusak, dan peningkatan permeabilitas etaboli
menyebabkan edema untuk mengurangi neovaskularisasi luka.
Selama fase inflamasi, ada ekspresi berlebih dari beberapa etabo
pertumbuhan, yang menyebabkan fibrosis jaringan. Fibroblas juga
terluka dan berkontribusi pada efek akhir dari cedera radiasi seperti
fibrosis dan kontraksi16.
2. Nutrisi
Nutrisi telah lama diketahui mempengaruhi penyembuhan luka dan luka
kronis. Ini termasuk keadaan malnutrisi umum, asupan kalori yang tidak
memadai, dan kekurangan vitamin, zat gizi mikro, dan zat gizi makro.
Malnutrisi diketahui memperpanjang fase inflamasi penyembuhan luka
melalui pengurangan proliferasi etabolic dan pembentukan kolagen.
Hal ini juga dapat meningkatkan risiko infeksi luka dengan mengubah
fungsi sel imun, seperti mengurangi fagositosis dan menurunkan tingkat
komplemen. Mikronutrien seperti tembaga, seng, dan magnesium adalah
elemen dan mineral yang penting untuk proses kimia tubuh dan,
khususnya, dalam penyembuhan luka. Defisiensi mikronutrien ini dapat
berdampak buruk pada penyembuhan luka, misalnya defisiensi tembaga.
Makronutrien meliputi protein, asam amino, karbohidrat, serat, air, dan

208
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

lemak. Ini diperlukan pada tingkat yang cukup untuk mempromosikan


penyembuhan luka yang optimal. Asupan protein yang berkurang secara
signifikan dikaitkan dengan peningkatan tingkat infeksi luka dan
kekuatan luka16.
3. Mikroorganisme
Mikroorganisme telah lama diketahui mempengaruhi penyembuhan luka
kronis, dan semua luka terbuka mengandung mikroba. Bakteri etaboli
besar ada dalam biofilm dalam pengaturan klinis dan alami, berbeda
dengan keadaan etabolic (organisme tunggal/mengambang bebas).
Biofilm menggambarkan populasi mikroba yang melekat yang
membentuk populasi tiga dimensi dan diatur pada polimer ekstraseluler.
Seiring waktu, luka kronis diketahui mengembangkan biofilm, karena
interaksi kompleks antara lingkungan mikro luka inang dan populasi
bakteri etabolic berarti mereka dapat berkembang biak tanpa
terkendali. Populasi bakteri biofilm menunda dan menghambat
penyembuhan luka dengan tidak hanya memproduksi racun dan enzim
yang merusak, tetapi juga mempromosikan jalur inflamasi kronis yang
kompleks. Protease yang dilepaskan dari bakteri menghambat etabo
pertumbuhan dan protein penyembuhan luka. Eksudat mikroba dalam
jumlah besar juga telah terbukti mempengaruhi proliferasi sel dan
penyembuhan luka. Luka kronis yang terinfeksi biofilm secara klinis
menantang untuk ditangani dan resisten terhadap eliminasi oleh
antimikroba dan oleh etabo kekebalan. Penatalaksanaan andalan saat ini
untuk menangani komplikasi terkait mikroorganisme pada luka kronis
meliputi pelepasan tekanan, pembalut yang sesuai, etabolic sistemik,
debridemen jaringan, dan pemasangan NPWT seperti alat penutup
dengan bantuan vakum. Demikian pula, pembalut etabolic seperti yang
mengandung klorheksidin, perak, atau yodium dan antimikroba etabol
(misalnya, krim asam fusidat) telah dikembangkan selama bertahun-
tahun dengan tingkat keberhasilan yang terbatas. Antimikroba etabol
telah meningkatkan resistensi bakteri, dan beberapa penelitian

209
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

menyimpulkan bahwa pembalut etabolic tidak secara signifikan lebih


baik daripada kasa salin saja. Namun, ada situasi khusus etabo
antimikroba etabol terbukti bermanfaat. Mereka sangat berguna pada
luka bakar (terutama luka bakar derajat dua) untuk mengobati infeksi
dan karena itu mencegah sepsis. Antibiotik sistemik bermanfaat pada
luka kronis yang terinfeksi tetapi tidak diindikasikan untuk etaboli besar
luka kronis yang hanya berisi bakteri. Antibiotik harus memiliki
bioavailabilitas jaringan yang tinggi dan harus ditargetkan pada
organisme spesifik dari kultur luka dalam. Studi menunjukkan bahwa
kultur superfisial tidak mewakili populasi bakteri biofilm yang beragam.
Debridement melibatkan pengangkatan jaringan nekrotik dan debris di
tepi luka dan seringkali dilakukan dengan pembedahan, meskipun mode
mekanis lain dan metode enzimatik dan autolitik juga digunakan16.

4. Obesitas dan Sindroma Metabolik


Obesitas berkorelasi dengan peningkatan angka komplikasi luka seperti
infeksi luka, gangguan penyembuhan luka, luka tekan, ulkus vena,
hematoma, dan pembentukan seroma. Hipovaskularitas, kesulitan dalam
reposisi, dan gesekan antara titik kontak kulit- ke-kulit di lipatan kulit
semuanya diketahui berkontribusi pada pembentukan cedera tekanan
pada individu obesitas. Pada tingkat molekuler, obesitas terkait dengan
tingkat proliferasi limfosit yang lebih rendah, perubahan tingkat sitokin
dan fungsi kekebalan perifer yang membaik setelah penurunan berat
badan16.

STRATEGI PENYEMBUHAN LUKA TINGKAT LANJUT


Strategi penyembuhan non-bedah dan canggih secara singkat dapat
dikategorikan ke dalam strategi yang menggunakan terapi biologis, menggunakan
atau meningkatkan matriks, dan memanfaatkan kekuatan biofisik. Meskipun
modalitas ini penting, strategi dasar dan sederhana masih menjadi dasar perawatan
luka. Langkah-langkah ini bermacam- macam dan termasuk mengoptimalkan

210
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

pengelolaan kondisi patologis primer yang mengarah pada pembentukan luka,


seperti langkah-langkah gaya hidup yang optimal (misalnya, nutrisi), pengobatan,
dan etabolic pasien. Tindakan lain termasuk debridement jaringan nekrotik,
perawatan ulkus lokal, pembongkaran mekanis, kompresi mekanis (untuk ulkus
vena), dan pengendalian infeksi16.
a. Terapi Biologis
Terapi biologis sangat menarik dalam terapi penyembuhan luka, dan
kami secara khusus membahas penggunaan kulit etabol dan
xenografts, konstruksi plasenta, etabo pertumbuhan, terapi oksigen
hiperbarik (HBOT), setara kulit biologis, dan sel induk16.
b. Faktor Pertumbuhan
Perbaikan luka terkait etabo pertumbuhan telah menjadi perhatian
besar dalam ilmu penyembuhan luka. Faktor pertumbuhan yang
dipasarkan secara komersial saat ini tersedia termasuk etabo
pertumbuhan etabolic manusia rekombinan, etabo pertumbuhan
yang diturunkan dari trombosit manusia rekombinan, dan etabo
pertumbuhan epidermal manusia rekombinan. Beberapa etabo
pertumbuhan lainnya juga sedang dikembangkan. Faktor pertumbuhan
epidermal manusia rekombinan adalah etabo pertumbuhan terkenal
yang dapat diterapkan secara etabol atau disuntikkan dan telah
terbukti meningkatkan penyembuhan luka dalam uji klinis kecil di
seluruh dunia. Faktor pertumbuhan etabolic juga menunjukkan hasil
yang menjanjikan, khususnya isoform yang dikenal sebagai etabo
pertumbuhan keratinosit manusia rekombinan-2 untuk diterapkan
sebagai semprotan etabol. Percobaan menunjukkan peningkatan
penyembuhan luka yang signifikan dibandingkan dengan plasebo16.
c. Sel Punca (stem cell)
Ada minat yang signifikan dalam penggunaan sel punca untuk
mengatasi jalur yang rusak dalam penyembuhan luka yang
menyimpang. Sel punca adalah sel yang tidak berdiferensiasi yang
memiliki kemampuan untuk matang menjadi sel yang berdiferensiasi

211
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

baik dari satu lapisan germinal embrionik ( etabolic a) atau ketiga


lapisan germinal embrionik ( etabolic a). Mungkin salah satu sel
punca dewasa etabolic a yang paling banyak dipelajari dalam
penelitian penyembuhan luka adalah sel punca mesenkim (MSC).
Dalam beberapa penelitian berbasis hewan, MSC telah menunjukkan
kemampuan untuk bermigrasi ke area cedera kulit, mensekresi etabo
angiogenik dan mediasi imun, dan berdiferensiasi menjadi sel
kulit16.
d. Terapi Oksigen Hiperbarik
HBOT menggunakan ruang kompresi untuk memberikan konsentrasi
oksigen tingkat tinggi pada tekanan atmosfer yang meningkat. HBOT
bertujuan untuk mempromosikan jalur penyembuhan luka yang
bergantung pada oksigen dan khususnya menjadi strategi pengobatan
etabo revaskularisasi pada insufisiensi etaboli tidak berhasil16.
e. Kultur Sel
Produk kultur sel, juga dikenal sebagai konstruksi rekayasa jaringan,
termasuk Apligraf, Epicel, dan Dermagraf. Apligraf (Organogenesis,
Canton, MA) menggunakan matriks kolagen sapi yang digabungkan
dengan etabolic neonatal manusia dan keratinosit neonatal untuk
bertindak sebagai perancah serta menyediakan sel yang menghasilkan
etabo pertumbuhan dan komponen ECM. Demikian pula, Dermagraft
(Organogenesis, Canton, MA) terdiri dari perancah poliglaktin dengan
etabolic etaboli dermal16.
f. Scaffolds
Scaffolds bertindak sebagai platform untuk migrasi sel dan
angiogenesis dan merupakan modalitas terapi utama. Scaffolds dapat
berasal dari manusia (jaringan yang disumbangkan atau etabol) dan
bukan manusia (babi atau disintesis melalui ekstraksi dan cross-
linking)16.
g. Kekuatan Biofisik
1) Terapi Luka Tekanan Negatif (Negative-Pressure Wound

212
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Therapy/NPWT)
2) Terapi Gelombang Kejut Extracorporeal (Extracorporeal Shock
Wave Therapy/ESWT)
3) Terapi Elektromagnetik

8.2 Bedah Plastik 2


8.2.1 Labiopalatoskizis: Embriologi, Prinsip, dan Pengobatan
a. Definisi
Celah bibir dan celah langit-langit adalah etabol kraniofasial kongenital
yang paling umum yang ditangani oleh ahli bedah etabol. Tingkat variasi
fenotipik dalam celah bibir dan langit- langit (CL/P) tetap menjadi salah satu
aspek yang paling menantang dari perawatan sumbing dan memerlukan
pemahaman yang luas tentang perkembangan embriologis, anatomi etabolic dan
nomal, gangguan fungsional, dan dampak sosial dari kelainan bentuk sumbing16.
b. Embriologi
Selama minggu ketiga kehamilan, proliferasi mesenkim yang diturunkan
dari neural crest dari arkus faring pertama dan kedua membentuk penonjolan
frontonasal, penonjolan maksila berpasangan, dan penonjolan mandibula. Sel-sel

213
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

puncak saraf dalam struktur primordial ini akhirnya berdiferensiasi menjadi otot
rangka, jaringan ikat, tulang, dan tulang rawan yang etaboli wajah. Pada akhir
minggu keempat kehamilan, plakoda hidung berkembang di dalam tonjolan
frontonasal dan berinvaginasi membentuk lubang hidung. Punggungan jaringan di
sepanjang aspek medial dan lateral dari lubang ini membentuk tonjolan hidung
medial dan lateral. Tonjolan hidung medial berfungsi sebagai etabolic ke ujung
hidung, columella, philtrum, dan premaxilla. Tonjolan hidung lateral adalah
pendahulu dari ala hidung. Selama 2 minggu berikutnya, penonjolan rahang atas
yang berpasangan tumbuh dan mendorong tonjolan hidung medial etabol garis
tengah dan akhirnya melenyapkan celah antara tonjolan hidung medial dan
tonjolan rahang atas. Kegagalan penonjolan hidung medial dan penonjolan rahang
atas untuk menyatu menimbulkan berbagai bentuk bibir sumbing. Oleh karena itu,
bibir atas merupakan struktur komposit yang terdiri dari filtrum dari tonjolan
hidung medial yang menyatu dan elemen bibir lateral dari tonjolan rahang atas.
Bibir bawah dan rahang berasal dari penonjolan mandibula bilateral, yang
menyatu melintasi garis tengah16.

Gambar 8.5 Perkembangan embriologis wajah manusia dari usia kehamilan 28


hari sampai 10 minggu (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no. 4).

214
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Palatogenesis dimulai selama minggu keenam perkembangan dan


bertepatan dengan pertumbuhan medial dari tonjolan rahang atas. Saat tonjolan
hidung medial didorong etabol garis tengah, mereka menyatu untuk membentuk
segmen intermaksila. Segmen intermaxillary terdiri dari komponen labial luar
yang menimbulkn filtrum dan komponen palatal tulang bagian dalam yang
mencakup empat gigi seri rahang atas dan langit-langit primer terletak anterior
foramen incisivus. Bagian palatum posterior dari foramen insisivus berasal dari
dua pertumbuhan dari penonjolan maksila berpasangan yang disebut rak palatina
lateral. Pertumbuhan awal rak palatina miring ke bawah di kedua sisi lidah
embriologis. Pada minggu ketujuh perkembangan, rak palatina mengambil
orientasi horizontal, tepat sebelum kiri, dan menyatu di garis tengah satu sama
lain dan septum hidung. Dengan demikian garis tengah palatal menyatu dalam
arah anterior ke posterior dengan fusi palatum durum selesai pada minggu ke-10
dan fusi palatum eta dicapai pada minggu ke-12. Kegagalan fusi sepanjang
sumbu palatum primer ke palatum sekunder menghasilkan perkembangan langit-
langit sumbing dan menjelaskan berbagai derajat fenotip langit-langit sumbing.
Obstruksi langsung dari fusi rak palatine juga terlibat dalam urutan Pierre Robin,
dimana hasil mandibula kecil di lidah retroposisi (glossoptosis) dan langit-langit
sumbing yang berasal dari obstruksi mekanik daripada dari kegagalan fusi
embriologis16.
c. Epidemiologi
Insiden CL/P bervariasi tergantung pada etnis, lokasi geografis, dan etabo
sosial ekonomi. Tingkat CL/P yang dilaporkan tertinggi di antara penduduk asli
Amerika, 3,6/1000 bayi baru lahir; diikuti oleh Jepang, 2,1/1000 bayi baru lahir;
Cina, 1,7/1000 bayi baru lahir; dan bule, 1,0/1000 bayi baru lahir. Tarif tetap
terendah di antara orang Afrika-Amerika, 0,3/1000 bayi baru lahir. Variasi
geografis juga terlihat karena anak-anak keturunan Asia yang lahir di Amerika
Serikat menunjukkan insiden CL/P yang lebih rendah dibandingkan anak-anak
Asia yang lahir di negara asal etnis mereka. Studi epidemiologis juga
mengungkapkan insiden CL/P yang lebih tinggi pada tingkat sosial ekonomi yang
lebih rendah. Variasi gender juga diamati dengan dominasi gender laki-laki-

215
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

perempuan 2:1 untuk CL/P versus dominasi gender laki-laki- perempuan 1:2
untuk langit-langit mulut sumbing yang terisolasi. Penggabungan yang tertunda
dari rak palatal pada etabo telah diusulkan sebagai etabo yang berkontribusi
untuk insiden yang lebih tinggi dari celah langit-langit pada etabo. Secara
morfologis, celah unilateral kiri adalah yang paling umum diikuti oleh celah
unilateral kanan dan celah bilateral dengan rasio 6:3:1. Fenomena ini mungkin
berasal dari etabolic ar sebagai prosesus palatina kiri mencapai posisi
horizontal setelah prosesus palatina kanan, sehingga menimbulkan insiden yang
lebih tinggi dari celah langit-langit unilateral kiri. CL/P terisolasi tetap lebih
umum daripada celah langit-langit terisolasi yang lebih umum daripada bibir
sumbing terisolasi dengan rasio 5:3:2. Warisan CL/P memiliki etiologi
etabolic ar e, yang terdiri dari etabo lingkungan dan etabol. Untuk keluarga
dengan etabol CL/P, risiko untuk anak berikutnya tergantung pada keterlibatan
keluarga. Jika satu anak atau salah satu orang tua menderita CL/P, maka ada
risiko 4% untuk anak-anak berikutnya. Jika dua anak menderita CL/P, risikonya
meningkat menjadi 9%. Jika satu anak dan orang tua memiliki CL/P, maka
risikonya meningkat menjadi 17%. Untuk pasien dengan etiologi sindrom untuk
CL/P, seperti sindrom van der Woude, risiko untuk anak berikutnya mengikuti
pola pewarisan Mendel. Oleh karena itu, jika salah satu orang tua menderita
sindrom van der Woude (peninggalan autosomal dominan), risiko anak
berikutnya lahir dengan CL/P adalah 50%16.
d. Klasifikasi dan Spektrum Patologi Bibir Sumbing
Banyak etabo klasifikasi untuk CL/P telah dijelaskan sebelumnya. Tidak
ada etabo di mana- mana; pengetahuan tentang skema klasifikasi umum
membantu memperkuat pemahaman tentang etabol sumbing yang berbeda.
Klasifikasi Veau menggambarkan celah menjadi empat kategori 16.
1) Grade I: celah langit-langit lunak.
2) Grade II: celah langit-langit keras dan lunak hingga foramen incisivus.
3) Grade III: celah langit-langit lunak dan keras memanjang secara
unilateral melalui alveolus.
4) Grade IV: Celah palatum eta dan palatum durum meluas secara

216
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

bilateral melalui alveolus.

Gambar 8. 6 Klasifikasi Veau dari celah langit-langit (dikutip sesuai dengan


aslinya dari kepustakaan no. 4).

Menurut etabo klasifikasi Veau adalah kurangnya etabolic a untuk


menggambarkan celah bibir yang terisolasi. Kernahan dan Stark menantang
penggunaan morfologi saja untuk dasar klasifikasi sumbing dan menyarankan
bahwa karakterisasi harus didasarkan pada asal embriologis palatum primer dan
sekunder. Kernahan dan Stark karena itu mengklasifikasikan celah menjadi tiga
kelompok16:
- Celah struktur anterior foramen incisivus
- Celah struktur di posterior foramen incisivus
- Celah yang mempengaruhi struktur anterior dan posterior foramen
incisivus
Klasifikasi yang etaboli besar deskriptif ini kemudian disempurnakan
menjadi bentuk gambar dari diagram garis-Y Kernahan. Striped-Y
menyederhanakan pencatatan dan memungkinkan klasifikasi celah menjadi
etabol visual daripada kognitif. Perpanjangan Kernahan bergaris-Y adalah
klasifikasi Kriens LAHSHAL yang melibatkan etabo etabolic a/gambar kanan-
ke-kiri untuk mengkarakterisasi pola celah. Sistem LAHSHAL menggunakan titik
(.) untuk menunjukkan anatomi normal, tanda bintang (*) untuk celah mikro atau
etabolic, huruf kecil (l, a, h, s) untuk celah tidak lengkap dari suatu wilayah, dan
huruf besar (L, A, H, S) untuk menunjukkan celah lengkap suatu wilayah16.

217
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Gambar 8.7 Kernahan belang-Y. B. Sistem tata nama LAHSHAL.

Bibir Sumbing Mikrofom


Bibir sumbing mikroform dicirikan oleh lekukan ringan pada sambungan
kulit vermillion, defisiensi vermillion, mukosa indentasi, dan peninggian cupid’s
bow etaboli terhadap sisi yang tidak terlibat. Meskipun deformitas eksternal
tampak ringan, biasanya terdapat penyisipan yang menyimpang dari otot
orbicularis oris yang mendasarinya ke dalam ridge philtral di sisi yang terlibat
yang mengakibatkan depresi otot di sepanjang garis philtral dengan menonjolnya
komponen medial philtral ridge. Deformitas hidung yang berhubungan
dengan bibir sumbing mikro adalah variabel tetapi biasanya menunjukkan
beberapa derajat kemerosotan alar lateral bawah, orientasi horizontal lubang
hidung, depresi ambang lubang hidung, dan etaboli-retrodisplacement dari dasar
alar. Perbaikan bedah celah mikroform dapat disesuaikan dengan derajat
deformitas labial dan hidung dengan eksisi etabolic (garis lurus), modifikasi Z-
plasty, atau perbaikan cheiloplasty penuh16.

218
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Gambar 8.8 Spektrum jenis bibir sumbing (dikutip sesuai dengan aslinya dari
kepustakaan no. 4).

Labiopalatoskizis Unilateral / Unilateral Cleft Lip


Celah bibir unilateral yang tidak lengkap merupakan kelanjutan
morfologis dari celah mikroform dengan berbagai tingkat pemisahan elemen bibir
tengah dan lateral. Pemisahan yang lebih besar dari 3 mm dibandingkan dengan
busur Cupid pada sisi yang tidak terlibat mendefinisikan bibir sumbing yang tidak
lengkap dari celah mikroform. Gangguan otot orbicularis oris lengkap adalah ciri
dari bibir sumbing yang sebenarnya; namun, jika celah meluas hingga kurang
dari dua pertiga tinggi bibir, mungkin ada serat otot orbicularis oris yang utuh
melintasi aspek superior dari celah yang tidak lengkap. Celah yang hanya
mempertahankan jembatan kulit kecil di ambang hidung dikenal sebagai pita
Simonart dan secara etabolic tidak memiliki serat orbicularis yang mendasarinya.
Celah lengkap dengan pita Simonart dapat dibedakan dari celah tidak lengkap
dengan adanya celah alveolar lengkap yang mendasarinya. Pada bibir sumbing
komplit unilateral, terdapat insersi patologis otot orbicularis oris ke dasar alar
di sisi sumbing dan dasar kolumela di sisi noncelah. Pars marginalis (orbicularis

219
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

oris di bawah bibir merah terang) dilemahkan dengan hilangnya gulungan putih
saat berlanjut ke tepi celah. Titik Noordhoff adalah penanda penting untuk
perbaikan bibir sumbing dan ditentukan di mana ketinggian vermillion sisi
sumbing berada pada titik terbesarnya dan biasanya bertepatan dengan titik
terakhir di mana putihnya sepenuhnya terdefinisi. Ketinggian bibir etaboli
berkurang pada sisi noncelah dengan semakin sedikitnya warna vermilion saat
menelusuri tepi celah. Deformitas hidung sumbing yang terkait dengan bibir
sumbing unilateral ditandai dengan baik dan termasuk etabolic kartilago lateral
bawah, pendataran kubah alar sisi sumbing, kurangnya etabol tindih kartilago
lateral atas dan lateral bawah, subluksasi kartilago lateral bawah, orientasi
horizontal lubang hidung, dan perpindahan basis alar ke posterior dan superior
karena etabolic maksila yang mendasarinya. Septum kaudal dan tulang
belakang hidung anterior biasanya menyimpang etabol sisi noncelah,
mengakibatkan defleksi ujung hidung ke sisi non celah16.

Labiopalatoskizis Bilateral / Bilateral Cleft Lip


Bibir sumbing bilateral ada pada spektrum morfologi yang analog dengan
bibir sumbing unilateral dengan berbagai tingkat keparahan sumbing. Meskipun
gambaran yang paling umum adalah celah bilateral yang simetris, bentuk yang
tidak lengkap dan celah mikro dapat terlihat dengan tingkat keparahan celah yang
asimetris dari sisi ke sisi. Ciri khas bibir sumbing bilateral meliputi dua elemen
labial-alveolus-palatine lateral (segmen lateral) dan segmen prolabial sentral dan
premaxillary di tengah. Pada celah komplit, kurangnya sambungan segmen
premaxillary ke segmen lateral menghasilkan berbagai tingkat protrusi
premaxillary dengan kolaps posterior dan medial segmen lateral secara
bersamaan. Perpanjangan akhir dari proses ini dapat menghasilkan premaxilla
yang terkunci dimana premaxilla berada sepenuhnya di luar lengkungan segmen
lateral yang kolaps membuat koreksi menjadi sangat menantang tanpa intervensi
tambahan. Deformitas hidung sumbing bilateral meliputi pelebaran dasar alar dan
penggemukan kubah alar sekunder akibat subluksasi kartilago lateral bawah dari

220
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

posisi anatomis normalnya di atas kartilago lateral atas. 14,15 Keterbelakangan


atau tidak adanya tulang belakang hidung anterior menyebabkan perpindahan
posterolateral dari telapak kaki krural medial dan berkontribusi pada kurangnya
proyeksi hidung, ujung hidung yang lebar, dan pemendekan columella yang
signifikan. Tidak adanya sulkus labial gingiva normal dalam segmen
premaxillary/prolabial yang tidak memiliki otot orbicularis. Kurangnya serat
orbicularis dalam prolabium menyebabkan tidak adanya kolom filtral, depresi
filtral garis tengah, dan etabolic vermillion sentral, yang semuanya dibentuk
oleh dekusasi rumit serat orbicularis oris di bibir normal. Selalu, columella yang
memendek dan kurangnya kulit prolabial membuat rekonstruksi primer bibir
kutaneous dan columella menjadi sulit tanpa menyebabkan penarikan sekunder
dan deproyeksi lebih lanjut dari ujung hidung16.

Labiopalatoskizis dan Palatum


Adanya celah langit-langit selain bibir sumbing menimbulkan masalah
fungsional tambahan di luar penampilan pasien. Gabungan celah bibir dan langit-
langit dapat mempengaruhi dasar hidung, alveolus, langit-langit keras sekunder,
atau langit-langit lunak. Bayi dengan celah langit-langit memiliki komunikasi
terbuka antara rongga mulut dan rongga hidung sering mencegah mereka
menghasilkan tekanan intraoral etaboli prasyarat untuk menyusui. Oleh karena
itu, bayi dengan celah langit-langit mungkin memerlukan botol dan dot khusus
agar ASI atau susu formula dapat mengalir dengan etabo tanpa bergantung pada
tekanan etaboli saat melahirkan. Celah langit-langit lunak mengakibatkan
gangguan pada otot-otot di bawahnya yang bertanggung jawab untuk elevasi
palatal dan penutupan velopharyngeal, serta drainase telinga bagian dalam melalui
tuba Eustachius. Secara khusus, levator veli palatini (elevator palatal primer) dan
tensor veli palatini (elevator palatal sekunder dan modulator tuba Eustachius)
menunjukkan penyisipan etabol ke dalam palatum keras posterior alih-alih
aponeurosis palatal garis tengah. Ketidakmampuan untuk menutup port

221
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

velopharyngeal mengakibatkan perkembangan bicara patologis dan salah


artikulasi kompensasi karena ketidakmampuan untuk memisahkan nasofaring dan
orofaring dengan fonasi. Gangguan fungsi tuba Eustachius meningkatkan risiko
infeksi telinga tengah pada pasien dengan celah langit-langit, yang menyebabkan
gangguan pendengaran jika tidak ditangani dengan benar. Adanya celah langit-
langit selain bibir sumbing memerlukan pembedahan tambahan untuk penutupan
langit-langit sekitar usia 12 bulan sebelum munculnya perkembangan bicara awal.
Timpanostomi dan penempatan tabung pemerataan tekanan biasanya dilakukan
pada saat etabolic ar primer16.

Isolated Cleft Palate


Kehadiran celah langit-langit yang terisolasi harus menjamin evaluasi
etabol tambahan karena hampir setengah dari semua celah yang terisolasi terjadi
dalam pengaturan sindrom atau etabol terkait. Pasien sumbing yang terisolasi
juga harus dievaluasi untuk temuan yang terkait dengan urutan Pierre Robin
termasuk micrognathia, glossoptosis, langit-langit mulut sumbing, obstruksi jalan
napas, dan kesulitan makan. Pierre Robin bukanlah sebuah sindrom melainkan
sebuah urutan dimana satu peristiwa mengarah ke rantai etabol berurutan.
Sebaliknya, sindrom mewakili sekelompok etabol yang terjadi bersamaan karena
kelainan tunggal yang mendasarinya seperti etabo gen. Dalam kasus urutan
Pierre Robin, micrognathia menyebabkan penurunan volume rongga mulut dan
glossoptosis atau posisi lidah posterior dan superior yang abnormal. Retroposisi
lidah selama etabolic ar secara fisik menghambat penurunan dan fusi rak palatal
lateral yang menghasilkan langit-langit mulut sumbing berbentuk U yang khas.
Meskipun kesulitan makan umumnya terlihat pada urutan Pierre Robin seperti
halnya langit- langit mulut sumbing, pengelolaan obstruksi jalan napas sekunder
untuk micrognathia dan glossoptosis mendominasi pengobatan awal. Oksigen
tambahan dan posisi tengkurap mungkin cukup untuk menstabilkan jalan napas,
tetapi intubasi sementara, adhesi bibir lidah, dan distraksi mandibula mungkin
diperlukan pada kasus yang parah16.

222
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Labiopalatoskizis Submukosa
Celah langit-langit etabolic didefinisikan oleh tiga serangkai temuan
klasik termasuk uvula bifida, lekukan pada palatum keras posterior, dan atenuasi
mukosa garis tengah yang dikenal sebagai zona pellucida. Secara anatomis,
ada perpindahan anterior otot levator veli palatini ke langit-langit keras
berlekuk yang mengarah ke berbagai derajat disfungsi velopharyngeal (VPD)
meskipun tidak ada celah yang jelas. Temuan pemeriksaan fisik yang tidak
kentara pada celah langit-langit etabolic dapat mengakibatkan keterlambatan
diagnosis, meskipun bukti menunjukkan bahwa pasien yang etabo terlambat
mungkin masih mendapat manfaat dari etabolic ar di luar usia perkembangan
etabo yang kritis16.

Labiopalatoskizis Unilateral
Ciri utama dari deformitas bibir sumbing unilateral adalah kurangnya
ketinggian etaboli bibir yang disebabkan oleh melemahnya jaringan bibir saat
memasuki batas celah. Meskipun semakin kompleks dan bernuansa, semua teknik
perbaikan bibir sumbing berfungsi untuk meningkatkan ketinggian bibir etaboli
melalui penerapan prinsip-prinsip bedah etabol yang terkenal. Prinsip-prinsip ini
termasuk penggunaan sayatan lengkung, Z-plasty, dan flap geometris untuk
meminjam dari jaringan yang berdekatan untuk menambah elemen sentral yang
kurang.

Labiopalatoskizis Bilateral
Secara historis, perbaikan bibir sumbing bilateral merupakan salah satu
tantangan terbesar bagi ahli bedah etabol. Kesulitan awal perbaikan bibir
sumbing bilateral berkisar pada pengelolaan premaksila yang menonjol,
prolabium hipoplastik, dan columella yang memendek. Pengenalan akan
defisiensi jaringan lunak yang signifikan dalam elemen bibir tengah
memunculkan prosedur bertahap dimana elemen bibir lateral dibawa ke dalam

223
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

kontinuitas dengan prolabium yang mengakibatkan pelebaran kulit prolabial.


Kulit prolabial tambahan kemudian digunakan pada tahap kedua untuk
memanjangkan columella melalui fork flaps atau V-Y advance flaps yang
berfungsi untuk membawa jaringan labial ke dalam foreshortened columella.
Sayangnya, teknik awal yang mengandalkan pendekatan segmen bibir lateral
langsung ke prolabium dan operasi sekunder untuk pemanjangan columella
menyebabkan hasil yang kurang optimal karena beberapa etabol. Mengandalkan
prolabium untuk etaboli etabol keseluruhan bibir tengah tidak disarankan
mengingat kurangnya otot orbicularis, vermillion dan tinggi kulit yang tidak
memadai, dan kurangnya gulungan putih yang terdefinisi dengan baik. Faktor-
faktor ini menyebabkan animasi bibir yang tidak wajar, tonjolan bibir lateral dari
diskontinuitas orbicularis, dan deformitas peluit statis karena kurangnya tinggi
bibir etaboli segmen prolabial. Jaringan parut labial dan columellar dan asimetri
yang dihasilkan juga menjadi perhatian mengingat beberapa operasi dan
penggunaan flap lokal untuk elongasi columellar sekunder16.
Sebagian besar penyempurnaan dari perbaikan bibir sumbing bilateral
modern dikaitkan dengan Mulliken, yang menggambarkan beberapa prinsip
utama16:

224
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

1) Perbaikan satu tahap pada kedua sisi celah mengontrol simetri bibir
dibandingkan dengan pendekatan bertahap.
2) Kontinuitas otot sfingter mulut harus dicapai melalui mobilisasi
lengkap orbicularis oris dari elemen bibir lateral dengan pendekatan
garis tengah sepanjang batas etaboli bibir.
3) Ukuran dan bentuk filtrum harus memperhitungkan pertumbuhan anak
selanjutnya untuk mencegah pelengkungan lateral dan pemanjangan
berlebihan yang biasa terlihat pada etabo perbaikan sebelumnya.
4) Tuberkulum harus dibangun dari vermillion elemen bibir lateral dan
bukan dari vermillion prolabial.
5) Proyeksi ujung hidung yang kurang dan etabol columellar dapat
dikoreksi dengan memposisikan ulang dan menopang kartilago lateral
bawah pada saat perbaikan bibir primer.

Bedah Ortonagtik
Pasien dengan CL/P memerlukan perawatan longitudinal yang mencakup
masa bayi hingga dewasa awal. Sepanjang waktu ini, mereka memerlukan
beberapa operasi yang membawa potensi aditif untuk penghambatan pertumbuhan
rahang atas melalui gangguan pusat pertumbuhan wajah dan jaringan parut pasca
operasi dari amplop jaringan lunak. Ketika dikombinasikan dengan keterbatasan
kongenital dalam potensi pertumbuhan, pasien CL/P sering mengalami etabolic
maksila dan mengakibatkan maloklusi Angle Kelas III. Pasien sumbing juga dapat
menunjukkan etabolic maksila transversal dengan kolaps segmen alveolar
unilateral atau bilateral dengan akibat penyempitan lengkung rahang atas.
Mandibula pada individu dengan CL/P cenderung mempertahankan potensi
pertumbuhan lebih lanjut yang memperparah hubungan dentofasial Kelas III. Hal
ini menyebabkan mandibula overriding dari rahang atas hipoplastik dan
autorotating ke posisi pseudoprognathic dengan hilangnya ketinggian wajah
etaboli dan penampilan edentulous yang tidak diinginkan. Oleh karena itu,
koreksi ortognatik khas untuk pasien sumbing adalah kemajuan rahang atas
LeFort I dengan kebutuhan yang bervariasi untuk osteotomi palatal tergantung

225
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

pada tingkat defisiensi rahang atas melintang16.


Insiden yang dilaporkan dari pasien sumbing yang membutuhkan operasi
ortognatik bervariasi tetapi baru-baru ini dilaporkan sebesar 48% untuk celah
unilateral dan 65% untuk celah bilateral setelah tinjauan 30 tahun di satu
institusi. 54 Pada populasi nonsumbing, prasyarat standar untuk melakukan bedah
ortognatik meliputi erupsi penuh dari gigi permanen, penyelesaian ortodonti
prabedah untuk meratakan dan menyelaraskan lengkung gigi, dan penyelesaian
pertumbuhan rahang atas. Sefalogram serial untuk mengevaluasi morfologi tubuh
vertebral atau film pergelangan tangan yang mendokumentasikan penutupan
lempeng epifisis dapat membantu dalam penentuan kematangan tulang pasien.
Pada populasi sumbing, derajat deformitas dentofasial dapat menjadi parah,
menyebabkan masalah psikososial atau fungsional yang signifikan yang
memerlukan koreksi ortognatik sebelum mencapai kematangan tulang. Dalam
kasus ini, osteogenesis distraksi (DO) atau osteotomi akhir setelah pertumbuhan
wajah selesai mungkin diperlukan. Indikasi untuk DO versus bedah ortognatik
konvensional juga didasarkan pada derajat etabol rahang atas yang diperlukan
untuk membangun etabol oklusi rahang atas yang normal. Literatur melaporkan
bahwa DO diindikasikan untuk koreksi overjet etaboli lebih besar dari 6 mm
pada pasien sumbing dan lebih besar dari 10 mm pada pasien noncelah.
Hipoplasia rahang atas parah yang muncul lebih awal seringkali dapat diperbaiki
dengan DO dini, dengan koreksi yang berlebihan. Distraksi strategis pada usia
yang lebih muda pada pasien yang parah akan sering menghalangi kompromi
dalam rencana bedah ortognatik pada saat maturitas yang menghasilkan hasil
estetika dan fungsional terbaik. Pertimbangan khusus sumbing untuk bedah
ortognatik meliputi konseling pasien tentang perkembangan VPI pascaoperasi
setelah kemajuan midface. Pasien dengan batas fungsi velopharyngeal sebelum
operasi atau yang membutuhkan kemajuan besar (>10 mm) berada pada risiko
yang lebih tinggi untuk komplikasi ini, meskipun pasien mungkin mencatat
perbaikan dalam artikulasi dan kejelasan bicara sekunder untuk perbaikan oklusi
maxillomandibular16.

226
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

MINGGU 9 BEDAH ORTHOPEDI

9.1 Bedah Orthopedi 1


9.1.1 Diagnosis dan Tatalaksana Fraktur dan Dislokasi

9.1.2 Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Tulang Dan Sendi


Artritis
a. Definisi
Artritis septik karena infeksi etabolic merupakan penyakit yang serius
yang cepat merusak kartilago hyalin etabolic dan kehilangan fungsi sendi
yang ireversibel. Diagnosis awal yang diikuti dengan terapi yang tepat dapat
menghindari terjadinya kerusakan sendi dan kecacatan sendi18.

b. Epidemiologi
Insiden septik artritis pada populasi umum bervariasi 2-10 kasus per
100.000 orang per tahun. Insiden ini meningkat pada penderita dengan
peningkatan risiko seperti artritis rheumatoid 28-38 kasus per 100.000 per tahun,
penderita dengan prosthesis sendi 40-68 kasus/100.000/tahun. Puncak insiden
pada kelompok umur adalah anak-anak usia kurang dari 5 tahun (5 per
100.000/tahun) dan dewasa usia lebih dari 64 tahun (8,4 kasus/100.000
penduduk/tahun). Kebanyakan artritis septik terjadi pada satu sendi, sedangkan
keterlibatan poliartikular terjadi 10-15% kasus. Sendi lutut merupakan sendi yang
paling sering terkena sekitar 48-56%, diikuti oleh sendi panggul 16- 21%, dan
pergelangan kaki 8%18.

c. Sumber Infeksi
Sinovium merupakan struktur yang kaya dengan etaboli yang kurang
dibatasi oleh etaboli basal, memungkinkan mudah masuknya bakteri secara
hematogen. Di dalam ruang sendi, lingkungannya sangat etabolic (karena

227
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

banyaknya fraksi kartilago hyalin) dengan aliran cairan sendi yang lambat,
sehingga suasana yang baik bagi bakteri berdiam dan berproliferasi.
Sumber infeksi pada artritis septik dapat melalui beberapa cara yaitu
secara hematogen, inokulasi langsung bakteri ke ruang sendi, infeksi pada
jaringan mus- kuloskeletal sekitar sendi. Kebanyakan kasus artritis etabolic
terjadi akibat penyebaran kuman secara hematogen ke etaboli baik pada kondisi
bakteremia transien maupun menetap. Penyebaran secara hematogen ini terjadi
pada 55% ka- sus dewasa dan 90% pada anak-anak18.
Sumber bakterimia yaitu (1) infeksi atau etaboli etaboli pada kulit, sal-
uran nafas, saluran kencing, rongga mulut, (2) pemasangan kateter etabolic ar
termasuk pemasangan vena sentral, kateterisasi arteri femoral perkutaneus, (3)
injeksi obat etabolic a. Kuman penyebab yang paling banyak adalah
Staphylococcus aureus disusul oleh Streptococcus pneumoniae, Streptococcus
pyogenes merupakan kuman yang sering ditemukan dan sering pada penderita
penyakit autoimun, infeksi kulit sistemik, dan trauma. Pasien dengan etabol intra
venous drug abuse (IVDA), usia ekstrim, imunokompromis sering terinfeksi oleh
basil gram etaboli yang sering adalah Pseudomonas aeruginosa dan Escherichia
coli. Kuman anaerob dapat juga sebagai penyebab hanya dalam jumlah kecil yang
biasanya didapatkan pada pasien DM dan pemakaian etabolic sendi18.
Faktor predisposisi seseorang terkena artritis septik adalah etabo sistemik
seperti usia ekstrim, artritis rheumatoid, diabetes melitus, pemakaian obat
imunosupresi, penyakit hati, alkoholisme, penyakit hati kronik, malignansi,
penyakit ginjal kronik, memakai obat suntik, pasien hemodialisis, transplantasi
organ dan etabo lokal seperti sendi prostetik, infeksi kulit, operasi sendi, trauma
sendi, osteoartritis18.

d. Gambaran Klinis
Gejala klasik artritis septik adalah demam yang mendadak, malaise, nyeri
lokal pada sendi yang terinfeksi, pembengkakan sendi, dan penurunan
kemampuan ruang lingkup gerak sendi. Sejumlah pasien hanya mengeluh demam
ringan saja. Demam dilaporkan 60-80% kasus, biasanya demam ringan, dan

228
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

demam tinggi terjadi pada 30-40% kasus sampai lebih dari 39°C. Nyeri pada
artritis septik khasnya adalah nyeri berat dan terjadi saat istirahat maupun dengan
etabol aktif maupun pasif18.
Evaluasi awal meliputi anamnesis yang detail mencakup etabo
predisposisi, mencari sumber bakterimia yang transien atau menetap (infeksi kulit,
pneumonia, infeksi saluran kemih, adanya etaboli- etaboli etaboli, pemakai
obat suntik, dll), mengidentifikasi adanya penyakit sistemik yang mengenai sendi
atau adanya trauma sendi. Sendi lutut merupakan sendi yang paling sering terkena
pada dewasa maupun anak-anak berkisar 45%- 56%, diikuti oleh sendi panggul
16-38%. Artritis septik poliartikular, yang khasnya melibatkan dua atau tiga sendi
terjadi pada 10%-20% kasus dan sering dihubungkan dengan artritis etabolic .
Bila terjadi demam dan flare pada artritis etabolic maka perlu dipikirkan
kemungkinan artritis septik18.
Pada pemeriksaan fisik sendi ditemukan tanda-tanda eritema,
pembengkakan (90% kasus), hangat, dan nyeri tekan yang merupakan tanda
penting untuk mendiaganosis infeksi. Efusi biasanya sangat jelas/ban- yak, dan
berhubungan dengan keterbatasan ruang lingkup gerak sendi baik aktif maupun
pasif. Tetapi tanda ini menjadi kurang jelas bila infeksi mengenai sendi tulang
belakang, panggul, dan sendi bahu18.

e. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan darah tepi
Terjadi peningkatan lekosit dengan predominan etabolic segmental,
peningkatan laju endap darah dan C-reactive Protein (CRP). Tes ini
tidak spesifik tapi sering digunakan sebagai petanda tambahan dalam
di- agnosis khususnya pada kecurigaan artritis etabo pada sendi.
Kultur darah memberikan hasil yang positif pada 50-70% kasus18.
2) Pemeriksaan cairan sendi
Aspirasi cairan sendi harus dilakukan segera bila kecurigaan terhadap
artritis etabo, bila sulit dijangkau seperti pada sendi panggul dan
bahu maka gunakan alat pemandu radiologi. Cairan sendi tampak

229
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

keruh, atau etaboli, leukosit cairan sendi lebih dari 50.000 sel/mm3
predominan PMN, sering mencapai 75%-80%. Pada penderita dengan
malignansi, mendapatkan terapi kortikosteroid, dan pemakai obat
suntik sering dengan leukosit kurang dari 30.000 sel/mm3. Leukosit
cairan sendi yang lebih dari 50.000 sel/mm3 juga terjadi pada
inflamasi akibat penumpukan kristal atau inflamasi lainnya seperti
artritis rheumatoid. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan cairan
sendi dengan menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi untuk
mencari adanya kristal. Ditemukannya kristal pada cairan sendi juga
tidak menyingkirkan adanya artritis etabo yang terjadi bersamaan.
Pengecatan gram cairan etaboli harus dilakukan, dan menunjukkan
hasil positif pada 75% kasus artritis positif kultur stafilokokus dan
50% pada artritis positif kultur basil gram etaboli. Pengecatan gram
ini dapat menuntun dalam terapi antibiotika awal etabo menunggu
hasil kultur dan tes sensitivitas. Kultur cairan sendi dilakukan terhadap
kuman etabol, etabolic, dan bila ada indikasi untuk jamur dan
mikobakterium. Kultur cairan etaboli positif pada 90% pada artritis
etabo nongonokokal18.
3) Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR)
Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) bakteri dapat
mendeteksi adanya asam nukleat bakteri dalam jumlah kecil dengan
sensitifitas dan spesifisitas etabo 100%. PCR memiliki kelemahan
yaitu hasil positif palsu bila bahan maupun reagen yang mengalami
kontaminasi selama proses pemeriksaan Beberapa keuntungan
menggunakan PCR dalam mendeteksi adanya infeksi antara lain18:
 Mendeteksi bakteri dengan cepat,
 Mendeteksi bakteri yang mengalami pertumbuhan lambat,
 Mendeteksi bakteri yang tidak dapat dikultur,
 Mendeteksi bakteri pada pasien yang sedang mendapatkan terapi,
 Mengidentifikasi bakteri baru sebagai penyebab.
4) Pemeriksaan Radiologi

230
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Pada pemeriksaan radiologi pada hari pertama biasanya menunjukkan


gambaran normal atau adanya kelainan sendi yang mendasari.
Penemuan awal berupa pembengkakan kapsul sendi dan jaringan
lunak sendi yang terkena, pergeseran bantalan lemak, dan pelebaran
ruang sendi. Osteoporosis etabolic ar terjadi pada minggu pertama
artritis etabo. Dalam 7 sampai 14 hari, penyempitan ruang sendi difus
dan erosi karena destruksi kartilago. Pada stadium lanjut yang tidak
mendapatkan terapi adekuat, gambaran radiologi etabo destruksi
sendi, osteomyelitis, ankilosis, kalsifikasi jaringan etabolic ar , atau
hilangnya tulang subkondral diikuti dengan etabolic reaktif18.
Pemeriksaan USG dapat memperlihatkan adanya kelainan baik intra
maupun ekstra etabolic yang tidak terlihat pada pemeriksaan
radiografi. Sangat etabolic untuk mendeteksi adanya efusi sendi
minimal (1-2 Ml), termasuk sendi-sendi yang dalam seperti pada sendi
panggul. Cairan etaboli yang hiperekoik dan penebalan kapsul sendi
merupakan gambaran karakteristik artritis septik18.
Pemeriksaan lain yang digunakan pada artritis etabo dimana sendi
sulit dievaluasi secara klinik atau untuk menentukan luasnya tulang
dan jaringan mengalami infeksi yaitu mengunakan CT, MRI, atau
radio nuklead18.

f. Diagnosis
Diagnosis klinis artritis septik bila ditemukan adanya sendi yang
mengalami nyeri, pembengkakan, hangat disertai demam yang terjadi secara akut
disertai dengan pemeriksaan cairan sendi dengan jumlah lekosit >50.000 sel/mm3
dan dipastikan dengan ditemukannya kuman etaboli dalam cairan sendi18.

g. Diagnosis Banding
Sejumlah kelainan sendi yang perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding etabolic septik seperti infeksi pada sendi yang sebelumnya
mengalami kelainan, artritis terinduksi-kristal, etabolic reaktif, artritis

231
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

etabolic, dan artritis viral18.

h. Terapi
Tujuan utama penanganan artritis septik adalah dekompresi sendi,
sterilisasi sendi, dan mengembalikan fungsi sendi. Terapi etabolic septik meliputi
terapi non- farmakologi, farmakologi, dan drainase cairan sendi18.
1) Terapi non-farmakologi
Pada fase akut, pasien disarankan untuk mengistirahatkan sendi yang
terkena. Rehabilitasi merupakan hal yang penting untuk menjaga
fungsi sendi dan mengurangi morbiditas artritis septik. Rehabilitasi
seharusnya sudah dilakukan saat munculnya artritis untuk mengurangi
kehilangan fungsi. Pada fase akut, fase supuratif, pasien harus
mempertahankan posisi fleksi ringan sampai sedang yang biasanya
cenderung membuat kontraktur. Pemasangan bidai kadang perlu untuk
mempertahankan posisi dengan fungsi optimal; sendi lutut dengan
posisi ekstensi, sendi panggul seimbang posisi ekstensi dan rotasi
netral, siku fleksi, dan pergelangan tangan posisi netral sampai sedikit
ekstensi. Pergerakan sendi baik aktif maupun pasif harus segera
dilakukan tidak lebih dari 24 jam setelah keluhan membaik18.
2) Terapi farmakologi
Pemilihan antibiotika harus berdasarkan beberapa pertimbangan
termasuk kondisi klinis, usia, pola dan resisitensi kuman setempat, dan
hasil pengecatan gram cairan sendi. Modifikasi antibiotika dilakukan
bila sudah ada hasil kultur dan sensitivitas bakteri18.
Secara umum rekomendasi pemberian antibiotika etabolic a paling
sedikit selama 2 minggu, diikuti dengan pemberian antibiotika oral
selama 1-4 minggu. Pemberian antibiotika etabolic a yang lebih lama
diindikasikan pada infeksi bakteri yang sulit dieradikasi seperti P.
aerogenosa atau Enterobacter spp. Pada kasus yang bakterimia S.
aureus diberikan antibiotika parenteral 4 minggu untuk mencegah
infeksi rekuren. Pemberian antibiotika intra etabolic tidak efektif dan

232
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

justru dapat menimbulkan etabolic kimia18.


3) Drainase Cairan Sendi
Drainase yang tepat dan adekuat dapat dilakukan dengan berbagai
metode. Teknik yang bisa dilakukan antara lain aspirasi dengan jarum,
irigasi tidal, arthroskopi dan arthrotomi. Aspirasi jarum sebagai
prosedur awal drainase sendi yang mudah diakses seperti sendi lutut,
pergelangan kaki, pergelangan tangan, dan sendi-sendi kecil. Drainase
dilakukan sesering yang diperlukan pada kasus efusi berulang. Jika
dalam waktu 7 hari terapi jumlah cairan, jumlah sel dan persentase
PMN menurun setiap aspirasi maka etaboli dengan aspirasi jarum
tertutup dapat diteruskan sesuai kebutuhan. Tapi bila efusinya
persisten selama 7 hari yang menunjukkan indeks perburukan efusi
sendi atau cairan etaboli tidak dapat dievakuasi maka harus dilakukan
arthroskopi atau drainase terbuka harus segera dilakukan. Beberapa
in- dikator etabolic buruk pada artritis septik sehingga memerlukan
etaboli yang etaboli. Indikator ini termasuk lamanya penundaan
terapi dari onset penyakit, usia ekstrim, adanya penyakit sendi yang
mendasari, pemakaian obat imunosupresan, serta adanya osteomyelitis
ekstra artikular18.

Osteomielitis
a. Definisi
Kata “Osteomielitis” berasal dari etabo Yunani kuno yaitu osteon (tulang)
dan muelinos (sumsum) dan menggambarkan suatu infeksi pada bagian ruang
etabol dari tulang. Osteomielitis yaitu proses inflamasi pada keseluruhan tulang
termasuk korteks dan periosteum. Proses ini biasanya melibatkan korteks dan
periosteum, oleh karena itu etabolic ar dapat dinilai sebagai suatu kondisi
inflamasi tulang yang berawal dari ruang etabol dan etabo haversian serta
meluas hingga melibatkan periosteum daerah sekitarnya18.

233
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

b. Etiologi
Penyebab utama dari etabolic ar adalah penyakit periodontal, seperti
gingivitis, pyorrhea, atau periodontitis. Pada pembedahan gigi, trauma wajah yang
melibatkan gigi, pemakaian kawat gigi, atau pemasangan alat lain yang dapat
membuat tekanan pada gigi serta dapat menarik gigi dari soketnya merupakan
penyebab-penyebab yang dapat menimbulkan etabolic ar . Selain itu,
etabolic ar juga disebabkan oleh infeksi. Infeksi ini bisa disebabkan trauma
berupa penyebaran dari stomatitis, tonsillitis, infeksi sinus, furukolosis maupun
infeksi yang hematogen. Inflamasi yang disebabkan bakteri etaboli ini meliputi
seluruh struktur yang membentuk tulang, mulai dari medulla, korteks dan
periosteum18.
Osteomielitis juga disebabkan oleh bakteri. Hampir seluruh organisme
menjadi bagian dari gambaran etiologi, namun staphylococci dan streptococci
yang paling banyak teridentifikasi. Osteomielitis akut yang tidak ditangani atau
menerima penanganan yang tidak adekuat dapat berlanjut menjadi etabolic ar
kronis. Etiologi dari etabolic ar akut dan kronis hampir sama. Lokasi anatomi,
status imunitas, status gizi, usia pasien, serta ada atau tidaknya penyakit sistemik
seperti Paget’s diseases, osteoporosis, atau sickle cell disease, merupakan etabo-
faktor yang mendukung terjadinya osteomielitis18.
Osteomielitis biasanya disebabkan oleh spesies Staphylococcus, kemudian
diikuti dengan Enterobacteriaceae dan spesies Pseudomonas. Staphylococcus
aureus merupakan etaboli yang paling sering menyebabkan etabolic ar baik
pada etabolic ar akut dan juga kronis. Osteomielitis merupakan suatu infeksi
polimikroba karena banyaknya etaboli yang ditemukan berhubungan dengan
osteomielitis18.

c. Klasifikasi
1) Osteomielitis Akut dan Subakut
Osteomielitis dikatakan akut apabila terjadi dalam kurun waktu
kurang dari dua minggu. Terjadinya infeksi pada etabolic ar akut
dimulai dari adanya infeksi pada rongga medulla pada tulang. Adanya

234
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

peningkatan tekanan pada tulang dapat menyebabkan berkurangnya


suplai darah dan penyebaran infeksi melalui saluran Havers ke tulang
kortikal dan periosteum, sehingga mengakibatkan nekrosis tulang.
Faktor predisposisi meliputi daya tahan host karena suplai darah lokal
terganggu (Paget’s Disease, radioterapi, keganasan tulang, dan lain-
lain), atau penyakit sistemik (diabetes mellitus, leukemia, AIDS), dan
infeksi dari mikroorganisme) 18.
2) Osteomielitis Kronis
Osteomielitis dikategorikan sebagai kronis apabila masa waktu
terjadinya lebih dari tiga bulan yang merupakan kelanjutan dari
etabolic ar subakut. Osteomielitis kronis yang terjadi pada tulang
rahang dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu supuratif dan
nonsupuratif18.

d. Gambaran Klinis Osteomielitis


1) Osteomielitis Akut
Pada etabolic ar akut nyeri merupakan gejala klinis yang utama.
Selain itu, etabol, lymphadenopathy, leukosistosis juga dapat muncul
sebagai gejala klinis etabolic ar akut. Terbentuknya pus dapat
terjadi akibat infeksi oleh bakteri staphylococcus. Parasthesia yang
terjadi pada bibir bawah biasanya muncul akibat keterlibatan
mandibular18.
2) Osteomielitis Kronis
Gejala klinis etabolic ar kronis biasanya asimtomatik namun bisa
saja timbul nyeri dengan intensitas yang berbeda – beda dan tidak
berhubungan dengan perluasan penyakit. Namun durasi nyeri secara
umum berhubungan dengan perluasan penyakit. Jarang ditandai oleh
terbentuknya eksudat. Pembengkakan pada rahang merupakan gejala
yang umum terjadi dan jarang terjadi kehilangan gigi18.
3) Osteomielitis kronis supuratif

235
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Gejala klinis etabolic ar kronis supuratif meliputi rasa sakit,


malaise, demam, anoreksia. Setelah 10 – 14 hari setelah terjadinya
etabolic ar supuratif, gigi-gigi yang terlibat mulai mengalami
etaboli dan etabolic terhadap perkusi, pus keluar di sekitar sulkus
gingiva atau melalui fistel mukosa dan kutaneus, biasanya dijumpai
halitosis, pembesaran dimensi tulang akibat peningkatan aktivitas
periosteal, terbentuknya abses, eritema, lunak apabila dipalpasi.
Trismus kadang dapat terjadi sedangkan limphadenopati sering
ditemukan. Temperatur tubuh dapat mencapai 38 – 39°C dan pasien
biasanya merasa dehidrasi18.
4) Osteomielitis kronis nonsupuratif
Istilah etabolic ar nonsupuratif menggambarkan bagian yang lebih
etabolic a dari etabolic ar kronis. Gejala klinis yang biasanya
dijumpai adalah rasa sakit yang ringan dan melambatnya pertumbuhan
rahang. Gambaran klinis yang dijumpai adalah adanya sequester yang
makin membesar dan biasanya tidak dijumpai adanya fistel18.
5) Garres osteomyelitis
Gambaran klinis yang dijumpai adalah bentuknya lebih terlokalisir,
keras, pembengkakan tulang mandibula yang tidak halus pada bagian
bawah dan samping pada tulang mandibula dan disertai dengan karies
pada molar satu. Gejala klinis yang dijumpai adalah limphadenopati,
hiperpireksia dan biasanya tidak sertai dengan leukositosis18.

e. Gambaran Radiografi Osteomielitis


1) Gambaran Radiografis Osteomielitis Akut
Gambaran etabolic merupakan pemeriksaan pertama pada pasien
yang secara klinis dicurigai memiliki perkembangan etabolic ar
rahang. Radiografi mungkin akan gagal untuk memperlihatkan adanya
perbedaan osteomyelitis yang terjadi dalam waktu 4-8 hari. Hingga
inflamasi telah menghasilkan peleburan yang cukup dari tulang
trabekula, radiograf konvensional mungkin akan menghasilkan hasil

236
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

normal. Resopsi tulang dari hipearmia dan aktivitas osteoklastik


membutuhkan 30-50% reduksi fokal dari mineral tulang untuk bisa di
kenali dalam radiograf, karena itu tidak biasa untuk film biasa
menginterpretasikan seperti normal selama 2 minggu atau kadangkala
3 minggu setelah onset gejala18.
Tanda awal dari etabolic ar adanya kehilangan struktur etabolic
tulang yang menghasilkan area fokal radiolusen. Indikator awal
radigrafik adalah pelebaran PDLS atau defek pada lamina dura.
Penghancuran tulang diwalai dengan proses dalam tulang cancellous.
Kortikal Plate merupakan proses kedua dari resopsi tulang yang
progesif dan meningkatkan tekanan mendesak oleh inflamasi. Dalam
3 – 4 minggu, radiograf cenderung menjadi patologis. Temuan pada
radiografi terdiri dari area radiolusen yang tidak biasa, sequestra,
reaksi periosteal terkalsififkasi dan kadang-kadang fistula18.
2) Gambaran Radiografis Osteomielitis Kronis
Osteomielitis kornis pada rahang menunjukan tanda karakteristik
radiografi. Prinsip pencariannya adalah radiopasitas yang progresif
dengan penghapusan dari struktur trabekula tulang cancellous dan
kehilangan tulang antara kortikal-cancellous. Tanda radiografi secara
histologis berhubungan dengan skeloris tulang degan trabekula kasar
selama proliferasi dari etabolic melingkari tulang trabekula dan
melewati ruang sumsum18.

f. Penataksanaan Osteomielitis
Langkah pertama dalam penatalaksanaan etabolic ar adalah
mendiagnosa kondisi pasien dengan benar. Diagnosis dibuat berdasarkan
pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiografi dan pemeriksaan jaringan. Jaringan
yang terkena etabolic ar harus dikirim ke lab untuk dilakukan pewarnaan gram,
kultur bakteri, tes sensitivitas dan pemeriksaan histopatologis. Operator harus
mencurigai etabo malignansi yang memiliki tampilan klinis yang sama dengan
etabolic ar , dan harus dicantumkan dalam etaboli banding. Evaluasi dan

237
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

etabol medis pada perawatan pasien dengan immunocompromised sangat


membantu perawatan etabolic ar . Pengobatan etabolic empiris harus
dilakukan berdasarkan hasil pewarnaan Gram atau berdasarkan etaboli yang
mungkin diduga terlibat di daerah maxillofacial. Kultur etabolic dan laporan
sensitivitas biasanya memakan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya,
tetapi hal ini sangat membantu dokter bedah untuk mendapatkan etabolic yang
paling sesuai berdasarkan organisme yang terlibat18.
Penentuan waktu untuk melakukan etaboli bedah sangatlah penting,
terutama untuk sequestrektomi. Tulang nekrotik yang terjadi selama terserang
etabolic ar harus dikeluarkan secara pembedahan. Apabila sekuesternya kecil,
pengambilannya secara intraoral, namun apabila melibatkan daerah yang luas
dilakukan dengan diseksi perkutaneus yang lebar. Ukuran dan sifat dari sekuester
dapat sedemikian rupa sehingga sekuester harus dipecah (seperti pada pengeluaran
gigi impaksi) sehingga memudahkan pengeluaran dan memungkinkan untuk
mempertahankan lebih banyak tulang yang normal disekitarnya. Jaringan disekitar
sekuester merupakan jaringan granulasi yang juga harus di hilangkan. Kemudian
daerah teresebut di irigasi dengan larutan etabolic etabol (Neomycin/Bacitracin
atau Kanamycin) dan letakkan kasa yang mengandung etabolic dan diamkan
selama 3-5 hari, tergantung respon klinis atau diganti dua atau tiga kali sehari18.
Apabila sekuestrasi terjadi dengan lambat atau difus maka perlu dilakukan
dekortikasi. Dekortikasi biasanya memerlukan pengambilan segmen lateral
/korteks bukal dari mandibula. Injeksi etabolic a intravena (bahan pewarna vital)
dapat dilakukan untuk mengetahui tulang yang nekrotik. Selain mengambil tulang
nekrotik, dekortikasi juga mengambil daerah yang terinfeksi yang
vaskularisasinya etaboli sedikit hingga pada jaringan lunak disekitarnya yang
tervaskularisasi dengan baik. Gangguan pada suplai darah mengurangi keefektifan
terapi ini. Sesudah etaboli bedah, pasien harus di instruksikan untuk
mengkonsumsi makanan dan minuman yang cukup dan bergizi karena hal ini juga
menentukan apakah etabolic ar akan sembuh atau memburuk. Penyembuhan
etabolic ar juga harus dipantau secara klinis, laboratoris dan radiografis18.

238
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Pilihan terbaik adalah dengan sekuestrektomi dan saucerization. Tujuan


dari etaboli ini adalah untuk menghilangkan jaringan nekrotik atau vaskularisasi
tulang sequestra yang buruk pada area yang terinfeksi dan untuk memperbaiki
aliran darah. Sekuestrektomi meliputi pengambilan tulang yang terinfeksi dan
bagian yang tak tervaskularisasi pada tulang, umumnya kortikal plate pada area
yang terinfeksi. Saucerization meliputi pengambilan korteks tulang yang
bersebelahan untuk mempermudah penyembuhan melalui etaboli sekunder yang
akan dilakukan setelah tulang yang terinfeksi dihilangkan. Dekortikasi meliputi
penghilangan jaringan yang padat, sering kali merupakan infeksi kronis dan
vaskularisasi yang buruk pada tulang korteks dan penempatan periosteum etaboli
yang bersebelahan pada tulang medular untuk meningkatkan aliran darah dan
penyembuhan pada area yang terlibat18.
Terdapat metode perawatan lainnya dengan memasukkan etabolic dosis
tinggi pada area yang melemah dengan menggunakan antibiotic impregnated
beads atau dengan etabo wound irrigation. Terapi ini didasari oleh premis bahwa
tingkat antibiotic local yang tinggi akan mengakibatkan, keseluruhan beban
sistemik menjadi rendah, dengan demikian akan mengurangi efek samping dan
resiko komplikasi18.
Perawatan Hyperbaric oxygen (HBO) juga didukung sebagai perawatan
refractory etabolic ar . Metode perawatan ini bekerja dengan meningkatkan
tingkat oksigenasi jaringan yang akan membantu melawan bakteri anaerob yang
terdapat pada luka. Penggunaan yang luas dari perawatan HBO sebagai perawatan
untuk etabolic ar masih menjadi kontroversi18.
Reseksi tulang rahang menjadi upaya terakhir, dan secara umum dilakukan
setelah debridemen terkecil dilakukan atau terapi sebelumnya tidak berhasil,
maupun untuk menghilangkan area yang disertai fraktur patologi. Reseksi ini
dilakukan secara extraoral, dan rekonstruksi dapat dilakukan segera maupun
ditunda, tergantung pada pertimbangan ahli bedah. Apabila pasien mengalami
parastesi pada etabolic ar mandibula, reseksi dan rekonstruksi langsung di
indikasikan pada kasus ini. Dalam hal ini, mempertahankan mandibula harus

239
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

dilakukan dan salah satunya harus diupayakan untuk memperpendek perjalanan


penyakit dan perawatan18.

9.2 Bedah Orthopedi 2


9.2.1 Diagnosis Dan Tatalaksana Tumor Tulang
Tumor Tulang
a. Pendahuluan
Insiden tumor lebih kurang sepersepuluh tumor jaringan lunak. Gambaran
klinik tumor tulang sangat bervariasi. Pasien bisa memiliki lesi tanpa gejala dan
ditemukan secara kebetulan, bisa juga disertai massa jaringan lunak,
pembengkakan sampai fraktur patologi19.
b. Diagnosis:
1) Riwayat penyakit (anamnesis)
• Umur: Insiden tumor tulang berhubungan erat dengan umur pasien.
Setiap umur memiliki hubungan dengan jenis tumor tertentu.
Dengan mengetahui umur dari pasien, bisa diketahui kemungkinan
jenis tumor yang timbul19.
• Lamanya lesi. Bila tumor telah ada lebih dari 1 tahun bisa
dipastikan bahwa lesi tersebut merupakan tumor yang jinak,
kecuali pada tumor tertentu yang bisa bertransformasi menjadi
tumor ganas. Tumor ganas ditandai dengan pertumbuhan yang
cepat dalam beberapa bulan. Bila terdapat benjolan atau tumor
yang tumbuh sangat cepat dalam 1 sampai 3 bulan, maka harus
dipikirkan kemungkinan infeksi19.

240
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Gambar 9.1 Insiden tumor jinak dan ganas pada tulang menurut kelompok umur
luka (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no. ).

• Nyeri. Lesi tanpa nyeri atau nyeri ringan umumnya merupakan


karakter dari tumor jinak kecuali jika terjadi fraktur patologis.
Nyeri pada tumor jinak biasanya timbul perlahan dan bisa
berhubungan denggan aktivitas serta trauma. Pada ostoid osteoma
nyeri terutama timbul pada malam hari dan memberi respon yang
baik terhadap pemberian terapi NSAID atau aspirin. Berkebalikan
dengan tumor jinak, tumor ganas tulang sering didahului dengan
keluhan nyeri. Nyeri bisa bervariasi dalam hal onset, durasi dan
beratnya, tetapi secara umum nyeri lebih berat pada tumor ganas
tulang dibandingkan dengan tumor jinak tulang19.
• Kondisi umum penderita. Biasanya pada tumor jinak kondisi umum
penderita tampak baik. Pada tumor ganas kondisi penderita lemah
dan tampak sakit tergantung dari staging dari tumor tersebut19.

241
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

2) Pemeriksaan fisik
 Inspeksi. Pada inspeksi tumor tulang bisa terlihat sebagai benjolan.
Umumnya benjolan terdapat pada daerah dekat persendian dan
sangat jarang di bagian tengah ekstremitas. Permukaan kulit pada
tumor jinak tulang umumnya sama dengan jaringan sekitarnya.
Pada tumor ganas tulang permukaan kulit bisa tampak mengkilap
karena pertumbuhan tumor yang cepat, ditambah dengan pelebaran
pembuluh darah balik (venektasi), dan bisa tampak kemerahan19.
 Palpasi. Pada pemeriksaan palpasi, beberapa hal yang perlu
diuraikan adalah19:
a) Letak tumor. Tumor tulang bisa timbul pada daerah epifi sis,
metafisis dan diafisis. Lokasi terbanyak terjadinya tumor tulang
adalah pada darah metafisis.
b) Konsistensi tumor. Tumor tulang bisa teraba padat atau keras.
Perabaan padat bisa ditemukan pada tumor jinak tulang dengan
ekspansi di dalam tulang, sehingga bila diraba terdapat benjolan
padat akibat ekspansi tumor di dalam tulang yang mendesak
otot-otot di atasnya. Pada tumor ganas tulang perabaan padat
umumnya terjadi akibat ekspansi tumor ke jaringan lunak yang
teraba. Perabaan keras umumnya terdapat pada ostekondroma,
dimana tumor timbul pada daerah metafi sis dan menonjol pada
satu sisi tulang sehingga dapat dengan mudah diraba.
c) Ukuran tumor. Tumor dengan ekspansi di dalam tulang dan
tumor yang telah ekspansi ke dalam jaringan lunak sekitarnya,
dinilai dengan cara mengukur diameter ekstremitas yang
terkena. Sedangkan tumor yang menonjol pada bagian tertentu
dari tulang yang dinilai hanya bagian yang menonjol. Tumor
jinak umumnya tumbuh lambat dalam waktu tahunan sehingga
ukurannya etaboli tetap.
d) Permukaan. Permukaan tumor tulang pada perabaan umumnya
rata kecuali pada osteokondroma bisa berdungkul-dungkul.

242
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

e) Batas tumor. Batas tumor dinilai pada daerah transisi antara


tumor dengan jaringan yang sehat. Pada tumor jinak yang
menimbulkan ekspansi pada tulang, batasnya sulit dinilai, begitu
juga pada tumor ganas tulang yang pada umumnya telah
ekspansi ke jaringan lunak. Tumor jinak yang menonjol keluar
dari salah satu bagian tulang seperti osteokondroma batasnya
bisa ditentukan.
f) Nyeri. Tumor jinak tulang umumnya tidak nyeri bila diraba,
nyeri bisa terjadi akibat: tumor mendesak jaringan sekitarnya,
tumor tersebut bertransformasi menjadi tumor ganas tulang, atau
bila terjadi kerusakan tulang sehingga kekuatan tulang bisa
menurun dan berakhir dengan fraktur patologis. Pada tumor
ganas tulang, biasanya tumor terasa nyeri bila ditekan dengan
derajat nyeri ringan sampai berat. Nyeri juga bisa terjadi spontan
akibat kerusakan tulang.
g) Suhu. Perabaan pada kulit di atas tumor jinak tulang tidak
berbeda dengan kulit di bagian tubuh lain. Pada tumor ganas
tulang perabaaan kulit di atas tumor terasa hangat akibat dari
meningkatnya vaskularisasi tumor disertai dengan pelebaran
pembuluh darah di daerah kulit.
3) Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium memberikan data yang penting dan bisa
menggambarkan kondisi umum penderita. Pasien dengan lesi tumor
jinak pada umumnya hasil pemeriksaan laboratorium memberikan
hasil yang normal. Pemeriksaan laboratorium pada tumor ganas tulang
bervariasi sesuai dengan staging dari tumor. Anemia merupakan hasil
yang sering ditemukan pada tumor ganas. Pada etabolic ar akan
didapatkan peningkatan alkali fosfatase dan laktat etabolic ar yang
tinggi. Serum alkali fosfatase yang tinggi menggambarkan
peningkatan aktivitas etabolic , sedangkan laktat etabolic ar
menunjukan derajat kerusakan jaringan yang terjadi akibat dari tumor.

243
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Pemeriksaan untuk menilai fungsi hepar dan ginjal diperlukan untuk


mengetahui kemungkinan metastasis pada kedua organ tersebut. Pada
etaboli etabol bisa dilakukan pemeriksaan serum elekroforesis dan
protein bence jones. Dalam mencari sumber tumor primer pada
metastasis bisa dilakukan pemeriksaan tumor marker seperti CEA dan
PSA19.
4) Pencitraan radiologi:
 Foto sinar-X: merupakan pemeriksaan penunjang utama pada
tumor tulang. Foto sinar-X bisa membedakan apakah tumor berasal
dari tulang ataupun jaringan lunak. Evaluasi foto sinar-X pertama
adalah lokasi tumor. Tumor tulang memiliki predileksi dengan
lokasi tertentu pada tulang misalnya: GCT (Giant Cell Tumor)
predileksinya pada daerah epifisis, fibrous etabolic predileksinya
pada diafisis, ABC (aneurysmal bone cyst) predileksinya pada
metafisis. Tumor ganas tulang etabolic ar predileksinya pada
metafi sis, sedangkan etabol Ewing pada diafi sis. Kedua, tipe
kerusakan tulang. Tipe kerusakan tulang terdiri dari geographic,
mouth-eaten dan permeative. Tipe kerusakan tulang mencerminkan
kecepatan tumbuh dan agresivitas tumor, pada tulang yang tumbuh
lambat, maka tulang masih mempunyai kesempatan melakukan
reparasi sehingga tampak batas tumor dengan tulang induknya yang
tegas dan disertai ekspansi tulang (membesar, etabolic ), semakin
cepat dan agresif pertumbuhan tumor mengakibatkan kegagalan
tulang untuk melakukan reparasi dan pada foto sinar-X akan
tampak destruksi tipe mouth-eaten sampai etabolic . Ketiga batas
tumor. Batas tumor sangat erat hubungannnya dengan tipe
destruksi, pada tipe geografi lesi berbatas tegas kebalikannya pada
tipe etabolic maka batas lesi menjadi tidak jelas. Keempat reaksi
periosteum. Proses ini mencerminkan reaksi tulang terhadap
kerusakan yang terjadi. Tipe reaksi periosteum dapat memprediksi
tipe kerusakan atau kelainan tulang termasuk tumor tertentu.

244
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Kelima matriks tulang. Matriks tulang yang timbul bisa


mencerminkan jenis tumor tertentu. Pada tumor pembentuk tulang
(bone forming tumor) akan terlihat gambaran osteblastik atau
matriks osteoid, pada tumor pembentuk kartilago (cartilage
forming tumor) terlihat gambaran matriks chondroid. Pada tumor
ganas yang agresif bisa terjadi osteolitik atau campuran
etabolic ar dan osteolitik. Keenam ekspansi tumor. Ekspansi di
dalam tulang yang menimbulkan pembesaran diameter tulang
(ballooning) mencerminkan pertumbuhan tumor yang lambat.
Ekspansi ke jaringan lunak tampak pada foto sinar-X bila ada
reaksi periosteal, walaupun dari foto sinar-X korteks tulang masih
baik. Ke tujuh multiplisiti. Lesi yang melibatkan lebih dari satu
tulang hanya bisa terjadi pada tumor tertentu. Tumor jinak yang
bisa memiliki lesi etaboli adalah: enkondromatosis,
osteokondromatosis, fibrosdisplasia poliostotik, sedangkan pada
tumor ganas adalah etaboli myeloma, serta tumor tulang
metastasis. Pemeriksaan foto sinar-X paru berguna untuk
penyaringan awal metastasis tumor19.
 CT scan: Pencitraan ini memberikan gambaran yang lebih jelas dan
detail pada lesi tulang sehingga berguna untuk menentukan staging
lokal tumor. Bila pada foto sinar-X ditemukan lesi yang samar dan
tidak jelas, dibutuhkan CT scan untuk memberi gambaran yang
lebih detail. Terutama untuk menentukan jenis ossifi kasi
chondroid atau osteoid. Pencitraan ini juga sangat membantu bila
ada lesi pada tulang kompleks seperti pelvis dan vertebra yang
biasanya sulit dievalusi dengan foto sinar-X. Pemberian kontras
intra vena pada CT akan lebih memberikan informasi tentang lesi
dan jaringan di sekitarnya. CT 3 dimensi yang saat ini telah banyak
dimiliki oleh fasilitas radiologi sangat membantu dalam menilai
anatomi lesi dan kerusakan tukang yang terjadi serta merupakan

245
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

informasi awal yang sangat dibutuhkan untuk pembedahan. Metode


skrining metastasis paru yang paling etabolic adalah CT scan19.
 MRI: merupakan standar yang digunakan untuk staging lokal
tumor. Berbeda dengan CT scan, MRI memberikan gambaran yang
akurat tentang kondisi jaringan lunak di sekitar tumor. MRI
seharusnya dilakukan pada seluruh kompartemen, tidak hanya pada
daerah tumor saja. Evaluasi yang harus dilakukan pada MRI adalah
keterlibatan jaringan lunak di sekitarnya terutama struktur penting
seperti etabolic ar , infi ltrasi tumor pada medulla tulang (pada
etabolic ar sering ditemui infi ltrasi tumor jauh di proksimal dari
lesi pada tulang), dan mendeteksi skip lesion. MRI juga berguna
untuk menilai respon kemoterapi19.
 Kedokteran nuklir: Pemeriksaan ini meliputi Bone scan dan PET
scan. Bone scan menggunakan bahan radioaktif Tc-99m MDP. Di
dalam tulang isotop ini akan melakukan ikatan dengan matrik
tulang yang dihasilkan oleh etabolic , oleh karena itu bila aktivitas
etabolic meningkat maka uptake isotop akan meningkat.
Peningkatan aktivitas etabolic terjadi dalam rangka reparasi
tulang sehingga uptake isotop yang meningkat bisa terjadi pada
penyembuhan fraktur, infl amasi, tumor, dan kondisi lain yang
menyebabkan peningkatan aktivitas etabolic . Dalam melakukan
diagnosis tumor tulang hasil bone scan wajib dihubungkan dengan
hasil pemeriksaan lain, tidak boleh hanya melihat hasil bone scan
saja19.
 Pemeriksaan sitologi dan histopatologi. Berbeda dengan tumor
jaringan lunak, hasil pemeriksaan sitologi yang didapat dari FNAB
memberikan hasil yang cukup akurat mendekati hasil pemeriksaan
histopatologi dari core biopsy dan etabo terbuka, terutama bila
didiskusikan secara multidisiplin. Kontraindikasi FNAB adalah bila
tidak didapatkan daerah yang destruksi pada korteks tulang (bone

246
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

window) sehingga jarum yang digunakan tidak bisa menembus


korteks tulang19.

Gambar 9.2 Pendekatan dalam melakukan diagnosis tumor tulang (dikutip sesuai
dengan aslinya dari kepustakaan no. ).

Gambar 9.3 Gambaran tumor jinak tulang (osteokondroma) pada tulang ilium
pelvis (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no. ).

Pendekatan Multidisiplin
Prevalensi etabol tulang dan jaringan lunak sangat rendah bila
dibandingkan dengan karsinoma. Belum ada angka etabolic yang akurat di
Indonesia tentang insiden etabol tulang dan jaringan lunak. Menurut WHO
insiden tumor etabolic ar e hanya 0,2% pada tumor tulang dan lebih kurang 2

247
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

% tumor jaringan lunak pada populasi. Di samping itu, tumor memiliki variasi
tipe dan etabol yang sangat banyak sehingga untuk menegakkan diagnosis tumor
etabolic ar e menjadi tantangan bagi para klinisi yang terlibat dalam
penanganan tumor muskuloskeletal19.
Dalam melakukan tatalaksana diagnosis dan terapi, sejak awal sudah harus
dilakukan dengan cermat dan teliti sehingga bisa menghasilkan terapi yang
optimal. Sebaiknya terapi tumor etabolic ar e dilakukan di institusi etabolic
yang memiliki pusat pelayanan tumor. Dokter umum, orthopedi, dan dokter lain
bisa melakukan penyaringan awal tumor etabolic ar e pada saat pasien etabo
pertama kali, dan kemudian meminta pencitraan radiologi sederhana sesuai
dengan sarana yang ada. Pencitraan canggih sebaiknya dilakukan di pusat
pelayanan tumor etabolic ar e . Sebaiknya pasien dikirim ke pusat pelayanan
tumor sebelum dilakukan biopsi19.
Pendekatan multidisiplin dalam diagnosis dan terapi tumor etabolic ar e
dapat didefinisikan sebagai pendekatan tim yang terintegrasi dimana dokter dari
beberapa disiplin ilmu merencanakan etabol tahapan diagnosis dan terapi
terhadap pasien tumor etabolic ar e sesuai dengan kondisi individu
pasien.Pendekatan multidisiplin merupakan kunci untuk terapi dan perawatan
pasien tumor yang berkualitas tinggi19.
Pendekatan multidisiplin bertujuan memperbaiki dan meningkatkan
komunikasi, koordinasi, dan membuat keputusan dengan tepat bagi para dokter
dari berbagai bidang ilmu yang terlibat dalam tatalaksana tumor etabolic ar e .
Pendekatan multidiplin telah direkomendasikan secara internasional dan telah
diterapkan di berbagai negara maju. Pendekatan multidisiplin bisa menggunakan
berbagai model. Pendekatan multidisiplin di pusat tumor etabolic ar e
dilakukan oleh berbagai bidang ilmu terkait, dengan mengadakan pertemuan
regular.
Dalam melakukan pertemuan multidisplin agar tim bisa bekerja dengan
baik dan menghasilkan keputusan yang terbaik untuk pasien dibutuhkan beberapa
persyaratan sebagai berikut19:

248
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

1. Kepemimpinan. Kepemimpinan yang baik merupakan bagian integral


dalam menjalankan pendekatan multidisiplin. Ketua tim harus memastikan
bahwa semua pendapat dari anggota tim didengar, dihargai, dan diarahkan
untuk membuat keputusan. Selanjutnya kepemimpinan yang efektif
diperlukan untuk mendorong agar terjadi diskusi terbuka yang produktif
sehingga bisa menghindari baik meminggirkan atau meniadakan peran
salah satu anggota tim dan menghasilkan keputusan yang tidak tepat.
2. Dinamis. Anggota tim harus harus menyepakati untuk saling menghormati
dan percaya, menurunkan ego masing-masing dan mendorong diskusi
yang konstruktif. Perawat punya peranan penting dalam mengkoordinasi
perawatan, dan juga bisa mewakili pandangan dan opini pasien. Aspek
psikologi juga penting dan sering terlupakan dalam memberikan informasi
kepada pasien.
3. Admisnistrasi. Bantuan administrasi merupakan komponen kunci dalam
menjalankan pendekatan multidisiplin. Dokumentasi dan data base
merupakan komponen penting pada pertemuan multidisiplin.
4. Keterlibatan pasien. Terdapat perbedaan pendapat tentang keterlibatan
pasien. Pasien harus diinformasikan bahwa kasusnya akan didiskusikan
dalam pertemuan multidisiplin The Cancer Care Ontario Guideline
menyatakan pasien sebaiknya tidak hadir dalam pertemuan multidisiplin
untuk menghindar bias dalam mengambil keputusan.
5. Tim medik secara etabol dapat dilibatkan dalam memberikan keterangan
rinci tentang upaya medis yang sudah dan akan dilaksanakan kepada
pasien dan keluarganya.

249
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Gambar 9.4 Pendekatan multidisiplin untuk diagnosis dan terapi tumor


muskuloskeletal (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no. ).

Gambar 9.5 Algoritma penatalaksanaan tumor muskuloskeletal (dikutip sesuai


dengan aslinya dari kepustakaan no. ).

Prinsip Terapi Tumor Muskuloskeletal


Terapi pada tumor etabolic ar e bervariasi, terdiri dari: mulai dari
observasi, kemoterapi, pembedahan, dan radioterapi. Terapi pada tumor jinak
tulang baik tumor jaringan lunak maupun tulang ditentukan oleh ukuran tumor,
sifat biologis tumor, kerusakan pada tulang yang terjadi, gangguan pada struktur
di sekitarnya dan keluhan nyeri yang diderita pasien. Umumnya tumor jinak yang

250
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

ukurannya kurang dari 3 cm dan tidak aktif cukup dilakukan observasi saja, begitu
juga pada tumor tulang yang tidak aktif yang kadangkala ditemukan secara
kebetulan pada pencitraan foto sinar-X untuk kegunaan lain seperti
osteochondroma, bone cyst, fibrous dysplasia. Pada tumor jinak yang aktif,
tumbuh membesar, menimbulkan kerusakan tulang sehingga berpotensi
menimbulkan fraktur patologis, menekan jaringan sekitarnya sehingga
menimbulkan gangguan sesuai dengan jaringan yang terganggu serta
menimbulkan nyeri yang mengganggu pada penderita, maka dianjurkan untuk
diambil melalui proses pembedahan19.
Pembedahan sampai saat ini masih merupakan pilihan utama untuk tumor
ganas etabo etabolic ar e , tetapi harus diingat bahwa setiap tumor ganas dari
manapun sumbernya memiliki kemampuan untuk metastasis ke organ lain.
Kemampuan tumor ganas untuk metastasis tidak bisa diatasi dengan pembedahan,
sehingga dibutuhkan terapi yang bersifat sistemik seperti kemoterapi sebagai
terapi tambahan (adjuvant), walaupun begitu tidak semua tumor ganas
etabolic ar e etabolic terhadap kemoterapi. Radioterapi bisa menjadi pilihan
lain untuk terapi tambahan dan juga sebagai terapi utama untuk tumor ganas
etabolic ar e yang tidak dapat dioperasi (non-operable)19.
Dengan terapi tambahan (neo-adjuvant dan adjuvant), pencitraan radiologi
yang bisa menampilkan gambaran lebih detail tentang anatomi tumor dan teknik
pembedahan yang baik beserta pilihan untuk rekonstruksi baik menggunakan
etabol maupun rekonstruksi biologi menggunakan tulang (baik allograft maupun
memproses etabol jaringan tulang yang terkena tumor) prognosis (pasien yang
bisa bertahan hidup sampai 5 tahun) pasien dengan tumor ganas tulang meningkat
etabol dari 30-40% menjadi 60- 80%19.
Urutan terapi tumor ganas tulang adalah sebagai berikut19:
 Kontrol sistemik dengan kemoterapi neo-adjuvant disebut juga induksi
kemoterapi yang diberikan sebelum pembedahan. Tujuan kemoterapi neo-
adjuvant adalah mencegah atau eliminasi mikrometastasis dan
menimbulkan nekrosis pada jaringan tumor.

251
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

 Kontrol lokal dengan pembedahan untuk mengambil jaringan tumor ganas


beserta jaringan sehat di sekitarnya (wide excision). Radioterapi juga bisa
diberikan sebagai terapi adjuvant untuk etabol lokal baik sebelum operasi
maupun pasca operasi.
 Kontrol sistemik dengan adjuvant kemoterapi, diberikan setelah operasi
dengan tujuan untuk mencegah atau eliminasi mikrometastasis. Komposisi
obat yang diberikan tergantung dari hasil evaluasi kemoterapi neoadjuvant
yang dilakukan dengan metode HUVOS. Bila hasil evaluasi menunjukan
respon baik (Huvos grade 3-4) maka kemoterapi diberikan dengan
komposisi obat yang sama, tetapi bila respon tidak baik (Huvos grade 1-2),
maka komposisi obat kemoterapi harus diganti.
 Follow-up

Gambar 9.6 Prinsip Terapi Tumor Ganas Muskuloskeletal (dikutip sesuai dengan
aslinya dari kepustakaan no. ).

9.2.2 Diagnosis dan Tatalaksana Kelainan Kogenital pada Tulang


a. Diagnosis
1) Pemetaan gen
2) Skrining ibu
3) Amniosentesis
Di bawah anestesi etab, sejumlah kecil (sekitar 20 ml) cairan ditarik
dari kantung ketuban dengan jarum dan spuit. Yang terbaik adalah

252
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

menentukan posisi janin sebelumnya dengan ultrasonografi. Prosedur


ini biasanya dilakukan antara minggu ke-12 dan ke-15 kehamilan.
Cairan dapat diperiksa secara langsung untuk AFP dan sel-sel janin
yang mengalami deskuamasi dapat dikumpulkan dan dibiakkan untuk
studi kromosom dan tes biokimia untuk gangguan enzim. Perlu diingat
bahwa prosedur ini membawa risiko kecil (0,5 – 0,75 % kasus)
kehilangan janin18.
4) Pengambilan sampel vili
Pemeriksaan ultrasonografi, kateter halus dimasukkan melalui serviks
dan sampel kecil korion dihisap keluar. Ini biasanya dilakukan antara
minggu ke-10 dan ke-12 kehamilan. Fibroblas mesenkim dapat
dibiakkan dan digunakan untuk studi kromosom, tes biokimia dan
analisis DNA. Kemajuan pesat dalam teknologi DNA telah
memungkinkan untuk mendiagnosis anemia sel sabit dan hemofilia (di
antara kelainan lainnya) selama awal kehamilan, tetapi spina bifida
tidak dapat diuji. Tingkat kehilangan janin terkait prosedur adalah
sekitar 1 persen18.
5) Diagnosis etabol pra-implantasi
6) Diagnosis pada Anak
Gambaran klinis yang menunjukkan etabolic skeletal adalah18:
 Pertumbuhan terhambat dan perawakan pendek
 Panjang badan dan tungkai tidak proporsional
 Malformasi etab (dismorfisme)
 Kontraktur jaringan lunak
 Deformitas masa kanak-kanak.
7) Investigasi khusus
Dalam banyak kasus diagnosis dapat dibuat tanpa tes laboratorium;
namun, analisis darah dan urin rutin dapat membantu dalam
menyingkirkan kelainan etabolic dan etabol, etabolic tulang dan
malformasi Proporsi normal segmen atas = segmen bawah. Tinggi
total = span. Gangguan endokrin seperti etaboli dan disfungsi

253
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

hipofisis atau tiroid. Tes khusus juga tersedia untuk mengidentifikasi


metabolit ekskretoris spesifik pada gangguan penyimpanan, dan
aktivitas enzim spesifik dapat diukur dalam serum, sel darah atau
etabolic yang dikultur. Biopsi tulang kadang-kadang membantu
dalam gangguan kepadatan tulang. Pengujian langsung untuk etabo
gen sudah tersedia untuk sejumlah kondisi dan dengan cepat diperluas
ke yang lain. Ini tambahan yang berguna untuk diagnosis klinis. Masih
agak kontroversial adalah penerapannya untuk diagnosis pra-klinis
gangguan onset lambat dan skrining neonatal untuk kondisi yang
berpotensi berbahaya seperti penyakit sel sabit18.
8) Diagnosis pada Dewasa
Dalam kelainan etabol terburuk, janin lahir mati atau bertahan hidup
hanya untuk waktu yang singkat. Individu yang mencapai usia
dewasa, meskipun dikenali abnormal, dapat menjalani kehidupan yang
aktif, menikah dan memiliki anak sendiri. Namun demikian, mereka
sering mencari nasihat medis karena beberapa alasan18:
• Perawakan pendek – terutama kependekan yang tidak proporsional
pada tungkai bawah
• Deformitas atau eksostosis tulang etab
• Stenosis tulang belakang
• Fraktur berulang
• Osteoartritis sekunder (misalnya karena etabolic epifisis)
• Kelemahan atau ketidakstabilan sendi. Pendekatan klinis mirip
dengan yang digunakan dengan anak-anak.

b. Prinsip-Prinsip Penatalaksanaan
Penatalaksanaan individu pasien tergantung pada diagnosis, pola
pewarisan, jenis dan tingkat keparahan deformitas atau disabilitas, kapasitas
mental dan aspirasi sosial. Namun, perlu diperhatikan beberapa prinsip umum,
seperti18:
1) Komunikasi

254
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Setelah diagnosis dibuat, etabol selanjutnya adalah menjelaskan


sebanyak mungkin tentang gangguan tersebut kepada pasien (jika
cukup umur) dan orang tua tanpa menyebabkan penderitaan yang
tidak perlu18.
2) Konseling
Pasien dan keluarga mungkin memerlukan konseling ahli tentang
kemungkinan hasil gangguan, apa yang akan dibutuhkan dari keluarga
dan risiko saudara kandung atau anak-anak yang terpengaruh. Bila ada
kelainan bentuk yang parah atau cacat mental, seluruh keluarga
mungkin memerlukan konseling18.
3) Mempertahankan gaya hidup mandiri
Manajemen harus dipengaruhi oleh tujuan untuk kehidupan dewasa
dan bukan hanya tujuan jangka pendek masa kanak-kanak18.
4) Operasi etabolic ar
Konsep operasi pada janin yang belum lahir sudah menjadi kenyataan
dan kemungkinan akan diperluas di masa depan. Namun, saat ini,
masih terlalu dini untuk mengatakan apakah keuntungannya (misalnya
penutupan kulit prenatal untuk disrafisme) akan lebih besar daripada
risikonya18.
5) Terapi gen
Gen masih dalam tahap percobaan. Sebuah molekul (seringkali virus
yang telah dimodifikasi secara etabol untuk membawa beberapa
materi etabol manusia normal) digunakan untuk mengirimkan bahan
terapeutik yaitu normal ke dalam sel target abnormal di mana DNA
‘diunggah’ memungkinkan, misalnya, produksi protein fungsional
akan dilanjutkan18.

Klasifikasi Gangguan Perkembangan


a. Osteodistrofi Kondro
Chondro-osteodystrophies atau etabolic tulang, adalah sekelompok besar
kelainan yang ditandai dengan kelainan tulang rawan dan pertumbuhan tulang.

255
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Karena berbagai kondisi disebabkan oleh cacat gen yang berbeda, maka akan
benar secara ilmiah untuk mengklasifikasikannya menurut patologi molekuler
dasar mereka18.
b. Displasia dengan Perubahan Epipisal Utama
Kelompok gangguan ini ditandai dengan perkembangan abnormal dan
pengerasan epifisis. Panjang tungkai dapat dikurangi, meskipun tidak separah
pada kondisi di mana epifisis terpengaruh18.
c. Displasia Epipisal Berganda (Multiple Epiphyseal Dysplasia)
Multiple epiphyseal dysplasia (MED) memiliki variasi dalam tingkat
keparahan, mulai dari gangguan ringan dengan kelainan anatomi ringan hingga
kondisi melumpuhkan yang parah. Terdapat keterlibatan luas dari epifisis tetapi
vertebra tidak terpengaruh sama sekali, atau hanya sedikit18.
1) Gambaran klinis
Anak-anak memiliki tinggi badan di bawah rata-rata dan orang tua
mungkin telah memperhatikan bahwa tungkai bawah tidak
proporsional, yaitu lebih pendek dibandingkan dengan batang tubuh.
Mereka beberapa kali berjalan dengan gaya berjalan terhuyung-
huyung dan mereka mungkin mengeluhkan nyeri pinggul atau lutut.
Beberapa mengalami deformitas progresif pada lutut dan/atau
pergelangan kaki. Tangan dan kaki mungkin pendek dan lebar. Wajah,
tengkorak dan tulang belakang normal. Dalam beberapa kasus hanya
satu atau dua pasang sendi yang terlibat, sementara di kasus lain
kondisinya tersebar luas; ini mungkin ekspresi dari beberapa urutan
yang berbeda. Dalam kehidupan dewasa, cacat epifisis residual dapat
menyebabkan ketidaksesuaian sendi dan etabolic ar e sekunder. Jika
perubahan anatominya ringan, kelainan yang mendasarinya mungkin
terlewatkan dan pasien dianggap sebagai kasus OA yang lain.
Perubahan X-Ray terlihat dari anak usia dini. Pada anak yang sedang
tumbuh, epifisis tidak berbentuk; di pinggul ini mungkin keliru untuk
penyakit Perthes bilateral, tetapi sifat simetris dari perubahan dan
adanya perubahan pada epifisis lain biasanya mendefinisikan kondisi

256
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

sebagai MED. Pada saat dewasa kepala femoralis, kondilus femoralis


dan kepala humerus diratakan; etabolic ar e sekunder dapat terjadi
dan, jika banyak sendi yang terlibat, pasien dapat menjadi sangat
lumpuh18.
2) Diagnosis
MED sering dikacaukan dengan gangguan masa kanak-kanak lainnya
yang berhubungan dengan pendeknya tungkai bawah atau perubahan
mirip Perthes pada epifisis. Akondroplasia dan hipkondroplasia
seharusnya tidak sulit untuk disingkirkan, diman yang pertama
ditandai yaitu pemendekan tinggi badan yang lebih parah dan
perubahan wajah yang khas; yang terakhir dengan tidak adanya
perubahan epifisis. Diskondrosteosis juga dikaitkan dengan epifisis
normal. Pseudoakondroplasia menunjukkan kelainan epifisis luas.
Penyakit Perthes terbatas pada pinggul dan menunjukkan siklus
perubahan yang khas dari ketidakteraturan epifisis menjadi
fragmentasi, perataan dan penyembuhan. Hipotiroidisme, jika tidak
diobati, menyebabkan etabolic epifisis yang progresif dan meluas.
Namun, anak-anak ini memiliki kelainan klinis dan biokimia lainnya
dan memiliki kesulitan belajar18.
3) Penatalaksanaan
Anak-anak mungkin mengeluh sedikit nyeri dan lemas, tetapi hanya
sedikit yang dapat (atau perlu) dilakukan untuk mengatasi hal ini.
Pada saat dewasa, kelainan bentuk di sekitar pinggul, lutut atau
pergelangan kaki beberapa kali memerlukan osteotomi korektif. Di
kemudian hari, etabolic ar e sekunder mungkin memerlukan operasi
rekonstruktif.

d. Displasia Spondiloepifiseal
Istilah spondyloepiphyseal dysplasia (SED) mencakup sekelompok
gangguan etabolic di mana etabolic epifisis etaboli dikaitkan dengan
perubahan vertebral yang ditandai dengan baik – osifikasi tertunda, penonjolan

257
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

rata pada badan vertebra (platyspondyly), osifikasi ireguler dari epifisis cincin dan
lekukan pelat akhir (simpul Schmorl). Yang paling ringan dari gangguan ini tidak
bisa dibedakan dari MED; bentuk yang lebih parah memiliki penampilan yang
khas18.
1) Gambaran klinis
• Sed Congenita: gangguan autosomal dominan ini dapat didiagnosis
pada masa bayi, dengan gambaran tungkai pendek, tetapi batang
tubuh bahkan lebih pendek dan leher etabo tidak ada. Anak-anak
yang lebih besar disertai kyphosis punggung dan dada berbentuk
tong yang khas; mereka berdiri dengan pinggul tertekuk dan tulang
belakang lumbar dalam tanda lordosis. Pada masa remaja mereka
sering mengalami etabolic. Sinar-X menunjukkan etabolic
epifisis yang luas dan perubahan vertebra yang khas. Hipoplasia
odontoid sering terjadi dan dapat menyebabkan subluksasi
atlantoaksial dan kompresi tali pusat. Diagnosis tidak selalu
mudah; ada kemiripan yang jelas dengan penyakit Morquio tetapi,
pada yang terakhir, pemendekan di segmen ekstremitas distal dan
urinalisis menunjukkan peningkatan ekskresi keratan sulfat.
Penatalaksanaan mungkin melibatkan osteotomi korektif untuk
coxa vara parah atau deformitas lutut18.
• Sed Tarda: Sebuah gangguan resesif terkait-X, SED tarda jauh
lebih ringan dan dapat menjadi jelas hanya setelah usia 5 tahun
etabo anak gagal tumbuh normal dan mengembangkan
kyphoscoliosis. Pria dewasa cenderung lebih parah terkena
daripada etabo. Pasien ini mungkin mengalami sakit punggung
atau etabolic ar e sekunder pada pinggul. Sinar-X menunjukkan
karakteristik platyspondyly dan osifikasi abnormal dari epifisis
cincin, etabol dengan etabolic yang lebih luas. Pengobatan
mungkin diperlukan untuk sakit punggung atau (pada orang dewasa
yang lebih tua) untuk etabolic ar e sekunder pinggul18.

258
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Gambar 9.7 Displasia Spondiloepifiseal (dikutip sesuai dengan aslinya dari


kepustakaan no. )

e. Displasia Epiphysealis Hemimelica (Penyakit Trevor)


Penyakit ini adalah gangguan etaboli yang biasanya muncul di
pergelangan kaki atau lutut. Anak (paling sering laki-laki) etabo dengan
pembengkakan tulang di satu sisi sendi; beberapa tempat mungkin terpengaruh –
semua pada sisi yang sama pada ekstremitas yang sama, tetapi jarang pada
ekstremitas atas. Sinar-X menunjukkan pembesaran asimetris dari epifisis tulang
dan distorsi sendi yang berdekatan. Pada pergelangan kaki, hal ini dapat
memberikan gambaran malleolus medial besar yang abnormal. Perawatan
diperlukan jika deformitas mengganggu fungsi sendi. Kelebihan tulang
dihilangkan, dengan hati-hati agar tidak merusak kartilago etabolic atau
ligamen18.

259
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Gambar 9.8 Displasia Epiphysealis Hemimelica (dikutip sesuai dengan aslinya


dari kepustakaan no. ).

f. Chondrodyplasia Punctata (Penyakit Conradi)


Chondrodysplasia punctata (atau penyakit Conradi) adalah gangguan
etabolic a umum yang menghasilkan kelainan wajah, etabol vertebra,
perubahan epifisis asimetris, dan pemendekan tulang. Dalam kasus yang parah
mungkin juga ada kelainan jantung, katarak kongenital dan kesulitan belajar;
beberapa dari anak-anak ini meninggal selama masa bayi. Penatalaksanaan
ortopedi diarahkan pada deformitas yang berkembang pada anak yang lebih besar:
kontraktur sendi, ketidaksetaraan etabol tungkai atau skoliosis18.
Displasias Dengan Fisise Dan Metafiseal Perubahan Utama
a. Eksostosis Ganda Herediter (Aklasis Diaphyseal)
1) Patologi
Kesalahan yang mendasari dalam multiple exostosis adalah
pertumbuhan melintang yang tidak terkendali dari fisis tulang rawan
(lempeng pertumbuhan). Kondisi ini hanya mempengaruhi tulang
endokondral. Ekskresi tulang rawan muncul di pinggiran physes dan
melanjutkan, dengan cara biasa, ke osifikasi endokondral. Jika

260
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

proliferasi physeal abnormal berhenti pada saat itu, tetapi tulang terus
bertambah etabol, eksostosis tertinggal di tempat asalnya (sekarang
bagian dari metafisis) tetapi tudung etabol mobilnya masih mampu
tumbuh secara otonom. Jika kelainan fisis berlanjut, pertumbuhan
lebih lanjut berlanjut pada cetakan abnormal baru, tanpa remodeling
metafisis yang melebar dan cacat.

Gambar 9.9 Eksostosis Ganda Herediter (dikutip sesuai dengan aslinya dari
kepustakaan no. )

2) Penatalaksanaan
Eksostosis mungkin perlu dihilangkan karena tekanan pada saraf atau
pembuluh darah, atau karena cenderung terbentur selama aktivitas
sehari-hari. Perawatan harus diambil untuk tidak merusak physes.
Deformitas kaki atau lengan bawah mungkin cukup parah untuk
memerlukan pengobatan dengan osteotomi korektif atau koreksi dan
pemanjangan bersamaan dengan teknik Ilizarov18.

b. Akondroplasia
Ini adalah bentuk paling umum dari perawakan pendek yang tidak normal;

261
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

tinggi orang dewasa biasanya sekitar 122 cm (48 inci). Pemendekan tulang
ekstremitas yang tidak proporsional dapat dideteksi dalam etab dengan
pemindaian ultrasound18.
1) Klinis
Kelainan ini terlihat jelas pada masa kanak-kanak: pertumbuhan
sangat terhambat; anggota badan – terutama segmen proksimal – tidak
proporsional pendek (pemendekan rhizomelic) dan tengkorak cukup
besar dengan dahi menonjol dan hidung berbentuk pelana. Boss
frontal dan etabolic wajah tengah berkontribusi pada penampilan
karakteristik orang dengan achondroplasia. Jari-jari tampak gemuk
dan agak melebar (tangan trisula)18.
2) Sinar-X
Semua tulang yang dibentuk oleh osifikasi endokondral terpengaruh,
sehingga tulang wajah dan dasar tengkorak abnormal tetapi kubah
kranial tidak. Foramen magnum lebih kecil dari biasanya. Tulang
tubular pendek tapi tebal, metafisis melebar dan garis physeal agak
tidak teratur; tempat perlekatan otot, seperti etabolic tibialis dan
trokanter mayor femur, menonjol. Meskipun tulang ekstremitas
proksimal terpengaruh secara tidak proporsional (rhi zomelia),
perubahan juga terlihat di pergelangan tangan dan tangan, di mana
metafisisnya lebar dan berbentuk cangkir. Epifisis secara mengejutkan
normal dan karenanya degenerasi sendi jarang terjadi. Rongga
panggul kecil (terlalu kecil untuk persalinan normal) dan sayap iliaka
melebar, menghasilkan atap acetabular yang etabo horizontal. Jarak
antar etabolic vertebral sering berkurang dari L1 ke L5 dan kanal
tulang belakang berkurang ukurannya18.

262
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Gambar 9.10 Akondroplasia (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no. )

3) Diagnosis
Akondroplasia tidak boleh disamakan dengan jenis ‘kerdil’ berkaki
pendek lainnya. Dalam beberapa (misalnya penyakit Morquio)
pemendekan mempengaruhi segmen distal lebih dari proksimal dan
mungkin ada kelainan terkait yang menyebar luas18.
4) Penatalaksanaan
Selama masa kanak-kanak, pengobatan operatif mungkin diperlukan
untuk deformitas ekstremitas bawah (biasanya genu varum). Kadang-
kadang kifosis torakolumbar gagal untuk memperbaiki dirinya sendiri;
jika ada deformitas yang signifikan (angulasi lebih dari 40°) pada usia
5 tahun, ada risiko kompresi tali pusat dan mungkin diperlukan
koreksi operatif. Selama masa dewasa, stenosis tulang belakang
mungkin memerlukan dekompresi. Prolaps diskus intervertebralis
yang berada di atas kanal tulang belakang yang sempit harus ditangani
sebagai keadaan darurat18.

c. Hipokondroplasia
Ini telah digambarkan sebagai bentuk yang sangat ringan dari
achondroplasia. Namun, terlepas dari perawakan pendek (dengan penekanan pada
segmen ekstremitas proksimal) dan lordosis lumbal yang nyata, hanya sedikit
yang menunjukkan adanya kelainan; kepala dan wajah tidak terpengaruh dan
banyak dari mereka dengan hipokondroplasia lulus untuk individu kekar normal.

263
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Sinar-X mungkin menunjukkan sedikit ketegangan panggul dan penebalan tulang


etabol. Kondisi ini diteruskan melalui autosomal dominan, sehingga beberapa
anggota keluarga yang sama dapat terpengaruh18.

d. Diskondrosteosis (Sindrom Lehri-Weill)


Pada gangguan ini juga terdapat pemendekan ekstremitas yang tidak
proporsional, tetapi terutama segmen tengah (lengan bawah dan kaki) yang
terpengaruh. Ini adalah etabolic mesomelic yang paling umum dan ditularkan
sebagai defek dominan autosomal. Perawakan berkurang tetapi tidak begitu
mencolok seperti pada akondroplasia. Perubahan rontgen yang paling khas adalah
pemendekan lengan bawah dan tulang kaki, bengkoknya radius dan deformitas
pergelangan tangan Madelung, yang mungkin memerlukan perawatan operatif18.

e. Kondrodisplasia Metafiseal (Disostosis)


Istilah ini menggambarkan jenis dwarfisme berkaki pendek di mana
kelainan tulang hampir terbatas pada metafisis. Epifisis tidak terpengaruh tetapi
segmen metafisis yang berdekatan dengan lempeng pertumbuhan melebar dan
sedikit bergigi, agak menyerupai etaboli. Mungkin ada coxa vara bilateral dan
kaki tertekuk; pasien cenderung berjalan dengan gaya berjalan waddling.
Deformitas utama ada di sekitar pinggul dan lutut. Ada beberapa bentuk
metaphyseal chondrodysplasia, yang paling terkenal (tipe Schmid) memiliki fitur
klasik yang dijelaskan di atas, dengan pewarisan dominan autosomal. Kelompok
lain (tipe McKusick) dikaitkan dengan pertumbuhan rambut yang jarang dan
kadang-kadang disertai dengan penyakit Hirschsprung; pewarisan menunjukkan
pola resesif autosomal. Koreksi operatif (osteotomi) mungkin diperlukan untuk
coxa vara atau tibia vara18.

f. Dyschondroplasia (Enkondromatosis; Penyakit Ollier)


Ini adalah kelainan yang jarang, tetapi mudah dikenali, di mana terdapat
kelainan transformasi kolom tulang rawan fisis menjadi tulang. Tidak ada pola
pewarisan yang konsisten telah diidentifikasi18.

264
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

1) Gambaran Klinis
Biasanya gangguan ini unilateral; memang hanya satu anggota tubuh
atau bahkan satu tulang yang mungkin terlibat. Anggota tubuh yang
terkena pendek, dan jika lempeng pertumbuhan terlibat secara
asimetris, tulang menjadi bengkok; membungkuk dari ujung distal
femur atau tibia tidak jarang dan pasien mungkin etabo dengan
deformitas valgus atau varus pada lutut dan pergelangan kaki.
Pemendekan ulna dapat menyebabkan pembengkokan radius dan,
kadang-kadang, dislokasi kaput radius. Jari tangan atau kaki sering
mengandung banyak enkondromata, yang merupakan ciri khas
penyakit ini dan mungkin sangat banyak sehingga tangan menjadi
lumpuh. Variasi langka diskondroplasia dikaitkan dengan
hemangiomata etaboli (penyakit Maffucci)18.
2) Sinar-X
Perubahan karakteristik pada tulang etabol adalah garis-garis radio-
lusen memanjang dari fisis ke metafisis – munculnya kolom tulang
rawan yang persisten dan tidak sepenuhnya mengeras yang
terperangkap dalam tulang. Jika hanya separuh bagian tubuh yang
terkena, pertumbuhan akan terhambat secara asimetris dan tulang
menjadi melengkung. Di tangan dan kaki pulau-pulau tulang rawan
secara khas menghasilkan banyak enkondromata18.
3) Pengobatan
Deformitas tulang mungkin perlu dikoreksi, tetapi ini harus ditunda
sampai pertumbuhan selesai; jika tidak, kemungkinan akan berulang.

265
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Gambar 9. 11 Diskondroplasia (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan


no. ).

g. Displasia Metaphyseal (Penyakit Pyle)


Satu-satunya gambaran klinis yang signifikan pada kelainan ini adalah
genu valgum – atau lebih tepatnya angulasi valgus pada tulang di kedua sisi lutut.
Sinar-X menunjukkan ‘bentuk botol’ khas femur distal atau tibia proksimal – yang
disebut deformitas labu Erlenmeyer – menunjukkan kegagalan pemodelan tulang.
Pola pewarisan bersifat resesif autosomal. Perawatan jarang diperlukan. Kondisi
lain – terutama penyakit Gaucher dan talasemia – juga berhubungan dengan
deformitas Ehlenmeyer pada tulang paha18.

h. Displasia Craniometaphyseal
Kondisi ini diturunkan secara autosomal dominan, mirip dengan penyakit
Pyle, tetapi di sini defek tubulus dikaitkan dengan penebalan progresif tengkorak
dan mandibula yang mengakibatkan dahi yang menonjol, rahang yang besar, dan
hidung yang tampak terjepit. Oklusi foraminal dapat menyebabkan kompresi saraf
kranial – terkadang cukup parah sehingga memerlukan perawatan operatif18.

Displasia Dengan Perubahan Diafiseal Yang Utama


a. Osteopetrosis (Tulang Marmer, Penyakit Albers–Schönberg)
Osteopetrosis adalah salah satu dari beberapa kondisi yang ditandai
dengan sklerosis dan penebalan tulang yang muncul dengan peningkatan densitas
radiografi. Ini adalah hasil dari ketidakseimbangan antara pembentukan tulang

266
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

dan resorpsi tulang; dalam bentuk yang paling umum, osteopetrosis, terjadi
kegagalan resorpsi tulang karena defek pada produksi dan/atau fungsi osteoklas18.
1) Osteopetrosis tarda
Bentuk umum dari osteopetrosis adalah kelainan dominan autosomal
yang cukup jinak yang jarang menimbulkan gejala dan hanya dapat
ditemukan pada masa remaja atau dewasa setelah fraktur patologis
atau ketika dilakukan pemeriksaan sinar-x untuk alasan lain – oleh
karena itu disebut tarda. Penampilan dan fungsi tidak terganggu,
kecuali ada komplikasi: fraktur patologis atau kompresi saraf kranial
karena perambahan tulang pada foramen. Penderita juga rentan
terhadap infeksi tulang, terutama mandibula setelah pencabutan gigi.
Sinar-X menunjukkan peningkatan kepadatan semua tulang: korteks
melebar, meninggalkan kanal meduler yang sempit; vertebral end-
plate sklerotik menghasilkan tampilan bergaris (‘tulang belakang kaus
sepak bola’); tengkorak menebal dan dasar sklerotik padat. Perawatan
diperlukan hanya jika terjadi komplikasi18.
2) Osteopetrosis Kongenital
Bentuk osteopetrosis autosomal resesif yang langka ini hadir saat lahir
dan menyebabkan kecacatan parah. Perambahan tulang pada sumsum
menghasilkan pansitopenia, hemolisis, anemia, dan
etabolic ar e aly. Oklusi foram inal dapat menyebabkan kelumpuhan
saraf etab atau fasialis. Pengobatan, dalam beberapa tahun terakhir,
telah difokuskan pada metode meningkatkan resorpsi tulang dan
hematopoeisis, misalnya dengan transplantasi sumsum dari donor
normal dan pengobatan jangka etabol dengan interferon gamma18.

b. Displasia Diaphyseal (Penyakit Engelmann Atau Camurati)


Ini adalah kelainan lain yang jarang terjadi pada masa kanak-kanak di
mana sinar X menunjukkan pelebaran fusiform dan etabolic pada batang tulang
etabol, dan terkadang penebalan tengkorak. Kondisi ini penting karena
hubungannya dengan nyeri otot dan kelemahan. Anak-anak mengeluh ‘kaki lelah’

267
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

dan memiliki gaya berjalan yang lebar atau bergoyang. Mungkin ada pengecilan
otot dan gagal berkembang. Nyeri otot mungkin memerlukan pengobatan
simtomatik. Kasus yang lebih ringan biasanya sembuh secara spontan pada usia
25 tahun18.

c. Craniodiaphyseal Dysplasia
Gangguan resesif autosomal yang langka ini ditandai dengan ekspansi
silinder tulang etabol dan penebalan kasar tengkorak dan tulang wajah. Kontur
wajah yang menonjol mungkin muncul pada masa kanak-kanak dan merupakan
ciri paling mencolok dari kondisi tersebut – sehingga menimbulkan nama
‘leontiasis’. Oklusi foraminal dapat menyebabkan tuli atau gangguan
penglihatan18.

d. Pyknodysostosis
Ketertarikan pada kelainan langka ini berasal dari anggapan bahwa
impresionis Prancis, Toulouse Lautrec, adalah korbannya. Gambaran klinis
adalah perawakan pendek, frontal bossing, keterbelakangan mandibula dan gigi
geligi abnormal. Adanya sklera biru dan kecenderungan fraktur dapat
menyebabkan kebingungan dengan osteogenesis imperfekta. Kondisi ini
diturunkan sebagai sifat resesif autosomal. Pada x-ray tulangnya padat; tengkorak
membesar, dengan garis sutura lebar dan ubun-ubun terbuka, tetapi tulang wajah
dan mandibula hipoplastik, sehingga membentuk wajah ‘segitiga’ yang khas18.

e. Candle, Spotted dan Striped Bones


Tulang lilin (melorheostosis, penyakit Leri) Kondisi yang jarang dan tidak
menular ini kadang-kadang ditemukan (hampir tidak sengaja) pada pasien yang
mengeluh nyeri dan kaku pada salah satu anggota badan. Sinar-X menunjukkan
bercak-bercak etabolic yang tidak teratur, biasanya terdistribusi secara linear
melalui ekstremitas; penampilannya mengingatkan pada lilin yang membeku di
sisi lilin yang menyala. Beberapa pasien juga mengalami etabolic a dan
kontraktur sendi, tulang berbintik (osteopoikilosis). Rontgen rutin beberapa kali

268
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

menunjukkan (secara kebetulan) banyak etabo putih yang tersebar di seluruh


kerangka. Pemeriksaan lebih dekat kadang-kadang mengungkapkan etabo-bintik
keputihan di kulit (dermatofibrosis etabolic diseminata). Kondisi ini diwariskan
sebagai sifat dominan autosomal. Tulang belang (osteopathia striata) Sinar-X
menunjukkan garis peningkatan kepadatan sejajar dengan poros tulang etabol,
tetapi memancar seperti kipas di panggul. Kondisinya tanpa gejala18.

269
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

MINGGU 10 BEDAH THORAKS DAN KARDIOVASKULAR

10.1 Bedah Toraks Kardiovaskular 1


10.1.1 Trauma Thorax
Trauma yang paling umum dari trauma tumpul dan tembus toraks adalah
hemotoraks dan pneumotoraks. Lebih dari 85% pasien dapat diobati secara
etabolic dengan chest tube. Indikasi untuk torakotomi termasuk perdarahan
awal atau berkelanjutan yang signifikan dari tube torakostomi dan diagnosis
spesifik yang diidentifikasi dengan pencitraan. Indikasi etaboli operatif trauma
toraks9:
a. Drainase tabung torakostomi awal >1000 Ml (trauma tembus) atau
>1500 Ml (trauma tumpul)
b. Drainase tube torakostomi >200 Ml/jam selama 3 jam berturut-turut
pada pasien non koagulopati
c. Hemotoraks berlapis meskipun dengan penggunaan two chest tubes
d. Cedera pembuluh darah besar ( etabo etabolic ar dapat digunakan
pada pasien tertentu)
e. Pericardial tamponade
f. Cardiac herniation
g. Kebocoran udara besar-besaran dari chest tube dengan ventilasi yang
tidak memadai
h. Trauma trakea atau bronkus batang utama yang didiagnosis dengan
endoskopi atau pencitraan
i. Open pneumothorax
j. Perforasi esofagus
k. Emboli udara
Cedera pembuluh darah besar terjadi lebih dari 90% trauma pada
pembuluh darah besar toraks disebabkan oleh trauma tembus, meskipun trauma
tumpul pada aorta innominate, subklavia, atau desendens dapat menyebabkan
pseudoaneurisma atau etabol yang jelas. Laserasi sederhana pada arkus aorta
ascenden atau transversal dapat diperbaiki dengan lateral aortorrhaphy. Perbaikan

270
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

trauma aorta posterior, trauma ascendens atau transversal yang kompleks, atau
yang memerlukan pencangkokan interposisi lengkung, dan full cardiopulmonary
bypass. Trauma arteri innominate diperbaiki menggunakan teknik eksklusi bypass
menghindari kebutuhan untuk bypass cardiopulmonary. Bypass grafting dari
proksimal aorta ke distal innominate dengan prostetik tube graft dilakukan
sebelum hematoma postinjury dimasukkan9.

Gambar 10.1 Tindakan bypass (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan
no.)

Trauma arteri subklavia dapat diperbaiki menggunakan lateral arteriorrhaphy


atau PTFE graft interposition; karena banyaknya cabang dan penambatan arteri,
anastomosis primer ujung-ke-ujung tidak dianjurkan jika ada kehilangan
segmental yang signifikan. Blunt aortic injury mungkin memerlukan intervensi
segera. Namun, intervensi operatif untuk perdarahan etabolic ar atau intra-
abdomen atau fraktur panggul yang tidak stabil harus diutamakan. Untuk
mencegah etabol aorta, terapi farmakologis dengan selective β1 -antagonist,
esmolol, harus diberikan pada trauma, dengan target SBP <100 mmHg dan heart
rate <100/menit. Pemasangan stent etabolic ar sekarang menjadi pengobatan
utama. Sementara ukuran endograft telah membaik, pertanyaan utamanya adalah
hasil jangka etabol pada pasien yang lebih muda. Perbaikan terbuka aorta
desendens dilakukan dengan menggunakan bypass jantung kiri parsial untuk
mencegah iskemia etabol spinalis dan splanknikus dan mengurangi afterload

271
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

ventrikel kiri. Penatalaksanaan non operatif untuk trauma aorta intima derajat I
dilakukan dengan agen antiplatelet dan etabol tekanan darah9.

Gambar 10. 2 Tindakan graft pada Cedera Tumpul Aorta Thorakalis (dikutip
sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no.)

Jantung
Trauma jantung tumpul dan tembus memiliki presentasi yang sangat
berbeda dan oleh karena itu perawatannya juga berbeda. Trauma tembus pada
jantung yang dapat bertahan terdiri dari luka yang dapat diperbaiki secara operatif;
kebanyakan luka tusuk. Sebelum perbaikan trauma dilakukan, perdarahan harus
dikontrol; cedera pada atrium dapat dijepit dengan klem etaboli Satinsky,
sedangkan tekanan digital digunakan untuk menutup etaboli besar luka
ventrikel9.
Oklusi kateter foley dari lesi stellata yang lebih besar dijelaskan, tetapi
bahkan traksi minimal dapat memperbesar trauma asli. Kontrol sementara
perdarahan, dan kadang-kadang perbaikan definitive dapat dilakukan dengan
staples kulit untuk laserasi ventrikel kiri; tepi miokard dari laserasi harus melapisi
diastole agar stapel secara teknis layak. Perbaikan etabolic cedera jantung
dilakukan dengan jahitan polipropilen 3-0 atau jahitan polipropilen 2-09

272
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Gambar 10.3 Teknik jahitan untuk Luka di jantung (dikutip sesuai dengan aslinya
dari kepustakaan no.).

Penggunaan jahitan mungkin sangat penting di ventrikel kanan untuk


mencegah jahitan ditarik melalui miokardium yang lebih tipis. Cedera yang
berdekatan dengan arteri etabol harus diperbaiki menggunakan jahitan matras
horizontal karena penggunaan jahitan yang berjalan menyebabkan oklusi etabol
dan infark distal. Luka tembak dapat menyebabkan lesi seperti bintang atau
memar, miokardium yang sangat rapuh di dekat luka. Ketika tepi luka kompleks
tersebut tidak dapat sepenuhnya didekati dan karenanya perbaikannya tidak
hemostatik, penulis telah menggunakan perekat bedah (Bio Glue) untuk mencapai
hemostasis. Kadang-kadang, struktur interior jantung mungkin rusak. Auskultasi
etabolic ar e atau penilaian hemodinamik pasca operasi biasanya
mengidentifikasi cedera tersebut. ECHO dapat mendiagnosis cedera dan
menghitung pengaruhnya terhadap curah jantung. Perbaikan segera dari kerusakan
katup atau defek septum jarang diperlukan dan akan memerlukan bypass
kardiopulmoner, tetapi lesi etabolic intrakardiak dapat berkembang, dan dengan
demikian pasien harus menjalani ECHO tindak lanjut9.

273
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Pasien dengan trauma jantung tumpul biasanya etabo dengan takikardi


persisten atau gangguan konduksi, tetapi kadang-kadang etabo dengan
tamponade karena etabol atrium atau ventrikel kanan. Tidak ada temuan EKG
patognomonik, dan kadar enzim jantung tidak berkorelasi dengan risiko
komplikasi jantung. Oleh karena itu, pasien dengan kecurigaan klinis tinggi
memar jantung dan yang hemodinamik stabil harus dipantau untuk disritmia
selama 24 jam dengan telemetri. Pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik
harus menjalani ECHO untuk mengevaluasi kelainan etabol dinding (terutama
etabolic a ventrikel kanan), cairan etabolic a, disfungsi katup, etabol korda,
atau penurunan fraksi ejeksi. Jika temuan tersebut dicatat atau jika agen vasoaktif
diperlukan, fungsi jantung dapat terus dipantau menggunakan kateter arteri
pulmonalis dan serial SICU transtoraks atau transesofageal ECHO9.

Trakea, Bronkus, dan Parenkim Paru


Kurang dari 1% dari semua pasien trauma mengalami trauma
trakeobronkial intratoraks, dan hanya sejumlah kecil yang memerlukan intervensi
operatif. Meskipun trauma tembus dapat terjadi di seluruh etabo trakeobronkial,
trauma tumpul paling sering terjadi dalam 2,5 cm dari carina. Untuk pasien
dengan kebocoran udara masif yang membutuhkan eksplorasi darurat, etabol
awal cedera untuk memberikan ventilasi yang efektif diperoleh dengan
memasukkan endotracheal tube baik di luar cedera atau ke bronkus utama
kontralateral. Prinsip perbaikan serupa dengan perbaikan cedera trakea servikal.
Jaringan yang didevitalisasi di debridement, dan dilakukan anastomosis ujung ke
ujung primer dengan jahitan PDS 3-0. Diseksi harus dibatasi pada area cedera
untuk mencegah gangguan pembuluh darah bronkial di sekitarnya dan iskemia
dan striktur berikutnya. Garis jahitan harus dikelilingi dengan jaringan
vaskularisasi, baik etabolic a, otot etabolic a, atau pleura. Manajemen
ekspektatif digunakan untuk cedera bronkial yang kurang dari sepertiga lingkar
jalan napas dan tidak memiliki bukti kebocoran udara besar yang persisten. Pada
pasien dengan trauma bronkus perifer, ditunjukkan oleh kebocoran udara persisten

274
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

dari chest tube dan didokumentasikan oleh endoskopi, penyegelan fibrin glue
yang diarahkan secara bronchoscopy mungkin berguna9.
Mayoritas trauma parenkim paru dicurigai berdasarkan identifikasi
pneumotoraks; etaboli besar dapat dikelola dengan tube thoracostomy. Trauma
parenkim diidentifikasi ditemui selama eksplorasi toraks untuk hemotoraks masif
dikelola tanpa reseksi sebanyak mungkin. Fistula bronkovenosa merupakan
ancaman konstan dan harus diminimalisir dengan etabol segera terhadap
kebocoran udara besar. Laserasi perifer dengan perdarahan persisten dapat
ditangani dengan stapled wedge resection. Untuk cedera sentral, pengobatan saat
ini adalah pulmonary tractotomy, yang memungkinkan etabo selektif bronkiolus
individu dan perdarahan, mencegah perkembangan hematoma intraparenkim atau
emboli udara, dan mengurangi kebutuhan untuk reseksi lobus formal9.

Gambar 10.4 Pulmonary tractotomy (dikutip sesuai dengan aslinya dari


kepustakaan no.).

Perangkat stapler lebih disukai, stapler terpanjang yang tersedia (misalnya,


GIA-100), dimasukkan langsung ke jalur cedera dan diposisikan di sepanjang
bagian tertipis dari parenkim di atasnya. Jalur cedera dengan demikian terbuka,
yang memungkinkan akses langsung ke pembuluh darah yang berdarah dan
bronkus yang bocor. Mayoritas cedera ditangani secara etabolic dengan etabo

275
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

selektif, dan defek dibiarkan terbuka. Kadang-kadang, tractotomy menunjukkan


etaboli yang lebih proksimal pada cedera bronkial yang harus ditangani dengan
formal lobectomy. Cedera yang cukup parah untuk mengamanatkan
pneumonectomy biasanya berakibat fatal karena dekompensasi jantung kanan9.
Salah satu trauma parenkim yang dapat ditemukan selama pencitraan
toraks adalah pseudokista paru pasca trauma atau sering disebut pneumatokel.
Pneumatokel etabolic biasanya mengikuti perjalanan klinis jinak dan diobati
dengan manajemen nyeri agresif, pulmonary toilet, dan serial chest radiography
untuk memantau resolusi lesi. Namun, jika pasien mengalami demam atau
leukositosis yang persisten, CT dada dilakukan untuk mengevaluasi abses yang
berkembang karena pneumatokel dapat terinfeksi. Drainase kateter yang dipandu
CT mungkin diperlukan dalam kasus tersebut karena 25% pasien tidak
menanggapi terapi etabolic saja. Pembedahan, mulai dari reseksi parsial hingga
anatomic lobectomy, diindikasikan untuk pneumatokel kompleks yang tidak
terselesaikan atau lesi terinfeksi yang refrakter terhadap terapi etabolic dan
drainase9.
Komplikasi yang paling umum setelah trauma toraks adalah
pengembangan etabol. Penatalaksanaan didasarkan pada kriteria etabolic CT.
Drainase perkutan diindikasikan untuk lokulasi tunggal tanpa kulit yang berarti.
Sementara fibrinolitik sering digunakan untuk etabol, ada kekurangan data untuk
mendukung penggunaannya. Dekortikasi dini melalui operasi toraks dengan
bantuan video harus dilakukan segera pada pasien dengan lokulasi etaboli atau
kulit pleura >1 cm. Pengobatan etabolic didasarkan pada hasil kultur etabolic ,
tetapi etabolic dugaan harus mencakup MRSA di SICU9.

Esofagus
Karena kedekatan struktur, trauma esofagus sering terjadi dengan trauma
trakeobronkial, terutama pada kasus trauma tembus. Pilihan operasi didasarkan
pada luas dan lokasi cedera esofagus. Dengan mobilisasi yang cukup, anastomosis
ujung ke ujung satu lapis primer dapat dilakukan setelah debridement yang sesuai.
Seperti pada perbaikan servikal, jika ada dua garis jahitan yang berdekatan (trakea

276
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

atau bronkus dan esofagus) interposisi dari pedikel yang tervaskularisasi


diperlukan untuk mencegah pembentukan fistula. Perforasi di persimpangan
gastroesophageal dapat diobati dengan perbaikan dan fundoplikasi Nissan atau,
untuk cedera destruktif, reseksi segmental dan pull-up lambung. Cedera esofagus
kecil dapat ditangani dengan pemasangan stent. Dengan cedera destruktif yang
besar atau presentasi cedera yang tertunda, eksklusi esofagus dengan drainase
yang luas, pengalihan loop esophagostomy, dan penempatan gastrostomy tube
harus dipertimbangkan9.

Dinding Dada dan Diafragma


Hampir semua trauma dinding dada, yang terdiri dari patah tulang rusuk
dan laserasi pembuluh darah etabolic a, ditangani secara non operatif dengan
etabol nyeri, pulmonary toilet atau manajemen ventilasi, dan drainase rongga
pleura sesuai indikasi. Institusi awal etabol nyeri yang efektif sangat penting.
Penulis menganjurkan preemptive rib block dengan 0.25% bupivacaine
hydrochloride (Marcaine) di ruang trauma, diikuti oleh kateter nyeri dinding
toraks. Anestesi epidural disediakan untuk fraktur segmental etaboli. Perdarahan
persisten dari chest tube setelah trauma tumpul paling sering disebabkan oleh
cedera arteri interkostalis; untuk perdarahan persisten yang tidak biasa9.
Thoracotomy dengan etabo langsung atau angioembolisasi mungkin
diperlukan untuk menghentikan perdarahan. Dalam kasus segmen flail chest yang
luas, fraktur iga bikortikal yang bergeser secara nyata, atau hilangnya 20%
volume toraks, reduksi terbuka dan fiksasi internal fraktur dengan plat mungkin
diperlukan. Defek dinding dada, terutama yang terlihat pada open pneumotoraks,
diperbaiki menggunakan pendekatan lokal jaringan atau transfer jaringan untuk
menutupi. Fraktur etabol dan sternum jarang memerlukan intervensi operatif
tetapi merupakan penanda kekuatan thoracoabdominal yang signifikan selama
cedera; perpindahan yang signifikan dapat mengambil manfaat dari pelapisan
sternum9.

277
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Gambar 10.5 Significant sternal displacement tractotomy (dikutip sesuai dengan


aslinya dari kepustakaan no.).

Pemeriksaan dan pencitraan yang cermat harus menyingkirkan cedera


terkait, termasuk cedera jantung tumpul dan cedera tumpul aorta. Di sisi lain,
fraktur klavikula sering merupakan cedera yang terisolasi dan harus dikelola
dengan etabol nyeri dan imobilisasi. Pengecualian adalah dislokasi posterior
clavicular head, yang dapat melukai pembuluh darah subklavia9.
Trauma tumpul diafragma biasanya mengakibatkan robekan linier, dan
etaboli besar cedera berukuran besar, sedangkan trauma tembus bervariasi dalam
ukuran dan lokasi tergantung pada agen cedera. Terlepas dari etiologi, cedera akut
biasanya diperbaiki melalui pendekatan perut untuk mengelola potensi cedera
visceral terkait. Setelah penggambaran cedera, dada harus dievakuasi dari semua
darah dan partikel, dan thoracostomy tube ditempatkan jika sebelumnya tidak
dilakukan. Allis clamps digunakan untuk mendekati tepi diafragma, dan cacat
ditutup dengan jahitan polipropilen No. 1 yang berjalan. Kadang-kadang, avulsi
besar atau luka tembak dengan kehilangan jaringan yang luas akan membutuhkan
polipropilen atau etabol biologis untuk menjembatani defek. Atau, transposisi
diafragma cephalad satu hingga dua ruang etabolic a memungkinkan perbaikan
tanpa ketegangan yang tidak semestinya9.

278
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

10.1.2 Trauma Vaskular


Pasien dengan cedera ekstremitas sering memerlukan pendekatan
multidisiplin dengan keterlibatan trauma, ortopedi, dan ahli bedah etabol untuk
mengatasi cedera etaboli, patah tulang, cedera jaringan lunak, dan sindrom
kompartemen. Stabilisasi fraktur atau sendi yang tidak stabil segera dilakukan di
UGD menggunakan hare traction, knee immobilizers, atau plaster splints. Pada
pasien dengan fraktur terbuka, luka harus ditutup dengan kain kasa yang dibasahi
povidoneiodine (Betadine) dan diberikan etabolic . Pilihan untuk fiksasi fraktur
termasuk fiksasi eksternal atau reduksi terbuka dan fiksasi internal dengan pelat
atau intramedullary nails9.
Cedera etaboli, baik terisolasi atau dalam kombinasi dengan patah tulang,
memerlukan perbaikan segera. Cedera gabungan yang umum termasuk fraktur
klavikula/tulang rusuk pertama dan cedera arteri subklavia, dislokasi bahu/fraktur
humerus proksimal dan cedera arteri aksila, fraktur supracondylar atau dislokasi
siku dan cedera arteri brakialis, fraktur femur dan cedera arteri femoralis
superfisial, dan dislokasi lutut dan cedera arteri poplitea. Angiografi di intervensi
cepat dan diperlukan pada pasien dating dengan bukti ancaman ekstremitas. Akses
arteri untuk angiografi ekstremitas bawah dapat diperoleh secara perkutan pada
pembuluh darah femoralis dengan kateter arteri standar, melalui paparan
pembuluh femoralis dan langsung kanulasi, atau dengan paparan arteri femoralis
superfisial (SFA). Tepat di atas lutut medial. Adanya Kontroversi mengenai mana
yang harus dilakukan terlebih dahulu, fiksasi fraktur atau perbaikan arteri.
Pemilihan menempatkan shunt etabolic ar sementara terlebih dahulu untuk
membangun etabol aliran arteri dan meminimalkan iskemia selama pengobatan
fraktur, dengan perbaikan etaboli etabolic selanjutnya. Jarang, amputasi segera
dapat dipertimbangkan karena tingkat keparahannya cedera ortopedi dan
etabolic ar . Ini sangat benar jika terdapat transeksi saraf primer selain fraktur
dan cedera arteri. Pengambilan keputusan kolaboratif oleh trauma, ortopedi, dan
tim etabol/rekonstruksi sangat penting9.
Intervensi operatif untuk cedera etaboli harus mengikuti: prinsip-prinsip
standar perbaikan. Untuk perbaikan arteri subklavia atau aksila, cangkok PTFE 6

279
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

mm atau RSVG digunakan tergantung pada lokasi. Karena terkait cedera pleksus
brakialis sering terjadi, pemeriksaan neurologis menyeluruh pada ekstremitas
diamanatkan sebelum operasi intervensi. Pendekatan operatif untuk cedera arteri
brakialis adalah melalui: sayatan longitudinal ekstremitas atas medial; etabol
proksimal dapat diperoleh di arteri aksilaris, dan ekstensi berbentuk S melalui
fossa antecubital menyediakan akses ke distal arteri brakialis. Segmen pembuluh
darah yang cedera dieksisi, dan dilakukan interposisi RSVG graft dari ujung ke
ujung. Ekstremitas atas etabolic jarang diperlukan karena perfusi kolateral yang
kaya melalui profunda. Untuk cedera SFA, fiksasi eksternal tulang paha biasanya
dilakukan, diikuti oleh RSVG. Ujung ke ujung segmen SFA yang cedera.
Pemantauan ketat untuk sindrom kompartemen betis adalah wajib. Akses pilihan
ke popliteal ruang untuk cedera akut adalah medial, pendekatan satu sayatan
dengan detasemen semitendinosus, semimembranosus, dan otot gracilis9.
Pilihan lain adalah pendekatan medial dengan dua sayatan menggunakan
RSVG yang lebih etabol, tetapi ini membutuhkan interval etabo arteri poplitea
dan cabang genikulatum. Jarang, dengan luka terbuka pendekatan posterior lurus
dengan berbentuk S sayatan dapat digunakan. Jika pasien memiliki vena poplitea
terkait cedera, ini harus diperbaiki terlebih dahulu dengan cangkok interposisi
PTFE sementara arteri dishunt. Untuk cedera arteri poplitea terisolasi, RSVG
dilakukan dengan anastomosis ujung ke ujung. Sindrom kompartemen adalah
umum, dan dugaan empat kompartemen etabolic diperlukan pada pasien dengan
kombinasi arteri dan cedera vena. Setelah pembuluh diperbaiki dan pemulihan
aliran arteri didokumentasikan, penyelesaian angiografi harus dilakukan di OR
jika tidak teraba nadi distal. Vasoparalisis dengan verapamil, nitrogliserin, dan
etabolic dapat digunakan untuk mengobati vasokonstriksi9.

10.2 Bedah Toraks Kardiovaskular 2

10.2.1 Varises Vena, PAD, dan ALI


a. Varises vena
1) Pendahuluan

280
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Varises vena sering terjadi dan terdapat setidaknya pada 10% dari
populasi umum. Temuan varises mungkin termasuk vena yang
melebar dan berkelok-kelok, etabolic ar e, dan varises retikuler.
Faktor risiko varises termasuk obesitas, jenis kelamin etabo, tidak
aktif, dan etabol keluarga. Varises dapat diklasifikasikan sebagai
primer atau sekunder. Varises primer disebabkan oleh kelainan
etabolic dinding vena, sedangkan varises sekunder berhubungan
dengan insufisiensi vena dalam dan/atau superfisial9.
2) Manifestasi klinis
Pasien dengan varises mungkin mengeluhkan penampilan yang tidak
sedap dipandang, nyeri, berat, pruritus, dan kelelahan awal pada kaki
yang terkena. Gejala-gejala ini memburuk dengan berdiri dan duduk
yang lama dan berkurang dengan elevasi kaki lebih tinggi dari jantung
dan dapat juga menimbulkan edema ringan. Tanda-tanda yang lebih
parah dapat berupa tromboflebitis, hiperpigmentasi,
lipodermatosklerosis, ulserasi, dan perdarahan9.
3) Penatalaksanaan
Komponen penting pengobatan untuk pasien dengan varises adalah
penggunaan stoking kompresi elastis. Pasien mungkin akan
diresepkan stoking elastis dengan kompresi mulai dari 20 hingga 30,
30 hingga 40, atau bahkan 40 hingga 50 mmHg. Panjang stoking
berkisar dari setinggi lutut sampai setinggi pinggang, dan stoking
harus menutupi varises yang bergejala. Kompresi elastis memberikan
pengurangan gejala yang cukup pada banyak pasien yang bergejala.
Masalah kosmetik dapat menyebabkan intervensi. Selain itu,
intervensi diperlukan pada pasien yang gejalanya memburuk atau
tidak mereda meskipun terapi kompresi atau yang memiliki
lipodermatosklerosis atau ulkus vena. Percobaan dari beberapa pasien
varises dengan simtomatik telah menunjukkan peningkatan kualitas
hidup dengan pengobatan intervensi. Manajemen intervensi termasuk
skleroterapi injeksi, ablasi termal, terapi bedah, atau kombinasi dari

281
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

etabo-teknik ini. Skleroterapi injeksi saja dapat berhasil pada varises


dan pembuluh etabolic ar e. Sebuah uji coba acak multisenter baru-
baru ini membandingkan skleroterapi busa versus etabol untuk
varises bergejala menemukan pengurangan gejala yang signifikan dan
meningkatkan penampilan kosmetik dengan skleroterapi. Skleroterapi
bekerja dengan menghancurkan endotel vena. Agen etabolic
termasuk salin hipertonik, natrium tetradesil sulfat, dan polidocanol.
Konsentrasi 11,7% hingga 23,4% salin hipertonik, 0,125% hingga
0,250% natrium tetradesil sulfat, dan 0,5% polidocanol digunakan
untuk etabolic ar e. Varises yang lebih besar membutuhkan
konsentrasi yang lebih tinggi: 23,4% salin hipertonik, 0,50% hingga
1% natrium tetradesil sulfat, dan 0,75% hingga 1,0% polidocanol.
Perban elastis dililitkan di sekitar kaki setelah injeksi dan dipakai terus
menerus selama 3 hingga 5 hari untuk menghasilkan aposisi dinding
vena yang meradang dan mencegah pembentukan etaboli. Setelah
perban dilepas, stoking kompresi elastis harus dipakai minimal 2
minggu. Komplikasi dari skleroterapi termasuk reaksi alergi,
hiperpigmentasi etab, tromboflebitis, DVT, dan kemungkinan
nekrosis kulit9.
Pasien dengan gejala refluks GSV atau SSV dapat diobati dengan
etabo ablasi endovenosa atau operasi pengangkatan vena yang
terkena. Teknik laser endovenous dan radiofrequency ablation (RFA)
telah mendapatkan popularitas dalam beberapa tahun terakhir. Teknik
seperti itu umumnya dikaitkan dengan pemulihan pascaprosedur yang
sama efektifnya tetapi lebih cepat daripada pengupasan bedah terbuka
tradisional dari GSV9.
Ligasi dan stripping vena saphena mungkin masih menjadi terapi
pilihan untuk pasien dengan GSV dengan diameter (>2 cm). Operasi
pengangkatan GSV biasanya dilakukan melalui sayatan kecil yang
ditempatkan secara medial di selangkangan dan tepat di bawah lutut.
GSV diangkat menggunakan kateter ujung tumpul atau stripper pin

282
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

invaginasi. Komplikasi yang ditimbulkan dengan stripping GSV


termasuk ekimosis, hematoma, limfokel, DVT, infeksi, dan cedera
saraf saphena. Stripping GSV dikaitkan dengan tingkat kekambuhan
varises yang lebih rendah dan kualitas hidup yang lebih baik daripada
etabo sambungan saphenofemoral saja. Varises yang lebih besar
paling baik diobati dengan eksisi bedah menggunakan etabo “stab
avulsion”. Avulsi tusukan dilakukan dengan membuat sayatan 2 mm
langsung di atas varises cabang, dan varises dibedah dari jaringan
subkutan sekitarnya sejauh proksimal dan distal mungkin melalui
sayatan kecil9.

Gambar 10.6 stab avulsion (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no.).

b. Peripheral Artery Disease (PAD)


1) Definisi
PAD adalah penyakit yang ditandai dengan berkurangnya aliran darah
ke ekstremitas bawah, paling sering karena aterosklerosis dan dapat
dianggap sebagai penanda aterosklerosis yang meluas. Namun, PAD
adalah etabol yang berbeda dari penyakit etaboli aterosklerotik yang
berbeda dari CAD dan CVD dalam manifestasi klinisnya.
Pembentukan etaboli akibat etabol akut atau erosi plak rentan pada

283
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

arteri etabol atau serebral menyebabkan kejadian akut seperti infark


miokard (MI) atau stroke. Kejadian akut seperti itu etaboli jarang
terjadi pada PAD, dan gejala paling sering diakibatkan oleh
penyempitan arteri yang progresif karena aterogenesis yang sedang
berlangsung. Alasan yang mendasari perbedaan tetap tidak diketahui.
Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa etabo risiko, baik etabol
dan lingkungan, dan jalur biokimia berkontribusi secara berbeda
terhadap PAD dibandingkan dengan CAD atau CVD20.

2) Epidemiologi dan Etiologi


Diperkirakan 10 juta orang Amerika terkena PAD, dan lebih dari
80.000 dirawat di rumah sakit setiap tahun untuk kondisi tersebut.
1,22 Prevalensi PAD bervariasi secara signifikan berdasarkan usia
populasi yang diteliti, dari 0,9% pada pasien antara 40 dan 49 tahun
tua hingga 14,5% pada pasien yang lebih tua dari 69 tahun menurut
Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional (NHANES). PAD
itu kompleks dan etabolic dengan dua etabol yaitu proksimal dan
distal, yang terkait dengan etabo risiko dan profil komorbiditas yang
berbeda. Jenis kelamin etabo, merokok, hipertensi, dan dislipidemia
lebih terkait dengan penyakit proksimal, sedangkan usia yang lebih
tua, jenis kelamin pria, dan diabetes lebih berhubungan dengan
distal.20
Diabetes secara signifikan meningkatkan insiden dan keparahan
iskemia ekstremitas karena beberapa etabo terkait. Pasien dengan
diabetes dan PAD cenderung memiliki keterlibatan arteri yang lebih
distal, terutama arteri poplitea dan tibialis, membuat revaskularisasi
limb-salvage lebih menantang. Neuropati yang sering berkembang
pada penderita diabetes menghadirkan beberapa tantangan tambahan.
Pertama, neuropati sensorik mengurangi kemampuan untuk
menghindari cedera dengan mengurangi sensasi normal dan penarikan
rasa sakit. Neuropati perifer etaboli juga menyebabkan keterbatasan

284
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

mobilitas sendi (akibat neuropati etabol), penurunan proprioseptif


dan sensasi nyeri (akibat neuropati sensorik), dan penurunan keringat
(akibat neuropati otonom).20

3) Diagnosis
Penggunaan Ankle-Brachial Index (ABI) untuk mengevaluasi pasien
yang berisiko untuk kejadian kardiovaskular. ABI kurang dari 0,9
berkorelasi dengan peningkatan risiko infark miokard dan
menunjukkan signifikan, meskipun mungkin asimtomatik, didasari
oleh penyakit pembuluh
darah perifer.5
ABI ditentukan dengan
cara berikut. Tekanan
darah diukur pada kedua
ekstremitas atas
menggunakan tekanan
darah sistolik tertinggi
sebagai penyebut untuk
ABI. Tekanan
pergelangan kaki
ditentukan dengan
menempatkan manset
tekanan darah di atas
pergelangan kaki dan
mengukur aliran balik
arteri tibialis posterior
dan arteri dorsalis pedis
Gambar 10.7 Menghitung ankle-brachial
menggunakan probe
index (ABI) (dikutip sesuai dengan
Doppler pensil pada setiap
aslinya dari kepustakaan no.).

285
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

arteri. Rasio tekanan sistolik di setiap pembuluh dibagi dengan


tekanan sistolik lengan tertinggi dapat digunakan untuk
mengekspresikan ABI di kedua arteri tibialis posterior dan dorsalis
pedis. Normal lebih dari 1. Pasien dengan klaudikasio biasanya
memiliki ABI dalam kisaran 0,5 hingga 0,7, dan mereka yang
mengalami nyeri saat istirahat berada dalam kisaran 0,3 hingga 0,5.
Mereka yang menderita etaboli memiliki ABI kurang dari 0,3.
Rentang ini dapat bervariasi tergantung pada tingkat kompresibilitas
pembuluh darah. Tes ini kurang dapat diandalkan pada pasien dengan
pembuluh darah yang sangat terkalsifikasi. Karena non-
kompresibilitas, beberapa pasien, seperti penderita diabetes dan
mereka yang penyakit ginjal stadium akhir, mungkin memiliki ABI
1,40 dan memerlukan tes etabolic noninvasif tambahan untuk
mengevaluasi penyakit arteri perifer. Tes alternatif termasuk tekanan
toe-brachial, rekaman volume nadi, pengukuran oksigen transkutan,
atau pencitraan etaboli (ultrasonografi dupleks).5
4) Tatalaksana
Dua tujuan terpenting dalam
pengobatan pasien dengan PAD dan
diabetes adalah meningkatkan hasil
ekstremitas (meningkatkan gejala
klaudikasio dan mencegah
perkembangan iskemia ekstremitas
kritis) dan menurunkan morbiditas
dan mortalitas akibat penyakit
kardiovaskular dan stroke.
Pendekatan agresif untuk modifikasi
etabo risiko dan perawatan medis
adalah landasan untuk mencapai
kedua tujuan. Intervensi medis
berbasis target dapat mengurangi
Gambar 10.8 Tatalaksana PAD pada
Pasien DM (dikutip sesuai dengan aslinya
dari kepustakaan286
no.).
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

risiko kejadian kardiovaskular sebanyak 50% pada pasien dengan


diabetes tipe 2.20

a. Acute Limb Ischemia (ALI)


1) Definisi
ALI didefinisikan sebagai kehilangan perfusi ekstremitas secara tiba-
tiba, dan istilah ini berlaku hingga 2 minggu setelah gejala awal.
Etiologi ALI yang paling umum termasuk emboli, etabolic
pembuluh darah, etabolic rekonstruksi, trauma, dan komplikasi
aneurisma perifer. Sebagian besar kasus ALI ekstremitas bawah
adalah akibat dari etabolic saluran prostetik. Ini berasal dari
peningkatan penggunaan saluran prostetik untuk mengatasi CLI9.
2) Tanda dan Gejala
Gejala yang muncul pada ALI adalah nyeri dan hilangnya sensorik
atau fungsi etabol. Tiba-tiba dan waktu timbulnya rasa sakit, lokasi
dan intensitasnya, dan perubahan keparahan dari waktu ke waktu
semua harus dipertimbangkan. Durasi dan intensitas nyeri dan adanya
perubahan etabol atau sensorik adalah sangat penting dalam
pengambilan keputusan klinis dan urgensi revaskularisasi.
Trombolisis mungkin kurang efektif untuk etabolic dengan durasi 2
minggu dibandingkan dengan etabolic akut. Iskemia ekstremitas
bawah akut bermanifestasi dengan “lima P”: pain, pallor, paresthesias,
paralysis, and pulselessness, yang beberapa menambahkan “P”
keenam—poikilothermia atau “ perishing cold “. Nyeri adalah gejala
biasa yang menyebabkan pasien etabo ke ruang gawat darurat.
Lokasi yang paling umum untuk embolus lodge di kaki berada di
bifurkasio femoralis umum. Khas, pasien akan mengeluh nyeri kaki
dan betis. Pulse tidak ada, dan mungkin ada penurunan sensasi.
Ketidakmampuan untuk bergerak kelompok otot yang terkena adalah

287
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

tanda iskemia yang sangat parah dan memerlukan revaskularisasi


segera. Selama evaluasi ekstremitas yang terkena, penting untuk
membandingkan temuan dengan tungkai kontralateral. Evaluasi klinis
sangat penting dalam menentukan etabolic dan lokasi obstruksi. Satu
dari informasi terpenting yang harus diperoleh adalah apakah pasien
telah menjalani prosedur etaboli sebelumnya atau jika ada etabol
klaudikasio ekstremitas bawah. Salah satu dari fitur ini menunjukkan
penyakit etaboli yang sudah ada sebelumnya, membuat
revaskularisasi lebih rumit, dan biasanya mengharuskan angiografi
untuk memungkinkan perencanaan bedah. Sebaliknya, pada pasien
tanpa etabol sugestif penyakit etaboli sebelumnya, etabolic yang
paling kemungkinan emboli, dan trombektomi sederhana lebih
mungkin berhasil9.
Dengan tidak adanya kontraindikasi yang signifikan, pasien dengan
ekstremitas bawah iskemik harus segera diberikan antikoagulasi, Ini
akan mencegah terjadinya penyebaran bekuan ke dalam pembuluh
darah yang tidak terpengaruh. Pemasangan cairan intravena dan foley
kateter dipasang untuk memantau urin output. Laboratorium dasar
harus diperoleh dan kadar kreatinin dicatat. Pemeriksaan
hiperkoagulasi harus dilakukan sebelum memulai heparin jika ada
kecurigaan yang cukup. Menurut hasil dari uji coba secara acak, tidak
ada keunggulan yang jelas untuk trombolisis dibandingkan operasi
dalam hal penyelamatan anggota tubuh 30 hari atau mortalitasnya.
Akses ke setiap pilihan pengobatan adalah masalah utama dalam
pengambilan keputusan proses, karena waktu sering kali kritis. Data
pendaftaran nasional dari Amerika Serikat mengungkapkan bahwa
operasi digunakan tiga hingga lima kali lipat lebih sering dilakukkan
daripada trombolisis. Tiga studi acak memiliki menyelidiki peran
terapi trombolitik yang diarahkan kateter dalam pengobatan ALI9.

288
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

10.2.2 Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit


Jantung Bawaan
a. Atrial Septal Defect (ASD)
1) Definisi
ASD merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan diskontinuitas
pada septum interatrial yang mengakibatkan tercampurnya darah yang
berasal sirkulasi pulmonal dan sistemik melalui defek tersebut9.
2) Klasifikasi
ASD terbagi menjadi tiga bagian, yaitu9:
• Defek pada ostium secundum (defisiensi septum primum),
merupakan subtype terbanyak dari ASD, yaitu sekitar 80% dari
seluruh kasus ASD
• Defek pada ostium primum (defek etaboli atau transisional kanal
atrioventrikuler (AV))
• Defek pada sinus venosa, sekitar 5 – 10% dari seluruh kasus ASD
3) Diagnosis
Pemeriksaan auskultasi pada pasien ASD akan terdengar bunyi S1
yang meninggi atau normal dengan bunyi split pada S2, hal ini
disebabkan oleh lewatnya aliran darah dari kiri ke kanan melalui defek
di setiap siklus jantung. Jika terdengar murmur etabolic menandakan
peningkatan aliran melalui katup etabolic. Murmur ejeksi juga dapat
terdengar pada katup pulmonal. Beberapa pemeriksaan yang dapat
dilakukan seperti foto roentgen thorax memperlihatkan peningkatan
vaskuler pulmonal dengan peningkatan aliran hilus paru dan
kardiomegali. Pemeriksaan EKG memperlihatkan right axis deviation

289
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

(RAD) dengan bundle branch block (BBB) inkomplit. Diagnosis


dapat ditegakkan melalui pemeriksaan ekokardiografi 2D.
Ekokardiografi dapat memperkirakan derajat shunt intrakardiak,
derajat regurgitasi mitral pada pasien ASD dengan defek pada ostium
primum. Pemeriksaan ekokardiografi dengan menambahkan injeksi
saline dapat memperlihatkan kelainan lain yang mungkin dapat
menyertai, seperti defek sinus venosus. Pemeriksaan lain melalui
kateterisasi jantung biasanya digunakan pada pasien dengan
peningkatan tekanan sistolik di ventrikel kanan atau pada pasien
berusia lebih dari 40 tahun, sehingga mampu memeriksa keadaan lain
seperti penyakit jantung koroner9.
4) Tatalaksana
Secara umum, ASD dapat ditutup etabo anak berusia 4 sampai 5
tahun, karena operasi yang dilakukan secara umum tidak memerluka
tambahan transfuse darah dan memiliki prognosis yang sangat baik.
Namun pada beberapa pasien membutuhkan etaboli segera, terutama
pada pasien dengan gejala. Tindakan yang dilakukan berbeda
bergantung tipe defek dari ASD. Pasien dengan defek pada ostium
sekundum dapat dilakukan penutupan melalui etaboli pembedahan
primer atau melalui suatu patch yang dijahit pada defek. Pasien
dengan defek pada sinus venosa bergantung pada apakah defek
disertai dengan kelainan hubungan vena pulmonal. Jika etabol V.
Pulmonal berhubungan dengan atrium atau pada bagian kaudal V.
Cava Superior yang dimana V. Cava Sup. Dilewati oleh A. Pulmonal
Dex., dapat dilakukan penutupan dengan patch, kemudian melakukan
redireksi agar V. Pulmonal membelakangi patch ke atrium kiri. Jika
etabol V. Pulmonal berhubungan dengan atrium atau pada bagian
kranial V. Cava Sup. Sampai dengan A. Pulmonal Dex, dapat
dilakukan prosedur Warden9.
5) Komplikasi

290
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Komplikasi yang sering terjadi yaitu setelah etaboli pembedahan


meliputi sindrom postperikardiotomi dan aritmia atrial9.

b. Ventricular Septal Defect (VSD)


1) Definisi
VSD merujuk pada suatu defek lubang yang tersetak antara ventrikel
dan atrium. Vsd merupakan penyakit jantung bawaan yang sering
terjadi, berkisar 20 – 30% dari seluruh kasus penyakit jantung bawaan.
VSD dapat terjadi dalam bentuk defek tunggal atau bersamaan dengan
etabol kompleks lain. Defek VSD dapat bervariasi dari segi ukuran,
berkisar diantara 3 – 4 mm atau bahkan sampai 3 cm VSD merujuk
pada suatu defek lubang yang tersetak antara ventrikel dan atrium.
Vsd merupakan penyakit jantung bawaan yang sering terjadi, berkisar
20 – 30% dari seluruh kasus penyakit jantung bawaan. VSD dapat
terjadi dalam bentuk defek tunggal atau bersamaan dengan etabol
kompleks lain. Defek VSD dapat bervariasi dari segi ukuran, berkisar
diantara 3 – 4 mm atau bahkan sampai 3 cm9.
2) Klasifikasi
VSD terbagi menjadi 4 berdasarkan defek lokasi di septum ventrikel,
yaitu perimembran (paramembranosa, conoventricular), kanal AV
(inlet), suprakristal (outlet), dan etaboli. VSD perimembran
merupakan tipe terbanyak yaitu sekitar 80% dari seluruh kasus. Defek
kanal AV (inlet) terjadi jika tidak terdapat kanal AV. Defek
suprakristal dihasilkan dari dalam septum korona. VSD tipe etaboli
juga salah satu tipe yang sering terjadi, dan biasanya terletak di
anterior, midventrikuler, posterior, atau apeks9.
3) Diagnosis
VSD berukuran besar mengakibatkan aliran pintas yang
mengakibatkan lewatnya sejumlah aliran darah dari ventrikel kiri ke
ventrikel kanan, dan menyebabkan adanya peningkatan tekanan
ventrikel kanan dan menyebabkan tekanan ventrikel kanan sama

291
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

dengan tekanan sistemik. Hal ini mengakibatkan rasio aliran


pulmonal:sistemik (Qp:Qs) berbanding terbalik dengan tahanan
pembuluh pulmonal dan sistemik. Hal ini mengakibatkan peningkatan
aliran darah pulmonal dan bayi atau pasien dengan VSD menunjukkan
gejala gagal jantug kongestif. Jika tidak segera dilakukan tatalaksana,
maka akan terjadi hipertensi pulmonal dan aliran darah balik dari
kanan ke kiri, dan berakhir menjadi sindroma Eisenmenger. Pasien
dengan sindroma Eisenmenger akan menunjukkan gejala
asimptomatik sampai kejadian sianosis terjadi. Selain itu pasien
dengan VSD rentan untuk terjadi infeksi saluran pernapasan9.
Pemeriksaan foto thorax memperlihatkan peningkatan sirkulasi paru
dan kardiomegali, pemeriksaan EKG memperlihatkan hipertrofi
ventrikel kiri atau hipertrofi biventrikel. Diagnosis dapat ditegakkan
melalui pemeriksaan ekokardiografi yang mampu memperlihatkan
derajat shunt serta peningkatan tekanan arteri pulmonal, dan
pemeriksaan melalui kateterisasi jantung yang biasanya dilakukan
pada pasien dengan usia yang lebih besar9.
4) Tatalaksana
Defek VSD dapat tertutup atau menyempit secara spontan dan
penutupan ini dipengaruhi oleh usia, dimana bayi berusia 1 bulan
kesempatan sebesar 80% untuk defek tertutupi secara spontan
dibandingkan dengan anak usia 12 bulan yang hanya memiliki
kesempatan 25%. Hal ini sangat mempengaruhi keputusan
pembedahan, dimana pasien dengan defek kecil tanpa gejala akan
dipantau dalam periode waktu tertentu sebelum pengambilan
keputusan pembedahan. Untuk defek besar dan bergejala, diperlukan
etaboli pembedahan koreksi segera untuk mencegah terjadinya
peningkatan tekanan pulmonal pada usia 1 tahun pertama9.
5) Prognosis
Prognosis pada pasien VSD yang menjalani etaboli pembedahan
sangat baik, dengan rasio mortalitas mendekati 0%. Faktor yang

292
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

mempengaruhi angka mortalitas meliputi etabol penyerta lain,


terutama jika defek pada VSD sangat besar9.

c. Tetralogy of Fallot (TOF)


1) Definisi
TOF merupakan salah satu penyakit jantung kongenital yang ditandai
dengan 4 abnormalitas yang meliputi stenosis pulmonal, hipertrofi
ventrikel kanan, overriding aorta, dan VSD9.

Gambar 10.9 Tetralogy of Fallot (Keterangan, RVH: right ventricular


hypertrophy, VSD: ventricular septal defect, MPA: main pulmonal artery)
(dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no.).

2) Diagnosis
Pasien dengan TOF biasanya akan menunjukkan sianosis, dimana
sianosis berat biasanya terjadi pada usia 6 – 12 bulan pertama
kehidupan, dan biasanya pasien juga mengalami “tet spells” yang
merupakan periode hipoksemia ekstrim, dengan karakteristik

293
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

penurunan aliran darah pulmonal namun disertai dengan peningkatan


aliran darah sistemik. Keadaan ini dapat dipicu oleh keadaan yang
mengakibatkan resistensi etaboli sistemik menurun, seperti demam,
agitasi, ataupun aktivitas fisik berlebih. Keadaan ini biasanya akan
memberat dan kejadiannya akan meningkat seiiring bertambahnya
usia anak dan Ketika TOF tidak dilakukan tatalaksana. Pemeriksaan
menyeluruh pada pasien TOF yang lebih tua akan memperlihatkan
keadaan clubbing finger, polisitemia, hemoptisis, atau abses otak.
Pemeriksaan foto thoraks memperlihatkan jantung berbentuk seperti
sepatu bot, dan EKG memperlihatkan gambaran hipertrofi ventrikel
kanan. Penegakkan diagnosis dapat dilakukan melalui pemeriksaan
ekokardiografi9.
3) Tatalaksana
Tatalaksana meliputi etaboli pembedahan koreksi melalui
ventrikulotomi ventrikel kanan. Meskipun etaboli tersebut memiliki
keluaran yang sangat baik, etaboli tersebut cenderung mengakibatkan
terbentuknya jaringan parut yang mempengaruhi fungsi ventrikel
kanan serta menyebabkan terbentuknya aritmia yang letal. Tindakan
lain yang dapat dilakukan pada pasien TOF meliputi etaboli
pembedahan koreksi melalui transatrial9.
4) Komplikasi
Komplikasi didapatkan dari etaboli pembedahan koreksi yaitu
terjadinya insufisiensi pulmonal, regurgitasi katup pulmonal, dan
aritmia ventrikel9.

d. Patent Ductus Arteriosus (PDA)


1) Definisi
PDA merupakan sautu keadaan yang ditandai dengan kegagalan
penutupan etabo arteriosus. Kejadian PDA yaitu 1 per 2000 kelahiran
hidup, dengan insidensi meningkat pada bayi etabolic. PDA

294
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

cenderung terjadi pada bayi perempuan dibandingkan bayi laki-laki,


dengan rasio 2:19.
2) Diagnosis
Bayi dengan PDA akan mengakibatkan shunt dari kiri ke kanan, yang
mengakibatkan peningkatan berlebih volume ventrikel kiri dengan
peningkatan tekanan atrium kiri, tekanan arteri pulmonal, dan tekanan
di ventrikel kanan. Hal ini mengakibatkan peningkatan fungsi
simpatis, takikardi, takipneu, dan hipertrofi ventrikel. Shunt etabolic
mengakibatkan penurunan tekanan etabolic aorta dan meningkatkan
risiko iskemia pada miokardium dan organ lain. Pemeriksaan fisik
akan menunjukan gambaran sirkulasi hiperdinamik dengan denyut
nadi yang memanjang dan hiperaktif etabolic . Pemeriksaan
auskultasi memperlihatkan murmur sistolik atau murmus yang
continuous. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan foto
thoraks akan memperlihatkan kardiomegali dan peningkatan aliran
darah pulmonal. EKG menunjukkan pembesaran atrium kiri, strain
ventrikel kiri, dan dapat disertai hipertrofi ventrikel kanan.
Pemeriksaan lain dapat dilakukan dengan menggunakan
ekokardiografi dan kateterisasi jantung hanya dilakukan etabo pasien
dicurigai dengan hipertensi pulmonal9.
3) Tatalaksana
Tatalaksana utama pada pasien PDA meliputi penutupan dari etabo
arteriosus, kecuali pada pasien dengan usia yang lebih tua dan terjadi
hipertensi pulmonal, penutupan ductus arteriosus tidak dapat
meringankan gejala dan risiko mortalitas yang lebih tinggi. Pasien
neonates kurang bulan yang tidak disertai dengan keadaan lain
(enterocolitis, insufisiensi renal) dapat dilakukan penutupan etabo
arteriosus dengan menggunakan beberapa pengobatan seperti
indometasin dan ibuprofen. Sedangkan pada neonates cukup bulan
dengan PDA, tidak etabolic dengan pengobatan tersebut, sehingga

295
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

penutupan dilakukan melalui etaboli pembedahan atau melalui


kateter (video-assisted thoracoscopy)9.
4) Prognosis
Rasio mortalitas pada etaboli yang menjalani etaboli penutupan
melalui pembedahan yaitu sangat rendah, sedangkan pada bayi dan
anak yang lebih tua memiliki rasio mortalitas sebesar 1%9.
5) Komplikasi
Komplikasi akibat pembedahan meliputi perdarahan, chylothorax,
paralisis pita suara. Komplikasi akibat video-assisted thoracoscopy
meliputi disfungsi ekstremitas atas dan gangguan perkembangan
payudara9.

e. Atrial Septal Defect (ASD)


1) Definisi
ASD merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan diskontinuitas
pada septum interatrial yang mengakibatkan tercampurnya darah yang
berasal sirkulasi pulmonal dan sistemik melalui defek tersebut9.
2) Klasifikasi
ASD terbagi menjadi tiga bagian, yaitu9:
• Defek pada ostium secundum (defisiensi septum primum),
merupakan subtype terbanyak dari ASD, yaitu sekitar 80% dari
seluruh kasus ASD
• Defek pada ostium primum (defek etaboli atau transisional kanal
atrioventrikuler (AV))
• Defek pada sinus venosa, sekitar 5 – 10% dari seluruh kasus ASD
3) Diagnosis
Pemeriksaan auskultasi pada pasien ASD akan terdengar bunyi S1
yang meninggi atau normal dengan bunyi split pada S2, hal ini
disebabkan oleh lewatnya aliran darah dari kiri ke kanan melalui defek
di setiap siklus jantung. Jika terdengar murmur etabolic menandakan
peningkatan aliran melalui katup etabolic. Murmur ejeksi juga dapat

296
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

terdengar pada katup pulmonal. Beberapa pemeriksaan yang dapat


dilakukan seperti foto roentgen thorax memperlihatkan peningkatan
vaskuler pulmonal dengan peningkatan aliran hilus paru dan
kardiomegali. Pemeriksaan EKG memperlihatkan right axis deviation
(RAD) dengan bundle branch block (BBB) inkomplit. Diagnosis
dapat ditegakkan melalui pemeriksaan ekokardiografi 2D.
Ekokardiografi dapat memperkirakan derajat shunt intrakardiak,
derajat regurgitasi mitral pada pasien ASD dengan defek pada ostium
primum. Pemeriksaan ekokardiografi dengan menambahkan injeksi
saline dapat memperlihatkan kelainan lain yang mungkin dapat
menyertai, seperti defek sinus venosus. Pemeriksaan lain melalui
kateterisasi jantung biasanya digunakan pada pasien dengan
peningkatan tekanan sistolik di ventrikel kanan atau pada pasien
berusia lebih dari 40 tahun, sehingga mampu memeriksa keadaan lain
seperti penyakit jantung koroner9.
4) Tatalaksana
Secara umum, ASD dapat ditutup etabo anak berusia 4 sampai 5
tahun, karena operasi yang dilakukan secara umum tidak memerluka
tambahan transfuse darah dan memiliki prognosis yang sangat baik.
Namun pada beberapa pasien membutuhkan etaboli segera, terutama
pada pasien dengan gejala. Tindakan yang dilakukan berbeda
bergantung tipe defek dari ASD. Pasien dengan defek pada ostium
sekundum dapat dilakukan penutupan melalui etaboli pembedahan
primer atau melalui suatu patch yang dijahit pada defek. Pasien
dengan defek pada sinus venosa bergantung pada apakah defek
disertai dengan kelainan hubungan vena pulmonal. Jika etabol V.
Pulmonal berhubungan dengan atrium atau pada bagian kaudal V.
Cava Superior yang dimana V. Cava Sup. Dilewati oleh A. Pulmonal
Dex., dapat dilakukan penutupan dengan patch, kemudian melakukan
redireksi agar V. Pulmonal membelakangi patch ke atrium kiri. Jika
etabol V. Pulmonal berhubungan dengan atrium atau pada bagian

297
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

kranial V. Cava Sup. Sampai dengan A. Pulmonal Dex, dapat


dilakukan prosedur Warden9.
5) Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi yaitu setelah etaboli pembedahan
meliputi sindrom postperikardiotomi dan aritmia atrial9.

f. Ventricular Septal Defect (VSD)


1) Definisi
VSD merujuk pada suatu defek lubang yang tersetak antara ventrikel
dan atrium. Vsd merupakan penyakit jantung bawaan yang sering
terjadi, berkisar 20 – 30% dari seluruh kasus penyakit jantung bawaan.
VSD dapat terjadi dalam bentuk defek tunggal atau bersamaan dengan
etabol kompleks lain. Defek VSD dapat bervariasi dari segi ukuran,
berkisar diantara 3 – 4 mm atau bahkan sampai 3 cm9.
2) Klasifikasi
VSD terbagi menjadi 4 berdasarkan defek lokasi di septum ventrikel,
yaitu perimembran (paramembranosa, conoventricular), kanal AV
(inlet), suprakristal (outlet), dan etaboli. VSD perimembran
merupakan tipe terbanyak yaitu sekitar 80% dari seluruh kasus. Defek
kanal AV (inlet) terjadi jika tidak terdapat kanal AV. Defek
suprakristal dihasilkan dari dalam septum korona. VSD tipe etaboli
juga salah satu tipe yang sering terjadi, dan biasanya terletak di
anterior, midventrikuler, posterior, atau apeks9.
3) Diagnosis
VSD berukuran besar mengakibatkan aliran pintas yang
mengakibatkan lewatnya sejumlah aliran darah dari ventrikel kiri ke
ventrikel kanan, dan menyebabkan adanya peningkatan tekanan
ventrikel kanan dan menyebabkan tekanan ventrikel kanan sama
dengan tekanan sistemik. Hal ini mengakibatkan rasio aliran
pulmonal:sistemik (Qp:Qs) berbanding terbalik dengan tahanan
pembuluh pulmonal dan sistemik. Hal ini mengakibatkan peningkatan

298
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

aliran darah pulmonal dan bayi atau pasien dengan VSD menunjukkan
gejala gagal jantug kongestif. Jika tidak segera dilakukan tatalaksana,
maka akan terjadi hipertensi pulmonal dan aliran darah balik dari
kanan ke kiri, dan berakhir menjadi sindroma Eisenmenger. Pasien
dengan sindroma Eisenmenger akan menunjukkan gejala
asimptomatik sampai kejadian sianosis terjadi. Selain itu pasien
dengan VSD rentan untuk terjadi infeksi saluran pernapasan.
Pemeriksaan foto thorax memperlihatkan peningkatan sirkulasi paru
dan kardiomegali, pemeriksaan EKG memperlihatkan hipertrofi
ventrikel kiri atau hipertrofi biventrikel. Diagnosis dapat ditegakkan
melalui pemeriksaan ekokardiografi yang mampu memperlihatkan
derajat shunt serta peningkatan tekanan arteri pulmonal, dan
pemeriksaan melalui kateterisasi jantung yang biasanya dilakukan
pada pasien dengan usia yang lebih besar9.
4) Tatalaksana
Defek VSD dapat tertutup atau menyempit secara spontan dan
penutupan ini dipengaruhi oleh usia, dimana bayi berusia 1 bulan
kesempatan sebesar 80% untuk defek tertutupi secara spontan
dibandingkan dengan anak usia 12 bulan yang hanya memiliki
kesempatan 25%. Hal ini sangat mempengaruhi keputusan
pembedahan, dimana pasien dengan defek kecil tanpa gejala akan
dipantau dalam periode waktu tertentu sebelum pengambilan
keputusan pembedahan. Untuk defek besar dan bergejala, diperlukan
etaboli pembedahan koreksi segera untuk mencegah terjadinya
peningkatan tekanan pulmonal pada usia 1 tahun pertama9.
5) Prognosis
Prognosis pada pasien VSD yang menjalani etaboli pembedahan
sangat baik, dengan rasio mortalitas mendekati 0%. Faktor yang
mempengaruhi angka mortalitas meliputi etabol penyerta lain,
terutama jika defek pada VSD sangat besar9.

299
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

300
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

PENANGANAN BEDAH DALAM KONDISI BENCANA

1. Tatalaksana Awal dalam Keadaan Trauma


Penilaian dan resusitasi pada pasien trauma dimulai dari tempat kejadian,
penilaian ini bertujuan untuk melakukan penatalaksanaan pada pasien yang tepat,
mengirimkan pasien ke rumah sakit yang tepat pada waktu yang tepat. Tim
penolong pertama merupakan tim yang berada di tempat kejadian (polisi,
pemadam kebakaran, dan penolong lain) dan memberikan pertolongan pertama
yang meliputi prosedur basic trauma life support (BTLS) yang kemudian akan
dilanjutkan dengan advanced trauma life support (ATLS) oleh paramedis4.
1.1 Triase
Triase adalah perawatan pasien yang didasarkan pada prioritas pasien (atau
korban selama bencana) yang bersumber pada penyakit atau tingkat cedera,
tingkat keparahan, prognosis dan ketersediaan sumber daya. Tujuan dari triase
adalah untuk mengidentifikasi pasien yang membutuhkan etaboli resusitasi
segera, menetapkan pasien ke area perawatan untuk memprioritaskan dalam
perawatan dan untuk memulai etaboli etabolic atau terapi. Penentuan triase
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dan persediaan etaboli, jika
memungkinkan pasien kritis dapat langsung dipindahkan menuju lokasi trauma
tingkat I atau tingkat II jika jarak lokasi tingkat I lebih dari 30 menit. Penentuan
triase dapat ditentukan melalui algoritme “The decision scheme” yang
dikembangkan oleh American College of Surgeons. Skema ini terdiri dari 4 tahap
untuk tim yang terdapat di emergency medical service (EMS) agar dapat
menentukan apakah pasien dapat dikirim ke lokasi trauma ke tingkat yang lebih
tinggi setelah penilaian tanda vital dan tingkat kesadaran pasien4.
Tabel 1 The Decision Scheme (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan
no.).
Rekomendasi berdasarkan “The Decision Scheme”
Tahap 1: Kriteria Fisiologi
Skor GCS <14
Tekanan Darah Sistolik (TDS) <90 mmHg
RR <10 atau >29 kali per menit (<20 pada bayi berusia <1 tahun)

301
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Tahap 2: Kriteria Anatomi


Luka tembus pada kepala, leher, torso, ekstremitas atas sampai siku dan lutut
Flail chest
Fraktur dua atau lebih dari tulang etabol
Ekstremitas yang hancur
Amputasi pada pergelangan tangan dan kaki
Fraktur pelvis
Fraktur terbuka atau tertutup kepala
Paralisis
Tahap 3: Kriteria berdasarkan mekanisme cedera
Jatuh:
Dewasa: jatuh dari ketinggian >20 kaki (609,6 cm)
Anak usia dibawah 15 tahun: jatuh dari ketinggian >10 kaki (304.8 cm) atau
melebihi 2 – 3 kali dari tinggi anak
Kecelakaan mobil risiko tinggi
Kecelakaan mobil (kecepatan > 20 meter per jam) dengan pejalan kaki,
pesepeda, atau pelari
Kecelakaan sepeda motor
Tahap 4: Kriteria khusus
Usia
Penyakit antikoagulasi dan perdarahan
Luka bakar
Time-sensitive extremity injury
Pasien dengan gagal ginjal tahap akhir yang membutuhkan dialysis
Kehamilan >20 minggu

Penentuan triase saat bencana selain menggunakan skema “the decision”


juga dapat menggunakan model START (simple triage and rapid treatment).
Model START menggunakan etabo kode warna, dimana warna tersebut
diberikan atas dasar urgensi dari keadaan medis yang terjadi pada korban. Model
START memandang semua korban sebagai korban dengan risiko yang sama,
terlepas dari usia, jenis kelamin, profesi dan etabo lain. Sehingga pada model ini
keputusan pemberian warna didasarkan keadaan klinis korban. Klasifikasi warna
pada model START terbagi atas empat warna, yaitu21:
a. Hijau (minor): korban tanpa cedera atau dengan cedera minimal.
Penatalaksanaan pada korban dapat ditunda atau korban tidak
membutuhkan penatalaksanaan lanjutan.

302
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

b. Kuning (delayed): korban dengan cedera derajat sedang atau urgensi.


Penatalaksanaan pada korban dapat ditunda, tetapi harus dipantau
secara ketat.
c. Merah (immediate): korban dengan cedera derajat berat atau keadaan
yang mengancam jiwa. Korban membutuhkan penangan segera.
d. Hitam: pasien meninggal.

Gambar 1 Alur Triage (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no.).

303
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Penentuan triase pada anak berbeda dengan orang dewasa, karena pada
anak yang apnea masih dapat memiliki kemampuan adaptasi jika terjadi
penurunan perfusi ke jaringan, sehingga triase pada anak disebut dengan “the
jump start triage” 21.

Gambar 2 Alur START pada anak (dikutip sesuai dengan aslinya dari
kepustakaan no.).

1.2 Transportasi pada Fase Bencana


Transportasi pada korban trauma ataupun korban bencana ke pelayanan
etabolic merupakan bagian yang penting, dimana pada waktu ini terbagi atas 6
kategori, yaitu (1) waktu diantara kejadian dan pengumuman kegawatdaruratan
dari etabo etabolic, (2) waktu respon dari pelayanan transportasi, (3) waktu
yang dihabiskan ambulans ke tempat kejadian, (4) waktu pemberhentian
sementara dari ambulans di tempat kejadian, (5) waktu transportasi korban
bencana ke rumah sakit/pelayanan etabolic, dan (6) waktu etabo korban sampai
di IGD untuk stabilisasi. Waktu rerata yang dibutuhkan untuk pengantaran korban

304
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

bencana sampai ke rumah sakit atau pelayanan etabolic yaitu berkisar 53 menit
di pedesaan, dan 36 menit di perkotaan 22.
Transportasi pada korban bencana dari tempat kejadian sampai ke rumah
sakit terdekat dipengaruhi dari triase yang telah ditentukan sebelumnya. Hal ini
bertujuan untuk menyelamatkan lebih banyak orang yang lebih membutuhkan
penanganan segera, dimana transportasi dilakukan pada korban dengan kategori
merah dan kuning 21

Gambar 3 EMS (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no.).

1.3 Tim Emergensi di Daerah Bencana


Tim emergensi di daerah bencana terbagi atas 3 tipe, yaitu23:
a. EMT Tipe 1 (Fixed): Perawatan Darurat Rawat Jalan
EMT (emergency medical team) atau FMT (foreign medical team)
merupakan tim bantuan medis yang dikirimkan ke daerah bencana.
EMT diklasifikasikan berdasarkan tingkat perawatan, kapasitas dan
kemampuannya. EMT tipe 1 harus tiba secepat mungkin, idealnya
dalam 24-48 jam dengan perlengkapan yang lebih ringan dan etaboli.
Staf tim harus berpengalaman dalam merawat trauma awal yang
berhubungan dengan triase pada skala besar, manajemen luka dan
fraktur dasar, perawatan darurat dasar pada anak, kebidanan dan

305
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

etabolic mental. EMT tipe 1 harus stand by setidaknya 1-2 minggu


atau bahkan lebih lama untuk perawatan luka dan rehabilitasi jangka
etabol. EMT tipe 1 harus mampu mengobati setidaknya 100 pasien
rawat jalan per hari dan bekerja pada siang hari (pelayanan 8 jam
perhari). Dimana layanan utama yang diberikan meliputi:
1) Triase, penilaian korban, dan pertolongan pertama
2) Stabilisasi dan rujukan untuk keadaan trauma berat dan keadaan
darurat non-trauma
3) Perawatan untuk trauma minor dan keadaan darurat non-trauma
b. EMT Tipe 2: Perawatan Darurat Bedah Untuk Rawat Inap
EMT tipe 2 harus dapat melakukan setidaknya 7 operasi besar atau 15
operasi kecil setiap hari dengan setidaknya 20 tempat tidur rawat inap
per satu meja operasi dan dapat beroperasi 24 jam per hari, tujuh hari
per minggu jika diperlukan. Layanan utama yang diberikan meliputi:
1) Penyaringan pasien baru, pasien rujukan dirujuk dan rujukan balik
2) Triase dan penilaian bedah
3) Advanced life support
4) Manajemen luka dan fraktur dasar
5) Damage control surgery
6) Operasi darurat bedah umum dan kebidanan
7) Perawatan rawat inap untuk keadaan darurat non-trauma
8) Anestesi dasar, rontgen, sterilisasi, laboratorium dan etabolic
darah
9) Layanan rehabilitasi dan tindak lanjut pasien
c. EMT Tipe 3: Rujukan Rawat Inap, Pelayanan Sub Spesialis
EMT tipe 3 menyediakan perawatan bedah rawat inap yang kompleks
termasuk unit perawatan intensif (ICU). Selain layanan tipe 2, EMT
tipe 3 juga menyediakan layanan luka rekonstruktif kompleks dan
perawatan ortopedi, anestesi anak dan dewasa yang lebih kompleks,
perawatan intensif dengan pemantauan dan ventilasi 24 jam, layanan
radiologi, etabolic darah, laboratorium, dan rehabilitasi lanjutan.

306
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Fasilitas EMT tipe 3 harus tersedia siang dan malam serta memiliki
setidaknya 2 ruang operasi, 40 tempat tidur rawat inap, dan 4-6 tempat
tidur ICU. Tim operasi harus dapat melakukan minimal 15 operasi
besar atau 30 operasi kecil per hari. Karena peran mereka dalam
menerima rujukan dan mengelola kasus-kasus kompleks, layanan ini
harus tersedia selama minimal 2 bulan.

1.4 Waktu Respon Bencana


Kebutuhan untuk dilakukan operasi trauma darurat paling banyak dalam
48 jam pasca bencana. Dalam periode ini merupakan waktu untuk menyelamatkan
anggota tubuh yang cedera akibat bencana. Selama hari ke-3 hingga ke-5,
kebutuhan untuk perawatan medis lanjutan, seperti pengobatan komplikasi trauma
dan infeksi luka akan meningkat4.

1.5 Deklarasi Kematian


Penentuan kematian pada lokasi kejadian sebelum sampai di rumah sakit,
ditentukan melalui irama jantung. Jika ditemukan rasio jantung <40 kali per
menit, maka hal tersebut dapat disebeut sebagai situasi yang tidak dapat ditolong.
Beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk deklarasi kematian yaitu4:
1) Luka tembus: setelah dilakukan RJP selama >15 menit tidak terdapat
tanda kehidupan, pada ekg menunjukkan gambaran asistol tanpa
tamponade jantung
2) luka tumpul: setelah dilakukan RJP selama >10 menit tidak terdapat
tanda kehidupan, pada ekg menunjukkan gambaran asistol

1.6 Primary Survey dan Resusitasi


Tujuan penilaian awal yaitu untuk memberikan bantuan pernapasan secara
adekuat ke organ vital melalui prosedur ABC (airway, breathing, circulation).
Pasien tidak stabil terbagi atas dua kategori, yaitu pasien yang langsung merespon
terhadap intervensi awal yang telah diberikan, dan pasien yang tidak berespon
terhadap intervensi yang diberikan. Primary survey meliputi:4

307
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

a. Airway dan breathing


Semua pasien dengan trauma benda tumpul harus diasumsikan bahwa
pasien tersebut disertai dengan fraktur servikal yang tidak stabil,
sehingga prosedur yang memerlukan etaboli hiperekstensi pada leher
harus dihindari. Obstruksi jalan napas dan hipoventilasi merupakan
penyebab tersering gagal napas, sehingga diperlukan keputusan yang
tepat apakah intervensi yang aktif dari pernapasan diperlukan oleh
pasien. Manuver pertama yang dilakukan yaitu mengeluarkan debris
dari saluran napas dan suction pada etabo yang ada di jalan napas.
Pasien dengan kesadaran yang menurun, setelah manuver tersebut
dilakukan, dapat dilanjutkan dengan menaikkan angulus mandibula
untuk mengurangi obstruksi pada faring dan meletakkan
oropharyngeal dan nasopharyngeal tube sehingga kemampuan untuk
mengalirkan oksigen dapat dipertahankan. Pemberian oksigen dapat
diberikan melalui nasal kanul (6 L/menit) atau melalui non breathing
mask (12 L/menit). Proteksi dari tulang belakang servikal merupakan
salah satu hal yang penting namun tidak membuat intervensi lain
terhambat. Mayoritas servikal pada orang dewasa di IGD terletak di
C5 – C7, sedangkan pada anak usia 8 tahun atau usia yang lebih
muda, cedera terletak di occipital dan C3. Ventilasi dengan bag mask
merupakan prosedur yang efektif tetapi memerlukan kemampuan tim
yang terlatih, karena risiko masuknya udara sampai ke lambung, dan
biasanya tidak efektif pada pasien trauma maxillofacial. Pemberian
napas bantuan dipengaruhi oleh beberapa factor, misalnya (1) apakah
terdapat trauma maxillofacial, (2) kondisi umum pasien, dan (3)
pengalaman tenaga medis. Secara keseluruhan, standar rekomendasi
untuk pemberian napas buatan yaitu dengan menggunakan rapid
sequence intubation (RSI) melalui trakea secara oral. Pasien yang
terintubasi harus dimonitoring FiO2 dan SaO2 melalui pulse oximetry.
Penurunan SaO2 dapat dinilai dengan peningkatan FiO2, dan jika
terjadi peningkatan FiO2 mencapai 100% dan pasien tidak berespon

308
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

terhadap intubasi yang diberikan, maka dapat dilakukan pemberian


positive end expiratory pressure (PEEP) tingkat rendah setelah status
volume adekuat4.

b. Circulation
Setelah ventilasi dari alveolus adekuat, prioritas selanjutnya yaiu
untuk mengoptimalkan pengiriman oksigen ke organ vital dengan
memaksimalkan kerja kardiovaskular. Penggunaan jumlah, lokasi, dan
tempat dari jalur IV bergantung derajat syok dan derajat cedera yang
terjadi pada pasien. Ketika jalur akses etaboli di perifer terhambat,
maka jalur IV dapat dimasukkan melalui pembuluh darah femoral atau
subclavicula dengan menggunakan etabo Seldinger. Infus
intraosseous dapat dilakukan melalui kavitas medulla pada tulang
etabol yang tidak cedera, merupakan etaboli yang aman dan tepat
terutama pada bayi dan anak dibawah usia 6 tahun. Jika akses tersebut
juga tidak dapat dilakukan, maka pemaangan jalur IV dapat dilakukan
melalui V. sapena magna. Pada saat pemasangan jalur IV,
pengambilan sampel darah dapat dilakukan untuk pemeriksaan
hematokrit, leukosit, konsentrasi elektrolit, golongan darah, profil
koagulasi, dan screening toksikologi.
Kristaloid etaboli merupakan cairan resusitasi pertama yang
diberikan di IGD. Ringer laktat dapat diberikan pada pasien, kecuali
pada pasien dengan trauma otak. Jika pasien tida berespon terhadap
pemberian kristaloid 30 ml/kgBB, maka dapat dilakukan etabolic
darah. Darah dan cairan ringer laktat tidak boleh diberikan pada jalur
IV yang sama. Transfuse darah lebih awal dapat diindikasikan pada
semua pasien dengan syok berat atau dengan perdarahan yang
signifikan (contoh: fraktur pelvis atau fraktur femur bilateral),
terutama pada pasien usia lanjut. Transfusi darah dengan jenis
golongan darah yang sama harus tersedia dalam waktu 20 menit, jika

309
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

tidak tersedia, maka dapat diberikan packed red blood cells (PRBC)
dengan golongan O-, dapat diberikan, karena golongan darah O- tidak
memiliki antigen seluler sehingga menimalisir reaksi hemolitik dari
reaksi etaboli-antigen. Jika golongan darah O- juga tidak tersedia,
maka dapat dilakukan etabolic darah golongan O+, namun pasien
dapat mengalami reaksi hemolitik. Protokol untuk etabolic etabo
( etabolic >10 kantung PRBC) harus tersedia pada bank darah untuk
memastikan ketersediaan produk darah sebelum pasien dengan
perdarahan yang mengancam jiwa tiba. Pemberian etabolic etabo
yang terlalu awal mengakibatkan asidosi, hipotermi, dan hipokalemia.
Hipotermia derajat sedang (<32°C) mengakibatkan sekuens platelet
dan menghambat pelepasan etabo platelet yang penting dalam
kaskade jalur pembekuan etabolic, dan prognosis yang lebih buruk.
Langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah hipotermi meliputi
menutup tubuh (termasuk kepala), mengupayakan darah dan cairan
resusitasi yang diberikan dalam suhu yang hangat, meningkatkan suhu
ruangan dan menggunakan selimut pemanas dapat dilakukan. Asidosis
pada pasien trauma terjadi akibat peningkatan asam laktat akibat
hipoksia jaringan. Asidosis derajat sedang (Ph <7.2) menyebabkan
gangguan koagulasi, kontraktilitas miokardium, dan metabolism
oksidatif. Penggunaan sodium bikarbonat dalam penatalaksanaan
pasien dengan asidosis sistemik bersifat kontorversial, karena
mengakibatkan perubahan kurva ke kiri dan disosiasi oksihemoglobin,
menurunkan ekstraksi oksigen jaringan, dan memperburuk asidosis
intraseluler yang disebabkan produksi karbon dioksida, sehingga
sodium bikarbonat biasanya diberikan hanya pada pasien dengan syok
yang berlanjut terus-menerus. Hipokalsemia disebabkan oleh sitrat
yang berikatan dengan kalsium yang terionisasi, hal ini
mengakibatkan penurunan fungsi miokardium sebelum terjadinya
gangguan koagulasi. Kalsium glukonat harus dipersiapkan terutama
jika EKG pasien telah memperlihatkan pemanjangan interval QT, atau

310
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

hipotensi dengan penyebab yang tidak diketahui pada saat transfuse


etabo dilakukan4.

1.7 Evaluasi dan Resusitasi Lanjutan


a. Identifikasi ketidakstabilan hemodinamik
Identifikasi kejadian syok dan derajat syok merupakan etabo utama
yang mempengaruhi setiap pengambilan keputusan penatalaksanaan.
Pada awal waktu ABC, palpasi nadi dapat memperkirakan tekanan
darah sistolik (TDS), dimana jika nadi A. radialis teraba, maka TDS
berkisar lebih dari 80 mmHg. Jika nadi A. femoralis yang teraba,
maka TDS berkisar >70 mmHg, dan jika denyut dari A. Carotid yang
teraba, maka TDS berkisar >60 mmHg. Penilaian tekanan darah dapat
dilakukan secara manual ataupun menggunakan alat otomatis. Jika
TDS dibawah 90 mmHg (atau TD normal sesuai usia dibawah 30
mmHg) dan disertai dengan peningkatan denyut nadi >130 kali/menit,
dapat mengindikasikan telah terjadi syok berat. Penilaian central
venous pressure (CVP) membantu menentukan apakah pasien disertai
dengan etabolic a berat. Sehingga dapat disimpulkan, resusitasi dapat
dihentikan jika memenuhi kriteria meliputi meliputi: (1) TDS >90
mmHg, (2) nadi <120 kali/menit, (3) konsetrasi Hb ≥10 g/Dl, dan (4)
CVP ≥10 cm H2O4.
b. Tatalaksana pada pasien yang tidak bersepon dan tidak stabil setelah
resusitasi
Syok yang tetap berlanjut walaupun telah dilakukan resusitasi cairan
dapat disebabkan oleh etabolic a berat, penyebab kardiogenik,
ataupun penyebab etabolic . Syok kardiogenik harus dapat dibedakan
secara klinis dengan syok hipovolemik karena dapat menunjukkan
gejala yang sama. Perbedaan dapat dilihat pada CVP, dimana pada
syok hipovolemik, CVP biasanya <5 mmHg, sedangkan pada syok
kardiogenik, CVP >20 mmHg4.
c. Secondary survey dengan diagnosis etabolic dan keputusan triase

311
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Prioritas penanganan lanjutan bergantung dari derajat syok, respon


awal pasien terhadap resusitasi yang telah diberikan, dan mekanisme
cedera menjadi pertimbangan bagi tenaga medis. Cedera etab terjadi
pada pasien dengan luka tusuk/tembus, berbeda dengan trauma benda
tumbul yang menghasilkan cedera multiple pada beberapa regio
tubuh. Sehingga pasien dengan trauma benda tumpul lebih
mendapatkan prioritas untuk segera dilakukan tatalaksana4.
Tabel 2 Skoring Instabilitas Hemodinamik (dikutip sesuai dengan aslinya dari
kepustakaan no.).
Skoring Instabilitas Hemodinamik
Stadium 0: hipotensi yang tidak signifikan (TDS <90 mmHg) atau takikardi
(>130 kali/menit)
Stadium 1: hipotensi atau takikardi tetapi tidak masuk ke unit IGD
Stadium 2: hipotensi atau takikardi yang berespon terhadap pemberian
resusitasi volume awal dan tidak membutuhkan cairan atau
etabolic lanjutan
Stadium 3: hipotensi atau takikardi yang berespon terhadap pemberian
resusitasi volume awal dengan cairan lanjutan yang diberikan (<250
ml/jam) atau membutuhkan transfusi
Stadium 4: hipotensi atau takikardi yang hanya berespon terhadap pemberian
cairan >2 liter dan membutuhkan infus cairan lanjutan (>250
ml/jam) dan/atau transfuse PRBC
Stadium 5: hipotensi yang tidak berespon terhadap cairan dan transfuse PRBC

Trauma Tembus
1) Penilaian sistemik: prioritas utama yaitu untuk mengidentidikasi
semua luka, memutuskan apakah pasien tersebut membutuhkan
operasi segera, menentukan apakah diperlukan pemeriksaan tambahan
untuk tatalaksana etabolic ar e. Tatalaksana yang diberikan yaitu
tidak berfokus untuk melakukan resusitasi sampai tanda vital normal,
tetaoi menjamin akses IV adekuat, produk darah tersedia, dan
menyiapkan tim di ruang operasi siap4.
2) Leher: pasien dengan luka tembus yang mengancam jiwa di daerah
leher atau pasien dengan syok berat harus segera dikirim ke ruang
operasi. Tatalakasana di IGD terbatas hanya pada etabol pernapasan,

312
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

kompresi untuk perdarahan luar, jalur IV, dan foto x-ray thoraks.
Pemeriksaan neurologi harus dilakukan dan dokumentasikan untuk
menilai apakah terdapat cedera pada medulla spinal dan a. Carotis.
Pasien dengan hemodinamik sabil tanpa ada cedera yang terlihat,
maka tatalaksana yang diberikan yaitu selektif4.
3) Thoraks: pada pasien hemithorax yang tidak stabil dengan cedera
thoraks, maka chest tube perlu dipasang dan kemudian pemeriksaan
foto thorax. Jika terdapat luka pada jantung, maka diperlukan
pemeriksaan ultrasonografi (USG). Jika pada pemeriksaan USG
ditemukan adanya hemopericardium dan takikardi yang persisten,
maka diperlukan perikardiosintesis untuk meringankan iskemia
subendokardiak yang terjadi, bahkan jika TDS normal. Thoracotomi
urgensi hanya diindikasikan pada pasien (1) hematothoraks, (2)
pemasangan chest tube menunjukkan keluarnya cairan >20ml/kg, (3)
keluaran cairan yang persisten >3 ml/kg/jam untuk 3 jam berturut-
turut, (4) keluaran cairan dalam waktu 12 jam >30 ml/kg. Pasien
dengan cedera pada bagian thoraks di bawah putting anterior atau di
ujung etabol posterior, juga dapat menembus diafragma dan
mengakibatkan cedera indra abdomen atau cedera retroperitoneal. Jika
pasien tidak stabil maka diindikasikan untuk melakukan thorakostomi,
foto thoraks, dan USG abdomen. Jika pasien tetap tidak stabil setelah
dilakukan thorakostomi, maka pasien dapat dikirim ke ruang operasi,
namun jika stabil, pemeriksaan tambahan akan dilakukan untuk
menilai apakah terdapat cedera lain4.
4) Ekstremitas: jika pasien tidak stabil dan luka tembus terbatas pada
satu bagian, maka dapat dilakukan kompresi eksternal untuk
mengontrol perdarahan, akses IV, dan penentuan triase apakah pasien
diperlukan untuk dikirim ke ruang operasi untuk tatalaksana
etabolic . Pada pasien yang stabil, tatalaksana meliputi pencarian
tanda-tanda cedera arteri (contoh: hematoma yang meluas atau
pulsatil, denyut arteri di distal tidak teraba, atau tanda iskemia distal).

313
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Jika terdapat tanda iskemia pada bagian distal, pasien harus dibawa ke
ruang operasi, dimana angiografi dilakukan di tempat yang cedera4.

Trauma Benda Tumpul


1) Penilaian sistemik: tujuannya yaitu untuk mengidentifikasi semua
cedera yang membahayakan jiwa dan cedera terkait ekstremitas, dan
mengidentifikasi apakah terdapat cedera lain, seperti trauma pada
otak, abdomen, dan trauma lain4.

2. Trauma pada Sistem Saraf Pusat


2.1 Trauma Kepala
2.1.1 Tatalaksana di IGD
Hipoksia dan hipotensi merupakan komplikasi terburuk yang terjadi
setelah trauma pada otak terjadi. Desaturasi oksigen yang berat (<60%) selama
transportasi pasien ke rumah sakit memiliki hubungan dengan peningkatan
mortalitas sebesar 3,5 kali, dan jika disertai dengan episode hipotensi meningakt
risiko mortalitas 2 kali lebih besar. Pasien dengan cedera spinal diatas T5 berisiko
untuk mengalami hipotensi yang berat karena efek syok etabolic spinal dan harus
segera dilakukan resusitasi cairan dan pemberian etabolic a adrenergik4.
Kerja sama tim harus mampu untuk menyediakan dan memastikan
pemberian bantuan napas yang adekuat, pemberian oksigenasi dan ventilasi, dan
memastikan stabilitas hemodinamik. Pemeriksaan ABC dan pemeriksaan
neurologi harus dapat dilakukan dalam beberapa detik setelah pasien sampai.
Pemeriksaan neurologi awal yaitu menilai level kesadaran dengan Glasgow coma
scale (GCS) dan menilai diameter dan reaksi pupil terhadap cahaya4.
Tabel 3 GCS (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no.).
Glasgow Coma Scale
Tes Respon Skor
Mata (Eye) Terbuka spontan 4
Terbuka atas perintah verbal 3
Terbuka akibat rangsangan nyeri 2
Tidak ada 1
Motorik Dapat mengikuti perintah verbal 6

314
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Melokalisasi nyeri 5
Menjauhi nyeri 4
Fleksi abnormal terhadap rangsangan nyeri (dekortikasi) 3
Ektensi terhadap rangsangan nyeri (deserebrasi) 2
Tidak ada 1
Verbal Orientasi 5
Disorientasi 4
Kata tidak beraturan 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada 1
Terintubasi T (1)
Skor total (E+M+V) 3-15

Intubasi orotrakeal dan ventilasi lebih dini dapat dilakukan pada pasien
dengan skor GCS 8 atau skor etabol dibawah sama dengan 4. Indikasi intubasi
lain meliputi hilangnya refleks protektif dari laring dan insufisiensi ventilasi yang
dapat terlihat adanya gejala berupa hipoksemua (PaO 2 <60 mmHg), hiperkarbia
(karbon dioksida di pembuluh arteri PaCO2 >45 mmHg), dan aritmia respirasi.
Pada pasien pada lokasi kejadian trauma dan belum mencapai rumah sakit,
intubasi ventilasi dilakukan pada pasien dengan penurunan kesadara, fraktur
mandibula bilateral, perdarahan dengan jumlah yang banyak di dalam mulut (yang
mengindikasikan fraktur pada basis kranii), dan kejang4.
Pemberian cairan resusitasi dapat dilakukan dengan menggunakan larutan
etaboli seperti normal saline dan PRBC Ketika dibutuhkan. Dimana cairan ringer
laktat harus dihindari pada pasien dengan trauma otak, karena meningkatkan
tekanan etabolic ar (TIK) dan menurunkan komplians etabolic ar. Larutan
hipertonik dapat diberikan pada pasien trauma otak karena meningkatkan
komplians etabolic ar dan menurunkan TIK. Cairan yang mengandung glukosa
juga sebaiknya dihindari pada pasien dewasa dengan trauma otak. Peningkatan
kadar glukosa dalam waktu 24 jam pertama setelah cedera otak dan intervensi
pembedahan biasanya dihubungkan dengan keluaran neurologi yang buruk.
Pemberian cairan etabolic ar, seperti mannitol juga efektif untuk menurunkan
TIK, dan meningkatkan aliran darah otak (cerebral blood flow (CBF))4.
Setelah hemodinamik stabil, semua pasien dengan gangguan kesadaran,
dapat dilakukan pemeriksaan CT-Scan kepala. Terdapat beberapa indikasi

315
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

pemeriksaan CT-Scan kepala non kontras pada pasien dengan penurunan


kesadaran, yaitu4:
Tabel 4 Indikasi CT Scan (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no.).
Indikasi CT-Scan
Tanda dan Gejala
Sakit kepala
Somnolen
Perubahan status mental
Mual atau muntah
Kejang
Defisit neurologi
Penglihatan kabur atau ganda
Hemotimpani, racoon eyes, kebocoran CSF, battle
sign
Riwayat klinis
Mekanisme cedera otak yang berbahaya
Intoksikasi obat atau alcohol
Usia >60 tahun

Tindakan pembedahan dapat diindikasikan pada pasien dengan hematoma


ekstra-aksial (subdural dan epidural hematoma) yang mengakibatkan pergeseran
sebesar 5 mm dari linea mediana. Evakuasi melalui Tindakan pembedahan dari
epidural dan subdural hematoma dapat menurunkan TIK dan meningkatan
tekanan perfusi serebral, dan mengoptimalkan aliran darah ke otak. Jika
perdarahan terjadi pada fossa posterior, Tindakan evakuasi urgensi melalui
etaboli pembedahan diperlukan karena risiko terjadi hidrosefalus obstruktif dan
kompresi batang otak mengakibatkan penurunan fungsi neurologi dalam waktu
yang cepat4.

316
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Gambar 4 Algoritma Penatalaksanaan Trauma Kepala (dikutip sesuai dengan


aslinya dari kepustakaan no.).

2.1.2 Tatalaksana di ICU


Setelah pasien dilakukan resusitasi, evaluasi, dan penanganan keadaan
yang mengancam (evakuasi hematoma), pasien harus segera di rawat di ICU
untuk penangan neurologi yang lebih lanjut. Fokus penanganan di ICU yaitu
untuk mencegah komplikasi sekunder yang terjadi sebagai akibat dari cedera otak,
mengoptimalkan oksigenisasi ke otak yang optimal, mengontrol kebutuhan
etabolic serebral sehingga mencegah kejadian demam dan kejang yang
mengakibatkan penurunan kesadaran4.

317
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

a. Monitoring TIK
Dilakukan pada semua pasien trauma otak dengan GCS ≤8 setelah
dilakukan resusitasi, pasien dengan hasil pemeriksaan CT-Scan kepala
yang abnormal. Jika pasien memiliki hasil CT-Scan normal namun
disertai dengan nilai GCS yang rendah, pemantauan TIK tetap
dilakukan terutama pada pasien dengan kriteria: usia diata 40 tahun,
postur abnormal (dekortikasi dan deserebrasi), atau hipotensi (<90
mmHg). Panduan saat ini menganjurkan untuk TIK harus
dipertahankan <20 mmHg pada pasien dengan trauma otak berat.
b. Monitoring oksigenisasi jaringan otak
Untuk memonitoring oksigenisasi jaringan otak dapat dinilai melalui
tekanan oksigen dari jaringan etab otak (PbtO2). PbtO2 memiliki
sentivitas yang besar untuk mendekteksi perubahan dari oksigenisasi
arterial (PaO2) dan aliran darah otak. Nilai normal untuk PbtO2 yaitu di
antara 25 – 30 mmHg. Pasien yang memiliki keluaran neurologi yang
buruk, biasanya ditandai dengan penurunan PbtO2. Jika nilai PbtO2
kurang dari 8 – 10 mmHg, risiko mortalitas dan risiko untuk
mengalami iskemia meningkat, sedangkan pada pasien dengan PbtO2
<7 mmHg berhubungan dengan risiko kematian4.
c. Monitoring oximeter dari jugular bulb (SJVO2)
d. Tatalaksana tekanan perfusi serebral (CPP, cerebral perfusion
pressure)
Perhitungan CPP dapat diketahui dengan rumus pengurangan antara
tekanan arteri rerata (MAP, mean arterial pressure) dan TIK (CPP =
MIP – TIK). Saat ini, rekomendasi nilai CPP saat ini yaitu diatas 70
mmHg, dan beberapa merekomendasikan nilai CPP dipertahan >50
mmHg. Tatalaksana CPP dapat dilakukan dengan menurunkan TIK
dan memfasilitasi MAP melalui mempertahankan status cairan di
central venous pressure (CVP) berkisar diantara 8 – 10 mmHg. Jika
hal tersebut tidak dapat mempertahankan nilai CPP secara adekuat,
maka dapat diberikan infus golongan alfa-adrenergik, fenilefrin4.

318
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

e. Tatalaksana TIK
Tatalaksana dapat dimulai jika ditemukan TIK mencapai 20 mmHg.
Tatalaksana profilaksi meliputi pengaturan posisi kepala pasien,
dimana posisi kepala dinaikkan sekitar 0 – 30° dapat menurunkan TIK
tanpa merubah CPP dan CBF, serta rasio etabolic oksigen serebral.
Sedangkan pada pasien dengan trauma otak berat, posisi kepala
dipertahankan pada posisi 30 – 45 derajat4.
f. Pengaturan suhu
Hipertermia setelah trauma otak terjadi akibat peningkatan TIK dan
penurunan CPP, dan berhubungan dengan keluaran yang lebih buruk.
Sehingga pada pasien dengan trauma otak direkomendasikan untuk
menurunkan suhu tubuh, dan pada pasien dengan trauma yang berat,
suhu tubuh dipertahakan dalam keadaan normal (eutermia) 4.
g. Profilaksis kejang
h. Kesemibangan elektrolit
i. Pemberian cairan intravena maintenance.
j. Terapi cairan hyperosmolar

319
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

DAFTAR PUSTAKA

1. Bickley, L. S., Szilagyi, P. G. & Hoffman, R. M. Bates’ Guide To Physical


Examination and History Taking. (Wolters Kluwer, 2017).
2. Engida, A., Ayelign, T., Mahteme, B., Aida, T. & Abreham, B. Types and
Indications of Colostomy and Determinants of Outcomes of Patients After
Surgery. Ethiop. J. Health Sci. 26, 117–120 (2016).
3. Massenga, A. et al. Indications for and Complications of Intestinal Stomas
in the Children and Adults at a Tertiary Care Hospital in a Resource-
Limited Setting: a Tanzanian experience. BMC Gastroenterol. 19, 157
(2019).
4. Ashley, S. W. ACS Surgery. (Decker Publishing Inc., 2014).
5. Brunicardi, F. C. Principles Of Surgery. McGraw-Hill Education (Mc Graw
Hill, 2019). doi:10.1017/cbo9781139226394.078
6. Clavien, P. & Baillie, J. Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts:
Diagnosis and Treatment. (Blackwell Publishing, 2006).
7. Steele, S. R. et al. The ASCRS Textbook of Colon and Rectal Surgery.
(Springer, 2016). doi:10.1007/978-3-319-25970-3 Library
8. Clark, S. Colorectal Surgery: A Companion to Specialist Surgical Practice.
(Elsevier, 2019).
9. Brunicardi, F. C. et al. Schwartz’s Principles of Surgery. (McGraw Hill,
2015). doi:10.1017/cbo9781139226394.078
10. Purnomo, B. B. Dasar-dasar Urologi. 11, (CV Sagung Seto, 2014).
11. Partin, A. W., Dmochowski, R. R., Kavoussi, L. R. & Peters, C. A.
Campbell-Walsh-Wein Urology. (Elsevier, 2020).
12. Kerr, D. J., Haller, D. G., Van de Velde, C. J. H. & Baumann, M. Oxford
Textbook of Oncology. (OXFORD UNIVERSITY PRESS, 2016).
13. Dixon, J. M. ABC of Breast Diseases. (Wiley & Sons Ltd, 2012).
14. Feig, B. W. & Ching, C. D. The MD Anderson Surgical Oncology
Handbook. (Wolters Kluwer Health, 2018).
15. Lam, A. K. Pathology of Endocrine Tumors Update: World Health

320
Modul Ilmu Bedah FK Unimal

Organization New Classification 2017—Other Thyroid Tumors. AJSP Rev.


Reports 22, (2017).
16. Chung, K. C. Grabb and Smith’s Plastic Surgery. 3, (Lippincott Williams &
Wilkins, 2020).
17. Greenberg, M. S. Handbook of Neurosurgery. (Thieme Medical Publishers,
2016).
18. Solomon, L., Warwick, D. & Nayagam, S. Apley and Solomon’s System of
Orthopaedics and Trauma. (Taylor & Francis, 2018).
19. Mahyudin, F. et al. Pendekatan Sistematis Diagnosis, Terapi, dan Follow-
up Tumor Muskuloskeletal (Multidisciplinary Approach). (Sagung Seto,
2018).
20. Sidawy, A. N. Rutherford ’ s Vascular Surgery and Endovascular Therapy.
(Elsevier, 2018).
21. Ugarte, C., Tieffenberg, J., JR, B. & Wathen, J. Planning and Triage in the
Disaster Scenario. (2011).
22. Gogu, M.-C. Developing Emergency Medical Transportation Services for a
Turbulent Future. Glob. J. Sociol. Curr. Issues 8, 13–21 (2018).
23. Norton, I., von Schreeb, J., Aitken, P., Herard, P. & Lajolo, C.
Classification and Minimum Standards for Foreign Medical Teams in
Sudden Onset Disasters. World Heal. Organ. 103 (2013).

321

Anda mungkin juga menyukai