Terapi Magnet Kelompok 7
Terapi Magnet Kelompok 7
Terapi Magnet Kelompok 7
Disusun Oleh :
Kelompok 7
3. Linda ( 01.19.0092 )
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan analisis jurnal yang berjudul analisis pengaruh pemberian
terapi Terapi Maghnet Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation Terhadap Nyeri dan Kinerja
Fisik Pada Penderita Osteoartritis Lutut
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas dosen pada mata kuliah keperawatan komplementer . Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang terapi obat herbal rebusan daun seledri bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah keperawatan komplementer
yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karna
itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Kelompok 7
DAFTAR ISI
JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
BAB IV PENUTUP
Kesimpulan
Saran
Daftar Pustaka
BAB 1
PENDAHULUAN
Terapi magnetik yang ada di khalayak luas telah lama menjadi salah satu pilihan
pengobatan di kalangan masyarakat. Di berbagai tempat pelayanan kesehatan tidak sedikit klien
memimilih tentang terapi magnetik pada petugas kesehatan seperti dokter ataupun perawat.
Masyarakat mengajak dialog perawat untuk penggunaan terapi magnet. Hal ini terjadi
karenaklien ingin mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan pilihannya, sehinggaapabila
keinginan terpenuhi akan berdampak ada kepuasan klien. Hal ini dapatmenjadi peluang bagi
perawat untuk berperan memberikan terapi komplementer, utamanya terapi magnetik.
Pada analisis jurnal ini di focuskan kepada penderita Osteoartritis (OA) yang merupakan
penyakit degeneratif sendi yang bersifat kronis dan menyebabkan disabilitas yang memengaruhi
kualitas hidup penderita. Tatalaksana OA lutut terdiri dari farmakologi dan non-farmakologi
dengan bermacam-macam pilihan terapi. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh
Transcutaneous Electrical Nerves Stimulation (TENS) dengan dan tanpa terapi latihan terhadap
nyeri dan kinerja fisik pada penderita OA lutut (Jiemesha Inge, Dkk)
Penyebab OA belum diketahui secara pasti, tetapi usia, jenis kelamin, ras, riwayat
keluarga yang menderita osteoartritis, obesitas, riwayat cedera dan aktifitas fisik yang
berlebihan merupakan faktor resiko terjadinya osteoartritis (Sambrook et. al, 2017). Indonesia
termasuk Negara berstruktur tua dimana hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk lansia pada
tahun 2008, 2009 dan 2012 telah mencapai diatas 7% dari keseluruhan penduduk secara global
diprediksi populasi lansia di Indonesia akan terus mengalami peningkatan. Meskipun bukan
suatu penyakit, namun bersamaan dengan proses penuaan dan tingginya usia harapan hidup
maka akan meningkatkan jumlah angka kesakitan akibat penyakit degeneratif dan disabilitas
yang diakibatkan (Badan Pusat Statistika (BPS).
Gejala dan tanda Osteoarthritis adalah nyeri sendi, hambatan gerak sendi, kaku pagi,
krepitasi, deformitas, pembengkakan sendi yang asimetris, tanda-tanda peradangan, perubahan
gaya berjalan (Dolenio, 2014). Rasa nyeri merupakan rasa yang sering dikeluhkan oleh pasien
osteoartritis kepada dokter pada awal mula datang ke pelayanan kesehatan atau Rumah Sakit.
Rasa nyeri merupakan kunci penting yang menunjukkan arah pasien tersebut sedang mengalami
ketidakmampuan. International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri
sebagai pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan
jaringan yang aktual dan potensial (Melzack, 2017). Nyeri yang dirasakan pada penderita
osteoartritis termasuk nyeri neuromuskuloskeletal non-neurogenik, biasanya sering disebut
sebagai altralgia yaitu nyeri akibat proses patologik pada persendian. Proses terjadinya nyeri
pada persendian bisa disebabkan karena inflamasi, imunologik, non-infeksi, perdarahan dan
proses maligna (Mardjono dan Sidharta, 2010). Derajat nyeri merupakan keluhan yang bersifat
subyektif, orang yang satu dengan orang yang lainnya mendeskripsikan derajat nyeri berbeda.
Derajat nyeri diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu derajat nyeri ringan, sedang, dan berat.
Pengukuran derajat nyeri menggunakan Visual 3 Analog Scale (VAS), atau Numeric Rating
Scale (NRS), dimana dalam instrumen tersebut terdapat skala 0-10 (skala 0 menunjukkan tidak
nyeri sedangkan 10 menunjukkan skala nyeri terberat) (Cole, 2018).
Keluhan lain pada OA lutut ialah gangguan aktivitas kehidupan sehari-hari yang
mempengaruhi kinerja fisik. Menurut (OARSI) , penilaian kinerja fisik terbagi menjadi dua yaitu
recommended set dan minimum core set. Pada penelitian ini diambil masing-masing 1 jenis
indikator pengujian tersebut yakni SCT dan TUG. Tujuan SCT ialah untuk melihat kecepatan
naik dan turun tangga berkaitan dengan gangguan aktivitas kehidupan sehari-hari yang sering
dikeluhkan sedangkan TUG bertujuan untuk mengetahui kemampuan ambulasi transisi yakni
dari duduk ke berdiri, berbalik arah, dan duduk kembali.
Oleh karena itu, maka kami tertarik untuk melakukan analisis beberapa jurnal
mengenai penerapan terapi Maghnet TENS pada pasien dengan Osteoathritis Lutut.
“ Bagaimana Gambaran Hasil Penerapan Terapi Maghnet TENS pada pasien dengan
Osteoathritis lutut “
Osteoathritis lutut “
1.4.1 Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat :
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 PengertianTerapi Magnet
Bumi adalah medan magnet alam. Tubuh manusia juga merupakan suatu medan
magnet sebagai akibat dari proses bioelektrik dalam tubuh. Dalam kondisi normal
elektron dan ion bekerja seimbang. Bila keseimbangan terganggu, arus dan distribusi
dalam sel akan terpengaruh dan hal ini biasanya menjadi akar dari banyak penyakit yang
disebabkan oleh gangguan fungsi organ tubuh.
Terapi magnet menggunakan sifat alami dari magnet untuk meringankan rasa
sakit pada berbagai bagian tubuh. Magnet sudah lama diyakini memiliki kekuatan
penyembuhan untuk nyeri otot dan kekakuan pada bagian tubuh. Penggunaan magnet
untuk manfaat medis ini bisa dirujuk kembali ke Mesir kuno dan juga Yunani kuno
ketika Hippocrates (bapak kedokteran) yang menggunakan batu magnet untuk
mengobati kemandulan. Begitu juga orang kuno di India yang menggunakan magnet
untuk mengatasi Insomnia.
Di dalam tubuh manusia terdapat sel-sel darah yang mengandung zat besi (Fe)
dan Neodymium magnet (Nd2Fe14B) yang digunakan dalam terapi
biomagnetik yang juga mengandung zat besi.
Ketika magnet atau sinar inframerah diletakkan dekat pembuluh arteri utama,
seperti pembuluh arteri jantung (titik nadi di pergelangan tangan) atau arteri karotid (titik
nadi di leher) akan terjadi perangsangan (reaksi Fe pada Neodymium terhadap Fe pada
sel-sel darah) sehingga sel-sel yang sebelumnya saling menempel dan bersambungan
akhirnya terurai.
2.1.4 Indikasi
a) Sistem Muskuloskeletal
b) Arthritis
c) Nyeri Kronik
Nilai dari terapi medan magnetik bergetar pada terapi nyeri telah
dites pada penelitian longitudinal. Pada pasien dengan nyeri kronik yang
sukar sembuh dengan terapi konvensional, diberikan medan magnetik
sebanyak 60 gaus, 10 Hz diberikan selama 20 menit perhari selama 10
hari. Nyeri dinilai menggunakan skala nyeri analog linear, sebelum dan
sesudah terapi. Semua pasien menunjukkan penurunan rasa nyeri setelah
terapi.
2.1.5 Kontraindikasi
2.1.6 Dampak Terapi Magnet
Dampak positif yang ditimbulkan dari terapi ini tentu saja meningkatkan
kesehatan tubuh, seperti menstabilkan sirkulasi kardiovaskuler, menjaga fungsi
metabolisme, menjaga stamina dan kekebalan tubuh, mengurangi gejala depresi, dan
mampu mengatasi stress, ayan, susah tidur, gangguan ginjal dan hati, serta beberapa
penyakit lainnya.
Rawan sendi dibentuk oleh sel tulang rawan sendi (kondrosit) dan matriks rawan
sendi itu sendiri. Kondrosit mensintesis dan menjaga keutuhan matriks tulang rawan
sehingga fungsi rawan sendi tetap berjalan optimal. Komposisi matriks rawan sendi
secara garis besar adalah air, proteoglikan dan kolagen. Terdapat 3 fase dalam
Osteoarthritis lutut, yakni sebagai berikut :
1) Fase 1
Pada awalnya Proteolisis pada matriks tulang rawan terjadi . Proteolisis ini
adalah suatu proses hancurnya protein baik di dalam matrix maupun sel tulang rawan
(kondrosit) yang diduga karena gabungan dari berbagai macam faktor resiko dan
beberapa proses fisiologis. Karena inilah kartilago atau tulang rawan pada persendian
menipis (Sudoyo et al).
2) Fase 2
Di fase atau tahap kedua ini, pengikisan pada permukaan tulang rawan
persendian mulai terjadi secara signifikan. Karena pengikisan ini, terjadilah fibrosis pada
permukaan tulang rawan persendian untuk menutupi tulang rawan sendi yang terkikis.
Genesis dari jaringan fibrosis ini juga disertai dengan adanya pelepasan proteoglikan dan
pecahan kolagen ke dalam cairan sinovia (Sudoyo et al, 2014).
3) Fase 3
Proses penguraian dari produk kartilago yang menginduksi respons inflamasi
pada sinovial. Produksi makrofag sinovia seperti interleukin 1 (IL-1), Tumor Necrosis
Factor-alpha (TNF-α), dan prostaglandin menjadi meningkat. Kondisi ini memberikan
manifestasi awal pada persendian seperti nyeri dan secara langsung memberikan dampak
adanya destruksi pada kartilago. Molekul-molekul pro- inflamasi lainnya seperti Nitric
Oxide (NO) juga ikut terlibat. Kondisi ini memberikan manifestasi perubahan arsitektur
sendi dan memberikan dampak terhadap pertumbuhan tulang akibat stabilitas sendi.
Perubahan arsitektur sendi dan stress inflamasi memberikan pengaruh pada permukaan
artikular menjadi kondisi gangguan yang progresif. Selain itu juga jaringan sendi yang
terkikis menyebabkan syaraf pada sendi terbuka sehingga syaraf pada sendi bergesekan
dengan jaringan sendi yang bertemu yang juga mengakibatkan nyeri (Sudoyo et al)
4. Pembentukan ostefit.
Faktor Resiko
a) Umur
b) Obesitas
c) Jenis Kelaminn
d) Riwayat Trauma
e) Genetik
f) Kelinan Kongenital
g) Pekerjaan
Grade 2: Ringan, osteofit yang jelas, terdapat sedikit penyempitan pada anteroposterior
genu.
Grade 3: Sedang, osteofit sedang, deformitas ruang antar sendi yang cukup besar.
Grade 4: Berat atau parah, osteofit besar, terdapat deformitas ruang antar sendi yang
berat dengan sklerosis pada tulang subkondral.
1) Terapi non-farmakologis
a. Edukasi
2) Terapi farmakologis
b. Analgesik topikal
c. NSAID
d. Chondroprotective
c. Osteotomi
Terapi fisik berguna untuk melatih pasien agar persendiannya tetap dapat
dipakai dan melatih pasien untuk melindungi sendi. Terapi fisik membuat
penderita dapat beraktivitas seperti biasanya sekaligus mengurangi resiko fisik
yang tidak berfungsi dengan baik. Terapi fisik pada penderita osteoarthritis dapat
berupa fisioterapi ataupun olahraga ringan seperti bersepeda dan berenang.
Terapi fisik ini berusaha untuk tidak memberikan beban yang terlalu berat pada
penderita (Nur, 2019).
2.2.5 Komplikasi
Komplikasi Kronis
Komplikasi Akut
A. Osteonecrosis
C. Bursitis
Visual analog scale (VAS) adalah cara yang paling banyak digunakan
untuk menilai nyeri. Skala ini menggambarkan gradasi nyeri dengan linier.
Rentang nyeri diwakili sebagai garis 10 cm, dengan atau tanpa tanda pada tiap
sentimeter . Tanda pada kedua ujung garis ini dapat berupa angka atau
pernyataan deskriptif.
Ujung yang satu mewakili tidak ada nyeri, sedangkan ujung yang lain
mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi. Skala dapat dibuat vertikal
atau horizontal. VAS juga dapat diadaptasi menjadi skala hilangnya/reda rasa
nyeri. Digunakan pada pasien anak >8 tahun dan dewasa. Manfaat utama VAS
adalah penggunaannya sangat mudah dan sederhana. Namun, untuk periode
pasca bedah, VAS tidak banyak bermanfaat karena VAS memerlukan koordinasi
visual dan motorik serta kemampuan konsentrasi (Yudiyanta et al)
Gambar 1. Skala Visual Analog Scale (VAS)
b. Manajemen Farmakologi
Pada kerangka konsep ini disusun bertujuan untuk memperoleh gambaran secara
jelas agar penelitian dapat berjalan.
2.4.1 Kerangka Konsep
3. Intervensi
4. Implementasi
5. Evaluasi
3.1 JURNAL 1
Tabel 3.1
4.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka
kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Subjek dengan usia lanjut (≥ 60 tahun) terdapat sebanyak 75% dengan kelompok usia
dengan jumlah terbanyak pada usia 60 – 69 tahun dengan persentase 45,9%.
2. Pasien osteoartritis lutut yang menjadi subjek penelitian dengan berjenis kelamin
perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki yaitu 86,5% berbanding 13,5%..
3. Kejadian obesitas pada pasien osteoarthritis lutut lebih banyak dibandingkan dengan yang
normal.
4. Keparahan OA lutut dapat dinilai berdasarkan objektifitas dengan menggunakan
gambaran radiologi sendi lutut dan secara subjektifitas dengan menggunakan instrument
WOMAC yang lebih cenderung menilai intensitas nyeri, kekakuan sendi, dan keterbatasan
fungsi fisik
5. Ada hubungan antara obesitas sentral dengan tingkat keparahan osteoarthritis berdasarkan
objektifitas menurut gambaran radiologis sesuai kriteria kellgren-lawrence (p=0,025). Akan
tetapi, secara subjektif berdasarkan keparahan klinis dengan menggunakan skor WOMAC tidak
terdapat hubungan (p=0, 690).
4.2 SARAN
1. Bagi tenaga kesehatan Tenaga kesehatan memberikan edukasi yang tepat dan jelas
kepada penderita Osteoarthritis dan keluarganya sehingga penderita memahami dan
mengaplikasikan apa yang disarankan dan apa yang harus dihindari. Edukasi yang diberikan
dapat berupa bagaimana dapat hidup dengan sehat baik pola dan jenis makanan yang sehat,
aktivitas olahraga yang tidak membebani terlalu berat untuk keparahan OA bisa berenang
ataupun bersepeda, dan juga edukasi terapi yang sesuai baik farmakologis maupun non-
farmakologis. Sehingga hal-hal tersebut dapat mencegah terjadinya keparahan OA. Diupayakan
edukasi dan informasi tersebut disampaikan dengan jelas dan tepat sehingga dapat dipahami dan
diaplikasikan oleh pasien OA dan dapat memberikan hasil yang optimal sehingga dapat
mencegah terjadinya progresivitas dan keparahan osteoarthritis.
2. Bagi pihak rumah sakit Rumah sakit dapat melakukan suatu program khusus bagi pasien
OA dalam upaya pencegahan dan pengendalian faktor-faktor yang menyebabkan resiko
terjadinya keparahan OA,misalnya mengadakan penyuluhan singkat sebelum poli dan
pengukuran berat badan, tinggi badan, dan lingkar pinggang kepada setiap pasien OA. Rumah
sakit memiliki kewajiban untuk memastikan pasien merasa puas dengan pelayanan kesehatan
yang telah diberikan dan memastikan bahwa semua tenaga kesehatan telah memberikan apa
yang menjadi hak pasien 56 56
Arofah intan Novita. 2007. Fisioterapi dan terapi latihan pada Osteoarthritis. Jurusan
pendidikan kesehatan dan rekreasi FIK UNY, Vol.3, No. 1.( diakses 18 Februari 2017 pukul
21:00 WIB)
Malemud JC. The Medical Therapy of Osteoarthritis :“Thinking Outside the Box”.
Journal of Osteoarthritis. 2016; 1(1) :1-2.
Hart DJ, Doyle DV, Spector TD. Incidence and risk factors for radiographic knee
osteoarthritis in middle-aged women: the Chingford Study. Arthritis Rheum 1999;42:17–24.