Dongeng Si Kabayan
Dongeng Si Kabayan
Dongeng Si Kabayan
DONGENG SI KABAYAN
Pada siang hari di sebuah rumah kecil, di suatu desa di tanah Pasundan, tampak
Kabayan sedang menuangkan masakan istrinya ke dalam sebuah rantang untuk diantarkan ke
rumah mertuanya yang ia sayangi. Melihat hal tersebut, Nyi Iteung sang istri merasa amatlah
senang, sebab kini suami dan Abahnya tengah akur. Mereka saling menyayangi, serta banyak
perubahan baik yang terjadi antara mereka berdua. Mereka dulu bagaikan kucing dan anjing,
selalu ada keributan terjadi yang disebabkan oleh ulah sang suami. Pikiran Nyi Iteung
kembali ke masa lalu, di mana Kabayan dulu sangatlah pemalas dan jahil, namun memang
memiliki banyak akal.
***
Dahulu, Kabayan sering diminta untuk mengambil tutut-tutut di sawah oleh
mertuanya. Namun yang terjadi, Kabayan yang pemalas hanya selalu duduk-duduk santai di
pematang sawah. Nyi Iteung mengetahui hal ini karena telah beberapa kali ia melihat dengan
mata kepalanya sendiri. Telah beberapa kali juga Nyi Iteung mengingatkan sang suami,
namun tidak pernah digubris olehnya. Hingga pernah suatu ketika, sang suami tertangkap
basah oleh Abah. Datanglah beliau ke sawah, dengan posisi si Kabayan yang sedang
bersantai dan tidak bekerja. Melihat akan hal itu, Abah kemudian memahari Kabayan,
“Kabayan! Mengapa kau tidak turun ke sawah dan mengambil tutut-tutut itu?”
Kabayan yang banyak akal itu segera beralasan bahwa lumpur di sawah terlalu dalam dan ia
takut tenggelam. Mendengar jawaban itu, mertuanya menjadi sangat jengkel. Didorong tubuh
si Kabayan hingga menantunya itu terjatuh ke dalam sawah. Kabayan pun tertawa, seolah
tidak bersalah.
“Ternyata dangkal ya, Bah, sawahnya?” kata Kabayan kepada mertuanya sambil
tersenyum-senyum. Abah tidak menjawab pernyataan jengkel tersebut sehingga akhirnya
Kabayan segera mengambil tutut-tutut di sawah itu. Sepulang dari sawah, Nyi Iteung terkejut
melihat si Kabayan yang ketika itu berlumuran tanah. Diceritakanlah semua kejadian pada
hari itu kepada Nyi Iteung.
***
Tersadar dari lamunannya, Nyi Iteung kemudian menemani suaminya itu ke depan
pintu rumah.
“Nyi, Akang pergi dulu, mau mengantarkan makanan ke rumah Abah dan Emak. Jaga
diri baik-baik, ya.” pesan Kabayan kepada sang istri ketika berpamitan di depan rumah.
“Iya, Kang, hati-hati di jalan.” balas Nyi Iteung sambil mencium tangan suaminya itu.
Setelah Kabayan pergi, Nyi Iteung kembali ke meja makan untuk membereskan sisa makan
siang. Sembari memasukan sisa nasi ke dalam wadah, Nyi Iteung kembali teringat akan suatu
kejadian lain yang pernah diceritakan kepadanya, antara si Kabayan dan orang tuanya.
***
Suatu hari, Emak datang ke rumah ketika Nyi Iteung sedang membersihkan halaman
depan, mencari si Kabayan. Emak ingin meminta tolong kepada si Kabayan untuk memetik
buah nangka yang tengah masak. Kabayan bersungut di hadapan istri dan mertuanya. Ia
malas mengambilnya, sebab pohon nangka itu berada di bibir sungai. Akan tetapi, melihat
Emak yang mulai geram, si Kabayan akhirnya dengan terpaksa pergi ke bibir sungai untuk
memanjat pohon nangka tersebut. Namun, pada akhirnya Kabayan pulang ke rumah dengan
tangan kosong.
“Di mana nangkanya? Kenapa kau pulang tanpa membawa nangka itu?” tanya Emak
dengan heran.
“Kabayan pulang lebih dahulu, kusuruh nangka itu menyusul ke rumah karena telah
terlajur hanyut di sungai, meninggalkanku.” jawab si Kabayan.
“Tadi, waktu memetik buah nangka, tiba-tiba nangka itu lepas dari dahannya dan
berenang di dalam sungai, lalu kusuruh saja nangka itu untuk berjalan pulang ke rumah.
Kukira sudah sampai duluan.”
“Apa kau ini sudah gila, Kabayan? Bisanya mengada-ngada saja.” Mertuanya pun
terlihat sangat marah, sedangkan si Kabayan yang iseng hanya tertawa terkikik-kikik.
Setelah Emak pulang, Nyi Iteung meminta agar Kabayan menjelaskan kejadian yang
sebenarnya. Si Kabayan pun dengan senang hati bercerita kepada istrinya itu. Ternyata,
ketika tengah berusaha memetik buah nangka, tiba-tiba saja nangka itu jatuh ke dalam sungai
dan hanyut terbawa arus air. Bukannya segera mengambil nangka tersebut, Kabayan dengan
tak acuh malah beranjak pulang ke rumah.
Di hari lain, Abah pernah mengajak Kabayan dan Nyi Iteung untuk sama-sama
memetik kacang koro di kebun, tidak jauh dari tempat mereka tinggal. Tidak lupa mereka
membawa karung untuk menampung kacang-kacang tersebut. Menjelang sore, setelah
memetik beberapa butir kacang, si Kabayan mulai merasa malas dan mengantuk. Mengetahui
situasi aman, jauh dari istri dan mertuanya, Kabayan memutuskan untuk beristirahat. Karung
yang dibawanya itu baru terisi sangat sedikit, maka ia berpikir untuk tidur di dalam karung
tersebut, tanpa sepengetahuan Abah dan Nyi Iteung.
Adzan ashar kemudian berkumandang dan Abah segera menyudahi kegiatan memetik
kacang koro. Ketika menghampiri tempat si Kabayan semula berada, ia heran karena tidak
mendapati Kabayan di sekitarnya, hanya karung milik Kabayan yang tertinggal. Melihat Nyi
Iteung telah usai memetik, Abah menghampirinya dan menanyakan keberadaan si Kabayan.
Akan tetapi, Nyi Iteung juga tidak mengetahui di mana suaminya itu berada. Mereka berpikir,
mungkin si Kabayan pulang lebih dahulu, meninggalkan Abah dan istrinya di kebun. Dengan
merasa jengkel, Abah terpaksa untuk membawa pulang karung milik Kabayan. Ketika akan
mengangkat karung tersebut, Abah kewalahan, sebab karung tersebut terasa amat berat.
Betapa terkejutnya Abah dan Nyi Iteung saat membuka karung tersebut yang berisikan si
Kabayan. Abah pun akhirnya memarahi si Kabayan.
Keesokan harinya, Kabayan pamit kepada Nyi Iteung untuk berkunjung ke rumah
mertuanya. Ia merasa bersalah dan ingin mengajak Abah memetik kacang koro lagi. Tapi
pada kenyataannya apa yang terjadi di hari itu tidak seperti yang apa diharapkan. Abah
menceritakan semuanya pada Nyi Iteung.
“Jadi, Abah masih jengkel dengan ulah suamimu itu, Abah berpikir untuk balas
dendam saja terhadap si Kabayan. Kami pergi ke kebun pada sore hari itu, tapi Abah tidak
membawa karung sendiri karena ingin mengusili si Kabayan. Saat si Kabayan sedang sibuk
memetik kacang koro, Abah menyusup ke dalam karung milik Kabayan dan berdiam di sana,
dengan harapan si Kabayan akan memanggul Abah sampai rumah.” jelas Abah, kemudian
melanjutkan ceritanya lagi,
“Abah sudah tertidur pulas di dalam karung, tapi tiba-tiba merasa terseret. Ternyata si
Kabayan mengikat karung itu dan menyeret Abah sampai ke rumah. Selama perjalanan Abah
berteriak dari dalam karung, ‘Kabayan! Kabayan! Ini Abah, jangan diseret...’ tapi suamimu
hanya pura-pura tidak mendengar.”
Setelah mengetahui ceritanya, Nyi Iteung sangat marah pada suaminya karena telah
berbuat kejam terhadap Abah. Atas kejadian ini juga, mertuanya sangat murka pada si
Kabayan, sampai-sampai mendiamkan si Kabayan selama berhari-hari. Tak mengajaknya
berbicara, bahkan tak lagi mau menatap wajah si Kabayan. Merasa tidak enak hati
diperlakukan seperti itu oleh mertuanya sendiri, maka Kabayan mencari cara agar Abah bisa
memaafkan dirinya.
***
Semenjak kejadian kacang koro, si Kabayan penasaran akan nama mertuanya itu, lalu
ia tanyakan hal tersebut kepada Nyi Iteung, namun Nyi Iteung tak mau menjawabnya karena
sudah merupakan tradisi Sunda bahwa memberitahu nama mertua merupakan sebuah
pantangan. Akan tetapi, si Kabayan tak kehabisan akal, ia mengatakan kepada Nyi Iteung
bahwa ia ingin mendo’akan Abah setiap beribadah. Maka dari itu, ia harus mengetahui nama
mertuanya tersebut.
Setelah beribu kali memohon, akhirnya Nyi Iteung memberitahukan nama asli Abah
kepada si Kabayan. Nama mertuanya adalah Ki Nolednad. Mengetahui hal tersebut, si
Kabayan segera mencari kapuk serta air enau yang masih kental dalam jumlah banyak. Ia
kemudian mengolesi seluruh tubuhnya dengan air tersebut, dan menempelkan kapuk-kapuk
di tubuhnya. Kabayan memiliki rencana terselubung agar hubungannya dengan sang mertua
kembali baik.
Suatu hari, Kabayan pergi ke lubuk tempat mandi dan memanjat pohon yang ada di
sana. Tak lama kemudian, datanglah Abah yang telah bersiap untuk mandi pagi. Pada saat
sedang asyik mandi, tiba-tiba si Kabayan memanggil nama Abah dari atas pohon dengan
suara yang diseram-seramkan.
“Aku ini kakek penunggu lubuk. Aku peringatkan engkau, Nolednad! Hendaklah kau
menyayangi si Kabayan karena ia adalah cucu kesayanganku! Janganlah engkau menyia-
nyiakannya. Urus ia dengan baik seperti anakmu sendiri. Jika kau tak melaksanakan pesanku,
kau takkan selamat, Nolednan!” kata si Kabayan yang berusaha menahan tawa. Sepulang dari
mengusili Abah, Kabayan dengan rasa sedikit malu menceritakan semuanya kepada sang
istri. Nyi Iteung kembali memarahi si Kabayan atas kelakuannya.
***
Nyi Iteung tersadar lagi dari lamunannya ketika suara adzan ashar terdengar dari
belakang rumah. Hari sudah menjelang sore, Nyi Iteung segera menghentikan pekerjaannya
dan beranjak wudhu. Mengingat kisah-kisah jenaka itu, Nyi Iteung hanya bisa pasrah
menghadapi kelakuan suaminya itu. Tapi benar saja, semenjak mengelabui Abah, sikap
mertua si Kabayan menjadi berubah total. Mertua si Kabayan kini bersikap sangat baik pada
si Kabayan. Kabayan sendiri juga sadar bahwa dulu sikapnya sangatlah buruk dan
memutuskan untuk berubah. Kabayan menjadi menantu yang rajin dan tidak lagi suka
bermalas-malasan. Kini, Nyi Iteung sangat bangga dengan suaminya dan mereka semua
hidup dalam perdamaian.