Resensi Fasya Sahira X Mipa 1
Resensi Fasya Sahira X Mipa 1
Resensi Fasya Sahira X Mipa 1
Indah rembulan di malam yang tenang. Cahaya terangnya, membuatku terbayang oleh
pikiran yang sejak tadi terpikir sendirian. Sambil menyesap gulungan tembakau berbalut
kertas, pandanganku tertuju pada selempang wisuda yang keberadaannya terlihat jelas di
samping foto diriku menggunakan toga. Dengan asap yang terbang berekanan aku
bergumam,
Kreek!!! Ku dengar suara pintu kamar terbuka, bayangan ibu mengintip terlihat jelas
di balik pintu. Tak lama setelah itu ia mengambil gagang pintu dan menutupnya kembali.
“Aku tahu maksudmu bu”, gumamku dengan menampilkan senyuman yang sulit di artikan.
Kemudian aku beralih dari kursi, beranjak keluar menemui ibu yang sedang memasak,
kulingkarkan kedua tangan dan bersandar pada bahunya sambil berkata, “Bu, aku mungkin
perlu waktu sedikit lagi, aku harap ibu dapat lebih sabar”
“Iya tidak apa – apa, ibu akan mencoba lebih memahamimu”. Kata ibu dengan lemah lembut.
Ibu, ialah satu – satunya orang yang paling mengerti aku. Dukungan yang ia berikan
tidak pernah berhenti mengalir, walau sering kali aku tergulir. Penggangguran membuatku
merasakan keputusasaan yang bersifat gelisah, tiga kali lamaranku ditolak membuatku tak
percaya diri dan menunda untuk melamar kembali. Bahkan status yang masih lajang dan
kebiasaan bangun kesiangan mampu melahirkan pikiran bahwa aku bukanlah manusia yang
dapat dibanggakan.
Aku adalah anak semata wayang. Ayahku meninggal saat aku masih duduk di bangku
SMA. Kecelakaan adalah faktor meninggalnya beliau, sehingga aku hanya tinggal berdua
bersama ibu sampai saat ini. Satu – satunya penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan
kami hanyalah toko kelontong didepan rumah. Oleh karena itu, apabila aku berlayar untuk
melamar, ibu akan mengalami pengeluaran yang semakin besar.
Memang, ekspetasi tak sesuai realita. Betapa panjang hasratku tatkala itu, ketika aku
mengantongi target untuk mendapat pekerjaan dan menjadi orang yang kaya raya, sampai aku
pernah menolak tawaran Pak Bandi untuk bekerja di Yayasan Dana Sosial Al- Ikhlas. Aku
menolak tawarannya lantaran masalah gaji yang ku anggap sedikit.
Suatu hari aku memvonis harus keluar dari zona nyaman ini,
“Apakah aku optimis? Atau malah jatuh ke lubang yang miris? Keempat kalinya aku
melamar kerja, semoga kesempatan ini tidak mengecewakan” pikirku dalam hati. Terlebih
dari itu, aku yakin akan takdir Tuhan. Atas kehendak- Nya, tidak ada yang tidak mungkin.
Aku pun memberitahu ibu jika aku berkeinginan merantau keluar kota.
“ Sebetulnya ibu ingin kamu tetap disini Vin,nanti siapa yang akan membantu
memasak, siapa juga yang menjaga toko” kata ibu. Ku lihat wajah ibu yang terasa berat
membiarkan aku pergi.
“Bu, aku tidak bisa terus – menerus seperti ini, apa ibu tidak malu mendengar kata orang
mengenaiku?”. Ibu terdiam, kemudian berkata “Tidak Vin”
“Ibu mungkin tidak malu, tapi aku tahu ibu memiliki harapan besar padaku. Ingatkah ketika
ibu menuturkan kesuksesan anak Bu Mirna, Bu Sulis, Bu Yanti kepadaku? Jujur, aku merasa
malu karena tidak bisa menjadi seperti mereka!” kataku dengan nada yang sedikit meninggi
dan bergetar.
“Untuk saat ini, ibu sudah bangga nak, kamu tidak perlu menjadi orang lain, cukup dirimu
sendiri dengan segala ikhtiarmu” ucap ibu sambil mengusap rambut dan menepuk pundakku.
“Bu, banyak temanku yang sukses, beberapa bulan yang lalu saat reuni SMA, mereka
membicarakan keadaanku yang menganggur dan rasa sakitlah yang aku rasakan” ucapku
dengan suara sesak dan mata yang berkaca – kaca.
“Kami berkumpul dan mereka saling membanggakan pekerjaan, ada yang menjadi manajer,
ada yang gajinya 10 juta perbulan. Nah sementara aku..aku..aku hanya pengangguran dengan
segala kegagalan bu” butiran bening yang tak lagi dapat ku tahan menetes dipipiku.
“Aku minta maaf bu, pemberian terbaik untukmu hanyalah wisudaku” lanjutku sambil
berisak – isak memeluk ibu.
Ibu terlihat sayu akan aku yang pilu, ia mengelus punggungku dan bertanya “Kevin,
apakah kamu tetap menolak tawaran Pak Bandi?”
Aku pun terdiam, tawaran yang tak pernah terbesit sama sekali, mendadak menjadi angin
segar saat ini. Emosi yang dulu seketika berubah, air mata yang beberapa saat terjatuh seperti
ikut membuang lekatan kebodohan diotakku. Keinginan berlebihan yang dulu bak sirna
begitu saja,
“Aku mau bu!” jawabku dengan sedikit semangat, “T-tapi, memangnya Pak Bandi masih
menerima?”
“Justru Pak Bandi kemarin kemari sekaligus menanyakan kabarmu, beliau juga menawarkan
pekerjaan ini kembali. Tapi ibu memberitahu Pak Bandi jika kamu masih merintis” Kata ibu.
Enam bulan telah berlalu, aku bekerja dibagian staf umum. Pandanganku tentang
hidup dan dunia sangat berubah drastis, salah satunya ialah karna lingkungan yang agamis.
Aku berhenti merokok, daripada aku membuang uang untuk itu, aku lebih senang jika
menabungnya dan sebagian akan ku sumbangkan. Aku yang biasanya jarang sholat, kini
semakin takut meninggalkannya.
Bukan kebetulan aku bekerja disini, inilah takdir Tuhan yang luar biasa. Syukur
senantiasa aku ucapkan dengan penghayatan dan kesadaran akan besarnya nikmat karunia
yang Tuhan berikan. Tidak ada rasa malu maupun gengsi dalam diriku, tidak peduli seberapa
besar gaji, yang jelas sangat cukup untuk kehidupan sehari – hari.
Hilangkan gengsi, perbanyak syukur, itu yang aku pegang sekarang. Menjadi kaya
raya bukanlah indikator dalam kesuksesan. Aku yakin suatu saat banyak yang akan mengerti.
Dan aku berdoa kepada Tuhan supaya semua saudaraku dijauhkan dari kesombongan
duniawi.
Kelebihan = Banyak kalimat persuasif yang dapat mempengaruhi orang lain dan memotivasi
mereka.
Kekurangan = Penggunaan kata – kata yang tidak tepat dan bahasa yang digunakan sedikit
berbelit- belit berkemungkinan untuk menghambat pembaca memahaminya.