Our Novel
Our Novel
Our Novel
Cast :
Aquina Vallerya Inara (Cindy)
Rayyan Aditya (Ahaq)
Cyra Aazaric (Inara)
Adelard Grisham (Sappe)
Raes Athar (Guntur)
Farid (Bima)
Danish Melviano (Deni)
Daffa Rais (Revio)
Faris Almaher (Dalief)
Aila Aghna (Ai)
Adeyra Ganes(Aini)
Callysta Aazaric
Alanna (Callysta)
Alexa
PROLOG
Inara POV :
Aku berlari sekuat tenaga dengan seseorang, yang tak dapat kulihat wajah
maupun perawakannya, sedang menarikku untuk mengikutinya. Kegelapan begitu
pekat hingga aku tak bisa menyadari orang yang bersamaku ini lelaki atau
perempuan. Rasanya begitu melelahkan berlari di tempat yang tak dapat kulihat
ujungnya ini. Ajaibnya, jalan seolah kosong dan langkah kaki kami tak terhalangi oleh
sesuatu apapun.
Aku menoleh ke belakang. Tepat di ujung sana, yang kemudian kusadari aku
berlari di sebuah lorong panjang, seorang wanita yang berperawakan anggun sedang
bertarung pedang dengan seorang perempuan lain berambut hitam sepunggung, yang
tak dapat kulihat wajahnya dengan begitu jelas. Rambut panjangnya menutupi
sebagian wajahnya ketika berkelit dari setiap serangan. Mereka bertarung di
sebuah tempat terbuka karena aku dapat melihat pepohonan yang rimbun di balik
sana.
Saat itulah aku dapat melihatnya dengan lebih baik, meski jarak yang cukup
jauh menyulitkanku untuk menatapnya dengan jelas. Entah kenapa, aku merasa
marah hanya dengan melihatnya. Ia menyerang wanita yang sudah tak berdaya di
atas tanah itu dengan sihir berupa api yang membara. Teriakan penuh kesakitan
terdengar hingga ke telingaku. Aku dapat melihat wanita itu melepuh dalam kobaran
api. Aku menghentikan langkahku paksa. Seseorang yang menarikku juga
menghentikan langkahnya.
Aku tak mempedulikan apapun ketika aku mendengar teriakan kesakitan itu.
Yang kutau hanyalah, dadaku terasa sesak ketika melihat wanita di belakang sana
terbakar dalam api. Aku ingin berlari menyelamatkannya, padahal aku tak mengenal
siapa dia. Aku hanya ingin menyelamatkannya. Namun ternyata seseorang yang
menarikku berlari tadi telah mendahuluiku. Ia menabrak bahuku dari belakang
hingga aku hampir kehilangan keseimbangan untuk sejenak.
Aku tersentak. Kulihat sekeliling. Atap putih, dinding berwarna cream yang
sangat kukenal. Buku-buku yang usang juga masih ada di tempatnya. Dan yang
terpenting, kasur bermotif bunga lavender ini seketika membuatku menghela napas
lega. Ini kamarku.
‘Mimpi itu lagi.’ Batinku lelah. Aku menyeka kedua mataku yang sudah basah oleh air
mata, mengusap pelipisku yang penuh dengan keringat dingin. Selalu begitu tiap kali
terbangun.
Aku tak tau kisah siapa yang masuk ke dalam mimpiku, tapi aku selalu
bermimpi hal yang sama selama 7 tahun terakhir. Dan mimpi itu selalu berakhir di
bagian yang sama. Itu sangat mengganggu. Tak peduli seberapa seringpun aku
memipikannya, tubuhku selalu memberi reaksi yang sama, rasa takut dan sedih.
Mimpi itu tak pernah berubah. Tidak pada rentetan kejadian yang kulihat,
tidak juga pada keinginan terbesarku untuk menolong. Semua selalu sama.
Mimpi ini adalah misteri, yang tak pernah aku ceritakan pada siapapun, selama
7 tahun terakhir kehidupanku ini.
Chapter I, ‘SMA Callira’
Author POV :
Sinar mentari yang cerah menelusup masuk melalui jendela kamar seorang
gadis yang luasnya hanya 4x5 m itu. Pagi sudah menyapa pemilik kamar yang tengah
merapikan dirinya di depan kaca seukuran tubuhnya, mematut penampilannya yang
tampak berbeda dengan raut wajah puas.
Tubuhnya yang tak terlalu mungil pun tak terlalu tinggi diselimuti celana
hitam selutut dengan kemeja putih lengan pendek dibalut rompi kulit senada dengan
celana. Segaris senyum muncul untuk menyempurnakan tampilan paginya itu.
“Terimakasih tidak datang terlambat pagi ini, Ai.” Suara Inara adalah yang pertama
memecah keheningan diantara mereka.
“Apa itu hal pertama yang harus kau ucapkan dari sekian banyak hal yang bisa kau
komentari, Vallerya Inara?” nada suara Aila yang terdengar merajuk malah
mengundang tawa geli Inara.
“Tentu saja. Kau tau kita tidak pernah bisa datang tepat waktu karna kebiasaan
tidur kebomu itu. Sekarang lihat.” Inara menoleh dengan tatapan kagum yang
dibuat-buat membuat Aila merotasikan matanya kesal.
Inara terkekeh geli seraya memeluk singkat Aila dari samping, “Aku
bercanda, Ai. Omong-omong, kau tampak hebat dengan seragam ini.”
“Jangan memujiku, kau tau seragam ini aneh.”
“Sebenarnya ini masuk akal. Kau tidak akan bisa berlatih senjata dengan baik jika
kita diberi bawahan rok.”
Aila tampak berpikir sejenak hingga sedetik kemudian mengangguk setuju, “Kau
benar. Aku hanya belum terbiasa karena kita selalu memakai rok dari dulu.”
“Benarkah? Dalam rangka apa?” Mata Inara berbinar senang ketika mendengar
makanan favoritnya dihidangkan untuk mereka.
“Ucapan selamat karena kita sudah lolos seleksi.” Aila hanya tersenyum tipis melihat
reaksi sahabat kecilnya itu.
Meski Inara bukan saudara kandungnya, tapi tetap saja terkadang ia berpikir,
mungkin saja mereka adalah saudara kandung dan Inara adalah anak bungsu saking
ibunya sangat menyayangi Inara seolah dia adalah anak kandungnya juga. Bahkan
ketika masih kecil, Aila seringkali merajuk pada ibunya karena perhatian Sang Ibu
kepada sahabatnya itu. Namun tentu saja Aila sadar, Ibunya sangat menyayanginya.
Kini Aila tak lagi berpikir seperti itu, karena ia pun sangat menyayangi Inara,
seperti saudara kandungnya. Ia rela memberikan segala yang ia punya untuk
sahabatnya itu.
“Ibu memang yang terbaik, Ai.” Senyum Inara yang secerah matahari pagi itu
membuat Aila malah tersenyum pedih. Setiap kali kata Ayah dan Ibu keluar dari
bibir Inara, ia dapat menangkap tatapan nanar sahabatnya itu, tak peduli selebar
apapun senyumannya, itu tetap tak bisa membohongi Aila.
Inara berusaha bangkit dengan susah payah selama setahun itu. Bayangkan
seberapa sakitnya mengetahui hal itu untuk anak yang baru berusia 7 tahun,
terbangun dalam keadaan tak mengingat apapun dan seketika seseorang yang
mengaku sebagai neneknya memberitau bahwa ia telah kehilangan seluruh anggota
keluarganya.
Aila yang saat itu sedang menemani ayahnya mencari kayu bakar, lantas
berusaha menenangkan gadis yang menurutnya aneh itu.
“Tentu saja.”
“SMA Callira.. benar-benar keren.” Ujar Aila yang tersadar dari lamunannya, “Ayo!”
“Maaf, ini papan pengumuman untuk seluruh warga sekolah. Jika kalian sudah selesai
melihatnya, bisakah menepi dan berikan orang lain ruang untuk melihatnya juga.”
Ucap lelaki itu dengan nada datar.
“Oh, maaf.” Ucap Aila segan. Ia hendak menarik Inara menyingkir dari sana, namun
gadis itu malah menahan tangan Aila.
“Maaf jika itu mengganggumu. Tapi sejauh yang kulihat, hanya kau yang terganggu
dengan keberadaan kami disini. Jadi jika kau merasa terganggu, cukup katakan
dirimu saja yang terganggu, tidak perlu membawa embel-embel warga sekolah.”
Inara melebarkan matanya seolah menantang. Sedangkan yang ditatap hanya balas
menatap dengan ekspresi datar.
Lelaki itu maju selangkah, tepat di samping Inara, kemudian ia berucap pelan, “Aku
terganggu. Kalau begitu, menyingkirlah!”
Inara memelototkan matanya mendengar ucapan tidak sopan itu. Dia hendak
membalas, namun Aila buru-buru menariknya menepi. Inara melepaskan tangannya
kesal dari genggaman Aila.
“Sudahlah, Ra.” Sela Aila ketika Inara hendak kembali melabrak lelaki tadi.
“Dia itu sangat tidak sopan, Ai! Kalau mau lihat pengumuman, ya tinggal bilang
‘permisi’, susah sekali sepertinya! Semoga dia tidak sekelas dengan kita. Kalau saja
terjadi, hah, hidupku di SMA ini pasti akan menyebalkan sekali.” Ujar Inara berapi-
api.
Aila hanya mengangguk. Ia segera menarik Inara menuju kelas baru mereka,
sebelum Inara benar-benar kembali untuk memarahi lelaki yang bahkan tidak
mereka ketahui namanya itu. Ketika sampai di kelas, keduanya terperangah. Begitu
takjub dengan apa yang mereka lihat.
Ruangan segi empat itu cukup luas. Sebuah dinding putih ada di bagian paling
depan, dengan bulatan biru berukuran sedang berada di tengah dinding itu. Di sudut
ruangan, terpajang lemari besar dengan kaca bening, memperlihatkan isi berupa
senjata dengan beragam jenis. Di sudut lain terdapat rak buku minimalis dengan
buku-buku tebal yang tampak tua terpajang dengan apik. Sebuah loker dengan nama
masing-masing siswa tertera di depannya. Di tengah ruangan diisi dengan meja dan
kursi masing-masing untuk satu orang siswa.
“Aila, kau berpikir hal yang sama denganku, kan?” tegur Inara.
“Uh, bagaimana kita bisa gunakan loker yang bahkan tak ada pegangan dan juga
kuncinya? Aneh..” gerutu Aila yang ditujukannya pada Inara.
Namun yang Aila temukan malah sahabatnya itu sibuk menatap setiap inchi
pedang silver yang tampak gagah itu. Aila pun mendekat, ikut melihat pedang yang
diperhatikan Inara. Tapi ia tak menemukan hal aneh, selain pedang itu tampak
begitu istimewa dengan ukiran-ukiran kuno yang indah.
“Oh, maaf!” ujar Aila seraya mengambil pedang yang terjatuh akibat ulahnya. Tak
sampai sedetik ia menyentuh pedang itu, dan ia pun berteriak kaget, “Akh!”
Aila menatap Inara bingung, “Aku tak tau. Tapi pedang ini terasa membakar saat
kusentuh. Seperti ada sengatan listrik dari dalamnya.”
Inara tampak berpikir, “Mungkin itu hanya kebetulan. Aku memegangnya daritadi
dan tidak ada apa-apa dengan tanganku.”
Aila diam sejenak. Kemudian ia kembali menyentuh gagang pedang itu, dan
teriakan yang sama terucap lagi olehnya. Inara menyentuh tangan Aila, dan terdapat
bekas lepuhan yang baru di tangannya.
Inara menyentuh tangan Aila dengan tenang sembari mengangguk yakin. Aila
pun melepaskan tangannya dari Inara. Kali ini, tangan Inara benar-benar menyentuh
pedang misterius itu, dan tak terjadi apa-apa. Mereka bertatapan penuh arti.
“Bukan hanya tidak membakarku, Ai. Tapi, sebenarnya yang daritadi kupikirkan
adalah, kenapa pedang ini bisa persis seperti pedang milikku? Sangat mirip.”Ujar
Inara bingung.
Aila berusaha mengingat pedang Inara yang diucapkannya, dan ketika ia berhasil
mengingatnya, Aila menutup mulutnya dengan sebelah tangannya, “Tidak mungkin!
Apa tadi pedangmu masih ada di kamar?”
“Ya, masih! Aku tidak pernah membawanya keluar. Kau tau sendiri, aku hanya
menunjukkan pedang itu padamu saja.”
“Inara, apa maksudnya ini?” Aila menatap Inara penuh tanda tanya.
“Apa yang kalian lakukan?!” ujar seorang wanita dewasa yang tampak panik ketika
melihat Inara memegang pedang misterius itu. Di belakang wanita itu sudah terlihat
beberapa siswa di kelas itu dan beberapa lelaki dewasa yang juga tampak terkejut.
“Dia hanya memegang pedang, apa itu tidak diperbolehkan?” komentar seorang lelaki
yang merupakan siswa kelas itu.
“Bukan itu!” tegas wanita dewasa itu. Lantas ia beralih menatap Inara yang masih
memegang pedang itu dengan sedikit terkejut, “Pedang itu terkutuk! Tidak pernah
ada yang bisa menyentuhnya selama 8 tahun terakhir.”
Siswa di kelas itu tampak terkejut mendengarnya, tak terkecuali Inara dan
Aila. Wanita itu menatap Inara tepat di matanya, hingga membuat gadis itu sedikit
gugup. Dilihatnya tangan Inara yang baik-baik saja. Bahkan pedang itu seolah
bersinar di genggaman Inara.
“Kenapa?”
***
Chapter 2, ‘Silver Sword’
Author POV :
Ia tak mengerti kenapa ia bisa sampai di ruangan kepala sekolah hanya karena
memegang sebuah pedang. Meski ia sadar, pedang yang ia pegang bukanlah pedang
biasa.
Beberapa kali Inara dapat menangkap sepasang tatapan tajam yang ditujukan
Alethea padanya. Lalu Alethea akan berbicara dengan gestur kesal seolah-olah
kepala sekolahnya sedang membicarakan sesuatu yang tak masuk akal. Inara mulai
merasa Alethea tidak menyukainya karena fakta yang baru saja ia ketahui pagi tadi.
Lelaki itu tersenyum ramah. Inara balas tersenyum. Ia mulai paham siapa
lelaki di hadapannya ini.
“Aku Arif. Salah satu preceptor di SMA ini. Aquina Vallerya Inara, bukankah itu
namamu?” ujar lelaki itu ramah sembari mengulurkan tangannya.
“Panggil Inara saja.” Inara berdiri lantas menyambut uluran tangan yang tampak
kokoh itu.
Arif mempersilahkan Inara duduk dengan gestur tangannya sembari ia pun
menghampiri sofa di samping Inara. Tak ada yang bersuara untuk beberapa saat.
Inara mengalihkan pandangannya kembali ke Alethea yang kini bersedekap tak suka
di hadapan kepala sekolahnya. Menaikkan alisnya, Inara mulai heran dengan tingkah
Alethea yang menurutnya kurang sopan di hadapan kepala sekolahnya itu.
Arif mengikuti arah pandang Inara, lantas tersenyum tipis seolah mengerti
apa yang tengah dipikirkan siswi di hadapannya ini.
“Alethea adalah sahabat Bram sejak kecil. Mereka sudah sangat akrab.” Arif
membuka percakapan, mengambil alih atensi Inara.
Arif lantas tertawa mendengar pertanyaan Inara yang terkesan blak-blakan, “Aku
hanya terlalu peka mungkin.”
“Tentu.”
“Apa memegang pedang adalah pelanggaran yang penting sampai saya harus masuk
ke ruang kepala sekolah di hari pertama sekolah? Maaf kalau ini tidak sopan.” Inara
sengaja bertanya dengan sedikit sindiran, karena suasana ini membuatnya tidak
nyaman sedari awal.
“Tidak, tentu saja, jika yang kau pegang adalah pedang biasa. Tadi itu bukan pedang
biasa, melainkan pedang terkutuk. Kau dengar, Alethea bilang siapapun yang
menyentuh pedang itu akan terbakar, dan kau tidak.”
Inara masih menaikkan alisnya seolah meminta penjelasan lebih lanjut tentang
pedang itu. Arif memajukan sedikit tubuhnya, membuat Inara menahan napas
melihat lelaki di hadapannya sangat tampan dalam jarak yang cukup dekat itu.
“Inara, ini bukan karena pelanggaran, melainkan pertanyaan.” Ujar Arif.
“Pertanyaan?”
“Pertanyaan, kenapa kau bisa menyentuh Silver Sword tanpa merasa kesakitan
seperti yang kami rasakan? Atau mungkin, pertanyaan tentang, sebenarnya siapa
dirimu?” Arif mengakhiri ucapannya dengan sebuah senyum tipis.
Kepala sekolah itu sudah selesai berbicara dengan Alethea, dan kini memilih
duduk di hadapan Inara, bukan di kursi kebesarannya. Senyum ramah muncul di
wajah yang terlihat sedikit tua itu. Inara membalasnya dengan senyum kikuk.
“Aku Bram, kepala sekolah Callira. Bagaimana hari pertamamu di SMA ini?” kalimat
pembuka yang terkesan tenang itu justru semakin membuat kikuk Inara.
“Diluar dugaan, saya rasa.” Jawabnya ragu. Bram tersenyum maklum mendengarnya.
“Menarik. Jadi, kudengar kau bisa memegang Silver Sword, pedang legendaris di
SMA ini tanpa terluka. Apa kau tau kenapa itu bisa terjadi?” pembicaraan mulai
terasa serius, dan Inara benci suasana mencekam seperti itu.
“Entahlah. Saya bahkan tak tau itu pedang yang terkutuk. Saya hanya tertarik
ketika melihatnya pertama kali.”
Inara diam sejenak, “Tidak ada. Hanya saja pedang itu indah. Saya menyukainya.”
Bohongnya. Ia tak ingin memberitau siapapun selain Aila, bahwa pedang itu benar-
benar mirip dengan miliknya. Tidak untuk saat ini.
Bram terdiam sejenak. Ia mengangguk paham, “Apa yang kau rasakan ketika
menyentuhnya?”
“Dingin. Dan berdebu. Pedang itu jelas disimpan terlalu lama disana. Hanya itu yang
terlintas di pikiran saya.” Inara menjawab sekenanya. Bram, Alethea, dan Arif bisa
merasakan adanya kejanggalan dari jawaban Inara yang terlalu sederhana.
“Arif, tolong temui kepala persenjataan dan antarkan berkas yang ada di meja itu
padanya. Dan Alethea, tolong urus kejadian ini, jadikan satu dokumen dengan
catatan kejadian sekolah di tahun ini. Terimakasih.” Ujar Bram lantas berdiri
sembari menghampiri meja di sudut ruangan.
Arif dan Alethea mengangguk, lalu meninggalkan kedua manusia itu di dalam
ruangan. Inara merasa ia juga akan disuruh pergi oleh Ravindra. Tapi diluar dugaan,
Ravindra justru berdiri dan menyiapkan dua cangkir teh hangat untuknya sendiri dan
Inara.
Inara menyeruput teh-nya. Ditatapnya Ravindra yang masih dengan senyum yang
sama. Ia pun memberanikan diri bertanya.
“Aku hanya ingin tau, jika tak ada siapapun yang bisa memegang pedang itu selama
ini, lalu bagaimana pedang itu bisa ada di lemari persenjataan kelas kami dan ditata
rapi di tempatnya?” tanya Inara bingung.
“Lebih tepatnya, pedang itu diletakkan tanpa disentuh, oleh seseorang yang punya
kekuatan telekinesis - memindahkan benda tanpa menyentuh. Lagipula, sangat
sedikit orang yang memiliki kemampuan itu, bukan?” senyum Ravindra.
“Kenapa tidak membuangnya saja? Jika kalian tak bisa menyentuhnya, kenapa tidak
membuang lemari bersama pedang itu sekalian?”
“Aku ingin. Dulu sekali, aku sempat terpikir hal itu. Tapi kemudian aku bertemu
seorang peramal di tengah perjalananku menuju sekolah. Peramal itu bilang, pedang
itu punya pemiliknya, dan pemiliknya akan tiba suatu saat nanti untuk mengambil
pedangnya. Karena alasan itu, aku tetap menjaganya agar selalu aman.”
Inara terdiam sejenak. Ia berusaha mencerna dengan baik maksud dari Ravindra,
“Jadi maksudmu, aku adalah pemilik pedang itu?”
Ravindra tersenyum. Inara malah semakin bingung dan tak mengerti. Ravindra
menepuk pundak Inara pelan, “Sekarang, kau bisa kembali ke kelas.”
“Aku yakin kau tidak bisa menceritakan semua yang kau ketahui dengan tenang jika
ada banyak orang di ruangan. Tapi kau tidak perlu mengungkapkannya sekarang.
Masih ada waktu untuk berpikir. Kau bisa pergi, Inara.” Ravindra tersenyum, itu
malah membuat Inara bergidik ngeri.
Ternyata kepala sekolah itu tau bahwa ada yang disembunyikan oleh Inara. Ia
segera melangkah pergi. Ia terus berpikir hingga sampai ke kelasnya. Inara berdiri
sedikit terkejut di depan pintu ketika semua mata melihat ke arahnya dengan
tatapan penuh selidik.
Inara mengangguk sopan pada seorang wanita, Raina, di depan kelas. Raina
mempersilahkannya masuk. Ia segera duduk di kursinya, tepat di sebelah Aila.
Diliriknya telapak tangan Aila yang sudah dibalut perban. Seketika ia merasa
bersalah. Aila yang menangkap arah tatapan Inara, lantas melambaikan tangannya,
kemudian tersenyum menenangkan. Inara pun ikut tersenyum, lalu dengan santai
mengikuti penjelasan yang tertinggal olehnya.
“Aku yakin semua siswa disini ingin menjadi seorang ksatria. Karena jika kalian ingin
menjadi juru masak, kalian tidak akan masuk ke SMA berbasis senjata dan sihir ini.”
Canda Raina yang mengundang tawa kecil dalam kelas, “Sekarang, aku akan
menjelaskan pengetahuan dasar yang perlu kalian ketahui sebelum menjadi seorang
ksatria di negeri kita. Setiap orang yang masuk ke SMA ini, pastinya sudah
bermimpi menjadi seorang cavaler, atau bahkan seorang salvator.” Ujar Raina
kembali melanjutkan ucapannya.
“Karena itulah, tujuan akhir kami mendidik kalian. Sekarang, aku ingin kalian tau
tentang senjata andalan yang kita sebut sebagai Arma. Setiap dari kalian akan
berlatih dengan semua jenis senjata, tapi tetap, hanya satu senjata yang menjadi
kekuatan utama kalian. Senjata, yang menunjukkan jati diri kalian. Apa disini ada
yang sudah mengetahui Arma-nya?” tanya Raina.
“Kalau begitu, nanti siang, setelah upacara penyambutan seluruh murid baru, kalian
akan dikumpulkan untuk menemukan Arma kalian di gedung putih sekolah. Jangan
ada yang terlambat di upacara nanti, oke?”
“Oke, Miss.”
Setelah kata sambutan dari Preceptor Raina, semua murid pun sibuk dengan
urusannya masing-masing. Kebanyakan dari mereka saling berkenalan satu sama lain.
Berbeda dengan Inara juga Aila yang masih terdiam di kursinya.
Ucapan kepala sekolah terngiang di pikirannya. Kali ini ia menoleh ke belakang,
melihat lemari persenjataan yang sudah berada di tempat semula. Tentu saja, ia
yang meletakkannya kembali atas perintah –atau lebih cocok disebut, amukan-
Alethea.
Aila mengikuti arah pandang Inara. Melihat pedang itu, Aila seketika teringat
tentang ucapan Inara bahwa pedang itu mirip dengan pedangnya. Hanya saja, Aila
tak pernah menyentuh pedang Inara, dan dia tak tau apakah pedang Inara akan
memberi reaksi yang sama pada dirinya atau bukan.
Aila ingin membahas tentang pedang itu. Tapi ia khawatir itu hanya akan membuat
Inara merasa bersalah. Ia pun tersenyum, “Menurutmu senjata apa yang akan
menjadi Arma-mu?”
“Mungkin, pedang? Kau tau aku sangat menyukai pedang.” Senyum Inara yakin,
“Bagaimana denganmu?”
Aila berpikir sejenak. Selama ini ia tak memiliki ketertarikan khusus pada senjata,
“Aku tak terlalu tertarik, hanya saja, aku merasa aku akan mendapatkan Harmer?”
“Entah kenapa, aku berfirasat kau akan mendapatkan panah. Sesuai dengan
kepribadianmu.”
“Ai, bisa kau jelaskan apa yang dimaksud guru kita tadi?”
“Preceptor, Ra.” Koreksi Aila dengan senyum memaklumi, “Kita memanggil mereka
preceptor, sama dengan pembimbing. Namanya Preceptor Raina. Kau bisa
memanggilnya Miss juga.”
“Kupikir panggilan guru semasa sekolah dulu sudah terlalu melekat di pikiranku.”
Keluhnya singkat, “Lalu?”
“Di SMA Callira, kita akan dilatih menjadi seorang ksatria yang cocok dengan
kemampuan kita. Kau tau bukan, dalam bidang pertahanan ada 4 tingkatan ksatria?
Nah-“
“Tunggu dulu, aku tidak tau tingkatan apa yang kau maksud.” potong Inara bingung.
Aila melongo dibuatnya, “Oh ayolah, ini pengetahuan umum dan kau belum pernah
dengar? Jadi kenapa kau mau masuk SMA berbasis senjata kalau kau bahkan tak tau
tentang pertahanan?”
Inara berpikir, “Oh, aku mengikutimu. Lagipula aku sangat menyukai pedang dan
kurasa aku punya bakat khusus di dalamnya, jadi kupikir menjadi ksatria adalah
pilihan yang bagus. Ketika tes masuk pun, aku diterima, bukan?”
“Ketiga adalah Protectorul, seorang pelindung. Mereka adalah orang yang memiliki
kekuatan perlindungan yang luar biasa dan bertugas melindungi pasukan juga
panglima perang selama peperangan. Mereka juga sering dijadikan sebagai pelindung
pribadi raja. Orang-orang protectorul tergolong sedikit. Dan mereka kurang andal
dalam menyerang.”
“Oh, dalam arti lain, mereka itu lebih mahir dalam bertahan?” sela Inara dengan
semangat. Ia seperti mendengar dongeng tentang perang.
Aila tertawa kecil melihat reaksinya, “Ya, bisa dibilang begitu. Dan yang terakhir,
adalah tingkatan tertinggi yaitu Salvator, kita sebut juga Sang Penyelamat. Mereka
adalah orang terkuat melebihi semua tingkatan dan tentunya hanya dimiliki
segelintir orang. Dan hal buruknya, salvator ini bisa menjadi musuh berbahaya jika
menjadi seorang pengkhianat.”
“Pengkhianat, ya? Jadi maksudmu, setelah kita lulus dari sini, kemungkinan kita akan
tersedot dalam beberapa bagian pertahanan perang itu, ya?” Kali ini nada bicaranya
terdengar sedikit lemah.
“Ada apa dengan suaramu? Kau terlihat kurang antusias.” Aila sampai terheran
dibuatnya.
Inara menghela napas, “Ai, kurasa aku memang tidak jelas ingin melanjutkan dimana.
Aku tak memiliki ketertarikan pada dunia perang. Aku hanyalah gadis biasa yang
menyukai senjata.”
“Tidak ada yang menyukai perang, Ra. Lagipula, kau bukan gadis biasa. Aku bisa
rasakan itu. Percaya dirilah. Selagi aku ada, aku akan terus menemanimu sampai kita
berdua menjadi seseorang yang hebat.”
***
CHAPTER 3, ‘The Arma’
Author POV :
Gedung yang dimiliki SMA Callira sangat luas dengan undakan kursi layaknya
di stadion yang mengelilingi pusat gedung. Di tengah gedung terbentang labirin yang
luas dan sangat memusingkan. Di bagian atas langit-langit gedung tergantung sebuah
layar besar berwarna hitam. Aila dan Inara duduk di undakan kursi bagian tengah
yang sudah cukup menampakkan seisi gedung.
“Aku tidak salah dengar, kan?” bisik Aila karena suasana yang benar-benar hening
membuatnya harus mengeluarkan suara seminim mungkin, “Mereka baru saja
mengatakan kita akan masuk ke labirin itu dengan tangan kosong dan berhadapan
dengan segala macam makhluk didalamnya tanpa kepastian Arma akan datang di saat
yang tepat?”
Inara tersenyum tipis mendengar nada bicara Aila yang gusar, “Yang kudengar
mereka tak peduli kita berhasil atau keluar dengan kegagalan juga luka
mengenaskan. Itu berarti, sekolah ini gila.”
Nomor undian dibagikan, dan mereka berdua mendapat giliran tim kedua yang
akan masuk. Setiap tim terdiri atas 5 orang siswa dalam satu kelas yang sama.
Meski menegangkan, tapi Aila juga Inara bersyukur mereka ada di satu tim yang
sama.
“Jika sesuatu terjadi padaku, tolong sampaikan pada Ibu kalau aku sangat
menyayanginya.” Gumam Aila ketika melihat tim pertama masuk ke labirin.
Inara menoleh cepat dan mendapati Aila yang pucat pasi melihat labirin di
hadapan mereka. Ia menepuk bahu Aila pelan, kemudian berbisik, “Tenang saja, kita
ada di giliran yang sama. Aku tidak akan membiarkan makhluk manapun menyakitimu.
Lagipula, aku yakin, Arma kita akan datang tepat saat kita membutuhkannya.”
Aila benar-benar tak terhibur, namun itu cukup menenangkannya. Mereka pun
kembali fokus pada acara di depan sana.
Satu persatu siswa masuk dengan jarak waktu masuk antar anggota 2 menit.
Mereka masuk secara terpisah, dan cukup sulit meyakinkan bahwa kelima siswa
dalam tim tersebut akan bertemu di jalur yang sama meski masuk dengan waktu
hampir berdekatan.
Setelah kelima siswa masuk, sebuah layar besar di hadapan kursi penonton
terbagi menjadi 5 bagian dan menampilkan kondisi di dalamnya dengan masing-
masing siswa.
Suasana mencekam begitu terasa. Untuk sesaat, tidak ada apapun di dalam
sana. Setiap anggota menempuh lorong yang berbeda dan tampak waspada. Hingga
anggota lelaki yang mengambil lorong paling ujung, dikejutkan dengan seekor
harimau berbadan 3 kali lebih besar darinya sedang menggeram.
Siswa lelaki itu diam sejenak di tempatnya, saling bertatapan dengan harimau.
Posisi kakinya membentuk pola siaga, maksudnya, siaga untuk berlari. Harimau yang
awalnya tenang itu, mendadak mengaum dan melompat ke arah siswa tersebut.
Semua penonton berteriak kaget.
Kali ini ia tak mampu berdiri dan hanya bisa terbaring kesakitan di tanah.
Inara menoleh khawatir ke sekelilingnya dan tak menemukan tanda-tanda para
preceptor akan turun tangan menyelamatkan siswa itu.
‘Sial! Mereka benar-benar berniat tak menolong siswa yang hampir mati sekalipun.’
Batin Inara geram.
Ia pun tak mampu berbuat apapun selain kembali fokus pada layar dan nasib
naas lelaki itu. Harimau itu kembali meloncat dan berhasil menghimpit lelaki itu
dibawah. Ia membuka mulutnya lebar, menampakkan taring tajam yang terbalut air
liur. Siswa yang menonton bergidik ngeri dan mengeluarkan jeritan takut.
Lelaki itu tampak tenang. Dan semua berlangsung cepat. Harimau itu hendak
menerkamnya, namun mendadak raungan kesakitan datang dari sang harimau. Semua
orang bertanya-tanya mengapa harimau itu kesakitan.
Lelaki itu tampak lega, kemudian ia mendorong harimau itu ke samping dengan
sisa tenaganya. Harimau itu tergolek lemah. Dan ternyata sebuah kunai cukup besar
menancap di perut Sang Harimau. Lelaki itu berdiri dengan sedikit kesulitan. Ia
kembali memejamkan mata, lalu sebuah kunai dengan ukuran lebih kecil mendadak
muncul di tangannya. Dengan satu helaan napas, ia melempar kunai itu dan tepat
mengenai perut Sang harimau, hingga mati mengenaskan.
“Oh, jadi begitu cara kerjanya.” Gumam Aila di sebelahnya, membuat Inara kembali
fokus pada layar di hadapannya.
Lelaki itu tampak kembali berjalan dan melewati lorong demi lorong, dan
kembali menghadapi berbagai makhluk berbahaya di dalamnya. Semua siswa di dalam
labirin itu berhasil menemukan Arma mereka dan bertarung habis-habisan dengan
makhluk-makhluk di dalamnya. Beberapa anggota bisa saling menemukan dan tolong-
menolong, dan beberapa diantaranya harus melawan sendirian.
Akhirnya, tim satu pun berhasil keluar dari labirin dengan selamat, meski
luka-luka parah maupun kecil menghiasi tubuh dan wajah mereka. Tepuk tangan riuh
menyambut mereka. Para medis segera berlari untuk memberi pertolongan.
“Lelaki kunai itu cukup hebat.” Komen Inara melihat lelaki pertama yang menyerang
harimau itu.
“Namanya Farid.” Timpal Aila menanggapi. Inara mengangguk, ia memang belum
sempat berkenalan dengan seluruh teman sekelasnya karena dipanggil kepala
sekolah sampai melewatkan bagian perkenalan di kelas.
Bahkan ketika istirahat berlangsung, tidak ada satu murid pun yang
mendekati Inara, atau sekedar mengulurkan tangan untuk berkenalan. Sebagian
besar karena khawatir dengan kemampuan Inara memegang pedang terkutuk, dan
sebagian lagi karena aura dingin Inara yang terlampau kuat, membuat beberapa
orang nyaris tak betah berada di dekatnya, kecuali Aila.
“Yang berambut hitam paling tinggi itu Farid. Di sebelahnya, satu-satunya gadis itu
Adeyra. Lelaki dengan wajah paling lugu itu Raes Athar. Terus ada Danish dan
Daffa.” Terang Aila sekaligus menyebutkan fisik kelima anggota tim pertama itu.
Inara mengangguk dengan mata yang menyelidik keadaan kelima siswa itu.
Mereka tampak kacau sekali. Seluruh tubuh penuh luka. Seragam mereka pun sudah
compang-camping. Namun dengan gesit para medis mengobati luka mereka setelah
Kepala Sekolah Ravindra meresmikan Arma mereka.
“Ayo kita beri mereka pertunjukan.” Bisik Inara menggoda. Aila mendengus sebal,
membuat Inara terkekeh pelan karena berhasil menggodanya.
Aila mengusap rambutnya, “Ouh, seriously? Kau ingin membahas itu padahal kita
sebentar lagi akan menyambut kematian?”
Inara mendengus sebal. Aila memang terkadang berlebihan. Tapi tidak ada
yang salah dengan perkataan itu. Toh kalaupun mereka mati, orang-orang hanya akan
menyebutnya kecelakaan saja.
“Siapa juga yang berharap se-tim dengan gadis menyebalkan sepertinya.” Kalimat itu
kelihatan seperti gumaman, namun siapapun yang mendengarnya pasti menyadari
bahwa yang mengatakan tidak bermaksud seperti itu karena ia mengatakannya
dengan cukup keras.
Wajah Inara memerah menahan amarah. Ia hampir saja meledak dan memaki
lelaki yang menurutnya jauh lebih menyebalkan daripadanya. Namun sebuah tepukan
lembut menyapa bahu kirinya. Inara mengentakkan bahunya kasar, berpikir pastilah
Aila –lagi- yang berusaha menenangkannya. Hingga sedetik kemudian ia sadar, Aila
berdiri di sebelah kanannya.
“Tidak ada perkelahian antar anggota tim, Inara. Itu hanya akan menghambat kerja
sama kalian dalam bertahan.” Arif dengan segala aura mengintimidasinya kembali
membuat Inara sadar dari keterpakuannya.
Kemudian lelaki itu berbicara dengan volume yang ditujukan untuk kelima anggota
tim itu, “Aku Arif, Preceptor tim kalian. Kuharap untuk kedepannya, kita akan
bertemu dalam keadaan yang tidak mengecewakan. Semoga berhasil.”
“Ya Tuhan, tampan sekali preceptor kita.” Komen Aila dengan sedikit berbisik pada
Inara.
Inara memutar matanya jengah, “Dia tidak sekeren yang kau bayangkan.” Gerutunya.
Dua orang lelaki menghampiri Inara. Ia tau keduanya merupakan teman se-tim-nya,
“Hai, aku Raes Athar. Kau bisa panggil Athar saja.” Seorang lelaki dengan rambut
hitam legam itu mengulurkan tangan pada Inara. Sebuah senyum hangat mengundang
keramahan Inara untuk menyambutnya.
Inara mengangguk singkat dengan senyuman tipis sebagai balasan. Aila melirik
salah seorang lelaki lagi yang masih bergeming di tempatnya. Ia memutar matanya
jengah. Lelaki itu bahkan tak tertarik untuk memulai perkenalan dengan Inara.
“Adelard! Jika kau tidak keberatan, kenapa tidak meredakan pertengkaran tidak
jelas kalian dengan perkenalan, huh?” sindir Aila, membuat Inara juga tertohok
mendengarnya.
Inara POV :
Tubuhku mulai panas dingin. Reaksi aneh tiap kali aku dilanda gugup. Lelaki
menyebalkan itu sudah masuk lebih dulu. Di depanku, Aila tampak sama gugupnya. Ia
bahkan meremas tanganku yang berada tepat di belakangnya. Aku menepuk bahunya
pelan, mungkin itu bisa sedikit menenangkan kami. Ya, kami.
Beberapa saat kemudian, Aila menyusul masuk, meninggalkan aku yang berada
tepat di pintu labirin. Menunggu suara tembakan sebagai pertanda untukku masuk ke
sarang bahaya itu.
DORR!!
Aku berlari pelan, memasuki lorong labirin dengan waspada. Aku dihadapkan
dengan lima lorong labirin. Kuambil lorong tengah, mengingat Farid, lelaki
sebelumnya sempat mengambil lorong sebelah kiri dan langsung dihadang Harimau
berukuran tidak wajar.
Aku berhasil sampai ke sebuah ruangan persegi, kosong. Aku tak menemukan
keganjilan apapun disini selain lorong yang ada di setiap sudut. Baiklah, anggap saja
ini peruntunganku.
Kulihat setiap lorong yang bisa kujadikan pilihan. Menurut telingaku yang
mendengar suara geraman yang cukup besar, sepertinya lorong sebelah kiriku bukan
pilihan yang baik.
Dengan langkah cepat aku berlari menuju lorong di hadapanku, tepat di sudut
kanan ruangan. Dan seketika hantaman keras menyapa wajahku dari sisi kanan. Aura
mengancam muncul begitu saja di ruangan sepetak yang bahkan tak lebih luas dari
kamarku –dan omong-omong, kamarku itu sempit-. Kutarik ucapanku, sedari tadi aku
tidak sendirian disini.
Untuk beberapa saat kedepan, kurasa kami hanya saling bertatapan dalam
diam. Aku sibuk dengan keterkejutanku, dan sepertinya dia sibuk mencari cara yang
keren untuk menghabisiku.
Dia tersenyum tipis, lantas menghilang begitu saja. Aku tersadar dan segera
mengambil sikap was-was. Aku tidak bisa mengandalkan penglihatanku saat ini.
Kufokuskan indra pendengaran, melangkah dengan hati-hati menuju ruangan.
Angin berhembus dari belakangku. Aku berputar menghindarinya dan balas
menendang ke arah angin. Namun nihil. Yang kutendang hanyalah angin kosong. Aku
menatap sekelilingku.
Mendengar suaranya yang jelek itu, aku justru merasa marah. Dengan sekuat
tenaga, aku membalikkan badan dan menghentakkan tangannya yang membakar.
Kurasa kami berhadapan sekarang, dan sedetik kemudian aku merasakan angin
berhembus di depanku. Aku mengelak ke kiri dan bukk!!
Dinding tanaman yang kerasnya seperti batu ini, baru saja remuk. Entah apa
jadinya kepalaku jika terkena pukulan itu –Baiklah, singkirkan pemikiran itu-. Segera
kutendang ia dengan perkiraan feeling, dan tepat sasaran! Aku merasa kakiku
menyentuh tubuhnya dan tendanganku yang barusan tidak main-main. Aku bahkan
bisa mendengar suara dentuman tubuh beradu dengan dinding.
Aku mendelik padanya. Lantas berdiri dan kembali menaruh atensi pada lawan,
“Kenapa kau disini?”
“Aku mendengar hantaman cukup keras disini. Ternyata benar, kau sudah dihajar
habis-habisan olehnya.” cemoohnya dengan senyum tipis.
Aku hendak membalas ucapan kurang ajarnya itu, tapi sebuah pergerakan
menyadarkanku bahwa ini bukan waktu yang tepat untukku menghujatnya. Si
menyebalkan –aku tau namanya Adelard, tapi aku tak mau menyebutnya karena ia
juga tak pernah menyebut namaku dengan benar - melempar kunainya dan seketika
dia menghilang. Kunai itu pun menancap di dinding kosong.
Meski aku benci mengakuinya, tapi dia cukup lihai menggunakan Arma-nya
untuk ukuran pemula.
“Akh!!” rutuk kami bersamaan. Yang barusan itu benar-benar sakit. Kepala si
menyebalkan ini benar-benar keras. Namun mendengar ia juga mengaduh, itu cukup
membuatku sadar ia juga sama sakitnya denganku.
Kami masih berdiri membelakangi, dan aku masih dalam keadaan yang sama,
bahkan lebih buruk. Aku begitu penasaran sebenarnya kapan Arma akan datang? Apa
menungguku mati dulu? Tapi dipikir-pikir, lelaki ini malah dalam keadaan yang tidak
terlalu parah ketika menolongku dengan Arma-nya tadi.
Karena sibuk dengan pikiran sendiri, aku sampai tak menyadari si
menyebalkan ini sudah tersungkur ke tanah. Aku meliriknya, sudut bibirku berkedut
menahan tawa. Pasalnya ia tersungkur dengan posisi tidak menyenangkan.
Aku pun tertawa lepas. Ia melirikku kesal. Namun tawaku terhenti ketika
dengan tiba-tiba ia terlempar menabrak tubuhku hingga kami sama-sama
menghantam dinding.
Aku membulatkan mata mendengar rutukannya. Ini pasti karena ruangan yang
sangat sempit sampai kami sulit bergerak bebas.
Kurasa untuk kesekian kalinya, tulangku terasa remuk. Aku sedikit merintih,
namun si menyebalkan ini bangkit dan dengan cepat melempar kunainya sembarang
arah. Aku takjub melihat bagaimana kunai itu terus bermunculan di tangannya
seolah tak pernah habis.
Saking takjubnya, sampai aku tak sadar tiba-tiba dia mendorongku kencang
dan sebuah kunai mendarat tepat dimana kepalaku berada sebelumnya.
“Sudah kubilang jangan lengah, bodoh! Kau mau mati?!” bentaknya tanpa menatapku.
“Sialan! Aku punya nama, dasar menyebalkan!” aku balas membentaknya lantas
memberikan tendangan lumayan keras padanya.
Aku tertohok, “Sebelum kau datang, aku lebih dulu merasakannya berulangkali!”
“Diamlah!”
“Kenapa terus melempar sembarang arah?! Kenai titik vitalnya!” tukasku geram.
“Berisik! Aku sedang mencarinya!” rutuknya, “Panggil saja Arma-mu. Aku akan
mengurusnya!” ucapnya lalu berlari menerjang makhluk yang sudah terkunci dengan
serangan kunainya.
Aku berdiam diri sambil fokus dengan Arma-ku. Aku tak tau cara
memanggilnya. Kupikir ia akan datang jika aku diserang, tapi sejauh ini, aku tak
menemukannya.
Arma, apa mungkin aku tidak memilikinya? Tidak, itu tidak mungkin. Sebelum
masuk sekolah ini, setiap siswa akan di uji tentang keberadaan Arma dalam diri
kami. Hanya orang yang memiliki Arma sajalah yang bisa menjadi ksatria dan masuk
sekolah senjata. Dan aku lulus pengujian itu. Tapi kenapa dia tidak datang?
Aku mulai sedikit panik melihat Adelard yang dicekik dan dihantam. Adelard
terduduk kehabisan tenaga. Gazz beralih pada tujuan utamanya, aku. Ia menatapku
bengis. Kunai yang tertancap secara asal di tubuhnya dicabut.
Keadaannya tak jauh beda dengan kami. Makhluk itu sudah cukup terluka
karena serangan kunai Adelard yang bertubi-tubi meski tak mengenai titik vitalnya.
Namun melihat ia berlari ke arahku, aku yakin ia masih memiliki cukup kekuatan
untuk meremukkanku. Aku sudah hampir tak punya tenaga melawannya yang memiliki
kekuatan melebihi manusia.
Aku melenguh namun tekadku kuat. Aku tidak akan menyerah! Hanya satu
yang mampu kupikirkan. Bukan Arma yang membuatku tetap hidup, tapi aku sendiri
yang menentukannya!
Chapter 4
Ia tersungkur.
Bagaimana mungkin pedang ini yang datang, sementara aku tau, meski seorang
pemilik Arma mempunyai senjatanya sendiri, tapi Arma yang akan datang padanya
pastilah berbeda dengan senjata yang ia miliki.
***
Pencarian Arma sudah selesai, dan kami sedang diobati di ruang perawatan
sekolah. Lukaku lumayan parah akibat petarungan dengan Gazz tadi. Yah,
menghadapi makhluk tak kasat mata itu memang sulit.
Teman se-tim ku hebat karena mereka keluar nyaris tanpa luka. Setidaknya
aku beruntung karena teman setim-ku ternyata bisa diandalkan. Aila bahkan hanya
mendapat beberapa goresan di tangan dan kakinya. Seperti dugaanku, Arma Aila
adalah panah.
Aku tersenyum tipis mengingat bagaimana Aila heboh ketika melihatku keluar
dengan luka yang cukup mengerikan dibanding mereka bertiga. Kulit leherku hangus
sebagian, beberapa lebam di tubuhku yang untungnya tak terlihat, lebam biru di
wajahku akibat tinjuan Gazz, mungkin bukan tinjuan melainkan dorongan biasa.
Karena jika Gazz benar-benar meninjuku, bukan hanya lebam, tulang pipiku akan
patah.
Awalnya aku juga sempat berpikir seperti itu. Tapi sayangnya, ketika aku
mengecek ruang kelasku diam-diam, pedang terkutuk itu masih di tempatnya.
“Pulang, yuk. Sudah hampir malam, aku kelaparan.” Aila memegang perutnya dengan
tatapan memelas.
Aku tertawa, “Oke. Ayo.” Aku memegang pedangku hendak membawanya pulang. Aila
tampak bingung, “Oh, omong-omong, dimana panahmu, Ai?”
Ia menatapku tak percaya, “Kau belum tau, ya? Kita bisa ‘ menyimpan’ Arma kita
tanpa perlu memegangnya kemana kita pergi.”
Aila menepuk keningnya, “Maksudku bukan menyimpan seperti itu. Kau hanya perlu
fokus pada pikiranmu untuk ‘menyimpan’ Arma-mu, dan seketika Arma akan hilang.”
Aku mencoba fokus pada pikiranku. Untuk beberapa saat terasa sulit. Tiba-
tiba Aila menepuk bahuku. Aku menatapnya bertanya, “Aku sedang fokus, kau ini!”
rutukku.
“Eh?” aku menatap tanganku. Aila benar. Aku tersenyum manis padaya. Tapi ia malah
menarikku cepat.
“Hentikan senyum konyolmu itu! Aku sudah lapar sekali!” gerutunya.
“Iya, iya.” Aku berjalan sambil sesekali memikirkan ayam madu yang dijanjikan ibu
Aila tadi pagi. Dan akan menyenangkan juga bisa memberitau kabar gembira tentang
Arma kami yang super keren.
***
Kelas masih sepi. Hanya aku dan Aila yang sudah datang. Selagi menyimpan
barang di loker, kulihat pedang terkutuk yang masih di tempatnya itu. Lagi-lagi aku
tertarik mendekatinya.
“Inara, jangan sampai kau dipanggil ke ruang kepala sekolah lagi hari ini!” tegur Aila.
Aku meringis karena ketahuan akan memegang pedangnya lagi. Meski hanya
aku yang bisa memegang pedang ini, aku tetap tak mendapat izin untuk
menyentuhnya sesuka hati.
“Kita tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau terus-terusan memegangnya. Karena
itu, kau harus tetap hati-hati dengan pedang itu, sampai kita menemukan alasan
kenapa hanya kau yang bisa menyentuhnya.” Ravindra tersenyum berwibawa seperti
biasa.
“Aku tau dari awal Arma-mu bukan pedang terkutuk itu.” ujarnya dengan suara
sangat pelan dan aku nyaris gagal mendengarnya jika aku tak membaca pergerakan
bibirnya.
Untuk beberapa saat aku hanya balas menatapnya tenang, berusaha tidak
terusik dengan kenyataan bahwa ada orang lain yang mengetahui Arma-ku yang
sebenarnya. Aku ingin membalas perkataannya, tapi kedatangan teman sekelasku
yang duduk tepat di samping Adelard membuatku urung mengatakannya.
Cukup Adelard yang tau. Untuk saat ini, entah kenapa aku masih merasa tak
boleh ada yang tau tentang senjataku yang serupa dengan pedang terkutuk itu.
***
Suara bel bordering mengakhiri kegiatan mengajar Alethea pada pagi itu. Ia
mematikan hologram yang tengah menunjukkan bagian akhir dari video penggunaan
senjata dasar, lantas menoleh pada murid-muridnya.
“Selanjutnya kelas pelatihan senjata. Dalam 5 menit kalian sudah harus ada disana
dengan barisan yang rapi.” Ucapan Alethea membuat penjuru kelas seketika penuh
akan keluhan.
Aila balas berbisik sembari melihat Alethea yang masih dengan wajah datarnya,
“Kurasa tidak.”
Inara lantas menoleh cepat ke arah Aila, “Jarak dari kelas ke lapangan itu 12
menit!”
“Dengan berjalan.” Sambung Aila pasrah, “Kurasa dia meminta kita untuk berlari.”
“Ouh!” Inara menggemeretakkan giginya kesal. Ia paling benci disuruh berlari.
“Jika tidak..” senyum tipis penuh ancaman Alethea membungkam seisi kelas. Tatapan
ngeri para murid tertuju pada preceptor cantik nan kejam itu. Alethea mengangguk,
“Sekarang.”
Inara menoleh dan menemukan teman satu timnya, Athar, tengah tersenyum
ramah padanya.
“Hati-hati, Inara.”
Inara terkekeh lantas berlari terlebih dahulu mengingat waktu yang juga
berjalan. Ia dan Athar masih sangat waras untuk memilih berlari sekuat tenaga
daripada mendapat hukuman yang tidak manusiawi dari Preceptor Alethea.
Bunyi pedang beradu dengan pedang, besi mengoyak kulit, tubuh menghantam
tanah, terus terdengar di halaman luas yang sebelumnya merupakan sebuah taman
istana. Pasukan berbaju besi terlihat kewalahan menghadapi serangan besar-
besaran dari sosok-sosok berbaju serba hitam dengan wajah tertutupi topeng
hitam. Mereka tidak mengenakan baju besi, namun kemampuan bertarungnya sudah
cukup untuk melindungi diri sendiri dari tebasan pedang. Bahkan banyak diantara
mereka yang tergeletak di rumput dengan darah yang merembes tanpa henti.
Di tengah keadaan yang kacau-balau itu, seorang lelaki dengan pakaian khas
kerajaan membuka pintu kamar Ratu dengan kuat. Sang Ratu menatap terkejut pada
pintu sambil memeluk kedua anaknya yang tengah ketakutan. Sepersekian detik
kemudian, tatapan terkejut Ratu berubah menjadi sorot kelegaan menyadari
Suaminya-lah yang telah membuka pintu kamarnya.
“Zarina..” panggil Raja Aaric dengan kelegaan luar biasa ketika melihat permaisuri
dan kedua anak-nya dalam keadaan aman.
Raja Aaric memeluk permaisuri dan kedua anaknya dengan pelukan yang
sangat erat, pelukan yang sarat akan kekhawatiran. Raja Aaric lantas menatap mata
berwarna senada dengan batu zamrud itu dalam. Hatinya menghangat ketika
menemukan kelembutan yang terpancar dari tatapan istrinya. Diusapnya perlahan
pipi Ratu Zarina.
“Zarina, bawa kedua anak kita ke ruang bawah tanah. Disana sudah ada Eric dan
beberapa penjaga yang akan mengawal kalian keluar dari istana. Kalian akan pergi ke
Hutan Terlarang dan berdiam disana sampai keadaan aman. Eric akan tetap menjaga
kalian sampai kondisi membaik. Dan juga pe-“
“Kau akan ikut, Aaric. Kau akan ikut dengan kami, bukan?” hanya sepenggal
pertanyaan itu yang keluar dari bibir Sang Ratu.
“Kalian harus pergi. Aku tidak ingin terjadi hal buruk jika kalian tetap disini.
Berjanjilah padaku, kau akan menjaga dirimu dan kedua anak kita selagi aku tak ada,
Za, berjanjilah.” Ucapan Aaric kian menyayat hati Zarina.
Melihat air mata yang semakin luruh dari sepasang mata favoritnya itu, hati
Aaric tersentuh. Ia sadar betapa takutnya istrinya untuk berpisah. Ia merasakan
ketakutan yang sama hanya dengan membayangkan ia tak lagi mampu menjumpai istri
dan kedua putrinya. Seketika pandangan Aaric melembut.
“Aku mencintaimu, dan aku mencintai Callysta juga Cyra. Aku mohon, pergilah,
untukku. Aku janji akan menemui kalian setelah ini. Aku janji akan selamat. Aku
Pengendali Cahaya, kau ingat?” senyum tipis Aaric membuat Zarina sadar, bahwa
Aaric benar-benar percaya akan kemenangannya.
Selama yang Zarina tau, jika Aaric begitu percaya diri akan kemenangan yang
diraih, maka ia pasti benar-benar akan menang. Karena itulah, sedikit demi sedikit,
kelegaan berkumpul di hati Sang Ratu. Ia percaya pada Aaric. Ia percaya suaminya
bisa memenangkan pertarungan ini. Ia pun memberikan senyum lembutnya pada Sang
Raja.
“Selamatkan dirimu dan kedua putri kita, berjanjilah padaku, Za.” Aaric
menggenggam kedua tangan Zarina erat.
“Aku janji.”
Dua kata itu membuat Aaric lega. Ia pun menarik kedua puterinya ke dalam
pelukannya. Ditatapnya Callysta dan Cyra, kedua puteri kerajaan, dengan pelukan
erat, seolah mereka tak akan bertemu dalam waktu yang sangat lama. Ditengah
pelukannya, Callysta, sang Puteri Sulungnya bertanya, “Ayah, kau akan kembali,
bukan?”
Callysta mengangguk penuh percaya diri, “Jangan khawatirkan Ibu dan Cyra, Ayah.
Selama aku ada, aku akan menjaga mereka.”
“Kalian harus menjaga cincin ini dengan baik. Ayah sayang kalian.”