Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
37 tayangan46 halaman

Our Novel

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 46

The Queen of Light

Cast :
 Aquina Vallerya Inara (Cindy)
 Rayyan Aditya (Ahaq)
 Cyra Aazaric (Inara)
 Adelard Grisham (Sappe)
 Raes Athar (Guntur)
 Farid (Bima)
 Danish Melviano (Deni)
 Daffa Rais (Revio)
 Faris Almaher (Dalief)
 Aila Aghna (Ai)
 Adeyra Ganes(Aini)
 Callysta Aazaric
 Alanna (Callysta)
 Alexa
PROLOG

Inara POV :

Aku berlari sekuat tenaga dengan seseorang, yang tak dapat kulihat wajah
maupun perawakannya, sedang menarikku untuk mengikutinya. Kegelapan begitu
pekat hingga aku tak bisa menyadari orang yang bersamaku ini lelaki atau
perempuan. Rasanya begitu melelahkan berlari di tempat yang tak dapat kulihat
ujungnya ini. Ajaibnya, jalan seolah kosong dan langkah kaki kami tak terhalangi oleh
sesuatu apapun.

Orang yang menarikku seolah-olah dapat melihat jalan di hadapan kami


dengan jelas karena langkahnya tak sekalipun terlihat ragu atau takut menabrak
sesuatu di hadapannya dengan kecepatan lari seperti ini – atau dia memang dapat
melihatnya dengan jelas. Dia memegang tanganku erat, terus memimpin langkahku
berlari.

Aku menoleh ke belakang. Tepat di ujung sana, yang kemudian kusadari aku
berlari di sebuah lorong panjang, seorang wanita yang berperawakan anggun sedang
bertarung pedang dengan seorang perempuan lain berambut hitam sepunggung, yang
tak dapat kulihat wajahnya dengan begitu jelas. Rambut panjangnya menutupi
sebagian wajahnya ketika berkelit dari setiap serangan. Mereka bertarung di
sebuah tempat terbuka karena aku dapat melihat pepohonan yang rimbun di balik
sana.

Aku terus menatap mereka, hingga tatapanku menangkap wanita


berperawakan anggun itu terjatuh ke tanah. Pedangnya terlempar. Perempuan yang
satunya kemudian berdiri dengan lebih tegap. Ia menyingkap rambut panjang yang
menutupi sebagian wajahnya.

Saat itulah aku dapat melihatnya dengan lebih baik, meski jarak yang cukup
jauh menyulitkanku untuk menatapnya dengan jelas. Entah kenapa, aku merasa
marah hanya dengan melihatnya. Ia menyerang wanita yang sudah tak berdaya di
atas tanah itu dengan sihir berupa api yang membara. Teriakan penuh kesakitan
terdengar hingga ke telingaku. Aku dapat melihat wanita itu melepuh dalam kobaran
api. Aku menghentikan langkahku paksa. Seseorang yang menarikku juga
menghentikan langkahnya.

Aku tak mempedulikan apapun ketika aku mendengar teriakan kesakitan itu.
Yang kutau hanyalah, dadaku terasa sesak ketika melihat wanita di belakang sana
terbakar dalam api. Aku ingin berlari menyelamatkannya, padahal aku tak mengenal
siapa dia. Aku hanya ingin menyelamatkannya. Namun ternyata seseorang yang
menarikku berlari tadi telah mendahuluiku. Ia menabrak bahuku dari belakang
hingga aku hampir kehilangan keseimbangan untuk sejenak.

Aku kembali terdiam di tempat, menatapnya yang perlahan terlihat jelas di


ujung lorong itu. Ia berlari ke arah yang lebih terang, sepertinya berusaha
menyelamatkan perempuan yang dibakar hidup-hidup. Ketika ia sampai di tempat
terang, barulah aku sadar, seseorang yang menarikku adalah seorang perempuan
muda. Ia membawa pedangnya lantas bertarung sengit dengan perempuan yang
punya kekuatan api itu.

Perempuan itu, benar-benar masih muda. Namun kemampuan pedangnya


membuatku merinding untuk sesaat. Mereka terus bertarung, sesekali dengan
menggunakan sihir. Aku cukup terkejut melihat kemampuannya bertarung dan
menggunakan sihir di usia semuda itu. Ia mengeluarkan sihir cahaya berupa kilat
yang seketika membakar tangan kanan perempuan jahat itu dan membuat pedangnya
terjatuh.

Namun entah kenapa, seketika perempuan yang menolongku malah terdiam


kaku, kemudian ia tersungkur dan tampak begitu kesakitan. Sedangkan perempuan
jahat itu tertawa menghina. Tanganku terkepal, geram entah karena apa.

Ia mengambil pedangnya yang terjatuh. Kemudian dengan tangan kirinya yang


masih baik-baik saja, ia berusaha mengangkat pedangnya setinggi mungkin untuk
menusuk perempuan penolongku yang masih kesakitan.

Aku menggeleng kuat. Air mataku jatuh. Aku berlari, hendak


menyelamatkannya. Ketika pedang itu hampir mendarat tepat di jantungnya, aku
berteriak kencang dan sebuah kilatan cahaya putih yang besar keluar dari tanganku,
dan seketika semua menjadi putih.
….

Aku tersentak. Kulihat sekeliling. Atap putih, dinding berwarna cream yang
sangat kukenal. Buku-buku yang usang juga masih ada di tempatnya. Dan yang
terpenting, kasur bermotif bunga lavender ini seketika membuatku menghela napas
lega. Ini kamarku.

‘Mimpi itu lagi.’ Batinku lelah. Aku menyeka kedua mataku yang sudah basah oleh air
mata, mengusap pelipisku yang penuh dengan keringat dingin. Selalu begitu tiap kali
terbangun.

Aku tak tau kisah siapa yang masuk ke dalam mimpiku, tapi aku selalu
bermimpi hal yang sama selama 7 tahun terakhir. Dan mimpi itu selalu berakhir di
bagian yang sama. Itu sangat mengganggu. Tak peduli seberapa seringpun aku
memipikannya, tubuhku selalu memberi reaksi yang sama, rasa takut dan sedih.

Aku bahkan masih mengingat perasaan di hari pertama aku bermimpi.


Tubuhku bergetar ketakutan di dinding tempat tidur sembari meraung memanggil
nama seseorang yang tak kuingat lagi namanya. Dadaku terasa sangat sesak seolah
ada batu besar yang menghimpitnya hingga membuatku kesakitan. Dan sialnya, tidak
ada seorangpun yang bisa menenangkanku.

Mimpi itu tak pernah berubah. Tidak pada rentetan kejadian yang kulihat,
tidak juga pada keinginan terbesarku untuk menolong. Semua selalu sama.

Mimpi ini adalah misteri, yang tak pernah aku ceritakan pada siapapun, selama
7 tahun terakhir kehidupanku ini.
Chapter I, ‘SMA Callira’
Author POV :

Sinar mentari yang cerah menelusup masuk melalui jendela kamar seorang
gadis yang luasnya hanya 4x5 m itu. Pagi sudah menyapa pemilik kamar yang tengah
merapikan dirinya di depan kaca seukuran tubuhnya, mematut penampilannya yang
tampak berbeda dengan raut wajah puas.

Tubuhnya yang tak terlalu mungil pun tak terlalu tinggi diselimuti celana
hitam selutut dengan kemeja putih lengan pendek dibalut rompi kulit senada dengan
celana. Segaris senyum muncul untuk menyempurnakan tampilan paginya itu.

“Inara? Inara?” sebuah suara bernada tinggi memanggil namanya.

Inara mengikat rambut bergelombang coklatnya sekedar, lantas berlari


mengambil tas punggungnya yang tergeletak di kursi. Senyum cerah sahabatnya,
Aila, adalah hal pertama yang menyambutnya di depan pintu utama rumahnya. Inara
terkekeh seketika menyadari alasan dibalik senyum bak mentari pagi sahabatnya
itu. Ia segera mengunci pintu rumah lalu berangkat ke sekolah bersama Aila dengan
berjalan kaki.

“Terimakasih tidak datang terlambat pagi ini, Ai.” Suara Inara adalah yang pertama
memecah keheningan diantara mereka.

“Apa itu hal pertama yang harus kau ucapkan dari sekian banyak hal yang bisa kau
komentari, Vallerya Inara?” nada suara Aila yang terdengar merajuk malah
mengundang tawa geli Inara.

“Tentu saja. Kau tau kita tidak pernah bisa datang tepat waktu karna kebiasaan
tidur kebomu itu. Sekarang lihat.” Inara menoleh dengan tatapan kagum yang
dibuat-buat membuat Aila merotasikan matanya kesal.

Aila mengangkat sebelah tangannya menyerah, “Terserahmu saja, Ra, terserahmu


saja.”

Inara terkekeh geli seraya memeluk singkat Aila dari samping, “Aku
bercanda, Ai. Omong-omong, kau tampak hebat dengan seragam ini.”
“Jangan memujiku, kau tau seragam ini aneh.”

“Sebenarnya ini masuk akal. Kau tidak akan bisa berlatih senjata dengan baik jika
kita diberi bawahan rok.”

Aila tampak berpikir sejenak hingga sedetik kemudian mengangguk setuju, “Kau
benar. Aku hanya belum terbiasa karena kita selalu memakai rok dari dulu.”

Melewati belokan jalan terakhir sebelum mencapai sekolah mereka, Aila


teringat dengan pesan ibunya, “Oh iya, ibu bilang, kau harus mampir ke rumah malam
ini. Akan ada ayam bakar madu untuk kita.”

“Benarkah? Dalam rangka apa?” Mata Inara berbinar senang ketika mendengar
makanan favoritnya dihidangkan untuk mereka.

“Ucapan selamat karena kita sudah lolos seleksi.” Aila hanya tersenyum tipis melihat
reaksi sahabat kecilnya itu.

Meski Inara bukan saudara kandungnya, tapi tetap saja terkadang ia berpikir,
mungkin saja mereka adalah saudara kandung dan Inara adalah anak bungsu saking
ibunya sangat menyayangi Inara seolah dia adalah anak kandungnya juga. Bahkan
ketika masih kecil, Aila seringkali merajuk pada ibunya karena perhatian Sang Ibu
kepada sahabatnya itu. Namun tentu saja Aila sadar, Ibunya sangat menyayanginya.

Kini Aila tak lagi berpikir seperti itu, karena ia pun sangat menyayangi Inara,
seperti saudara kandungnya. Ia rela memberikan segala yang ia punya untuk
sahabatnya itu.

“Ibu memang yang terbaik, Ai.” Senyum Inara yang secerah matahari pagi itu
membuat Aila malah tersenyum pedih. Setiap kali kata Ayah dan Ibu keluar dari
bibir Inara, ia dapat menangkap tatapan nanar sahabatnya itu, tak peduli selebar
apapun senyumannya, itu tetap tak bisa membohongi Aila.

Inara kehilangan semua anggota keluarganya sejak ia berumur 8 tahun. Ia


bahkan tak ingat kehidupannya selama 7 tahun ke belakang karena pernah
mengalami benturan kuat di bagian belakang kepalanya itu. Ia hanya mulai mengingat
kehidupannya bersama neneknya sejak umurnya 7 tahun. Neneknya bilang, hanya
mereka berdua yang tertinggal dalam keluarga sejak adanya peristiwa pembantaian
besar-besaran di seluruh negeri 8 tahun silam.

Inara berusaha bangkit dengan susah payah selama setahun itu. Bayangkan
seberapa sakitnya mengetahui hal itu untuk anak yang baru berusia 7 tahun,
terbangun dalam keadaan tak mengingat apapun dan seketika seseorang yang
mengaku sebagai neneknya memberitau bahwa ia telah kehilangan seluruh anggota
keluarganya.

Setahun ia merasakan hidup bahagia berdua dengan neneknya yang


penyayang, menutupi segala rasa hampa dan kehilangan yang sempat ia rasakan.
Namun takdir kembali merenggut satu-satunya keluarga yang tersisa. Aila bertemu
dengan Inara tepat di umurnya yang ke 9 tahun, menemukan gadis itu terisak
ketakutan karena tersesat ketika sedang mencari kayu bakar di hutan.

Aila yang saat itu sedang menemani ayahnya mencari kayu bakar, lantas
berusaha menenangkan gadis yang menurutnya aneh itu.

“Tentu saja.”

Mereka berbincang hingga tanpa sadar telah sampai ke tujuan. Aila


terperangah melihat bangunan yang merupakan sekolah baru mereka itu. Inara yang
sedang asik bercerita, lantas terdiam. Ia mengikuti arah pandang Aila, dan ikut
takjub dengan apa yang dilihatnya.

“SMA Callira.. benar-benar keren.” Ujar Aila yang tersadar dari lamunannya, “Ayo!”

Inara hanya terdiam. Ditatapnya tulisan ‘SMA CALLIRA’ yang terpampang di


bagian paling depan sekolah itu. Nama SMA itu cukup unik, menurutnya. Terdengar
seperti nama seseorang, mungkin. Ia hanya tersenyum tipis, tak menyangka bisa
masuk ke sekolah senjata paling bagus di negerinya. Semua orang tau itu, tidak ada
yang bisa mengetahui dan mengajari teknik senjata sebaik SMA Callira. Lulusan
SMA ini selalu menjadi pasukan terbaik. Tak jarang yang menjadi pengawal pribadi
Raja maupun Ratu berasal dari SMA Callira.

“Inara! Ayo!” Aila kembali menarik tangan Inara.


Mereka berjalan hingga menemukan sebuah papan pengumuman, tertera kelas
dan nama anggota kelas tersebut. Mereka tersenyum gembira ketika menemukan
nama mereka ada dalam satu kolom yang sama, ruang A-1

“Kita sekelas!” Aila ber-high five ria dengan Inara.

Tawa mereka terhenti ketika menyadari sebuah deheman di belakang mereka.


Seorang lelaki dengan perawakan tinggi dan tatapan dingin tengah menatap
keduanya seolah terganggu.

“Maaf, ini papan pengumuman untuk seluruh warga sekolah. Jika kalian sudah selesai
melihatnya, bisakah menepi dan berikan orang lain ruang untuk melihatnya juga.”
Ucap lelaki itu dengan nada datar.

“Oh, maaf.” Ucap Aila segan. Ia hendak menarik Inara menyingkir dari sana, namun
gadis itu malah menahan tangan Aila.

“Maaf jika itu mengganggumu. Tapi sejauh yang kulihat, hanya kau yang terganggu
dengan keberadaan kami disini. Jadi jika kau merasa terganggu, cukup katakan
dirimu saja yang terganggu, tidak perlu membawa embel-embel warga sekolah.”
Inara melebarkan matanya seolah menantang. Sedangkan yang ditatap hanya balas
menatap dengan ekspresi datar.

Lelaki itu maju selangkah, tepat di samping Inara, kemudian ia berucap pelan, “Aku
terganggu. Kalau begitu, menyingkirlah!”

Inara memelototkan matanya mendengar ucapan tidak sopan itu. Dia hendak
membalas, namun Aila buru-buru menariknya menepi. Inara melepaskan tangannya
kesal dari genggaman Aila.

“Sudahlah, Ra.” Sela Aila ketika Inara hendak kembali melabrak lelaki tadi.

“Dia itu sangat tidak sopan, Ai! Kalau mau lihat pengumuman, ya tinggal bilang
‘permisi’, susah sekali sepertinya! Semoga dia tidak sekelas dengan kita. Kalau saja
terjadi, hah, hidupku di SMA ini pasti akan menyebalkan sekali.” Ujar Inara berapi-
api.
Aila hanya mengangguk. Ia segera menarik Inara menuju kelas baru mereka,
sebelum Inara benar-benar kembali untuk memarahi lelaki yang bahkan tidak
mereka ketahui namanya itu. Ketika sampai di kelas, keduanya terperangah. Begitu
takjub dengan apa yang mereka lihat.

‘Kelas ini bukan main.’ Batin Inara kagum.

Ruangan segi empat itu cukup luas. Sebuah dinding putih ada di bagian paling
depan, dengan bulatan biru berukuran sedang berada di tengah dinding itu. Di sudut
ruangan, terpajang lemari besar dengan kaca bening, memperlihatkan isi berupa
senjata dengan beragam jenis. Di sudut lain terdapat rak buku minimalis dengan
buku-buku tebal yang tampak tua terpajang dengan apik. Sebuah loker dengan nama
masing-masing siswa tertera di depannya. Di tengah ruangan diisi dengan meja dan
kursi masing-masing untuk satu orang siswa.

“Aila, kau berpikir hal yang sama denganku, kan?” tegur Inara.

“Kelas ini..” timpal Aila sejenak terdiam.

“LUAR BIASA!” ucap mereka bersamaan.

Mereka menghambur ke dalam kelas. Meletakkan tas mereka di kursi bagian


tengah paling depan. Mereka duduk bersebelahan. Aila segera melihat loker
bertuliskan namanya. Ia berusaha membukanya namun loker itu tak punya lubang
kunci ataupun pegangan loker.

Sementara Aila berusaha membuka lokernya, Inara beralih ke feature yang


paling menarik baginya untuk pertama kali. Lemari senjata. Pedang, panahan, kunai,
shuriken, tombak, harmer dan berbagai jenis senjata ada di dalamnya. Pandangannya
jatuh pada sebuah pedang silver, dengan ukiran indah. Pedang ini sangat mirip
dengan miliknya di rumah.

Inara memperhatikan pedang itu lebih dekat. Ia tak menemukan perbedaan


sedikitpun di antara kedua pedang yang ia bandingkan. Inara membuka pintu kaca
lemari. Perlahan disentuhnya gagang pedang itu. Berdebu dan terasa dingin, seolah
tak pernah disentuh dalam jangka waktu yang lama. Perbedaan kontras itu jelas
terlihat ketika seluruh senjata dalam lemari tampak bersih bersinar tanpa debu,
kecuali pedang itu.

“Uh, bagaimana kita bisa gunakan loker yang bahkan tak ada pegangan dan juga
kuncinya? Aneh..” gerutu Aila yang ditujukannya pada Inara.

Namun yang Aila temukan malah sahabatnya itu sibuk menatap setiap inchi
pedang silver yang tampak gagah itu. Aila pun mendekat, ikut melihat pedang yang
diperhatikan Inara. Tapi ia tak menemukan hal aneh, selain pedang itu tampak
begitu istimewa dengan ukiran-ukiran kuno yang indah.

“Kau menyukainya?” tanya Aila.

Inara mengerutkan keningnya. Ia tak pernah terpikir menyukai pedang itu.


Hanya saja ia bingung dengan kemiripan pedang ini dengan pedang miliknya. Tak
mendapatkan jawaban yang diharapkan, Aila pun menyenggol bahu Inara cukup kuat
hingga pedang itu terlepas dari genggamannya.

“Oh, maaf!” ujar Aila seraya mengambil pedang yang terjatuh akibat ulahnya. Tak
sampai sedetik ia menyentuh pedang itu, dan ia pun berteriak kaget, “Akh!”

Aila kembali menarik tangannya. Ia terkejut dengan sengatan listrik yang


terasa panas dan membakar kulitnya ketika ia menyentuh pedang itu. Inara
terkejut, lantas memeriksa tangan Aila, dan menemukan seberkas jejak melepuh di
telapak tangan Aila.

“Aila, kau baik-baik saja?”

Aila menatap Inara bingung, “Aku tak tau. Tapi pedang ini terasa membakar saat
kusentuh. Seperti ada sengatan listrik dari dalamnya.”

Inara tampak berpikir, “Mungkin itu hanya kebetulan. Aku memegangnya daritadi
dan tidak ada apa-apa dengan tanganku.”

Aila diam sejenak. Kemudian ia kembali menyentuh gagang pedang itu, dan
teriakan yang sama terucap lagi olehnya. Inara menyentuh tangan Aila, dan terdapat
bekas lepuhan yang baru di tangannya.

“Inara, ini benar-benar membakarku!”


Inara terdiam. Ditatapnya pedang itu bingung, “Tapi.. kenapa aku bisa
menyentuhnya?”

Aila menggeleng memberikan jawaban. Inara mengulurkan tangannya hendak


memegang pedang itu, tapi Aila menahannya, “Bagaimana jika kau terbakar sepertiku
juga? Jangan, Ra!”

Inara menyentuh tangan Aila dengan tenang sembari mengangguk yakin. Aila
pun melepaskan tangannya dari Inara. Kali ini, tangan Inara benar-benar menyentuh
pedang misterius itu, dan tak terjadi apa-apa. Mereka bertatapan penuh arti.

“Bukan hanya tidak membakarku, Ai. Tapi, sebenarnya yang daritadi kupikirkan
adalah, kenapa pedang ini bisa persis seperti pedang milikku? Sangat mirip.”Ujar
Inara bingung.

Aila berusaha mengingat pedang Inara yang diucapkannya, dan ketika ia berhasil
mengingatnya, Aila menutup mulutnya dengan sebelah tangannya, “Tidak mungkin!
Apa tadi pedangmu masih ada di kamar?”

“Ya, masih! Aku tidak pernah membawanya keluar. Kau tau sendiri, aku hanya
menunjukkan pedang itu padamu saja.”

“Inara, apa maksudnya ini?” Aila menatap Inara penuh tanda tanya.

“Aku tak tau, tapi-“

“Apa yang kalian lakukan?!” ujar seorang wanita dewasa yang tampak panik ketika
melihat Inara memegang pedang misterius itu. Di belakang wanita itu sudah terlihat
beberapa siswa di kelas itu dan beberapa lelaki dewasa yang juga tampak terkejut.

“Dia hanya memegang pedang, apa itu tidak diperbolehkan?” komentar seorang lelaki
yang merupakan siswa kelas itu.

“Bukan itu!” tegas wanita dewasa itu. Lantas ia beralih menatap Inara yang masih
memegang pedang itu dengan sedikit terkejut, “Pedang itu terkutuk! Tidak pernah
ada yang bisa menyentuhnya selama 8 tahun terakhir.”

Siswa di kelas itu tampak terkejut mendengarnya, tak terkecuali Inara dan
Aila. Wanita itu menatap Inara tepat di matanya, hingga membuat gadis itu sedikit
gugup. Dilihatnya tangan Inara yang baik-baik saja. Bahkan pedang itu seolah
bersinar di genggaman Inara.

“Kenapa?”

“Karena pedang itu selalu membakar tangan siapapun yang menyentuhnya.”

***
Chapter 2, ‘Silver Sword’
Author POV :

Inara menatap ruangan di sekelilingnya dengan tatapan bertanya. Ruangan


yang didominasi warna silver

Ia tak mengerti kenapa ia bisa sampai di ruangan kepala sekolah hanya karena
memegang sebuah pedang. Meski ia sadar, pedang yang ia pegang bukanlah pedang
biasa.

Wanita yang tadi memergokinya, Alethea, terlihat sedang berbincang serius


dengan seorang lelaki bertubuh tinggi kekar, kepala sekolah Callira. Sesekali kepala
sekolahnya melirik Inara dengan sesekali anggukan. Inara tak begitu mendengar apa
yang mereka perbincangkan. Ia hanya disuruh duduk diam hingga mereka selesai
berdiskusi.

Beberapa kali Inara dapat menangkap sepasang tatapan tajam yang ditujukan
Alethea padanya. Lalu Alethea akan berbicara dengan gestur kesal seolah-olah
kepala sekolahnya sedang membicarakan sesuatu yang tak masuk akal. Inara mulai
merasa Alethea tidak menyukainya karena fakta yang baru saja ia ketahui pagi tadi.

Ketika ia masih sibuk memperhatikan Alethea, sesosok tubuh tinggi


menghalangi pandangannya dengan berdiri tegap di hadapannya. Inara mendongak
untuk melihat lelaki dewasa yang memiliki wajah diatas rata-rata itu dengan
pandangan bingung. Dia bahkan tak menyadari kapan lelaki itu masuk ke ruangan itu
yang omong-omong pintunya tepat berada di sampingnya.

Lelaki itu tersenyum ramah. Inara balas tersenyum. Ia mulai paham siapa
lelaki di hadapannya ini.

“Aku Arif. Salah satu preceptor di SMA ini. Aquina Vallerya Inara, bukankah itu
namamu?” ujar lelaki itu ramah sembari mengulurkan tangannya.

“Panggil Inara saja.” Inara berdiri lantas menyambut uluran tangan yang tampak
kokoh itu.
Arif mempersilahkan Inara duduk dengan gestur tangannya sembari ia pun
menghampiri sofa di samping Inara. Tak ada yang bersuara untuk beberapa saat.
Inara mengalihkan pandangannya kembali ke Alethea yang kini bersedekap tak suka
di hadapan kepala sekolahnya. Menaikkan alisnya, Inara mulai heran dengan tingkah
Alethea yang menurutnya kurang sopan di hadapan kepala sekolahnya itu.

Arif mengikuti arah pandang Inara, lantas tersenyum tipis seolah mengerti
apa yang tengah dipikirkan siswi di hadapannya ini.

“Alethea adalah sahabat Bram sejak kecil. Mereka sudah sangat akrab.” Arif
membuka percakapan, mengambil alih atensi Inara.

Inara terdiam, “Apa raut wajah saya terlalu mudah dibaca?”

Arif lantas tertawa mendengar pertanyaan Inara yang terkesan blak-blakan, “Aku
hanya terlalu peka mungkin.”

Inara mengangguk, tampak berpikir sejenak, “Boleh saya bertanya?”

“Tentu.”

“Apa memegang pedang adalah pelanggaran yang penting sampai saya harus masuk
ke ruang kepala sekolah di hari pertama sekolah? Maaf kalau ini tidak sopan.” Inara
sengaja bertanya dengan sedikit sindiran, karena suasana ini membuatnya tidak
nyaman sedari awal.

Arif tersenyum ramah. Inara mengerutkan alisnya lantaran mendapat reaksi


tak terduga dari lelaki di hadapannya ini. Dia kira akan ada amarah atau mungkin
tatapan tidak suka seperti yang Alethea tujukan padanya akibat pertanyaan tidak
etisnya.

“Tidak, tentu saja, jika yang kau pegang adalah pedang biasa. Tadi itu bukan pedang
biasa, melainkan pedang terkutuk. Kau dengar, Alethea bilang siapapun yang
menyentuh pedang itu akan terbakar, dan kau tidak.”

Inara masih menaikkan alisnya seolah meminta penjelasan lebih lanjut tentang
pedang itu. Arif memajukan sedikit tubuhnya, membuat Inara menahan napas
melihat lelaki di hadapannya sangat tampan dalam jarak yang cukup dekat itu.
“Inara, ini bukan karena pelanggaran, melainkan pertanyaan.” Ujar Arif.

“Pertanyaan?”

“Pertanyaan, kenapa kau bisa menyentuh Silver Sword tanpa merasa kesakitan
seperti yang kami rasakan? Atau mungkin, pertanyaan tentang, sebenarnya siapa
dirimu?” Arif mengakhiri ucapannya dengan sebuah senyum tipis.

Inara terdiam mendengar pertanyaan terakhir Arif. Pertanyaan yang juga ia


tanyakan pada dirinya sendiri selama 8 tahun terakhir. Siapa sebenarnya dia?

“Inara?” suara berat dari kepala sekolahnya membuyarkan lamunan Inara.

Kepala sekolah itu sudah selesai berbicara dengan Alethea, dan kini memilih
duduk di hadapan Inara, bukan di kursi kebesarannya. Senyum ramah muncul di
wajah yang terlihat sedikit tua itu. Inara membalasnya dengan senyum kikuk.

“Aku Bram, kepala sekolah Callira. Bagaimana hari pertamamu di SMA ini?” kalimat
pembuka yang terkesan tenang itu justru semakin membuat kikuk Inara.

“Diluar dugaan, saya rasa.” Jawabnya ragu. Bram tersenyum maklum mendengarnya.

“Menarik. Jadi, kudengar kau bisa memegang Silver Sword, pedang legendaris di
SMA ini tanpa terluka. Apa kau tau kenapa itu bisa terjadi?” pembicaraan mulai
terasa serius, dan Inara benci suasana mencekam seperti itu.

“Entahlah. Saya bahkan tak tau itu pedang yang terkutuk. Saya hanya tertarik
ketika melihatnya pertama kali.”

“Kenapa kau tertarik? Apa ada sesuatu?”

Inara diam sejenak, “Tidak ada. Hanya saja pedang itu indah. Saya menyukainya.”
Bohongnya. Ia tak ingin memberitau siapapun selain Aila, bahwa pedang itu benar-
benar mirip dengan miliknya. Tidak untuk saat ini.

Bram terdiam sejenak. Ia mengangguk paham, “Apa yang kau rasakan ketika
menyentuhnya?”
“Dingin. Dan berdebu. Pedang itu jelas disimpan terlalu lama disana. Hanya itu yang
terlintas di pikiran saya.” Inara menjawab sekenanya. Bram, Alethea, dan Arif bisa
merasakan adanya kejanggalan dari jawaban Inara yang terlalu sederhana.

“Arif, tolong temui kepala persenjataan dan antarkan berkas yang ada di meja itu
padanya. Dan Alethea, tolong urus kejadian ini, jadikan satu dokumen dengan
catatan kejadian sekolah di tahun ini. Terimakasih.” Ujar Bram lantas berdiri
sembari menghampiri meja di sudut ruangan.

Arif dan Alethea mengangguk, lalu meninggalkan kedua manusia itu di dalam
ruangan. Inara merasa ia juga akan disuruh pergi oleh Ravindra. Tapi diluar dugaan,
Ravindra justru berdiri dan menyiapkan dua cangkir teh hangat untuknya sendiri dan
Inara.

“Silahkan diminum.” Ravindra tersenyum mempersilahkan, tapi Inara hanya diam


mengamatinya, “Jika ada yang ingin kau ketahui, tanyakan saja.”

Inara menyeruput teh-nya. Ditatapnya Ravindra yang masih dengan senyum yang
sama. Ia pun memberanikan diri bertanya.

“Aku hanya ingin tau, jika tak ada siapapun yang bisa memegang pedang itu selama
ini, lalu bagaimana pedang itu bisa ada di lemari persenjataan kelas kami dan ditata
rapi di tempatnya?” tanya Inara bingung.

Ravindra tersenyum, “Seperti yang diharapkan.” Ia menjedanya sejenak, “ Silver


Sword sudah ada di sekolah ini selama 7 tahun terakhir. Kami menemukannya tepat
7 tahun yang lalu, di lemari persenjataan itu, dalam kondisi yang tak berubah
sesenti-pun. Sebelumnya, pedang itu tak pernah ada. Beberapa diantara kami
berusaha menyentuh dan memindahkannya, tapi tak ada yang berhasil.

“Semua terluka jika menyentuhnya. Termasuk aku. Kami berusaha memusnahkannya


dengan segala jenis sihir, tapi itu tetap tidak merusak sedikitpun dari bagian pedang
itu. Sejak itulah, aku membiarkannya berada dalam lemari itu. Bertahun-tahun tak
kuizinkan siapapun menyentuhnya. Pedang itu hanya seperti pajangan kelas. Dan kau
orang pertama yang berhasil mengeluarkannya dari lemari itu.” tutup Ravindra
seolah ia baru saja menceritakan dongeng singkat pada seorang gadis kecil.
Inara menatapnya tak percaya, “Maksudmu, pedang itu seolah dengan sengaja
diletakkan oleh seseorang misterius yang bisa menyentuhnya, lalu meninggalkannya
begitu saja?”

“Lebih tepatnya, pedang itu diletakkan tanpa disentuh, oleh seseorang yang punya
kekuatan telekinesis - memindahkan benda tanpa menyentuh. Lagipula, sangat
sedikit orang yang memiliki kemampuan itu, bukan?” senyum Ravindra.

“Kenapa tidak membuangnya saja? Jika kalian tak bisa menyentuhnya, kenapa tidak
membuang lemari bersama pedang itu sekalian?”

“Aku ingin. Dulu sekali, aku sempat terpikir hal itu. Tapi kemudian aku bertemu
seorang peramal di tengah perjalananku menuju sekolah. Peramal itu bilang, pedang
itu punya pemiliknya, dan pemiliknya akan tiba suatu saat nanti untuk mengambil
pedangnya. Karena alasan itu, aku tetap menjaganya agar selalu aman.”

Inara terdiam sejenak. Ia berusaha mencerna dengan baik maksud dari Ravindra,
“Jadi maksudmu, aku adalah pemilik pedang itu?”

Ravindra tersenyum. Inara malah semakin bingung dan tak mengerti. Ravindra
menepuk pundak Inara pelan, “Sekarang, kau bisa kembali ke kelas.”

Inara menatap Ravindra sejenak, kemudian melangkah pergi setelah


mengangguk sopan pada kepala sekolahnya. Ketika sampai di pintu, suara Ravindra
menghentikan langkahnya.

“Aku yakin kau tidak bisa menceritakan semua yang kau ketahui dengan tenang jika
ada banyak orang di ruangan. Tapi kau tidak perlu mengungkapkannya sekarang.
Masih ada waktu untuk berpikir. Kau bisa pergi, Inara.” Ravindra tersenyum, itu
malah membuat Inara bergidik ngeri.

Ternyata kepala sekolah itu tau bahwa ada yang disembunyikan oleh Inara. Ia
segera melangkah pergi. Ia terus berpikir hingga sampai ke kelasnya. Inara berdiri
sedikit terkejut di depan pintu ketika semua mata melihat ke arahnya dengan
tatapan penuh selidik.

Inara mengangguk sopan pada seorang wanita, Raina, di depan kelas. Raina
mempersilahkannya masuk. Ia segera duduk di kursinya, tepat di sebelah Aila.
Diliriknya telapak tangan Aila yang sudah dibalut perban. Seketika ia merasa
bersalah. Aila yang menangkap arah tatapan Inara, lantas melambaikan tangannya,
kemudian tersenyum menenangkan. Inara pun ikut tersenyum, lalu dengan santai
mengikuti penjelasan yang tertinggal olehnya.

“Aku yakin semua siswa disini ingin menjadi seorang ksatria. Karena jika kalian ingin
menjadi juru masak, kalian tidak akan masuk ke SMA berbasis senjata dan sihir ini.”
Canda Raina yang mengundang tawa kecil dalam kelas, “Sekarang, aku akan
menjelaskan pengetahuan dasar yang perlu kalian ketahui sebelum menjadi seorang
ksatria di negeri kita. Setiap orang yang masuk ke SMA ini, pastinya sudah
bermimpi menjadi seorang cavaler, atau bahkan seorang salvator.” Ujar Raina
kembali melanjutkan ucapannya.

Banyak diantara mereka yang matanya berbinar ketika nama ‘Salvator’


disebutkan, menunjukkan berapa banyak manusia didalamnya yang sangat ingin
menjadi seorang salvator. Terkecuali Inara yang masih abu-abu dengan istilah yang
baru saja ia dengar.

“Karena itulah, tujuan akhir kami mendidik kalian. Sekarang, aku ingin kalian tau
tentang senjata andalan yang kita sebut sebagai Arma. Setiap dari kalian akan
berlatih dengan semua jenis senjata, tapi tetap, hanya satu senjata yang menjadi
kekuatan utama kalian. Senjata, yang menunjukkan jati diri kalian. Apa disini ada
yang sudah mengetahui Arma-nya?” tanya Raina.

“Belum, Miss.” Jawaban serempak kembali terdengar.

“Kalau begitu, nanti siang, setelah upacara penyambutan seluruh murid baru, kalian
akan dikumpulkan untuk menemukan Arma kalian di gedung putih sekolah. Jangan
ada yang terlambat di upacara nanti, oke?”

“Oke, Miss.”

Setelah kata sambutan dari Preceptor Raina, semua murid pun sibuk dengan
urusannya masing-masing. Kebanyakan dari mereka saling berkenalan satu sama lain.
Berbeda dengan Inara juga Aila yang masih terdiam di kursinya.
Ucapan kepala sekolah terngiang di pikirannya. Kali ini ia menoleh ke belakang,
melihat lemari persenjataan yang sudah berada di tempat semula. Tentu saja, ia
yang meletakkannya kembali atas perintah –atau lebih cocok disebut, amukan-
Alethea.

Aila mengikuti arah pandang Inara. Melihat pedang itu, Aila seketika teringat
tentang ucapan Inara bahwa pedang itu mirip dengan pedangnya. Hanya saja, Aila
tak pernah menyentuh pedang Inara, dan dia tak tau apakah pedang Inara akan
memberi reaksi yang sama pada dirinya atau bukan.

“Inara?” panggil Aila.

Inara tersentak dari lamunannya, “Ya, Ai?”

Aila ingin membahas tentang pedang itu. Tapi ia khawatir itu hanya akan membuat
Inara merasa bersalah. Ia pun tersenyum, “Menurutmu senjata apa yang akan
menjadi Arma-mu?”

“Mungkin, pedang? Kau tau aku sangat menyukai pedang.” Senyum Inara yakin,
“Bagaimana denganmu?”

Aila berpikir sejenak. Selama ini ia tak memiliki ketertarikan khusus pada senjata,
“Aku tak terlalu tertarik, hanya saja, aku merasa aku akan mendapatkan Harmer?”

“Entah kenapa, aku berfirasat kau akan mendapatkan panah. Sesuai dengan
kepribadianmu.”

“Panah, ya?” gumam Aila. Ia pun tersenyum, “Mungkin.”

“Ai, bisa kau jelaskan apa yang dimaksud guru kita tadi?”

“Preceptor, Ra.” Koreksi Aila dengan senyum memaklumi, “Kita memanggil mereka
preceptor, sama dengan pembimbing. Namanya Preceptor Raina. Kau bisa
memanggilnya Miss juga.”

“Kupikir panggilan guru semasa sekolah dulu sudah terlalu melekat di pikiranku.”
Keluhnya singkat, “Lalu?”
“Di SMA Callira, kita akan dilatih menjadi seorang ksatria yang cocok dengan
kemampuan kita. Kau tau bukan, dalam bidang pertahanan ada 4 tingkatan ksatria?
Nah-“

“Tunggu dulu, aku tidak tau tingkatan apa yang kau maksud.” potong Inara bingung.

Aila melongo dibuatnya, “Oh ayolah, ini pengetahuan umum dan kau belum pernah
dengar? Jadi kenapa kau mau masuk SMA berbasis senjata kalau kau bahkan tak tau
tentang pertahanan?”

Inara berpikir, “Oh, aku mengikutimu. Lagipula aku sangat menyukai pedang dan
kurasa aku punya bakat khusus di dalamnya, jadi kupikir menjadi ksatria adalah
pilihan yang bagus. Ketika tes masuk pun, aku diterima, bukan?”

Aila menepuk keningnya pasrah. Ia menghela napas sejenak, lalu melanjutkan,


“Baiklah, ada 4 tingkatan dalam dunia pertahanan dan perang. Pertama adalah
seorang Cavaler atau biasa kita sebut ksatria. Mereka adalah orang yang menjadi
pasukan saat berperang dan merupakan tingkatan paling rendah dalam dunia
pertahanan dan perang. Yang kedua ada Warlords, nama lainnya panglima perang.
Seperti yang bisa ditebak, mereka adalah orang yang memimpin peperangan dan
selalu berada di barisan terdepan.

“Ketiga adalah Protectorul, seorang pelindung. Mereka adalah orang yang memiliki
kekuatan perlindungan yang luar biasa dan bertugas melindungi pasukan juga
panglima perang selama peperangan. Mereka juga sering dijadikan sebagai pelindung
pribadi raja. Orang-orang protectorul tergolong sedikit. Dan mereka kurang andal
dalam menyerang.”

“Oh, dalam arti lain, mereka itu lebih mahir dalam bertahan?” sela Inara dengan
semangat. Ia seperti mendengar dongeng tentang perang.

Aila tertawa kecil melihat reaksinya, “Ya, bisa dibilang begitu. Dan yang terakhir,
adalah tingkatan tertinggi yaitu Salvator, kita sebut juga Sang Penyelamat. Mereka
adalah orang terkuat melebihi semua tingkatan dan tentunya hanya dimiliki
segelintir orang. Dan hal buruknya, salvator ini bisa menjadi musuh berbahaya jika
menjadi seorang pengkhianat.”
“Pengkhianat, ya? Jadi maksudmu, setelah kita lulus dari sini, kemungkinan kita akan
tersedot dalam beberapa bagian pertahanan perang itu, ya?” Kali ini nada bicaranya
terdengar sedikit lemah.

“Ada apa dengan suaramu? Kau terlihat kurang antusias.” Aila sampai terheran
dibuatnya.

Inara menghela napas, “Ai, kurasa aku memang tidak jelas ingin melanjutkan dimana.
Aku tak memiliki ketertarikan pada dunia perang. Aku hanyalah gadis biasa yang
menyukai senjata.”

“Tidak ada yang menyukai perang, Ra. Lagipula, kau bukan gadis biasa. Aku bisa
rasakan itu. Percaya dirilah. Selagi aku ada, aku akan terus menemanimu sampai kita
berdua menjadi seseorang yang hebat.”

Senyum percaya diri Aila membangkitkan kembali semangat belajar Inara.


Mereka mengepalkan tangan lalu saling ber- high five dengan sangat kuat. Hingga
terdengar ringisan dari keduanya karena tepukan mereka benar-benar terlalu kuat.
Namun, mereka tertawa dan menikmati rasa sakit di tangan mereka. Mereka sampai
tak menyadari tatapan tajam seseorang pada mereka dengan sebuah seringai tipis.

***
CHAPTER 3, ‘The Arma’
Author POV :

Aila menggeleng tak percaya ketika Kepala Sekolah Ravindra menjelaskan


bagaimana proses penentuan Arma yang akan mereka hadapi. Inara yang berada
tepat disebelahnya pun menghela napas lelah, tak habis pikir bagaimana bisa
menemukan Arma seseorang melalui cara ekstrem seperti itu.

Gedung yang dimiliki SMA Callira sangat luas dengan undakan kursi layaknya
di stadion yang mengelilingi pusat gedung. Di tengah gedung terbentang labirin yang
luas dan sangat memusingkan. Di bagian atas langit-langit gedung tergantung sebuah
layar besar berwarna hitam. Aila dan Inara duduk di undakan kursi bagian tengah
yang sudah cukup menampakkan seisi gedung.

“Aku tidak salah dengar, kan?” bisik Aila karena suasana yang benar-benar hening
membuatnya harus mengeluarkan suara seminim mungkin, “Mereka baru saja
mengatakan kita akan masuk ke labirin itu dengan tangan kosong dan berhadapan
dengan segala macam makhluk didalamnya tanpa kepastian Arma akan datang di saat
yang tepat?”

Inara tersenyum tipis mendengar nada bicara Aila yang gusar, “Yang kudengar
mereka tak peduli kita berhasil atau keluar dengan kegagalan juga luka
mengenaskan. Itu berarti, sekolah ini gila.”

“Yang benar saja!”

Nomor undian dibagikan, dan mereka berdua mendapat giliran tim kedua yang
akan masuk. Setiap tim terdiri atas 5 orang siswa dalam satu kelas yang sama.
Meski menegangkan, tapi Aila juga Inara bersyukur mereka ada di satu tim yang
sama.

“Jika sesuatu terjadi padaku, tolong sampaikan pada Ibu kalau aku sangat
menyayanginya.” Gumam Aila ketika melihat tim pertama masuk ke labirin.

Inara menoleh cepat dan mendapati Aila yang pucat pasi melihat labirin di
hadapan mereka. Ia menepuk bahu Aila pelan, kemudian berbisik, “Tenang saja, kita
ada di giliran yang sama. Aku tidak akan membiarkan makhluk manapun menyakitimu.
Lagipula, aku yakin, Arma kita akan datang tepat saat kita membutuhkannya.”

Aila benar-benar tak terhibur, namun itu cukup menenangkannya. Mereka pun
kembali fokus pada acara di depan sana.

Satu persatu siswa masuk dengan jarak waktu masuk antar anggota 2 menit.
Mereka masuk secara terpisah, dan cukup sulit meyakinkan bahwa kelima siswa
dalam tim tersebut akan bertemu di jalur yang sama meski masuk dengan waktu
hampir berdekatan.

Setelah kelima siswa masuk, sebuah layar besar di hadapan kursi penonton
terbagi menjadi 5 bagian dan menampilkan kondisi di dalamnya dengan masing-
masing siswa.

Suasana mencekam begitu terasa. Untuk sesaat, tidak ada apapun di dalam
sana. Setiap anggota menempuh lorong yang berbeda dan tampak waspada. Hingga
anggota lelaki yang mengambil lorong paling ujung, dikejutkan dengan seekor
harimau berbadan 3 kali lebih besar darinya sedang menggeram.

Siswa lelaki itu diam sejenak di tempatnya, saling bertatapan dengan harimau.
Posisi kakinya membentuk pola siaga, maksudnya, siaga untuk berlari. Harimau yang
awalnya tenang itu, mendadak mengaum dan melompat ke arah siswa tersebut.
Semua penonton berteriak kaget.

Lelaki itu menghindar ke samping dan berlari menghindari serangan


selanjutnya dari harimau raksasa itu. Namun sialnya, ketika ia hampir mencapai
lorong selanjutnya, harimau itu melompat ke arahnya dan berhasil membuatnya
terjerembap. Segaris cakaran panjang terukir di punggungnya.

Kali ini ia tak mampu berdiri dan hanya bisa terbaring kesakitan di tanah.
Inara menoleh khawatir ke sekelilingnya dan tak menemukan tanda-tanda para
preceptor akan turun tangan menyelamatkan siswa itu.

‘Sial! Mereka benar-benar berniat tak menolong siswa yang hampir mati sekalipun.’
Batin Inara geram.
Ia pun tak mampu berbuat apapun selain kembali fokus pada layar dan nasib
naas lelaki itu. Harimau itu kembali meloncat dan berhasil menghimpit lelaki itu
dibawah. Ia membuka mulutnya lebar, menampakkan taring tajam yang terbalut air
liur. Siswa yang menonton bergidik ngeri dan mengeluarkan jeritan takut.

Lelaki itu tampak tenang. Dan semua berlangsung cepat. Harimau itu hendak
menerkamnya, namun mendadak raungan kesakitan datang dari sang harimau. Semua
orang bertanya-tanya mengapa harimau itu kesakitan.

Lelaki itu tampak lega, kemudian ia mendorong harimau itu ke samping dengan
sisa tenaganya. Harimau itu tergolek lemah. Dan ternyata sebuah kunai cukup besar
menancap di perut Sang Harimau. Lelaki itu berdiri dengan sedikit kesulitan. Ia
kembali memejamkan mata, lalu sebuah kunai dengan ukuran lebih kecil mendadak
muncul di tangannya. Dengan satu helaan napas, ia melempar kunai itu dan tepat
mengenai perut Sang harimau, hingga mati mengenaskan.

Seluruh penonton terkesima ketika menyadari lelaki itu berhasil memanggil


Arma-nya di waktu yang tepat. Tepuk tangan riuh pun bersahut-sahutan di gedung
itu, semua siswa tampak menikmati tontonan di hadapan mereka. Inara menoleh ke
tempat para preceptor berkumpul, dan menemukan sebuah senyum tipis di wajah
mereka.

“Oh, jadi begitu cara kerjanya.” Gumam Aila di sebelahnya, membuat Inara kembali
fokus pada layar di hadapannya.

Lelaki itu tampak kembali berjalan dan melewati lorong demi lorong, dan
kembali menghadapi berbagai makhluk berbahaya di dalamnya. Semua siswa di dalam
labirin itu berhasil menemukan Arma mereka dan bertarung habis-habisan dengan
makhluk-makhluk di dalamnya. Beberapa anggota bisa saling menemukan dan tolong-
menolong, dan beberapa diantaranya harus melawan sendirian.

Akhirnya, tim satu pun berhasil keluar dari labirin dengan selamat, meski
luka-luka parah maupun kecil menghiasi tubuh dan wajah mereka. Tepuk tangan riuh
menyambut mereka. Para medis segera berlari untuk memberi pertolongan.

“Lelaki kunai itu cukup hebat.” Komen Inara melihat lelaki pertama yang menyerang
harimau itu.
“Namanya Farid.” Timpal Aila menanggapi. Inara mengangguk, ia memang belum
sempat berkenalan dengan seluruh teman sekelasnya karena dipanggil kepala
sekolah sampai melewatkan bagian perkenalan di kelas.

Bahkan ketika istirahat berlangsung, tidak ada satu murid pun yang
mendekati Inara, atau sekedar mengulurkan tangan untuk berkenalan. Sebagian
besar karena khawatir dengan kemampuan Inara memegang pedang terkutuk, dan
sebagian lagi karena aura dingin Inara yang terlampau kuat, membuat beberapa
orang nyaris tak betah berada di dekatnya, kecuali Aila.

Ravindra berdiri dan segera mengumumkan hasil pertarungan itu, lengkap


dengan nama anggota tim sekaligus Arma mereka. Disampingnya, Raina memegang
sebuah nampan cukup besar yang mewadahi sebuah senjata untuk diserahkan pada
masing-masing anggota.

“Siapa-siapa saja mereka?” tanya Inara pada Aila.

“Yang berambut hitam paling tinggi itu Farid. Di sebelahnya, satu-satunya gadis itu
Adeyra. Lelaki dengan wajah paling lugu itu Raes Athar. Terus ada Danish dan
Daffa.” Terang Aila sekaligus menyebutkan fisik kelima anggota tim pertama itu.

Inara mengangguk dengan mata yang menyelidik keadaan kelima siswa itu.
Mereka tampak kacau sekali. Seluruh tubuh penuh luka. Seragam mereka pun sudah
compang-camping. Namun dengan gesit para medis mengobati luka mereka setelah
Kepala Sekolah Ravindra meresmikan Arma mereka.

Aila mendadak mencengkram tangan Inara kuat. Perasaan gugup jelas


tergambar di wajahnya. Inara menepuk punggung tangan Aila, lantas memberi
senyum menenangkan padanya.

“Ayo kita beri mereka pertunjukan.” Bisik Inara menggoda. Aila mendengus sebal,
membuat Inara terkekeh pelan karena berhasil menggodanya.

Mereka berdua melangkah ke depan, disusul 3 orang siswa lain yang


merupakan anggota tim yang sama. Inara menatap satu-persatu teman se-timnya.
Seketika matanya melotot menemukan seorang lelaki yang menjadi lawan bicaranya
di hari pertama sekolah.
“Aila! Kenapa lelaki itu di tim kita?!” sentaknya tak terima. Ia bahkan tak mau
repot-repot mengecilkan suaranya. Secara tak sengaja telah mengumumkan kepada
siapapun yang mendengarnya bahwa ia tidak ingin berada di tim yang sama dengan
lelaki itu, atau memang itulah tujuannya.

Aila mengusap rambutnya, “Ouh, seriously? Kau ingin membahas itu padahal kita
sebentar lagi akan menyambut kematian?”

Inara mendengus sebal. Aila memang terkadang berlebihan. Tapi tidak ada
yang salah dengan perkataan itu. Toh kalaupun mereka mati, orang-orang hanya akan
menyebutnya kecelakaan saja.

“Siapa juga yang berharap se-tim dengan gadis menyebalkan sepertinya.” Kalimat itu
kelihatan seperti gumaman, namun siapapun yang mendengarnya pasti menyadari
bahwa yang mengatakan tidak bermaksud seperti itu karena ia mengatakannya
dengan cukup keras.

Wajah Inara memerah menahan amarah. Ia hampir saja meledak dan memaki
lelaki yang menurutnya jauh lebih menyebalkan daripadanya. Namun sebuah tepukan
lembut menyapa bahu kirinya. Inara mengentakkan bahunya kasar, berpikir pastilah
Aila –lagi- yang berusaha menenangkannya. Hingga sedetik kemudian ia sadar, Aila
berdiri di sebelah kanannya.

“Ekhem..” suara deheman menyadarkan Inara bahwa ia salah menebak identitas.

Inara membalikkan badannya, dan seketika tatapnya bertemu pandang dengan


iris hitam kelam Arif. Inara terkesiap, bukan karena ketampanan Arif yang di luar
akal, melainkan karena tatapan Arif yang mengintimidasi.

“Tidak ada perkelahian antar anggota tim, Inara. Itu hanya akan menghambat kerja
sama kalian dalam bertahan.” Arif dengan segala aura mengintimidasinya kembali
membuat Inara sadar dari keterpakuannya.

“Ya, Preceptor.” Anggukan lemah Inara memberi kepuasan bagi Arif.

Kemudian lelaki itu berbicara dengan volume yang ditujukan untuk kelima anggota
tim itu, “Aku Arif, Preceptor tim kalian. Kuharap untuk kedepannya, kita akan
bertemu dalam keadaan yang tidak mengecewakan. Semoga berhasil.”
“Ya Tuhan, tampan sekali preceptor kita.” Komen Aila dengan sedikit berbisik pada
Inara.

Inara memutar matanya jengah, “Dia tidak sekeren yang kau bayangkan.” Gerutunya.

Dua orang lelaki menghampiri Inara. Ia tau keduanya merupakan teman se-tim-nya,
“Hai, aku Raes Athar. Kau bisa panggil Athar saja.” Seorang lelaki dengan rambut
hitam legam itu mengulurkan tangan pada Inara. Sebuah senyum hangat mengundang
keramahan Inara untuk menyambutnya.

“Aquina Vallerya Inara. Biasa dipanggil Inara.”

Lelaki berambut pirang disebelahnya menganggukkan kepala singkat, “Aku Faris


Almaher.”

Inara mengangguk singkat dengan senyuman tipis sebagai balasan. Aila melirik
salah seorang lelaki lagi yang masih bergeming di tempatnya. Ia memutar matanya
jengah. Lelaki itu bahkan tak tertarik untuk memulai perkenalan dengan Inara.

“Adelard! Jika kau tidak keberatan, kenapa tidak meredakan pertengkaran tidak
jelas kalian dengan perkenalan, huh?” sindir Aila, membuat Inara juga tertohok
mendengarnya.

Adelard justru melirik dengan tatapan datar, kemudian pergi mengambil


posisi tanpa menghiraukan Aila yang kini mencak-mencak merutukinya. Inara
memasang ekspresi malas. Lantas ikut mengambil posisi di depan pintu labirin. Ia
berdiri di belakang Aila, urutan ketiga yang akan masuk ke labirin, sesuai
pengurutan abjad.

Inara POV :

Tubuhku mulai panas dingin. Reaksi aneh tiap kali aku dilanda gugup. Lelaki
menyebalkan itu sudah masuk lebih dulu. Di depanku, Aila tampak sama gugupnya. Ia
bahkan meremas tanganku yang berada tepat di belakangnya. Aku menepuk bahunya
pelan, mungkin itu bisa sedikit menenangkan kami. Ya, kami.
Beberapa saat kemudian, Aila menyusul masuk, meninggalkan aku yang berada
tepat di pintu labirin. Menunggu suara tembakan sebagai pertanda untukku masuk ke
sarang bahaya itu.

DORR!!

Aku berlari pelan, memasuki lorong labirin dengan waspada. Aku dihadapkan
dengan lima lorong labirin. Kuambil lorong tengah, mengingat Farid, lelaki
sebelumnya sempat mengambil lorong sebelah kiri dan langsung dihadang Harimau
berukuran tidak wajar.

Labirin ini sungguh membingungkan. Berkelok-kelok tajam dan membuatku


harus was-was tiap kali ingin berbelok, karena bisa saja ada sesuatu yang
menungguku di tiap kelokan.

Aku berhasil sampai ke sebuah ruangan persegi, kosong. Aku tak menemukan
keganjilan apapun disini selain lorong yang ada di setiap sudut. Baiklah, anggap saja
ini peruntunganku.

Kulihat setiap lorong yang bisa kujadikan pilihan. Menurut telingaku yang
mendengar suara geraman yang cukup besar, sepertinya lorong sebelah kiriku bukan
pilihan yang baik.

Dengan langkah cepat aku berlari menuju lorong di hadapanku, tepat di sudut
kanan ruangan. Dan seketika hantaman keras menyapa wajahku dari sisi kanan. Aura
mengancam muncul begitu saja di ruangan sepetak yang bahkan tak lebih luas dari
kamarku –dan omong-omong, kamarku itu sempit-. Kutarik ucapanku, sedari tadi aku
tidak sendirian disini.

Aku bangun setelah dengan sukses membentur dinding berupa tanaman


merambat. Dan ini bukan keuntungan, karena tanaman ini sungguh sekeras batu. Aku
tak mau berlama-lama menikmati rasa sakit yang menjalar di punggung dan pipi
kananku, karena fokusku hanya untuk menemukan siapa yang sudah memberiku
pukulan ini.

Kuedarkan pandangan. Nihil. Ruangan ini hampa. Aku merasakan angin di


sebelah kiriku berhembus, menandakan ada pergerakan disana. Dengan cepat aku
menyilangkan kedua tanganku didepan wajah, membentuk kuda-kuda pertahanan.
Dugaanku benar. Makhluk itu memukul lenganku yang melindungi wajah.

Aku terlempar ke belakang dan kembali menubruk dinding. Tanganku pasti


sudah memar parah. Sekarang aku sadar dengan siapa aku berhadapan. Tenaga
melebihi batas wajar –mengingat bagaimana aku terpental setelah pukulan itu meski
sudah memasang kuda-kuda pertahanan yang kuat- , aura mengancam yang terasa
pekat, dan yang paling mengesalkan adalah, kemampuannya untuk tak terdeteksi
oleh indra penglihatan manusia.

Makhluk itu adalah Gazz..

Perlahan, serangkaian tubuh terbentuk dari udara yang sebelumnya kosong.


Hingga akhirnya, makhluk itu benar-benar menunjukkan dirinya di hadapanku. Dia
menatapku bengis. Aku berusaha berdiri tegap. Tidak sedikitpun menunjukkan rasa
sakit yang kini kurasakan. Aku tak ingin musuhku merasa menang diatas kesakitanku.

Mentalku baik-baik saja, sebelum Gazz mengacaukannya dengan senyum yang


tak wajar, bibirnya mengembang hingga hampir melintang dari sudut ke sudut
wajahnya. Ya ampun, dia sungguh menyeramkan! Jika bukan karena kemampuan
pengendalian diriku, aku pasti sudah meringkuk ketakutan melihat sosoknya yang
hampir hancur itu.

Aku sudah sering melihat beragam bentuk dan jenis makhluk-makhluk


menyeramkan di duniaku melalui buku, tapi baru kali ini aku bertatap muka langsung
dengannya. Semua gambar menyeramkan yang selalu kulihat tak membantu sama
sekali, karena kali ini aku sungguh takut.

Untuk beberapa saat kedepan, kurasa kami hanya saling bertatapan dalam
diam. Aku sibuk dengan keterkejutanku, dan sepertinya dia sibuk mencari cara yang
keren untuk menghabisiku.

Dia tersenyum tipis, lantas menghilang begitu saja. Aku tersadar dan segera
mengambil sikap was-was. Aku tidak bisa mengandalkan penglihatanku saat ini.
Kufokuskan indra pendengaran, melangkah dengan hati-hati menuju ruangan.
Angin berhembus dari belakangku. Aku berputar menghindarinya dan balas
menendang ke arah angin. Namun nihil. Yang kutendang hanyalah angin kosong. Aku
menatap sekelilingku.

Tanpa tanda apapun, sebuah tangan mencengkram tengkukku keras dan


mendorongku hingga menabrak dinding. Kepalaku dengan sengaja dibenturkan hingga
rasanya hampir remuk. Posisiku terhimpit. Tangannya yang masih mencengkram
tengkukku perlahan mulai terasa panas.

“Akh..” rintihku pelan. Terdengar suara kekehan dari belakangku. Sepertinya ia


menikmati rasa sakitku.

Mendengar suaranya yang jelek itu, aku justru merasa marah. Dengan sekuat
tenaga, aku membalikkan badan dan menghentakkan tangannya yang membakar.
Kurasa kami berhadapan sekarang, dan sedetik kemudian aku merasakan angin
berhembus di depanku. Aku mengelak ke kiri dan bukk!!

Dinding tanaman yang kerasnya seperti batu ini, baru saja remuk. Entah apa
jadinya kepalaku jika terkena pukulan itu –Baiklah, singkirkan pemikiran itu-. Segera
kutendang ia dengan perkiraan feeling, dan tepat sasaran! Aku merasa kakiku
menyentuh tubuhnya dan tendanganku yang barusan tidak main-main. Aku bahkan
bisa mendengar suara dentuman tubuh beradu dengan dinding.

“Jangan main-main denganku, cepat tunjukkan dirimu!” cemoohku sombong. Aku


bahkan tersenyum meremehkan.

Tidak kusangka ia mendengarkan ucapanku, dengan arti yang lebih buruk.


Kupikir ia akan memberi mentalku jeda untuk pulih, namun sial, ia memperburuknya
dengan menunjukkan wajah sekitar beberapa senti di hadapanku. Ia bahkan
tersenyum lebar, lagi.

Aku mengumpat keras karena terkejut dan melompat menjauhinya, namun


tangannya yang melepuh itu dengan sigap menangkap leherku dan mengangkatku
hingga melayang di udara. Kakiku meronta-ronta. Panas menjalar di leherku, pasokan
udara mulai menipis.

Aku tidak bisa berpikir jernih. Dengan brutal aku menendangnya. Ia


melepaskan cengkramannya di leherku, membuatku tersungkur. Aku segera menarik
napas sebanyak yang bisa ditampung paru-paru. Leherku terasa perih, kurasa karena
bekas lepuhan dari tangannya yang panas itu.
Ia berlari ke arahku hendak melakukan serangan dadakan. Aku tidak dalam
kondisi yang tepat untuk menghindar ataupun menangkis. Alhasil aku hanya terpaku
menatap gerakannya yang cepat. Namun ia terlempar menabrak dinding setelah
menerima tendangan dari sisi kiriku.

Aku menoleh kaget dan ternyata lelaki menyebalkan itulah yang


menendangnya –Baiklah baik, dia sudah menyelamatkanku-. Dia hanya memandang
datar. Aku melirik tangannya yang menggenggam kunai. Ah, ternyata dia sudah
menemukan Arma-nya.

“Jangan sekali-kali mengalihkan perhatianmu dari musuh.” Ujarnya datar.

Aku mendelik padanya. Lantas berdiri dan kembali menaruh atensi pada lawan,
“Kenapa kau disini?”

“Aku mendengar hantaman cukup keras disini. Ternyata benar, kau sudah dihajar
habis-habisan olehnya.” cemoohnya dengan senyum tipis.

Aku hendak membalas ucapan kurang ajarnya itu, tapi sebuah pergerakan
menyadarkanku bahwa ini bukan waktu yang tepat untukku menghujatnya. Si
menyebalkan –aku tau namanya Adelard, tapi aku tak mau menyebutnya karena ia
juga tak pernah menyebut namaku dengan benar - melempar kunainya dan seketika
dia menghilang. Kunai itu pun menancap di dinding kosong.

Meski aku benci mengakuinya, tapi dia cukup lihai menggunakan Arma-nya
untuk ukuran pemula.

Kami berdiri membelakangi. Ruangan ini sudah sempit, dengan kedatangan


satu manusia tambahan ini, ruangan ini jadi semakin sempit. Tidak ada tanda-tanda,
namun sesuatu yang panas menyentuh keningku dan menubrukkannya ke kepala si
menyebalkan di belakangku.

“Akh!!” rutuk kami bersamaan. Yang barusan itu benar-benar sakit. Kepala si
menyebalkan ini benar-benar keras. Namun mendengar ia juga mengaduh, itu cukup
membuatku sadar ia juga sama sakitnya denganku.

Kami masih berdiri membelakangi, dan aku masih dalam keadaan yang sama,
bahkan lebih buruk. Aku begitu penasaran sebenarnya kapan Arma akan datang? Apa
menungguku mati dulu? Tapi dipikir-pikir, lelaki ini malah dalam keadaan yang tidak
terlalu parah ketika menolongku dengan Arma-nya tadi.
Karena sibuk dengan pikiran sendiri, aku sampai tak menyadari si
menyebalkan ini sudah tersungkur ke tanah. Aku meliriknya, sudut bibirku berkedut
menahan tawa. Pasalnya ia tersungkur dengan posisi tidak menyenangkan.

“Sialan!” umpatnya sambil berdiri.

Aku pun tertawa lepas. Ia melirikku kesal. Namun tawaku terhenti ketika
dengan tiba-tiba ia terlempar menabrak tubuhku hingga kami sama-sama
menghantam dinding.

“Kenapa kau menabrakku?!” hentakku kesal padanya.

“Dia menendangku, bodoh!”

Aku membulatkan mata mendengar rutukannya. Ini pasti karena ruangan yang
sangat sempit sampai kami sulit bergerak bebas.

Kurasa untuk kesekian kalinya, tulangku terasa remuk. Aku sedikit merintih,
namun si menyebalkan ini bangkit dan dengan cepat melempar kunainya sembarang
arah. Aku takjub melihat bagaimana kunai itu terus bermunculan di tangannya
seolah tak pernah habis.

Saking takjubnya, sampai aku tak sadar tiba-tiba dia mendorongku kencang
dan sebuah kunai mendarat tepat dimana kepalaku berada sebelumnya.

“Sudah kubilang jangan lengah, bodoh! Kau mau mati?!” bentaknya tanpa menatapku.

“Sialan! Aku punya nama, dasar menyebalkan!” aku balas membentaknya lantas
memberikan tendangan lumayan keras padanya.

Ia sedikit meringis dan menatapku kaget karena bukannya menendang musuh,


aku malah menendang teman se-timku sendiri. Tapi masabodo, itu salahnya sudah
mengata-ngataiku.

Serangan kembali muncul ketika si menyebalkan itu terangkat beberapa senti


dari tanah. Aku terkesiap dan hendak menendang udara di hadapanku, namun
mendadak ia dilempar ke sisi yang lebih jauh hingga kembali menabrak dinding, - aku
heran kenapa makhluk ini suka sekali menghantamkan kami ke dinding -.

“Hei, menyebalkan!” panggilku kaget.

“Aku punya nama!” bentaknya selagi ia menabrak dinding.

“Salah sendiri kau tidak menyebutnya langsung di depanku!” balasku asal.


Aku merasakan pergerakan di dekatku. Serangan bertubi-tubi yang untungnya
bisa kuatasi dengan terus mengelak menurut feeling. Aku menendangnya, namun ia
berhasil menangkap kakiku dan melemparku ke si menyebalkan. Bukannya
menangkapku, dia malah menghindar, membiarkanku menubruk dinding, lagi.

“Aukh! Kenapa kau tidak menangkapku?!” rutukku.

Dia mengendikkan bahu, “Kau harus merasakan dinding itu sesekali.”

Aku tertohok, “Sebelum kau datang, aku lebih dulu merasakannya berulangkali!”

“Diamlah!”

Ia melemparkan kunainya ke satu arah dan tepat! Kembali dilemparkannya


lebih banyak hingga kini beberapa kunai yang menancap di udara yang terlihat
kosong itu. Perlahan tubuh Gazz terlihat disusul dengan geramannya yang
mengerikan. Kurasa itu bukan geraman, itu adalah raungan kesakitan.

“Kenapa terus melempar sembarang arah?! Kenai titik vitalnya!” tukasku geram.

“Berisik! Aku sedang mencarinya!” rutuknya, “Panggil saja Arma-mu. Aku akan
mengurusnya!” ucapnya lalu berlari menerjang makhluk yang sudah terkunci dengan
serangan kunainya.

Aku berdiam diri sambil fokus dengan Arma-ku. Aku tak tau cara
memanggilnya. Kupikir ia akan datang jika aku diserang, tapi sejauh ini, aku tak
menemukannya.

Si menyebalkan kembali terlempar. Aku berteriak, “Hati-hati, Menyebalkan!”

“ADELARD!” ia menyebut namanya sendiri. Aku meringis, baiklah, aku akan


memanggil namanya dengan benar.

Arma, apa mungkin aku tidak memilikinya? Tidak, itu tidak mungkin. Sebelum
masuk sekolah ini, setiap siswa akan di uji tentang keberadaan Arma dalam diri
kami. Hanya orang yang memiliki Arma sajalah yang bisa menjadi ksatria dan masuk
sekolah senjata. Dan aku lulus pengujian itu. Tapi kenapa dia tidak datang?

Aku mulai sedikit panik melihat Adelard yang dicekik dan dihantam. Adelard
terduduk kehabisan tenaga. Gazz beralih pada tujuan utamanya, aku. Ia menatapku
bengis. Kunai yang tertancap secara asal di tubuhnya dicabut.
Keadaannya tak jauh beda dengan kami. Makhluk itu sudah cukup terluka
karena serangan kunai Adelard yang bertubi-tubi meski tak mengenai titik vitalnya.
Namun melihat ia berlari ke arahku, aku yakin ia masih memiliki cukup kekuatan
untuk meremukkanku. Aku sudah hampir tak punya tenaga melawannya yang memiliki
kekuatan melebihi manusia.

Aku melenguh namun tekadku kuat. Aku tidak akan menyerah! Hanya satu
yang mampu kupikirkan. Bukan Arma yang membuatku tetap hidup, tapi aku sendiri
yang menentukannya!
Chapter 4

Tanganku mendadak seperti mencengkram sesuatu yang dingin. Aku menoleh


dan terkejut menatap pedang yang kugenggam ini.

“INARA!” teriakan Adelard menyadarkanku dari keterkejutan.

Gazz mengayunkan tinjunya ke wajahku, dengan refleks tubuhku menghindar


sehingga ia hanya meninju dinding di belakangku. Aku menjauh darinya setelah
menatap ngeri pada bekas tinjunya yang luar biasa itu. Ia mengerahkan seluruh
tenaganya. Melihat itu, aku sadar pukulannya di awal hanya sekedar bermain
baginya.

Namun sepertinya makhluk ini tak membiarkanku untuk menikmati sensasi


keterkejutan dan malah kembali mengayunkan tangannya. Sekali lagi aku berhasil
menghindar dan menendangnya tepat di perut.

“Dasar bodoh, gunakan Arma-mu!” Adelard sepertinya sudah membaik karena ia


kembali mengumpatku dengan keras.

Aku terkekeh, lalu kembali fokus pada musuh. Gaaz menyembunyikan


tubuhnya lagi, namun sepertinya rekan setim-ku tak membiarkan ia bersembunyi
dibalik kekuatannya itu. Adelard melempar kunai tepat ketika ia menghilang dan
mendarat di tubuh yang pas. Geramannya terdengar. Aku segera berlari dan
menebas daerah vitalnya dengan pedangku.

Ia tersungkur.

“Ruakhhhhh!!” raungan kesakitan itu memenuhi ruangan untuk beberapa saat,


sebelum menghilang dengan misterius.

Aku bertatapan dengan Adelard, “Dia sudah mati?”

Adelard mengendikkan bahu, “Mungkin. Ayo.”

Ia berjalan mendahuluiku. Aku masih berdiri di tempat, menatap pedang yang


tak sempat kuperhatikan di awal tadi. Aku tersentak kaget.

“Oi, ay- Kau kenapa?” Adelard menatapku bingung.


“Hah? Tidak, aku tidak kenapa-napa.” Bohongku.

Ia menatapku sedikit curiga, namun kembali melanjutkan langkahnya menuju


lorong di sudut kanan ruangan. Aku menggenggam Arma-ku erat. Arma-ku, sesuai
dugaan adalah pedang. Namun yang mengejutkanku adalah, pedang ini adalah
pedangku yang kusimpan di kamar.

Bagaimana mungkin pedang ini yang datang, sementara aku tau, meski seorang
pemilik Arma mempunyai senjatanya sendiri, tapi Arma yang akan datang padanya
pastilah berbeda dengan senjata yang ia miliki.

Tapi Arma-ku adalah senjata pibadiku sendiri, bagaimana bisa?!

***

Aku masih menatap pedangku, atau sebenarnya sekarang adalah Arma-ku.


Ukiran yang khas ini memang membuatnya terlihat mewah, dan berbeda.

Pencarian Arma sudah selesai, dan kami sedang diobati di ruang perawatan
sekolah. Lukaku lumayan parah akibat petarungan dengan Gazz tadi. Yah,
menghadapi makhluk tak kasat mata itu memang sulit.

Teman se-tim ku hebat karena mereka keluar nyaris tanpa luka. Setidaknya
aku beruntung karena teman setim-ku ternyata bisa diandalkan. Aila bahkan hanya
mendapat beberapa goresan di tangan dan kakinya. Seperti dugaanku, Arma Aila
adalah panah.

Aku tersenyum tipis mengingat bagaimana Aila heboh ketika melihatku keluar
dengan luka yang cukup mengerikan dibanding mereka bertiga. Kulit leherku hangus
sebagian, beberapa lebam di tubuhku yang untungnya tak terlihat, lebam biru di
wajahku akibat tinjuan Gazz, mungkin bukan tinjuan melainkan dorongan biasa.
Karena jika Gazz benar-benar meninjuku, bukan hanya lebam, tulang pipiku akan
patah.

Aku hanya menyengir sementara Adelard di sampingku mendengus sebal. Ia


pasti kesal karena telah terlibat petarungan dengan Gazz. Lagipula, siapa yang tau
ternyata sekolah ini memasukkan makhluk seperti Gazz dalam proses pencarian
Arma.
Yang membuatku terkejut hanya saat peresmian Arma. Teman-temanku
diberikan Arma-nya langsung oleh Ravindra. Tapi aku hanya diberikan senyum karena
Arma-ku tetap di tangan. Mereka bahkan tak berani menyerahkannya secara resmi
padaku. Kupikir karena mereka merasa pedang ini adalah pedang terkutuk milik
mereka.

Awalnya aku juga sempat berpikir seperti itu. Tapi sayangnya, ketika aku
mengecek ruang kelasku diam-diam, pedang terkutuk itu masih di tempatnya.

“Hoi!” Aila menepuk bahuku tiba-tiba.

Aku mendelik padanya, “Apa?”

“Pulang, yuk. Sudah hampir malam, aku kelaparan.” Aila memegang perutnya dengan
tatapan memelas.

Aku tertawa, “Oke. Ayo.” Aku memegang pedangku hendak membawanya pulang. Aila
tampak bingung, “Oh, omong-omong, dimana panahmu, Ai?”

Ia menatapku tak percaya, “Kau belum tau, ya? Kita bisa ‘ menyimpan’ Arma kita
tanpa perlu memegangnya kemana kita pergi.”

“Oh ya? Dimana aku harus menyimpannya?” tanyaku polos.

Aila menepuk keningnya, “Maksudku bukan menyimpan seperti itu. Kau hanya perlu
fokus pada pikiranmu untuk ‘menyimpan’ Arma-mu, dan seketika Arma akan hilang.”

Aku mengerutkan kening, “Benarkah? Hebat sekali.”

“Itu pelajaran dasar, Ra.” Lagi-lagi ia menggeleng heran.

Aku mencoba fokus pada pikiranku. Untuk beberapa saat terasa sulit. Tiba-
tiba Aila menepuk bahuku. Aku menatapnya bertanya, “Aku sedang fokus, kau ini!”
rutukku.

“Mau fokus untuk apalagi? Arma-mu sudah ‘tersimpan’.” Balasnya marah.

“Eh?” aku menatap tanganku. Aila benar. Aku tersenyum manis padaya. Tapi ia malah
menarikku cepat.
“Hentikan senyum konyolmu itu! Aku sudah lapar sekali!” gerutunya.

“Iya, iya.” Aku berjalan sambil sesekali memikirkan ayam madu yang dijanjikan ibu
Aila tadi pagi. Dan akan menyenangkan juga bisa memberitau kabar gembira tentang
Arma kami yang super keren.

***

Kelas masih sepi. Hanya aku dan Aila yang sudah datang. Selagi menyimpan
barang di loker, kulihat pedang terkutuk yang masih di tempatnya itu. Lagi-lagi aku
tertarik mendekatinya.

“Inara, jangan sampai kau dipanggil ke ruang kepala sekolah lagi hari ini!” tegur Aila.

Aku meringis karena ketahuan akan memegang pedangnya lagi. Meski hanya
aku yang bisa memegang pedang ini, aku tetap tak mendapat izin untuk
menyentuhnya sesuka hati.

“Kita tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau terus-terusan memegangnya. Karena
itu, kau harus tetap hati-hati dengan pedang itu, sampai kita menemukan alasan
kenapa hanya kau yang bisa menyentuhnya.” Ravindra tersenyum berwibawa seperti
biasa.

Mengingat kata-katanya tempo hari membuatku cemberut. Adelard mendadak


masuk dan duduk di kursinya paling belakang. Ia bahkan tak mau repot dengan
menyapa kami. Aila melipat tangannya kesal lantaran sapaan ‘selamat pagi’-nya hanya
dijawab anggukan tipis oleh Adelard.

Aku melewatinya hendak menuju mejaku, tapi suara Adelard mengejutkanku.

“Kau menyimpan Arma-mu kembali di lemari senjata?”

Aku berbalik menatapnya. Butuh beberapa detik untukku memahami maksud


pertanyaannya. Tentu saja, dia kan tidak tau kalau Arma-ku adalah pedang pribadi-
ku sendiri. Bahkan sebenarnya semua orang mengira pedang terkutuk itulah yang
menjadi Arma-ku.

“Begitulah.” Jawabku asal. Adelard sepertinya kurang percaya. Matanya tampak


misterius seolah ia mengatakan ada yang tak beres dalam pikirannya.
Tatapannya hanya bertahan sebentar, sebelum ia kembali pada komiknya dengan
berkata pelan, “Setauku pedang terkutuk itu selalu ada disana.”

Aku membulatkan mata mendengarnya. Bagaimana bisa?! Tidak, tidak ada


yang tau tentang pedang terkutuk itu bukanlah Arma-ku, bahkan Aila, tapi
bagaimana Adelard bisa-

“Aku tau dari awal Arma-mu bukan pedang terkutuk itu.” ujarnya dengan suara
sangat pelan dan aku nyaris gagal mendengarnya jika aku tak membaca pergerakan
bibirnya.

Untuk beberapa saat aku hanya balas menatapnya tenang, berusaha tidak
terusik dengan kenyataan bahwa ada orang lain yang mengetahui Arma-ku yang
sebenarnya. Aku ingin membalas perkataannya, tapi kedatangan teman sekelasku
yang duduk tepat di samping Adelard membuatku urung mengatakannya.

Cukup Adelard yang tau. Untuk saat ini, entah kenapa aku masih merasa tak
boleh ada yang tau tentang senjataku yang serupa dengan pedang terkutuk itu.

***

Suara bel bordering mengakhiri kegiatan mengajar Alethea pada pagi itu. Ia
mematikan hologram yang tengah menunjukkan bagian akhir dari video penggunaan
senjata dasar, lantas menoleh pada murid-muridnya.

“Selanjutnya kelas pelatihan senjata. Dalam 5 menit kalian sudah harus ada disana
dengan barisan yang rapi.” Ucapan Alethea membuat penjuru kelas seketika penuh
akan keluhan.

Inara berbisik pada Aila disebelahnya, “Dia pasti bercanda.”

Aila balas berbisik sembari melihat Alethea yang masih dengan wajah datarnya,
“Kurasa tidak.”

Inara lantas menoleh cepat ke arah Aila, “Jarak dari kelas ke lapangan itu 12
menit!”

“Dengan berjalan.” Sambung Aila pasrah, “Kurasa dia meminta kita untuk berlari.”
“Ouh!” Inara menggemeretakkan giginya kesal. Ia paling benci disuruh berlari.

“Jika tidak..” senyum tipis penuh ancaman Alethea membungkam seisi kelas. Tatapan
ngeri para murid tertuju pada preceptor cantik nan kejam itu. Alethea mengangguk,
“Sekarang.”

Seisi kelas berhamburan meninggalkan kelas dengan terburu-buru. Bahkan


Inara sempat tertubruk beberapa orang teman lelakinya yang berbadan besar.
Keseimbangannya hilang dan hampir menubruk lantai jika seseorang tidak menahan
lengannya.

Inara menoleh dan menemukan teman satu timnya, Athar, tengah tersenyum
ramah padanya.

“Hati-hati, Inara.”

“Oh, terimakasih banyak, Athar.” Inara tersenyum tulus.

“Tidak perlu.” Athar menunjuk ke pintu kelas, “Ayo?”

Inara terkekeh lantas berlari terlebih dahulu mengingat waktu yang juga
berjalan. Ia dan Athar masih sangat waras untuk memilih berlari sekuat tenaga
daripada mendapat hukuman yang tidak manusiawi dari Preceptor Alethea.

Di depannya, Aila ternyata sudah menunggu dengan raut was-was karena


temannya yang lain sudah berlari kencang sementara ia tak melihat batang hidung
sahabatnya. Inara melambai sembari menepuk bahu Aila untuk segera berlari
bersama ia dan Athar.

Sepanjang berlari, Aila terus mengomel dan mengeluh betapa paniknya ia


ketika tak mendapati Inara berlari di sebelahnya. Ia berkata bahkan nyaris memilih
berkhianat meninggalkan sahabatnya itu agar tidak terlambat. Inara mendengus
sebal sambil mendorong pelan bahu sahabatnya. Namun dalam hati, Inara pun tau
Aila hanya bergurau. Gadis itu bahkan hampir masuk kembali ke labirin untuk
mencari Inara saat pencarian Arma ketika tak kunjung mendapati Inara di layar
akibat kamera yang dirusak oleh pukulan Gazz.

Ya, sesayang itu Aila pada Inara.


Sesampainya di , para murid langsung mengambil barisan serapi mungkin
meski napas mereka sudah nyaris tidak bisa dikontrol. Inara dan Aila langsung
mengambil barisan belakang sementara Athar berlari ke barisan murid lelaki.
Author POV :

Ctang! Srekk! Bruk...

Bunyi pedang beradu dengan pedang, besi mengoyak kulit, tubuh menghantam
tanah, terus terdengar di halaman luas yang sebelumnya merupakan sebuah taman
istana. Pasukan berbaju besi terlihat kewalahan menghadapi serangan besar-
besaran dari sosok-sosok berbaju serba hitam dengan wajah tertutupi topeng
hitam. Mereka tidak mengenakan baju besi, namun kemampuan bertarungnya sudah
cukup untuk melindungi diri sendiri dari tebasan pedang. Bahkan banyak diantara
mereka yang tergeletak di rumput dengan darah yang merembes tanpa henti.

Di tengah keadaan yang kacau-balau itu, seorang lelaki dengan pakaian khas
kerajaan membuka pintu kamar Ratu dengan kuat. Sang Ratu menatap terkejut pada
pintu sambil memeluk kedua anaknya yang tengah ketakutan. Sepersekian detik
kemudian, tatapan terkejut Ratu berubah menjadi sorot kelegaan menyadari
Suaminya-lah yang telah membuka pintu kamarnya.
“Zarina..” panggil Raja Aaric dengan kelegaan luar biasa ketika melihat permaisuri
dan kedua anak-nya dalam keadaan aman.

Raja Aaric memeluk permaisuri dan kedua anaknya dengan pelukan yang
sangat erat, pelukan yang sarat akan kekhawatiran. Raja Aaric lantas menatap mata
berwarna senada dengan batu zamrud itu dalam. Hatinya menghangat ketika
menemukan kelembutan yang terpancar dari tatapan istrinya. Diusapnya perlahan
pipi Ratu Zarina.

“Zarina, bawa kedua anak kita ke ruang bawah tanah. Disana sudah ada Eric dan
beberapa penjaga yang akan mengawal kalian keluar dari istana. Kalian akan pergi ke
Hutan Terlarang dan berdiam disana sampai keadaan aman. Eric akan tetap menjaga
kalian sampai kondisi membaik. Dan juga pe-“

“Kau akan ikut, Aaric. Kau akan ikut dengan kami, bukan?” hanya sepenggal
pertanyaan itu yang keluar dari bibir Sang Ratu.

Matanya berkaca-kaca penuh harap. Ia tak mempedulikan teriakan-teriakan


di luar istana yang kian mendekat, suara berisik yang menyatakan semakin dekatnya
musuh ke tempat mereka. Ia hanya membutuhkan anggukan untuk jawaban dari
pertanyaannya.

Aaric menatapnya dalam, kemudian ia menggeleng kecil, “Aku akan ikut


berperang, Za. Setelah semua keadaan membaik, aku akan menjumpaimu dan kedua
anak kita. Aku janji.”

Zarina menunduk sedih. Ia tau, sudah menjadi kewajiban Suami-nya sebagai


seorang Raja untuk memastikan semua keadaan terkendali, bahkan jika Sang Raja
harus turun tangan untuk mengendalikan keadaan. Namun semua terasa begitu tiba-
tiba hingga membuatnya tak mampu berpikir jernih.

“Kalian harus pergi. Aku tidak ingin terjadi hal buruk jika kalian tetap disini.
Berjanjilah padaku, kau akan menjaga dirimu dan kedua anak kita selagi aku tak ada,
Za, berjanjilah.” Ucapan Aaric kian menyayat hati Zarina.

Zarina terus menunduk, menatap kedua puterinya yang tetap memeluknya


erat. Kedua pasang tangan putri kecilnya menggenggam gaunnya erat. Berbagai
kemungkinan buruk terus terngiang di pikirannya. Ia adalah Ratu negeri Aaron,
sudah kewajibannya untuk tetap aman dan melindungi kedua penerus kerajaan
mereka. Ia harus berpikir rasional, bukan dengan perasaan.

Namun seberapa keraspun ia berusaha memilih, tetap saja, pilihannya jatuh


untuk tetap bersama suaminya, dalam keadaan apapun. Seberapa keras pun ia
berusaha berpikir melalui sudut pandang seorang Ratu, ia tetaplah seorang Istri.
Dengan pemikiran itu, Zarina menggeleng pelan. Ia mengabaikan rasa takutnya.
Melihat jawaban permaisurinya, Aaric lantas mencengkram kedua bahu Zarina erat.

“Zarina!” panggilnya tegas, membuat Zarina mengangkat kepalanya, menatap


suaminya terkejut, “Kau adalah seorang Ratu, Ini adalah tanggung jawabmu! Saat ini,
aku hanyalah seorang Raja, dan aku memintamu untuk pergi dengan kedua Puteri
kerajaan Aaron, dan menyelamatkan diri. Ini perintah, Ratu Zarina!”

Zarina membulatkan matanya mendengar perkataan Aaric. Air matanya


kembali jatuh, untuk kesekian kalinya. Aaric tidak pernah memberi perintah apapun
padanya. Dan jika ia memberikannya kali ini, maka keadaan benar-benar sudah diluar
kendali.

Melihat air mata yang semakin luruh dari sepasang mata favoritnya itu, hati
Aaric tersentuh. Ia sadar betapa takutnya istrinya untuk berpisah. Ia merasakan
ketakutan yang sama hanya dengan membayangkan ia tak lagi mampu menjumpai istri
dan kedua putrinya. Seketika pandangan Aaric melembut.

“Aku mencintaimu, dan aku mencintai Callysta juga Cyra. Aku mohon, pergilah,
untukku. Aku janji akan menemui kalian setelah ini. Aku janji akan selamat. Aku
Pengendali Cahaya, kau ingat?” senyum tipis Aaric membuat Zarina sadar, bahwa
Aaric benar-benar percaya akan kemenangannya.

Selama yang Zarina tau, jika Aaric begitu percaya diri akan kemenangan yang
diraih, maka ia pasti benar-benar akan menang. Karena itulah, sedikit demi sedikit,
kelegaan berkumpul di hati Sang Ratu. Ia percaya pada Aaric. Ia percaya suaminya
bisa memenangkan pertarungan ini. Ia pun memberikan senyum lembutnya pada Sang
Raja.
“Selamatkan dirimu dan kedua putri kita, berjanjilah padaku, Za.” Aaric
menggenggam kedua tangan Zarina erat.

“Aku janji.”

Dua kata itu membuat Aaric lega. Ia pun menarik kedua puterinya ke dalam
pelukannya. Ditatapnya Callysta dan Cyra, kedua puteri kerajaan, dengan pelukan
erat, seolah mereka tak akan bertemu dalam waktu yang sangat lama. Ditengah
pelukannya, Callysta, sang Puteri Sulungnya bertanya, “Ayah, kau akan kembali,
bukan?”

Aaric tersenyum menenangkan, lantas mencium kedua pipi puterinya dan


mengangguk yakin, “Ayah akan kembali. Calee, anakku, jaga adikmu dan juga ibumu.
Ayah bisa mengandalkanmu, kan?”

Callysta mengangguk penuh percaya diri, “Jangan khawatirkan Ibu dan Cyra, Ayah.
Selama aku ada, aku akan menjaga mereka.”

Ucapan penuh semangat Puteri Sulung-nya yang berumur 12 tahun itu


membuat Aaric juga Zarina tertawa. Berbeda dengan Cyra, Puteri Bungsu mereka
yang baru berumur 7 tahun itu hanya diam. Aaric mengangguk dan memberikan
kedua cincin pada kedua puterinya.

“Kalian harus menjaga cincin ini dengan baik. Ayah sayang kalian.”

“Berhati-hatilah, Ric. Kami akan menunggumu.” Ucap Zarina pelan.

Aaric mengangguk. Ia mengambil pedangnya dan berjalan keluar dari kamar


untuk mengecek keadaan. Zarina pun mengambil pedangnya dan berjalan keluar.
Callysta dan Cyra berjalan pelan di belakangnya. Callysta menggenggam erat tangan
adiknya, sedang sebelah tangannya lagi memegang pedang dengan siaga.

Mereka berjalan hingga sampai di depan sebuah dinding. Aaric menekan


tombol yang tersembunyi di belakang sebuah pigura besar. Seketika dinding di
hadapan mereka terbuka, menunjukkan tangga menurun tanpa penerangan
sedikitpun. Callysta sampai terperangah melihat lorong rahasia yang baru ia ketahui,
sementara Cyra bersembunyi di balik Sang Kakak karena takut akan kegelapan di
sana.
“Aku mencintaimu.” Ucap Zarina.

“Aku juga sangat mencintaimu.” Balas Aaric.

Mereka berpelukan sesaat, hingga teriakan Callysta menyadarkan mereka


akan sebuah panah yang melesat ke arah Zarina. Aaric menangkis serangan itu
dengan cepat dan balas melemparkan pedangnya hingga menancap di tubuh musuh.
Musuh itu seketika ambruk.

“Pergilah, sekarang!” ujar Aaric keras.

Anda mungkin juga menyukai