Ushul Fiqih Mugen
Ushul Fiqih Mugen
Ushul Fiqih Mugen
Tujuan buku Ushul Fiqh ini ditulis agar para pelajar dan seluruh pembaca
mengetahui, dan mudah dalam memahami dan mempelajari ilmu Ushul Fiqh serta
contoh-contohnya dengan baik. Mengapa demikian? Karena sebagai seorang
Muslim, ilmu Ushul Fiqh sangat penting dan juga bermanfaat untuk mencari dan
menentukan hukum syara' (syariat) dalam permasalahan kehidupan sehari-hari.
Tiada gading yang tak retak. Oleh karena itu, kami mohon maaf jika ada
kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan buku kecil ini. Di samping itu, kami
juga memohon bimbingan dan saran dari para pembaca.
Demikian, semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada kita semua.
Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.
Mujennih Mursaha,Lc. MA
Fondasi merupakan asal dari dinding. Sedangkan dalil, merupakan asal dari
hukum. Adapun hakikat merupakan asal dari majas. Masing-masing menjadi dasar
bagi bangunan yang berada di atasnya.2
Gambaran Ushul Fikih,Islam seperti pohon yang rindang dan manis buahnya.
Untuk menikmati buahnya, dibutuhkan pemetik dan alat untuk memetik buah. (al-
Ghazali, w. 505 H). Pemetik itu adalah mujtahid. Sedangkan alat untuk memetik
buah adalah Ushul Fiqh.
1
Muhammad Abdurrahman Jalal, “Al-Wajīz fī Ilmi Uṣūl al-Fiqh" (Cairo , maktabah Iman,
1433H/2012M) Hlm. 4
2
Abdul Hayyi Abdul „Al, “Pengantar Ushul Fikih” ( Jakarta, Pustaka Al-kaustar, 1427H/2006 ), hlm. 4
3
Op.cit, “Al-Wajīz fī Ilmi Uṣūl al-Fiqh", hlm. 9
Secara Bahasa :
Kata fa‟, qa‟, dan ha‟ dalam bahasa Arab terkadang hadir dengan fathah
(faqaha), terkadang dengan dhammah (faquha), dan terkadang dengan kasrah
(faqiha). Masing-masing memiliki arti yang berbeda. Faqaha berarti fiqh sudah
menjadi kepiawaiannya (menjadi ahli fiqh). Sedangkan faquha berarti telah
memahami (lebih dahulu dibanding orang lain), sementara faqiha berarti telah
mengetahui.4
Definisinya:
ِ ب ِْمنْأ َِدلَّتِهاْالت
َّْفصيليَّ ِة ِ العِْلمْ ِْبْ ْلَ ْْح َْك ِاـْالشَّْر ِعيَّ ِةْالْ َعمليَّ ِةْاملكتَس
َ ُ َ ْ ُ
3. Penjelasan Definisi :
4
Ahmad bin Muhammad Al-Fayumi “Al-Mishbah Al-Munir”,(cairo, Darul Hadits,1429H/2008M) hlm.
298
5
Op.cit, ““Al-Wajiz fii Ilmi Usul Fikih" hlm.5
Para ulama Ushul Fikih menyatakan bahwa yang menjadi objek bahasan ilmu
ini untuk membedakannya dengan bahasan fikih adalah sebagai berikut :
1) Pembahasan tentang sumber hukum Islam dan dalil yang digunakan dalam
menggali hukum syara‟. Sumber dan dalil hukum yang dimaksud disini, baik
yang disepakati para ulama seperti Al-Qur`an, As-Sunnah, Ijmak dan Qiyas,
maupun yang diperselisihkan oleh para ulama, seperti istihsān, mashlahah
mursalah, „urf, istishāb, dan sebagainya.7
6
Op.cit, “Pengantar Ushul Fiqh”, hlm. 7-9
7
Abu Hamid Al-Ghazali, “Al-Mustashfa fi „ilm al-Ushul”,(Beirut : Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1983),
hlm. 1/7
8
Zulbaidah,” Ushul Fiqih 1 (Kaidah-kaidah Tasyri‟iyah)”,(Bogor, Ghlmia Indonesia, 2016), hlm. 6-7
9
Moh. Bahrudin, “Ilmu Ushul Fiqh”, (Bandar Lampung : Aura, 2019) hlm. 10
10
Rachmat Syafe'i, “Ilmu Ushul Fiqh” , (Bandung : Pustaka Setia, 1999) hlm. 24
Yang menjadi dasar dan pendorong bagi umat Islam untuk mempelajari Ushul Fikih
dan Fikih ialah :
11
A. Syafi‟I Karim, “Fiqih Ushul Fiqih”, (Bandung : Pustaka Setia,2001) hlm. 53-56
12
Op.cit, “Ilmu Ushul Fiqh”, hlm. 24-25
Hukum secara bahasa berarti man‟u (mencegah), juga berarti qadhā‟ yang
artinya putusan. Dalam kamus Mukhtār Ash-Shihāh disebutkan al-hukmu al-qadhā‟
(hukum berarti putusan). Contoh dalam perkataan:
“Sesuatu yang dikandung (dituntut) oleh khitāb syari‟at yang berkaitan dengan
perbuatan-perbuatan mukallaf baik berupa thalab (permintaan), takhyir (pilihan),
atau wadh‟i .”13
ْ ض ًعا
ْ َوْو ِ َ ض ِاءْطَلَبًاْأ ِ ِ ِخطَابْالشَّا ِرِعْاْملتَػ ْعلِّ ِقْ ِِبَفْػع ِاؿْاْمل َكلَّ ِفْي
َ ْبِْْلقْت
َ َوَْتْيْيػًراْأ َْ ُ َ َُ ُ
ْ اْل َب َح ِْة
ِْ اْلُرَم ِةْو ِ ِ ِ ِ ِِ ِ
ُ َْالَثْػَ ُرْالَّذيْيػَ ْقتَضْيوْخط
َ ُ ْ ْ َكالْ ُو ُج ْوب َْو،ابْالشَّا ِرِعِْفْالْف ْع ِل ْ فَػ ُه َو
13
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-„Utsaimin, “Ushul Fiqih”, Terjemah. Ahmad S Marzuqi (Jogjakarta:
Media Hidayah, 2008), hlm. 17
14
Op.cit, “Ushul Fiqih 1 kaidah-kaidah tasyri‟iyah”, hlm. 22
Penjelasan definisi:
Mukallaf maksudnya adalah orang yang diberi beban taklif. Yaitu setiap
manusia yang baligh, berakal, dan yang telah sampai dakwah kepadanya. Jadi, anak
kecil dan orang gila tidak mungkin dikenai khithab Pembuat Syari‟at. Sebab pada
hakikatnya, khithāb adalah pembebanan (taklif), sedangkan anak kecil dan orang
gila tidak mampu menerima pembebanan. Demikian pula orang yang belum sampai
padanya dakwah Islam. Meskipun ia mampu menerima pembebanan, hanya saja
pembebanan itu terhalang karena udzur, yaitu belum sampainya dakwah Islam
kepadanya.17
Sebagian besar para ulama Ushul Fiqih membagi hukum menjadi dua bagian:
yaitu (1) Hukum Taklīfi, dan (2) Hukum Wadh‟i.18
a. Hukum Taklīfi
Maknanya: “Hukum taklīfi adalah tuntutan Allah dan Rasul yang berkaitan
dengan perintah untuk berbuat atau perintah untuk meninggalkan suatu
perbuatan.”
Apabila perbuatan tersebut berbentuk ījab, maka perbuatan yang dituntut adalah
wajib. Jika berbentuk nadb adalah mandūb atau sunnah. Sedangkan tahrīm adalah
haram; karāhah adalah makruh, dan ibāhah adalah mubah. Adapun jumhur
15
Ibid hlm. 22
16
Op.cit, “Ushul Fiqih”, Terjemah. Ahmad S Marzuqi,hlm. 17
17
Op.cit, “ Pengantar Ushul Fikih”, hlm. 27
18
Op.cit, “Ushul Fiqih”, hlm. 13
1. Ījab
Maknanya: “Yaitu tuntutan secara pasti dari Allah dan Rasul untuk
dilaksanakan dan tidak boleh ditinggalkan, karena orang yang
meninggalkannya dikenai hukuman.”20 Ījab juga disebut wajib. Wajib secara
bahasa berarti sāqith (yang jatuh, gugur) dan lazim (tetap).
ِْ ْعلَىْو ْج ِو
ْ ْاْللَْزِْاـ ِِ
َ َ َُماْأ ََمَرْبوْالشَّا ِرع
ِ ِ ِ ِ ِ
ْ َُْت ِرُك ْو
َب ُ ابْفَاعلُوُ َْويػُ َعاق ُ ىْو ْج ِوْاللُُّزْوـ ِِْبَْي
ُ َثْيػُث َ َْعل
َ بُ ْى َوْالْف ْع ُلْالْ َمطْلُ ْو
ُب ُ الْ َواج
Wajib adalah sesuatu perbuatan yang dituntut Allah untuk dilakukan secara
pasti (tegas), yang mana pelakunya diberi pahala karena perbuatannya itu telah
sesuai dengan kehendak yang menuntut dan orang yang meninggalkan diancam
dosa karena bertentangan dengan kehendak yang menuntut.
َّ َواَقِْي ُمو
َّ اْالص ٰلوةَ َْواٰتُو
ْ ْاْالزٰكوَة
19
Op.cit, “Ushul Fiqih 1 kaidah-kaidah tasyri‟iyah”, hlm. 23
20
Ibid, hlm. 23
21
Op.cit, “ Ushul Fiqih”, Terjemah. Ahmad S Marzuqi,hlm. 18
ِْ ْعلَىْو ْج ِو
ْ ْاْللَْزِْاـ ِِ
َ َ َماْأ ََمَرْبوْالشَّا ِرعُ ََْل
“Sesuatu yang diperintahkan oleh Syāri‟ tetapi tidak secara ilzām (wajib).23
Tidak secara ilzām berarti tidak mencakup yang wajib.
“Sesuatu yang mandūb itu pelakunya mendapat pahala jika didasari karena
melaksanakan perintah, dan yang meninggalkannya tidak mendapat hukuman.”
Misalnya: berpuasa pada hari senin dan kamis.
3. Tahrīm
ِْ ْعلَىْو ْج ِو
ْ ْاْللَْزِاـْ ِبلتػ َّْر ِْؾ ُ ىْعْنوُْالشَّا ِر
َ َ ع َ َماْنػَ َه
22
Op.cit, “Ushul Fiqih 1 kaidah-kaidah tasyri‟iyah”, hlm. 26
23
Op.cit, “ Ushul Fiqih”, Terjemah. Ahmad S Marzuqi,hlm. 19
24
Ibid, hlm. 19
25
Op.cit, “Ushul Fiqih 1 kaidah-kaidah tasyri‟iyah”, hlm. 27
ا
ًْ ْعلَْي ُك ْم ْاَََّل ْتُ ْش ِرُك ْواْبِوْ َشْيػًا ْ َّوِبلْ َوالِ َديْ ِْن ْاِ ْح َس
ْان ْ َوََْل ْتَػ ْقتُػلُْْٓوا ْاَْوََل َد ُك ْْم ْ ِّم ْْن َ اْحَّرَـ َْربُّ ُك ْم
َ قُ ْل ْتَػ َعالَ ْواْاَتْ ُل َْم
َْ شْ َماْظَ َهَْرْ ِمْنػ َهاْ َوَماْبَطَ اَْنْ َوََْلْتَػ ْقتُػلُواْالنَّػ ْف
ْْ َِّسْال
ْتْ َحَّْرَـ ِ ؽْ ََْن ْنْنػَرزقُ ُك ْمْواِ ََّّيى ْمْ اۚوََْلْتَػ ْقربواْالْ َفو
َْ اح َ ُ َ َ ْ ُ َ ْ ُ ْ ُ ْ ا ْم ََل
ٍ ِ
4. Karāhah
ِْ ْعلَىْو ْج ِو
ْ ْاْللْ ِزِاـْ ِبلتػ َّْر ِْؾ ُ ىْعْنوُْالشَّا ِر
َ َ ع ََْل َ َماْنػَ َه
“Sesuatu yang yang dilarang oleh Syāri‟, tetapi tidak secara ilzām untuk
ditinggalkan.”26 Contohnya : Mengambil dan memberikan sesuatu dengan
tangan kiri.
5. Ibāhah
Ibāhah atau mubah secara bahasa berarti mu‟lan ( yang diumumkan) dan
ma‟dzūn fīh (yang diizinkan). Secara istilah berarti:
26
Op.cit, “ Ushul Fiqih”, Terjemah. Ahmad S Marzuqi,hlm. 20
27
Op.cit, “Ushul Fiqih 1 kaidah-kaidah tasyri‟iyah”, hlm. 28
“Sesuatu yang yang tidak berkaitan dengan perintah dan tidak juga (berkaitan
dengan) larangan dengan sendirinya.”28 Contohnya: adalah makan pada malam
hari di bulan Ramadhan.
b. Hukum Wadh‟i
Hukum wadh‟i adalah titah atau khithāb yang menjadikan sesuatu sebagai
sebab bagi sesuatu yang lain (musabab), atau sebagai syarat yang lain.
Hukum wadh‟i dibagi menjadi enam, yaitu: (1) sababiyyah, (2) Syarthiyyah, (3)
māni‟iyyah, (4) Shihhah , dan (5) Buthlān.30
1. Sababiyyah
2. Syarthiyyah
28
Op.cit, “ Ushul Fiqih”, Terjemah. Ahmad S Marzuqi,hlm. 20
29
Op.cit, “Ushul Fiqih 1 kaidah-kaidah tasyri‟iyah”, hlm. 29
30
Op.cit, “Ushul Fiqih” hlm. 14
31
Op.cit, “Pengantar Ushul Fikih”, hlm. 173
Sabda Nabi SAW: “Allah tidak menerima shalat seseorang di antara kamu
apabila ia berhadas hingga ia berwudhu.”
3. Māni‟iyyah
4. Shihhah
Maknanya: “Perihal sesuatu itu sah, seperti shalat dianggap sah apabila
ia ditunaikan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Syāri‟, yaitu dengan
cara memenuhi semua rukun dan syarat-syaratnya secara sempurna.34
Contoh lainnya: Suatu akad dikatakan sah apabila telah dipenuhi semua rukun
dan syarat-syaratnya.
32
Ibid, hlm. 173
33
Ibid, hlm. 174
34
Ibid, hlm.174
Contoh lainnya: Suatu akad dikatakan fasād atau batal jika akad tersebut
dikerjakan tanpa memenuhi rukun dan syarat-syaratnya yang diperintahkan
Syāri‟. Jika suatu akad tetap dilaksanakan tanpa memenuhi syarat atau
rukunnya, maka akad tersebut tidak menimbulkan konsekuensi hukum yang
dimaksudkan.35
35
Ibid, hlm. 175
36
Op.cit, “ilmu ushul fiqih” , hlm. 316
ْعْنػ َها
َ ف
ِ
َ اْويْػُ ْع ِرفػُ َه
ُ اْويَكْش ِ
َ َح َكا َْـْ َوْيُظْ ْه ُرَى ْ الَّ ِذيْيُ ْد ِرُؾ
ْ ْال
37
Op.cit, “ Ushul Fiqih 1 kaidah-kaidah tasyri‟iyah”, hlm. 44
38
Ibid, hlm. 44
39
Op.cit, “Ushul Fiqih”,hlm. 17
40
Op.cit “Pengantar Ushul Fikih”, hlm. 190
Alasannya adalah:
ِ وْماْ ُكن
ْ وَل َ ْح ّّٰتْنػَْبػ َع
ًْ ث َْر ُس َ َِّاْم َع ّذب
َ ْي ُ ََ
“Tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul “.
(QS. Al-Isra‟ [17]: 15)
َِّ ََّاسْعل ِ ِ
ْ الر ُس ِْل
ُّ ْْح َّج ْةٌ بػَ ْع َْد
ُ ىْاّلل َ ِ لئَ ََّلْيَ ُكو َفْللن
“ Agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah
rasul-rasul itu diutus”. (QS. An-Nisa‟ [4]: 165)41
b. Golongan Mu‟tazilah
ُْ ِّيث َْوالطَّي
ْب ُ ِىْاْلَب َّ ُق
ْ لَْلْيَ ْستَ ِو
41
Op.cit, “Ushul Fiqih”,hlm. 17
ْ ِْصلِح ِ ِ
ْ اّللُْيػَ ْعلَ ُمْالْ ُم ْفس َدْم َنْالْ ُم
َّ َو
2. Mahkūm „Alaih
42
Ibid, “Ushul Fiqih” , hlm. 18-19
43
Op.cit , “Ushul Fiqih 1 kaidah-kaidah tasyri‟iyah” hlm. 55
“Pena itu telah diangkat (tidak dipergunakan mencatat) amal perbuatan tiga
orang: (1) Orang yang tidur hinga ia bangun, (2) Anak-anak hingga ia
dewasa, dan (3) Orang gila hingga sembuh kembali.” (HR. Abu Dawud dan
Nasa‟i)44
3. Mahkūm Fīh
Mahkūm Fīh adalah perbuatan yang diputuskan oleh Allah supaya kita
kerjakan atau ditinggalkan. Atau, perbuatan yang harus kita kerjakan atau kita
tinggalkan, atau perbuatan yang terkait dengan hukum syara‟.
Akan tetapi, hukum syara‟ itu ada dua macam yaitu: hukum wadh‟i dan
hukum taklīfi. Sebagian hukum wadh‟i berasal dari perbuatan manusia,
sementara sebagian yang lain bukan dari perbuatannya. misalnya,
bergesernya matahari di tengah cakrawala langit, datangnya awal bulan dan
sebagainya merupakan sebab hukum yang tidak bersumber dari perbuatan
manusia. Para ulama Ushul Fiqh memfokuskan pembahasan ini hanya
berkaitan dengan perbuatan manusia saja.
Jadi, Mahkūm Fīh adalah (objek hukum yang menjadi pembahasan Ushul
Fiqh) perbuatan-perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa hukum taklif
secara murni maupun hukum taklīf yang berhubungan dengan hukum wadh‟i,
seperti wudhu yang menjadi syarat sahnya shalat; jual beli yang menjadi
sebab pemilikan suatu benda; pembunuh yang dapat mencegah (māni‟)
memperoleh harta warisan, pernikahan yang menjadi sebab memperoleh harta
warisan dan sebagainya.
Dengan kata lain, Mahkūm Fīh adalah perbuatan orang mukallaf yang
menjadi objek hukum syara‟, baik berupa perintah, larangan, maupun
kebolehan (ibāhah). Dengan demikian, Mahkūm Fīh adalah perbuatan orang-
44
Op.cit, “Ushul Fiqih” , hlm. 16
Mahkūm Fīh ialah yang dibuat hukum, yaitu perbuatan mukallaf yang
berhubungan (berkenaan) dengan hukum yang lima, yang masing-masing
ialah:
a. Wajib „Ain, ialah yang wajib dikerjakan oleh setiap mukallaf, seperti
shalat lima waktu sehari semalam dan puasa bulan Ramadhan;
b. Wajib Kifāyah, yang wajib dikerjakan oleh semua mukallaf, tetapi
jika sudah ada di antara mereka yang mengerjakan, lepaslah
kewajiban itu dari yang lainnya. Misalnya shalat jenazah dan
menguburkannya.
2) Mandūb (sunnah), yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat
pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapat siksa atau dosa.
45
Op.cit, hlm. 221
46
Op.cit, “Ushul Fiqih”, hlm. 19 - 20
Secara istilah, hukum taklīfi adalah firman (khithāb) Allah yang berkaitan
dengan perbuatan atau pilihan.47
Adapun pengertian lain dari hukum taklīfi ialah khitāb Allah atau sabda Nabi
Muhammad yang mengandung tuntutan, baik perintah melakukan atau
larangan.48
Jadi, hukum taklīfi dapat diartikan sebagai seruan Allah yang berkaitan
dengan perbuatan manusia, baik itu terkait tuntutan (iqtidhā‟) maupun pilihan
(takhyīr) adalah seruan yang menjelaskan hukum-hukum perbuatan manusia.
47
Op.cit , “Ushul Fiqih” hlm. 13
48
Op.cit, “Pengantar Ushul Fiqih”,hlm. 33
Wajib atau Fardhu dapat juga didefinisikan apa-apa yang diberi pahala
atau dipuji bagi yang melaksanakannya dan yang akan disiksa dan dicela bagi
yang meninggalkannya.
49
Ibid, hlm. 70
2. Sunnah
50
Ibid, hlm. 77
3. Haram
Pembagian haram :
1) Haram li dzātihi : yaitu haram pada sesuatu itu sendiri, seperti zina, minum
khamr.
2) Haram li ghairihi : yaitu haram bukan pada dirinya sendiri, tapi karena ada
illat syar‟iyah (sebab sesuai syariat) yang mengharamkannya. Misal : jual
beli saat azan Jum‟at.
4. Makruh
51
Op.cit, “Ushul Fiqih”, hlm. 19
5. Mubah
Secara bahasa berarti mu‟lan (yang diumumkan) dan ma'dzūn fīh (yang
diizinkan). Secara istilah : "Sesuatu yang tidak berkaitan dengan perintah dan
tidak juga (berkaitan dengan) larangan dengan sendirinya”.
Rumus Mubah : ketika ada perintah (amr) melakukan perbuatan, yang mana
perbuatan itu sebelumnya hukumnya haram (dilarang), maka hukum perintah
perbuatan itu adalah mubah bukan wajib.
52
Ibid, hlm. 20
Hukum wadh‟i adalah, hukum syariat yang berkaitan dengan sesuatu yang lebih
umum daripada perbuatan mukallaf dalam bentuk penetapan sesuatu yang
menjadikan sesuatu sebagai sebab atau syarat dan pencegah sesuatu yang lain.
Dengan kata lain, hukum wadh‟i adalah hukum penetapan.53
Artinya hukum wadh‟i adalah aturan yang mengatur hukum perbuatan.
53
Op.cit, „Pengantar Ushul Fikih”, hlm.172
54
Ibid, hlm.173
اَّللُ َع ِزۡي ٌز َح ِك ۡي ٌم ِ ٰ السا ِرقَةُ فَ ۡاقطَع ۡۤۡوا اَ ۡي ِدي هما جزآ ًۢء ِبا َكسبا نَ َك ًاَل ِمن
َّ السا ِر ُق َو
ّٰ اَّلل َو
ّ َّ ََ َ ً َ َ َ ُ َ ُ َّ َو
55
Op.cit, “Ushul Fiqh 1”, hlm. 31-32.
56
Op-Cit,” pengantant Ushul Fikih”, hlm.173
“Sesuatu yang disepakati adanya hukum karena adanya syarat, dan pasti dari
tidak adanya syarat tidak akan ada hukum”.58
Dari satu sisi, syarat sama dengan sebab, yaitu bahwa hukum tergantung
kepada adanya, sehingga bila tidak ada syarat, maka pasti hukum pun tidak ada.
Berbeda halnya dengan sebab, keberadaan sebab menuntut adanya hukum,
tetapi adanya syarat belum tentu menuntut adanya hukum. Oleh karena itu
ulama ushul mendefinisikan syarat sebagai sesuatu yang tergantung kepada
adanya hukum, dan pasti jika tidak ada syarat, maka tidak akan ada hukum,
meskipun dengan adanya syarat tidak otomatis akan ada hukum.59
Contohnya wudhu adalah salah satu syarat sahnya shalat, apabila shalat
tidak dapat dilaksanakan tanpa wudhu. Akan tetapi, apabila seseorang
berwudhu, maka tidak mesti ia harus melaksanakan shalat.60
a. Firman Allah dalam surah Al-Maidah (5) ayat 6 :
57
Ibid, hlm.174
58
Op.cit, “ ushul Fikih1”,hlm. 33
59
Op.cit, “ pengantanr Ushul Fikih”, hlm.180
60
Op.cit, “ ushul Fikih1”,hlm. 33
3. Māni’
Māni‟ secara bahasa berarti “penghalang dari sesuatu”. Secara istilah,
sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau
penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya sesuatu
sebab. Adapun menurut Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan māni‟ adalah:
61
Ibid, hlm.34
62
Op.cit, “ Pengantar Ushul Fikih” hlm. 183
63
Satria Effendi, “ Ushul Fiqh”, (Jakarta:Kencana,2005), hlm.63
Keterkaitan antara sebab, syarat ,dan māni‟ sangat erat. Penghalang itu ada
persamaan dengan sebab dan terpenuhinya syarat-syarat. Syāri‟ menetapkan
bahwa suatu hukum yang akan dikerjakan adalah hukum yang ada sebabnya,
memenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalang (māni‟) dalam
melaksanakannya. Sebaliknya, hukum tidak ada apabila sebab dan syarat -
syaratnya tidak ada atau adanya halangan untuk mengerjakannya.
Misalnya: Shalat Dzuhur wajib dikerjakan apabila telah tergelincir matahari
(sebab) dan harus berwudhu (syarat). Tetapi, karena orang yang akan
mengerjakan itu sedang haidh (māni‟) maka shalat Dzuhur itu tidak sah
dikerjakan. Demikian juga halnya, apabila syarat terpenuhi (telah berwudhu)
tetapi penyebab wajibnya shalat Dzuhur belum muncul (matahari belum
tergelincir), maka shalat pun belum wajib meskipun telah terpenuhinya sebab
dan syarat, tetapi ada māni‟ yaitu haid, maka shalat Dzuhur pun tidak bisa
dikerjakan.
64
Op-Cit, “ Al-wajiz Fi Ilmi Ushul Fikih”, hlm. 63
ًۢ
وى َّن َشْياًا مت ي ات ء اَّ
ِمِ يح ِبِِح ٰس ٍن ۗ وََل ََِيل لَ ُكم أَن َتْخ ُذو۟ا
ًۢ ِ
ر س ت َو
أ ٍ
وفر ِ ِ ِ َّٰ
ُ ُ ُ َْ َ ٓ ُ َ ْ ُّ َ َ ْ ٌ ْ َ ْ ُ َْ ٱلطلَ ُق َمَّرََتن ۖ فَإ ْم َس
عب اك
ٌ
ِ ِ َِّ ٱَّللِ ۖ فَِإ ْن ِخ ْفتم أَََّل ي ِقيما ح ُدود ِ ِ
ت
ْ يما ٱفْ تَ َد
َ اَ َعلَْيه َما ف
َ َٱَّلل فَ َل ُجن َ ُ َ ُ ُْ َّ ود َ إََّلٓ أَن ََيَافَآ أَََّل يُق
َ يما ُح ُد
ك ُى ُم ٱل ٰظَّلِ ُمو َن ٓ ۟ َِّ ٱَّللِ ف َل ت عتدوىا ۚ ومن ي ت ع َّد حدود
َ ِٱَّلل فَأُوٰلَئ َ ُ ُ َ ََ َ َ َ ُ َ ْ َ َ َّ ود َ بِِوۦ ۗ تِْل
ُ ك ُح ُد
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum
Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.”
65
Op.cit, “ Pengantar Ushul Fikih” hlm. 156
b. Rukhsah
Secara bahasa berarti gampang dan mudah atau boleh juga yang berarti
mengambil kemudahan. Sedangkan secara istilah rukhsah memiliki beberapa
definisi,sebagian ulama mendefinisikan rukhshah dengan sesuatu yang boleh
dikerjakan padahal haram. Sedangkan rukhshah didefinisikan oleh Ahli Ushul
dengan:67
“Hukum-hukum keringanan yang tidak disyariatkan oleh Allah atas orang
mukallaf dalam kondisi-kondisi tertentu yang menghendaki keringanan atau
sesuatu yang telah disyariatkan oleh Allah karena uzur kesulitan dalam
kondisi-kondisi tertentu, atau membolehkan yang dilarang karena adanya dalil,
sekalipun dalil larangan itu tetap berlaku.”
66
Ibid, hlm.156
67
Op.cit, “ Al Wajiz Fi Ilmi Ushul Fikih” hlm.63
ٱضطَُّر َغْي َر ََ ٍٍ َوََل َع ٍاد َِّ ٱْلِن ِزي ِر ومآ أ ُِى َّل بِِوۦ لِغ ِْي
ْ ٱَّلل ۖ فَ َم ِن َْ َ إََِّّنَا َحَّرَم َعلَْي ُك ُم ٱلْ َمْي تَةَ َوٱلد
َ َ ْ َّم َو َْلْ َم
ور َّرِحيم َّ فَ َلٓ إِ ْْثَ َعلَْي ِو ۚ إِ َّن
ٌ ٱَّللَ َغ ُف
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging
babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
68
Ibid, hlm.64
َين ِمن قَ ْبلِنَا ۚ َربَّنَا َوََل َُتَ ِّم ْلنَا َما ََل طَاقَة ِ َّ ِ
ْ َِخطَأْ ََن ۚ َربَّنَا َوََل ََْتم ْل َعلَْي نَآ إ
َ صًرا َك َما ََحَْلتَوُۥ َعلَى ٱلذ ْأ
ِٰ ِ ِ
َ ٱنص ْرََن َعلَى ٱلْ َق ْوم ٱلْ َكف ِر
ين ُ ََنت َم ْولَٰى نَا ف
َ ف َعنَّا َوٱ ْغف ْر لَنَا َو ْٱرَحَْنَآ ۚ أ ْ لَنَا بِِوۦ ۖ َو
ُ ٱع
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya
dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa):
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami
tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban
yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum
kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak
sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan
rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap
kaum yang kafir".
69
Ibid, hlm.39
b. Batal
Tidak sah merupakan kebalikan dari kata yang mencakup semua
pertimbangan sebelumnya. Adapun tidak sah dan fasād merupakan dua kata
yang bersinonim. Dalam hal muamalah keduanya memiliki satu makna. Tidak
sah ialah sesuatu yang tidak ada konsekuensinya hukum syar'i dari
melakukannya dikarenakan tidak memenuhi rukun dan syarat-syarat yang
telah ditentukan.72
70
Op.cit, “ Pengantar Ushul Fikih”, hlm. 183
71
Op.cit, “ Al-Ushul Min Ilmu Ushul” hlm. 10
72
Ibid, hlm. 10
c. Fasād
Fasād adalah sesuatu yang tidak disyariatkan secara sifatnya saja.
Contohnya jual-beli fasād misalnya, memiliki pokok dalam syarat seperti jual-
beli yang mengandung tambahan riba yang menjadikan akadnya fasād. Jual
beli ini memiliki dasarnya dalam syara di mana Allah berfirman dalam
surah Al-Baqarah, 275:
۟ ِ
ٱلربَ ٰوا
ّ ٱَّللُ ٱلْبَ ْي َع َو َحَّرَم
َّ َح َّل
َ َوأ
Artinya; “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba,”
Jual-beli semisal ini cuma dilihat dari segi jual belinya memiliki dasar
dalam syara‟ akan tetapi mengingat akadnya mengandung sifat yang fāsid
yaitu adanya tambahan, maka menjadikan jual beli ini sebagai jual beli fāsid
oleh karena itu jual beli semisal ini disyariatkan secara dasarnya bukan secara
sifatnya.
Mengingat adanya tambahan inilah yang menjadikan akad jual beli itu
fāsid sehingga sekiranya tambahan ini tidak ada, sementara jual beli ini telah
memenuhi rukun-rukun akad beserta syarat-syarat lainnya maka akad ini
menjadi sah serta menimbulkan konsekuensi hukumnya. 73
73
Op.cit, “ Pengantar Ushul Fikih” hlm.188
ْوالدليلْىوْاملرشدْإىلْاملطلوب
“Dalil adalah pembimbing pada yang dituju (dituntut).” Dalil adalah petunjuk yaitu
artinya menunjukkan sebuah petunjuk. Oleh karena itu, dalil diartikan dengan
petunjuk yang membimbing pada yang dituntut/dicari/diminta. Ini merupakan istilah
bahasa secara umum, maka dalil telah menjadi sebuah petunjuk untuk yang dituju,
dan tidak dinamakan dalil dalam pengertian istilah.
Dalam istilah : Sesuatu yang memungkinkan untuk menyampaikan suatu
penelitian yang benar di dalamnya bersifat berita apa yang diinginkan.74 Atau istilah
lain : Segala sesuatu yang (jika) dipertimbangkan dengan benar akan mengantarkan
pada suatu hukum syar‟i yang „amali (praktis).
74
Abdullah bin shallih Fauzan, “syarh waroqot”,( pustaka Darul nurul ilmi),hlm. 38
75
Wahbah Zuhaili, “Ushulul Fiqh Al Islami”,hlm.1/41
Pertama, dalil syar‟i yang disepakati oleh jumhur ulama ada 4 yaitu :
1. Al-Istihsan,
2. Al-Mashālih Al-Mursalah (Al Istishlāh),
3. Madzhab As-Shahabi,
4. Syar‟u Man Qablana,
5. Al Istish-hāb,
6. Al-„Urf,
7. Adz-Dzarā‟i
76
Op.cit, “ Pengantar Ushul Fikih”, hlm. 13
1. Dalil qath‟i tsubūt, yaitu dalil yang secara pasti bersumber dari Rasulullah
Shalallahu „alaihi wa sallam, yaitu Al-Qur‟an dan Hadits Mutawatir.
2. Dalil zhanni tsubūt, yaitu dalil yang secara dugaan kuat bersumber dari
Rasulullah , yaitu hadits Ahad.
Adapun dalil dzanni dalālah, yaitu dalil yang mengandung kemungkinan lebih
dari satu makna. Maka dari itu, berdasarkan penjelasan di atas, terdapat 4 macam
dalil :
a. Dalil qath‟i tsubūt dan qath‟i dalālah, yaitu dalil Al-Qur`an atau Hadits
mutawatir yang tidak mempunyai makna kecuali satu makna saja.
b. Dalil qath‟i tsubūt dan zhanni dalālah, yaitu dalil Al-Qur‟an dan Hadits
Mutawatir yang mengandung lebih dari satu makna.
c. Dalil zhanni tsubūt dan qath‟i dalālah, yakni dalil hadits ahad yang tidak
mempunyai makna kecuali satu makna saja.
d. Dalil dzanni tsubūt dan dzanni dalālah, yakni dalil hadits Ahad yang
mempunyai makna lebih dari satu makna.
Hukum syara‟ yang dalilnya dalil qath‟i, adalah hukum syara‟ yang qath‟i, yang
tidak boleh ada perbedaan pendapat (khilafiyah), seperti : wajibnya shalat,
haramnya zina, haramnya khamr,dan lain sebagainya.
Hukum syara‟ yang dalilnya dalil dzanni, adalah hukum syara‟ yang dzanni,
yang boleh ada perbedaan pendapat (khilafiyah), seperti : jumlah rakaat tarawih.
Al-Qur`an bila dilihat dari segi turunnya adalah qath‟i, artinya Al-Qur‟an pasti
diturunkan dari Allah Kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril dan
oleh Nabi Muhammad disampaikan kepada umatnya tanpa ada perubahan dan
penggantian. Akan tetapi, dari segi dalālah atau hukum yang dikandungnya
adakalanya bersifat qath‟i (pasti) dan adakalanya bersifat zhanni (relatif).
Ayat yang bersifat qath‟i adalah ayat yang menunjukan kepada makna
tunggal dan tidak bisa dipahami selain makna lafaz itu sendiri.
Penunjukkan makna (al-dalālah) ayat tersebut adalah qath‟i, yaitu jelas dan
pasti, sehingga tidak boleh dita‟wil dan dipahami selain yang ditunjukkan oleh ayat
tersebut. Dengan demikian, bagian seorang suami dalam mewarisi harta peninggalan
istrinya yang meninggal dengan tanpa ada anak adalah setengah dari harta
peninggalannya.
Dalam kaffārat sumpah, Allah berfirman dalam surat al-Maidah ayat 89:
ا
ْْي ُْ ْاِطْ َعَّٞارتُو
َْ ْ اـ ْ َع َشَرةِْ ْ َم ٰس ِك َْ ْاَلَْْيَا َف ْفَ َكف ِ ِ ِ ِ ِ ْاّلل ْ ِبللَّ ْغ ِو
َ َِْف ْاَْْيَان ُك ْم َْوٰلك ْن ْيػُّ َؤاخ ُذ ُك ْم ِْب
ْ ُاْع َّق ْد ُُّّت ْْٓ
ِ
ُّٰ ََل ْيػُ َؤاخ ُذ ُك ُم
َُّْارة َْ ِصيَ ُْاـْثػَ ٰلثَِْةْاَََّّيٍْـْۚ ٰذل
َ كْْ َكف
ِ َطْماْتُطْعِمو َْفْاَ ْىلِي ُك ْمْاَ ْوْكِسوتػُه ْمْاَ ْوْ ََْت ِريػ ْرْرقَػب ٍْةْۚفَم ْنْ ََّّْل ْ ََِي ْدْف
ْ ْ َ َ َ ُْ ْ ْ ُ َ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ُ
ِ ِ
َ ْ م ْْنْاَْو َس
ْ ْلَ َعلَّ ُك ْْمْتَ ْش ُك ُرْو َْفْٞاّللُْلَ ُك ْمْاٰ ٰيتِو ِ ِ ِ
ّٰ ْيُ ِّكْيػُبَػ
َ اح َفظُْْٓواْاَْْيَانَ ُك ْمْْ َك ٰذل
ْ اْحلَ ْفتُ ْمْ َو
َ اَْْيَان ُك ْمْا َذ
Bilangan dalam ketiga ayat di atas, yaitu bagian suami adalah setengah
apabila tidak ada anak dalam kewarisan, seratus kali dera bagi orang yang
melakukan zina, dan puasa tiga hari untuk kaffārat sumpah yang tidak sanggup
memberi makan sepuluh orang miskin atau memerdekakan budak. Menurut ulama
ushul fiqh, ayat tersebut mengangdung dalālah hukum qath‟i dan tidak bisa
dipahami selain pengertian itu.
Kata qurū‟ yang terdapat pada ayat di atas mengandung lafadz musytarak
(mengandung pengertian ganda), yaitu dengan makna suci dan haidh. Oleh karena
itu, apabila kata quru‟ diartikan dengan suci sebagaimana yang dianut oleh ulama
Syafi‟iyah, itu benar, dan apabila diartikan dengan haidh seperti yang dipahami
oleh ulama Hanafiah, itu juga benar.
Contoh lain adalah firman Allah dalam surah Al-Ma`idah (5) ayat 38:
ْ ْح ِكْي ٌْم ِ ٰ السا ِرقَةُْفَاقْطَعْٓواْاَي ِديػهماْج ۤزا ُۢء ِِْباْ َكسباْنَ َك ًاَل ِْمن
َّ السا ِر ُؽ َْو
َ ْع ِزيْػٌز ّٰ ْاّللْ َو
َ ُاّلل ّ َّ ََ َ ً َ َ َ ُ َ ْ ُْ َّ َو
77
Op.cit, “ kaidah-kaidah tasyri‟iyah”, hlm. 85-86
2. Macam-Macam Istihsan
78
Op.cit,“Ushul Fiqh Kaidah-kaidah Tasyri‟iyah”, hlm. 127-128
79
Op.cit, “Ilmu Ushul Fiqh”, hlm. 111-112
80
Op.cit “Ushul Fikih” hlm. 131-132
ِ ِ
...ْم ْن َّْرْبِّ ُك ْم
ّ َواتَّبِعُْْٓواْاَ ْح َس َن َْمآْْاُنْ ِزَؿْالَْي ُك ْم
83
Op.cit, “ Ushul Fikih Kaidah Tasyri‟iyah” hlm. 130-131
84
Op.cit, “ Muyasar Fi Ushul Fikih” hlm. 166
85
Op.cit, “ Ilmu Ushul Fikih”, hlm. 112
B. Mashlahah Mursalah
86
Op.cit, "Pengentar Ushul Fiqh", hlm. 324
87
Op.cit, “ Muyasar Fi Ushul Fikih” hlm.158
Dari segi kekuatanya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, mashlahah ada
tiga macam, yaitu :
88
Op.cit “ Pengantar Ushul Fikih “, hlm. 117
89
Op.cit, “ Muyasar Fi Ushul Fikih”, hlm. 161
90
Op.cit, “ Ushul Fikih Kaidah Tasyri‟iyah”,hlm.137-138
91
Op.cit, “ Ilmu Ushul Fikih” hlm. 123
92
Op.cit, “ Muyasar Fi Ushul Fikih”, hlm. 161
93
Op.cit, “ Kaidah Tasyri‟iyah”,hlm.144
5. Kesimpulan :
“Dia telah mensyari‟atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu
dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu,
96
Op.cit, “ Muyasar Fi Ilmi Ushul Fikih” hlm. 176
97
Op-cit, “ Kaidah Tasyri‟iyah” hlm. 189
98
Op.cit, “ Pengantar Ushul Fikih” hlm .332
Syariat yang berlaku bagi orang-orang sebelum kita yang kemudian Al-
Quran dan Hadist menerangkannya kepada kita, maka sebagaian ulama
berpendapat bahwa syariat itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad .
Berdasarkan inilah golongan Hanafiyah berpendapat bahwa membunuh orang
dzimmi (orang kafir yang terikat dalam perjanjian) sama hukumannya dengan
membunuh orang Islam. Mereka menetapkan hukum ini berdasar ayat 45 Surat
Al-Maidah. Apabila syariat yang diperuntukan bagi orang-orang yang sebelum
kita, tetapi Al-Qur‟an dan Hadits tidak menyinggungnya, baik membatalkan atau
menyatakannya, maka hal ini berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad
¸selama tidak bertentangan dengan syariat Nabi Muhammad . 100
D. Mazhab Sahabat
1. Pengertian Mazhab Sahabat
Secara etimologi adalah: ”Pendapat para sahabat Rasulullah .”
Secara terminologi berarti: “Pendapat para sahabat tentang suatu kasus
yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum,
sedangkan ayat atau hadits tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang
dihadapi oleh sahabat tersebut di samping belum ada ijma para sahabat yang
menetapkan hukum tersebut.”101
Jadi Mazhab Sahabat adalah Hal-hal yang sampai kepada kita dari sahabat
baik itu berupa fatwa, ketetapan, perkataan dan perbuatannya dalam suatu
permasalahan yang menjadi objek ijtihad yang belum ada nash yang shahīh baik
99
Op.cit, “ Muyasar Fi Ushul Fikih”, hlm. 179-180
100
Op-cit, “Kaidah Tasyri‟iyah”, hlm.189
101
Ibid.hlm.190
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar.... “. (Q.S Ali Imron
110)
104
Op.cit, “ Muyasar Fi Ushul Fikih” hlm. 171
4. Tarjih
a. Beberapa ulama ushul fiqh sepakat untuk menolak mazhab sahabat sebagai
hujjah, baik itu secara qiyas atau tidak. Dan Imam Asy-Syaukani
membenarkan bahwa Mazhab Sahabat bukanlah hujjah.
b. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa Mazhab Sahabat adalah hujjah
secara mutlak, baik yang berbeda dengan qiyas ataupun yang selaras
dengannya.106
c. Pendapat Sahabat yang tidak bertentangan dengan sahabat lain bisa dijadikan
hujjah oleh umat Islam. Hal ini karena kesepakatan mereka terhadap hukum
sangat berdekatan dengan zaman Rasulullah SAW.
d. Selain itu, para sahabat juga dibolehkan menentang sahabat lainnya. 107
105
Op.cit , “ Kaidah Tasy ri‟iyah”, hlm 191-194
106
Op.cit, “ pengantar Ushul Fikih”, hlm 334-335
107
Op.cit, “ Ilmu Ushul Fikih”, hlm. 141-142
A. Al- Qur’an
1. Pengertian Al-Qur’an
Sedangkan secara istilah, para ulama dan semua umat Islam sepakat
bahwa Al-Qur‟an adalah kalam yang diturunkan dari sisi Allah , sedangkan
semua manusia dan makhluk tidak akan mampu mendatangkan (membuat) yang
semisalnya.108
Allah berfirman:
ْض ُه ْم عػ ب ْ ف اك ْ و لو ْۦ ِ ِٱْلِ ُّنْعلَ ْٓىْأَفَْيْْتُو۟اِْبِِثْ ِل ْٰى َذاْٱلْ ُقرء ِاف ََْلَْيْتُو َفِْبِِثْل
و ِْ ت ِ قُلْلَّئِ ِنْٱجتَمع
ُ َْ َ َ َ
َْ َ َْ َ َ ٰ َ ْ نس َْو ُ ْٱْل ََ ْ
ٍ لِبَػ ْع
)۸۸(ْضْظَ ِه ًْيا
108
Op.cit, “ Pengantar Ushul Fikih”, hlm.231
Secara garis besar hukum-hukum dalam Al-Qur`an terdiri atas berikut ini :
109
Op.cit, “ Ilmu Ushul Fiqih”, hlm. 28
110
Op.cit, “ Ushul Fiqh 1 Kaidah-Kaidah Tasyri‟iyah”, hlm 83-84
111
Op.cit, “ Pengantar Ushul Fikih”, hlm 238-239
112
Op.cit , “ Ushul Fiqh 1 Kaidah-Kaidah Tasyri‟iyah” ,hlm 83-85
113
Op.cit, Pengantar Ushul Fikih, hlm 271-272
Dari al-Munzir bin Jarir, dari bapaknya, dari Nabi SAW bersabda:
“Barangsiapa yang melakukan perilaku (Sunnah) yang baik dalam Islam ini,
maka ia akan mendapat pahalanya dan pahala orang yang menirunya dan
sedikit pun tidak dikurangi, dan barangsiapa yang melakukan perilaku
(Sunnah) yang buruk dalam Islam, maka ia akan mendapat dosanya dan
dosa orang yang menirunya dan sedikit pun tidak dikurangi.” (HR.
Muslim) 115
114
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015) hlm 34-35
115
Op.cit, Ushul Fiqh, hlm 102-103
116
Op.cit,, Ilmu Ushul Fiqih,hlm. 35-36
“Islam didirikan atas lima dasar : kesaksian bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat , dan
menunaikan zakat…”
ْوَت َّ ًْيْكِٰتَب
ً ُاْم ْوق ِِ
َ ْعلَىْٱلْ ُم ْؤمْن
َ ت َّ إِ َّف
ْ َْٱلصلَ ٰوَةْ َكان
C. Ijma’
1. Pengertian Ijma’
a. Secara bahasa, ijmak ( ) إجوبعmengandung dua arti : Pertama, berarti
kesepakatan atau konsensus. Seperti perkataan seseorang : اجوع القوم على كذا
yang berarti kaum itu telah sepakat tentang yang demikian itu .118 Pengertian
seperti ini dijumpai dalam Surat Yusuf ( 12 ) ayat 15:
117
Op.cit, “ Ushul Fiqh 1 Kaidah-Kaidah Tasyri‟iyah”, hlm 90-92
118
Hamdi Shubhi Thaha, “ Buhuts Fi Ushul Fikih Lighairi Hanafiyah” ( Al-Azhar, Kuliyah
Syari‟ah,2008), hlm. 260
119
Ibid, hlm. 260
Apabila terdapat suatu peristiwa yang dihadapi oleh imam mujtahid , dan
mereka sepakat terhadap suatu hukum tentang peristiwa tersebut , maka
kesepakatan mereka itu disebut dengan ijma ' . Dalam defenisi ini dikatakan
bahwa ijma ' terjadi setelah wafat Rasulullah karena selama Rasulullah
masih hidup, seluruh permasalahan yang muncul bisa ditanyakan langsung
kepada beliau dan tidak diperlukan ijma '. 120
Ijma‟ baru dapat diakui sebagai dalil atau landasan hukum bilamana
dalam pembentukannya mempunyai landasan syara‟ yang disebut sanad
(landasan) ijma‟.
Para ulama ushul fiqh sepakat atas keabsahan Al-Qur‟an dan Sunnah
sebagai landasan ijma‟. Contoh ijma‟ yang dilandaskan atas Al-Qur‟an adalah
kesepakatan para ulama atas keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan.
Kesepekatan tersebut dilandasakan atas ayat 23 surah al-Nisaa‟ yang berbunyi:
ِ ْٱلُخ ٰ
ْت َْوأ َُّم َٰهتُ ُك ُم ْ ْ اتُ ََخ َْوبػَن
ِ ْٱل ُ ََخ َٰوتُ ُك ْم َْو َع َّٰمتُ ُك ْم َْو َٰخلَتُ ُك ْْمْ َوبػَن
ْ ات َ ْعلَْي ُك ْمْأ َُّم َٰهتُ ُك ْم َْوبػَنَاتُ ُك ْم َْوأ
َ تْ ُحِّرَم
ْْح ُجوِرُكم ْ ِّمنْنِّ َسآْئِ ُك ُم ْٱٰلَِّّت ِ ٰ ِ ِ ِ ْٱلر ٰضع ِة ْوأ َُّم ٰه
ُ ت ْن َسآْئ ُك ْم َْوَرٰبَْٓئبُ ُك ُم ْٱلَِّّت ِْف
ِ
ُ َ َ َ َ َّ مْم َن
ّ َخ َٰوتُ ُك
ٰ
َ ٱلَِّّْٓت ْأ َْر
َ ض ْعنَ ُك ْم َْوأ
َْص ٰلَبِ ُك ْم َْوأَف ِ فَّْل ْتَ ُكونُو۟ا ْدخْلتُمّْبِِ َّن ْفَ ََل ْجنَاح ْعلَي ُكم ْوح ٰلَْٓئِل ْأَبػنَآْئِ ُكم ْٱلَّ ِذين ِِ
أ ْ ن ْم
ْ ْ َ ُ ْ ُ ََ ْ َْ َ ُ ََ َّْ َد َخ ْلتُمّْب َّن ْفَِإ
ِاْر ِفْْإ َِّْيْإ
ِ ۟
يما
ً ًحَّ ور ف
ُ غ
َ ْفَ اكَ ْْٱّلل
َ َّ فَّ َ ل
َ ْس
َ د
ْ ق
َ ْا ْم
َ َل ْ ػت
َ ُخ
ْ ْٱل
ْ ْي
َ َ ََْت َمعُو
ْ ػب ْا
120
Op.cit, “ Ushul Fiqh 1 Kaidah-Kaidah Tasyri‟iyah”, hlm.90
D. Qiyas
1. Pengertian Qiyas
a. Secara bahasa memiliki lebih dari satu makna. Di antara makna-makna
tersebut yang paling penting adalah taqdīr (mengukur) dan musāwah
(mempersamakan).
Taqdīr (mengukur) artinya mengetahui ukuran salah satu dua hal dengan
sesuatu yang lain. Kita mengatakan qistu ats - tsaub bi adz - dzira' artinya
kami mengukur baju dengan hasta. Qistu al-ardha bi al - qashabah,
maksudnya saya mengukur tanah dengan tongkat.
121
Op.cit, “Ushul Fiqh”,hlm 115-117
2. Rukun-Rukun Qiyas
Ulama Ushul Fiqh sepakat mengatakan bahwa unsur qiyas ada empat
macam, yaitu sebagai berikut:
122
Abdul Hayyi Ajeb, “ Buhuts Fi Ushul Fikih Al-Qiyas “ ( Al-Azhar, Kuliyah Syari‟ah Wal Qanun
2010/1431H) hlm. 3
123
Ibid, hlm. 5
b. ( الفزعal - Fa‟u ) artinya cabang. Yaitu sesuatu yang tidak ada ketegasan
hukumnya di dalam Al-Qur`an, Sunnah dan Ijma '. Al-Far‟u biasa disebut
sebagai al-maqīs (yang diukur) atau al-mahmūl (yang dibawa) atau
musyabbah (yang diserupakan), yaitu kepada ashal . Misalnya narkotika ,
hukumnya belum ditemukan di dalam Al-Qur`an , Sunnah dan Ijma ' .
3. Kehujjahan Qiyas
124
Ibid, hlm.15
125
Op.cit, “ Kaidah-Kaidah Tasyri‟iyah”, hlm. 103-104
Pendapat kedua : Boleh beramal dengan Qiyas secara akal dan tidak boleh
menurut syariat. ( Ini madzhab Ahlu Dzahir).
Pendapat ketiga: Wajib beramal dengan Qiyas baik secara syariat maupun
akal. ( Abu Husain dan Qaffal).
ُ ْعلَْي ِه ُمْالش
ُّْح ْوُـْفَػبَاعُ ْوَىا َ تْ ْحِّرَم َ َْعلَْي ِو َْو َسلَّ َمْق
ُ ْلَ َع َنْهللاُْالْيَػ ُه ْوَد:اؿ َ ُْصلَّىْهللا
َ َّبِ َّ ٍ َ َع ِنْابْ ِن
َ ْعبَّاسْأَفْالن
ْ–ْرواهْأمحدْوْأبوْداود.ُْعلَْي ِه ْمَْْثَنَو ٍ ِ ِ َوْأَ َكلُوْأَْْثَ ِاِن
َ ْشْي ٍئ
َ ْحَّرَـ َ ْعلَىْقَػ ْوـْأَ ْك َل َ اْوإ َّفْهللاَْإ َذ
َ اْحَّرَـ َ ْ َ
“Dari Ibnu Abbas Nabi bersabda: Allah melaknat orang-orang Yahudi,
karena telah diharamkan kepada mereka lemak-lemak (bangkai) namun
mereka menjualnya dan memakan hasil penjualannya. Sesungguhnya Allah
jika mengharamkan kepada suatu kaum memakan sesuatu, maka haram pula
hasil penjualannya”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
۟ ِْشه َدآْء ْفَٱجلِ ُدوىم َْْثَٰن ِ ُْثَّْ ََّل َْيْتُو۟ا ْ ِِبَربػع ِ وٱلَّ ِذين ْيػرمو َف ْٱلْمح
ْْش َٰه َد ًة
َ ْج ْل َد ًة َْوََل ْتَػ ْقبَػلُوا ْ ََّْلُْم
َ ْي
َ ْ ُ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ ُ صٰنَت
ُ ة َ ُْ ُ َْ َ َ
ْْى ُمْٱلْ َٰف ِس ُقو َف ْٓ ۟
ُك َ ِأَبَ ًداْ َاْوأُوٰلَئ
Contoh-contoh Qiyas:
1. Harta anak kecil yang diqiyaskan dengan hartanya anak yang sudah baligh di
dalam kewajiban zakat, kerena sama-sama merupakan harta yang berkembang
2. Anggur hukumnya haram diqiyaskan dengan khamar karena masing-masing
bisa memabukkan.
3. Wajibnya kafarat kepada orang yang membunuh tidak sengaja diqiyaskan
kepada wajibnya kafarat terhadap orang yang membunuh dengan sengaja
karena masing-masing membunuh jiwa yang diharamkan kecuali dengan
kebenaran.
4. Rasulullah bersabda : “Pembunuh tidak mendapat waris”. Hadits ini
menjelaskan haramnya pembunuh mendapatkan warisan, illat-nya, seorang
pembunuh bertujuan mendahulukan sesuatu yang belum waktunya. Jika
126
Op.cit, “ Ilmu Ushul Fiqih”, hlm. 72
127
Op.cit, “ buhuts Fi Ushul Fikih”, hlm.32-33
128
Op.cit, “Muyassar Fi Ushul Fikih Islam”,hlm. 127
A. Pengertian Nasakh
Pengertian nasakh secara etimologis memiliki beberapa pengertian, yaitu:
penghapusan atau pembatalan (al-izāah atau al-ibthāl), pemindahan (al-naql).
Pengubahan atau penggantian (al-ibdāl), dan pengalihan (al-tahwīl atau al-
intiqāl)129. Berkaitan dengan pengertian tersebut, maka nāsikh (isim fa‟il) diartikan
sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan, dan memalingkan.
Sedangkan mansūkh (Isim Maf‟ūl) adalah sesuatu yang dibatalkan,
dihapus,dipindahkan, diganti dan dipalingkan.
ِ ْشر ِع ٍي ِِ ِ
َْخ ٍر ُ ّ ْ َ ْاْلُ ْك ِمْالش َّْرع ِّيْب َدلْي ٍل
ّ ْمتَأ ْ َرفْ ُع
“Mengangkat (menghapus) hukum syara` dengan dalil hukum (khithāb) syara` yang
datang kemudian”.
129
Supiana dan M. Karman, “Ulumul al-Quran dan Pengenalan Metode Tafsir”, (Bandung : Pustaka
Islamika, 2002), hlm. 149.
130
Moh. Nor Ichwan, “ Studi Ilmu-Ilmu al-Quran”, (Semarang : RaSail Media Group, 2002), hlm. 108.
Contohnya ayat tentang rajam. Hal ini seperti yang diriwayatkan oleh
Umar bin Khattab bahwa terdapat nasakh Al-Qur‟an yang berbunyi:
“Laki-laki tua dan perempuan-perempuan tua jika berzina maka rajamlah,
keduanya secara mutlak sebagai ketetapan hukum dari Allah dan
sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
131
Op.cit, “ Muyassar Fi Ushul Fikih Islam”, hlm. 356
Hukum dalam ayat tersebut tidak berlaku dengan turunnya surat Al-
Baqarah ayat 234 dibawah ini :
“Ayat yang Kami nasakh (batalkan) atau Kami jadikan (manusia) lupa
padanya, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding
dengannya. Apakah engkau tidak mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas
segala sesuatu”.
“Sesungguhnya Allah telah memberi bagian tertentu untuk yang berhak, maka
tidak boleh berwasiat kepada ahli waris”. (HR. Tirmidzi).
ْْٞشطَْْره
َ اْو ُج ْوَى ُك ْم ُّ
ُ ث َْماْ ُكْنػتُ ْم ْفَػ َول ْو ْ ْشطَْر ْالْ َم ْس ِج ِد
ُ ْاْلََرِاـْ َْو َحْي َ كَ ت ْفَػ َوِّؿ َْو ْج َه
َ ْخَر ْج
َ ثُ ْحْي ِ
َ َوم ْن
ْْ ِ ِن ْ َوَِلُُِّْتَّْنِ ْع َم
ْت ْ َعلَْي ُك ْْم ْْ ِاخ َش ْو َْ ََّاس ْ َعلَْي ُك ْْم ْ ُح َّج ْةٌْاََِّْل ْالَّ ِذيْ َْن ْظَلَ ُم ْوا ْ ِمْنػ ُه ْْم ْف
ْ َل ْ ََتْ َش ْوُى ْْم ْ َو ِْ َل ْيَ ُك ْو َْف ْلِلن
َّْ َلِئ
ِّۙ
ْ َولَ َعلَّ ُك ْمْتَػ ْهتَ ُد ْو َْف
135
Galuh Nashrullah, “Nasakh dalam Hukum Islam”. ( Vol 02 No 2, April 2016, hlm. 29-30
136
Ibid, hlm. 32-33
b) Kalam itu bersifat qadīm, dalam arti telah ada sejak dahulu (azali) sesuatu
yang bersifat qadīm tidak mungkin dicabut137.
Mayoritas ulama berbeda pendapat dengan pendapat orang yang menolak nasakh.
Menurut mereka, Al-Qur‟an boleh dinasakh dengan Al-Qur‟an dan juga dengan Sunnah,
karena semuanya merupakan hukum yang bersumber dari Allah .
Dalilnya : Di-nasakh-nya ayat tentang kewajiban berwasiat bagi orang yang telah
mendekati ajalnya dengan hadits Nabi yang menjelaskan tentang tidak bolehnya
berwasiat kepada ahli waris.
ِ ِ ِ ِ َ ُكتِب
ْْي َ تْإِ ْفْتَػَرَؾ
َ ْ ِْخْيػًراْالْ َوصيَّةُْل ْل َوال َديْ ِن َْو ْالَقْػَرب ُ َح َد ُك ُمْالْ َم ْو
َ ضَرْأ
َ اْح
َ ْعلَْي ُك ْمْإ َذ َ
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut,
jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya,” (QS. Al-Baqarah [2]: 180). Ayat ini menjelaskan tentang kewajiban
berwasiat bagi orang yang akan menemui ajalnya. Kemudian dinasakh oleh hadith Nabi
yang berbunyi:
137
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2007) Hal. 229
E. WAKTU NASAKH
Nasakh dapat terjadi, dan pada faktanya telah terjadi. Secara logika, terjadinya
nasakh adalah suatu hal yang wajar, karena kemaslahatan manusia selalu berubah
seiring perubahan waktu dan tempat. Sesuatu yang pada suatu waktu dan tempat
bernilai mashlahah, pada waktu dan tempat lain bisa jadi mafsadah, sehingga
dengan demikian hukum yang awal perlu direvisi.
138
Op.cit, “ Buhuts Fi Ushul Fikih”, hlm.180
IJTIHAD
A. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi ijtihad berasal dari kata ijtahada-yajtahidu-ijtihādan artinya
bersungguh-sungguh atau mengerahkan segala kemampuan yang dipunya untuk
melakukan sesuatu,139
Sedangkan secara terminology, ijtihad adalah: mencurahkan pikiran dan tenaga
untuk menggali (istinbath) dan menetapkan suatu hukum baru dari Al-Qur‟an dan
Sunnah. Ijtihad terjadi terhadap hal-hal yang baru yang belum pernah ada pada masa
Rasulullah .
Adapun secara istilah dalam kitab lain disebutkan :
ْ اجملتهدْىوْالفقيوْاملستفرغْلوسعوْلتحصيلْظنِْبكمْشرعيْبطريقْاْلستنباطْمنهما
“Adapun Mujtahid itu ialah ahli fiqh yang menghabiskan seluruh kesanggupannya
untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama dengan jalan
istinbath dari Al-Qur‟an dan Sunnah.”.
139
Amir Syarifuddin, “Ushul Fiqh”, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999) hlm. 255
140
Moh Rifa‟I, ”Ushul Fiqh”, (Bandung, Alma‟arif 1973) hlm. 145
Ijtihad terbagi menjadi tiga bagian, yang sebagiannya sesuai dengan pendapat Asy-
Syatibi dalam kitab Al-Muwāfaqāt, yaitu :
Dalam ayat ini memang dijelaskan batas waktu iddah adalah tiga kali
qurū', namun tiga kali qurū' tersebut bisa berarti suci atau haidh. Ijtihad
menetapkan tiga kali qurū' dengan memahami petunjuk atau qarīnah yang ada
disebut: ijtihād bayāni.
b. Ijtihād Al-Qiyāsi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam
Al-Quran dan As-sunah dengan menggunakan metode Qiyas.142
Contoh : Hukum memukul kedua orang tua yang diqiaskan dengan
mengatakan ucapan “akh.”
ٍّ فَ َل تَ ُق ْل َْلَُما أ
ُف َوََل تَْن َه ْرُُهَا َوقُ ْل َْلَُما قَ ْوًَل َك ِرميًا
141
Op.cit“Ushul Fiqih“ hlm. 267/2
142
Ibid. hlm. 268
C. Rukun Ijtihad
a. Al-Mujtahid
Mujtahid adalah orang yang melakukan ijtihad. Mujatahid ini adalah para
fuqahā (para ulama ahli fiqih) yang mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk
menarik sebuah kesimpulan dari dalil-dalil yang masih memiliki penjelasan
yang lemah. Tugas mujtahid adalah menghilangkan sangkaan.144
b. Al-Mujtahidu Fīhi
Mujtahidu Fihi yang dimaksud adalah medan ijtihad, yakni semua
hukum agama yang tidak mempunyai dalil-dalil qath‟iy dari Al-Qur‟an, Sunnah
dan Ijma‟, dan dituntut adanya hukum. Dalil-dalil qath‟iy yang tidak dapat
disentuh oleh ijtihad adalah misalnya: kewajiban shalat lima kali sehari semalam
dan mustahiq zakat. Kecuali, bila nash-nash tersebut masih bersifat zhanni dan
hukum yang terkandung di dalamnya belum jelas, maka ijtihad terhadapnya
merupakan keharusan.145
143
Ade Dedi Rohayana, “Ilmu Usul Fiqih“ (Pekalongan : STAIN Press, 2005) hlm. 201
144
Op.cit “ Al-Mushtasfha “ hlm. 4/4
145
Op.cit, “ Buhuts Fi Ushul Fikih “ hlm.202
D. Syarat Ijtihad
Secara umum, seorang mujtahid harus memiliki kemampuan dalam hal, antara
lain;
146
Beni Ahmad Saebani, “ Ilmu Ushul Fiqh “ ( Bandung, Pustaka Setia 2008 ) hal. 182.
147
Abdul Karim Zidan, “ Al Wajiz Fiil Ushul Fiqh ” ( Madinah, Muasasah Arrisalah, 1996) hal. 405
a. Wajib „Ain, yaitu bagi seorang faqīh yang mereka dimintai fatwa hukum
mengenai suatu peristiwa yang terjadi. Sedangkan hanya dia seorang faqih yang
dapat melakukan ijtihad dan ia khawatir peristiwa itu lenyap tanpa ada
kepastian hukumnya, maka hukum berijtihad baginya adalah wajib „ain.148
b. Wajib Kifāyah, yaitu bagi mereka yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu
peristiwa, sedangkan hanya dia seorang faqih yang dapat melakukan ijtihad,
yang tidak dikhawatirkan peristiwa tersebut akan lenyap atau selain dia masih
terdapat faqīh-faqīh lainnya yang mampu berijtihad. Maka apabila ada seorang
faqīh saja yang berijtihad maka faqīh yang lainnya bebas dari kewajiban
berijtihad. Akan tetapi jika tidak ada seorang faqīh pun yang berijtihad maka
faqīh semuanya yang ada disitu semuanya berdosa karena telah
meninggalkan kewajiban kifāyah.
c. Sunnah, yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang belum
atau tidak terjadi. Tetapi umat menghendaki ketetapan hukumnya, untuk
mengantisipasinya. Artinya tidak berdosa seorang faqīh tersebut meninggalkan
ijtihad, akan tetapi bila dia berijtihad maka dia mendapatkan pahala.
d. Mubah, yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang belum
atau sudah terjadi dalam kenyataan. Tetapi kasus tersebut belum diatur secara
jelas dalam nash Al-Qur‟an dan Hadits. Sedangkan orang yang faqīh tersebut
ada beberapa orang, maka ia dibolehkan dalam berijtihad.
e. Haram, yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang telah
ada hukumnya dan telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang sharikh, dan
qath‟i. atau bila seorang yang melakukan ijtihad tersebut belum mencapai
tingkat faqīh. Karena ijtihad tidak boleh dilakukan bila telah ada dalil yang
sharikh dan qath‟i, sedangkan dia tidak punya kemampuan dalam berijtihad.149
148
Op.cit, “Ushul Fiqh“ hlm. 228
149
Op.cit, “ Al-Muyassar Fi Ushul Fikih Islami” hlm.382
Pada masa sahabat, wilayah kekuasaan Islam semakin meluas keluar melintasi
wilayah Jazirah Arab sendiri. Oleh karenanya banyak penduduk non-Arab yang
memeluk agama Islam, sehingga hal ini merupakan suatu tantangan tersendiri bagi
dunia Islam di waktu itu yang juga ditandai dengan munculnya berbagai peristiwa
atau permasalahan yang sebelumnya tidak atau belum pernah terjadi. Kemudian
masalah inilah yang menjadi tanggung jawab para sahabat untuk dihadapi serta
150
Ali As-Saayis, Syekh Muhammad.”Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh(Hasil Refleksi
Ijtihad)”. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1995) hlm. 34
1. Pertama kalinya ijtihad dilakukan terhadap masalah yang pertama timbul dalam
Islam, yaitu tentang siapa pengganti Nabi Muhammad sebagai khalifah atau
kepala negara setelah beliau wafat?. Menurut ijtihad sahabat dalam bentuk
musyawarah, ditetapkan bahwa Abu Bakar adalah sebagai khalifah pertama
setelah melalui diskusi yang serius.
2. Masalah kedua ialah menghadapi para pembangkang zakat dan orang-orang
murtad setelah Nabi Muhammad wafat. Dalam persoalan memerangi orang
murtad tidak terjadi perselisihan dari para sahabat. Namun masalah
pembangkang zakat, terjadi perbedaan pendapat di kalangan mereka. Menurut
ijtihad „Umar para pembangkang zakat itu tidak perlu diperangi dengan
alasan bahwa disebutkan dalam hadist Nabi , “bahwa beliau diperintahkan
Allah memerangi manusia kecuali telah mengikrarkan syahadat”. Sebaliknya
Abu Bakr berijtihad bahwa mereka harus diperangi dengan alasan telah
memisahkan antara kewajiban shalat dan zakat.”
Ada juga peristiwa lain yang melatar belakangi ijtihad sahabat ini. Yakni
tentang kekhawatiran sahabat „Umar terhadap keutuhan Al-Qur‟an yang
dikarenakan gugurnya para penghafal (huffazh Al-Qur‟an) dalam peperangan,
sementara Al-Qur‟an pada saat itu belum terkodifisikan. Sehingga menurut
pendapat „Umar , Al-Qur`an perlu dikodifikasi. Sedangkan persoalan ini tidak
pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad . Perbedaan pendapat itu berakhir
dengan persetujuan Zaid bin Tsabit yang diberi tugas sebagai ketua panitia
pengumpulan ayat-ayat Al-Qur‟an.152
151
Haroen, Nasrun. “Ushul Fiqh 1” (Jakarta: Logos Wacana Ilmu.1995) hlm. 8
152
Ermayani,Tri. “Ijtihad Sahabat di Tengah Pergumulan Transformasi Pemikiran Hukum” Jurnal hlm.
47.
Secara legal historis, kaidah ini berlandaskan kasus yang terjadi pada masa
Khalifah Umar , beliau terkenal sebagai orang yang banyak melahirkan produk
hukum yang „tidak sesuai‟ dengan keputusan yang pernah diambil pendahulunya,
Abu Bakar al-Shiddiq . Akan tetapi, Umar bersikap sangat bijak dengan tidak
menganulir hukum yang telah ditetapkan Abu Bakar. Bahkan Umar juga pernah
merubah keputusan hukum yang telah diambilnya sendiri pada tahun pertama
dengan keputusan baru pada tahun berikutnya. Saat dimintai kejelasan tentang
sikapnya ini, Umar mengatakan;
ِْ ىْماْنْػَ ْق
ْض ْي َْ اْعْٰل
َْ اْوىٰ َذ
َْ َضْيْػْن
َْ َىْماْْق َْ ْتِْل
َْ كْ َْعْٰل
“Ketentuan hukum yang pernah aku cetuskan itu adalah atas keputusanku.
Sementara ini (ketentuan hukum yang baru) adalah hal yang sekarang aku
putuskan”.
Jadi kita Tidak boleh menghapus ijtihad pada masalah yang sudah ada
nashnya secara qath‟i serta tidak mengandung ta‟wil di dalamnya seperti ayat
tentang keesaan Tuhan.
Hukum hasil ijtihad yang terdahulu tidak batal karena adanya ijtihad yang
baru, sehingga sahlah semua perbuatan yang berdasarkan hasil ijtihad terdahulu,
a. Nilai ijtihad adalah sama, sehingga hasil ijtihad kedua tidak lebih kuat dari hasil
ijtihad pertama.
b. Apabila suatu ketetapan hukum hasil ijihad dapat dibatalkan oleh hasil ijtihad
yang lain, akan mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum. Dan tidak adanya
kepastian hukum ini akan mengakibatkan kesulitan dan kekacauan besar. 153
Contoh: Pada zaman Nabi ada dua orang dalam perjalanan. Maka ketika itu
masuklah waktu shalat dan di sekitar itu tidak ditemukan air. Maka keduanya shalat
dengan bertayamum. Kemudian setelah shalat mereka meneruskan perjalanan, sampai
sebuah perkampungan keduanya menemukan air dan waktu shalat dzuhur masih ada.
Kemudian salah satu dari sahabat itu berijtihad dengan berwudhu dan mengulangi shalat
sedangkan sahabat yang satu tidak mengulanginya.
Contoh lain : Jika seorang wanita menikah tanpa wali maka nikah tersebut tidak
batal karena Abu Hanifah mengatakan sah tanpa ada wali berbeda dengan madzhab
lainya, abu Hanifah tidak berlandaskan hadits nabi : “Tidak sah nikah tanpa wali dan
kedua orang saksi yang adil.” Abu Hanifah mengatakan : “Apabila seorang wanita
boleh membelanjakan hartanya kenapa tidak boleh untuk dirinya sendiri.”154
153
Abdul Aziz Muhammad Azzam, “ Al-Wajiz Fi Qawaid Fiqhiyah” ( Cairo, Maktabah Islam
2005M/1426H) hlm. 346
154
Ibid, hlm. 349
LAHIR : Tanggal 21 januari 1986, dari pasangan suami –istri Mursaha bin Buddi
( alm) dan Hariyah binti Harrafi, di sebuah kampung ujung Madura, Sepangkur Besar,
Desa Sabuntan, Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep Jawa Timur.
PENDIDIKAN :
AKTIVITAS :
PENGALAMAN ORGANISASI :