Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Makalah Kel 1

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 23

KEGAWATDARURATAN MATERNAL DAN NEONATAL

Disusun oleh :
Kelompok 1

ROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN


UNIVERSITAS NGUDI WALUYO SEMARANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT.yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya serta kesempatan kepada kelompok kami sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah tentang “KEGAWATDARURATAN MATERNAL DAN NEONATAL” ini tepat
pada waktunya. Tidak lupa kepada dosen pembimbing kami yang telah membimbing serta
mengajarkan kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini tentu masih banyak kekurangannya, maka dari itu, kami mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca demi penyempurnaan makalah ini. Kami mengharapkan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya terutama bagi mahasiswa dan penyusun
dalam membantu proses pembelajaran.

Ungaran,4 September2021

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang 1
B. Rumusan masalah 3
C. Tujuan 3

BAB II PEMBAHASAN
A. Preeklamsia dan Eklamsia 4
B. Plasenta Previa 7
C. Solusio plasenta 11
D. Distosia Bahu 21

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan 25
B. Saran 25
DAFTAR PUSTAKA  
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
World Health Organzation (WHO) menyatakan setiap hari bahwa sebanyak 830 perempuan
meninggal melahirkan terkait komplikasi. Angka Kematian Ibu (AKI) adalah jumlah kematian ibu
akibat dari proses kehamilan, persalinan dan pasca persalinan per 100.000 kelahiran hidup. Di negara-
negara berkembang kematian ibu pada tahun 2015 adalah 239/100.000 kelahiran hidup versus
12/100.000 kelahiran hidup di negara maju (WHO, 2015)
Di Indonesia, angka kematian ibu (AKI) masih tinggi. Angka kematian ini berkaitan dengan
kehamilan, persalinan,dan nifas. Bukan karena sebab lain. Berdasarkan Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2012, AKI sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup.AKI kembali
menunjukakan penurunan menjadi 305 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. (Kemenkes, 2015)
Dalam kajian UNICEF Indonesia seperti yang diungkapkan dalam buku Kesehatan Masyarakat di
Indonesia (tahun 2014) menyatakan bahwa setiap 1jam, satu wanita meninggal dunia saat melahirkan
atau akibat hal yang berhubungan dengan kehamilan.Faktor yang manyebabkan kematian ibu secara
garis besar yaitu faktor yang berhubungan dengan komplikasi kehamilan, persalinan, nifas.Yaitu,
perdarahan (28)%,preeklamsia atau eklamsia (24%), infeksi (11%), persalinan macet (5%), dan
abortus (3%).(Astuti, 2017).
Preeklamsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi antenatal,intranatal,dan
postpartum. Dari gejala-gejala klinik preeklamsia dapat dibagi menjadi preeklamsia ringan dan
preklampsiaberat.Preeklamsia ringan adalah suatu sindrom spesifik kehamilan dengan
menurunnnyaperfusi organ yang akibatnya vasospasme pembuluh darah dan aktivitas endotel dengan
tekanan darah 1490/90 mmHg sedangkan preeklamsia berat dengan tekanan darah 160/110 mmHg
dan ditandai dengan adanya odema paruh dan sianosis (Prawirohardjo, 2010).
Preeklamsia dan eklamsia merupakan penyulit dalam proses persalinan yang kejadiannya senantiasa
tetap tinggi. Tingginya angka kejadian preeklamsia merupakan faktor utama penyebab
timbulnyaeklamsia yang dapat mengancam hidup ibu hamil. Perawatan pada ibu hamil dengan
preekalamsia merupakan salah satu usaha nyata yang dapat dilakukan untuk mrncegahtimbulnya
komplikasi-komplikasi sebagai akibat lanjut eklamsia dan mengurangi AKI.(Ayu, 2016).
Angka kematian ibu di Provinsi Bengkulu pada Tahun 2016 secara absolut sebanyak 49 orang, yang
terdiri dari kematian ibu hamil sebanyak 7 orang, kematian ibu bersalin sebanyak 13 orang, dan
kematian ibu nifas sebanyak 21 orang, sedangkan angka kematian ibu di Provinsi Bengkulu pada
Tahun 2015 yaitu sebesar 137 per 100.000 kelahiran hidup, mengalami penurunan cukup signifikan
pada tahun 2016 yang sebesar 146 per 100.000 kelahiran hidup.
Angka kematian ibu tertinggi terdapat di Kabupaten Kapahiang yaitu 238 per 100.000 kelahiran
hidup. Dan terendah terdapat di Kabupaten Muko-Muko yaitu sebesar 58 per 100.000 kelahiran hidup
(Dinkes Provinsi Bengkulu,2016 ).
Angka Kematian Ibu (AKI) di dunia berdasarkandata World Health Organization (WHO)
menyebutkan bahwa angka kematian ibu diperkirakan, di seluruh dunia lebih dari 585 ribu ibu
meninggal tiap tahun saat hamil atau bersalin, artinya setiap menit ada satu perempuan yang
meninggal, sedangkan proporsi kematian bayi baru lahir di dunia sangat tinggi dengan estimasi
sebesar 4 juta kematian bayi baru lahir pertahun dan 1,4 juta kematian pada bayi baru lahir pada bulan
pertama di Asia tenggara [1] Berdasarkan data dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI)) tahun 2012, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia mencapai 359/100.000 kelahiran hidup
dan Angka Kematian Bayi (AKB) mencapai 32/1000 kelahiran hidup. Sedangkan menurut data dari
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2015-2019, Perpres NO.2/2015), salah
satu upaya untuk meningkatkan status kesehatan ibu dan anak adalah menurunkan angka kematian ibu
menjadi 306 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2019 dan angka kematian bayi menjadi 24 per
1.000 kelahiran hidup [2] Untuk kematian ibu yang disebabkan oleh perdarahan khususnya akibat
plasenta previa menurut WHO dilaporkan berkisar 15-20% kematian ibudan insidennya adalah 0,8-
1,2% untuk setiap kelahiran. Di Negara- negara berkembang berkisar antara 1-2,4% dan di negara
maju lebih rendah yaitu kurang dari 1%.
Angka kejadian pada beberapa rumah sakitumumpemerintah diIndonesia dilaporkan bahwa
insidennya berkisar antara 1,7% sampai dengan 2,9% [3] Data [4], kasus kematian ibu karena
melahirkan dalam 3 tahun terakhir mencapai 488 kasus, dengan rincian tahun 2011 sebanyak 152
kasus, 2012 terdapat 178 kasus dan 2013 berjumlah 158 kasus, sebagian besar kasus kematian ibu itu,
dikarenakanpendarahandaneklamsi (keracunan kehamilan yang menyebabkan ibu mengalami kejang)
yaitu kasus perdarahan sebanyak 54 kasus (34,55%) dan yang disebabkan oleh Plasenta Previa
sebanyak 19 kasus (26,89%).
Plasenta previa adalah plasenta yang implantasinya tidak normal sehingga menutupi seluruh atau
sebagian ostium internum Penyebab plasenta previa dapat disebabkanbeberapa faktor antara lain
umur, paritas, dan riwayat endometrium yang cacat (riwayat SC, riwayat keguguran dan plasenta
manual). Umur ibu terlalu muda atau dibawah 20 tahun dikarenakan endometrium masih belum
sempurna untuk tempat berkembangnya plasenta dan bila umur ibu diatas 35 tahun merupakan faktor
resiko plasenta previa, hal ini dikarenakan tumbuh endometrium yang kurang subur.
Pada paritas tinggi kejadian plasenta previa makin besar karena endometrium yang belum sempat
tumbuh, Riwayat abortus ataukeguguran dapat menyebabkan plasenta previa karena vaskularisasi
yang berkurang dan perubahan atropi pada desidua akibat persalinan lampau sehingga aliran darah ke
plasenta tidak cukup dan memperluas permukaannya sehingga dapat menutupi jalan lahir Plasenta
Previa memerlukan penanganan dan perhatian karena saling mempengaruhi dan merugikan janin dan
ibunya.
Dampak yang ditimbulkan dari kejadian plasenta previa pada ibu dapat terjadi perdarahan hingga
syok sampai dengan kematian, anemia karena perdarahan, plasentitis, dan endometritis pasca
persalinan. Pada janin biasanya terjadi persalinan premature dan komplikasi seperti asfiksia
berat .Komplikasi lain dari plasenta previa yang dilaporkan selain masa rawatan yang lebih lama,
adalah berisiko tinggi untuk solusio plasenta, seksio sesarea, kelainan letak janin, perdarahan pasca
persalinan, kematian maternal akibat perdarahan dan disseminated intravascular coagulation (DIC)
[3]. Berdasarkan hasil pra survey yang dilakukan pada tanggal 2 Maret 2014, di Ruang Bersalin
RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung dalam 3 tahun terakhir terjadi peningkatan kasus
plasenta previa yaitu pada tahun 2011 sebanyak 113 orang (6,49%) dari 1741 persalinan, tahun 2012
berjumlah 101 orang (7,48%) dari 1350 persalinan dan berdasarkan data register yang tercatat di
ruang kebidanan periode Januari-Desember 2013 berjumlah 103 orang (7,78%) dari 1325 persalinan.
Solusio plasenta atau disebut juga abruptio placenta atau ablasio placenta adalah separasi prematur
plasenta dengan implantasi normalnya di uterus (korpus uteri) dalam masa kehamilan lebih dari 20
minggu dan sebelum janin lahir. Dalam plasenta terdapat banyak pembuluh darah yang
memungkinkan pengantaran zat nutrisi dari ibu ke janin, jika plasenta initerlepas dari implantasi
normalnya dalam masa kehamilan maka akan mengakibatkan perdarahan yang hebat. Hebatnya
perdarahan tergantung pada luasnya area plasenta yang terlepas.
Frekuensi solusio plasenta adalah sekitar 1 dari 200 pelahiran. Intensitas solusio plasentasering
bervariasi tergantung pada seberapa cepat wanita mendapat pertolongan. Angka kematianperinatal
sebesar 25 %. Ketika angka lahir mati akibat kausa lain telah berkurang secara bermakna, angka lahir
mati akibat solusio plasenta masih tetap menonjol.Perdarahan pada solusio plasenta sebenarnya lebih
berbahaya daripada plasenta previa oleh karena pada kejadian tertentu perdarahan yang tampak keluar
melalui vagina hampir tidak ada atau tidak sebanding dengan perdarahan yang berlangsung internal
yang sangat banyak.
Pemandangan yang menipu inilah sebenarnya yang membuat solusio plasenta lebih berbahaya karena
dalam keadaan yang demikian seringkali perkiraan jumlah darah yang telah keluar sukar
diperhitungkan, padahal janin telah mati dan ibu berada dalam keadaan syok Penyebab solusio
plasenta tidak diketahui dengan pasti, tetapi pada kasus-kasus berat didapatkankorelasi dengan
penyakit hipertensi vaskuler menahun, dan 15,5% disertai pula oleh preeklamsia.Faktor lain yang
diduga turut berperan sebagai penyebab terjadinya solusio plasenta adalahmakin bertambahnya usia
ibu.

Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Ibu merupakan dua indikator sensitif untuk menilai
derajat kesehatan masyarakat. Kematian ibu diantaranya disebabkan oleh komplikasi saat melahirkan
(Depkes RI, 2006). Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia termasuk tinggi dibandingkan dengan
negara-negara di Asia. Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 mencatat
AKI di Indonesia mencapai 228 per 100.000 kelahiran hidup. Walaupun angka ini dipandang
mengalami perbaikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, target Millenium Development Goal
(MDG) 5 pada tahun 2015 yaitu menurunkan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup (Depkes
RI, 2012). Di Indonesia Angka Kematian Bayi (AKB) masih tinggi dan angka Kematian Balita
(AKBal), sekitar 56% kematian terjadi pada periode yang sangat dini yaitu di masa neonatal.
Sebagian besar kematian neonatal terjadi pada 0-6 hari (78,5%) dan prematuritas merupakan salah
satu penyebab utama kematian. Target MDG 2015 adalah menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB)
kelahiran hidup menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan hasil Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, AKB masih 34/1.000 kelahiran hidup (Sulani et al, 2011).
Berdasarkan SDKI 2007, pada tahun 1990 angka kematian bayi sebesar 68 per 1000 kelahiran hidup
(KH). Data terakhir , AKB menjadi 34/1000 KH dan AKBal 44/1000 KH. Walaupun angka ini telah
turun dari tahun 1990, penurunan ini masih jauh dari target MDG tahun 2015 dimana AKB
diharapkan turun menjadi 23 dan AKBal 32 per 1000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan
Negara tetangga di Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina AKB dan
AKBal di negara kita jauh lebih tinggi (Depkes RI, 2009).
Salah satu penyebab tingginya kematian ibu dan bayi adalah distosia bahu saat proses persalinan.
Distosia bahu adalah suatu keadaan diperlukannya manuver obstetrik oleh karena dengan tarikan ke
arah belakang kepala bayi tidak berhasil untuk melahirkan kepala bayi. Pada persalinan dengan
presentasi kepala, setelah kepala lahir bahu tidak dapat dilahirkan dengan cara pertolongan biasa dan
tidak didapatkan sebab lain dari kesulitan tersebut. Insidensi distosia bahu sebesar 0,2-0,3% dari
seluruh persalinan vaginal presentasi kepala (Prawirohardjo, 2009).
Penyebab kematian ibu merupakan suatu hal yang cukup kompleks, yang dapat digolongkan pada
faktor-faktor (a) repoduksi, misalnya : usia, paritas, dan kehamilan yang tidak diinginkan, (b)
komplikasi obstetrik, misalnya : perdarahan pada abortus, kehamilan ektopik, perdarahan pada
kehamilan trimester ketiga, perdarahan postpartum, infeksi nifas, distosia, dan pengguguran
kandungan, (c) pelayanan kesehatan, misalnya : kurangnya kemudahan untuk pelayanan kesehatan
maternal, asuhan medik yang kurang baik, kurangnya tenaga terlatih dan obat-obat penyelamat jiwa,
(d) sosioekonomi, misalnya : kemiskinan, ketidaktahuan, kebodohan dan rendahnya status wanita
(Wiknjosastro, 2008). Kematian ibu yang berhubungan dengan kelahiran bayi makrosomia
disebabkan oleh perdarahan postpartum dan distosia, sedangkan kematian bayi akibat makrosomia
disebabkan oleh komplikasi-komplikasi yang merugikan pada keluaran perinatal seperti distosia bahu,
Apgar skor rendah, asfiksia. Makrosomia (berat bayi lahir besar ≥ 4000 gram) berisiko terjadinya
distosia bahu yaitu tersangkutnya bahu janin dan tidak dapat dilahirkan setelah kepala janin
dilahirkan. Insidensi makrosomia 0,2-2% dari seluruh kelahiran.
Makrosomia menimbulkan komplikasi pada ibu dan bayinya. Komplikasi pada ibu (maternal) yaitu
perdarahan postpartum, laserasi vagina, perineum sobek, dan laserasi servik. Komplikasi pada bayi
antara lain distosia bahu yang menyebabkan cedera plexus brachialis, fraktur humerus, dan fraktur
klavikula (Ezegwui, et al, 2011). Berdasarkan studi juga menyebutkan bahwa bayi yang memiliki
berat badan lebih dari sama dengan 4000 gram juga meningkatkan risiko beberapa penyakit ketika
dewasa misalnya kanker payudara pada wanita dan diabetes mellitus tipe 2 (Rode, et al, 2007).
Insidensi makrosomia pada studi bagian obstetric University of Nigeria Teaching Hosital, Enugu,
Nigeria, dari 1 Januari 2005 sampai 31 Desember 2007 dari 5365 responden didapatkan 8,1 %
makrosomia.
Insidensi di berbagai tempat berbeda dipengaruhi oleh ras dan faktor lokal yang ada. Di Negara-
negara Eropa Utara dan Atlantik Utara (Denmark, Finlandia, Swedia, Islandia, Norwegia, Kepulauan
Faroe, Greenland, dan Aland) mempunyai prevalensi yang tinggi, proporsi dari semua kelahiran bayi
dengan berat lahir ≥ 4000 gram adalah 20 %. Di Aba Nigeria, Kamanu et al melaporkan insidensi
makrosomia 2,5%, di Amerika Serikat 1,5 % bayi dengan berat lahir ≥ 4500 gram dari semua
kelahiran (Ezegwui, et al, 2011). Pada penelitian yang dilakukan oleh Sativa (2011) di RSUP Dr.
Kariadi Semarang dengan sampel 382 sampel di dapatkan insidensi makrosomia 3,4 % (Sativa, 2011)


B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Preeklamsia dan Eklamsia?
2. Apa pengertian dari Plasenta Previa ?
3. Apa pengertian dari Solusio plasenta ?
4. Apa pengertian dari DistosiaBahu ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa pengertian dari Preeklamsia dan Eklamsia?
2. Untuk mengetahui Apa pengertian dari Plasenta Previa
3. Untuk mengetahui Apa pengertian dari Solusio plasenta
4. Untuk mengetahui Apa pengertian dari Distosia Bahu

BAB II
PEMBAHASAN

A. Preeklamsia dan Eklamsia


1. Pengertian Preeklamsia dan Eklamsia
Preeklampsia dan eklampsia merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang disebabkan langsung
oleh kehamilan itu sendiri.Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria akibat
kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan.Gejala ini dapat timbul
sebelum 20 minggu bila terjadi penyakit trofoblastik.
Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau nifas yang ditandai dengan
timbulnya kejang atau koma.Sebelumnya wanita tadi menunjukkan gejala-gejala Preeklampsia.
2. Etiologi Preeklamsia dan Eklamsia
Penyebab eklampsi dan pre eklampsi sampai sekarang belum diketahui. Tetapi ada teori yang dapat
menjelaskan tentang penyebab eklampsi dan pre eklampsi yaitu :
a. Sebab bertambahnya frekuensi pada primigraviditas, kehamilan ganda, hidramnion, dan mola
hidatidosa.
b. Sebab bertambahnya frekuensi yang makin tuanya kehamilan
c. Sebab dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin dalam uterus
d. Sebab jarangnya terjadi eklampsi pada kehamilan– kehamilan berikutnya
e. Sebab timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang dan koma
3. Gejala Preeklamsia dan Eklamsia
Gejala Preeklampsia
Biasanya tanda-tanda Preeklampsia timbul dalam urutan : pertambahan berat badan yang berlebihan,
diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria.
1) Preeklampsia ringan :
a) Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolic 15 mmHg atau lebih, atau kenaikan sistolik
30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu kehamilan dengan riwayat tekanan darah normal.
b) Proteinuria kuantitatif ≥ 0,3 gr perliter atau kualitatif 1+ atau 2+ pada urine kateter atau midstearm
2) Preeklampsia berat :
a) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih
b) Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+.
c) Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam.
d) Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di epigastrium.
e) Terdapat edema paru dan sianosis
f) Trombositopenig (gangguan fungsi hati)
g) Pertumbuhan janin terhambat.
Gejala eklampsia
Pada umumnya kejanga didahului oleh makin memburuknya Preeklampsia dan terjadinya gejala-
gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual keras, nyeri di epigastrium dan
hiperrefleksia. Bila keadaan ini tidak dikenal dan tidak segera diobati, akan timbul kejangan terutama
pada persalinan bahaya ini besar.
4. Komplikasi
Komplikasi yang terberat adalah kematian ibu dan janin.Komplikasi dibawahini biasanya terjadi pada
Preeklampsia berat dan eklampsia.
a. Solusio plasenta. Komplikasi ini terjadi pada ibu yang menderita hipertensiakut dan lebih sering
terjadi pada Preeklampsia.
b. Hipofibrinogenemia. Pada Preeklampsia berat
c. Hemolisis. Penderita dengan Preeklampsia berat kadang-kadang menunjukkangejala klinik
hemolisis yang di kenal dengan ikterus.Belum di ketahui dengan pasti apakah ini merupakan
kerusakan sel-sel hati atau destruksi sel darahmerah. Nekrosis periportal hati sering di temukan pada
autopsi penderita eklampsia dapat menerangkan ikterus tersebut.
d. Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematianmaternal penderita
eklampsia.
e. Kelainan mata, Kehilanganpenglihatan untuk sementara, yang berlansungsampaiseminggu.
f. Edema paru-paru.
g. Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada Preeklampsi – eklampsia merupakan akibat
vasopasmus arteriol umum.
h. Sindrom HELLP yaitu haemolysis, elevated liver enzymes, dan low platelet.
i. Kelainan ginjal
j. Komplikasi lain. Lidah tergigit, trauma dan fraktura karena jatuh akibatkejang-kejang pneumonia
aspirasi.
k. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra – uterin.
5. Pencegahan
a. Pemeriksaan antenatalyang teratur dan bermutu sertateliti, mengenali tanda-tanda sedini mungkin
(Preeklampsia ringan), laludiberikan pengobatan yang cukup supaya penyakit tidak menjadi lebih
berat.
b. Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinyaPreeklampsia kalau ada faktor-faktor
predeposisi.
c. Penerangan tentang manfaat istirahat dan diet berguna Dalam pencegahan. Istirahat tidakselalu
berarti berbaring ditempat tidur,namun pekerjaan sehari-hari perlu dikurangi, dan dianjurkan lebih
banyak duduk dan berbaring.Diet tinggi protein, dan rendah lemak, karbohidrat,garam dan
penambahan berat badan yang tidak berlebihan perlu dianjurkan.
d. Mencari pada tiap pemeriksaan tanda-tandaPreeklampsia dan mengobatinya segera apabila di
temukan.
e. Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya padakehamilan 37 minggu ke atas apabila setelah dirawat
tanda – tanda Preeklampsia tidak juga dapat di hilangkan.

B. Plasenta Previa
1. Definisi
Plasenta previa merupakan plasenta yang letaknya abnormal yaitu pada segmen bawah rahim
sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan rahim (ostium uteri internum). Secara
harfiah berarti plasenta yang implantasinya (nempelnya) tidak pada tempat yang seharusnya, yaitu di
bagian atas rahim dan menjauhi jalan lahir. Plasenta previa merupakan penyebab utama perdarahan
pada trimester ke III. Gejalanya berupa perdarahan tanpa rasa nyeri. Timbulnya perdarahan akibat
perbedaan kecepatan pertumbuhan antara segmen atas rahim yang lebih cepat dibandingkan segmen
bawah rahim yang lebih lambat. Perdarahan ini akan lebih memicu perdarahan yang lebih banyak
akibat darah yang keluar (melalui trombin) akan merangsang timbulnya kontraksi.
2. Klasifikasi
Klasifikasi plasenta previa berdasarkan terabanya jaringan plasenta melalui pembukaan jalan lahir
pada waktu tertentu:
a. Plasenta previa totalis : bila seluruh pembukaan jalan lahir tertutup oleh plasenta.
b. Plasenta previa lateralis : bila hanya sebagian pembukaan jalan lahir tertutup oleh plasenta.
c. Plasenta previa marginalis : bila pinggir plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan jalan lahir.
d. Plasenta previa letak rendah : bila plasenta berada 3-4 cm diatas pinggir pembukaan jalan lahir.
3. Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui dengan jelas. Plasenta bertumbuh pada segmen bawah uterus
tidak selalu jelas dapat diterangkan. Bahwasanya vaskularisasi yang berkurang atau perubahan atropi
pada desidual akibat persalinan yang lampau dapat menyebabkan plasenta previa, tidaklah selalu
benar . Memang dapat dimengerti bahwa apabila aliran darah ke plasenta tidak cukup seperti pada
kehamilan kembar maka plasenta yang letaknya normal sekalipun akan memperluaskan
permukaannya sehingga mendekati atau menutupi sama sekali pembukaan jalan lahir .
a. Frekuensi plasenta previa pada primigravida yang berumur lebih 35 tahun kira-kira 10 kali lebih
sering dibandingkan dengan primigravida yang berumur kurang dari 25 tahun. Pada grandemultipara
yang berumur lebih dari 30 tahun kira-kira 4 kali lebih sering dari grandemultipara yang berumur
kurang dari 25 tahun.
b. Endometrium bercacat pada bekas persalinan berulang-ulang, bekas operasi, curettage, dan manual
placenta.
c. Corpus luteum bereaksi lambat, dimana endometrium belum siap menerima hasil konsepsi.
d. Adanya tumor; mioma uteri, polip endometrium.
4. Faktor Predisposisi Dan Presipitasi
Menurut Mochtar (1998), faktor predisposisi dan presipitasi yang dapat mengakibatkan terjadinya
plasenta previa adalah :
a. Melebarnya pertumbuhan plasenta :
1) Kehamilan kembar (gamelli).
2) Tumbuh kembang plasenta tipis.
b. Kurang suburnya endometrium :
1) Malnutrisi ibu hamil.
2) Melebarnya plasenta karena gamelli.
3) Bekas seksio sesarea.
4) Sering dijumpai pada grandemultipara.
c. Terlambat implantasi :
a) Endometrium fundus kurang subur.
b) Terlambatnya tumbuh kembang hasil konsepsi dalam bentuk blastula yang siap untuk nidasi.
5. Patafisiologi
Pendarahan antepartum akibat plasenta previa terjadi sejak kehamilan 10 minggu saat segmen bawah
uterus membentuk dari mulai melebar serta menipis, umumnya terjadi pada trismester ketiga karena
segmen bawah uterus lebih banyak mengalami perubahan pelebaran segmen bawah uterus dan
pembukaan servik menyebabkan sinus uterus robek karena lepasnya plasenta dari dinding uterus atau
karena robekan sinus marginalis dari plasenta. Pendarahan tidak dapat dihindarkan karena ketidak
mampuan serabut otot segmen bawah uterus untuk berkontraksi seperti pada plasenta letak normal.
Segmen bawah uterus, pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan serviks tidak dapat diikuti
oleh plasenta yang melekat di dinding uterus. Pada saat ini dimulai terjadi perdarahan darah berwarna
merah segar. (Mansjoer, 2002)
6. Tanda Dan Gejala
Tanda dan gejala plasenta previa diantaranya adalah :
a. Pendarahan tanpa sebab tanpa rasa nyeri dari biasanya dan berulang.
b. Darah biasanya berwarna merah segar.
c. Terjadi pada saat tidur atau saat melakukan aktivitas.
d. Bagian terdepan janin tinggi (floating), sering dijumpai kelainan letak janin.
e. Pendarahan pertama (first bleeding) biasanya tidak banyak dan tidak fatal, kecuali bila dilakukan
periksa dalam sebelumnya. Tetapi perdarahan berikutnya (reccurent bleeding) biasanya lebih banyak.
7. Komplikasi
Pada ibu dapat terjadi perdarahan hingga syok akibat perdarahan, anemia karena perdarahan.
Plasentitis, dan endometritis pasca persalinan. Pada janin biasanya terjadi persalinan premature dan
komplikasinya seperti asfiksia berat.

8. Penatalaksanaan
a. Terapi ekspektatif
Tujuan terapi ekspektatif ialah agar janin tidak terlahir premature, penderita dirawat tanpa melakukan
pemeriksaan dalam melalui kanalis servisis. Upaya diagnosis dilakukan secara non-invasif.
Pemantauan klinis dilaksanakan secara ketat dan baik.
b. Syarat-syarat terapi ekspresif:
c. Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti,
d. Belum ada tanda-tanda in partum,
e. Keadaan umum ibu cukup baik (kadar hemoglobin dalam batas normal),
9. Cara menyelesaikan persalinan dengan plasenta previa ialah:
a. Seksio sesarea
1) Prinsip utama dalam melakukan seksio sesarea adalah untuk menyelamatkan ibu, sehingga
walaupun janin meninggal atau tak punya harapan untuk hidup, tindakan ini tetap dilakukan.
2) Tujuan seksio sesarea:
a) Melahirkan janin dengan segera sehingga uterus dapat segera berkontraksi dan menghentikan
perdarahan.
b) Menghindarkan kemungkinan terjadinya robekan pada serviks uteri, jika janin dilahirkan
pervaginam.
3) Tempat implantasi plasenta previa terdapat banyak vaskularisai sehingga serviks uteri dan segmen
bawah rahim menjadi tipis dan mudah robek, selain itu, bekas tempat implantasi plasenta sering
menjadi sumber perdarahan karena adanya perbedaan vaskularisasi dan susunan serabut otot dengan
korpus uteri.
4) Siapkan darah pengganti untuk stabilisasi dan pemulihan kondisi ibu.
5) Lakukan perawatan lanjut pasca bedah termasuk pemantauan perdarahan, infeksi dan
keseimbangan cairan masuk-keluar.
6) Melahirkan pervaginam
7) Perdarahan akan berhenti jika ada penekanan pada plasenta. Penekanan tersebut dapat dilakukan
dengan cara-cara sebagai berikut:
a) Amniotomi dan akselerasi
Umumnya dilakukan pada plasenta previa lateralis/marginalis dengan pembukaan > 3 cm serta
presentasi kepala. Dengan memecah ketuban, plasenta akan mengikuti segmen bawah rahim dan
ditekan oleh kepala janin. Jika kontraksi uterus belum ada atau masih lemah, akselerasi dengan infuse
oksitosin.
b) Versi Braxton Hicks
Tujuan melakukan versi Braxton hicks ialah mengadakan temponade plasenta dengan bokong (dan
kaki) janin. Versi Braxton hicks tidak dilakukan pada janin yang masih hidup.
c) Traksi dengan Cunam Willet
Kulit kepala janin dijepit dengan cunam willet, kemudian beri beban secukupnya sampai perdarahan
berhenti. Tindakan ini kurang efektif untuk menekan plasenta dan sering kali menyebabkan
perdarahan pada kulit kepela. Tindakan ini biasanya dikerjakan pada janin yang telah meninggal dan
perdarahan yang tidak aktif.

C. Solusio plasenta
1. Definisi
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau keseluruhan plasenta dari implantasi normalnya
(korpus uteri) setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum janin lahir (7,8). Cunningham dalam
bukunya mendefinisikan solusio plasenta sebagai separasi prematur plasenta dengan implantasi
normalnya korpus uteri sebelum janin lahir (2). Jika separasi ini terjadi di bawah kehamilan 20
minggu maka mungkin akan didiagnosis sebagai abortus imminens (5). Sedangkan Abdul Bari
Saifuddin dalam bukunya mendefinisikan solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat
implantasi normalnya sebelum janin lahir, dan definisi ini hanya berlaku apabila terjadi pada
kehamilan di atas 22 minggu atau berat janin di atas 500 gram (9).
2. Klasifikasi
a. Trijatmo Rachimhadhi membagi solusio plasenta menurut derajat pelepasan plasenta (5):
1) Solusio plasenta totalis, plasenta terlepas seluruhnya.
2) Solusio plasenta partialis, plasenta terlepas sebagian.
3) Ruptura sinus marginalis, sebagian kecil pinggir plasenta yang terlepas.
b. Pritchard JA membagi solusio plasenta menurut bentuk perdarahan (3):
1) Solusio plasenta dengan perdarahan keluar
2) Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi, yang membentuk hematoma retroplacenter
3) Solusio plasenta yang perdarahannya masuk ke dalam kantong amnion .
c. Cunningham dan Gasong masing-masing dalam bukunya mengklasifikasikan solusio plasenta
menurut tingkat gejala klinisnya, yaitu (2,7):
1) Ringan : perdarahan kurang 100-200 cc, uterus tidak tegang, belum ada tanda renjatan, janin hidup,
pelepasan plasenta kurang 1/6 bagian permukaan, kadar fibrinogen plasma lebih 150 mg%.
2) Sedang : Perdarahan lebih 200 cc, uterus tegang, terdapat tanda pre renjatan, gawat janin atau janin
telah mati, pelepasan plasenta ¼-2/3 bagian permukaan, kadar fibrinogen plasma 120-150 mg%.
3) Berat : Uterus tegang dan berkontraksi tetanik, terdapat tanda renjatan, janin mati, pelepasan
plasenta dapat terjadi lebih 2/3 bagian atau keseluruhan.
3. Epidemiologi
Insiden solusio plasenta bervariasi antara 0,2-2,4 % dari seluruh kehamilan. Literatur lain
menyebutkan insidennya 1 dalam 77-89 persalinan, dan bentuk solusio plasenta berat 1 dalam 500-
750 persalinan (11). Slava dalam penelitiannya melaporkan insidensi solusio plasenta di dunia adalah
1% dari seluruh kehamilan. Di sini terlihat bahwa tidak ada angka pasti untuk insiden solusio
plasenta, karena adanya perbedaan kriteria menegakkan diagnosisnya (8).
Cunningham di Amerika Serikat melakukan penelitian pada 763 kasus kematian ibu hamil yang
disebabkan oleh perdarahan. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Kematian ibu hamil yang disebabkan perdarahan (2).
No. Penyebab Perdarahan Sampel %
1. Solusio Plasenta 141 19
2. Laserasi/ Ruptura uteri 125 16
3. Atonia Uteri 115 15
4. Koagulopathi 108 14
5. Plasenta Previa 50 7
6. Plasenta Akreta/ Inkreta/ Perkrata 44 6
7. Perdarahan Uterus 44 6
8. Retained Placentae 32 4

Diketahui bahwa solusio plasenta menempati tempat pertama sebagai penyebab kematian ibu hamil
yang disebabkan oleh perdarahan dalam masa kehamilan (2).
Menurut data yang diperoleh dari Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo
(RSUPNCM) Jakarta didapat angka 2% atau 1 dalam 50 persalinan. Antara tahun 1968-1971 solusio
plasenta terjadi pada kira-kira 2,1% dari seluruh persalinan, yang terdiri dari 14% solusio plasenta
sedang dan 86% solusio plasenta berat. Solusio plasenta ringan jarang didiagnosis, mungkin karena
penderita terlambat datang ke rumah sakit atau tanda-tanda dan gejalanya terlalu ringan sehingga
tidak menarik perhatian penderita maupun dokternya (5).
Sedangkan penelitian yang dilakukan Suryani di RSUD. DR. M. Djamil Padang dalam periode 2002-
2004 dilaporkan terjadi 19 kasus solusio plasenta dalam 4867 persalinan (0,39%) atau 1 dalam 256
persalinan (14).
4. Etiologi
Penyebab primer solusio plasenta belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa faktor yang
menjadi predisposisi :
a. Faktor kardio-reno-vaskuler
Glomerulonefritis kronik, hipertensi essensial, sindroma preeklamsia dan eklamsia (15,16). Pada
penelitian di Parkland, ditemukan bahwa terdapat hipertensi pada separuh kasus solusio plasenta
berat, dan separuh dari wanita yang hipertensi tersebut mempunyai penyakit hipertensi kronik, sisanya
hipertensi yang disebabkan oleh kehamilan. Dapat terlihat solusio plasenta cenderung berhubungan
dengan adanya hipertensi pada ibu (2,3).
b. Faktor trauma
Trauma yang dapat terjadi antara lain :
1) Dekompresi uterus pada hidroamnion dan gemeli.
2) Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang banyak/bebas, versi luar atau
tindakan pertolongan persalinan.
3) Trauma langsung, seperti jatuh, kena tendang, dan lain-lain.
Dari penelitian yang dilakukan Slava di Amerika Serikat diketahui bahwa trauma yang terjadi pada
ibu (kecelakaan, pukulan, jatuh, dan lain-lain) merupakan penyebab 1,5-9,4% dari seluruh kasus
solusio plasenta (9). Di RSUPNCM dilaporkan 1,2% kasus solusio plasenta disertai trauma (5).
c. Faktor paritas ibu
Lebih banyak dijumpai pada multipara dari pada primipara. Holmer mencatat bahwa dari 83 kasus
solusio plasenta yang diteliti dijumpai 45 kasus terjadi pada wanita multipara dan 18 pada primipara
(15,16). Pengalaman di RSUPNCM menunjukkan peningkatan kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu
dengan paritas tinggi. Hal ini dapat diterangkan karena makin tinggi paritas ibu makin kurang baik
keadaan endometrium (2,3,5).
d. Faktor usia ibu
Dalam penelitian Prawirohardjo di RSUPNCM dilaporkan bahwa terjadinya peningkatan kejadian
solusio plasenta sejalan dengan meningkatnya umur ibu. Hal ini dapat diterangkan karena makin tua
umur ibu, makin tinggi frekuensi hipertensi menahun (1,2,3,5).
e. Leiomioma uteri (uterine leiomyoma) yang hamil dapat menyebabkan solusio plasenta apabila
plasenta berimplantasi di atas bagian yang mengandung leiomioma (3,15).
f. Faktor pengunaan kokain
Penggunaan kokain mengakibatkan peninggian tekanan darah dan peningkatan pelepasan
katekolamin, yang mana bertanggung jawab atas terjadinya vasospasme pembuluh darah uterus dan
dapat berakibat terlepasnya plasenta. Namun, hipotesis ini belum terbukti secara definitif. Angka
kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu penggunan kokain dilaporkan berkisar antara 13-35% (12).
g. Faktor kebiasaan merokok
Ibu yang perokok juga merupakan penyebab peningkatan kasus solusio plasenta sampai dengan 25%
pada ibu yang merokok ≤ 1 (satu) bungkus per hari. Ini dapat diterangkan pada ibu yang perokok
plasenta menjadi tipis, diameter lebih luas dan beberapa abnormalitas pada mikrosirkulasinya (17).
Deering dalam penelitiannya melaporkan bahwa resiko terjadinya solusio plasenta meningkat 40%
untuk setiap tahun ibu merokok sampai terjadinya kehamilan (12)
h. Riwayat solusio plasenta sebelumnya
Hal yang sangat penting dan menentukan prognosis ibu dengan riwayat solusio plasenta adalah bahwa
resiko berulangnya kejadian ini pada kehamilan berikutnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibu
hamil lainnya yang tidak memiliki riwayat solusio plasenta sebelumnya (3,8,12,18).
i. Pengaruh lain, seperti anemia, malnutrisi/defisiensi gizi, tekanan uterus pada vena cava inferior
dikarenakan pembesaran ukuran uterus oleh adanya kehamilan, dan lain-lain (16).
5. Patogenesis.
Solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan ke dalam desidua basalis dan terbentuknya
hematom subkhorionik yang dapat berasal dari pembuluh darah miometrium atau plasenta, dengan
berkembangnya hematom subkhorionik terjadi penekanan dan perluasan pelepasan plasenta dari
dinding uterus (2,3,19).
Akibat kerusakan miometrium dan bekuan retroplasenter adalah pelepasan tromboplastin yang banyak
ke dalam peredaran darah ibu, sehingga berakibat pembekuan intravaskuler dimana-mana yang akan
menghabiskan sebagian besar persediaan fibrinogen. Akibatnya ibu jatuh pada keadaan
hipofibrinogenemia. Pada keadaan hipofibrinogenemia ini terjadi gangguan pembekuan darah yang
tidak hanya di uterus, tetapi juga pada alat-alat tubuh lainnya (5).
6. Gambaran Klinis
Gambaran klinis dari kasus-kasus solusio plasenta diterangkan atas pengelompokannya menurut
gejala klinis (2,5,7):
a. Solusio plasenta ringan
Solusio plasenta ringan ini disebut juga ruptura sinus marginalis, dimana terdapat pelepasan sebagian
kecil plasenta yang tidak berdarah banyak. Apabila terjadi perdarahan pervaginam, warnanya akan
kehitam-hitaman dan sedikit sakit. Perut terasa agak sakit, atau terasa agak tegang yang sifatnya terus
menerus. Walaupun demikian, bagian-bagian janin masih mudah diraba. Uterus yang agak tegang ini
harus selalu diawasi, karena dapat saja menjadi semakin tegang karena perdarahan yang berlangsung.
Salah satu tanda yang menimbulkan kecurigaan adanya solusio plasenta ringan ini adalah perdarahan
pervaginam yang berwarna kehitam-hitaman (2,5,7).
b. Solusio plasenta sedang
Dalam hal ini plasenta telah terlepas lebih dari satu per empat bagian, tetapi belum dua per tiga luas
permukaan. Tanda dan gejala dapat timbul perlahan-lahan seperti solusio plasenta ringan, tetapi dapat
juga secara mendadak dengan gejala sakit perut terus menerus, yang tidak lama kemudian disusul
dengan perdarahan pervaginam. Walaupun perdarahan pervaginam dapat sedikit, tetapi perdarahan
sebenarnya mungkin telah mencapai 1000 ml. Ibu mungkin telah jatuh ke dalam syok, demikian pula
janinnya yang jika masih hidup mungkin telah berada dalam keadaan gawat. Dinding uterus teraba
tegang terus-menerus dan nyeri tekan sehingga bagian-bagian janin sukar untuk diraba. Apabila janin
masih hidup, bunyi jantung sukar didengar. Kelainan pembekuan darah dan kelainan ginjal mungkin
telah terjadi, walaupun hal tersebut lebih sering terjadi pada solusio plasenta berat (2,5,7).
c. Solusio plasenta berat
Plasenta telah terlepas lebih dari dua per tiga permukaannnya. Terjadi sangat tiba-tiba. Biasanya ibu
telah jatuh dalam keadaan syok dan janinnya telah meninggal. Uterusnya sangat tegang seperti papan
dan sangat nyeri. Perdarahan pervaginam tampak tidak sesuai dengan keadaan syok ibu, terkadang
perdarahan pervaginam mungkin saja belum sempat terjadi. Pada keadaan-keadaan di atas besar
kemungkinan telah terjadi kelainan pada pembekuan darah dan kelainan/gangguan fungsi ginjal
(2,5,7).
7. Komplikasi
Komplikasi solusio plasenta pada ibu dan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas, usia
kehamilan dan lamanya solusio plasenta berlangsung. Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu :
a. Syok perdarahan
Pendarahan antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta hampir tidak dapat dicegah, kecuali
dengan menyelesaikan persalinan segera. Bila persalinan telah diselesaikan, penderita belum bebas
dari perdarahan postpartum karena kontraksi uterus yang tidak kuat untuk menghentikan perdarahan
pada kala III persalinan dan adanya kelainan pada pembekuan darah. Pada solusio plasenta berat
keadaan syok sering tidak sesuai dengan jumlah perdarahan yang terlihat (2,3,12).
b. Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita solusio plasenta, pada dasarnya
disebabkan oleh keadaan hipovolemia karena perdarahan yang terjadi. Biasanya terjadi nekrosis tubuli
ginjal yang mendadak, yang umumnya masih dapat ditolong dengan penanganan yang baik. Perfusi
ginjal akan terganggu karena syok dan pembekuan intravaskuler. Oliguri dan proteinuri akan terjadi
akibat nekrosis tubuli atau nekrosis korteks ginjal mendadak (2,5). Oleh karena itu oliguria hanya
dapat diketahui dengan pengukuran pengeluaran urin yang harus secara rutin dilakukan pada solusio
plasenta berat. Pencegahan gagal ginjal meliputi penggantian darah yang hilang secukupnya,
pemberantasan infeksi, atasi hipovolemia, secepat mungkin menyelesaikan persalinan dan mengatasi
kelainan pembekuan darah (2).
c. Kelainan pembekuan darah
Kelainan pembekuan darah pada solusio plasenta biasanya disebabkan oleh hipofibrinogenemia. Dari
penelitian yang dilakukan oleh Wirjohadiwardojo di RSUPNCM dilaporkan kelainan pembekuan
darah terjadi pada 46% dari 134 kasus solusio plasenta yang ditelitinya (5).
Kadar fibrinogen plasma normal pada wanita hamil cukup bulan ialah 450 mg%, berkisar antara 300-
700 mg%. Apabila kadar fibrinogen plasma kurang dari 100 mg% maka akan terjadi gangguan
pembekuan darah (2,5,8).
Mekanisme gangguan pembekuan darah terjadi melalui dua fase (8,17):
a. Fase I
Pada pembuluh darah terminal (arteriole, kapiler, venule) terjadi pembekuan darah, disebut
disseminated intravasculer clotting. Akibatnya ialah peredaran darah kapiler (mikrosirkulasi)
terganggu. Jadi pada fase I, turunnya kadar fibrinogen disebabkan karena pemakaian zat tersebut,
maka fase I disebut juga coagulopathi consumptive.
b. Fase II
Fase ini sebetulnya fase regulasi reparatif, yaitu usaha tubuh untuk membuka kembali peredaran darah
kapiler yang tersumbat. Usaha ini dilaksanakan dengan fibrinolisis. Fibrinolisis yang berlebihan
malah berakibat lebih menurunkan lagi kadar fibrinogen sehingga terjadi perdarahan patologis (17).
c. Apoplexi uteroplacenta (Uterus couvelaire)
Pada solusio plasenta yang berat terjadi perdarahan dalam otot-otot rahim dan di bawah perimetrium
kadang-kadang juga dalam ligamentum latum. Perdarahan ini menyebabkan gangguan kontraktilitas
uterus dan warna uterus berubah menjadi biru atau ungu yang biasa disebut Uterus couvelaire. Tapi
apakah uterus ini harus diangkat atau tidak, tergantung pada kesanggupannya dalam membantu
menghentikan perdarahan (14).
Komplikasi yang dapat terjadi pada janin (8,12,13) :
a. Fetal distress
b. Gangguan pertumbuhan/perkembangan
c. Hipoksia dan anemia
d. Kematian

8. Diagnosis
Keluhan dan gejala pada solusio plasenta dapat bervariasi cukup luas. Sebagai contoh, perdarahan
eksternal dapat banyak sekali meskipun pelepasan plasenta belum begitu luas sehingga menimbulkan
efek langsung pada janin, atau dapat juga terjadi perdarahan eksternal tidak ada, tetapi plasenta sudah
terlepas seluruhnya dan janin meninggal sebagai akibat langsung dari keadaan ini. Solusio plasenta
dengan perdarahan tersembunyi mengandung ancaman bahaya yang jauh lebih besar bagi ibu, hal ini
bukan saja terjadi akibat kemungkinan koagulopati yang lebih tinggi, namun juga akibat intensitas
perdarahan yang tidak diketahui sehingga pemberian transfusi sering tidak memadai atau terlambat
(2,3).
Prosedur pemeriksaan untuk dapat menegakkan diagnosis solusio plasenta antara lain :
a. Anamnesis (5,19)
b. Inspeksi (5,19)
c. Palpasi (5,19,20)
d. Auskultasi (5,19)
e. Pemeriksaan dalam (19)
f. Pemeriksaan umum (5,19,20)
g. Pemeriksaan laboratorium (19,20)
h. Pemeriksaan plasenta (13).
i. Pemeriksaaan Ultrasonografi (USG) (20,21)
Pada pemeriksaan USG yang dapat ditemukan antara lain :
a. Terlihat daerah terlepasnya plasenta
b. Janin dan kandung kemih ibu
c. Darah
d. Tepian plasenta
9. Terapi
Penanganan kasus-kasus solusio plasenta didasarkan kepada berat atau ringannya gejala klinis, yaitu:
a. Solusio plasenta ringan
Ekspektatif, bila usia kehamilan kurang dari 36 minggu dan bila ada perbaikan (perdarahan berhenti,
perut tidak sakit, uterus tidak tegang, janin hidup) dengan tirah baring dan observasi ketat, kemudian
tunggu persalinan spontan .
b. Solusio plasenta sedang dan berat
Apabila tanda dan gejala klinis solusio plasenta jelas ditemukan, penanganan di rumah sakit meliputi
transfusi darah, amniotomi, infus oksitosin dan jika perlu seksio sesaria .
10. Prognosis
Prognosis ibu tergantung luasnya plasenta yang terlepas dari dinding uterus, banyaknya perdarahan,
ada atau tidak hipertensi menahun atau preeklamsia, .tersembunyi tidaknya perdarahan, dan selisih
waktu terjadinya solusio plasenta sampai selesainya persalinan. Angka kematian ibu pada kasus
solusio plasenta berat berkisar antara 0,5-5%. Sebagian besar kematian tersebut disebabkan oleh
perdarahan, gagal jantung dan gagal ginjal .
Hampir 100% janin pada kasus solusio plasenta berat mengalami kematian. Tetapi ada literatur yang
menyebutkan angka kematian pada kasus berat berkisar antara 50-80%. Pada kasus solusio plasenta
ringan sampai sedang, keadaan janin tergantung pada luasnya plasenta yang lepas dari dinding uterus,
lamanya solusio plasenta berlangsung dan usia kehamilan. Perdarahan lebih dari 2000 ml biasanya
menyebabkan kematian janin. Pada kasus-kasus tertentu tindakan seksio sesaria dapat mengurangi
angka kematian janin .
D. Distosia Bahu
1. Pengertian Distosia Bahu
Distosia bahu ialah kelahiran kepala janin dengan bahu anterior macet diatas sacral promontory
karena itu tidak bisa lewat masuk ke dalam panggul, atau bahu tersebut bisa lewat promontorium,
tetapi mendapat halangan dari tulang sacrum (tulang ekor). Lebih mudahnya distosia bahu adalah
peristiwa dimana tersangkutnya bahu janin dan tidak dapat dilahirkan setelah kepala janin dilahirkan.
2. Etiologi Distosia Bahu
Sebab-sebab dystocia bahu dapat dibagi menjadi tiga golongan besar :
a. Distosia karena kekuatan-kekuatan yang mendorong anak keluar karena kuat.
b. Distosia karena kelainan letak atau kelainan anak, misalnya letak lintang, letak dahi, hydrochepalus
atau monstrum.
c. Distosia karena kelainan jalan lahir : panggul sempit, tumor-tumor yang mempersempit jalan lahir.
Penyebab lain dari distosia bahu adalah fase aktif memanjang, yaitu :
a. Malposisi (presentasi selain belakang kepala).
b. Makrosomia (bayi besar) atau disproporsi kepala-panggul (CPD).
c. Intensitas kontraksi yang tidak adekuat.
d. Serviks yang menetap.
e. Kelainan fisik ibu, missal nya pinggang pendek.
f. Kombinasi penyebab atau penyebab yang tidak diketahui.
3. Diagnosis Distosia Bahu
Spong dkk (1995) menggunakan sebuah kriteria objektif untuk menentukan adanya distosia bahu
yaitu interval waktu antara lainnya kepala dengan seluruh tubuh .
a. Nilai normal interval waktu antara persalinan kepala persalinan dengna persalinan seluruh tubuh
adalah 24 detik, pada distosia bahu 79 detik.
b. Mereka mengusulkan bahwa distosia bahu adalah bila interval waktu tersebut lebih dari 60 detik.
American College of Obstetrician and Gynocologist (2002) menyatakan bahwa angka kejadian
distosia bahu bervariasi antara 0,6- 1,4 % dari persalinan normal.
Distosia bahu dapat dikenali apabila didapatkan adanya :
a. Kepala bayi sudah lahir, tetapi bahu tertahan dan tidak dapat dilahirkan.
b. Kepala bayi sudah lahir, tetapi tetap menekan vulva dan kencang.
c. Dagu tertarik dan menekan perineum.
d. Tarikan pada kepala tidak berhasil melahirkan bahu yang tetap tertahan di kranial simfisis pubis.
4. Patofisiologi Distosia Bahu
a. Setelah kelahiran kepala, akan terjadi putaran paksi luar yang menyebabkan kepala berada pada
sumbu normal dengan tulang belakang bahu pada umumnya akan berada pada sumbu miring (oblique)
dibawah ramus pubis.
b. Dorongan pada saat ibu meneran akan menyebabkan bahu depan (anterior) berada dibawah pubis,
bila bahu gagal untuk mengadakan putaran menyesuaikan dengna sumbu miring dan tetap berada
pada posisi anteroposterior, pada bayi yang besar akan terjadi benturan bahu depan terhadap simfisis
sehingga bahu tidak lahir mengikuti kepala.
5. Komplikasi Distosia Bahu
Komplikasi distosia bahu antara lain sebagai berikut:
a. Komplikasi pada ibu :
Menurut Benedetti dan Gabbe (1978) ; Parks dan Ziel (1978), komplikasi yang terjadi pada ibu
sebagai berikut :
1) Distosia bahu dapat menyebabkan perdarahan postpartum.
2) Perdarahan tersebut biasanya disebabkan oleh atonia uteri, rupture uteri, atau karena laserasi vagina
dan servik yang merupakan risiko utama kematian ibu.
b. Komplikasi pada bayi :
Pada bayi, distosia bahu antara lain dapat menyebabkan komplikasi sebagai berikut:
1) Distosia bahu dapat disertai morbiditas dan mortalitas janin yang signifikan.
2) Kecacatan pleksus brachialis transien adalah cedera yang paling sering dijumpai.
3) Selain itu dapat juga terjadi fraktur klavikula, fraktur humerus, dan kematian neonatal.
6. Penatalaksanaan Distosia Bahu
Diperlukan seorang asisten untuk membantu, sehingga bersegeralah minta bantuan. Jangan
melakukan penarikan atau dorongan sebelum memastikan bahwa bahu posterior sudah masuk
panggul. Bahu posterior yang belum melewati PAP akan sulit dilahirkan bila dilakukan tarikan pada
kepala. Untuk mengendorkan ketegangan yang menyulitkan bahu posterior masuk panggul tersebut,
dapat dilakukan episiotomy yang luas, posisi Mc. Robert, atau posisi dada-lutut. Dorongan pada
fundus juga tidak dikenakan karena semakin menyulitkan bahu untuk dilahirkan dan berisiko
menimbulkan rupture uteri. Disamping perlunya asisten dan pemahaman yang baik tentang
mekanisme persalinan, keberhasilan pertolongan persalinan dengna distosia bahu juga ditentukan oleh
waktu. Setelah kepala lahir akan terjadi penurunan pH arteria umbilikalis dengan laju 0,04 unit/menit.
Dengan demikian, pada bayi yang sebelumnya tidak mengalami hipoksia tersedia waktu antara 4-5
menit untuk melakukan maneuver melahirkan bahu sebelum terjadi cedera hipoksik pada otak.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa yang terjadi dalam
kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan kelahiran. Terdapat sekian banyak penyakit dan
gangguan dalam kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan bayinya (Chamberlain, Geoffrey,
& Phillip Steer, 1999).
Kegawatdaruratan neonatal adalah situasi yang membutuhkan evaluasi dan manajemen yang tepat
pada bayi baru lahir yang sakit kritis ( ≤ usia 28 hari) membutuhkan pengetahuan yang dalam
mengenali perubahan psikologis dan kondisi patologis yang mengancam jiwa yang bisa saja timbul
sewaktu-waktu.
Kasus kegawatdaruratan obstetri dan noenatal apabila tidak segera ditangani akan berakibat kesakitan
yang berat, bahkan kematian ibu dan janinya. Kasus ini menjadi penyebab utama kematian ibu, janin,
dan bayi baru lahir. Secara umum terdapat 4 penyebab utama kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir
dari sisi obstetri, yaitu (1) perdarahan; (2) infeksi sepsis; (3) hipertensi dan preeklampsia/eklampsia;
dan (4) persalinan macet (distosia). Terdapat lebih dari ¾ ( tiga perempat) kematian noenatal
disebabkan kesulitan bernapas saat lahir ( asfiksia), infeksi, komplikasi lahir, dan berat badan lahir
yang rendah.

B. Saran
Kasus kegawatdaruratan merupakan hal yang saat ini mendapat perhatian yang begitu besar. Oleh
karena itu, diharapkan seluruh pihak memberikan kontribusinya dalam merespon kasus
kegawatdaruratan ini. Bagi mahasiswa, sudah seyogyanya memberikan peran dengan mempelajari
dengan sungguh-sunggu kasus-kasus kegawatadaruratan dan memaksimalkan keterampilan dalam
melakukan penanganan kegawatdaruratan yang berada dalam koridor wewenang bidan.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, 2017. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Postpartum Tentang Perawatan Tali Pusat dengan
Keadaan Tali Pusat Neonatus di BKIA RS William Booth Surabaya.[Skripsi]. Surabaya: Akper
William Booth

Ayu, 2016.Aplikasi Metodelogi Penelitian Kebidanan dan Kesehatan


Reproduksi.Jogjakarta :NuhaMedika

Dinkes Provinsi Bengkulu, 2016. Profil Dinas kesehatan Bengkulu Tahun 2015

Kemenkes, 2015. Profil Dinas Kesehatan Indonesia 2014


Laporan KIA Puskesmas, 2017.Dinas Kesehatan Bengkulu tahun 2016.

AriefMansjoer, dkk. 2002. Askariasis. Dalam : Kapita SelektaKedokteran. Jilid 1, Edisi 3. Jakarta :
Media Aesculapius FKUI. Halaman : 416 – 418.

Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetry Jilid I. EGC: Jakarta.Prawirohardjo, 2010

Cunningham F.G., Leveno K.J., Bloom S.L., Hauth J.C., Rouse D.J., Spong C.Y.
2010. Cesarean Section and Peripartum Hysterectomy. In: Williams
Obstetrics. 23rd ed. USA: McGraw-Hill Companies. P 537 – 63.

WHO, 2015. Maternal Mortality: World Health Organization; 2014.

Anda mungkin juga menyukai