Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

BAB III Benar

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 49

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU NIFAS TERHADAP MOBILISASI DINI

PADA PASIEN POST SC DI RUANG NIFAS RSUD SEKARWANGI


KABUPATEN SUKABUMI
TAHUN 2022

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh


Gelar Sarjana Kebidanan

Indah Martiastuti Harahap


6221533

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN ALIH JENJANG


FAKULTAS KEBIDANAN
INSTITUT KESEHATAN RAJAWALI BANDUNG
2022
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Persalinan merupakan sebuah proses akhir dari serangkaian kehamilan.


Terdapat dua macam proses persalinan yaitu persalinan pervaginam atau
persalinan normal persalinan spontan dan persalinan Sectio Caesarea (SC) atau
orang awam menyebutnya operasi sesar. Operasi sesar yaitu proses pengeluaran
janin lewat pembedahan perut (Aprina, 2016).

Persalinan secara Caesar terus meningkat di seluruh dunia, khususnya di


negara- negara berpenghasilan menengah dan tinggi, serta telah menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang utama dan kontroversial (Torloni, et al., 2014).

Menurut data World Health Organization (WHO) standar persalinan SC


di Inggris tahun 2008 sampai 2009 angka SC mengalami peningkatan sebesar
24,6% yang pada tahun 2004 sekitar 24,5 % dan di Australia tahun 2007 terjadi
peningkatan 31% yang pada tahun 1980 hanya sebesar 21%. Sedangkan pada
tahun 2014, beberapa negara lainnya seperti Australia kejadian SC sebesar 32%,
Brazil sebesar 54%, dan Colombia sebesar 43% (WHO, 2014).

Angka persalinan dengan metode sesar telah meningkat di seluruh dunia


dan melebihi batas kisaran 10%-15% yang direkomendasikan World Health
Organization (WHO) dalam upaya penyelamatan nyawa Ibu dan Bayi. Amerika
Latin dan wilayah Karibia menjadi penyumbang angka metode sesar tertinggi
yaitu 40,5 persen, diikuti oleh Eropa (25%), Asia (19,2%) dan Afrika (7,3%) .
Angka kelahiran di Indonesia masih tinggi dan kira-kira 15% dari seluruh wanita
hamil mengalami komplikasi dalam persalinan, hal ini terjadi seiring
meningkatnya kelahiran dengan SC. Angka kejadian SC tersebut jika di rata-
ratakan sejak tahun 2005 sampai dengan 2011 yaitu sebesar 7% dari jumlah

2
3

semua kelahiran, sedangkan pada pada tahun 2006 sampai dengan 2012 rata-rata
kejadian SC meningkat menjadi sebesar 12%.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018 menunjukkan


kelahiran bedah sesar sebesar 12.8 % dengan proporsi tertinggi di DKI Jakarta
(19,9%) dan terendah di Sulawesi Tenggara (3,3%). Hasil Riskesdas tahun 2018
menunjukkan bahwa kelahiran dengan bedah caesarea di Indonesia yaitu sebesar
9,8%. Angka kelahiran dengan bedah Caesarea di Provinsi Jawa Barat yaitu
sebesar 7,5%. Sebanyak 19,50– 27,30 % diantaranya merupakan Sectio Caesarea
karena CPD (Cephalo Pelvik Disproporsi), perdarahan hebat 11,90– 21 %,
karena kelainan letak 4,30– 8,70 %. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2013 menyatakan Ibu yang melahirkan melalui bedah Caesarea
banyak mengalami komplikasi (55%) dibandingkan dengan wanita lainnya
(Dinkes Jabar, 2019).
Data yang didapatkan di Kabupaten Sukabumi dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Sukabumi tahun 2020 angka persalinan Sectio Caesarea juga sangat
terbilang tinggi, yaitu sebesar 37,2% dari 45,337 persalinan. Paling banyak di
Rumah Sakit Swasta sebanyak 62%. (SIK Dinas Kesehatan Kabupaten
Sukabumi, 2020).

Di RSUD Sekarwangi Kabupaten Sukabumi pada tahun 2020 didapatkan


data, dari 2350 persalinan terdapat 840 (35,7%) persalinan SC. Dan meningkat
pada tahun 2021 dari 2841 persalinan, terdapat 1293 (45.5%) persalinan SC,
diantaranya merupakan Sectio Caesarea karena KPD sebanyak 29%, Bekas SC
(20%), Pereklamsi, (13,4%) dan CPD yaitu sebesar 13,2%.

Upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan prevalensi kejadian


Sectio Caesarea adalah dilakukannya asuhan yang berkesinambungan atau yang
biasa disebut Continuity Of Care (COC). Continuity Of Care ini dilakukan sejak
Ibu pada masa kehamilan, persalinan, nifas sampai Ibu menentukan pilihannya
4

untuk memakai kontrasepsi yang akan digunakan. Asuhan kebidanan yang


berkesinambungan yang diberikan pada Ibu dapat mendeteksi dini adanya
komplikasi yang dapat terjadi dan juga dapat mencegah kemungkinan komplikasi
yang akan terjadi dengan segera. Dengan demikian dilakukannya perawatan
Continuity Of Care ini mampu menurunkan angka kejadian sectio caesarea.
Selain itu melakukan pelayanan Continuity Of Care menciptakan terjalinnya
hubungan yang baik antara seorang Pasien dan Bidan. Asuhan yang
berkelanjutan berkaitan dengan kualitas pelayanan dari waktu kewaktu yang
membutuhkan hubungan terus menerus antara pasien dengan tenaga kesehatan
(Kemenkes, 2016).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perawatan pasca operasi


Sectio Caesarea adalah perawatan luka insisi, tempat perawatan pasca operasi,
pemberian cairan, nutrisi, nyeri, kateterisasi, perawatan rutin dan mobilisasi dini
(Kasdu, 2013). Dan dampak jika tidak melakukan perawatan yang tidak benar
akan menyebabkan infeksi, perdarahan, dan luka yang tidak kunjung kering dan
membaik. (Puspitasari, dkk 2012)

Cara untuk mencegah komplikasi yang ditimbulkan pasca tindakan SC


adalah dengan Mobilisasi. Mobilisasi dini merupakan suatu aspek yang
terpenting pada fungsi fisiologis untuk mempertahankan kemandirian. Salah satu
keuntungan dari mobilisasi dini adalah mempercepat penyembuhan luka, dengan
Mobilisasi dapat memperlancar peredaran darah (Kasdu, 2015).Adapun dampak
jika pasien post Sectio Cesarea tidak melakukan mobilisasi dini diantarakan
terjadi peningkatan suhu tubuh yang dapat mengakibatkan resiko terjadinya
infeksi pasien post sectio cesarea, perdarahan abnormal dan involusi uterus yang
tidak baik). Selain itu juga bila tidak melakukan mobilisasi dini dapat terjadi sulit
buang air kecil, distensi lambung, gangguan pernafasan, gangguan kardivaskuler
(Mocthar, 2015).
5

Menurut Grace & Nasution (2008), Ibu Nifas post Sectio Caesarea belum
melakukan mobilisasi dini, karena tidak mau bergerak dan merasa khawatir kalau
tubuh di gerakan pada posisi tertentu akan mempengaruhi luka operasi yang
belum sembuh yang baru saja selesai di lakukan operasi, sehingga menjadikan
rendahnya mobilisasi dini pada Ibu Nifas post Sectio Caesarea. Salah satu
kondisi yang menyebabkan rendahnya mobilisasi dini Ibu Nifas adalah masih
kurangnya pengetahuan masyarakat di bidang kesehatan. Khususnya Ibu Nifas
yang bersalin dengan operasi Sectio Caesarea (Nunung Liawati, 2015).

Pengetahuan dan pemahaman tentang pentingnya mobilisasi lebih awal


perlu dimiliki oleh pasien pasien paska operasi (Adelia 2012), menurut futria et
all 2018 pengetahuan seseorang juga mempengaruhi terhadap pelaksanaan
Mobilisasi secara awal pada pasien - pasien paska operasi. Beberapa Faktor
mempengaruhi pemahaman pasien tentang pentinnya aktivitas Mobilisasi paska
operasi diantaranya umur, pendidikan, dan pekerjaan. (Buhari.I.S, et all, 2015)

Pengetahuan adalah berbagai macam hal yang diperoleh oleh seseorang


melalui panca indra. Pengetahuan diperoleh dari mengingat, mengenal sumber
informasi yang diterima melalui penginderaan yang kemudian diterima dan
diakumulasi menjadi pengetahuan. Pengetahuan menjadi landasan yang
memengaruhi tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2017).

Hal ini sejalan dengan penelitian Rahmawati, 2020 menyatakan bahwa


ada hubungan antara pengetahuan dengan pelaksanaan mobilisasi dini pada
pasien post SC di RSUD Sungai Dareh 2019. Hasil dari uji kerolasi Rank
Spearman didapatkan hasil ρ = 0,049, berarti ρ < 0.05 yang artinya ada hubungan
pengetahuan dengan perilaku mobilisasi dini pada pasien post operasi

Penelitian dari Sutrisno,dkk, 2021 dengan hasil Uji Chi-Square


menunjukkan ada hubungan pengetahuan (p value = 0,034) dengan aktivitas
mobilisasi pada ibu post SC. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada
6

hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan aktifitas


mobilisasi.

Hasil peneliti lain menurut Helda Fitri 2022 menyatakan bahwa ada
hubungan antara pengetahuan dengan pelaksanaan mobilisasi dini pada pasien
post sc di RSUD Sungai Dareh 2019. Uji statistik Uji Chi Square nilai p adalah
0, 0161 (p < 0.05).

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk


melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Pengetahuan Ibu Nifas
Terhadap Mobilisasi Dini Pada Pasien Post SC Di Ruang Nifas RSUD
Sekarwangi Kabupaten Sukabumi Tahun 2022.

1.2 Identifikasi Masalah

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan penulis di Di Ruang Nifas RSUD


Sekarwangi Kabupaten Sukabumi tercatat pada tahun pada tahun 2021 dari 2841
persalinan, terdapat 1293 (45.5%) persalinan SC, sedangkan 1544 (54,34%)
persalinan yang normal (persalinan pervaginam, spontan brach dan ektraksi
kaki), dan terdapat 4 (0,14%) pada persalinan ektraksi vakum dan forcep.

Berdasarkan Hasil wawancara pada 10 Ibu Nifas Post SC, didapatkan 7


Ibu Nifas Post SC tidak mengetahui kapan ibu harus bergerak setelah paska
operasi, 1 diantaranya mengatakan karena takut terbuka jahitan operasinya, dan
2 diantaranya tidak diperbolehkan oleh keluarga untuk bergerak atau mobilisasi.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah


dalam penelitian ini adalah apakah terdapat Hubungan Pengetahuan Ibu Nifas
Terhadap Mobilisasi Dini Pada Pasien Post SC Di Di Ruang Nifas RSUD
Sekarwangi Kabupaten Sukabumi Tahun 2022.”
7

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui Hubungan Pengetahuan Ibu Nifas Terhadap


Mobilisasi Dini Pada Pasien Post SC Di Ruang Nifas RSUD Sekarwangi
Kabupaten Sukabumi Tahun 2022.

1.4.2 Tujuan Khusus


Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini antara lain untuk:
1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi pengetahuan Ibu Nifas Terhadap
Mobilisasi Dini Pada Pasien Post SC Di Ruang Nifas RSUD Sekarwangi
Kabupaten Sukabumi Tahun 2022.
2. Ibu Untuk mengetahui distribusi frekuensi Mobilisasi Dini Pada Pasien
Post SC Di Ruang Nifas RSUD Sekarwangi Kabupaten Sukabumi Tahun
2022.
3. Untuk Mengetahui Hubungan Pengetahuan Ibu Nifas Terhadap
Mobilisasi Dini Pada Pasien Post SC Di Ruang Nifas RSUD Sekarwangi
Kabupaten Sukabumi Tahun 2022.
1.5 Hipotesis Penelitian
Hipotesis pada penelitian ini adalah:
Terdapat Hubungan Pengetahuan Hubungan Pengetahuan Ibu Nifas
Terhadap Mobilisasi Dini Pada Pasien Post SC Di Ruang Nifas RSUD
Sekarwangi Kabupaten Sukabumi Tahun 2022.
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat Teoritis
Hasi Penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi,
khususnya dapat menambah bacaan dan pengetahuan tentang
pelaksanaan mobilisasi dini pada pasien paska operasi.
1.6.2 Manfaat Praktis
1. Bagi RSUD Sekarwangi
8

Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dalam


meningkatkan kegiatan penyuluhan-penyuluhan atau pemberian
pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarga tentang pelaksanaan
mobilisasi dini pada Ibu Nifas paska operasi, dan sebagai upaya
pendampingan tindakan mobilisasi dini.
2. Bagi Ibu Pasien Dan Keluarga
Hasi Penelitian ini dapat dijadikan bahan bacaan Ibu dan pengetahuan
Ibu Nifas dalam mengetahui pelaksanaan mobilisasi pada pasien Ibu
Nifas paska operasi.
3. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan yang dapat dijadikan
sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya.
9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Konsep Masa Nifas


1.1.1 Pengertian Masa Nifas
Masa nifas atau puerperium berasal dari bahasa latin yaitu dari
kata “puer” yang artinya bayi dan”parous” yang berarti melahirkan.
Definisi masa nifas adalah masa dimana tubuh ibu melakukan adaptasi
pasca persalinan, meliputi perubahan kondisi tubuh ibu hamil kembali ke
kondisi sebelum hamil. Masa ini dimulai setelah plasenta lahir, dan
sebagai penanda berakhirnya masa nifas adalah ketika alat-alat
kandungan sudah kembali seperti keadaan sebelum hamil. Sebagai acuan,
rentang masa nifas berdasarkan penanda tersebut adalah 6 Minggu atau
42 hari (Astuti, 2015).
Masa nifas atau masa puerperium adalah masa setelah persalinan
selesai sampai 6 minggu atau 42 hari. Selama masa nifas, organ
reproduksi secara perlahan akan mengalami perubahan seperti keadaan
sebelum hamil. Perubahan organ reproduksi ini disebut involus
(Maritalia, 2012).
Masa nifas adalah masa penyembuhan fisik dan psikologis yang
dimulai sesaat setelah keluarnya plasenta dan selaput janin serta berlanjut
hingga 6 minggu (Fraser, 2011).
Pelayanan pasca persalinan harus terselenggara pada masa itu
untuk memenuhi kebutuhan bayi dan ibu, yang meliputi upaya
pencegahan, deteksi dini, penyakit yang mungkin terjadi penyediaan
pelayanan pemberian ASI (Saifuddin, 2016).
Masa ini merupakan masa yang cukup penting bagi tenaga
kesehatan untuk selalu melakukan pemantauan karena pelaksanaan yang
kurang maksimal dapat menyebabkan ibu mengalami berbagai masalah,
10

bahkan dapat berlanjut pada komplikasi masa nifas. Adanya


permasalahan pada ibu akan berimbas juga kepada kesejahteraan bayi
yang dilahirkannya karena bayi tersebut tidak akan mendapatkan
perawatan maksimal dari ibunya. Dengan demikian, angka morbiditas
dan mortalitas bayi pun akan meningkat (Sulistyawati, 2015).

1.1.2 Tujuan Asuhan Masa Nifas


Menurut Sulistyawati (2015) asuhan yang diberikan pada ibu nifas
bertujuan untuk:
1) Meningkatkan kesejahteraan fisik dan psikologis bagi ibu dan bayi
Dengan di berikannya asuhan, ibu akan mendapatkan fasilitas
dan dukungan dalam upaya untuk menyesuikan peran barunya sebagai
ibu (pada kasus ibu dengan kelebihan anak pertama) dan
pendampingan keluarga dalam membuat bentuk dan pola baru dengan
kelebihan anak berikutnya. Jika ibu dapat melewati masa ini dengan
baik maka kesejahteraan fisik dan psikolgis bayi pun akan meningkat.
2) Pencegahan, diagnosa dini, dan pengobatan komplikasi pada ibu
Dengan diberikannya asuhan pada ibu nifas, kemungkinan munculnya
permasalahan dan komplikasi akan lebih cepat terdeteksi sehingga
penanganan dapat lebih maksimal.
3) Merujuk ibu ke asuhan tenaga ahli bilamana perlu
Meskipun ibu dan keluarga mengetahui ada permasalahan
kesehatan pada ibu nifas yang memerlukan rujukan, namun tidak
semua keputusan yang diambil tetap, misalkan mereka lebih memilih
untuk tidak datang ke fasilitas pelayanan kesehatan karena
pertimbangan tertentu. Jika bidan senantiasa mendampingi pasien dan
keluarga maka kepuasan tetap dapat di ambil sesuai dengan kondisi
pasien sehingga kejadian mortalitas dapat di cegah.
11

4) Mendukung dan memperkuat keyakinan ibu, serta memungkinkan ibu


untuk mampu melaksanakan perannya dalam situasi keluarga dan
budaya yang khusus.
5) Pada saat memberikan asuhan nifas, keterampilan seseorang bidan
sangat di tuntut dalam memberikan pandidikan kesehatan terhadap ibu
dan keluarga. Keterampilan yang harus di kuasai oleh bidan, antara
lain berupa materi pendidikan yang sesuai dengan kondisi pasien,
teknik penyampaian, media yang digunakan, dan pendekatan
psikologis yang efektif sesuai dengan budaya setempat.
6) Imunisasi ibu terhadap tetanus
Dengan pemberian asuhan yang maksimal pada ibu nifas,
kejadian tetanus dapat di hindari, meskipun untuk saat ini angka
kejadian tetanus sudah banyak mengalami penurunan.
7) Mendorong pelaksanaan metode yang sehat tentang pemberian makan
anak, serta peningkatan pengembangan hubungan yang baik antara ibu
dan anak.
Saat bidan memberikan asuhan pada masa nifas, material dan
pemantauan yang di berikan tidak hanya sebatas pada lingkup
permasalahan ibu, tapi besifat menyeluruh terhadap ibu dan anak.
Kesempatan untuk berkonsultasi tentang kesehatan, termasuk
kesehatan anak dan keluarga akan sangat terbuka. Bidan akan
mengkaji pengetahuan ibu dan keluarga mengenai upaya
pengembangan pola hubungan psikologis yang baik antara ibu, anak
dan kelurga juga dapat ditingkatkan melalui pelaksanaan asuhan ini.
1.1.3 Tahapan Masa Nifas
Tahapan masa nifas dibagi dalam tiga periode, yaitu:
1) Purperium dini, yaitu masa kepulihan ketika ibu telah
diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan.
12

2) Puerperium intermedial, yaitu masa pemulihan menyeluruh alat-


alat genetalia, yang lamanya sekitar 6-8 minggu.
3) Remote puerperium, yaitu masa yang diperlukan untuk pulih dan
sehat sempurna, terutama bila selama hamil atau waktu persalinan
mempunyai komplikasi. Waktu untuk sehat sempurna dapat
berlangsung selama berminggu-minggu, bulanan, bahkan tahunan
(Sulistyawati, 2015).
1.1.4 Kebijakan Program Nasional Masa Nifas
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Sulistyawati (2015),
kunjungan pada masa nifas paling sedikit 4 kali, kunjungan masa nifas
ini bertujuan untuk menilai keadaan ibu dan bayi baru lahir dan untuk
mencegah, mendeteksi dan menangani masalah-masalah yang terjadi.
Frekuensi kunjungan pada masa nifas adalah:
Tabel 2.1 Kunjungan Masa Nifas
Kunjungan Waktu Tujuan
1. 6-8 jam 1. Mencegah perdarahan masa nifas karena
setelah atonia uteri.
persalin 2. Melakukan deteksi dini dan merawat
an penyebab lain perdarahan dan rujuk bila
perdarahan berlanjut.
3. Memberikan konseling cara mencegah
perdarahan masa nifas karena atonia
uteri pada ibu atau salah satu anggota
keluarga ibu
4. Membantu ibu memberikan ASI awal
yaitu 1 jam setelah Inisiasi Menyusu
Dini (IMD) berhasil dilakukan.
13

5. Melakukan rawat gabung untuk


mendekatkan hubungan antara ibu dan
bayi baru lahir.
6. Menjaga bayi tetap sehat dengan cara
mencegah hipotermia.
7. Bidan harus tinggal dengan ibu dan
bayi baru lahir untuk 2 jam pertama
sesudah kelahiran atau sampai bayi dan
ibu dalam keadaan stabil.
2. 6 hari 1. Memastikan involusi uterus berjalan
persalin normal: uterus berkontraksi, fundus
an dibawah umbilikus, tidak ada
perdarahan abnormal, tidak ada bau.
2. Menilai adanya tanda-tanda infeksi
seperti demam atau perdarahan
abnormal.
3. Memastikan ibu mendapatkan nutrisi
yang baik seperti cukup makanan, cairan
dan istirahat.
4. Memastikan ibu menyusui dengan baik
dan tidak memperlihatkan tanda-tanda
penyulit pada bagian payudara ibu.
5. Memberikan konseling pada ibu tentang
asuhan pada bayi mengenai tali pusat,
menjaga bayi tetap hangat dan merawat
bayi sehari-hari
3. 2 1. Memastikan involusi uterus berjalan
minggu normal uterus berkontraksi, fundus
14

setelah dibawah umbilikus, tidak ada


persalin perdarahan abnormal, tidak ada bau.
an 2. Menilai adanya tanda-tanda infeksi
seperti demam atau perdarahan
abnormal.
3. Memastikan ibu mendapatkan nutrisi
yang baik seperti cukup makanan, cairan
dan istirahat.
4. Memastikan ibu menyusui dengan baik
dan tidak memperlihatkan tanda-tanda
penyulit.
5. Memberikan konseling pada ibu tentang
asuhan pada bayi mengenai tali pusat,
menjaga bayi tetap hangat dan merawat
bayi sehari-hari.

4. 6 1. Menanyakan pada ibu tentang penyulit


minggu yang ia atau bayi alami.
setelah 2. Memberikan konseling untuk
persalin menggunakan KB secara dini.
an
Sumber: (Sulistyawati, 2015)

2.1.5 Perubahan Fisiologi dan Psikologi Post Partum


a. Perubahan Fisiologis
Ibu dalam masa nifas mengalami perubahan fisiologis.
Setelah keluarnya plasenta, kadar sirkulasi hormon HCG (human
chorionic gonadotropin), human plasental lactogen, estrogen dan
progesteron menurun. Human plasental lactogen akan menghilang
15

dari peredaran darah ibu dalam 2 hari dan HCG dalam 2 mingu
setelah melahirkan. Kadar estrogen dan progesteron hampir sama
dengan kadar yang ditemukan pada fase follikuler dari siklus
menstruasi berturut-turut sekitar 3 dan 7 hari. Penarikan polipeptida
dan hormon steroid ini mengubah fungsi seluruh sistem sehingga
efek kehamilan berbalik dan wanita dianggap sedang tidak hamil
(Walyani, 2017)

Perubahan- perubahan fisiologis yang terjadi pada ibu masa


nifas menurut Maritalia (2012) dan Walyani (2017) yaitu:

a. Uterus
Uterus merupakan organ reproduksi interna yang
berongga dan berotot, berbentuk seperti buah alpukat yang
sedikit gepeng dan berukuran sebesar telur ayam. Panjang uterus
sekitar 7-8 cm, lebar sekitar 5-5,5 cm dan tebal sekitar 2, 5 cm.
Letak uterus secara fisiologis adalah anteversiofleksio. Uterus
terbagi dari 3 bagian yaitu fundus uteri, korpus uteri, dan serviks
uteri.
Menurut Walyani (2017) uterus berangsur- angsur
menjadi kecil (involusi) sehingga akhirnya kembali seperti
sebelum hamil:
1) Bayi lahir fundus uteri setinggi pusat dengan berat uterus
1000 gr.
2) Akhir kala III persalinan tinggi fundus uteri teraba 2 jari
bawah pusat dengan berat uterus 750 gr.
3) Satu minggu postpartum tinggi fundus uteri teraba
pertengahan pusat dengan simpisis, berat uterus 500 gr.
4) Dua minggu postpartum tinggi fundus uteri tidak teraba diatas
simpisis dengan berat uterus 350 gram
16

5) Enam minggu postpartum fundus uteri bertambah kecil


dengan berat uterus 50 gr.
Pemeriksaan uterus meliputi mencatat lokasi, ukuran dan
konsistensi antara lain:
a) Penentuan lokasi uterus
Dilakukan dengan mencatat apakah fundus
berada diatas atau dibawah umbilikus dan apakah fundus
berada digaris tengah abdomen/ bergeser ke salah satu
sisi.
b) Penentuan ukuran uterus
Dilakukan melalui palpasi dan mengukur TFU
pada puncak fundus dengan jumlah lebar jari dari
umbilikus atas atau bawah.
c) Penentuan konsistensi uterus
Ada 2 ciri konsistensi uterus yaitu uterus kerasa teraba
sekeras batu dan uterus lunak.
Gambar 2.1 Tinggi Fundus Uteri\

Sumber : Walyani, 2017


b. Serviks
Serviks merupakan bagian dasar dari uterus yang
bentuknya menyempit sehingga disebut juga sebagai leher
rahim. Serviks menghubungkan uterus dengan saluran vagina
17

dan sebagai jalan keluarnya janin dan uterus menuju saluran


vagina pada saat persalinan. Segera setelah persalinan, bentuk
serviks akan menganga seperti corong. Hal ini disebabkan oleh
korpus uteri yang berkontraksi sedangkan serviks tidak
berkontraksi. Warna serviks berubah menjadi merah kehitaman
karena mengandung banyak pembuluh darah dengan konsistensi
lunak.
Segera setelah janin dilahirkan, serviks masih dapat
dilewati oleh tangan pemeriksa. Setelah 2 jam persalinan serviks
hanya dapat dilewati oleh 2-3 jari dan setelah 1 minggu
persalinan hanya dapat dilewati oleh 1 jari, setelah 6 minggu
persalinan serviks menutup.
c. Vagina
Vagina merupakan saluran yang menghubungkan
rongga uterus dengan tubuh bagian luar. Dinding depan dan
belakang vagina berdekatan satu sama lain dengan ukuran
panjang ± 6, 5 cm dan ± 9 cm/
Selama proses persalinan vagina mengalami penekanan
serta pereganganan yang sangat besar, terutama pada saat
melahirkan bayi. Beberapa hari pertama sesudah proses
tersebut, vagina tetap berada dalam keadaan kendur. Setelah 3
minggu vagina kembali kepada keadaan tidak hamil dan rugae
dalam vagina secara berangsur- angsur akan muncul kembali.
Sesuai dengan fungsinya sebagai bagian lunak dan jalan
lahir dan merupakan saluran yang menghubungkan cavum uteri
dengan tubuh bagian luar, vagina juga berfungsi sebagai saluran
tempat dikeluarkannya sekret yang berasal dari cavum uteri
selama masa nifas yang disebut lochea.
18

Karakteristik lochea dalam masa nifas adalah sebagai berikut:


1) Lochea rubra/ kruenta
Timbul pada hari 1- 2 postpartum, terdiri dari darah
segar barcampur sisa- sisa selaput ketuban, sel- sel desidua,
sisa- sisa verniks kaseosa, lanugo dan mekoneum.
2) Lochea sanguinolenta
Timbul pada hari ke 3 sampai dengan hari ke 7
postpartum, karakteristik lochea sanguinolenta berupa darah
bercampur lendir.
3) Lochea serosa
Merupakan cairan berwarna agak kuning, timbul
setelah 1 minggu postpartum.
4) Lochea alba
Timbul setelah 2 minggu postpartum dan hanya
merupakan cairan putih (Walyani, 2017)
Normalnya lochea agak berbau amis, kecuali bila terjadi
infeksi pada jalan lahir, baunya akan berubah menjadi berbau
busuk.
d. Vulva
Sama halnya dengan vagina, vulva juga mengalami
penekanan serta peregangan yang sangat besar selama proses
melahirkan bayi. Beberapa hari pertama sesudah proses
melahirkan vulva tetap berada dalam keadaan kendur. Setelah 3
minggu vulva akan kembali kepada keadaan tidak hamil dan
labia menjadi lebih menonjol.
e. Payudara (mamae)
Setelah pelahiran plasenta, konsentrasi estrogen dan
progesteron menurun, prolactin dilepaskan dan sintesis ASI
dimulai. Suplai darah ke payudara meningkat dan menyebabkan
19

pembengkakan vascular sementara. Air susu sata diproduksi


disimpan di alveoli dan harus dikeluarkan dengan efektif dengan
cara dihisap oleh bayi untuk pengadaan dan keberlangsungan
laktasi.
ASI yang akan pertama muncul pada awal nifas ASI
adalah ASI yang berwarna kekuningan yang biasa dikenal
dengan sebutan kolostrum. Kolostrum telah terbentuk didalam
tubuh ibu pada usia kehamilan ± 12 minggu.
Perubahan payudara dapat meliputi:
1) Penurunan kadar progesteron secara tepat dengan
peningkatan hormon prolactin setelah persalinan.
2) Kolostrum sudah ada saat persalinan produksi ASI terjadi
pada hari ke 2 atau hari ke 3 setelah persalinan
3) Payudara menjadi besar dan keras sebagai tanda mulainya
proses laktasi (Walyani, 2017)
f. Tanda- tanda vital
Perubahan tanda- tanda vital menurut Maritalia (2012)
dan Walyani (2017) antara lain:
1) Suhu tubuh
Setelah proses persalinan suhu tubuh dapat meningkat
0,5⁰ celcius dari keadaan normal namun tidak lebih dari 38⁰
celcius. Setelah 12 jam persalinan suhu tubuh akan kembali
seperti keadaan semula.
2) Nadi
Setelah proses persalinan selesai frekuensi denyut
nadi dapat sedikit lebih lambat. Pada masa nifas biasanya
denyut nadi akan kembali normal.
20

3) Tekanan darah
Setelah partus, tekanan darah dapat sedikit lebih
rendah dibandingkan pada saat hamil karena terjadinya
perdarahan pada proses persalinan.
4) Pernafasan
Pada saat partus frekuensi pernapasan akan
meningkat karena kebutuhan oksigen yang tinggi untuk
tenaga ibu meneran/ mengejan dan memepertahankan agar
persediaan oksigen ke janin tetap terpenuhi. Setelah partus
frekuensi pernafasan akan kembali normal.
5) Sistem peredaran darah (Kardiovaskuler)
Denyut jantung, volume dan curah jantung
meningkat segera setelah melahirkan karena terhentinya
aliran darah ke plasenta yang mengakibatkan beban jantung
meningkat yang dapat diatasi dengan haemokonsentrasi
sampai volume darah kembali normal, dan pembuluh darah
kembali ke ukuran semula.
6) Sistem pencernaan
Pada ibu yang melahirkan dengan cara operasi
(section caesarea) biasanya membutuhkan waktu sekitar 1-
3 hari agar fungsi saluran cerna dan nafsu makan dapat
kembali normal. Ibu yang melahirkan secara spontan
biasanya lebih cepat lapar karena telah mengeluarkan energi
yang begitu banyak pada saat proses melahirkan. Buang air
besar biasanya mengalami perubahan pada 1- 3 hari
postpartum, hal ini disebabkan terjadinya penurunan tonus
otot selama proses persalinan. Selain itu, enema sebelum
melahirkan, kurang asupan nutrisi dan dehidrasi serta
dugaan ibu terhadap timbulnya rasa nyeri disekitar anus/
21

perineum setiap kali akan b.a.b juga mempengaruhi defekasi


secara spontan. Faktor- faktor tersebut sering menyebabkan
timbulnya konstipasi pada ibu nifas dalam minggu pertama.
Kebiasaan defekasi yang teratur perlu dilatih kembali
setelah tonus otot kembali normal.
7) Sistem perkemihan
Buang air kecil sering sulit selama 24 jam pertama.
Kemungkinan terdapat spasine sfingter dan edema leher
buli- buli sesudah bagian ini mengalami kompresi antara
kepala janin dan tulang pubis selama persalinan. Urine
dalam jumlah yang besar akan dihasilkan dalam waktu 12-
36 jam sesudah melahirkan. Setelah plasenta dilahirkan,
kadar hormon estrogen yang bersifat menahan air akan
mengalami penurunan yang mencolok. Keadaan ini
menyebabkan diuresis. Uterus yang berdilatasi akan
kembali normal dalam tempo 6 minggu.
8) Sistem integument
Perubahan kulit selama kehamilan berupa
hiperpigmentasi pada wajah, leher, mamae, dinding perut
dan beberapa lipatan sendri karena pengaruh hormon akan
menghilang selama masa nifas.
9) Sistem musculoskeletal
Ambulasi pada umumnya dimulai 4- 8 jam
postpartum. Ambulasi dini sangat membantu untuk
mencegah komplikasi dan mempercepat proses involusi.
b. Perubahan Psikologis
Adanya perasaan kehilangan sesuatu secara fisik sesudah
melahirkan akan menjurus pada suatu reaksi perasaan sedih.
Kemurungan dan kesedihan dapat semakin bertambah oleh karena
22

ketidaknyamanan secara fisik, rasa letih setelah proses persalinan,


stress, kecemasan, adanya ketegangan dalam keluarga, kurang istirahat
karena harus melayani keluarga dan tamu yang berkunjung untuk
melihat bayi atau sikap petugas yang tidak ramah (Maritalia, 2012).
Minggu- minggu pertama masa nifas merupakan masa rentan
bagi seorang ibu. Pada saat yang sama, ibu baru (primipara) mungkin
frustasi karena merasa tidak kompeten dalam merawat bayi dan tidak
mampu mengontrol situasi. Semua wanita akan mengalami perubahan
ini, namun penanganan atau mekanisme koping yang dilakukan dari
setiap wanita untuk mengatasinya pasti akan berbeda. Hal ini
dipengaruhi oleh pola asuh dalam keluarga dimana wanita tersebut
dibesarkan, lingkungan, adat istiadat setempat, suku, bangsa,
pendidikan serta pengalaman yang didapat (Maritalia, 2012).
Adaptasi psikologis ibu dalam masa nifas, Fase- fase yang akan
dialami oleh ibu pada masa nifas antara lain adalah sebagai berikut:
a) Fase Taking In atau tahap tergantungan
Terjadi pada hari 1-2 post partum, perhatian ibu terhadap
kebutuhan dirinya, pasif dan tergantung. Ibu tidak menginginkan
kontak dengan bayinya bukan berarti tidak memperhatikan. Dalam
fase ini yang diperlukan ibu adalah informasi tentang bayinya,
bukan cara merawat bayi.
b) Fase Taking Hold
Fase ini berlangsung sampai kira-kira 10 hari. Ibu berusaha
mandiri dan berinisiatif, perhatian terhadap dirinya mengatasi
tubuhnya, misalnya kelancaran miksi dan defikasi, melakukan
aktefitas duduk, jalan, belajar tentang perawatan diri dan bayinya,
timbul kurang percaya diri sehingga mudah mengatakan tidak
mampu melakukan perawatan. Pada saat ini sangat dibutuhkan
23

sistem pendukung terutama bagi bagi ibu muda atau primipara


karena pada phase ini seiring dengan terjadinya post partum blues.
c) Fase Letting Go atau saling ketergantungan
Dimulai sekarang minggu ke 5-6 pasca kelahiran.Tubuh ibu
telah sembuh, secara fisik ibu mampun menerima tanggung jawab
normal dan tidak lagi menerima peran sakit. Kegiatan seksualnya
telah dilakukan kembali.
2.2 Sectio Caesaria
2.2.1 Pengertian
Sectio caesarea adalah suatu pembedahan guna melahirkan anak
lewat insisi pada dinding abdomen dan uterus (Oxorn & William, 2010).
Menurut Sugeng (2015) Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan
janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan
perut,
Dari beberapa pengertian tentang Sectio caesarea diatas dapat
diambil kesimpulan bahwa Sectio caesarea adalah suatu tindakan
pembedahan yang tujuannya untuk mengeluarkan janin dengan cara
melakukan sayatan pada dinding abdomen dan dinding uterus.
2.2.2 Jenis-Jenis Sectio Caesarea
Menurut Rantaurapat (2015) jenis-jenis sectio caesarea yaitu :
a. Sectio caesarea klasik (corporal) dengan sayatan memanjang pada
korpus uteri kira-kira sepanjang 10cm.
b. Sectio caesarea ismika (profunda) dengan sayatan melintang konkaf
pada segmen bawah rahim kira-kira 10cm.
c. Sectio caesarea transperitonialis yang terdiri dari sectio ekstra
peritonelis, yaitu tanda membuka peritoneum parietalis dengan
demikian tidak membuka kavum abdominal. (Sugeng, 2012).
24

2.2.3 Etiologi
1) Etiologi yang berasal dari ibu
Yaitu pada primigravida dengan kelainan letak, primi para tua
disertai kelainan letak ada, disproporsi sefalo pelvik (disproporsi
janin/panggul), ada riwayat kehamilan dan persalinan buruk, plasenta
previa terutama pada primigravida, solutsio plasenta tingkat I-II,
komplikasi kehamilan yang disertai penyakit (jantung, DM) dan
gangguan perjalanan persalinan (kista ovarium, mioma uteri dsb.).
(Nurarif&Hardhi, 2015).
2) Etiologi yang berasal dari janin
Fetal distress atau gawat janin, mal presentasi dan mal posisi
kedudukan janin, prolapsus tali pusat dengan pembukaan kecil,
kegagalan persalinan vakum atau forceps ekstraksi.
(Nurarif&Hardhi, 2015).
2.2.4 Patofisiologi Sectio Caesarea
Sectio caesarea merupakan tindakan untuk melahirkan bayi
dengan berat diatas 500 gram dengan sayatan pada dinding uterus yang
masih utuh. Indikasi dilakukan tindakan ini yaitu distrosi kepala panggul,
disfungsi uterus, distrosia jaringan lunak, plasenta previa dan lain-lain
untuk ibu. Sedangkan untuk gawat janin yaitu janin besar dan letak
lintang. Setelah dilakukan sectio caesarea ibu akan mengalami adaptasi
post partum. (Rahmawati, 2012).
2.2.5 Resiko Kelahiran Sectio Caesarea
Menurut Rantauprapat (2015) resiko kelahiran dengan sectio caesarea
terdiri dari :
a. Resiko bagi ibu (untuk waktu pendek)
Mual muntah dan menggigil, merasa kehilangan emosi,
gangguan pada sistem pernafasan, kejang-kejang dan pusing.
b. Resiko bagi ibu (untuk waktu panjang)
25

Komplikasi sistem saraf, sakit pada bagian belakang tubuh


(bisa menahun), kehilangan kontrol untuk buang air kecil maupun air
besar, dan kehilangan sensasi pada bagian perineum (daerah antara
vagina dan anus) (Rahmawati. T, 2012).
3) Resiko bagi bayi
Kekuatan dan kemampuan gerak otot tubuhnya kurang baik
pada jam-jam pertama setelah dilahirkan dan demam karena
mengalami penurunan suhu tubuh.
2.3 Spinal Anestesi
2.3.1 Pengertian Spinal Anastesi
Menurut Mangku (2010), anestesi dan reanimasi adalah cabang ilmu
kedokteran yang mempelajari tatalaksana untuk mematikan rasa. Rasa
nyeri, rasa tidak nyaman pasien, dan rasa lain yang tidak diharapkan.
Anestesiologi adalah ilmu yang mempelajari tatalaksana untuk menjaga
atau mempertahankan hidup pasien selama mengalami “kematian” akibat
obat anestesia (Kusumawati, 2019).
Spinal Anestesi Spinal anestesi adalah prosedur pemberian obat
anestesi untuk menghilangkan rasa sakit pada pasien yang akan
menjalani pembedahan dengan menginjeksikan obat anastesi lokal ke
dalam cairan serebrospinal dalam ruang subarachnoid (Morgan, et al.
2013). Spinal anestesi dihasilkan bila obat analgesik lokal disuntikkan
ke dalam ruang subarachnoid di antara vertebra lumbal 2 dan lumbal 3,
lumbal 3 dan lumbal 4 atau lumbal 4 dan lumbal 5 (Latief dkk, 2009)
(Puspitasari, 2019). Menurut Chestnut et al, 2009, anestesi spinal
merupakan teknik yang sederhana dan dapat diandalkan, mempunyai
onset blokade simpatis yang cepat dan sempurna. Hanya dibutuhkan
sejumlah kecil obat anestesi lokal untuk menghasilkan blokade spinal
fungsional sehingga risiko mengalami toksisitas anestesi lokal sistemik
26

dapat diabaikan. Keunggulan teknik anestesi spinal menjadikannya


teknik anestesi yang paling umum dilakukan (Y. S. Putri et al., 2016).
2.3.2 Tujuan dan manfaat spinal anastesi
Tujuan anestesi spinal adalah dapat digunakan sebagai prosedur
pembedahan, persalinan, penanganan nyeri akut maupun kronik
(Sjamsuhuidayat & De Jong, 2012).
2.3.3 Indikasi dan kontra indikasi anastesi Spinal
Menurut Keat tahun 2013 indikasi pemberian spinal anestesi
yaitu sebagai prosedur bedah dibawah umbilicus.
Kontraindikasi pemberian anestesi spinal menurut Oyston (2013) adalah
tidak diperkenankan diberikan pada pasien yang mengalami syok
hipovolemik, gangguan fungsi hepar, peningkatan tekanan intracranial,
alergi obat lokal anestesi, sepsis, dan gangguan koagulasi
2.3.4 Fase Anestesi Menurut Mangku & Senapathi (2012)
ada 3 fase anestesi, meliputi:
a. Fase pre anestesi
Pada tahap pre anestesi, seorang perawat akan menyiapkan
hal-hal yang dibutukan selama operasi. Contoh: pre 13 visit pasien
yang akan melakukan operasi, persiapan pasien, pasien mencukur
area yang akan dilakukan operasi, persiapan catatan rekam medik,
persiapan obat premedikasi yang harus diberikan kepada pasien. 2.
Fase intra anestesi Pada fase intra anestesi, seorang perawat anestesi
akan melakukan monitoring keadaan pasien. Perawat yang menjalani
operasi.
b. Fase pasca anestesi Pada tahap ini, perawat anestesi membantu
pasien dalam menangani respon-respon yang muncul setelah
tindakan anestesi. Respon tersebut berupa nyeri, mual muntah,
pusing, hipotensi, hipotermi bahkan sampai menggigil (Mubarokah,
2017).
27

2.4 Mobilisasi Dini


2.4.1 Definisi
Mobilisasi dini adalah suatu pergerakan dan posisi yang akan
melakukan aktifitas atau kegiatan. Mobilisasi merupakan kemampuan
seseorang untuk bergerak dengan bebas dan merupakan faktor yang
menonjol dalam mempercepat pemulihan pasca bedah, mobilisasi dini
merupakan suatu aspek yang terpenting pada fungsi fisiologis karena hal
ini esensial untuk mempertahankan kemandirian. Dengan demikian
mobilisasi dini adalah suatu upaya mempertahankan kemandirian sedini
mungkin dengan cara membimbing penderita untuk mempertahankan
fungsi fisiologi. Bahwa mobilisasi dini adalah kebijaksanaan untuk
selekas mungkin membimbing penderita keluar dari tempat tidurnya dan
membimbing selekas mungkin berjalan (Wirnata, 2019).
Mobilisasi dini post sectio caesarea adalah suatu
pergerakan,posisi atau adanya kegiatan yang dilakukan ibu setelah
beberapa jam melahirkan dengan persalinan caesarea. Untuk mencegah
komplikasi post operasi sectio caesarea ibu harus segera dilakukan
mobilisasi sesuai dengan tahapannya. Oleh karena setelah mengalami
secsio saesarea, seorang ibu disarankan tidak malas untuk bergerak pasca
operasi secsio sesarea, ibu harus mobilisasi cepat. Semakin cepat
bergerak itu semakin baik, namun mobilisasi dini harus tetap dilakukan
secara hati-hati. (Wirnata, 2019).
Mobilisasi dini dapat dilakukan pada kondisi pasien yang
membaik. Pada pasien post operasi secsio caesarea 6 jam pertama
dianjurkan untuk segara menggerakkan anggota tubuhnya. Gerak tubuh
yang bisa dilakukan adalah menggerakkan lengan, tangan, kaki dan jari-
jarinya agar kerja organ pencernaan segara kembali normal. (Kasdu,
2015).
28

Mobilisasi ibu nifas adalah menggerakkan tubuh dari satu tempat ke


tempat lain yang harus dilakukan secara bertahap dan langsung setelah
melahirkan. Mobilisasi sedini mungkin sangat dianjurkan, bidan harus
menjelaskan kepada ibu tentang tujuan dan manfaat mobilisasi (Bahiyatun,
2009).
2.4.2 Tujuan Mobilisasi
Menurut Fitriyahsari (2019) tujuan dari mobilisasi adalah untuk
Mempertahankan fungsi tubuh, memperlancar peredaran darah,
membantu pernafasan menjadi lebih baik, Memperlancar eliminasi urin,
mengembalikan aktifimas tertentu, sehingga pasien dapat kembali normal
dan dapat memenuhi. Kebutuhan gerak harian., memberikan kesempatan
perawat dan pasien berinteraksi atau komunikasi.
Menurut Vivian, (2011) Perawatan mobilisasi dini mempunyai
keuntungan, Menglancarkan pengeluaran lokhea, mengurangi infeksi
puerperium, mempercepat involusi uteri, melancarkan fungsi alat
grastrointestinal dan alat kelamin, meningkatkan kelancaran perdaran
darah sehingga mempercepat fungsi ASI dan pengeluaran sisa
metabolisme, kesempatan yang baik untuk mengajar ibu
memelihara/merawat anaknya.
2.4.3 Manfaat Mobilisasi
Menurut Potter & Perry (2012), ada beberapa manfaat yang dapat
diperoleh dari dilakukannya mobilisasi dini pada klien, yaitu:
c. Sistem respiratori

Meningkatkan frekuensi dan kedalaman pernapasan diikuti


oleh laju istirahat kembali lebih cepat juga dapat meningkatkan
ventilasi alveolar (normal 5-6 L/mnt), menurunkan kerja pernapasan,
meningkatkan pengembangan diafragma jika mengubah posisi
pasien 2 jam sekali.
29

d. Sistem kardiovaskuler
Meningkatkan curah jantung, memperbaiki kontraksi
miokardial, menguatkan otot jantung dan menyuplai darah ke jantung
dan otot yang sebelumnya terjadi pengumpulan darah pada bagian
ekstermitas, menurunkan tekanan darah istirahat, serta memperbaiki
aliran balik vena. Jumlah darah yang dipompa oleh jantung (cardiac
output) normal nya adalah 5 L/mnt, dengan melakukan mobilisasi
meningkat sampai 30 L/mnt.
e. Sistem metabolik
Meningkatkan laju metabolisme basal dimana apabila pasien
melakukan aktivitas berat maka kecepatan metabolisme dapat
meningkat hingga 20 kali dari kecepatan normal, meningkatkan
penggunaan glukosa dan asam lemak, meningkatkan pemecahan
trigliserida, meningkatkan motilitas lambung, serta meningkatkan
produksi panas tubuh.
d. Menurunkan insiden komplikasi
Mencegah hipotensi/ tekanan darah rendah, otot mengecil,
hilangnya kekuatan otot, konstipasi, meningkatkan kesegaran tubuh,
dan mengurangi tekanan pada kulit yang dapat mengakibatkan kulit
menjadi merah atau bahkan lecet.
e. Sistem musculoskeletal
Memperbaiki tonus otot, meningkatkan mobilisasi sendi,
memperbaiki toleransi otot untuk latihan, mengurangi kehilangan
tulang, meningkatkan toleransi aktivitas dan mengurangi kelemahan
pada pasien.
2.4.4 Tahap-tahap Mobilisasi
Menurut teori Clark Et Al tentang tahapan mobilisasi dini yang
peneliti kutip dari R. Nursaid (2019). R. Pelaksanaan mobilisasi dini pada
ibu post partum Secsio Caesarea terdiri dari:
30

1) Hari ke 1
1) Berbaring miring kekanan dan kekiri yang dapat dimulai sejak 6-
10 jam setelah ibu sadar.
2) Latihan pernafasan dapat dilakukan ibu sambil tidur terlentang
sedini mungkin setelah sadar.
2) Hari ke 2
1) Ibu dapat duduk 5 menit dan minta untuk bernafas dalam– dalam
lalu menghembuskannya disertai batuk-batuk kecil yang
gunanya untuk melonggarkan pernafasan dan sekaligus
menumbuhkan kepercayaan pada diri ibu bahwa ia mulai pulih.
2) Kemudian posisi tidur terlentang dirubah menjadi setengah
duduk.
3) Selanjunya secara berturut-turut, hari demi hari ibu yang sudah
melahirkan dianjurkan belajar duduk selama sehari.
3) Hari ke 3 sampai ke 5
1) Belajar berjalan kemudian berjalan sendiri pada hari setelah
operasi.
2) Mobolisasi secara teratur dan bertahap serta diikuti dengan
istirahat dapat membantu penyembuhan luka.
Sedangkan menurut (Handiani, 2019) prosedur pelaksanaan mobilisasi
terdiri dari :
a. Hari 1 – 4
1) Membentuk lingkaran dan meregangkan telapak tangan
Ibu berbaring di tempat tidur, kemudian bentuk gerak
lingkaran dengan telapak tangan kaki satu demi satu. Gerakan ini
seperti sedang menggambar sebuah lingkaran dengan ibu jari kaki
ke satu arah, lalu kearah lainnya. Kemudian regangkan masing-
masing telapak kaki dengan cara menarik jari- jari kaki ibu ke arah
betis, lalu balikkan ujung telapak kaki kearah sebaliknya sehingga
31

ibu merasakan otot betisnya berkontraksi. Lakukan gerakan ini


dua atau tiga kali sehari.
2) Bernafas dalam-dalam
Berbaring dan tekukkan kaki sedikit. Tempatkan kedua
tangan ibu di bagian dada atas dan tarik nafas. Arahkan nafas ke
arah tangan ibu, lalu tekanlah dada saat ibu menghembus nafas.
Kemudian tarik nafas sedikit lebih dalam. Tempatkan kedua
tangan diatas tulang rusuk, sehingga ibu dapat merasakan paru-
paru mengembang, lalu hembuskan nafas seperti sebelumnya.
Cobalah untuk bernafas lebih dalam sehingga mencapai perut. hal
ini akan merangsang jaringan-jaringan disekitar bekas luka.
Sanggah insisi ibu dengan cara menempatkan kedua tangan secara
lembut diatas daerah tersebut. Kemudian, tarik dan hembuskan
nafas yang lebih dalam lagi beberapa kali. Ulangi sebanyak tiga
atau empat kali (Handiani, 2019).
3) Duduk tegak
Tekuk lutut dan miring kesampin, putar kepala ibu dan
gunakan tangan- tangan ibu untuk membantu dirinya ke posisi
duduk. Saat melakukan gerakan yang pertama, luka akan tertarik
dan terasa sangat tidak nyaman, namun teruslah berusaha dengan
bantuan lengan samapai ibu berhasil duduk. Pertahankan posisi itu
selama beberapa saat. Kemudian, mulailah memindahkan berat
tubuh ke tangan, sehingga ibu dapat menggoyangkan pinggul
kearah belakang. Duduk setegak mungkin dan tarik nafas dalam-
dalam beberapa kali. Luruskan tulang punggung dengan cara
mengangkat tulang-tulang rusuk. Gunakan tangan ibu untuk
menyangga insisi. Cobalah batuk 2 atau 3 kali (Handiani, 2019).
32

4) Bangkit dari tempat tidur


Gerakkan tubuh ke posisi duduk. Kemudian gerakkan
kaki pelan-pelan kesisi tempat tidur. Gunakan tangan ibu untuk
mendorong kedepan dan perlahan turunkan telapak kaki ke
lantai. Tekanlah sebuah bantal dengan ketat diatas bekas luka
ibu untuk menyangga. Kemudian cobalah bagian atas tubuh ibu.
Cobalah meluruskan seluruh tubuh lalu luruskan kaki-kaki ibu
(Aliahani, 2019).
5) Berjalan
Dengan bantal tetap tertekan diatas bekas luka,
berjalanlah kedepan. Saat berjalan usahakan kepala tetap tegak,
bernafas lewat mulut. Teruslah berjalan selama beberapa menit
sebelum kembali ke tempat tidur (Handiyani, 2019).
6) Berdiri dan meraih
Duduklah dibagian tepi tempat tidur, angkat tubuh
hingga berdiri. Pertimbangkanlah untuk mengontraksikan otot-
otot punggung agar dada mengembang dan merenggang,
cobalah untuk mengangkat tubuh, mulai dari pinggang perlahan-
lahan, melawan dorongan alamiah untuk membungkuk,
lemaskan tubuh kedepan selama satu menit (Handiani, 2019).
7) Menarik perut
Berbaringlah ditempat tidur dan kontraksikan otot-otot
dasar pelvis, dan cobalah untuk menarik perut. Perlahan- lahan
letakkan kedua tangan diatas bekas luka dan berkontraksilah
untuk menarik perut menjauhi tangan ibu, lakukan 5 kali tarikan
dan lakukan 2 kali sehari.Saat menyusui tarik perut sembari
menyusui. Kontraksikan otot-otot perut selama beberapa detik
lalu lemaskan.lakukan 5 sampai 10 kali setiap kali ibu menyusui
(Alihani, 2019).
33

b. Hari 4 – 7
1) Menekuk pelvis

Kontraksikan abdomen dan tekan punggung bagian


bawah ketempat tidur. Jika dilakukan dengan benar pelvis
akan menekuk. Lakukan 4 hingga 8 tekukkan selama 2
detik.

b) Meluncurkan kaki

Berbaring dengan lutut ditekuk dan bernafaslah


secara normal. Lalu luncurkan kaki diatas tempat tidur,
menjauhi tubuh. Seraya mendorong tumit, ulurkan kaki,
sehingga ibu akan merasakan sedikit denyutan disekitar
insisi. Lakukan 4 kali dorongan untuk satu kaki.
c) Sentakan pinggul
Berbaringlah di atas tempat tidur, tekukkan kaki
keatas dan rentangkan kaki yang satu lagi. Lakukan gerakan
menunjuk ke arah jari-jari kaki. Dorong pinggul pada sisi
yang sama dengan kaki yang tertekuk ke arah bahu,lalu
lemaskan. Dorong kaki menjauhi kaki menjauhi tubuh
dengan lurus. Lakuakn 6 hingga 8 pengulangan untuk
masing-masing tubuh.
d) Menggulingkan lutut
Berbaring ditempat tidur, kemudian letakkan tangan
disamping tubuh untuk menjaga keseimbangan. Perlahan-
lahan gerakkan kedua lutut ke satu sisi. Gerakkan lutut
hingga bisa merasakan tubuh ikut berputar. Lakukan 3 kali
ayunan lutut kemasing-masing sisi. Akhiri dengan
meluruskan kaki.
34

e) Posisi jembatan
Berbaringlah diats tempat tidur dengan kedua lutut
tertekuk. Bentangkan kedua tangan ke bagian samping
untuk keseimbangan. Tekan telapak kaki kebawah dan
perlahan-lahan angkat pinggul dari tempat tidur. Rasakan
tulang tungging terangkat. Lakukan gerakan ini lima kali
sehari.
f) Posisi merangkak
Perlahan-lahan angkat tubuh dengan bertopang
kedua tangan dan kaki diatas tempt tidur. Saat ibu
mempertahankan posisi merangkak tanpa merasa tidak
nyaman sedikitpun ibu dapat menambah beberpa gerakan
dalam rangkaian ini. Tekan tangan dan kaki di tempat tidur
dan cobalah untuk melakukan gerakan yang sama dengan
sentakan pinggul, sehingga pinggul terdorong kearah bahu.
Jika melakukan gerakan ini dengan benar, ibu akan merasa
seolah-olah menggoyang-goyangkan ekor. Lakukan
gerakan ini 5 kali sehari.
2.5 Pengetahuan
2.5.1 Pengertian Pengetahuan
Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa
inggris yaitu knowledge. Dalam Ensyclopedia of philosophy dijelaskan
bahwa definisi penetahuan adalah kepercayaan yang benar “ knowledge is
justified true belief”.
Pengetahuan merupakan hasil penginderaan manusia atau
seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung,
telinga, rasa dan raba). Pengetahuan merupakan hal yang sangat penting
untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2010).
35

Pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh faktor pendidikan


formal. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana
diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut
akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan,
bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah mutlak
berpengetahuan rendah pula. Hal ini mengingat bahwa peningkatan
pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan formal saja, akan
tetapi dapat diperoleh melalui oendidikan non formal. Pengetahuan tentang
suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek positf dan aspek negatif.
Kedua aspek ini yang akan enentukan sikap seseorang, semakin banyak
aspek positif dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap
makin positif terhadap objek tertentu.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut disimpulkan
bahwa pengetahuan merupakan fakta atau informasi yang kita anggap
benar dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap
suatu objek tertentu melalui panca indra manusia.
2.5.2 Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2010) tingkat pengetahuan dapat di
klasifikasikan sebagai berikut:
1. Tahu (Know)
Diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat
ini adalah mengingat kembali sesuatu yang spesifik dari seluruh
bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
2. Memahami (Comprehension)
Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menyelesaikan secara benar tentang objek yang diketahui, dan
dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
36

3. Aplikasi (Aplication)
Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real
(sebenarnya).
4. Analisis (Analysis)
Suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam
struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (Synthesis)
Suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi-formulasi yang ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk
melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau
objek. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan
wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang
ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman
pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita
sesuaikan dengan tingkat-tingkatan di atas.
2.4.5 Faktor- faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan yaitu:
a. Usia
Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola
pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin
berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga
pengetahuan yang diperoleh semakin membaik.
b. Pendidikan
37

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan


kepribadian dan kemampuan di dalam dan diluar sekolah dan
berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses
belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang
tersebut untuk menerima informasi. Pengetahuan sangat erat
kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang
dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas
pula pengetahuannya. Namun perlu di tekankan bahwa seorang
yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengaruh
rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di
pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada
pendidikan non formal.
c. Pekerjaan
Pengetahuan responden yang bekerja lebih baik bila
dibandingkan dengan pengetahuan ibu yang tidak bekerja. Semua
ini disebabkan karena keluarga yang bekerja di luar rumah (sektor
formal) memiliki akses yang lebih baik terhadap berbagai
informasi
d. Sosial Ekonomi
Tingkat sosial ekonomi terlalu rendah sehingga tidak
begitu memperhatikan pesan-pesan yang disampaikan karena
lebih memikirkan kebutuhan- kebutuhan lain yang lebih
mendesak (Efendi Nasrul, 1998).
e. Informasi
Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal
maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek
(immediate impact) sehingga menghasilkan perubahan atau
peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi akan tersedia
bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi
38

pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Sehingga sarana


komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio,
surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar
terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam
penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa
membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat
mengarahkan opini seseorang.
2.4.6 Kriteria tingkat pengetahuan
Menurut Arikunto 2016 kriteria pengetahuan dibagi Dalam 3
tingkatan dengan acuan sebagai berikut:
F
P = ----- x 100 %
N
Keterangan :
P : Persentase
f : Jumlah skor jawaban yang benar
N : Jumlah skor maksimal jika semua jawaban benar.
Kemudian dibagi menjadi 3 kategori
1) Pengetahuan Baik : 76 % - 100 %
2) Pengetahuan Cukup : 56 % - 75 %
3) Pengetahuan Kurang : < 56 % (Arikunto S., 2016)
39

2.5 Kerangka Teori

Faktor Predisposisi
1. Pengetahuan
2. sikap
3. kepercayaan
4. Kepercayaan
5. nilai nilai

Faktor Pemungkin
Mobilisasi Dini Post SC
1. Lingkungan fisik
2. Fasilitas
3. Sumber Informasi
4. Ketersediaan pelayanan
kesehatan
5. Keterjangkauan
fasilitas kesehatan

Faktor Penguat
1. Dukungan Tokoh
masyarakat
2. Dukungan Petugas
Kesehatan
3. Dukungan Keluarga
4. Peraturan UU

Sumber : Teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo. 2012, Kasdu 2015, Gesiler
2015.
40

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik yang menggunakan
pendekatan Cross Sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari
dinamika korelasi antar faktor-fakor risiko dengan efek, dengan cara
pendekatan, obeservasi atau pengumpulan data yang didapatkan dilakukan
sekaligus pada suatu saat (point time approach).

Hal ini dilakukan dengan pendekatan Cross Sectional yang bertujuan


untuk menganalisis menjadi lebih cepat, praktis dan efisien serta data yang
telah ada dapat dimanfaatkan walaupun terdapat beberapa kelemahan karena
pengamatan sebab dan akibat dilakukan pada saat bersamaan, tanpa urutan
waktu yang lazim, yaitu sebab mendahului akibat (Notoatmodjo, 2018).

Dalam penelitian ini akan mengkaji Hubungan pengetahuan Ibu Nifas


Terhadap Mobilisasi Dini Pada Pasien Post SC Di Ruang Nifas RSUD
Sekarwangi Kabupaten Sukabumi Tahun 2022.

3.2 Kerangka Penelitian


Kerangka penelitian merupakan formula atau simplikasi dari
kerangka teori atau teori-teori yang mendukung penelitian. Oleh sebab itu,
kerangka teori terdiri dari beberapa variabel serta hubungan variabel yang
satu dengan yang lain (Notoatmodjo, 2018).
Variabel Independen Variabel Dependent

Pengetahuan Ibu Mobilisasi Dini Post


Nifas OP SC
41

3.3 Variabel Penelitian


3.3.1 Variabel Independen (Variabel Bebas)
Merupakan variabel yang apabila ia berubah akan mengakibatkan
perubahan pada variable lain (Variabel Dependen) (Notoatmodjo, 2018).
Variabel independen penelitian ini adalah pengetahuan Ibu Nifas.
3.3.2 Variabel Dependen (Variabel Terikat)
Merupakan variable yang dipengaruhi atau menjadi akibat, karena
adanya variable bebas (Sugiono, 2016). Variabel dependen penelitian ini
adalah Mobilisasi Dini Post SC.
3.4 Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional merupakan batasan varibL yang dimaksud, atau
tentang apa yang diukur oleh variable yang bersangkutan, bertujuan ungtuk
mengarahkan pada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel-variabel
yang bersangkutan serta pengembangan instrument (alat ukur) (Notoatmodjo,
2018).
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi operasinal Alat Hasi ukur Skala
ukur
1. Pengeta Pengetahuan Ibu Nifa Kuesio Skor penilaian ordinal
huan Pasien Post Operasi ner 1 = Benar
Ibu Tentang Mobilisasi Dini 0=Salah
Nifas 1. Pengetahuan
Baik: 76 % -
100 %
2. Pengetahuan
Cukup : 56 % -
75 %
42

3. Pengetahuan
Kurang: < 56
% Arikunto s.
(2016)
2. Mobilisa Mobilisasi dini adalah Kuesio Skor Penilaian: ordinal
si dini suatu pergerakan dan ner 1 = Ya,
Post SC posisi yang akan 0 = Tidak
melakukan aktifitas atau 1. Hasil Baik
kegiatan post Sectio dilaksanakan:
caesaria. (Wirnata, > 75 %
2019) 2. Cukup
dilaksanakan:
60 - 75 %
3. Kurang
dilaksanakan:
< 60 %
Arikunto s.
(2016)

3.5 Populasi dan Sampel


3.5.1 Populasi
Populasi penelitian adalah keseluruhan objek yang diteliti
(Notoatmodjo, 2018). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Ibu
Nifas 6 jam yang melahirkan secara Sectio Caesarea di RSUD
Sekarwangi Kabupaten Sukabumi tahun 2022. Periode Januari – Juni
sebanyak 543 orang.
43

3.5.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki


oleh populasi. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin
mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena
keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan
sampel yang di ambil dari populasi itu. Apa yang di pelajari dari sampel,
kesimpulannya akan dapat diberlakukan untuk populasi. Sampel adalah
sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Untuk itu sampel yang di ambil
dari populasi harus betul-betul representatif (mewakili) (Sugiyono. 2019)
Adapun pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan
rumus Slovin yaitu sebagai berikut:
Keterangan :
N n = Besar sampel
n
1  N (d 2 ) N = Jumlah populasi
d = Tingkat ketepatan yang dinginkan, biasanya 0,1
Jumlah populasi Ibu Nifas Periode Januari-Juni 543 orang. Maka
sampel yang diambil (n) adalah:
543
𝑛=
1 + 543(0, 12 )
543
𝑛=
1 + 543(0,01)
543
𝑛=
1 + 5,43
543
𝑛= = 42,5
6,43
n = 84,4 dibulatkan jadi 84 responden
Jadi dari 543 Ibu Nifas post SC, yang diambil menjadi sampel
sebanyak 84 orang Oleh karena itu, merujuk pada pernyataan diatas, maka
yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah 84 responden. Teknik
44

pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan Accidental Sampling,


yaitu teknik pengambilan sampel yang menggunakan subjek penelitian yang
kebetulan ada pada saat dilakukan penelitian.
Dengan kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut:
1) Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi merupakan syarat untuk penentuan responden yang
masuk kedalam sampel Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu:
a) Ibu Nifas Post SC dengan Anastesi Spinal
b) Pasien post operasi yang bersedia menjadi responden
c) Pasien dalam keadaan sadar (Compos mentis)
2) Kriteria Eksklusi
a) Pasien tidak kooperatif
b) Menolak untuk menjadi responden
3.6 Teknik Pengumpulan Data dan Prosedur Penelitian
3.6.1 Teknik Pengumpulan Data
1) Data Primer
Data yang diperoleh secara langsung dari responden dengan cara
memberikan kuesioner yang berisi pertanyaan yang akan dijawab oleh
responden. Data primer dalam penelitian ini adalah data yang didapat
langsung dari responden dengan cara wawancara dengan menggunakan
kuesioner.
1) Kuisioner Pengetahuan
Instrumen ini untuk mengukur tingkat pengetahuan pasien dengan
menggunakan kuisioner yang terdiri dari 10 pertanyaan dengan
setiap jawaban yang benar dinilai 1 dan jawaban yang salah diberikan
nilai 0. Kuisioner ini mengutip kuisioner penelitian Clara Grace
Y.A.S. (2012). Selanjutnya presentase dari jawaban
45

diinterprestasikan dalam kalimat kualitatif dengan acuan sebagai


berikut:
F
P = ----- x 100 %
N
Keterangan :
P : Persentase
f : Jumlah skor jawaban yang benar
N : Jumlah skor maksimal jika semua jawaban benar.
Kemudian dibagi menjadi 3 kategori
1) Pengetahuan Baik : 76 % - 100 %
2) Pengetahuan Cukup : 56 % - 75 %
3) Pengetahuan Kurang : < 56 % (Arikunto S., 2016)
2) Kuisioner Perilaku Mobilisasi Dini
Instrumen yang digunakan dalam penilaian ini adalah soal
pertanyaan yang diisi oleh responden yang terdiri dari 4 item
yang diisi selama 4 hari sejak hari pertama operasi sesuai tahapan
dalam lembar tersebut. Adapun penilaian ini berdasarkan tahapan
mobilisisasi yang sudah dijelaskan berdasarkan teori Clark Et Al
tentang tahapan mobilisasi dini yang peneliti kutip dari R. Nursaid
(2019). Pilihan jawaban untuk kuisioner ini terdiri dari 2 pilihan
yaitu ya atau tidak. Setiap pilihan ya di berikan nilai 1 dan
setiappilihan tidak diberi nilai 0. Kemudian skor penilaian sebagai
berikut:
f
P = ----- x 100 %
N
Keterangan :
P : Persentase
46

f : Jumlah skor jawaban yang ya


N : Jumlah skor maksimal jika semua jawaban ya
Kemudian dibagi menjadi 3 kategori
1) Baik dilaksanakan : > 75 %
2) Cukup dilaksanakan : 60 - 75 %
3) Kurang dilaksanakan : < 60 % (Arikunto S., 2016)
2) Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang didapatkan dari pihak lain baik
perorangan maupun lembaga tertentu yang sudah diolah. Data sekunder
pada penelitian ini meliputi data-data yang didapatkan dari buku
Register Rumah Sakit dan Register Ruang Nifas.
3.6.2 Prosedur Penelitian
Langkah-langkah yang akan ditempuh oleh penulis dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Pengumpulan data, peneliti memberikan informasi mengenai tujuan dan
bagaimana proses berlangsungnya dilakukan penelitian.
2. Setelah responden memahami maksud, tujuan dan proses penelitian,
maka responden diminta menandatangani surat persetujuan (informed
consent) serta bersedia menjadi responden selama penelitian dimulai
sampai dengan berakhirnya penelitian.
3. Data yang dikumpulkan adalah, data primer yang diperoleh langsung
dari subjek penelitian berupa kuesioner, dan data sekunder yang didapat
dari laporan.
3.7 Pengolahan dan Analisis Data
3.7.1 Pengolahan Data
Menurut Notoatmodjo, 2012 proses pengolahan data dapat melalui
tahap-tahap sebagai berikut:
1. Editing, yaitu peneliti melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan
dan kejelasan data yang diperoleh dengan kebutuhan penelitian, hal ini
47

dilakukan di lapangan sehinga apabila terdapat kesalahan ataupun


meragukan maka akan diperbaiki kembali.
2. Coding, yaitu kegiatan memberi kode terhadap data yang diperoleh dan
sumber data yang telah diperiksa kelengkapannya.
Adapun pemberian scoring dan coding pada penelitian ini sabagai
berikut:
1) Variabel pengetahuan:
 Benar : 1
 Salah : 0
 Pengetahuan baik : 3
 Pengetahuan cukup : 2
 Pengetahuan kurang : 1
2) Variabel perilaku mobilisasi dini
 Ya : 1
 Tidak : 0
 Baik dilaksanakan : 3
 Cukup dilaksanakan : 2
 Kurang dilaksanakan : 1
3. Entry, yaitu data yang sudah diberi kode dimasukan ke dalam komputer.
4. Cleaning, yaitu kegiatan pengecekan kembali data yang dimasukan
dilakukan bila terdapat kesalahan dalam memasukan data yaitu dengan
melihat distribusi frekuensi dari variabel – variabel yang diteliti
3.7.2 Analisis Data
3.7.1 Analisis Univariat
Yaitu analisa yang dilakukan terhadap variabel dan hasil
penelitian dalam analisa ini hanya menggunakan distribusi dan
persentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2010). Analisa univariat
48

dalam penelitian ini adalah persentase dari setiap variabel yang diukur
dengan menggunakan rumus:

𝑎
Pr = 𝑥 100%
𝑏
Keterangan:
Pr = Persentase
a = Jumlah responden kategori tertentu
b = Jumlah seluruh responden

3.7.2 Analisis Bivariat


Analisis Bivariat adalah analisa yang dilakukan terhadap dua variabel
yang diduga berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2010).
Untuk mengetahui pengaruh antara dua variabel apakah signifikan
atau tidak signifikan yaitu dengan menggunakan uji korelasional SPSS
dengan Software SPSS 21 (AA. Anwar Prabu Mangkunegara. 2013)
dalam uji normalitas data yang didapat, peneliti melakukan uji
normalitas dengan menggunakan uji saphiro wilk sehingga didapatkan
nilai p = 0,000 artinya data tidak terdistribusi normal. Kemudian
peneliti menggunakan uji korelasi Sperman Rank digunakan mencari
hubungan atau untuk menguji signifikansi hipotesis asosiatif bila
masing-masing variabel yang dihubungkan berbentuk ordinal, dan
sumber data antar variabel tidak harus sama.
3.8 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.8.1 Lokasi Penelitian
Tempat penelitian adalah di RSUD Sekarwangi Kabupaten
Sukabumi.
49

3.8.2 Waktu Penelitian


Waktu yang digunakan pada penelitian ini dimulai pada bulan
Oktober 2022.

Anda mungkin juga menyukai