Resume Hapusnya Perikatan
Resume Hapusnya Perikatan
Resume Hapusnya Perikatan
HAPUSNYA PERIKATAN
A. Hapusnya Perikatan
Rumusan Pasal 1381 KUH Perdata mengatur sepuluh (10) cara hapusnya/berakhirnya
perikatan, yaitu: 1) karena pembayaran, 2) karena penawaran pembayaran tunai diikuti
dengan penyimpanan atau penitipan, 3) karena pembaharuan utang, 4) karena perjumpaan
utang atau kompensasi, 5) karena percampuran utang, 6) karena pembebasan utang, 7)
karena musnahnya barang yang terutang, 8) karena kebatalan atau pembatalan, 9) karena
berlakunya suatu syarat batal dan 10) karena lewat waktu, sebagaimana yang diatur
dalam buku keempat KUH Perdata. Kesepuluh sebab hapusnya perikatan tersebut secara
umum dapat dikelompokkan kepada lima (5) hal. Sebagai berikut :
1. Pemenuhan Perikatan
a. Pembayaran
Pemenuhan perikatan dengan dilakukannya pembayaran diatur dalam Pasal 1382
KUH Perdata. Yang dimaksudkan dengan pembayaran oleh hukum perikatan
adalah setiap tindakan pemenuhan prestasi, walau bagaimanapun bentuk dan sifat
dari prestasi tersebut. Dengan terjadinya pembayaran ini maka terlaksanalah
perjanjian di antara kedua belah pihak. Ketentuan Pasal 1382 KUH Perdata
menyatakan, ”Tiap perikatan dapat dipenuhi oleh siapa saja yang berkepentingan,
sepertinya seorang yang turut berutang atau seorang penanggung utang. Suatu
perikatan bahkan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga, yang tidak
mempunyai kepentingan, asal saja orang pihak ketiga itu bertindak atas nama dan
untuk melunasi utangnya si berutang, atau jika ia bertindak atas namanya sendiri,
asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang”.
selain debitur ada juga pihak-pihak lain yang dapat melakukan pembayaran yaitu :
1. Dia adalah seorang yang turut berutang
Pemenuhan perikatan oleh seorang turut berutang menghapuskan perikatan
yang ada antara debitor dengan kreditor, dengan pengertian bahwa dengan
dipenuhinya kewajiban debitor oleh seorang yang turut berutang, debitor
dibebaskan dari kewajibannya untuk melakukan kewajiban yang sama
berdasarkan pada perikatan yang sama. Ketentuan ini merupakan penjabaran
dari Pasal 1280 KUH Perdata.
2. Seorang penanggung utang
Ketentuan mengenai penanggungan utang dapat dilihat pada Pasal 1820 KUH
Perdata yang menyatakan ”Penanggungan adalah suatu persetujuan dengan
mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan pihak kreditor, mengikatkan diri
untuk memenuhi perikatannya debitor manakala orang ini sendiri tidak
memenuhinya”. Berdasarkan pasal tersebut di atas, maka dapat diketahui
bahwa suatu penanggungan utang adalah diberikan secara sukarela atas
kehendak dari penanggung secara pribadi. Selain itu, pelunasan utang debitor
kepada kreditor oleh seorang penanggung utang ini adalah dalam kondisi
setelah ternyata bahwa benda-benda debitor yang menjadi jaminan pelunasan
utangnya debitor (haftung) tidak mencukupi untuk melunasi hutangnya
kepada kreditor.
Ketentuan penting lainnya tentang penanggungan utang ini dapat dilihat pada
Pasal 1839 KUH Perdata, dan juga pasal 1840 KUH Perdata.
3. Seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja orang
pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk kepentingan melunasi
hutangnya debitur, atau pihak ketiga tersebut bertindak atas namanya sendiri,
asal ia tidak menggantikan hak-hak kreditur.
Penggantian oleh seorang pihak ketiga ini diatur dalam Pasal 1400 KUH
Perdata yang berbunyi: ”Subrogasi atau penggantian hak-hak kreditor kepada
seorang pihak ketiga yang membayar kepada kreditor, dapat terjadi baik
karena persetujuan maupun demi undang-undang”. Berdasarkan rumusan ini
dapat diketahui bahwa:
Pelunasan utang debitor terhadap kreditor demi hukum dapat
dilakukan oleh pihak ketiga;
Penggantian ini dapat terjadi, baik dikarena undang-undang maupun
dikarenakan adanya perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
b. Penawaran Pembayaran Tunai yang Diikuti oleh Penyimpanan atau Penitipan
Alasan kedua yang menghapuskan perikatan adalah dilakukannya pembayaran
tunai dengan diikuti oleh penyimpanan atau penitipan. Ketentuan terhadap nya
dapat kita lihat pada Pasal 1404 sampai dengan 1412 KUH Perdata. Sebagai
catatan awal perlu disampaikan, bahwa dalam penawaran pembayaran tunai yang
diikuti dengan penyimpanan atau penitipan, hanya berlaku untuk perikatan yang
mempunyai prestasi untuk menyerahkan atau memberikan sesuatu yang berupa
benda bergerak.
Ketentuan Pasal 1404 KUH Perdata menyatakan bahwa, ”Jika si berpiutang
menolak pembayaran, maka si berutang dapat melakukan penawaran pembayaran
tunai apa yang diutangnya, dan jika si berpiutang menolaknya, menitipkan uang
atau barangnya kepada Pengadilan. Penawaran yang demikian diikuti dengan
penitipan, membebaskan debitor dan berlaku baginya sebagai pembayaran asal
penawaran itu telah dilakukan menurut undang-undang sedangkan apa yang
dititipkan secara itu tetap atas tanggungan kreditor”. Ketentuan Pasal 1404 KUH
Perdata ini bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi seorang debitor yang
beritikad baik, dalam hal mana ia bermaksud untuk melakukan pembayaran sesuai
dengan kewajibannya.
c. Pembaharuan Utang
Pembaharuan utang dikenal juga dengan istilah novasi, merupakan salah satu
bentuk hapusnya perikatan yang terwujud dalam bentuk lahirnya perikatan baru.
2. Perjumpaan Utang, Percampuran Utang & Pembebasan Utang
a. Perjumpaan Utang.
Perjumpaan utang yang disitilahkan dengan kompensasi adalah menunjuk pada
suatu keadaan dimana dua orang saling memiliki kewajiban atau utang satu
terhadap lainnya. Dalam kondisi ini, oleh undang-undang ditetapkan bahwa bagi
kedua belah pihak yang saling berkewajiban atau berutang tersebut, terjadilah
penghapusan utangutang mereka satu terhadap yang lainnya, dengan cara
memperjumpakan utang pihak yang satu dengan utang pihak yang lain. Hal ini
sebagaimana dinyatakan adalah merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal 1425
KUH Perdata.
b. Percampuran Utang.
Percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 KUH Perdata, yang menyatakan :
”Apabila kedudukan-kedudukan sebagai kreditor dan debitor berkumpul pada satu
orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana
piutang dihapuskan”.
c. Pembebasan Utang.
Pembebasan utang dimaknai sebagai suatu perbuatan yang dilakukan oleh
kreditor yang membebaskan debitor dari kewajibannya untuk memenuhi prestasi,
atau utang berdasarkan pada perikatannya kepada kreditor tersebut. Terjadinya
pembebasan utang akan menghapuskan perikatan yang melahirkan utang yang
sedianya harus dipenuhi atau dilaksanakan oleh debitor tersebut. Ketentuan yang
berkaitan dengan pemebasan utang ini dapat dilihat dalam Pasal 1294 KUH
Perdata.
3. Musnahnya Barang Yang Terutang
Eksistensi ataupun keabsahan dari adanya suatu perjanjian adalah digantungkan pada
keberadaan dari objek yang diperjanjikan. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal
1320 KUH Perdata jo. 1333 KUH Perdata dalam hal mana dapat disimpulkan bahwa
setiap perjanjian baik berupa untuk melakukan sesuatu, untuk memberikan sesuatu
maupun untuk tidak berbuat sesuatu adalah harus memiliki suatu kebendaan sebagai
objek perjanjiannya. Kebendaan tersebut sebagai objek perikatan haruslah diketahui
dan dapat ditentukan jenisnya. Terhadap jumlahnya sendiri, apabila belum diketahui
secara pasti jumlahnya maka dapat ditentukan kemudian. Yang tidak kalah penting
adalah suatu perikatan yang mensyaratkan adanya kebendaan dalam objeknya harus
lah berupa benda yang dapat diperdagangkan, dengan tetap mengindahkan ketentuan
tidak melanggar perundangundangan, ketertiban umum maupun kesusilaan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka ketika benda yang menjadi objek
perikatannya musnah, tidak dapat diperdagangkan ataupun hilang, maka hapuslah
perikatannya, asalkan barang tersebut musnah, ataupun hilang di luar salahnya debitor
dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
4. Kebatalan dan Pembatalan Perikatan serta Berlakunya Syarat Batal.
Dalam hal musnahnya barang sebagai bentuk hapusnya perikatan, maka pembicaraan
adalah berkaitan dengan syarat sah objektif dari suatu perikatan. Ketentuan Pasal
1320 angka 1 dan 2 KUH Perdata memberikan alasan kepada salah satu pihak dalam
perjanjian untuk membatalkan perjanjian yang telah dibuat olehnya.
Bahwa pembatalan atas suatu perjanjian dapat dimintakan dalam hal:
a. Tidak telah terjadi kesepakatan bebas dari para pihak yang membuat perjanjian,
baik karena telah terjadi kekhilafan, paksaan atau penipuan pada salah satu pihak
dalam perjanjian pada saat perjanjian itu dibuat. (lihat lebih lanjut ketentuan Pasal
1321 sampai dengan 1328 KUH Perdata). Dalam hal ini, jika terjadi kondisi di
atas maka hak untuk meminta pembatalan perjanjian adalah pada saat ia
mengetahui telah terjadi nya kekhilafan, paksaan atau penipuan pada dirinya.
b. Salah satu pihak dalam perjanjian tidak cakap untuk bertindak dalam hukum (lihat
lebih lanjut Pasal 1330 dan 1331 KUH Perdata), dan atau tidak memiliki
kewenangan untuk melakukan tindakan atau perbuatan hukum tertentu. Dalam hal
ketidak cakapan, maka setelah pihak yang tidak cakap tersebut menjadi cakap dan
atau oleh wakilnya yang sah adalah berhak untuk memintakan pembatalan
perjanjian.
Perlu diingat bahwa dalam hal terjadinya salah satu atau dua keadaan disebut di
atas, maka berarti perikatan yang lahir dari perjanjian itupun hapus demi hukum.
Ketentuan mengenai hak untuk mengajukan pembatalan sendiri dapat dilihat pada
rumusan Pasal 1446 sampai dengan 1450 KUH Perdata. Pasal 1446 ayat 1 KUH
Perdata menyatakan, ”Semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang yang belum
dewasa, atau orang-orang yang berada di bawah pengampuan adalah batal demi
hukum (Note: disebut juga ”dapat dibatalkan”) dan atas tuntutan yang dimajukan
oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal (Note : ”dibatalkan”), semata-
mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya”.
Akibat hukum dari terjadinya pembatalan ini adalah bahwa semua kebendaan dan
orang-orangnya dipulihkan sama seperti keadaan sebelum perjanjian dibuat (lihat
lebih lanjut ketentuan Pasal 1451 dan 1452 KUH Perdata). Berlakunya syarat
batal sebagai suatu sebab berakhirnya perikatan diatur dalam Bab I Buku III
Perikatan, pada Pasal 1265 KUH Perdata, yang menyatakan ”Suatu syarat batal
adalah syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan perikatan dan membawa
segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-oleh tidak pernah ada suatu
perikatan. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan; hanyalah ia
mewajibkan kreditor mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila
peristiwa yang dimaksudkan terjadi”.
5. Lewat Waktu (Daluarsa)
Ketentuan tentang lewat waktu atau yang juga dikenal dengan daluarsa adalah diatur
dalam bagian tersendiri dalam Buku Keempat KUH Perdata, yang dalam Pasal 1946
KUH Perdata menyatakan bahwa ”Daluarsa adalah suatu alat untuk memperoleh
sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu
tertentu dan atas syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-undang”.
Ketentuan tentang daluarsa secara garis besar dimulai pada Bab Ketujuh Buku
Keempat tentang Pembuktian dan Daluarsa. Pada bagian kesatunya diatur tentang
daluarsa umumnya; Pada bagian kedua tentang daluarsa dipandang sebagai alat untuk
memperoleh sesuatu; Pada Bagian ketiga tentang daluarsa dipandang sebagai suatu
alasan untuk dibebaskan dari suatu kewajiban. Pada Bagian keempat tentang sebab-
sebab yang mencegah daluarsa. Pada Bagian kelima tentang sebab-sebab yang
menangguhkan berjalannya daluarsa.
Daftar Pustaka
Amalia, Nanda. 2013. Hukum Perikatan.,Unimal: Aceh.
C.S.T. Kansil.1989.Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta.
Djaja Meliala.2007. Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan,
Nuansa Aulia: Bandung.
Muhammad, Abdul Kadir.1986. Hukum Perjanjian, Alumni: Bandung.
Widjaya, Gunawan dan Muljadi, Karini.2002.Hapusnya Perikatan, RajaGrafindo Persada:
Jakarta.