KONSEP IPC (1) Merged-1
KONSEP IPC (1) Merged-1
KONSEP IPC (1) Merged-1
DOSEN PENGAMPU :
LIA DWI JAYANTI, S.KEP., NS., M.KEP.
DISUSUN OLEH :
1. Adel Violia Pratiwi (P1337420619083)
2. Yuni Fauziyah Karomah (P1337420620024)
3. Yusoffa Hista Kumala (P1337420620091)
4. Ela Amrina Rosyada (P1337420620099)
5. Vindha Hayu Pramusita (P1337420620115)
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah- Nya dan telah memberikan kemampuan, kekuatan, serta keberkahan baik
waktu, tenaga, maupun pikiran kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah
mengenai topik “Konsep Dasar Interprofessional Collaboration” dengan tepat pada
waktunya. Makalah ini dibuat untuk memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Manajemen
Keperawatan.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan
hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh
karena itu, penyusun mengucapkan terimakasih kepada selaku Lia Dwi Jayanti, S.Kep.,
Ns., M.Kep. sebagai Dosen Mata Kuliah Manajemen Keperawatan atas bimbingan dan
pengarahan yang telah diberikan kepada penyusun dalam mengerjakan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada penulisan makalah ini.
Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan dari pembaca
sekalian. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang
membacanya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rumah sakit adalah fasilitas yang bertanggung jawab menyediakan pelayanan
medis berkualitas dalam rangka pembangunan kesehatan. Ini melibatkan berbagai jenis
tenaga medis, termasuk dokter, perawat, ahli gizi, terapis, dan profesional medis
lainnya (Pohan, 2015). Untuk meningkatkan pelayanan yang berkualitas, rumah sakit
perlu melakukan inovasi, salah satunya adalah kolaborasi antara berbagai tenaga
kesehatan, yang disebut Interprofessional Collaboration (IPC).
IPC adalah kerja sama antara tenaga kesehatan dari berbagai latar belakang
profesi yang bekerja bersama untuk mengatasi masalah kesehatan, memberikan
pelayanan kesehatan, dan mencapai tujuan bersama (Morgan et al, 2015).
Interprofesional Collaboration terjadi ketika berbagai profesional medis bekerja dengan
keluarga, pasien dan komunitas untuk memberikan perawatan yang komprehensif dan
berkualitas tinggi. Interprofesional Collaboration digunakan untuk mencapai tujuan dan
memberi manfaat bersama bagi semua yang terlibat (Green and Johnson, 2015). Tenaga
kesehatan harus melakukan praktek kolaboratif yang baik dan tidak melaksanakan
pelayanan kesehatan sendirisendiri hal ini bertujuan agar keselamatan pasien lebih
terjaga di Rumah Sakit (Fatalina, 2015).
Salah satu akibat dari tidak dilaksanakannya kolaborasi antar tenaga kesehatan
adalah tingginya kesalahan dalam pembuatan resep obat di Indonesia yaitu sebanyak
98,69% yang merupakan akibat dari kesalahan dalam penulisan resep dokter, apoteker
yang kurang tepat dalam menyiapkan obat dan pemberian informasi mengenai
penggunaan obat yang kurang baik. Selain itu, menurut Australian National
Prescription Service, 6% kasus yang terjadi di rumah sakit disebabkan oleh efek
samping obat dan kesalahan dalam proses pengobatan. Hal ini terjadi karena kolaborasi
yang buruk di antara para tenaga kesehatan. Menurut data dari Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO), sekitar 42,7 juta kejadian buruk terjadi setiap tahun karena kesalahan
medis dan penanganan pasien yang tidak tepat (Babaei, Mohammadian, Abdollahi, &
Hatami, 2018).
Peningkatan permasalahan pasien yang kompleks membutuhkan keterampilan
dan pengetahuan dari beberapa tenaga profesional (Keshtkaran et al., 2014). Oleh
karena itu kerja sama dan kolaborasi yang baik antar profesi kesehatan sangat
1
dibutuhkan untuk meningkatkan kepuasan pasien dalam melakukan pelayanan
kesehatan. Kolaborasi dan kerjasama tersebut diharapkan pelayanan kesehatan
dapat berjalan dengan baik dan masalah kesehatan pasien juga bisa
terselesaikan dengan baik. Untuk itu, Tim kesehatan perlu menjalin hubungan yang
baik dan menyadari peran dan tanggung jawabnya masing-masing. Penata
laksanaan kesehatan oleh anggota kesehatan ini tidak hanya berfokus pada pasien,
namun juga pada keluarga pasien bahkan komunitas masyarakat sehingga masing-
masing profesi kesehatan memiliki perannya yang kompleks dan bertanggung jawab
yang besar. Walaupun demikian, setiap profesi tidaklah bekerja sendirian, tenaga
kesehatan lainnya sebisa mungkin saling membantu.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Interprofessional Collaboration (IPC)?
2. Bagaimana teori dasar Interprofessional Collaboration (IPC)?
3. Bagaimana cara pengukuran Interprofessional Collaboration (IPC)?
4. Apa hambatan dan tantangan Interprofessional Collaboration (IPC)?
5. Bagaimana Interprofessional dan Kerja Tim dalam Interprofessional Collaboration
(IPC)?
6. Bagaimana konsep Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDMK)?
7. Bagaimana standar pelayanan berfokus pada pasien?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari Interprofessional Collaboration (IPC)
2. Untuk mengetahui dan memahami teori dasar Interprofessional Collaboration (IPC)
3. Untuk mengetahui cara pengukuran Interprofessional Collaboration (IPC)
4. Untuk mengetahui hambatan dan tantangan Interprofessional Collaboration (IPC)
5. Untuk mengetahui dan memahami Interprofessional dan Kerja Tim dalam
Interprofessional Collaboration (IPC)
6. Untuk mengetahui dan memahami konsep Sumber Daya Manusia Kesehatan
(SDMK)
7. Untuk mengetahui dan memahami standar pelayanan berfokus pada pasien
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
1. Collaborative Practice adalah terjadi ketika lebih dari satu petugas kesehatan dari
berbagai tempat latar belakang profesi memberikan layanan komprehensif kepada
pasien, keluarga, kelompok dan masyarakat untuk memberikan pelayanan dengan
kualitas terbaik di seluruh pengaturan.
2. Interprofessional Collaboration adalah “dua atau lebih profesi tenaga kesehatan
yang bekerja sama sebagai tim yang memiliki kesamaan tujuan, komitmen dan saling
menghormati antara satu profesi dengan profesi lainnya.
3. Interprofessional Collaboration adalah proses mengembangkan dan
mempertahankan hubungan kerja antar profesi kesehatan yang efektif dengan
peserta didik, praktisi, pasien/klien/keluarga dan masyarakat untuk meningkatkan
derajat kesehatan yang optimal, elemen kolaborasi termasuk rasa hormat,
kepercayaan, pengambilan keputusan bersama, dan kemitraan.
3
b. Lama tinggal di rumah sakit
c. Ketegangan dan konflik di antara petugas kesehatan
d. Staff turnover
e. Biaya rumah sakit
f. Tingkat kesalahan klinis
g. Tingkat kematian pasien
Dalam pelayanan kesehatan jiwa dimasyarakat Collaborative Practice dapat :
a. Meningkatkan kesabaran dan tingkat kepuasan
b. Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan
c. Mengurangi jumlah hari rawat
d. Menurunkan biaya perawatan
e. Mengurangi kejadian bunuh diri
f. Meningkatkan pelayanan kesehatan untuk pasien dengan gangguan psikiatris
g. Menurunkan jumlah kunjungan rawat jalan
2. Global strategy on integrated people-centred health services 2016-2026
(WHO, 2015)
The World Health Organization (WHO) dalam Global strategy on
integrated people-centred health services (IPCHS) merupakan perubahan
paradigma mendasar dalam cara pandang pemberian pendanaan, pengelolaan dan
pelayanan kesehatan. Perubahan paradigm ini sangat dibutuhkan untuk memenuhi
tantangan yang dihadapi oleh sistem kesehatan diseluruh dunia yaitu peningkatan
derajat kesehatan yang relaif tidak merata terutama di beberapa negara
berkembang. Masalah kesehatan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi
manusia, urbanisasi dan globalisasi, serta gaya hidup yang tidak sehat. Situasi ini
terjadi dengan cepat, sehingga pasien seringkali memerlukan waktu lamanya
perawatan, karena meningkatnya multimorbiditas, hal ini menyebabkan
peningkatan biaya layanan kesehatan.
Sistem kesehatan yang terkotak-kotak menunjukkan ketidakmampuan
pemberi layanan kesehatan menanggapi tuntutan masyarakat akan peningkatan
kualitas layanan yang diberikan. Perlu reorientasi sistem layanan kesehatan, dari
model pemberian yang terfragmentasi, menuju layanan kesehatan yang
menempatkan pasien, keluarga dan masyarakat sebagai pusat layanan semua
tenaga kesehatan, dengan layanan kesehatan yang lebih responsive, terkoordinasi
dengan baik, didalam maupun di luar sektor kesehatan, serta diatur oleh regulasi
4
yang memadai dan mendukung kondisi tersebut. Universal Health Coverage
(UHC) tidak akan tercapai tanpa perbaikan dalam pemberian layanan kesehatan
pada masyarakat.
3. Konstruksi Teori IPC Menurut Bachchu Kailash Kain
Mengubah lingkungan pelayanan kesehatan kearah yang lebih baik
membutuhkan sistem baru antara lain dengan meningkatkan praktik kolaboratif
antar profesi kesehatan, sistem ini semakin dibutuhkan dalam mengatasi masalah
kesehatan pasien. Bachchu Kailash Kaini (Kaini, 2012) mengembangkan model
IPC berdasarkan beberapa konsep teori antara lain:
a. Teori Peran (Peran dan tanggung Jawab, kepemimpinan, pengambilan
keputusan, pelatihan dan pendidikan)
b. Teori Pembagian Kerja (spesialisasi dan peningkatan produktivitas, sosial dan
teknis tenaga kerja)
c. Teori Faktor Manusia (Komunikasi, interaksi, budaya profesional, etika,
kepribadian)
d. Teori Profesi (Kekuatan profesional, identitas, otonomi, batas)
4. The Perception of Interprofessional Collaboration Model (PINCOM)
Model IPC yang ditemukan oleh Oedegard (2016), terdapat 3 faktor yang
saling berpengaruh antara satu faktor dan faktor lainnya, yaitu:
a. Faktor Individu, yang dipengaruhi oleh subvariabel : motivation, role
expectancy, personality style,dan professional
b. Faktor Tim, yang dipengaruhi oleh subvariabel : group leadership, coping
mecanism, communication, dan social support.
c. Faktor Organisasi, yang dipengaruhi oleh : organizational culture,
organizational goal, organizational domain dan organizational environment.
5
Berikut ini berbagai instrument yang digunakan untuk mengukur pelaksanaan IPC.
1. The Perception of- Interprofessional Collaboration Model (PINCOM)
Instrument PINCOM dimana terdapat 16 item faktor yang digunakan untuk untuk
mengukur persepsi dan perilaku antara para profesional di bidang interprofesional
mengenai proses terjadinya kolaborasi pada individu, kelompok, dan organisasi.
PINCOM-Q terdiri dari 48 item pernyataan dengan skala 7 poin untuk menentukan
persepsi individu mengenai Interprofessional Collaboration (Strype et al., 2014).
2. Assessment of Interprofessional Team Collaboration Scale (AITCS)
Instrumen ini terdiri dari 48 pernyataan yang dianggap sebagai karakteristik
kolaborasi interprofesional (bagaimana tim bekerja dan bertindak). 4 Sub-skala
memiliki skor dari 48 hingga 240, diantaranya :
a. Kemitraan terdiri dari 14 item pertanyaan
b. Kerjasama terdiri dari 15 item pertanyaan
c. Koordinasi terdiri dari 7 item pertanyaan
d. Pengambilan Keputusan Bersama terdiri dari 12 item pertanyaan
Skala AITCS responden menunjukkan tingkat kesepakatan umum mereka dengan
item pada skala 5 poin yang terdiri dari (1) “Tidak pernah” (2) “Jarang” (3) “Kadang-
kadang” (4) “Sering” (5) “Selalu”.
6
Kesimpulannya bahwa dalam proses kolaborasi akan ditemukan beberapa
hambatan yang perlu diatasi dengan baik, sehingga permasalahan kesehatan pasien
dapat diselesaikan dengan baik. Hal terebut merupakan langkah penting dan strategis
dalam membangun kolaborasi yang efektif. Diharapkan tiap unit pelayanan dapat
menemukan metode yang disepakati untuk mengatasi masalah tersebut, dimulai dari
penanganan hambatan pada tingkat individu sampai ketingkat organisasi yang lebih
besar.
E. Interprofessional dan Kerja Tim
Kerja sama tim atau teamwork adalah nilai yang mendorong perilaku seperti
mendengarkan dan menanggapi pandangan orang lain secara konstruktif, memberi
manfaat bagi orang lain ketika ragu, mendukung orang yang membutuhkan bantuan
dan mengakui kepentingan dan prestasi orang lain (Murphy et al., 2018). Penelitian
yang dilakukan oleh Aston University di Inggris menjelaskan tiga kondisi yang
diperlukan untuk kerja tim :
1. Memiliki tujuan yang jelas yang diketahui semua anggota
2. Anggota tim bekerja sama untuk mencapai tujuan tersebut
3. Ada pertemuan rutin untuk meninjau efektivitas tim dan mendiskusikan bagaimana
hal itu dapat ditingkatkan (Thistlethwaite, 2012).
Inti dari suatu hubungan kolaborasi adalah adanya perasaan saling
ketergantungan (interdefensasi) untuk kerjasama dan bekerjasama. Hal yang diperlukan
dalam teamwork perawatan kesehatan (Thistlethwaite, Jackson and Moran, 2013) yaitu:
1. Menyetujui aturan-aturan dasar dan proses untuk bekerja sama,
2. Pemahaman tentang nilai-nilai, pengetahuan dan keterampilan anggota tim,
partisipasi aktif oleh semua anggota,
3. Upaya menyingkirkan stereotip dan hambatan
4. Waktu yang 20 teratur untuk mengembangkan kerjasama tim bekerja jauh dari
praktek
5. Komunikasi yang baik
6. Pemahaman masing-masing peran
7. Pertemuan tim yang efektif
8. Anggota tim menghargai dan menghormati satu sama lain,
9. Mempertahankan hubungan professional
Konsep "interprofessionality", yang diciptakan oleh D'Amour sebagai respon
terhadap praktik perawatan kesehatan yang terfragmentasi, didefinisikan sebagai proses
7
dimana tenaga kesehatan merefleksikan dan mengembangkan cara-cara berlatih yang
memberikan jawaban terpadu dan kohesif terhadap kebutuhan pasien, keluarga,
kelompok dan masyarakat. Perlu dipahami juga bahwa konsep "kolaborasi,"
diidentifikasi sebagai hal penting untuk memberikan jaminan layanan kesehatan
berkualitas.
Definisi tim adalah sebagai sekelompok orang yang bekerja bersama untuk
mencapai tujuan yang ditetapkan secara bersama-sama serta dapat
dipertanggungjawabkan. Elemen-elemen kunci dari kerja tim (Holland, Gaston and
Gomes, 2017) (Wartini, 2016) yaitu:
1. Anggota yang memiliki produk kerja bersama
2. Tugas-tugas yang saling bergantung
3. Tanggung jawab bersama
4. Komitmen
Manajemen konflik Keberhasilan kerja dari dalam tim dapat terjadi apabila
terjadi kolaborasi yang baik antar sesama anggota. Kolaborasi membutuhkan dua
elemen kunci, yaitu :
1. Konstruksi tindakan kolektif yang membahas kompleksitas kebutuhan klien.
2. Menciptakan kondisi tim yang menyatukan pendapat setiap tenaga kesehatan di
mana setiap anggota dapat saling menghormati dan membina hubungan saling
percaya dengan baik.
8
Tenaga kesehatan menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan, pada Pasal 11 dikelompokkan ke dalam :
1. Tenaga medis (terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi
spesialis) 28
2. Tenaga psikologi klinis (psikologi klinis)
3. Tenaga keperawatan (terdiri atas berbagai jenis perawat)
4. Tenaga kebidanan (bidan)
5. Tenaga kefarmasian (terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian)
6. Tenaga kesehatan masyarakat (terdiri atas epidemiolog kesehatan, tenaga promosi
kesehatan dan ilmu perilaku, pembimbing kesehatan kerja, tenaga administrasi dan
kebijakan kesehatan, tenaga biostatistik dan kependudukan, serta tenaga kesehatan
reproduksi dan keluarga)
7. Tenaga kesehatan lingkungan (terdiri atas tenaga sanitasi lingkungan, entomolog
kesehatan, dan mikrobiologi kesehatan)
8. Tenaga gizi (terdiri atas nutrisionis dan dietisien)
9. Tenaga keterapian fisik (terdiri atas fisioterapis, okupasi terapis, terapis wicara, dan
akupunktur)
10. Tenaga keteknisian medis terdiri atas perekam medis dan informasi kesehatan,
teknik kardiovaskuler, teknisi pelayanan darah, refraksionis optisien/optometris,
teknisi gigi, penata anestesi, terapis gigi dan mulut, dan audiologis)
11. Tenaga teknik biomedika (terdiri atas radiografer, elektromedis, ahli teknologi
laboratorium medik, fisikawan medik, radioterapis, dan ortotik prostetik)
12. Tenaga kesehatan tradisional terdiri atas tenaga kesehatan tradisional ramuan dan
tenaga kesehatan tradisional keterampilan) tenaga kesehatan lain.
9
penting untuk integrasi tersebut dengan komunikasi yang memadai terhadap
profesional pemberi asuhan (PPA).
1. Definisi
a. Patient Centered Care (PCC) adalah merupakan inovasi pendekatan dalam
perencanaan, pelayanan, serta evalusasi perawatan kesehatan yang berdasarkan
pada kemitraan yang saling menguntungkan antara penyedia pelayanan
kesehatan, pasien, maupun keluarga.
b. Patient Centered Care adalah sejauh mana profesional perawatan memilih dan
memberikan intervensi yang responsif terhadap kebutuhan individual pasien.
c. Patient Centered Care sebagai perawatan komprehensif yang memenuhi
kebutuhan pasien baik secara fisik, psikologis, dan maupun sosial. Tak satu pun
dari definisi ini mewakili PCC secara keseluruhan.
d. Patient Centered Care (PCC) adalah mengelola pasien dengan merujuk dan
menghargai individu pasien meliputi preferensi/pilihan, keperluan, nilai – nilai,
dan memastikan bahwa semua pengambilan 32 keputusan klinik telah
mempertimbangkan dari semua nilai – nilai yang diinginkan pasien
e. Institute Of Medicine (IOM) mendefinisikan Patient Centered Care sebagai
asuhan yang menghormati dan responsif terhadap pilihan, kebutuhan dan nilai –
nilai pribadi pasien. Serta memastikan bahwa nilai – nilai pasien menjadi panduan
bagi semua keputusan klinis.
2. Dimensi Patient Centered Care
PCC memiliki 8 dimensi (Keene, 2016) yakni :
a. Menghormati pilihan dan penilaian pasien
b. Dukungan emosional
c. Kenyamanan fisik
d. Informasi dan edukasi
e. Berkelanjutan dan transisi
f. Koordinasi pelayanan
g. Akses pelayanan
h. Melibatkan keluarga dan tema
Dalam pelaksanaannya, PCC (Patient Centered Care) terdiri dari 8 dimensi yaitu :
a. Menghormati nilai-nilai, pilihan dan kebutuhan yang diutarakan oleh pasien
b. Koordinasi dan integrasi asuhan
c. Informasi, komunikasi dan edukasi
10
d. Kenyamanan fisik
e. Dukungan emosional dan penurunan rasa takut dan kecemasan
f. Keterlibatan keluarga dan teman
g. Asuhan yang berkelanjutan dan transisi yang lancar
h. Akses terhadap pelayanan
Tujuan Patient Centered Care
a. Meningkatkan kepuasan pasien
b. Meningkatkan hasil klinis
c. Mengurangi pelayanan medis yang berlebihan dan tidak bermanfaat
d. Mengurangi kemungkinan malpraktek dan keluhan
e. Meningkatkan kepuasan dokter
f. Meningkatkan waktu konsultasi
g. Meningkatkan keadaan emosional pasien
h. Meningkatkan kepatuhan obat
i. Meningkatkan pemberdayaan pasien
j. Mengurangi tingkat keparahan gejala
k. Mengurangi biaya perawatan kesehatan
Hambatan-hambatan dalam mencapai PCC
a. Kesulitan dalam merekrut dan mempertahankan dokter
b. Kurangnya mendefinisikan batasan untuk mencapai keberhasilan staf yang
mungkin kewalahan untuk menentukan kesepakatan dengan tenaga kesehatan
lain, sosial, budaya dan faktor ekonomi pasien
c. Persyaratan perekrutan yang ketat dapat menimbulkan hambatan untuk
memperoleh tenaga kesehatan dari lingkungan sekitar
d. Kurangnya alat untuk mengukur dan memberikan reward kinerja PCC
e. Kendala finansial
f. Kebiasaan lama dari staf yang tidak mau merubah paradigma lama sebagai
penyedia layanan / hubungan atau relasi dengan pasien dan budaya serta faktor
sosial ekonomi
Cara Memberikan Perawatan Berpusat pada Pasien (Patient Centered Care) di
rumah sakit, sebagai berikut :
a. Hourly rounds
11
Perawat dan anggota staf klinis lainnya berkeliling di ruang pasien setiap jam
untuk mengatasi rasa sakit, kebutuhan dan posisi kamar mandi dan untuk
memastikan bahwa barang-barang pribadi dapat dijangkau
b. Communication/care boards di ruang pasien
Papan daftar informasi penting, seperti obat baru dan yang sudah ada, tujuan
pembuangan, tes dan prosedur, dan cara mudah menghubungi penyedia layanan
c. Bedside shift report
Perawat melakukan laporan perubahan shift di hadapan pasien dan keluarga,
memberi mereka kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, memahami
rencana perawatan dan memperbaiki informasi yang tidak akurat
d. Discharge folder
Saat masuk, pasien menerima folder dengan daftar informasi yang mereka
perlukan saat mereka pulang, seperti tujuan pengobatan dan gejala yang harus
diwaspadai
e. Post discharge phone
Perawat memanggil pasien dalam dua hingga tiga hari untuk memeriksa status
mereka dan menjawab pertanyaan tentang instruksi dan perawatan diri
f. Multidisciplinary rounds
Libatkan semua anggota tim perawatan, serta pasien dan keluarga, dalam
putaran
g. Standards of performance
Buat standar untuk semua karyawan untuk diikuti, seperti dengan cepat
menanggapi pasien dan bagaimana menanggapi kekhawatiran atau keluhan
pasien.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Interprofessional Collaboration (IPC) adalah kerja sama antara berbagai profesi
tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan komprehensif kepada pasien. Ini melibatkan
aspek-aspek seperti rasa hormat, kepercayaan, pengambilan keputusan bersama, dan
kemitraan antarprofesi. Dasar IPC adalah Framework for Action on Interprofessional
Education & Collaborative Practice oleh WHO, yang bertujuan untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat dengan mengurangi komplikasi pasien, lama tinggal di rumah sakit,
konflik di antara petugas kesehatan, dan biaya rumah sakit. Selain itu, model-model seperti
PINCOM dan AITCS digunakan untuk mengukur pelaksanaan IPC, sementara hambatan-
hambatan seperti perbedaan budaya, komunikasi, peran profesi yang berbeda, dan faktor
manusia perlu diatasi dalam membangun kolaborasi yang efektif dalam pelayanan
kesehatan.
Pentingnya PCC (Patient Centered Care) dalam rumah sakit adalah bahwa pendekatan
ini memprioritaskan kebutuhan, preferensi, dan nilai-nilai pasien. PCC memiliki 8 dimensi
yang mencakup menghormati nilai-nilai pasien, koordinasi asuhan, informasi dan edukasi,
kenyamanan fisik, dukungan emosional, melibatkan keluarga dan teman, asuhan
berkelanjutan, dan akses pelayanan. Tujuannya adalah meningkatkan kepuasan pasien, hasil
klinis, dan efisiensi pelayanan kesehatan, sambil mengurangi biaya yang tidak perlu.
Implementasi PCC melibatkan metode seperti hourly rounds, communication/care boards,
bedside shift report, discharge folder, post discharge phone, multidisciplinary rounds, dan
standards of performance.
Konsep SDMK (Sumber Daya Manusia Kesehatan) mencakup berbagai profesi
tenaga kesehatan yang berperan dalam penyediaan layanan kesehatan. Perencanaan
kebutuhan SDMK adalah langkah penting untuk memastikan ketersediaan, distribusi, dan
kualitas sumber daya yang diperlukan dalam sektor kesehatan. Dalam konteks ini, penting
untuk memahami jenis-jenis tenaga kesehatan dan peran mereka dalam sistem pelayanan
kesehatan untuk memastikan pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam pelayanan kesehatan
yang berkualitas.
13
B. Saran
Berdasarkan makalah yang telah dibuat, penulis mengharapkan saran-saran yang telah
disampaikan dalam makalah ini dapat menjadi panduan yang berharga bagi para pembaca
dan pemangku kepentingan untuk mengambil langkah-langkah yang tepat demi perbaikan
dan pengembangan lebih lanjut dalam bidang ini. Dan makalah ini dapat memberikan
sumbangan positif dan inspirasi untuk perubahan yang lebih baik di masa depan.
14
DAFTAR PUSTAKA
Ita, K., Pramana, Y., & Righo, A. (2021). Implementasi interprofessional collaboration antar
tenaga kesehatan yang ada di rumah sakit Indonesia : Literature review. Jurnal ProNers,
6(1), 1–6.
Patima. (2021). Konsep Interprofessional Colaboration Pada Rumah Sakit Di Indonesia.
Makassar : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat.
Purba, A. O. (2018). Interprofesional Colaboration Sebagai Wadah Dalam Upaya
Meningkatkan Keselamatan Pasien. Science and Mathematics Education, 1–6.
15
Lampiran Naskah Role Play
Peran :
1. Bidan : Yussofa Hista K (P1337420620091)
2. Perawat : Adel Violia P (P1337420619083)
3. Ahli Gizi : Ela Amrina R (P1337420620099)
4. Kesling dan Ibu Balita : Yuni Fauziyah K (P1337420620024)
5. Kepala Puskesmas dan Kader : Vindha Hayu P (P1337420620115)
Suatu hari di ruang rapat Puskesmas Srondol, Dokter, bidan, ahli gizi, perawat
serta kesehatan lingkungan sedang mengadakan rapat bulanan. Tujuan diadakannya
rapat tersebut yaitu untuk membahas program kegiatan yang akan diadakan pada
hari Sabtu, 2 September 2023 di posyandu Mawar Balita Kelurahan Srondol Wetan,
kecamatan Banyumanik.
Kepala Puskesmas : Assalamualaikum, selamat pagi, pada pagi hari ini saya akan
memimpin jalannya rapat rutin yang akan membahas tentang
kegiatan posyandu balita yang dilaksanakan di desa Danguran.
Untuk yang pertama saya persilahkan dari KIA untuk
menyampaikan rencana kegiatan bulan ini.
Bidan : Terimakasih atas waktu yang telah diberikan. Jadi, rencananya
pada hari Sabtu, 2 September 2023 saya akan melaksanakan
penyuluhan di posyandu Mawar Balita Kelurahan Srondol
Wetan. Materi yang akan saya sampaikan yaitu tentang gizi
balita, dikarenakan di sana banyak balita yang memiliki status
gizi yang rendah.
Ahli Gizi : Maaf sebelumnya, besok itu yang akan melakukan penyuluhan
siapa saja ya bu ?
Bidan : Saya bu, dibantu bu Ela ya
Kepala Puskesmas : Lalu untuk yang pemantauan PHBS berarti ibu Yuni (kesling) ya.
Jangan sampai penyuluhan hanya berlalu begitu saja tanpa ada
pemantauan lagi.
Kesling : Oh nggih bu, siap.
Kepala Puskesmas : Alhamdulillah telah selesai rapat pada hari ini, semoga semua
program dapat terlaksana dengan baik. Jangan lupa untuk
melakukan dokumentasi dari setiap kegiatan. Mari kita tutup
dengan bacaan hamdalah bersama-sama... Wassalamu’alaikum
wr wb.
Bidan : Assalamualaikum...
Bidan : Jadi saya kemari ingin meminta tolong kepada ibu untuk
menyiapakan balai desa serta memberikan pengumuman pada
ibu-ibu yang memiliki balita
Kader : Siap bu. Rencananya jam berapa nggih bu ?
Kader : Menurut saya tidak bu. Insyaallah nanti saya siapkan tempat dan
saya juga akan memberitahu ibu-ibu untuk datang ke balai desa
Bidan : Terimakasih ya bu, kalau begitu saya pamit dulu.
Assalamualaikum
Kader : Iya bu sama-sama. Wa’alaikumussalam.
Hari ini di posyandu desa Srondol Wetan akan dilaksanakan kegiatan pendidikan
kesehatan mengenai gizi balita dan PHBS. Para kader pun sedang mempersiapkan
segala kebutuhan untuk kegiatan tersebut. Sebelumnya para tenaga kesehatan di
Puskesmas Srondol telah melakukan pengkajian dan rencana kegiatan, dari hasil
pengkajian yang telah dilakukan ternyata para kader dan ibu-ibu yang mempunyai
anak balita masih belum mengetahui kebutuhan gizi yang seimbang untuk balitanya
serta cara melakukan cuci tangan dengan benar.
Selain itu juga, di desa ini terdapat beberapa kasus mengenai PHBS yaitu
kurangnya pengetahuan ibu – ibu tentang cara pencegahan DBD. Sehingga, di waktu
yang bersamaan, ibu – ibu akan diberikan penyuluhan tentang cara pencegahan
Demam Berdarah Dengue (DBD)
Di Posyandu balita, sedang berlangsung kegiatan penimbangan serta pengukuran
tinggi badan pada balita. Balita yang sudah dilakukan penimbangan dan pengukuran
tinggi badan, hasilnya lalu dicatat di Buku KIA oleh kader, kemudian diserahkan
pada bu Bidan di meja 5 posyandu.
Bidan : Selamat pagi ibu, apakah benar ini dengan ibu Fauziah ?
Bidan : Ibu beserta bapak bisa memberikan kasih sayang dengan mengajak
anak ibu makan, peluk dia dan beri perhatian, selalu buat dia ceria.
Saya yakin anak ibupun akan dengan senang hati untuk makan
apabila orang tuanya memberikan kenyamanan kepadanya.
Ibu : Oh seperti itu bu, nanti saya akan mencobanya.
Bidan : Iya bu, setelah ini ibu jangan pulang dulu nggeh, ibu langsung
berkumpul dengan teman yang lainnya ya, akan ada penyuluhan
dari ahli gizi tentang gizi pada balita selain itu juga ada penyuluhan
tentang cuci tangan yang benar dan pencegahan DBD
Ibu : Baik bu.
Setelah dilakukan konseling secara individu di meja 5 oleh bidan Yusoffa, ibu- ibu
peserta penyuluhan mengikuti penyuluhan tambahan dari petugas puskesmas.
Akhirnya ahli gizi memberikan penyuluhan tentang gizi balita, petugas kesling
memberikan penyuluhan tentang pencegahan DBD dan kegiatan penyuluhan diakhiri
dengan demonstrasi tentang cuci tangan yang benar oleh perawat. Kegiatan
posyandu serta penyuluhan yang dilakukan tenaga kesehatan berjalan dengan lancar
dan tidak terjadi tumpang tindih tugas antar profesi. Hal ini terjadi karena adanya
pembagian tugas dan kerja sama yang baik antar profesi.