Cerita ini menceritakan tentang perjuangan seorang anak petani bernama Muhamad Saputra yang berusaha meraih cita-cita untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Ibunya mendorong Saputra untuk sekolah di kota agar memiliki masa depan yang lebih cerah. Meskipun berat berpisah dengan keluarga, Saputra akhirnya diterima di SMP di kota dan bertekad untuk belajar dengan giat.
0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
63 tayangan4 halaman
Cerita ini menceritakan tentang perjuangan seorang anak petani bernama Muhamad Saputra yang berusaha meraih cita-cita untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Ibunya mendorong Saputra untuk sekolah di kota agar memiliki masa depan yang lebih cerah. Meskipun berat berpisah dengan keluarga, Saputra akhirnya diterima di SMP di kota dan bertekad untuk belajar dengan giat.
Cerita ini menceritakan tentang perjuangan seorang anak petani bernama Muhamad Saputra yang berusaha meraih cita-cita untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Ibunya mendorong Saputra untuk sekolah di kota agar memiliki masa depan yang lebih cerah. Meskipun berat berpisah dengan keluarga, Saputra akhirnya diterima di SMP di kota dan bertekad untuk belajar dengan giat.
Cerita ini menceritakan tentang perjuangan seorang anak petani bernama Muhamad Saputra yang berusaha meraih cita-cita untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Ibunya mendorong Saputra untuk sekolah di kota agar memiliki masa depan yang lebih cerah. Meskipun berat berpisah dengan keluarga, Saputra akhirnya diterima di SMP di kota dan bertekad untuk belajar dengan giat.
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 4
CATATAN KECILKU
Dikeheningan malam diiringi semilir angin aku duduk di rooftop rumahku,
sambil ditemani sebungkus rokok dan secamgkir kopi. Sambil melihat tanaman yang ada di rooftop, tak sengaja ku putar musik karya sang legendaris bang Iwan Fals dengan judulnya “Desa”, tiba-tiba terlintas kenangan masa kecilku, masa dimana aku selalu ada disamping ibu dan ayah. Aku coba memutar memoriku sejenak ke suasana waktu itu. Di pagi hari yang begitu cerah, ditemani suara burung yang bersautan di tengah sawah yang padinya sudah menguning. Aku terdiam sambil sesekali mengawasi burung-burung yang memakan biji-biji padi yang sebentar lagi di tuai. Betapa merdekanya makhluk Tuhan yang satu ini, tanpa beban, tanpa ikatan dan terbang bebas kemanapun mereka mau. Ketika suasana itu, terlihat beberapa teman sebayaku bermain di pematang sawah sambil mengambil rumput untuk makanan ternak kambing mereka. Teman kecilku riang gembira disaat aku harus menjalankan tugas di hari libur sekolahku, yaitu selalu ke sawah. Waktu itu aku kelas VI (enam) yang baru saja melaksanakan ujian akhir, dan sedang menunggu kelulusan di sekolah lanjutan (SMP). Sekolahku berada di pedesaan, yang tidak terjangkau oleh angkutan umum. Bila hendak pergi ke kota harus naik dua kali kendaraan, kendaraan pedesaan dan angkutan kota. Untuk bisa naik ke terminal angkutan pedesaan pun harus jalan kaki terlebih dahulu sekitar 15 menit. Setiap hari minggu aku selalu pergi ke sawah menemani ibu dan ayah yang sehari-hari bekerja sebagai petani, sebenarnya ayah seorang pensiunan Guru, dimas pensiunnya ayah memanfaatkan waktu untuk bekerja di sawah. Aku terlahir dari keluarga petani, yang mengandalkan semua kebutuhan hidup dari hasil pertanian, karena gaji pensiunan ayah tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sempat aku berfikir, apakah akan selamanya seperti ini?(sambil menatap tubuh ayah dan ibuku yang sudah tidak muda lagi), tapi semua fikiran itu cepat aku buang jauh-jauh, karena aku punya tekad harus merubah nasibku, bukan aku tidak suka dengan keadaan sebagai anak petani, tapi setidaknya aku harus merubah nasibku menjadi lebih baik. Ayah dan ibu merupakan petani yang gigih, mereka tak kenal lelah untuk membesarkan aku dan kakak-kakakku, kami enam bersaudara, tiga kakak laki-laki dan dua kakak perempuan, aku merupakan anak terakhir. “ Putra.......”. ada yang memanggilku dari belakang. Aku tengok ke arah suara memanggil, ternyata ibuku. “ iya Bu, ada yang bisa Putra bantu? ”. jawabku dengan sigap. Nama panggilanku dikeluarga adalah Putra, dan nama lengkapku Muhamad Saputra. “ kenapa kamu kelihatan seperti melamun? Apa lelah kerja di sawah? ”. tanya ibuku sambil memperhatikan aku dengan rasa cemas. Ibu sangat sayang kepadaku, tak sedikit pengorbannanya demi memenuhi keinginanku, ibu tak pernah lelah, dan tidak pernah seharipun pergi ke sawah kecuali kalau sakit. “ Enggak Bu, aku sedang merasakan suasana yang indah, dipagi hari penuh dengan kicauan burung”. jawabku sambil membuang jauh fikiranku tadi. Ibuku bukan sembarangan, dia merasakan apa yang ada dalam fikiranku. Diapun berkata lagi. “ Suatu saat kamu harus berhasil ya Putra, kamu harus jadi orang yang sukses, tidak lagi sebagai seorang petani desa, kamu harus sekolah yang tinggi Nak” . ibu berhenti sejenak sambil mengelus kepalaku. “ Ibu yakin kamu bisa sekolah yang tinggi, doakan saja ibu dan ayah dapat rezeki yang banyak dan bisa membiayai kamu sekolah”. Lanjut ibu sambil terus mengelus kepalaku. Dengan rasa bangga bercampur haru akupun menyambut kata-kata ibuku. “ Putra bahagia jadi petani Bu, andaikan Ibu menyekolahkan Putra ke sekolah yang tinggi, Putra janji ke Ibu kalau Putra tak akan meninggalkan perjuangan Ibu dan ayah sebagai petani. Dimanapun Putra berada, Putra tak akan melupakan pekerjaan sebagai petani ”. Pembicaraan sejenak terhenti, ibuku menuangkan air teh kedalam gelas dan memberikannya kepadaku. “ Minumlah Nak ” kata ibu singkat. “ Terimakasih Bu ” jawabku singkat sambil minum air teh yang diberikan ibu. Tak lama kemudian ayah datang mzenghampiri kami. “ Putra, kata pak Guru hari ini pengumuman kelulusan di SMP, mudah-mudahan kamu diterima sekolah disana yah Nak”. Ayah mulai membuka pembicaraan. Sejenak aku tak menjawab, fikiranku masih bimbang, jika aku sekolah di kota, aku harus kehilangan teman-teman mainku di kampung. Tapi aku pun harus rela menjalani semua ini demi cita-citaku dan juga keluargaku, terutama cita-cita ayah dan ibu. Ayah dan ibu kecewa terhadap kakak-kakakku yang tidak mau melanjutkan sekolah ke yang lebih tinggi, dan hanya tamat sampai SMA. Adapun kakak sulungku yang merupakan lulusan perguruan tinggi, tetapi tidak mau bekerja di perusahaan atau di kantoran, dan lebih memilih untuk menjadi petani, dan jauh dari harapan ayah dan ibu. “Kenapa melamun Putra?, kamu tidak senang sekolah di kota?”. Tanya ayah, karena mungkin melihat aku melamun. “ Tidak yah, Putra senang sekali sekolah di kota”. Jawabku singkat. “ Putra, ibu dan ayah bukan ingin berpisah dengan kamu Nak, tapi semua ini demi masa depanmu, ayah dan ibu tidak ingin kamu gagal seperti kakak mu, kamu harus jadi orang sukses ya Nak ”. ibu menyambung pembicaraan dan berusaha memberi semangat kepadaku sambil mengelus kepalaku. “ Pokoknya kamu harus sekolah di kota, dan jangan lupa kamu harus rajin belajar, jangan main-main disana, karena kamu tinggal sama orang lain ”. sambung ayah meneruskan pembicaraannya. “ Iya yah, Putra janji akan belajar sungguh-sungguh ”. sambungku singkat. Tak lama kemudian suara adzan Dhuhur terdengar di mesjid. “ Ayo yah kita pulang, sudah adzan dhuhur ”. sahut ibu sambil membereskan peralatan sawah dan mengajak kami pulang. Kami pun bergegas meninggalkan sawah untuk pulang ke rumah dan menunaikan ibadah sesuai agama yang kami anut. Sampainya di rumah aku pun cepat-cepat mandi dan bergegas melaksanakan sholat yang merupakan kewajiban kami sebagai umat islam. Setelah melaksanakan sholat, aku pergi meuju ruang makan, dan ibu rupanya sudah menyiapkan makan siang kami. Akupun segera makan bersama ayah dan ibu, dan kebetulan Kakak ku yang sekolah di SMP belum pulang. Sambil makan sempat aku berfikir, jika aku di kota, aku tak akan menikmati lagi makan bersama ayah dan ibu, akupun tak akan menikmati hidangan makanan yang selalu ibu siapkan. Tak terasa air matapun menetes dipipiku, aku cepat-cepat mengusap air mataku dengan bajuku, karena takut ketahuan oleh ayah dan ibuku. Rupanya ibu dari tadi menatapku terus, ibu pun mengelus kepalaku. “ Kamu akan jadi orang yang sukses ya Putra, setiap selesai sholat ibu selalu mendoakan kamu Nak ”. ibu mencoba menenangkanku. Mungkin naluri seorang ibu lebih peka, dan merasakan apa yang aku rasakan saat itu. “ Jangan jadi anak yang cengeng, kamu harus tegar dan mandiri, ayah dan ibu pasti sering nengok kamu di kota ”. ayah mulai bicara dengan tegas. “ Iya Yah ”. jawabku singkat sambil mengangguk. Selesai makan, aku pergi ke ruang tengah sambil nonton televisi, ayah dan ibu masih di ruang makan. Acara TV waktu itu tak seramai seperti sekarang, dengan TV hitam putih dan layarnya kecil aku menonton acara kesukaanku yaitu acara pedesaan yang setiap hari di putar di TVRI. Pada saat menonton TV, tiba- tiba ada yang mengetuk pintu dan suara mengucapkan salam dari luar rumah, aku bergegas membuka pintu. “ Assalamu’alaikum ?”. suara tedengar dari luar. “ Wa’alaikumsalam” aku coba menjawab. Lalu aku bukakan pintu, ternyata Pak Guru yang datang ke rumah. “ Pak guru, silahkan masuk !” sahutku sambil mempersilahkan Pak guru masuk ke dalam rumah. “ Putra, apah ayahmu ada di rumah ? ”. kata Pak guru singkat. “ Ada Pak guru, ayah sedang di ruang belakang, sebentar Putra panggil ayah ”. jawabku sambil pergi ke ruang makan. “ Yah, Pak Guru ada di ruang depan ”. Ayah segera bergegas ke ruang depan menemui pak guru. “ Pak guru, sudah lama ?, sama siapa kesini ?”. kata ayah sambil bersalaman dengan Pak guru. Pak guru begitu hormat kepada ayah, karena Pak guru merupakan bawahan ayah semasa ayah menjabat kepala sekolah dulu. “ Saya kemari sendiri Bapak ”. jawab Pak guru dengan panggilan seolah-olah semasa dinas yang selalu memanggil bapak kepada ayahku. “ Bapak, saya kesini ingin memberitahukan bahwa Putra diterima di SMP ”. sambung Pak guru sambil menyerahkan sebuah map dokumen kepada ayah. Kemudian ayah membuka dokumen itu dan membacanya. “ Alhamdulillah pak guru, anak saya diterima. Saya hanya bisa mengucapkan terimakasih kepada Pak guru yang telah rela mengurus semua persyaratan anak saya, sehingga anak saya bisa sekolah di kota ”. kata ayah sambil menyimpan map di atas meja. “ Putra, selamat yah, semoga Putra bisa mengikuti pelajaran, Pak guru yakin Putra bisa bersaing dengan rekan-rekan disana. Pak guru hanya bisa berpesan, belajar yang lebih giat lagi agar apa yang dicita-citakan Putra bisa tercapai. Dan Pak guru hanya bisa mengiringi dengan do’a semoga Putra lancar sekolahnya”. Ucap Pak guru sambil mengelus kepalaku. “ Iya Pak guru, Putra janji akan belajar sungguh-sungguh ”. jawabku. Perbincanganpun cukup panjang, dan akhirnya Pak guru pamit kepada ayah. Setelah Pak guru pergi, ayah memanggil ibu dan memberitahukan bahwa aku diterima di sekolah yang dituju. Ibu kelihatan senang sekali, sambil memelukku erat sekali. “ selamat ya Putra, kamu pasti berhasil, setelah sekolah di kota jangan lupa mengaji dan sholat 5 waktu ya Nak ”. kata ibu sambil memlukku seolah tak mau melepaskan. Ayahku hanya melihat dan tak berkata disaat ibu memlukku. Dan akupun hanya bisa menganggukan kepala. Dua minggu kemudian, pagi-pagi aku pergi ke kota karena sudah waktunya masuk sekolah. Ayah dan ibu menitipkanku di rumah saudara ayah yang tak jauh dari sekolahku itu. Setelah berbincang cukup lama, dan waktu telah menuju sore hari, ayah dan ibu berpamitan kepada saudara ayah. Akupun mengantar ayah dan ibu sampai halaman rumah, sebelum pulang ibu memelukku erat sekali, tanpa kata-kata, terasa air mata ibu menetes dipipiku. Akupun tak kuasa menahan tangis, karena akan berpisah dengan ayah dan ibu dalam waktu yang lama. Setelah ayah dan ibu pulang, aku bergegas ke kamar, aku coba tenangkan diri, dan berusaha tegar, sambil menatap langit-langit kamar aku berusaha membuang kesedihan. Keesokan harinya aku mulai masuk sekolah, di hari pertama masuk sekolah yang sering dikenal dengan masa orientasi sekolah. Aku berjumpa dengan teman baru, dari sekian puluh siswa yang ada dikelasku tak ada satupun yang aku kenal. Kebanyakan teman sekelasku berasal dari SD di kota, sehingga diantara mereka ada yang saling mengenal, sementara aku yang lulusan SD di desa tak ada teman yang aku kenal. Aku duduk di Kelas IC, yang siswanya berjumlah 40 orang. Hari demi hari aku lalui, dengan perasaan yang masih menyimpan kesedihan. Namun seiring waktu, kesedihan karena jauh dari ayah dan ibu dan juga keluarga mulai sirna. Aku berusaha menguatkan diriku demi menggapai cita- citaku dan mewujudkan impian ayah dan ibu. Hari berganti hari, Bulan berganti bulan, dan akhirnya sampai diujung tahun ajaran. Disaat pembagian nilai akhir, perasaanpun mulai gelisah, ketakutan mulai menghinggapi. Aku takut nilaiku kecil dan tidak memuaskan, sehinga ada perasaan takut mengecewakan ayah dan ibu. Satu persatu teman sekelasku dipanggil kedepan untuk mengambil hasil akhir. Dan akhirnya giliranku dipanggil kedepan untuk mengambil hasil akhirku. Setelah kembali duduk di kursi aku coba membukanya dan aku merasa senang, walau tidak menduduki 3 besar, setidaknya aku menduduki 10 besar. Setelah pulang sekolah, aku bergegas ke kamar dam membereskan pakaianku dan aku pulang ke rumah, rasa rindu yang tertahan kini terobati. Sesampainya di depan rumah, aku segera mengetuk pintu dan mengucapkan salam, kebetulan ayah dan ibu sedang menonton Televisi. Kedatanganku disambut hangat oleh ayah dan ibu serta kakak-kakaku, tanpa basa- basi ibu langsung memelukku. Setelah istirahat sejenak aku segera menyerahkan nilai hasil akhirku. “ Yah, ini raport Putra, maafkan ya yah jika nilai Putra tidak memuaskan ” lirihku sambil menatap ayah. Ayah coba membuka raportku dan membacanya dengan teliti sekali, sambil melihat raport ku, ayah terlihat tersenyum. “ Nilai raport Putra sangat memuaskan, walau Putra lulusan SD di desa, tapi Putra bisa menunjukan prestasi dan bersaing dengan teman-teman Putra lulusan SD di kota, ”. kata ayah sambil menyimpan raport ku di meja. “ Alhamdulillah Putra, ibu bangga sama kamu nak ”. ibu ikut menyambung pembicaraan. Aku senang mendengar ayah dan ibu seperti itu, akupun memeluk ayah dan ibu. Tak lama kemudian suasana mencair. Ibu segera menghidangkan makanan kesukaanku, ikan goreng, sambal dan lalapan. Sambil makan aku tak sabar, bercerita tentang keseharianku, ada gelak tawa yang membuat suasana semakin hangat. Semua tercurah di ruang makan. Ruangan dimana aku selalu dimanja oleh ibu. Aku terhentak, rupanya istriku memanggilku, seketika lamunanku buyar. Masa lalu yang selalu teringat dibenakku. Aku segera bergegas masuk ke dalam rumah dan menuju kamar.