Contoh Cerpen 1
Contoh Cerpen 1
Contoh Cerpen 1
Keheningan hutan itu kemudian pecah saat Teo tiba-tiba saja datang sambil memekik
nyaring, “Hutan terbakar! Hutan terbakar!”
Semua ikut memekik ketakutan. Hutan terbakar! Tempat tinggal mereka terbakar!
“Bora! Apa yang kau lakukan!? Cepat pergi!” Pipin berteriak sambil menarik belalai
Bora dengan belalainya..
Suasana hutan yang tadinya damai tenteram, seketika menjadi neraka bagi semua
hewan. Asap hitam pekat yang mulai menyelimuti seluruh hutan ini. Suhu udara mulai
panas, membuat para hewan makin berteriak nyaring.
Bora panik bukan main. Sambil mengikuti langkah Pipin, matanya bergerak ke
sana-ke mari, mencari sosok ibunya.
“I-ibu … ibumu ….” Pipin tidak bisa menjawab karena sama-sama tidak tahu di
mana ibu Bora berada.
“Aku harus kembali ke sarang!” Bora melepaskan belalainya dari belalai Pipin, lalu
berbalik untuk kembali ke sarangnya.
Namun, sebelum Bora melancarkan niatnya itu, Pipin sudah menarik kembali
belalainya. “Ibumu pasti sudah berada di depan. Bersama gajah dewasa lainnya.”
Bora menghiraukan ucapan Pipin, lalu kembali meloloskan belalainya dan berlari
sekuat mungkin menuju sarangnya.
“Sedang apa kamu?! Cepat pergi dari sini!” teriak ibu Bora sambil menggerakkan
belalainya, menyuruh Bora menjauh dari tempat ini.
“Tidak! Aku tidak mau!” balas Bora keras kepala. Kenapa ibunya masih bisa
berkata seperti itu? Padahal jelas-jelas ia dalam keadaan terjebak api?
“Bora! Ayo pergi!” Tiba-tiba saja Pipin datang ke tempatnya dan langsung menarik
belalai Bora.
“Tidak mau!” Bora menyentak belalai Pipin keras. “Ibu! Aku akan
menyelamatkanmu!”
Kraaak! Braaak!
“IBU!! IBU!!” Bora terus meraung memanggil ibunya. Pohon yang sedang terbakar
itu jatuh dan kemudian menimpa tubuh payah ibu Bora.
“Ayo, Bora, kita harus pergi,” lirih Pipin sambil menarik Bora.
Sekali lagi Bora menoleh ke belakang saat dirinya sudah cukup jauh dari
sarangnya. Tidak ada lagi hutan hijau dengan tumbuhan rindang di sekitarnya. Hutan
hijau yang selalu ia kagumi sudah berubah menjadi hutan merah yang sangat panas.
Kemudian, Nara bangun dan duduk di sisi ranjang kecilnya. Gadis itu memandang
sekeliling kamar, dan tiba-tiba, suara pecahan kaca terdengar dari luar.
Nara menutup kedua telinganya kuat-kuat, enggan mendengar apa pun. Setetes bening
air matanya bergulir di pipi. Wajahnya dibenamkan dalam kedua telapak tangan yang
lemah. Rasanya ia sudah tak sanggup lagi hidup dalam situasi seperti ini. Ia tak kuat
hidup dalam lingkaran kesedihan yang menggiringnya menuju kegilaan.
Nara berjalan perlahan ke luar rumah, di antara jalanan sepi sambil menundukkan
kepala seolah malu dunia melihatnya. Ia menatap siluet hitamnya di antara bayang-
bayang pepohonan dan rumah. Nara berhenti melangkah saat seseorang menghalangi
bayangannya.
“Ada yang ingin kukatakan padamu.” Orang itu mulai berbicara kepadanya.
“Kenapa?” Gadis itu bertanya dengan wajah datar, tapi Nara hanya diam. “KENAPA
KAMU HARUS LAHIR DI DUNIA INI?!” Ia mulai membentak.
Nara tak sanggup menatap lawan bicaranya. Ia hanya memegang pipinya yang terasa
nyeri karena tamparan barusan. Hilanglah dari dunia ini, dasar penghancur keluarga
orang! hardik gadis itu. Nara terisak diiringi suara teriakan gadis itu di telinganya.
Tetesan bening meleleh, merayapi sudut wajahnya.
Nara adalah anak perempuan biasa yang hidup dengan kasih sayang utuh dari orang
tua. Ia hidup berkecukupan, bahkan lebih. Semula, ia mengira hidup dalam zona
kesempurnaan. Tetapi ternyata, semua itu hanya bualan. Ayahnya, ternyata, seorang
pria yang telah berkeluarga. Saat itulah ia menyadari, ibunya adalah istri kedua
ayahnya.
Keluarganya tidak diinginkan oleh semua orang. Ibunya dianggap wanita yang tak
punya harga diri. Tidak ada yang sudi berbagi nafas dan tempat dengan keluarga Nara.
Mereka tidak pernah mau tahu separah apakah kerusakan jiwa yang mendera orang
yang mereka cemooh.
Istri pertama ayah Nara adalah sahabat dekat ibu Nara. Sahabat dekat yang saling
mengaitkan janji satu sama lain sejak duduk di bangku sekolah untuk tidak
mengkhianati. Begitu istri pertama ayahnya mengetahui apa yang telah terjadi, ia tentu
syok berat. Suami yang ia cintai, berpaling darinya. Sahabat yang paling ia percaya,
mengkhianatinya dalam waktu yang sama.
Nina, anak istri pertama ayahnya, pun tak percaya. Ia nyaris pingsan saat ayahnya
mengungkapkan hal itu sendiri. Selanjutnya, teror mulai berdatangan sebagai tanda
balas dendam. Mulai dari pecahnya kaca jendela di rumah, hingga lemparan api untuk
rumahnya.
“Na?” Lamunan Nara terhenti. Gadis itu tetap diam, memandang kosong.
“Nara? Sayang, kamu ada di dalam, kan?” Panggilan itu tak membuat Nara beranjak
dari posisi yang nyaman bagi dirinya. Kemudian ketukan demi ketukan tak bernada
mulai terdengar dari balik pintu.
“Nara, buka pintunya, Sayang. Ibu mau bicara mengenai kepindahan kita,”
Memang, keluarganya berencana untuk pindah. Pindah ke wilayah yang cukup jauh
untuk mengubur kelamnya masa lalu dan melanjutkan hidup. Tapi baginya, pindah
rumah hanyalah bentuk pelarian diri. Raganya takkan teraniaya lagi. Namun, jiwa dan
pikirannya telah menyatu dengan frustasi berkepanjangan yang diderita Nara selama
ini. Ia tetap tidak akan hidup dalam damai seperti sebelumnya.
Nara bergeming. Dalam pikirannya yang kalut, ia mengingat Nina. Gadis itu ingi ia
lenyap dari dunia ini. Ia ingin Nara musnah. Nara tahu apa artinya itu.
Nara memandangi tubuh kakunya yang ditumpahi tangisan dan penyesalan yang
terlontar dari ayah dan ibunya. Ia tertegun dan mengingat kejadian yang terasa begitu
cepat.
Awalnya, ia berniat memutuskan urat nadi tangan kirinya dengan gunting hijau
kesukaannya. Awalnya, ia tidak mau melihat orangtuanya menangis hebat sambil
memeluknya. Awalnya, ia ingin merasakan rasa sakit yang mendera jiwanya lebih lama
lagi. Namun, saat ia menutup mata dan menguatkan diri atas segala risiko
perbuatannya nanti, seberkas cahaya putih menyinari dirinya. Sesaat, ia pikir cahaya itu
hanya datang dari luapan fantasinya ketika ia sudah berhasil mati. Kemudian Nara
tahu, kematiannya akan membawa segala keadaan berubah menjadi baik. Inilah yang
diinginkan semua orang.
Nara tersenyum. Sedikit pun, ia tak merasakan kesedihan. Ia hanya merasakan gema
bebas dan damai berdengung dalam pikirannya. Sekarang, ia tak perlu lagi menerima
berbagai bentuk kekerasan mental dari orang-orang di sekitarnya. Ia sudah bebas dan
hidup dalam kedamaian yang dirindukan.
Nara menutup matanya, merasakan seluruh sensasi dan kenikmatan damai yang
mengalir di sekujur tubuhnya. Berkas-berkas cahaya itu kembali datang dan menyinari
tubuhnya, menuntun gadis kecil itu menuju dimensi lain. Dimensi yang akan
membawanya menuju keabadian.
Baca juga: Contoh Teks Laporan Hasil Observasi, Pengertian & Struktur
Puluhan layang-layang yang berada di atas kepalaku terlihat seperti rangkaian burung
yang sedang bermigrasi. Angin pantai yang berhembus kencang membuat mereka
terbang lebih jauh dan tinggi, tapi tetap di bawah kendali kekangan tali kenur. Aku ingin
seperti layang-layang. Walau beberapa orang yang kukenal mengatakan, hidup seperti
layang-layang tidak sepenuhnya bebas. Sekilas terlihat bebas, tapi sebuah tali tipis
namun kuat mengaturnya.
Tapi aku tetap ingin menjadi layang-layang yang terbang tinggi di langit Pangandaran
yang cerah ini.
Aku melihat sekeliling, pertengahan bulan Juli memang puncak liburan di mana-mana.
Banyak wisatawan asing yang sedang bermain di Pantai Selatan ini. Entah itu bermain
layang-layang atau hanya sekadar duduk-duduk menikmati pemandangan Pantai
Pangandaran yang cerah ini. Aku sendiri sedang duduk di depan kios Uwak Imas yang
berjualan pakaian. Bau amis khas laut (dan juga karena pabrik ikan asin yang tidak jauh
dari tempatku sekarang) sudah menjadi udara sehari-hari yang kuhirup. Sinar matahari
yang terik menyentuh kulitku dengan ganas, tapi aku tetap bertahan duduk di luar kios.
Pasalnya, Uwak Imas tengah sibuk melayani turis asing yang ingin membeli
dagangannya. Aku tidak mau masuk, karena pasti Uwak Imas akan menyuruhku untuk
melayani turis-turis itu, walaupun dia tahu kalau aku hanya bisa “yes” dan “no”.
Ketika aku mengalihkan pandangan dari layang-layang, aku melihat Bapak dan tiga
orang lainnya berada di bibir pantai, bersiap untuk berlayar. Seingatku, Bapak sudah
berlayar tadi malam, dan baru kembali tadi subuh. Kenapa sekarang mereka siap-siap
ingin berlayar lagi? Apa tiba-tiba radar di kapal milik Haji Miun menangkap
segerombolan ikan tuna di tengah laut sana? Eiy … itu pemikiran bodoh! Satu-satunya
alat canggih yang mereka gunakan adalah naluri nelayan mereka yang sudah berpuluh-
puluh tahun lamanya.
Saat aku sudah berada dekat dengan bibir pantai, Bapak melambai padaku sambil
tersenyum. Kulitnya hitam karena terbakar matahari, rambutnya sudah memudar—
bukan karena uban tapi karena sering terkena air laut. Bapakku masih terlihat segar,
meski wajahnya sudah dipenuhi keriput. Mata Bapak yang berwarna hitam pekat
tampak bercahaya saat melihatku, seperti air laut yang memantulkan sinar matahari.
Aku selalu suka Bapak yang tersenyum seperti itu, tapi entah kenapa kakiku bergetar
melihat Beliau sekarang.
Bapak meletakkan jaring yang baru selesai ia rapikan ke dalam perahu. “Sanes, Jang.
Iyeu Pak Sudir ngajak museup, mempeung cuacana sae (enggak, Jang. Ini Pak Sudir ngajak
mancing, mumpung cerah katanya).”
Sejenak aku ragu dengan ajakan Pak Sudir itu. Tidak, bukannya aku takut laut, hanya
saja… seperti ada yang mengganjal di hatiku. Jujur saja, perasaan seperti ini sudah
sangat sering kurasakan—terutama saat melihat Bapak pergi berlayar tengah malam.
Tapi tetap saja aku merasa asing dengan rasa takut ini. Seperti perahu di tengah badai,
di tengah laut.
“Ah… atos wae, atuh maneh jaga kios Uwak bae lah (udah, kamu jagain kios Uwak-mu
sana).”
Aku tidak bisa menjawab kata-kata terakhir Bapak sebelum Beliau naik ke atas perahu
dan berlayar bersama tiga orang pria lainnya. Rasanya… sama seperti melihat Ibu
meninggalkan rumah di hari itu. Umurku saat itu sudah menginjak dua belas tahun,
cukup mengerti tentang situasi macam itu. Dan sejak saat itu aku tidak pernah
menangis lagi untuk Ibu, karena air mata ini tidak cukup untuk membawanya kembali.
Tapi, apakah aku harus menangis hari ini? Untuk membuat perahu yang ditumpangi
Bapak berbalik lagi?
Konyol! Harusnya aku ingat, umurku sudah menginjak tujuh belas tahun.
Aku tidak meninggalkan bibir pantai dan terus menatap perahu Bapak yang sudah tidak
terlihat mata. Sesekali ombak menerpa kakiku. Tidak peduli dengan sinar menyengat
matahari Pantai Selatan dan turis-turis yang masih memadati sisi pantai sebelah sana,
aku tetap duduk di atas bebatuan. Sesekali mataku menangkap keluarga yang asik
bermain air atau hanya duduk-duduk di atas pasir. Aku mungkin sama seperti mereka
jika tidak dibesarkan di laut—menganggap laut sebagai tempat menyenangkan. Tapi
aku tidak bisa tertawa seperti itu, sekalipun aku menganggap laut adalah rumah dan
temanku. Laut menyimpan banyak ketakutan dan kekhawatiran.
Aku menutup mata, berdoa sambil merasakan angin menerpa tubuhku dan ombak yang
terus membasahi kakiku. Kumohon… kali ini pun, jaga Bapak.
Hari semakin sore, matahari pun sudah tidak seterik sebelumnya. Meski kekhawatiran
itu masih ada, aku beranjak dari bebatuan dan kembali ke kios Uwak Imas. Begitu aku
sampai di sana, Uwak Imas langsung menyambutku dengan semprotan mulut
bawelnya. Aku hanya nyengir, tidak mau melawan sekaligus menutupi kekhawatiranku.
Aku baru akan merasa lega kalau sudah melihat Bapak kembali.
Karena sudah tidak ada lagi orang bule yang mendatangi kios Uwak, hanya turis
domestik, aku pun mulai membantunya di kios. Aku hampir melempar uang koin lima
ratusan ke wajah pembeli yang baru selesai membayar ini saat suara Uwak Imas tiba-
tiba memekik keras di depan kios. Aku dan pembeli itu pun melihat ke arah luar, dan
kemudian menghampiri Uwak Imas. Ternyata Uwak Imas tidak sendiri, ada Bi Iyah dan
Mang Satya—penjual pakaian lainnya sekaligus tetanggaku—juga.
“Suara naon eta? Saumur hirup nembe ngadangu sora ombak sepertos kitu (suara apa itu?
seumur hidup baru dengar suara ombak seperti itu).”
Ucapan Uwak Imas ditanggapi dua orang lainnya dengan heboh. Aku mengabaikan
mereka dan memilih memandangi pantai dari tempatku. Tadi di kios Uwak suara radio
dipasang keras-keras, jadi aku tidak bisa mendengar jelas suara yang Uwak bilang.
Benarkah suara ombak sekeras itu?
Mataku memicing. Kios ini tidak jauh dari titik keramaian pantai, oleh sebab itu Uwak
tidak pernah sepi pembeli. Keramaian di sana tidak jauh berbeda dari beberapa saat
lalu, saat aku duduk di atas bebatuan. Suara teriakan bahagia terdengar sampai sini.
Namun beberapa detik kemudian, teriakan bahagia itu menjadi pekikkan ketakutan.
“Bapak…”
***
Suara pedih mengelilingiku. Bagai asap pekat yang menyesakkan dada, tidak
mudah hilang meski aku meniupnya terus menerus, tetap menyerang paru-paru,
serapat apapun aku menutup hidung. Suara orang-orang bersahutan, saling berteriak.
Seolah waktu terus mengejar mereka tanpa lelah, mereka pun tidak berhenti bergerak.
Dalam kericuhan itu, kulihat sosok ringkih yang kusayangi berdiri dengan mata
memerah di ujung sana. Aku tahu Beliau menangis, tapi aku tidak bisa mendengar
suaranya. Kaos belel yang ia dapat dari kampanye partai politik beberapa tahun yang
lalu tampak basah kuyup, begitu juga dengan celana kain hitamnya. Ia meremas topi
yang tadi siang ia kenakan.
Berjalan menuju cahaya menyilaukan itu, sekali lagi aku berharap. Laut, kumohon kali ini
—tidak, maksudku selamanya—jaga Bapak.
Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di neraka itu banyak temannya di dunia
terpanggang panas, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti lagi dengan
keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka tak kurang ibadatnya
dari dia sendiri. Bahkan, ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke
Mekah dan bergelar Syeh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, lalu bertanya
kenapa mereka di neraka semuanya. Tetapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu
pun tak mengerti juga.
“Bagaimana Tuhan kita ini?” kata Haji Saleh kemudian. “Bukankah kita disuruh-Nya taat
beribadah, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi
kini kita dimasukkan ke neraka.”
“Ya. Kami juga berpendapat demikian. Tengoklah itu, orang-orang senegeri kita semua,
dan tak kurang ketaatannya beribadat.”
“Memang tidak adil,” kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
“Kalau begitu, kita harus minta kesaksian kesalahan kita. Kita harus
“Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?” suatu suara melengking
di dalam kelompok orang banyak itu.
“Apa kita revolusikan juga?” tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi
pemimpin gerakan revolusioner.
“Itu tergantung pada keadaan,” kata Haji Saleh. “Yang penting sekarang, mari kita
berdemonstrasi menghadap Tuhan.”
“Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,”
sebuah suara menyela.
Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara
yang menggeletar dan berirama indah, ia memulai pidatonya.
“O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang
paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang
selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-
Mu, dan lain-lainnya. KitabMu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun
membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa, setelah kami Engkau panggil
kemari, Engkau masukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi halhal yang tidak
diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar
hukuman yang Kau jatuhkan kepada kami ditinjau kembali dan memasukkan kami ke
surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam kitab-Mu.”
“Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan
tambang lainnya, bukan?”
“Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami,” mereka mulai menjawab
serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan
yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada
mereka itu.
“Di negeri, di mana tanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?”
“Negeri yang lama diperbudak orang lain itu?” “Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah
penjajah itu, Tuhanku.”
“Benar Tuhanku, hingga kami tidak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka
itu.”
“Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang
hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?”
“Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu, kami tak mau tahu. Yang penting
bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.”
“Sungguhpun anak cucu kami melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu
mereka hafal di luar kepala belaka.”
“Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?”
“Ada, Tuhanku.”
“Kalau ada, mengapa biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua?
Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka.
Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras.
Aku beri engkau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja,
karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku
menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat. Bagaimana engkau bisa
beramal kalau engkau miskin? Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja,
hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembah-Ku saja. Tidak. Kamu semua
mesti masuk neraka! Hai malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di
keraknya.”
Semuanya jadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang
apa jalan yang diridai Allah di dunia.
Tetapi Haji Saleh ingin juga kepastian, apakah yang dikerjakannya di dunia ini salah
atau benar. Tetapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan, ia bertanya saja pada malaikat
yang menggiring mereka itu.
“Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembah Tuhan di dunia?” tanya Haji
Saleh.
“Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau
takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan
kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, hingga mereka
itu kucar-kacir selamanya.. Itulah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal
engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan
mereka sedikit pun.”
Demikian cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi
menjenguk.
“Kakek.”
“Kakek?”
“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang ngeri sekali. Ia
menggorok lehernya dengan pisau cukur.”
Aku mencari Ajo Sidi ke rumahnya. Tetapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku
tanya dia.
“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi. “Tidak ia tahu Kakek meninggal?”
“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kafan buat Kakek tujuh lapis.” “Dan
sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh
perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab,” dan sekarang ke mana
dia?”
“Kerja.”
Lelaki tua itu selalu suka mengenakan lencana merah putih yang disematkan di
bajunya. Di mana saja berada, lencana merah putih selalu menghiasi penampilannya.
Ia memang seorang pejuang yang pernah berperang bersama para pahlawan di masa
penjajahan sebelum bangsa dan negara ini
merdeka. Kini semua teman seperjuangannya telah tiada. Sering ia bersyukur karena
mendapat karunia umur panjang. Ia bisa
Tak lagi dijajah oleh bangsa lain. Tidak lagi berperang gerilya keluar masuk hutan. Tapi
ia juga sering meratap-ratap setiap kali membaca koran yang memberitakan keadaan
negara ini semakin miskin akibat korupsi yang telah dianggap wajar bagi semua
pengelola negara.
Mereka tega mengorbankan anak bangsa sendiri demi keuntungan pribadi. Mereka
mendapat berbagai fasilitas mewah. Seperti rumah, mobil dan juga perempuan-
perempuan cantik. Ia tiba-tiba teringat pengalamannya membantai sejumlah
pengkhianat bangsa di masa penjajahan.
Saat itu ia ditugaskan oleh Jenderal Sudirman untuk membersihkan negara ini dari
pengkhianat bangsa yang telah tega mengorbankan siapa saja demi keuntungan
pribadi. ”Para pengkhianat bangsa adalah musuh yang lebih berbahaya dibanding
Kompeni. Mereka tak pantas hidup di negara sendiri. Kita harus menumpasnya sampai
habis. Mereka tak mungkin bisa diajak berjuang karena sudah nyatanyata berkhianat,”
Jenderal Sudirman berbisik di telinganya ketika ia ikut bergerilya di tengah hutan.
Dasar kaum pengkhianat, senangnya hanya mengumbar nafsu saja. Ia begitu dendam
kepada kaum pengkhianat bangsa. Mereka harus ditumpas habis dengan cara apa
saja. Dan ia memilih cara paling mudah tapi sangat ampuh untuk menumpas kaum
pengkhianat bangsa. Air perasan tape singkong sengaja dibubuhi racun yang diperoleh
dari seorang sahabatnya berkebangsaan Tionghoa yang sangat mendukung
perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Entah terbuat dari bahan apa, racun itu sangat berbahaya. Jika dicampur dengan air
perasan tape singkong, lalu diminum, maka dalam waktu dua jam setelah
meminumnya, maka si peminum akan tertidur untuk selamanya. Tak ada yang tahu,
betapa kaum pengkhianat bangsa tewas satu persatu setelah menenggak air perasan
tape singkong yang telah dicampur dengan racun.
Dokter-dokter yang menolong mereka menduga mereka mati akibat serangan jantung.
Dukun-dukun yang mencoba menolong mereka menduga mereka mati akibat terkena
santet. Pemukapemuka agama yang mencoba menolong mereka menduga mereka
mati akibat kutukan Tuhan karena mereka telah banyak berbuat dosa.
Saat ini aku berada di kelas 3 SMP, setiap hari kujalani bersama dengan ketiga
sahabatku yaitu Aris, Andri, dan Ana. Kita berempat sudah bersahabat sejak kecil.
Suatu saat kami menulis surat perjanjian persahabatan di sobekan kertas yang
dimasukkan ke dalam sebuah botol, kemudian botol tersebut dikubur di bawah pohon
yang nantinya surat tersebut akan kami buka saat kami menerima hasil ujian kelulusan.
Hari yang kami berempat tunggu akhirnya tiba, kami pun menerima hasil ujian dan
hasilnya kita berempat lulus semua.
Kami serentak langsung pergi berlari ke bawah pohon yang pernah kami datangi dan
menggali tepat di mana botol yang dahulu dikubur berada.
Kemudian, kami berempat membuka botol tersebut dan membaca tulisan yang dulu
pernah kami tulis. Kertas tersebut bertuliskan “Kami berjanji akan selalu bersama untuk
selamanya.”
Malamnya kami berempat pergi bersama ke suatu tempat dan disitulah saat-saat yang
tidak bisa aku lupakan karena aris berencana untuk menyatakan perasaannya
kepadaku. Akhirnya aku dan Anis berpacaran.
Begitu juga dengan Andri, dia pun berpacaran dengan Ana. Malam itu sungguh malam
yang istimewa untuk kami berempat. Kami pun bergegas untuk pulang.
“Udahlah Ndi, santai aja, kita nggak bakalan kenapa-kenapa” jawab Andri dengan
santai.
“Aaaaaaaaaa!!!”
Bruuukkk. Mobil yang kami kendarai masuk ke dalam jurang. Aku tak kuasa menahan
air mata yang terus mengalir sampai aku tidak sadarkan diri.
Perlahan aku buka mataku sedikit demi sedikit dan aku melihat ibu berada di
sampingku.
Aku terdiam mendengar ucapan ibu dan air mataku menetes, tangisku tiada henti
mendengar pernyataan ibu.
“Aris, mengapa kamu tinggalkan aku, padahal aku sayang banget ke kamu, aku cinta
kamu, tapi kamu ninggalin aku begitu cepat, semua pergi ninggalin aku.” batinku
berkata.
Lantas, 2 hari berlalu dan aku berkunjung ke makam mereka, aku berharap kami bisa
menghabiskan waktu bersama sampai tua. Tetapi sekarang semua itu hanya angan-
angan. Aku berjanji akan selalu mengenang kalian.