Contoh Cerpen
Contoh Cerpen
Contoh Cerpen
Keheningan hutan itu kemudian pecah saat Teo tiba-tiba saja datang sambil memekik
nyaring, “Hutan terbakar! Hutan terbakar!”
Semua ikut memekik ketakutan. Hutan terbakar! Tempat tinggal mereka terbakar!
“Bora! Apa yang kau lakukan!? Cepat pergi!” Pipin berteriak sambil menarik belalai
Bora dengan belalainya..
Suasana hutan yang tadinya damai tenteram, seketika menjadi neraka bagi semua
hewan. Asap hitam pekat yang mulai menyelimuti seluruh hutan ini. Suhu udara mulai
panas, membuat para hewan makin berteriak nyaring.
Bora panik bukan main. Sambil mengikuti langkah Pipin, matanya bergerak ke
sana-ke mari, mencari sosok ibunya.
“I-ibu … ibumu ….” Pipin tidak bisa menjawab karena sama-sama tidak tahu di
mana ibu Bora berada.
“Aku harus kembali ke sarang!” Bora melepaskan belalainya dari belalai Pipin, lalu
berbalik untuk kembali ke sarangnya.
Namun, sebelum Bora melancarkan niatnya itu, Pipin sudah menarik kembali
belalainya. “Ibumu pasti sudah berada di depan. Bersama gajah dewasa lainnya.”
Bora menghiraukan ucapan Pipin, lalu kembali meloloskan belalainya dan berlari
sekuat mungkin menuju sarangnya.
“Sedang apa kamu?! Cepat pergi dari sini!” teriak ibu Bora sambil menggerakkan
belalainya, menyuruh Bora menjauh dari tempat ini.
“Tidak! Aku tidak mau!” balas Bora keras kepala. Kenapa ibunya masih bisa
berkata seperti itu? Padahal jelas-jelas ia dalam keadaan terjebak api?
“Bora! Ayo pergi!” Tiba-tiba saja Pipin datang ke tempatnya dan langsung menarik
belalai Bora.
“Tidak mau!” Bora menyentak belalai Pipin keras. “Ibu! Aku akan
menyelamatkanmu!”
Kraaak! Braaak!
“IBU!! IBU!!” Bora terus meraung memanggil ibunya. Pohon yang sedang terbakar
itu jatuh dan kemudian menimpa tubuh payah ibu Bora.
“Ayo, Bora, kita harus pergi,” lirih Pipin sambil menarik Bora.
Sekali lagi Bora menoleh ke belakang saat dirinya sudah cukup jauh dari
sarangnya. Tidak ada lagi hutan hijau dengan tumbuhan rindang di sekitarnya. Hutan
hijau yang selalu ia kagumi sudah berubah menjadi hutan merah yang sangat panas.
Dilema Nara karya Alya Khalisah
Nara terbangun karena sinar matahari menembus jendela kamarnya yang entah sejak kapan
terbuka. Sejenak, ia hanya menatap langit-langit kamar. Matanya masih terasa sembab, sisa
tangisan tadi malam.
Kemudian, Nara bangun dan duduk di sisi ranjang kecilnya. Gadis itu memandang sekeliling
kamar, dan tiba-tiba, suara pecahan kaca terdengar dari luar.
Nara menutup kedua telinganya kuat-kuat, enggan mendengar apa pun. Setetes bening air
matanya bergulir di pipi. Wajahnya dibenamkan dalam kedua telapak tangan yang lemah.
Rasanya ia sudah tak sanggup lagi hidup dalam situasi seperti ini. Ia tak kuat hidup dalam
lingkaran kesedihan yang menggiringnya menuju kegilaan.
Nara berjalan perlahan ke luar rumah, di antara jalanan sepi sambil menundukkan kepala seolah
malu dunia melihatnya. Ia menatap siluet hitamnya di antara bayang-bayang pepohonan dan
rumah. Nara berhenti melangkah saat seseorang menghalangi bayangannya.
“Ada yang ingin kukatakan padamu.” Orang itu mulai berbicara kepadanya.
“Kenapa?” Gadis itu bertanya dengan wajah datar, tapi Nara hanya diam. “KENAPA KAMU
HARUS LAHIR DI DUNIA INI?!” Ia mulai membentak.
Nara tak sanggup menatap lawan bicaranya. Ia hanya memegang pipinya yang terasa nyeri
karena tamparan barusan. Hilanglah dari dunia ini, dasar penghancur keluarga orang! hardik
gadis itu. Nara terisak diiringi suara teriakan gadis itu di telinganya. Tetesan bening meleleh,
merayapi sudut wajahnya.
Nara adalah anak perempuan biasa yang hidup dengan kasih sayang utuh dari orang tua. Ia hidup
berkecukupan, bahkan lebih. Semula, ia mengira hidup dalam zona kesempurnaan. Tetapi
ternyata, semua itu hanya bualan. Ayahnya, ternyata, seorang pria yang telah berkeluarga. Saat
itulah ia menyadari, ibunya adalah istri kedua ayahnya.
Keluarganya tidak diinginkan oleh semua orang. Ibunya dianggap wanita yang tak punya harga
diri. Tidak ada yang sudi berbagi nafas dan tempat dengan keluarga Nara. Mereka tidak pernah
mau tahu separah apakah kerusakan jiwa yang mendera orang yang mereka cemooh.
Istri pertama ayah Nara adalah sahabat dekat ibu Nara. Sahabat dekat yang saling mengaitkan
janji satu sama lain sejak duduk di bangku sekolah untuk tidak mengkhianati. Begitu istri
pertama ayahnya mengetahui apa yang telah terjadi, ia tentu syok berat. Suami yang ia cintai,
berpaling darinya. Sahabat yang paling ia percaya, mengkhianatinya dalam waktu yang sama.
Nina, anak istri pertama ayahnya, pun tak percaya. Ia nyaris pingsan saat ayahnya
mengungkapkan hal itu sendiri. Selanjutnya, teror mulai berdatangan sebagai tanda balas
dendam. Mulai dari pecahnya kaca jendela di rumah, hingga lemparan api untuk rumahnya.
“Na?” Lamunan Nara terhenti. Gadis itu tetap diam, memandang kosong.
“Nara? Sayang, kamu ada di dalam, kan?” Panggilan itu tak membuat Nara beranjak dari posisi
yang nyaman bagi dirinya. Kemudian ketukan demi ketukan tak bernada mulai terdengar dari
balik pintu.
“Nara, buka pintunya, Sayang. Ibu mau bicara mengenai kepindahan kita,”
Memang, keluarganya berencana untuk pindah. Pindah ke wilayah yang cukup jauh untuk
mengubur kelamnya masa lalu dan melanjutkan hidup. Tapi baginya, pindah rumah hanyalah
bentuk pelarian diri. Raganya takkan teraniaya lagi. Namun, jiwa dan pikirannya telah menyatu
dengan frustasi berkepanjangan yang diderita Nara selama ini. Ia tetap tidak akan hidup dalam
damai seperti sebelumnya.
Nara bergeming. Dalam pikirannya yang kalut, ia mengingat Nina. Gadis itu ingi ia lenyap dari
dunia ini. Ia ingin Nara musnah. Nara tahu apa artinya itu.
Nara memandangi tubuh kakunya yang ditumpahi tangisan dan penyesalan yang terlontar dari
ayah dan ibunya. Ia tertegun dan mengingat kejadian yang terasa begitu cepat.
Awalnya, ia berniat memutuskan urat nadi tangan kirinya dengan gunting hijau kesukaannya.
Awalnya, ia tidak mau melihat orangtuanya menangis hebat sambil memeluknya. Awalnya, ia
ingin merasakan rasa sakit yang mendera jiwanya lebih lama lagi. Namun, saat ia menutup mata
dan menguatkan diri atas segala risiko perbuatannya nanti, seberkas cahaya putih menyinari
dirinya. Sesaat, ia pikir cahaya itu hanya datang dari luapan fantasinya ketika ia sudah berhasil
mati. Kemudian Nara tahu, kematiannya akan membawa segala keadaan berubah menjadi baik.
Inilah yang diinginkan semua orang.
Nara tersenyum. Sedikit pun, ia tak merasakan kesedihan. Ia hanya merasakan gema bebas dan
damai berdengung dalam pikirannya. Sekarang, ia tak perlu lagi menerima berbagai bentuk
kekerasan mental dari orang-orang di sekitarnya. Ia sudah bebas dan hidup dalam kedamaian
yang dirindukan.
Nara menutup matanya, merasakan seluruh sensasi dan kenikmatan damai yang mengalir di
sekujur tubuhnya. Berkas-berkas cahaya itu kembali datang dan menyinari tubuhnya, menuntun
gadis kecil itu menuju dimensi lain. Dimensi yang akan membawanya menuju keabadian.
Badai yang Reda karya Fauzia. A
Puluhan layang-layang yang berada di atas kepalaku terlihat seperti rangkaian burung yang
sedang bermigrasi. Angin pantai yang berhembus kencang membuat mereka terbang lebih jauh
dan tinggi, tapi tetap di bawah kendali kekangan tali kenur. Aku ingin seperti layang-layang.
Walau beberapa orang yang kukenal mengatakan, hidup seperti layang-layang tidak sepenuhnya
bebas. Sekilas terlihat bebas, tapi sebuah tali tipis namun kuat mengaturnya.
Tapi aku tetap ingin menjadi layang-layang yang terbang tinggi di langit Pangandaran yang
cerah ini.
Aku melihat sekeliling, pertengahan bulan Juli memang puncak liburan di mana-mana. Banyak
wisatawan asing yang sedang bermain di Pantai Selatan ini. Entah itu bermain layang-layang
atau hanya sekadar duduk-duduk menikmati pemandangan Pantai Pangandaran yang cerah ini.
Aku sendiri sedang duduk di depan kios Uwak Imas yang berjualan pakaian. Bau amis khas laut
(dan juga karena pabrik ikan asin yang tidak jauh dari tempatku sekarang) sudah menjadi udara
sehari-hari yang kuhirup. Sinar matahari yang terik menyentuh kulitku dengan ganas, tapi aku
tetap bertahan duduk di luar kios. Pasalnya, Uwak Imas tengah sibuk melayani turis asing yang
ingin membeli dagangannya. Aku tidak mau masuk, karena pasti Uwak Imas akan menyuruhku
untuk melayani turis-turis itu, walaupun dia tahu kalau aku hanya bisa “yes” dan “no”.
Ketika aku mengalihkan pandangan dari layang-layang, aku melihat Bapak dan tiga orang
lainnya berada di bibir pantai, bersiap untuk berlayar. Seingatku, Bapak sudah berlayar tadi
malam, dan baru kembali tadi subuh. Kenapa sekarang mereka siap-siap ingin berlayar lagi? Apa
tiba-tiba radar di kapal milik Haji Miun menangkap segerombolan ikan tuna di tengah laut sana?
Eiy … itu pemikiran bodoh! Satu-satunya alat canggih yang mereka gunakan adalah naluri
nelayan mereka yang sudah berpuluh-puluh tahun lamanya.
Kakiku bergerak ke arah mereka. Angin berhembus sangat keras di telingaku. Dibesarkan di
pesisir pantai membuat aku memiliki ketakutan yang berbeda dari orang lain. Di saat orang lain
ketakutan melihat keluarganya terombang-ambing ombak, aku merasakan hal yang jauh daripada
itu. Aku takut membenci laut. Aku takut jika laut yang selama ini kuanggap teman, berbalik
menjadi musuhku dan melenyapkan segala yang kucintai.
Saat aku sudah berada dekat dengan bibir pantai, Bapak melambai padaku sambil tersenyum.
Kulitnya hitam karena terbakar matahari, rambutnya sudah memudar—bukan karena uban tapi
karena sering terkena air laut. Bapakku masih terlihat segar, meski wajahnya sudah dipenuhi
keriput. Mata Bapak yang berwarna hitam pekat tampak bercahaya saat melihatku, seperti air
laut yang memantulkan sinar matahari. Aku selalu suka Bapak yang tersenyum seperti itu, tapi
entah kenapa kakiku bergetar melihat Beliau sekarang.
Bapak meletakkan jaring yang baru selesai ia rapikan ke dalam perahu. “Sanes, Jang. Iyeu Pak
Sudir ngajak museup, mempeung cuacana sae (enggak, Jang. Ini Pak Sudir ngajak mancing,
mumpung cerah katanya).”
Sejenak aku ragu dengan ajakan Pak Sudir itu. Tidak, bukannya aku takut laut, hanya saja…
seperti ada yang mengganjal di hatiku. Jujur saja, perasaan seperti ini sudah sangat sering
kurasakan—terutama saat melihat Bapak pergi berlayar tengah malam. Tapi tetap saja aku
merasa asing dengan rasa takut ini. Seperti perahu di tengah badai, di tengah laut.
“Ah… atos wae, atuh maneh jaga kios Uwak bae lah (udah, kamu jagain kios Uwak-mu sana).”
Aku tidak bisa menjawab kata-kata terakhir Bapak sebelum Beliau naik ke atas perahu dan
berlayar bersama tiga orang pria lainnya. Rasanya… sama seperti melihat Ibu meninggalkan
rumah di hari itu. Umurku saat itu sudah menginjak dua belas tahun, cukup mengerti tentang
situasi macam itu. Dan sejak saat itu aku tidak pernah menangis lagi untuk Ibu, karena air mata
ini tidak cukup untuk membawanya kembali.
Tapi, apakah aku harus menangis hari ini? Untuk membuat perahu yang ditumpangi Bapak
berbalik lagi?
Konyol! Harusnya aku ingat, umurku sudah menginjak tujuh belas tahun.
Aku tidak meninggalkan bibir pantai dan terus menatap perahu Bapak yang sudah tidak terlihat
mata. Sesekali ombak menerpa kakiku. Tidak peduli dengan sinar menyengat matahari Pantai
Selatan dan turis-turis yang masih memadati sisi pantai sebelah sana, aku tetap duduk di atas
bebatuan. Sesekali mataku menangkap keluarga yang asik bermain air atau hanya duduk-duduk
di atas pasir. Aku mungkin sama seperti mereka jika tidak dibesarkan di laut—menganggap laut
sebagai tempat menyenangkan. Tapi aku tidak bisa tertawa seperti itu, sekalipun aku
menganggap laut adalah rumah dan temanku. Laut menyimpan banyak ketakutan dan
kekhawatiran.
Aku menutup mata, berdoa sambil merasakan angin menerpa tubuhku dan ombak yang terus
membasahi kakiku. Kumohon… kali ini pun, jaga Bapak.
Hari semakin sore, matahari pun sudah tidak seterik sebelumnya. Meski kekhawatiran itu masih
ada, aku beranjak dari bebatuan dan kembali ke kios Uwak Imas. Begitu aku sampai di sana,
Uwak Imas langsung menyambutku dengan semprotan mulut bawelnya. Aku hanya nyengir,
tidak mau melawan sekaligus menutupi kekhawatiranku. Aku baru akan merasa lega kalau sudah
melihat Bapak kembali.
Karena sudah tidak ada lagi orang bule yang mendatangi kios Uwak, hanya turis domestik, aku
pun mulai membantunya di kios. Aku hampir melempar uang koin lima ratusan ke wajah
pembeli yang baru selesai membayar ini saat suara Uwak Imas tiba-tiba memekik keras di depan
kios. Aku dan pembeli itu pun melihat ke arah luar, dan kemudian menghampiri Uwak Imas.
Ternyata Uwak Imas tidak sendiri, ada Bi Iyah dan Mang Satya—penjual pakaian lainnya
sekaligus tetanggaku—juga.
“Suara naon eta? Saumur hirup nembe ngadangu sora ombak sepertos kitu (suara apa itu?
seumur hidup baru dengar suara ombak seperti itu).”
Ucapan Uwak Imas ditanggapi dua orang lainnya dengan heboh. Aku mengabaikan mereka dan
memilih memandangi pantai dari tempatku. Tadi di kios Uwak suara radio dipasang keras-keras,
jadi aku tidak bisa mendengar jelas suara yang Uwak bilang. Benarkah suara ombak sekeras itu?
Mataku memicing. Kios ini tidak jauh dari titik keramaian pantai, oleh sebab itu Uwak tidak
pernah sepi pembeli. Keramaian di sana tidak jauh berbeda dari beberapa saat lalu, saat aku
duduk di atas bebatuan. Suara teriakan bahagia terdengar sampai sini. Namun beberapa detik
kemudian, teriakan bahagia itu menjadi pekikkan ketakutan.
Teriakan itu bersahut-sahutan. Gemuruh yang—mungkin—hanya didengar Uwak Imas, kini aku
bisa mendengarnya juga. Orang-orang berlari ke arah kami. Tidak, lebih tepatnya menjauh dari
bibir pantai ke tempat sejauh mungkin. Tapi aku tidak bisa bergerak meski keadaan sangat kacau
di sekitarku. Suaraku hanya tertahan sampai tenggorokan, dan mataku hanya bergerak ke atas,
mengikuti gerakkan ombak di atas kepalaku. Telingaku teredam. Seluruh tubuhku bergerak
mengikuti alur, terhempas. Nafasku terasa begitu perih, dan itu menjulur ke semua bagian
tubuhku.
“Bapak…”
***
Suara pedih mengelilingiku. Bagai asap pekat yang menyesakkan dada, tidak mudah hilang
meski aku meniupnya terus menerus, tetap menyerang paru-paru, serapat apapun aku menutup
hidung. Suara orang-orang bersahutan, saling berteriak. Seolah waktu terus mengejar mereka
tanpa lelah, mereka pun tidak berhenti bergerak.
Dalam kericuhan itu, kulihat sosok ringkih yang kusayangi berdiri dengan mata memerah di
ujung sana. Aku tahu Beliau menangis, tapi aku tidak bisa mendengar suaranya. Kaos belel yang
ia dapat dari kampanye partai politik beberapa tahun yang lalu tampak basah kuyup, begitu juga
dengan celana kain hitamnya. Ia meremas topi yang tadi siang ia kenakan.
Langit malam di belakangnya, seperti latar belakang yang menggambarkan kehampaannya. Dan
aku hanya bisa berdiri di sini, tanpa bisa mengucapkan kata atau bahkan menggerakan kaki
untuk mendekatinya. Kakinya yang gemetar, perlahan menekuk, berjongkok di depan sosok
kurus yang terbujur kaku. Lalu, seluruh tubuhnya bergetar, tanpa terkecuali. Bapak terus
menunduk, tidak mengucapkan apapun, dan lama kelamaan aku bisa merasakan hujan
membasahi tubuhku sangat deras, seperti air mata Bapak yang tidak bisa berhenti. Tangannya
menggapai-gapai sesuatu dengan isak tangis pilunya memenuhi paru-paru.
Seseorang datang setelahnya, berusaha menghentikan Bapak yang seperti rela berbaring di sana
untuk menemani sosok itu. Sekuat apapun Bapak berteriak, semua tidak akan kembali. Dan
bodohnya, aku hanya bisa berdiri di sini.
Hanya membiarkan mereka menutup kantong kuning yang membungkus tubuhku, menyisakan
tangis pedih Bapak di antara huru-hara yang terjadi di sana. Kegelapan itu pun berubah menjadi
cahaya terang.
Berjalan menuju cahaya menyilaukan itu, sekali lagi aku berharap. Laut, kumohon kali ini—
tidak, maksudku selamanya—jaga Bapak.
Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis
Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di neraka itu banyak temannya di dunia terpanggang
panas, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena
semua orang yang dilihatnya di neraka tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan, ada salah
seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar Syeh pula. Lalu Haji Saleh
mendekati mereka, lalu bertanya kenapa mereka di neraka semuanya. Tetapi sebagaimana Haji
Saleh, orang-orang itu pun tak mengerti juga.
“Bagaimana Tuhan kita ini?” kata Haji Saleh kemudian. “Bukankah kita disuruh-Nya taat
beribadah, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita
dimasukkan ke neraka.”
“Ya. Kami juga berpendapat demikian. Tengoklah itu, orang-orang senegeri kita semua, dan tak
kurang ketaatannya beribadat.”
“Memang tidak adil,” kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
“Kalau begitu, kita harus minta kesaksian kesalahan kita. Kita harus
“Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?” suatu suara melengking di dalam
kelompok orang banyak itu.
“Apa kita revolusikan juga?” tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin
gerakan revolusioner.
“Itu tergantung pada keadaan,” kata Haji Saleh. “Yang penting sekarang, mari kita
berdemonstrasi menghadap Tuhan.”
“Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,” sebuah suara
menyela.
Lalu, mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan. Dan Tuhan bertanya, “ Kalian mau
apa?”
Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang
menggeletar dan berirama indah, ia memulai pidatonya.
“O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling
taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut
nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya.
KitabMu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun membacanya. Akan tetapi,
Tuhanku yang Mahakuasa, setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau masukkan kami ke
neraka. Maka sebelum terjadi halhal yang tidak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang
yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kau jatuhkan kepada kami ditinjau
kembali dan memasukkan kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam kitab-Mu.”
“Kalian di dunia tinggal di mana?” tanya Tuhan.
“Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang
lainnya, bukan?”
“Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami,” mereka mulai menjawab serentak.
Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka
sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
“Di negeri, di mana tanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?”
“Negeri yang lama diperbudak orang lain itu?” “Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah penjajah
itu, Tuhanku.”
“Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya dan diangkutnya ke negerinya, bukan?”
“Benar Tuhanku, hingga kami tidak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.”
“Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil
tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?”
“Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu, kami tak mau tahu. Yang penting bagi
kami ialah menyembah dan memuji Engkau.”
“Sungguhpun anak cucu kami melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka
hafal di luar kepala belaka.”
“Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?”
“Ada, Tuhanku.”
“Kalau ada, mengapa biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua? Sedang
harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih
suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri engkau negeri yang
kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan
peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping
beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin? Engkau kira aku ini suka
pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembah-Ku saja.
Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka! Hai malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka.
Letakkan di keraknya.”
Semuanya jadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan
yang diridai Allah di dunia.
Tetapi Haji Saleh ingin juga kepastian, apakah yang dikerjakannya di dunia ini salah atau benar.
Tetapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan, ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring
mereka itu.
“Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembah Tuhan di dunia?” tanya Haji Saleh.
“Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut
masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu
sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, hingga mereka itu kucar-kacir selamanya..
Itulah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara
semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.”
Demikian cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi
menjenguk.
“Kakek.”
“Kakek?”
“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang ngeri sekali. Ia
menggorok lehernya dengan pisau cukur.”
“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya melangkah secepatnya meninggalkan istriku
yang tercengang-cengang.
Aku mencari Ajo Sidi ke rumahnya. Tetapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi. “Tidak ia tahu Kakek meninggal?”
“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kafan buat Kakek tujuh lapis.” “Dan
sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi
yang tidak sedikit pun bertanggung jawab,” dan sekarang ke mana dia?”
“Kerja.”
Lelaki tua itu selalu suka mengenakan lencana merah putih yang disematkan di bajunya. Di
mana saja berada, lencana merah putih selalu menghiasi penampilannya.
Ia memang seorang pejuang yang pernah berperang bersama para pahlawan di masa penjajahan
sebelum bangsa dan negara ini
merdeka. Kini semua teman seperjuangannya telah tiada. Sering ia bersyukur karena mendapat
karunia umur panjang. Ia bisa
Tak lagi dijajah oleh bangsa lain. Tidak lagi berperang gerilya keluar masuk hutan. Tapi ia juga
sering meratap-ratap setiap kali membaca koran yang memberitakan keadaan negara ini semakin
miskin akibat korupsi yang telah dianggap wajar bagi semua pengelola negara.
Banyak kekayaan negara juga dikuras habis-habisan oleh perusahaan-perusahaan asing yang
berkolaborasi dengan elite
politik. Kini, semua elite politik hidup dalam kemewahan, persis seperti para pengkhianat bangsa
sebelum negara ini merdeka. Dulu, pada masa penjajahan, para pengkhianat bangsa menjadi
mata-mata Kompeni.
Mereka tega mengorbankan anak bangsa sendiri demi keuntungan pribadi. Mereka mendapat
berbagai fasilitas mewah. Seperti rumah, mobil dan juga perempuan-perempuan cantik. Ia tiba-
tiba teringat pengalamannya membantai sejumlah pengkhianat bangsa di masa penjajahan.
Saat itu ia ditugaskan oleh Jenderal Sudirman untuk membersihkan negara ini dari pengkhianat
bangsa yang telah tega mengorbankan siapa saja demi keuntungan pribadi. ”Para pengkhianat
bangsa adalah musuh yang lebih berbahaya dibanding Kompeni. Mereka tak pantas hidup di
negara sendiri. Kita harus menumpasnya sampai habis. Mereka tak mungkin bisa diajak berjuang
karena sudah nyatanyata berkhianat,” Jenderal Sudirman berbisik di telinganya ketika ia ikut
bergerilya di tengah hutan.
Dasar kaum pengkhianat, senangnya hanya mengumbar nafsu saja. Ia begitu dendam kepada
kaum pengkhianat bangsa. Mereka harus ditumpas habis dengan cara apa saja. Dan ia memilih
cara paling mudah tapi sangat ampuh untuk menumpas kaum pengkhianat bangsa. Air perasan
tape singkong sengaja dibubuhi racun yang diperoleh dari seorang sahabatnya berkebangsaan
Tionghoa yang sangat mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Entah terbuat dari bahan apa, racun itu sangat berbahaya. Jika dicampur dengan air perasan tape
singkong, lalu diminum, maka dalam waktu dua jam setelah meminumnya, maka si peminum
akan tertidur untuk selamanya. Tak ada yang tahu, betapa kaum pengkhianat bangsa tewas satu
persatu setelah menenggak air perasan tape singkong yang telah dicampur dengan racun.
Dokter-dokter yang menolong mereka menduga mereka mati akibat serangan jantung. Dukun-
dukun yang mencoba menolong mereka menduga mereka mati akibat terkena santet.
Pemukapemuka agama yang mencoba menolong mereka menduga mereka mati akibat kutukan
Tuhan karena mereka telah banyak berbuat dosa.
Persahabatan Sejati
Saat ini aku berada di kelas 3 SMP, setiap hari kujalani bersama dengan ketiga sahabatku yaitu
Aris, Andri, dan Ana. Kita berempat sudah bersahabat sejak kecil.
Suatu saat kami menulis surat perjanjian persahabatan di sobekan kertas yang dimasukkan ke
dalam sebuah botol, kemudian botol tersebut dikubur di bawah pohon yang nantinya surat
tersebut akan kami buka saat kami menerima hasil ujian kelulusan.
Hari yang kami berempat tunggu akhirnya tiba, kami pun menerima hasil ujian dan hasilnya kita
berempat lulus semua.
Kami serentak langsung pergi berlari ke bawah pohon yang pernah kami datangi dan menggali
tepat di mana botol yang dahulu dikubur berada.
Kemudian, kami berempat membuka botol tersebut dan membaca tulisan yang dulu pernah kami
tulis. Kertas tersebut bertuliskan “Kami berjanji akan selalu bersama untuk selamanya.”
Malamnya kami berempat pergi bersama ke suatu tempat dan disitulah saat-saat yang tidak bisa
aku lupakan karena aris berencana untuk menyatakan perasaannya kepadaku. Akhirnya aku dan
Anis berpacaran.
Begitu juga dengan Andri, dia pun berpacaran dengan Ana. Malam itu sungguh malam yang
istimewa untuk kami berempat. Kami pun bergegas untuk pulang.
“Udahlah Ndi, santai aja, kita nggak bakalan kenapa-kenapa” jawab Andri dengan santai.
“Aaaaaaaaaa!!!”
Bruuukkk. Mobil yang kami kendarai masuk ke dalam jurang. Aku tak kuasa menahan air mata
yang terus mengalir sampai aku tidak sadarkan diri.
Perlahan aku buka mataku sedikit demi sedikit dan aku melihat ibu berada di sampingku.
“Kamu di rumah sakit Nak, kamu yang sabar ya, Andri dan aris tidak tertolong di lokasi
kecelakaan” Jawab ibu sambil menitikkan air mata.
Aku terdiam mendengar ucapan ibu dan air mataku menetes, tangisku tiada henti mendengar
pernyataan ibu.
“Aris, mengapa kamu tinggalkan aku, padahal aku sayang banget ke kamu, aku cinta kamu, tapi
kamu ninggalin aku begitu cepat, semua pergi ninggalin aku.” batinku berkata.
Lantas, 2 hari berlalu dan aku berkunjung ke makam mereka, aku berharap kami bisa
menghabiskan waktu bersama sampai tua. Tetapi sekarang semua itu hanya angan-angan. Aku
berjanji akan selalu mengenang kalian.
Ketika Laut Marah karya Widya Suwarna
Sudah empat hari nelayan-nelayan tak bisa turun ke laut. Pada malam hari, hujan lebat turun.
Gemuruh gelombang, tiupan angin kencang di kegelapan malam seolah-olah memberi tanda
bahwa alam sedang murka, laut sedang marah. Bahkan, bintang-bintang pun seolah tak berani
menampakkan diri.
Nelayan-nelayan miskin yang menggantungkan rezekinya pada laut setiap hari bersusah hati.
Ibu-ibu nelayan terpaksa merelakan menjual emas simpanannya yang hanya satu dua gram untuk
membeli kebutuhan sehari-hari. Mereka yang tak punya benda berharga terpaksa meminjam pada
lintah darat.
Namun, selama hari-hari sulit itu, ada pesta di rumah Pak Yus. Tak ada yang menikah, tak ada
yang ulang tahun, dan Pak Yus juga bukan orang kaya. Pak Yus hanyalah nelayan biasa, seperti
para tetangganya.
Pada hari-hari sulit itu, Pak Yus menyuruh istrinya memasak nasi dan beberapa macam lauk-
pauk banyak-banyak. Lalu, ia mengundang anak-anak tetangga yang berkekurangan untuk
makan di rumahnya. Dengan demikian rengek tangis anak yang lapar tak terdengar lagi, diganti
dengan perut kenyang dan wajah berseri-seri.
Kini tibalah hari kelima. Pagi-pagi Ibu Yus memberi laporan, “Pak, uang kita tinggal 20.000.
Kalau hari ini kita menyediakan makanan lagi untuk anak-anak tetangga, besok kita sudah tak
punya uang. Belum tentu nanti sore Bapak bisa melaut!”
Pak Yus terdiam sejenak. Sosok tubuhnya yang hitam kukuh melangkah ke luar rumah,
memandang ke arah pantai dan memandang ke langit. Nun jauh di sana segumpal awan hitam
menjanjikan cuaca buruk nanti petang.
Kemudian, ia masuk ke rumah dan berkata mantap, “Ibu pergi saja ke pasar dan berbelanja.
Seperti kemarin, ajak anak-anak tetangga makan. Urusan besok jangan dirisaukan.”
Ibu Yus pergi ke dapur dan mengambil keranjang pasar. Seperti biasa, ia patuh pada perintah
suaminya. Selama ini Pak Yus sanggup mengatasi kesulitan apa pun. Sementara itu Pak Yus
masuk ke kamar dan berdoa. la mohon agar Tuhan memberikan cuaca yang baik nanti petang
dan malam. Dengan demikian para nelayan bisa pergi ke laut menangkap ikan dan besok ada
cukup makanan untuk seisi desa.
Siang harinya, anak-anak makan di rumah Pak Yus. Mereka bergembira. Setelah selesai, mereka
menyalami Pak dan Bu Yus lalu mengucapkan terima kasih.
“Pak Yus, apakah besok kami boleh makan di sini lagi?” seorang gadis kecil yang menggendong
adiknya bertanya. Matanya yang besar hitam memandang penuh harap.
Ibu Yus tersenyum sedih. la tak tahu harus menjawab apa. Tapi dengan mantap, dengan suaranya
yang besar dan berat Pak Yus berkata, “Tidak Titi, besok kamu makan di rumahmu dan semua
anak ini akan makan enak di rumahnya masing-masing.”
Titi dan adiknya tersenyum. Mereka percaya pada perkataan Pak Yus. Pak Yus nelayan
berpengalaman. Mungkin ia tahu bahwa nanti malam cuaca akan cerah dan para nelayan akan
panen ikan.
Kira-kira jam empat petang Pak Yus ke luar rumah dan memandang ke pantai. Laut tenang,
angin bertiup sepoi-sepoi dan daun pohon kelapa gemerisik ringan. Segumpal awan hitam yang
menjanjikan cuaca buruk sirna entah ke mana. la pergi tanpa pamit.
Malam itu, Pak Yus dan para tetangganya pergi melaut. Perahu meluncur tenang. Para nelayan
berhasil menangkap banyak ikan. Ketika fajar merekah perahu-perahu mereka menuju pantai dan
disambut oleh para anggota keluarga dengan gembira.
Pak Yus teringat pada anak-anak tetangga. Tuhan telah menjawab doanya. Semua nelayan itu
mendapat rezeki. Hari itu tak ada pesta di rumah Pak Yus. Semua anak makan di rumah ibunya
masing-masing. Sekali lagi di atas perahunya, Pak Yus memanjatkan doa syukur.
Kancil dan Buaya karya Syrli Martin
Alkisah, di sebuah pinggir hutan, terdapat seekor Kancil yang sangat cerdik. Ia hidup di hutan
bersama hewan-hewan lainnya, di antaranya ada kerbau, gajah, kelinci, dan masih banyak lagi.
Si Kancil selalu mencari makan di pinggiran sungai.
Pada suatu hari, ia merasa sangat lapar. Kemudian, si Kancil bergagas pergi untuk mencari
makan. Setibanya di tepi sungai, ia melihat sebuah pohon rambutan yang sangat rimbun di
seberang sungai. Si Kancil berniat ingin mengambil buah rambutan tersebut, tetapi di dalam
sungai terdapat banyak buaya yang sedang mengintai Kancil.
Kemudian, para buaya berkata, “Hey, Kancil! Apakah kau sudah bosan dengan hidupmu,
sehingga kau datang kemari?”.
“Eh… tidak. Aku kesini untuk menyampaikan undangan kepada kalian”, jawab Kancil.
Para buaya pun terkejut mendengar perkataan si Kancil. Buaya bertanya, “Undangan apa?”.
Lalu, Kancil menjawab pertanyaan para buaya dengan santai. “Minggu depan raja Sulaiman akan
merayakan sebuah pesta dan kalian semua diundang dalam acara tersersebut”.
“Iya, pesta. Di sana terdapat banyak makanan. Ada daging rusa, daging kerbau, dan daging gajah
pun juga ada.”
“Aaaaakh, pasti kau berbohong! Kali ini kau tidak bisa menipu kami lagi!”, buaya menyahut
dengan sedikit marah.
“Eh tidak-tidak, kali ini aku serius”, jawab Kancil untuk meyakinkan para buaya.
“Apa kau yakin…?”, tanya para buaya dengan perasaan khawatir akan ditipu Kancil.
“Nah, sekarang kalian berbarislah dengan rapi, aku akan menghitung berapa jumlah semua buaya
yang ada di dalam sungai ini”.
Kemudian, para buaya berbaris dengan rapi. Berharap mereka semua akan mendapatkan
makanan yang sama rata. Kancil pun mulai menghitung satu persatu buaya yang ada dalam
sungai terebut. Setelah sampai di punggung buaya terakhir, Kancil langsung melompat ke tepian
sungai.
Setelah itu, ada seekor tupai yang berkata, “Pesta itu sudah dirayakan minggu lalu, bukan
minggu depan. Hahaha!”. Mendengar perkataan tupai, mereka pun merasa tertipu dan sangat
marah. Melihat para buaya yang tengah marah, si Kancil malah cengengesan dan menjulurkan
lidahnya ke depan. Kemudian, Kancil bergegas pergi dari tepi sungai, dan menuju pohon
rambutan yang berbuah lebat itu. Akhirnya, Kancil dapat makan buah rambutan yang dia
inginkan.