Kel 3 Psikologi Shalat
Kel 3 Psikologi Shalat
Kel 3 Psikologi Shalat
“PSIKOLOGI SHALAT”
Disusun oleh:
Dosen pengampu:
kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-
Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Psikologi Shalat”
Makalah “Psikologi Shalat“ ini disusun guna memenuhi tugas Pak Abdullah
Adhha, CHT, S.Psi., M.Psi., Psikolog pada mata kuliah Psikologi Ibadah di Universitas
Abdurrab Pekanbaru. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat
Adhha, CHT, S.Psi., M.Psi., Psikolog selaku dosen mata kuliah. Tugas yang telah
diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni
penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah
ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama adalah proses hubungan manusia yang dirasakan terhadap sesuatu yang
diyakininya, bahwa sesuatu lebih dari manusia (Darajat, Ilmu Jiwa Agama, 2005). Oleh karena
itu Agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Fitrah manusia sebagai makhluk
ciptaan Allah SWT ialah manusia diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid.
Selain itu Shalat, dzikir, dan doa merupakan amalan muslim dalam membangun fisikal dan
psikologikal serta dapat dijadikan sebagain sarana psikoterapi guncangan jiwa, kecemasan,
gangguan mental, dan lain sebagainya.
Ketenangan jiwa dapat dicapai dengan dzikir (mengingat Allah), rasa takwa dan
perbuatan baik adalah metode pencegahan dari rasa takut dan sedih, jalan bagaimana cara
seseorang mengatasi kesukaran ialah dengan kesabaran dan shalat, dan Allah mensifati diri-
Nya bahwa Dia-lah Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Bijaksana yang dapat memberikan
ketenangan jiwa ke dalam hati orang yang beriman. Jadi, semakin dekat seseorang kepada
Tuhan, dan semakin banyak ibadahnya, maka akan semakin tentramlah jiwanya serta semakin
mampu ia menghadapi kekecewaan dan kesukarankesukaran dalam hidup. Seseorang dengan
komitmen agama yang tinggi akan meningkatkan kualitas ketahanan mentalnya karena
memiliki self control, self esteem dan confidence yang tinggi. Juga mereka mampu
mempercepat penyembuhan ketika sakit, karena mereka mampu meningkatkan potensi diri
serta mampu bersikap tabah dan ikhlas dalam menghadapi musibah (Firdaus, 2016) .
Shalat, Dzikir, dan Doa kepada Allah SWT, semuanya merupakan cara-cara pelegaan batin
yang akan mengembalikan ketenangan dan ketentraman jiwa manusia. oleh karena itu, kami
mencoba mencari pengaruh ajaran-ajaran agama islam dalam mengembangkan kesehatan mental
bagi masyarakat luas. segala macam ibadah yang positif dan bermanfaat bagi diri maupun alam
sekitar, merupakan cara dalam membentuk dan meningkatkan kesehatan mental seseorang.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian shalat?
2. Apa saja syarat dan rukun shalat?
3. Apa pengertian adzan?
4. Apa pengertian shalat jamaah?
5. Apa pengertian zikir dan doa?
6. Apa hubungan shalat dan dzikir terhadap psikologis seseorang?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui apa pengertian shalat dan bagaimana kaitannya terhadap psikologi.
2. Mengetahui apa saja syarat dan rukun shalat serta kaitannya dengan psikologi.
3. Mengetahui pengertian adzan dan bagaimana kaitannya terhadap psikologi
4. Mengetahui pengertian shalat jamaah serta kaitannya dengan psikologi
3
5. Mengetahui pengertian zikir dan doa dan kaitannya terhadap psikologi.
6. Mengetahui hubungan shalat dan dzikir terhadap psikologis seseorang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Shalat
Pengertian shalat dari bahasa Arab As-sholah, sholat menurut Bahasa / Etimologi
berarti Do’a dan secara terminology/istilah, para ahli fiqh mengartikan secara lahir dan hakiki.
Secara lahiriah shalat berarti beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan
diakhiri dengan salam, yang dengannya kita beribadah kepada Allah menurut syarat-syarat
yang telah ditentukan. Adapun secara hakikinya ialah berhadapan hati (jiwa) kepada Allah,
secara yang mendatangkan
takut kepadaNya serta
menumbuhkan di dalam jiwa
rasa kebesaranNya atau
mendhohirkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan
pekerjaan atau kedua-duanya (Rasjid, 1989). Sebagaimana perintah-Nya dalam surah al-
Ankabut ayat 45:
“bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan
mungkar. Dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa shalat merupakan ibadah
kepada Tuhan, berupa perkataan dengan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri
dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’.
4
Syarat-syarat shalat adalah hal-hal yan harus dipenuhi sebelum shalat. Syarat-syarat shalar
terbagi menjadi 2 yaitu syarat wajib sholat dan syarat sah sholat (Darajat, Ilmu Fiqh, 1995).
Selain syarat shalat yang harus dipenuhi, shalat juga memiliki rukun-rukun di dalamnya
yang wajib dilakukan dalam pelaksanaan shalat. Oleh karenanya, rukun shalat dapat pula
disebut fardhu.2 berikut ini merupakan rukun-rukun shalat, yaitu:
C. Adzan
1. Pengertian Azan
Azan secara lughawi (etimologi): menginformasikan semata-mata. Sedangkan
secara istilah (terminologi) adalah: menginformasikan (memberitahukan) tentang
waktu-waktu salat dengan kata-kata tertentu. Azan ini telah diperintahkan sejak tahun
pertama dari Hijrah Nabi ke Madinah (Mughaniyah, 2007).
Selain itu, azan juga bermakna seruan atau pangilan. Makna ini digunakan
ketika Nabi Ibrahim 'alaihissalam diperintahkan untuk memberitahukan kepada
manusia untuk melakukan ibadah haji yang terdapat dalam Al-Quran Surat Al- Hajj
Ayat 27 yang berarti ”dan panggilah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka
akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang
datang dari segenap penjuru yang jauh,( QS. Al-Hajj : 27)2
Jadi azan adalah suatu pemberitahuan seorang mu'azin (orang yang azan)
kepada manusia mengenai masuknya waktu salat fardhu. Azan setiap hari kita
mendengarnya mengalun dari masjid.
2. Fungsi Azan
Pada dasarnya fungsi azan adalah panggilan menunaikan sholat berjamaah.
Dibeberapa tempat, azan mengalami pergeseran atau katakanlah sebuah
6
pengembangan dari fungsi dasar itu, dengan difungsikannya azan sebagi
pemberitahuan akan sudah waktu masuknya solat. Hal ini tampak dari sekian masjid
yang mengumandangkan waktu salat, sementara tak satupun orang hadir selain
tukang azan itu saja. Jadi akhirnya azan berfungsi tidak lebih dari sebuah
pengumuman. Fungsi diatas kita masukkan dalam bagian fungsi dasar azan karena
kedua-duanya menyangkuat ihwal salat. Kemudian, selain fungsi dasar itu, azan juga
sunnah difungsikan untuk hal-hal lain. Katakanlah sebagai fungsi ganda, diantaranya :
a. Disunnahkan azan ketika berhadapan dengan penyihir dari para pengabdi jin dan
syetan yang bisa berubah-ubah bentuk satu kebentuk yang lain. Azan disisni
dimaksudkan guna menolak kejahatan setan karena makhluk terkutuk itu lari kala
mendengar azan.
b. Disunnahkan azan pada saat ada kejadian-kejadian yang mencekam, misalnya
pada saat terjadi kebakaran, peperangan, gempa dan lain sebagainya. termasuk
dalam hal ini adalah saat hendak melepas kepergian seseorang, orang yang mau
pergi haji dan lain sebagainya.
c. Azan disunnahkan untuk terapi manusia atau binatang yang gila, pingsan, emosi
atau peragaian jelek lainnya. dengan cara diperdengarkan lewat telinga manusia
atau binatang itu.
d. Azan disunnahkan bagi bayi yang baru lahir pada telingga kanan sebagaimana
disunnahkan iqomah pada telinga kirinya. Rasulallah memperdengarkan azan
pada cucu beliau, Sayyidina Hasan.
3. Hikmah Azan
Ada tiga hal dalam hikmah azan :
a. Azan mengingatkan dan memberitahukan manusia mengenai masuknya waktu
shalat sehingga tidak terlewatkan bagi siapa yang menginginkan melaksanakan
shalat berjamaah yang telah anda ketahui keutamaan dan keistimewaannya.
Adzan juga untuk mengindarkan berlalunya waktu sehingga dapat menunaikan
ibadah shalat sesuai waktu yang telah ditentukan.
b. Salat adalah suatu nikmat yang sangat besar dimana seorang hamba dapat
mendekatkan diri kepada yang Khalik. Karena itulah, azan bertendensikan seruan
7
atau panggilan kepada kebaikan sehingga seseorang muslim tidak ketinggalan
dalam meraih kenikmatan ini.
c. Hikmah dari disyaratkannya adzan adalah guna mensyiarkan kebesaran agama
Islam kepada orang-orang non muslim. Ini dapat diketahui ketika umat Islam,
sebelum Umar ibnul-Khathab memeluk agama Islam, mengerjakan shalat secara
sembunyi-sembunyi. Dan, ketika Umar masuk agama Islam, barulah
penyelenggaraan shalat dilakukan secara terbuka dan terang-terangan agar kaum
musyrikin termotivasi untuk memeluk agama Islam (Al-Jarnawi, 2006).
D. Shalat Berjamaah
Pengertian
Kata jamaah diambil dari kata al-ijtima’ yang berarti kumpul (Abdurraziq, 2007).
Said bin Ali mengemukakan bahwa Jamaah berarti sejumlah orang yang dikumpulkan oleh
satu tujuan (Al-Qahthani, 2008). Ibnu Rif’ah Shalat jamaah adalah shalat yang dikerjakan
secara bersama-sama, sedikitnya dua orang, yaitu yang satu sebagai imam dan yang satu
lagi sebagai makmum (Ash-Shilawy, 2009). Berarti dalam shalat berjamaah ada sebuah
ketergantungan shalat makmum kepada shalat imam berdasarkan syarat-syarat tertentu.
Menurut Kamus Istilah Fiqih shalat jamaah adalah shalat yang dikerjakan secara bersama-
sama, salah seorang diantaranya sebagai imam dan yang lainnya sebagai makmum
(Mujieb, 2002). Jadi dapat disimpulkan bahwa, Shalat berjamaah adalah beberapa
perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dengan
maksud untuk beribadah kepada Allah, menurut syaratsyarat yang sudah ditentukan dan
pelaksanaannya dilakukan secara bersama-sama, salah seorang di antaranya sebagai
imam dan yang lainnya sebagai makmum
Pelaksanaan shalat jamaah ditetapkan dalam al-Qur‟an dan al-Hadits. Allah SWT
berfirman:
8
“Dan apabila engkau (Muhammad) berada ditengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu
engkau hendak melaksanakan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan
dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata mereka.” (Q.S. an-
Nisa‟/4: 102).
Ibnu Jauzi Adapun dasar hukum shalat berjamaah dalam sunnah Rasulullah SAW adalah
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar RA, sesungguhnya
Rasulullah SAW bersabda:
“Telah menceritakan kepada kita Abdullah bin Yusuf, ia berkata: telah mengabarkan
kepada kita Malik dari Nafi‟ dari Abdullah bin Umar sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda: Shalat berjamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan dua puluh
tujuh derajat.” (HR. Bukhari) (Jauzi, 2008).
Hadits di atas menjelaskan betapa pentingnya shalat berjamaah, karena Allah akan
memberikan kebaikan atau pahala sebanyak dua puluh tujuh derajat. Jadi sudah
sepantasnya seluruh umat Islam mengamalkan hal tersebut. Bagi laki-laki shalat lima
waktu berjamaah di masjid lebih baik dari pada shalat berjamaah di rumah, kecuali shalat
sunah maka di rumah lebih baik. Sedangkan bagi perempuan shalat di rumah lebih baik
karena hal itu lebih aman bagi mereka.
9
Shalat yang dilakukan secara ikhlas dan khusuk akan membuahkan perilaku yang baik
dan terpuji serta terjauhkan dari perbuatan keji dan mungkar (kementrian Agama RI,
2010).
c) Sebagai cara untuk memperkuat persatuan dan persaudaraan antar sesama muslim
Allah SWT menginginkan umat Islam menjadi umat yang satu, sehingga disyariatkan
shalat jamaah setiap hari di masjid. Karena dengan jamaah setiap hari dapat
mempersatukan umat, dalam berjamaah tidak membedakan yang kaya atau yang
miskin dan tidak memandang jabatan, sehingga dengan berjamaah dapat dijadikan
sebagai cara atau sarana untuk mempersatukan umat
d) Membebaskan diri seseorang dari siksa neraka dan kemunafikan (Al-Qahthani, 2008).
Seorang yang ikhlas melaksanakan shalat berjamaah maka Allah akan
menyelamatkannya dari neraka dan di dunia dijauhkan dari mengerjakan perbuatan
orang munafik dan ia diberi taufik untuk mengerjakan perbuatan orang-orang yang
ikhlas.
10
e) Kaum muslimin merasakan persamaan . Karena mereka berkumpul di masjid, orang
yang paling kaya berdampingan dengan orang yang paling fakir, atasan berdampingan
dengan bawahan, yang muda berdampingan dengan yang tua, demikian seterusnya.
Maka manusia merasa mereka adalah sama sehingga dengan itu terjadi keakraban. (Al-
Qahthani, 2008)
11
mengingat Allah dalam keadaan apapun, tentu akan menahan diri dari masalah-
masalah yang tidak sesuai dengan ridha-Nya. Semua malapetaka dan penderitaan yang
ditimbulkan oleh hawa nafsu dan setan, disebabkan oleh kelupaan akan Allah
(Nurcahyo, 2015).
2. Doa
Doa adalah suatu ibadah yang juga harus dilakukan oleh setiap muslim sebagai
penyampaian, mengingat dan bersyukur kepada Allah. Kata “Doa” adalah mashdar dari
kata “da‟aa” yang berarti meminta, memohon, memanggil, memuji, dan sebagainya.
Secara istilah, pada umumnya orang mengartikan doa dengan memohon sesuatu
kepada Allah dengan cara–cara tertentu (Soleh, 2016).
Doa dilakukan sebagai wujud kenyataan bahwa manusia merupakan makhluk
yang tidak berdaya. Dikala berada pada peristiwa atau bencana yang terjadi, manusia
biasanya baru menyadari bahwa mereka adalah makhluk yang lemah, dan selalu
bersama Allah. Doa merupakan permohonan segala sesuatu kebaikan yang diharapkan
manusia kepada Allah yang disampaikan dengan segala kerendahan hati,
ketidakperdayaan dan ketundukan manusia kepada Allah (Soleh, 2016).
12
langsung dengan kondisi psikologis seseorang ketika melaksanakan shalat. Kesalehan memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
1) Timbul suatu perasaan akan adanya kehidupan yang lebih luas daripada dunia material,
dengan keyakinan bahwa Ideal (Divine) Power memang eksis. Manifestasi luar dari
keadaan ini memunculkan sikap Zuhud atau Asceticism.
2) Timbul perasaan akan adanya kontinuitas antara kekuatan tadi dengan kehidupannya
sendiri dan keinginan untuk penyerahan diri (Self-Surrender) kepada-Nya. Manifestasi
luar dari keadaan ini memunculkan kekuatan jiwa (Strength of Soul)
3) Timbul suatu perasaan bahagia dan rasa bebas ketika egoismenya luluh. Manifestasi
luar dari keadaan ini memunculkan sikap kemurnian (Purity).
4) Timbul suaru dorongan untuk mengarahkan pusat emosionalnya ke afeksi yang sangat
positif, penuh cinta kasih, dan harmonis. Manifestasi luar dari kondisi ini memunculkan
sikap kedermawanan (Charity).
Shalat mengandung apek relaksasi kesadaran indera, meditasi, aspek self-hipnosis dan
aspek katarsis, Aspek relaksasi kedaran indera yaitu memfokuskan diri untuk menghayati
situasi – dalam hal ini shalat – membayangkan seolah-olah ruh menghadap kepada Allah SWT
tanpa ada perantara. Aspek Meditasi yakni jika meditasi dalam psikoterapi hanya memiliki satu
konsentrasi dalam relaksasi yaitu berfokus pada masalah “heart rate” (denyut jantung), maka
shalat adalah teknik meditasi yang memperluas kesadaran sampai ke tingkat terdalam karena
seseorang dalam keadaan khusyu’. Aspek Self-Hipnosis yang berasal dari bacaan-bacaan dalam
shalat yang berisi hal-hal baik dan dilakukan secara berulang-ulang.
Kemudian yang terakhir yaitu aspek katarsis menyalurkan dan mengakui bahwa diri ini
tidak ada apa-apanya dibanding Allah SWT atau berserah diri sepenuhnya. Hal ini dapat
memberikan efek dan keyakinan pada individu yang melaksanakan shalat bahwa ia akan
merasa dan menyadari dirinya tidak sendirian, ada Allah SWT yang melihat, memperhatikan,
serta menolongnya. Tentunya menghasilkan perasaan lega dan bahagia,
Dari pemaparan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa shalat mampu membawa
seseorang ke dalam kondisi di mana dirinya menjdi utuh dan terhubung dengan Dzat Maha
Tinggi secara spiritual yang akhirnya memunculkan rasa “Taqwa/Saleh” meliputi perasaan
ketenangan jiwa dan sikap-sikap kebaikan, selain sarana beribadah, shalat secara tidak
13
langsung membawa perubahan psikis pada pelakunya dan penuh akan manfaat baik (Haryanto,
2002).
14
konsentrasi pada bagian bawah dada sebelah kiri, teknik pernafasan, dan teknik
pelafadzan. Ketiga teknik tersebut merupakan teknik yang biasa digunakan oleh para
sufi dalam bermeditasi (Nurcahyo, 2015).
Pernafasan memiliki peranan sangat vital dalam hidup manusia. Apabila
manusia dalam keadaan emosi, gelisah, atau takut maka ritme pernafasan akan
menjadi lebih cepat dan tidak teratur. Dengan demikian, pernafasan dalam aktivitas
dzikir selain membantu proses konsentrasi juga bermanfaat untuk menstabilkan
korteks serebri. Stabilnya korteks ini, akan berdampak pada normalnya kemampuan-
kemampuan mentalitas, pikiran, dan perilaku manusia (Nurcahyo, 2015).
Penggunaan dzikir sebagai pengendali stres cenderung tertuju pada penataan
hati yang islami dalam perilaku hidup manusia sekaligus juga pengembalian kesehatan
secara fisik di mana ditujukan pada penormalan kembali fungsi metabolisme tubuh
(Nurcahyo, 2015).
15
BAB III
KESIMPULAN
Tiada satu hal pun yang diperintahkan oleh Allah yang tidak memiliki manfaat bagi
para hambaNya. Bahkan dari hal yang peling kecil hingga hak-hal yang besar. Shalat dan dzikir
yang selama ini kita lakukan sebagai bentuk beribadah yang membedakan umat muslim
dengan umat lainnya pun ternyata memiliki manfaat yang banyak bukan hanya sebagai
bentuk ibadah kita pada Allah, namun juga bermanfaat untuk sisi kesehatan kita, baik
kesehatan jasmani juga kesehatan mental kita.
16
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qahthani, S. b. (2008). Lebih Berkah dengan Shalat Berjamaah (1 ed.). Solo: Qaula.
Anam, M. K. (2014). Studi Korelasi antara Pelaksanaan Shalat Berjamaah dengan Ketidakdisiplinan
Belajar Peserta Didik Kelas XI di MAN 2 Semarang Tahun Pelajaran 2014-2015. Undergraduate
(S1) thesis, UIN Walisongo.
Firdaus. (2016). Spiritualitas Ibadah Sebagai Jalan Menuju Kesehatan Mental Yang Hakiki. Al-Adyan, 1.
kementrian Agama RI. (2010). Al-Qur'an dan Tafsirnya (Vol. 2). Jakarta: Lentera Abadi.
Mughaniyah, M. J. (2007). Fiqih Lima Madzhab : Ja'fari, Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali. Jakarta:
Penerbit Lentera.
Nurcahyo, M. A. (2015). Peran Dzikir Sebagai Media Pengolahan Stress. Skripsi UIN Maulana Malik,
16-27, 44-46.
Soleh, H. H. (2016). Doa dan Dzikir dalam Meningkatkan Kecerdasan Emosi. Jurnal Psikologi Islami, 2
(1), 30.
Suparman, D. (2015). Pembelajaran Ibadah Shalat dalam Perspektif Psikis dan Medis. Jurnal Istek, 9(2).
17