Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Tindak Pidana Penyelundupan

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN

A. Pengertian Tindak Pidana

Sebelum membicarakan tindak pidana penyelundupan, ada baiknya

terlebih dahulu dikemukakan tentang tindak pidana. Perkataan tindak

pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “Strafbaar feit”,

criminal act dalam bahasa Inggeris, actus reus dalam bahasa Latin.

Didalam menterjemahkan perkataan “strafbaar feit” itu terdapat

beraneka macam istilah yang dipergunakan dari beberapa sarjana dan juga

didalam berbagai perundang-undangan.

Prof, Moeljatno, Guru Besar Universitas Gajah Mada dalam pidato

Dies Natalis Universitas Gajah Mada, tanggal 19 Desember 1955 dengan

judul “Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Hukum Pidana”,

mengatakan : “Tidak terdapatnya istilah yang sama dalam

menterjemahkan Strafbaar feit di Indonesia”. Untuk Strafbaar feit ini ada

4 (empat) istilah yang dipergunakan dalam bahasa Indonesia, yakni : 1

1. Peristiwa pidana (Pasal 14 ayat (1) UUDS 1950);

2. Perbuatan pidana atau perbuatan yang dapat/boleh dihukum Undang-

Undang No. 1 Tahun 1951 Tentang Tindakan Sementara Untuk

Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara

Pengadilan Sipil, Pasal 5 ayat (5) Undang-Undang Darurat Tentang

mengubah Ordonansi Tijdelijk Bijzondere Bepalingen Strafrecht, L.N.

1
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta 2000, hlm 53.

29
30

1951 No. 78 dan dalam buku Mr. Karni tentang Ringkasan Hukum

Pidana 1950;

3. Tindak pidana (Undang-Undang No. 7 Tahun 1953 Tentang Pemilihan

Anggota Konstituante dan DPR);

4. Pelanggaran pidana dalam bukunya Mr. Tirtaamidjaya : Pokok-Pokok

Hukum Pidana, 1955.

Prof Moeljatno mempergunakan istilah “perbuatan pidana”, dengan

alasan-alasan sebagai berikut :

a. Perkataan peristiwa, tidak menunjukkan bahwa yang menimbulkan

adalah handeling atau gedraging seseorang, mungkin juga hewan atau

kekuatan alam.

b. Perkataan tindak, berarti langkah dan baru dalam bentuk tindak tanduk

atau tingkah laku.

c. Perkataan perbuatan sudah lazim dipergunakan dalam percakapan

sehari-hari, seperti perbuatan tidak senonoh, perbuatan jahat dan

sebagainya. Juga istilah teknis seperti perbuatan melawan hukum

(onrechtmatige daad).

Perkataan tindak pidana kiranya lebih populer dipergunakan juga

lebih praktis daripada istilah-istilah lainnya. Istilah tindak yang sering kali

diucapkan atau dituliskan itu hanyalah untuk praktisnya saja, seharusnya

ditulis dengan tindakan pidana, akan tetapi sudah berarti dilakukan oleh

seseorang serta menunjukkan terhadap si pelaku maupun akibatnya. Badan


31

Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) mempergunakan istilah tindak

pidana.

Ada beberapa batasan mengenai tindak pidana yang dikemukakan

para sarjana, antara lain :

a. Hazewinkel Suringa mengatakan bahwa tindak pidana sebagai “suatu

perilaku manusia yang suatu saat tertentu telah ditolak didalam sesuatu

pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai suatu perilaku yang

harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-

sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya”.2

b. Pompe mengatakan tindak pidana adalah “suatu pelanggaran norma

(gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak

dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana

penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi

terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”.3

c. Van Hattum berpendapat bahwa tindak pidana adalah sebagai suatu

“tindakan yang karena telah melakukan tindakan semacam itu

membuat seseorang menjadi dapat dihukum”.4

d. Simons mengatakan bahwa tindak pidana (strafbaar feit) itu sebagai

suatu “tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan

sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh Undang-

2
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Baru
Bandung 1984, hlm 172.
3
Ibid, hlm 173.
4
Ibid, hlm 175.
32

Undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat

dihukum”.5

Alasannya Simons mengatakan tindak pidana (strafbaar feit) itu

seperti diatas adalah karena :

1. Untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa disitu

harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang

diwajibkan oleh Undang-Undang, dimana pelanggaran terhadap

larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai

suatu tindakan yang dapat dihukum;

2. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut

harus memenuhi semua unsur dari delik yang seperti dirumuskan

didalam Undang-Undang;

3. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau

kewajiban menurut Undang-Undang itu, pada hakekatnya

merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu

“onrechtmatige handeling”.

e. Moeljatno mengatakan tindak pidana adalah “ perbuatan yang dilarang

oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi)

yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan

tersebut”. 6

f. R. Tresna mengatakan tindak pidana adalah “suatu perbuatan atau

rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan Undang-

5
Ibid, hlm 176.
6
Moeljatno, op-cit, hlm 54.
33

Undang atau aturan Undang-Undang lainnya, terhadap perbuatan mana

diadakan tindakan hukum”. 7

Jadi setiap perbuatan seseorang yang melanggar, tidak mematuhi

perintah-perintah dan larangan-larangan dalam Undang-Undang pidana

disebut dengan tindak pidana.

Dari batasan-batasan tindak pidana tersebut dapat ditarik

kesimpulan bahwa untuk terwujudnya suatu tindak pidana atau agar

seseorang itu dapat dikatakan melakukan tindak pidana, haruslah

memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

a. Harus ada perbuatan manusia. Jadi perbuatan manusia yang dapat

mewujudkan tindak pidana. Dengan demikian pelaku atau subjek

tindak pidana itu adalah manusia, hal ini tidak hanya terlihat dari

perkataan ”barangsiapa”. Didalam ketentuan Undang-Undang pidana

ada perkataan “seorang ibu”, “seorang dokter”, “seorang nakhoda” dan

lain sebagainya, juga dari ancaman pidana dalam Pasal 10 KUHPidana

tentang macam-macam pidana, seperti adanya pidana mati, pidana

penjara dan sebagainya itu hanya ditujukan kepada manusia.

Sedangkan diluar KUHPidana subjek tindak pidana itu tidak hanya

manusia, juga suatu korporasi (kejahatan yang dilakukan korporasi,

seperti dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-

Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana

7
R. Tresna, Azas-Azas Hukum Pidana, PT Tiara Bandung 1959, hlm 27.
34

Lingkungan Hidup, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

dan sebagainya).

b. Perbuatan itu haruslah sesuai dengan apa yang dilukiskan didalam

ketentuan Undang-Undang.

c. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, artinya

orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.

Bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang tidaklah cukup

dengan dilakukannya suatu tindak pidana, akan tetapi harus pula

adanya “kesalahan” atau “sikap batin” yang dapat dicela, tidak patut

untuk dilakukan.

“Azas kesalahan merupakan azas fundamental dalam hukum

pidana. Kesalahan atau schuld, fault berarti suatu perilaku yang tidak

patut yang secara objektif dapat dicela kepada pelakunya.

Kesalahan merupakan dasar yang mensahkan dipidananya seorang

pelaku”. Kesalahan adalah alasan pemidanaan yang sah menurut

Undang-Undang.

“Sifat hubungan antara kesalahan dengan dipidana menjadi nyata

dengan melihat kesalahan sebagai dasar pidana. Karena kesalahan,

pidana menjadi sah untuk dapat dipidananya suatu kejahatan dan inilah

inti sesungguhnya dari hukum pidana. 8 Adanya kesengajaan atau

kealpaan menjadi keharusan untuk dapat menyimpulkan adanya

kesalahan”.

8
Ibid, hlm 83.
35

Haruslah dipahami bahwa kesalahan berkaitan dengan perbuatan-

perbuatan yang tidak patut dan tercela, artinya melakukan sesuatu

perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan

sesuatu yang seharusnya dilakukan. Kesalahan berarti mengetahui dan

menghendaki.

Pengertian kesalahan disini adalah syarat utama untuk dapat

dipidananya suatu perbuatan disamping adanya sifat melawan hukum.

Jadi kesalahan disini sebagai sifat yang dapat dicela (can be blamed)

dan tidak patut.

d. Perbuatan tersebut melawan hukum

Mengenai hal ini terdapat 2 (dua) pandangan, yaitu :

1. Sifat melawan hukum formil

Suatu perbuatan melawan hukum formil adalah suatu

perbuatan yang memenuhi rumusan Undang-Undang pidana,

sesuai dengan rumusan tindak pidana dan adanya pengecualian,

seperti daya paksa, pembelaan terpaksa hanyalah karena ditentukan

secara tertulis dalam Undang-Undang;

2. Sifat melawan hukum materiil

Tidak selamanya perbuatan melawan hukum itu selalu

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Suatu

perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undang dapat

dikecualikan sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum.

Melawan hukum adalah baik bertentangan dengan Undang-


36

Undang maupun bertentangan dengan hukum diluar Undang-

Undang.

Dapat dikatakan bahwa melawan hukum formil berarti

semua bagian yang tertulis dari rumusan tindak pidana telah

terpenuhi, tercukupi. Semua syarat tertulis untuk dapat dipidana

telah terpenuhi. Sedangkan melawan hukum materiil adalah

melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak

dilindungi oleh pembentuk Undang-Undang dalam rumusan tindak

pidana tertentu.

Menurut Vos bahwa perbuatan melawan hukum formil

adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum positif

(tertulis), sedangkan perbuatan melawan hukum materiil adalah

perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan azas-azas umum,


9
norma-norma tidak tertulis. Tidak ada alasan untuk menolak

ajaran perbuatan melawan hukum materiil ini dalam pengertian

bahwa; perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang

bertentangan dengan Undang-Undang, azas-azas umum, dan

norma-norma hukum tidak tertulis.

Ada 3 (tiga) pandangan mengenai arti melawan hukum

(obstruction of justice) ini, yaitu :

9
E. Utrecht, op-cit, hlm 269.
37

1. Simons, melawan hukum artinya bertentangan dengan hukum,

bukan hanya dengan hak orang lain (hukum subjektif), akan

tetapi juga bertentangan dengan hukum objektif, seperti hukum

perdata, atau hukum administrasi;

2. Noyon, melawan hukum artinya bertentangan dengan hak

orang lain (hukum subjektif);

3. Hoge Raad dalam keputusannya tanggal 18 Desember 1911.

W. 9263, melawan hukum adalah tanpa wewenang atau tanpa

hak.10

Disamping itu ada pula pendapat Vos, Moeljatno, dan

BPHN, yang mengatakan melawan hukum itu artinya:

“Bertentangan dengan apa yang dibenarkan oleh hukum atau

anggapan masyarakat atau yang benar-benar dirasakan oleh

masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut”.

e. Terhadap perbuatan itu haruslah tersedia ancaman pidananya di dalam

Undang-Undang.

Oleh karena pidana itu merupakan istilah yang lebih teknis maka

perlu adanya pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat

menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas.

Istilah teknis adalah istilah yang dipergunakan didalam praktek

dunia peradilan, misalnya dipidana penjara dan sebagainya, sedangkan

10
E. Utrecht, op-cit, hlm 285.
38

istilah hukuman dipergunakan dalam percakapan masyarakat sehari-hari,

seperti : seorang ibu menghukum anaknya yang nakal, tidaklah dikatakan

dipidana tetapi dihukum atau dijatuhi hukuman.

Ada beberapa pendapat mengenai pidana ini dari beberapa cerdik

pandai :

1. Sudarto, yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja

dibebankan kepada seseorang yang tertentu;

2. Ruslan Saleh mengatakan pidana adalah reaksi atas delik dan ini

berwujud suatu nestapa yang ditimpakan negara kepada pembuat

delik;

3. Fitzgerald mengatakan bahwa punishment is the authoritative infliction

(hukuman) of suffering (penderitaan) for offence.

4. Ted Honderich mengatakan punishment is an authority’s infliction of

penalty (something involving = pencabutan atau perampasan) or

distression an offender for an offence.

B. Pengertian Tindak Pidana Penyelundupan

Bilamana telah disinggung sebelumnya mengenai arti

penyelundupan dan pengertian tindak pidana maka dibawah ini akan

dikemukakan pengertian tindak pidana penyelundupan. Pasal 2 Undang-

Undang No.17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan menyebutkan :

1. Barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean diperlakukan

sebagai barang impor dan terutang bea masuk;


39

2. Barang yang telah dimuat di sarana pengangkut untuk dikeluarkan dari

daerah pabean dianggap telah di ekspor dan diperlakukan sebagai

barang ekspor;

Pasal 3 nya menyebutkan :

1. Terhadap barang impor dilakukan pemeriksaan pabean;

2. Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

penelitian dokumen, dan pemeriksaan fisik barang;

3. Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan

secara selektif;

Pelanggaran atas ketentuan-ketentuan didalam Undang-Undang

No.17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan ini dikualifikasi sebagai tindak

pidana penyelundupan. Ketentuan pidana ini diatur dalam Pasal 102

sampai dengan Pasal 111 Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang

Kepabeanan yang telah diubah dengan Undang-Undang No.17 Tahun

2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang

Kepabeanan.

Pasal 102 nya menyebutkan :

Setiap orang yang :

a. Mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifest

sebagaimana dimaksud dlam Pasal 7A ayat (2);

b. Membongkar barang impor diluar kawasan pabean atau tempat lain

tanpa izin kepala kantor pabean;


40

c. Membongkar barang impor yang tidak tercantum dalam

pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat

(3);

d. Membongkar atau menimbun barang impor yang masih dalam

pengawasan pabean ditempat selain tempat yang ditentukan dan/atau

diizinkan;

e. Menyembunyikan barang impor secara melawan hukum;

f. Mengeluarkan barang impor yang belum diselesaikan kewajiban

pabeannya dan kawasan pabean atau dari tempat penimbunan berikat

atau dari tempat lain dibawah pengawasan pabean tanpa persetujuan

pejabat bea dan cukai yang mengakibatkan tidak terpenuhinya

pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini;

g. Mengangkut barang impor dari tempat penimbunan sementara atau

tempat penimbunan berikat yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan

dan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar

kemampuannya atau;

h. Dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang impor

dalam pemberitahuan pabean secara salah, dipidana karena melakukan

penyelundupan di bidang impor dengan pidana penjara paling singkat

1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan

pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

dan paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah);


41

Pasal 102 A nya berbunyi :

Setiap orang yang :

a. Mengekspor barang tanpa menyerahkan pemberitahun pabean;

b. Dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang ekspor

dalam pemberitahuan pabean secara salah sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 11A ayat (1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya

pungutan negara di bidang ekspor;

c. Memuat barang ekspor diluar kawasan pabean tanpa izin kepala kantor

pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (3);

d. Membongkar barang ekspor didalam daerah pabean tanpa izin kepala

kantor pabean atau;

e. Mengangkut barang ekspor tanpa dilindungi dengan dokumen yang

sah sesuai dengan pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 9A ayat (1) dipidana karena melakukan penyelundupan di

bidang ekspor dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan

pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling

sedikit Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak

Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah);

Pasal 102B nya menyebutkan :

Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dan Pasal 102A

yang mengakibatkan terganggunya sendi-sendi perekonomian negara

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan

pidana penjara paling lama 20 (dua puluh tahun) dan pidana denda
42

paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling

banyak Rp 100.000.000.000,- (seratus miliar rupiah);

Pasal 102D nya menyebutkan :

Setiap orang yang mengangkut barang tertentu yang tidak sampai ke

kantor pabean tujuan dan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut

diluar kemampuannya dipidana dengan pidana penjara paling singkat

1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau

pidana denda paling sedikit Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan

paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah);

Stelsel pidana yang tercantum dalam pasal-pasal tersebut diatas

menganut stelsel pidana kumulatif (terlihat dari perkataan “dan” juga

menganut stelsel pidana minimum maksimum, terlihat dari perkataan

“paling singkat” dan “paling banyak”.

Kendatipun ancaman pidana didalam Undang-Undang No.17

Tahun 2006 tentang Kepabeanan ini menganut ancaman pidana kumulatif

dan bahkan stelsel pidana minimum maksimum namun tindak pidana

penyelundupan ini tidaklah berarti tindak pidana penyelundupan tidak

terjadi lagi, dapat diberantas sampai ke akar-akarnya. Disini terlihat

keterbatasan sanksi pidana dalam mencegah dan memberantas tindak

pidana penyelundupan.

Beberapa pakar hukum mengemukakan mengenai keterbatasan

sanksi pidana ini, antara lain :


43

1. Rubin menyatakan:

“Bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya, apakah dimaksudkan

untuk menghukum atau untuk memperbaiki) sedikit atau tidak

mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan.11

2. Wolf Middendorf, yang menyatakan :

“Sangatlah sulit untuk melakukan evaluasi terhadap efektifitas dan

general defference karena mekanisme pencegahan (defference) itu

tidaklah diketahui. Kita tidak dapat mengetahui hubungan yang

sesungguhnya antara sebab dan akibat. Orang mungkin melakukan

kejahatan atau dan mungkin mengulanginya kembali tanpa

hubungan dengan ada tidaknya Undang-Undang atas pidana yang

dijatuhkan. Sarana-sarana kontrol sosial lainnya seperti kekuasaan

orang tua, kebiasaan-kebiasaan atau agama mungkin dapat

mencegah perbuatan yang sama kuatnya dengan ketakutan orang

pada pidana”.12

3. Schultz, yang menyatakan:

“Naik turunnya kejahatan di suatu negara tidaklah berhubungan

dengan perubahan-perubahan di dalam hukumnya atau

kecenderungan-kecenderungan dalam putusan-putusan pengadilan

tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya

11
HD. Hart, Punishment For And Against, New York 1971, hlm 21.
12
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, Penerbit PPT. Citra Aditya Bakti Bandung 1998, hlm 41-42.
44

perubahan-perubahan kultural yang besar dalam kehidupan

masyarakat.13

4. Johannes Andenaes, yang menyatakan :

“Bekerjanya hukum pidana selamanya harus dilihat dari

keseluruhan konteks kulturalnya. Ada saling pengaruh antara

hukum dengan faktor-faktor lain yang membentuk sikap dan

tindakan kita.14

C. Sanksi Pidana Di Dalam Tindak Pidana Penyelundupan

Untuk dapat seseorang dikualifikasi sebagai pelaku tindak pidana

maka haruslah semua unsur-unsur tindak pidana tersebut terpenuhi, yaitu:

1. Adanya perbuatan manusia;

2. Perbuatan tersebut harus sesuai dengan apa yang tercantum, tertulis di

dalam Undang-Undang;

3. Perbuatan tersebut haruslah melawan hukum, artinya perbuatan

tersebut tanpa hak, tanpa kewenangan, melanggar hak subjektif orang

lain;

4. Adanya schuld (kesalahan, dosa);

5. Adanya ancaman hukuman pidana.

Pidana atau hukuman adalah suatu derita atau nestapa yang

dikenakan/diberikan kepada si pelaku. Ada beberapa alasan mengapa

seseorang yang telah terbukti melakukan suatu tindak pidana dijatuhkan

suatu hukuman pidana.

13
Loc. Cit.
14
Andenaes, Does Punishment Deter Crime? , New York 1972, hlm 346.
45

Ada beberapa teori mengenai hukuman, yaitu :15

1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan

Sebagai dasar teori ini adalah “karena kejahatan itu sendiri” yang

membenarkan untuk dilakukan tuntutan dan penjatuhan pidana. Jadi

pidana dijatuhkan karena adanya kejahatan. Kejahatan tidak

diperbolehkan dan tidak diizinkan baik menurut susila maupun hukum;

kejahatan merupakan suatu perbuatan yang dapat dicela (can be

blamed) dan tidak patut untuk dilakukan, karenanya harus dijatuhkan

pidana.

Pidana berfungsai sebagai reaksi terhadap adanya kejahatan. Hanya

dengan membalas kejahatan dengan suatu penderitaan dapatlah

dinyatakan bahwa perbuatan tersebut tidak dapat dihargai. Singkatnya

pidana dijatuhkan sebagai pembalasan (vergelding, revenge) karena

adanya kejahatan.

Imanuel Kant dan hegel mempertahankan pembalasan sebagai

dasar pidana. Imanuel Kant melihat pidana sebagai sesuatu yang

dinamakan imperatif katagoris, yang artinya seseorang itu harus

dipidana karena telah melakukan kejahatan atau berbuat jahat. Pidana

bukanlah sarana untuk mencapai suatu tujuan, akan tetapi suatu

pernyataan dari keadilan. Hegel berpendapat bahwa kejahatan itu akan

diakhiri oleh pidana.

15
E.Utrecht, Hukum Pidana I, Penerbit Universitas Bandung 1960, hlm 159.
46

Selanjutnya Hegel mengatakan bahwa pidana adalah suatu

penyangkalan terhadap hukum yang terletak dalam kejahatan itu

sendiri. Pada abad ke 19 para Sarjana Hukum pada dasarnya membela

pendirian bahwa pidana itu dijatuhkan sebagai pembalasan, seperti

Binding di Jerman, Stephen di Inggris. Sampai saat inipun banyak

orang yang mendukung pendapat bahwa keadilan itu tidak dapat

ditegakkan tanpa pidana, kendatipun mereka umumnya

menyangkutpautkan soal cinta dan kasih sayang kepada sesama

manusia dan kemanusiaan.

Hakekatnya setiap pidana merupakan pembalasan (vergelding,

revenge). Sehubungan dengan hal ini maka timbul pertanyaan: apakah

atau kapankah dibolehkan melakukan pembalasan dan apakah gunanya

pembalasan itu. Semua pidana selalu merupakan penambahan

penderitaan yang dikenakan dengan senjata. Apakah pidana itu

didasarkan pandangan bahwa kejahatan harus diberikan pembalasan

terhadap pelakunya atau berdasarkan anggapan bahwa orang lain harus

dibuat takut untuk melakukan kejahatan (prevensi umum) atau agar

sipelaku tidak berbuat kejahatan lagi (prevensi khusus).

2. Teori Relatif (Nisbi)

Pidana ini sesuatu yang perlu, noodzakelijk, suatu keharusan,

certainly. Menurut teori ini maka dasar hukum dari pidana itu adalah

pertahanan tata tertib masyarakat. Karena itu pula tujuan pidana adalah
47

mencegah atau prevensi dilakukannya suatu pelanggaran hukum.

Dalam teori relatif ini pidana itu dapat berupa :

a. Bersifat menakutkan;

b. Bersifat memperbaiki;

c. Bersifat membinasakan.

Sifat prevensi dari pidana itu ada 2 macam, yakni:

1. Prevensi umum

Prevensi umum bertujuan mencegah supaya orang pada

umumnya tidak melakukan pelanggaran terhadap ketentuan

hukum. Diantara teori-teori prevensi umum maka teori pidana

menakutkan merupakan teori yang paling lama. Titik berat adalah

eksekusi pidana yang dijatuhkan. Suatu eksekusi pidana yang

diperlihatkan kepada umum sudah barang tentu akan menakutkan

khalayak ramai yang berniat untuk berbuat jahat terlebih lagi

kalau eksekusi itu dilakuakn secara ganas, sehingga anggota

masyarakat menjadi takut.

Seneca menganut faham ini. Supaya khalayak ramai dapat

ditakutkan, maka perlu dibuat pidana yang ganas dan eksekusi

pidana ganas itu dilakukan dimuka umum. Dalam pemberantasan

korupsi di Republik Rakyat Cina, maka eksekusi pidana ganas ini

dilakukan didepan umum. Anselm Von Feuerbach mengatakan

“ancaman pidana menimbulkan secara kunsmatig (secara buatan)


48

suatu contra motif yang menahan manusia untuk melakukan

kejahatan.

Teori ini terkenal dengan nama “psychologische zwang”,

yang artinya adanya ancaman pidana menekan jiwa seseorang

telah mengetahui bahwa ia akan mendapat pidana apabila

melakukan kejahatan, maka sudah tentu ia akan lebih berhati-hati.

Namun ancaman pidana tidaklah mutlak untuk menahan

seseorang untuk melakukan kejahatan, sebab tidaklah setiap orang

dapat ditakutkan dengan ancaman pidana. Sering kali ancaman

pidana jiwa manusia yang sudah merencanakan untuk melakukan

suatu kejahatan, khususnya kelompok-kelompok penjahat dan

sudah biasa tinggal didalam penjara, para psychopat, mereka yang

belum dewasa dalam pikirannya dan lain-lain.

Ada benarnya ancaman pidana melindungi secara preventif

dalam tata hukum masyarakat dan dalam ancaman pidana itu

termasuk anasir mendidik. Karena anacaman pidana hanyalah

sesuatu yang abstrak maka dengan sendirinya sangat sulit untuk

terlebih dahulu menentukan batas-batas beratnya pidana yang

diancamkan itu.

Hazewinkel Zuringa berpendapat, bahwa bertitik tolak dari

teori Von Feurbach maka orang dapat menentukan secara

sewenang-wenang tiap macam pidana yang dikehendakinya, asal

saja pidana itu terlebih dahulu diancamkan kepada masyarakat.


49

Disamping itu keberatan terhadap teori Von Feuerbach ini

adalah ada kemungkinan tidak ada keseimbangan antara beratnya

pidana yang diancamkan dengan beratnya tindak pidana yang

konkrit dilakukan.

Karena adanya keberatan terhadap teori Von Feuerbach

maka Muller membuat suatu teori prevensi umum yang beru.

Beliau mengungkapkan bahwa akibat preventif dari pidana itu

tidak terletak dalam eksekusi pidana maupun dalam ancaman

pidana, akan tetapi terletak dalam menentukan pidana kongkrit

oleh hakim.

2. Prevensi Khusus

Sedangkan prevensi khusus bertujuan agar sipelaku tidak

melanggar atau mengulangi lagi perbuatan yang terlarang.

Menurut teori ini maka tujuan pidana adalah menahan niat

jahat pelaku. Pidana bertujuan menahan pelaku untuk mengulangi

perbuatannya atau menahan pelaku untuk melakukan perbuatan

jahat yang direncanakannya.

Tokoh-tokoh ajaran ini antara lain: Van Hammel (Belanda),

Von List (Jerman). Ban Hammel; antara lain mengatakan: pidana

harus memuat anasir yang memperbaiki bagi terpidana, yang nanti

memerlukan suatu reclassering. Pidana harus memuat anasir

membiasakan bagi penjahat yang sama sekali tidak lagi dapat


50

diperbaiki. Tujuan pidana adalah mempertahankan tata tertib

masyarakat.

3. Teori Kombinasi-Campuran

Teori ini merupakan teori yang menggabungkan,

mengkombinasikan teori absolut dan teori relatif yang merupakan

teori-teori ekstrem. Mengkombinasikan teori pembalasan dengan

teori tujuan. Teori gabungan ini dapat dibagi dalam 3 golongan,

yaitu:

1. Teori menggabungkan yang menitikberatkan pembalasan,

tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas yang

perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata

tertib masyarakat;

2. Teori menggabungkan yang menitikberatkan pada pertahanan

tata tertib masyarakat. Pidana tidak boleh lebih berat dari

perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Pidana yang

dijatuhkan haruslah sesuai dengan perbuatan jahat yang

dilakukan oleh terpidana. Beratnya pidana haruslah sesuai

dengan perbuatan yang dilakukan terpidana;

3. Teori menggabungkan yang menganggap kedua azas tersebut

harus dititikberatkan sama. Dengan kata lainnya baik sebagai

pembalasan maupun pertahanan tata tertib masyarakat harus

sama, seimbang.
51

Pompe menitikberatkan pembalasan tetapi pidana harus juga

bermaksud mempertahankan tata tertib masyarakat supaya kepentingan

umum dapat diselamatkan. Grotius mengatakan yang menjadi dasar tiap

pidana adalah penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan

yang dilakukan terpidana.

Namun beratnya pidana atau sampai batas mana harus sesuai

beratnya pidana dengan beratnya perbuatan yang dilakukan terpidana,

dapat diukur, hal mana ditentukan oleh apa yang berguna bagi

masyarakat. Jadi absolut justice hanya dapat diwujudkan dalam batas-

batas sociale justice.

Teori Grotius ini dikemukakan pula oleh Rossi. Pandangan Rossi

ini berpengaruh terhadap perbuatan KUHPidana. Zevenbergen

menandaskan tiap pidana adalah membalas akan tetapi maksud tiap pidana

adalah melindungi tata hukum. Pidana itu mengembalikan rasa hormat

terhadap hukum dan pemerintah.

Thomas Aquino mengemukakan kesejahteraan umum yang

menjadi dasar hukum perundang-undangan pada umumnya dan hukum

perundang-undangan pidana khususnya. Agar pidana ada kesalahan

(schuld) dan kesalahan itu hanya terdapat pada perbuatan-perbuatan yang

dilakukan menurut kehendak yang merdeka, yaitu perbuatan-perbuatan

yang dilakukan secara suka rela. Karena pidana itu dijalankan terhadap

tindak pidana (delik), yang dilakukan secara sukarela, maka dengan

sendirinya pidana itu bersifat pembalasan pula.


52

Lahirnya teori kombinasi ini mengingat adanya kekurangan dan

kelemahan dari teori absolut dan teori nisbi. Kelemahan teori absolut

antara lain:

a. Penjatuhan pidana semata-mata hanya untuk pembalasan, hal ini dapat

menimbulkan ketidakadilan;

b. Apabila memang dasar pidana itu hanya pembalasan, mengapa hanya

negaralah yang berhak untuk menjatuhkan pidana;

c. Pidana sebagai pembalasan tidak bermanfaat bagi masyaraat.

Kelemahan teori nisbi adalah:

1. Pidana yang ditujukan untuk mencegah kejahatan, baik yang ditujukan

untuk menakut-nakuti umum maupun ditujukan kepada pelaku

kejahatan, sehingga akan dijatuhkan pidana yang berat. Hal ini dapat

menimbulkan ketidakadilan.

2. Pidana yang berat itu tidak akan memenuhi rasa keadilan, apabila

ternyata kejahatan yang dilakukan itu ringan.

3. Kesadaran masyarakat membutuhkan kepuasan. Oleh karena itu pidana

tidak dapat semata-mata ditujukan untuk mencegah kejahatan atau

membinasakan penjahat. Jadi dengan demikian baik masyarakat

maupun penjahat harus diberikan kepuasan yang sesuai dengan

pengadilan.
53

Mengenai teori gabungan ini ada 3 bagian:

a. Yang menitikberatkan kepada pembalasan, namun pembalasan itu

tidak boleh melebihi apa yang diperlukan dalam mempertahankan

ketertiban masyarakat. Penganutnya Pompe dan Zeenbergen.

b. Yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib dalam masyarakat,

tetapi tidak boleh lebih berat dari pada beratnya penderitaan yang

sesuai dengan beratnya perbuatan si terpidana. Penganutnya Simons.

c. Titik beratnya sama, yaitu baik sebagai pembalasan maupun pada

pertahanan ketertiban dalam masyarakat.

Setelah dikemukakan mengenai makna dari hukuman (pidana)

maka dibawah ini hendaklah dilihat sanksi pidana didalam Undang-

Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.

Ketentuan pidana didalam Undang-Undang No.10 Tahun 1995

tentang Kepabeanan diatur didalam BAB XIV dari Pasal 102 sampai

dengan Pasal 111.

Pasal 102 nya menyebutkan :

“Barangsiapa yang mengimpor atau mengekspor atau mencoba

mengimpor atau mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan

Undang-Undang ini dipidana karena melakukan penyelundupan dengan

pidana penjara paling lama delapan tahun dan denda paling banyak

Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)”.


54

Pasal 105 nya menyebutkan :

“Barang siapa yang :

a. Membongkar barang impor ditempat lain dari tempat yang

ditentukan menurut Undang-Undang ini;

b. Tanpa izin membuka, melepas atau merusak kunci, segel, atau tanda

pengaman yang telah dipasang oleh pejabat Bea dan Cukai dipidana

dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling

banyak Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah)”

Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

maka bunyi Pasal 102 adalah sebagai berikut :

Pasal 102 menyebutkan :

Setiap orang yang :

a. Mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifest

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (2);

b. Membongkar barang impor diluar kawasan pabean atau tempat lain

tanpa izin kepala kantor pabean;

c. Membongkar barang impor yang tidak tercantum dalam

pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat

(3);

d. Membongkar atau menimbun barang impor yang masih dalam

pengawasan pabean ditempat selain tempat yang ditentukan dan/atau

diizinkan;
55

e. Menyembunyikan barang impor secara melawan hukum;

f. Mengeluarkan barang impor yang belum diselesaikan kewajiban

pabeannya dan kawasan pabean atau dari tempat penimbunan berikat

atau dari tempat lain dibawah pengawasan pabean tanpa persetujuan

pejabat bea dan cukai yang mengakibatkan tidak terpenuhinya

pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini;

g. Mengangkut barang impor dari tempat penimbunan sementara atau

tempat penimbunan berikat yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan

dan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar

kemampuannya atau;

h. Dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang impor

dalam pemberitahuan pabean secara salah, dipidana karena melakukan

penyelundupan di bidang impor dengan pidana penjara paling singkat

1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan

pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

dan paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah);

Pasal 102A menyebutkan :

Setiap orang yang :

a. Mengekspor barang tanpa menyerahkan pemberitahun pabean;

b. Dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang ekspor

dalam pemberitahuan pabean secara salah sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 11A ayat (1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya

pungutan negara di bidang ekspor;


56

c. Memuat barang ekspor diluar kawasan pabean tanpa izin kepala kantor

pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (3);

d. Membongkar barang ekspor didalam daerah pabean tanpa izin kepala

kantor pabean atau;

e. Mengangkut barang ekspor tanpa dilindungi dengan dokumen yang

sah sesuai dengan pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 9A ayat (1) dipidana karena melakukan penyelundupan di

bidang ekspor dengan pidana penjara palig singkat 1 (satu) tahun dan

pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling

sedikit Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak

Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah);

Dari bunyi Pasal 102 dan 102A tersebut di atas terlihat bahwa

ancaman pidananya menganut stelsel pidana kumulatif, hal mana terlihat

dari adanya perkataan “dan”. Disamping itu pula stelsel pidana menganut

stelsel pidana minimum dan maksimum, hal mana terlihat dari perkataan

“paling singkat” dan “paling lama”.

Adanya ancaman pidana tersebut merupakan suatu kebijakan

pidana (penal policy) untuk mencegah tindak pidana penyelundupan,

sekaligus untuk memberantasnya, kendatipun telah ada sanksi administrasi

dan perdata.

Anda mungkin juga menyukai