Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

HK 114662

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 28

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kajian Mengenai Pengertian, Jenis Dan Akibat Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana atau strafbaar feit dalam bahasa Belanda memiliki

arti yaitu tindak pidana, delik, perbuatan pidana atau perbuatan yang

di pidana. Seseorang dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana, apabila

perbuatan tersebut telah diatur dalam undang-undang, sesuai dengan Asas

Legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi, tiada suatu

perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam

perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan

hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana

tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 3

Menurut Lamintang, bahwa setiap tindak pidana dalam KUHP

pada umumnya dapat dijabarkan unsur – unsurnya menjadi 2 (dua) macam,

yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif. Unsur subyektif adalah unsur –

unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan

diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di

dalam hatinya. Unsur obyektif adalah unsur – unsur yang ada

3
Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm 59.

21
22

hubungannya dengan keadaan – keadaan, yaitu keadaan yang dimana

tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. 4

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa unsur-unsur


tindak pidana sebagai berikut : 5
1. Kelakuan dan akibat (=perbuatan);
Kelakuan dan akibat, untuk adanya perbuatan pidana biasanya
diperlukan adanya hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai
perbuatan.
2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
Hal ikhwal oleh Van Hamel dibagi dalam dua golongan, yaitu yang
mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan yang mengenai di luar
diri si pelaku. Contoh dari golongan pertama adalah hal menjadi pejabat
negara (pegawai negeri) yang diperlukan dalam delik-delik jabatan seperti
dalam Pasal 413 KUHP dan seterusnya. Contoh dari golongan kedua
adalah Dalam pasal 332 (schaking, melarikan wanita) disebut bahwa
perbuatan itu harus disetujui oleh wanita yang dilarikan sedangkan pihak
orangtuanya tidak menyetujuinya.
3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;
Contoh keadaan tambahan yang memberatkan pidana adalah kasus
penganiayaan menurut Pasal 351 Ayat 1 KUHP diancam dengan pidana
penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Tetapi jika perbuatan
menimbulkan luka-luka berat, ancaman pidana, diberatkan menjadi lima
tahun dan jika mengakibatkan mati, menjadi tujuh tahun (Pasal 351 Ayat 2
dan 3).
4. Unsur melawan hukum yang objektif;
Sifat melawan hukumnya perbuatan, tidak perlu dirumuskan lagi
sebagai elemen atau unsur tersendiri. Contohnya dalam merumuskan
pemberontakan yang menurut Pasal 108 antara lain adalah melawan
pemerintah dengan senjata, tidak perlu diadakan unsur tersendiri yaitu
kata-kata yang menunjukkan bahwa perbuatan adalah bertentangan dengan
hukum. Tanpa ditambah kata-kata lagi, perbuatan tersebut sudah wajar
pantang dilakukan.
Akan tetapi, kepantangan perbuatan belum cukup jelas dinyatakan
dengan adanya unsur-unsur diatas. Perlu ditambah dengan kata-kata
tersendiri untuk menyatakan sifat melawan hukumnya perbuatan. Pasal

4
Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, hlm. 183.
5
Moeljatno, 1993, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina
Aksara, Jakarta, hlm. 63.
23

167 KUHP melarang untuk memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan


atau perkarangan tertutup yang dipakai orang lain, dengan melawan
hukum. Rumusan memaksa masuk ke dalam rumah yang dipakai orang
lain itu saja dipandang belum cukup untuk menyatakan kepantangannya
perbuatan.
5. Unsur melawan hukum yang subjektif.
Contohnya dalam Pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai pencurian,
pengambilan barang orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang
tersebut secara melawan hukum. Sifat melawan hukumnya perbuatan tidak
dinyatakan dari hal-hal lahir, tetapi digantungkan pada niat orang yang
mengambil barang tadi. Kalau niat hatinya itu baik, misalnya barang
diambil untuk diberikan kepada pemiliknya, maka perbuatan itu tidak
dilarang, karena bukan pencurian. Sebaliknya kalau niat hatinya itu jelek,
yaitu barang akan dimiliki sendiri dengan tidak mengacuhkan pemiliknya
menurut hukum, maka hal itu dilarang dan masuk rumusan pencurian.
Sifat melawan hukumnya perbuatan tergantung kepada bagaimana sikap
batinnya terdakwa.

2. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Tindak pidana dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu :

1) Menurut kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan

antara lain Kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang

dimuat dalam Buku III.

Kejahatan adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan

dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam

suatu undang-undang atau tidak. Pelanggaran adalah perbuatan-

perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari sebagai suatu tindak

pidana, karena undang - undang merumuskannya sebagai delik.

2) Tindak pidana formil dan tindak pidana materil.


24

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang

dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan

perbuatan tertentu. Tindak pidana materil inti larangannya adalah pada

menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan

akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.

3) Delik Dolus dan Delik Culpa.

Delik Dolus memerlukan adanya kesengajaan, misalnya

Pasal 354 KUHP: “dengan sengaja melukai berat orang lain”

sedangkan Delik Culpa, orang juga sudah dapat dipidana bila

kesalahannya itu berbentuk kealpaan, misalnya menurut Pasal 359

KUHP dapat dipidananya orang yang menyebabkan matinya orang lain

karena kealpaannya.

4) Delik Commissionis, delik ommisionis dan delik commissionis per

omissionis commissa.

Delik commisionis adalah delik yang terdiri dari melakukan

sesuatu (berbuat sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan

pidana, misalnya mencuri (Pasal 362), menggelapkan (Pasal 372),

menipu (Pasal 378).

Delik ommisionis adalah delik yang terdiri dari tidak

melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat, misalnya dalam Pasal

164: mengetahui suatu permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan

yang disebut dalam pasal itu, pada saat masih ada waktu untuk
25

mencegah kejahatan, tidak segera melaporkan kepada instansi yang

berwajib atau orang yang terkena.

Delik commissionis peromissionem commissa,yaitu delik-

delik yang umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pula

dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya seorang ibu yang merampas

nyawa anaknya dengan jalan tidak memberi makan pada anak itu.

5) Delik tunggal dan delik berganda.

Delik tunggal adalah delik yang cukup dilakukan dengan

sekali perbuatan sedangkan delik berganda adalah delik yang untuk

kualifikasinya baru terjadi apabila dilakukan berulang kali perbuatan.

6) Delik menerus dan delik tidak menerus.

Dalam delik menerus adalah tindak pidana yang

mempunyai ciri, bahwa keadaan / perbuatan yang terlarang itu

berlangsung terus. Dengan demikian tindak pidananya berlangsung

terus menerus sedangkan delik tidak menerus adalah tindak pidana yang

mempunyai ciri, bahwa keadaan / perbuatan yang terlarang itu tidak

berlangsung terus. Jenis tindak pidana ini akan selesai setelah dengan

telah dilakukannya perbuatan yang dilarang atau telah timbulnya akibat.

7) Delik laporan dan delik aduan.

Delik laporan adalah tindak pidana yang tidak

mempersyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutannya sedangkan


26

delik aduan adalah tindak pidana yang penuntutannya hanya dilakukan

apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena atau yang dirugikan /

korban. Dengan demikian, apabila tidak ada pengaduan, terhadap tindak

pidana tersebut tidak boleh dilakukan penuntutan.

8) Delik biasa dan delik yang dikualifikasikan.

Delik biasa adalah bentuk tindak pidana yang paling

sederhana, tanpa adanya unsur yang bersifat memberatkan sedangkan

delik yang dikualifikasikan adalah tindak pidana dalam bentuk pokok

yang ditambah dengan adanya unsur pemberatan, sehingga ancaman

pidananya menjadi lebih berat.

3. Akibat Dari Tindak Pidana

Suatu tindak pidana dapat menimbulkan kerugian maupun

penderitaan bagi orang lain yakni korban tindak pidana. Kerugian maupun

penderitaan tersebut berupa kerugian materill, penderitaan fisik dan

penderitaan psikis. Kerugian materill adalah kerugian yang menyangkut

masalah perekonomian yang diderita oleh korban tindak pidana.

Penderitaan fisik adalah penderitaan yang terletak pada fisik korban tindak

pidana. Penderitaan psikis adalah penderitaan yang menyangkut mental

korban tindak pidana.

Suatu tindak pidana juga dapat mengakibatkan pelaku tindak

pidana diancam pidana. Ancaman pidana adalah hukuman atau sanksi

pidana yang diberikan kepada pelaku tindak pidana. Menurut Kitab


27

Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP) BAB II Pasal 10, sanksi tindak

pidana adalah :

a. Pidana Pokok :

1) Pidana mati;

2) Pidana penjara;

3) Kurungan;

4) Denda.

b. Pidana tambahan :

1) Pencabutan hak – hak tertentu;

2) Perampasan barang – barang tertentu;

3) Pengumuman putusan hakim.

Sanksi pidana bisa berbeda-beda untuk setiap tindak pidana sesuai dengan

uraian diatas yaitu ada pidana pokok dan pidana tambahan.

Meskipun telah diatur dalam undang - undang, seseorang belum

dapat dijatuhi pidana karena masih harus dibuktikan apakah ia

mempunyai kesalahan atau tidak. Asas dalam pertanggungjawaban pidana

adalah Actus non facit reumnisi sist rea yang artinya tidak dipidana jika

tidak ada kesalahan. Pengertian kesalahan terdiri atas :6

1. Kemampuan bertanggung jawab

Dalam KUHP tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud

dengan kemampuan bertanggung jawab tetapi hanya memberikan

6
Bambang Poernomo,1983, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 136.
28

rumusan negatif atas kemampuan bertanggung jawab yang terdapat

dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP tentang kapan seseorang tidak dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Pasal 44 ayat (1) sendiri

berbunyi “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat

dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”.

Perbuatan yang dilakukan oleh orang yang tidak mampu bertanggung

jawab termasuk dalam alasan pemaaf.

Menurut R. Soesilo seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan


perbuatannya karena sebab : 7
1) Jiwa cacat dalam tumbuhnya
Keadaan ini menunjuk pada suatu keadaan dimana jiwa
seseorang itu tidak tumbuh dengan sempurna. Termasuk
dalam kondisi ini adalah idiot, bisu, tuli sejak lahir dan lain-
lain.
2) Jiwanya terganggu karena suatu penyakit
Dalam hal ini jiwa seseorang itu pada mulanya berada
dalam keadaan sehat, tetapi kemudian dihinggapi oleh suatu
penyakit. Termasuk dalam kondisi ini misalnya maniak,
histeria, melankolia, gila dan lain-lain.
Menurut Satocid Kartanegara, seseorang dapat dikatakan
bertanggung jawab apabila dalam diri orang itu memenuhi tiga syarat,
yaitu :8
a) Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia
dapat mengerti akan nilai perbuatannya dan karena juga
mengerti akan nilai dari akibat perbuatannya itu.
b) Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa, sehingga ia dapat
menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia
lakukan.

7
R. Soesilo, 1988, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, hlm. 16.
8
Satocid Kartanegara, tt, Hukum Pidana Kumpulan Kulian, Buku I, Balai Lektur Mahasiswa,
Jakarta, hlm. 242.
29

c) Orang itu harus sadar perbuatan mana yang dilarang dan


perbuatan mana yang tidak dilarang oleh undang – undang.
Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang

bertujuan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan

menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat,

menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana, memulihkan

keseimbangan, mendatangkan rasa damai dalam masyarakat dan

memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga

menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

2. Adanya bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan dan culpa

Kesalahan dalam hukum pidana dibedakan menjadi dua bentuk,

yaitu :

a. Dolus atau kesengajaan

Dolus memerlukan adanya kesengajaan, misalnya Pasal

354 KUHP: “dengan sengaja melukai berat orang lain”

b. Culpa atau ketidaksengajaan

Culpa, orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya

itu berbentuk kealpaan, misalnya menurut Pasal 359 KUHP

dapat dipidananya orang yang menyebabkan matinya

orang lain karena kealpaannya.

Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaannya

akan menentukan berat ringannya pidana seseorang. Kesengajaan yang


30

dilakukan oleh seseorang dapat dipertanggungjawabkan, karena ia

telah memiliki maksud dan tujuan terlebih dahulu sehingga ia benar-

benar menghendaki perbuatan pidana tersebut dan si pelaku pantas

dikenakan hukuman pidana.

Kealpaan mengandung dua syarat yaitu tidak mengadakan

penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak

mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum

sehingga perbuatan pidana yang dilakukan secara sengaja ancaman

pidananya akan lebih berat dari pada perbuatan pidana yang dilakukan

karena kealpaannya.

3. Tidak adanya alasan penghapus kesalahan

Alasan penghapusan kesalahan dimaksudkan untuk menghilangkan

sifat melawan hukum suatu kesalahan artinya suatu perbuatan atau

tindakan yang dalam kenyataannya sudah memenuhi unsur-unsur

kesalahan tetapi tidak dipidana atau diberikan ancaman hukuman bagi

si pelaku.

Dalam KUHP tidak ada disebutkan istilah-istilah alasan pembenar


dan alasan pemaaf. Titel ke-3 dari Buku Pertama KUHP hanya
menyebutkan alasan-alasan yang menghapuskan pidana. Dalam teori
hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana ini
dibeda-bedakan menjadi : 9
a. Alasan pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat
melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang
dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut
dan benar.

9
Moeljatno, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 137-138.
31

b. Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan


terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap
bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan
pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan.
c. Alasan penghapus penuntutan, disini soalnya bukan ada
alasan pembenar maupun alasan pemaaf, jadi tidak ada
pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang
yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap
bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada
masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan. Yang
menjadi pertimbangan disini ialah kepentingan umum.
Kalau perkaranya tidak dituntut, tentunya yang melakukan
perbuatan tak dapat dijatuhi pidana. Contoh : Pasal 53,
kalau terdakwa dengan sukarela mengurungkan niatnya
percobaan untuk melakukan sesuatu kejahatan.
Perbuatan yang dilakukan karena terdapat daya paksa diatur dalam

Pasal 48 KUHP yang berbunyi : Barangsiapa melakukan perbuatan

karena pengaruh daya paksa tidak dipidana. Daya paksa termasuk

dalam alasan pemaaf karena perbuatan yang dilakukan orang karena

pengaruh daya paksa, dimana fungsi batinnya tak dapat bekerja secara

normal karena adanya tekanan-tekanan dari luar, orang itu dapat

dimaafkan kesalahannya.

Perbuatan yang dilakukan karena pembelaan terpaksa diatur dalam

Pasal 49 ayat (1) KUHP yang berbunyi : Barangsiapa terpaksa

melakukan perbuatan untuk pembelaan karena ada serangan atau

ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap diri sendiri

maupun orang lain terhadap kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda

sendiri maupun orang lain, tidak dipidana. Seseorang sudah boleh

mengadakan pembelaan bukannya kalau sudah dimulai dengan adanya


32

serangan, tapi baru ada ancaman akan adanya serangan saja, sudah

boleh. Sehingga pembelaan terpaksa termasuk dalam alasan pembenar.

Perbuatan karena pembelaan terpaksa yang melampaui batas diatur

dalam pasal 49 ayat (2) KUHP yang berbunyi : Pembelaan terpaksa

yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan

jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak

dipidana. Dalam hal ini terdakwa hanya dapat dihindarkan dari pidana,

apabila hakim menerima bahwa eksesnya tadi “langsung disebabkan

oleh kegoncangan jiwa yang hebat” sehingga karena ada tekanan dari

luar itu fungsi batinnya menjadi tidak normal lagi, hal mana

menyebabkan adanya alasan pemaaf.

Perbuatan untuk menjalankan peraturan perundang-undangan

diatur dalam Pasal 50 KUHP yang berbunyi : Barangsiapa melakukan

perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang – undang, tidak

dipidana. Sehingga perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-

undangan termasuk dalam alasan pembenar.

Perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang sah diatur

dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP yang berbunyi : Barangsiapa melakukan

perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh

penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Sehingga perbuatan untuk

menjalankan perintah jabatan yang sah termasuk dalam alasan

pembenar.
33

Perbuatan yang dilakukan untuk menjalankan perintah jabatan

yang tidak sah diatur dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP yang berbunyi :

Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana,

kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa

perintah diberikan dengan wewenang, dan pelaksanaannya termasuk

dalam lingkungan pekerjaannya. Sehingga perbuatan untuk

menjalankan perintah jabatan yang tidak sah termasuk dalam alasan

pemaaf.

B. Kajian Mengenai Korban Dan Hak-Hak Korban

1. Pengertian Korban

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi Dan Korban Pasal 1 angka (2) korban adalah

seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian

ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

Pasal 1 angka (3) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002

Tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Korban

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, berisi ketentuan bahwa

“korban adalah perseorangan yang mengalami penderitaan baik fisik,

mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian,

pengurungan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat

pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli

waris”.
34

Menurut Arif Gosita, korban adalah mereka yang menderita

jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari

pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan

dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.

Korban tindak pidana adalah mereka yang menjadi korban dari

suatu tindak pidana. Pengertian dan ruang lingkup tindak pidana sangat

tergantung pada perumusan undang-undang mengenai hal itu, maka

pengertian dan ruang lingkup korbannya pun tergantung pada perumusan

undang-undang. Berdasarkan pada faktor psikologis, sosial, dan biologic,

Von Hentig mengkategorikan korban menjadi:

a. The young. Orang berusia muda atau anak-anak sangat mudah


menjadi target kejahatan bukan saja karena secara fisik tidak
kuat, tetapi juga karena belum matang kepribadian dan
ketahanan moralitasnya.
b. The female. Perempuan, khususnya yang muda, biasanya
menjadi korban kekerasan seksual dan kejahatan terhadap
harta benda. Mereka ini sering menjadi target kejahatan karena
dipersepsikan sebagai manusia yang fisiknya lebih lemah
dibanding laki-laki
c. The old. Orang yang berusia lanjut seringkali mudah menjadi
korban kejahatan karena secara fisik, dan mungkin juga mental,
sudah mengalami penurunan.
d. The mentally defective dan The mentally deranged. Orang-
orang cacat mental dan gila merupakan korban potensiil dann
korban yang sesungguhnya. Kondisi psikis yang ada pada
mereka merupakan kendala untuk melakukan perlawanan
terhadap kejahatan.
e. The minorities. Ketidakadilan hukum yang mereka terima akan
meningkatkan potensi viktimisasinya. Demikian pula dengan
pemikiran-pemikiran berbau SARA yang semakin
meningkatkan potensi viktimisasinya.
f. The dull normals. Menurut Hentig orang idiot merupakan
orang yang dilahirkan untuk menjadi korban (born victim).
Seorang pelaku dapat berhasil menjalankan kejahatannya
bukan karena kepandaiannya dalam hal itu melainkan karena
keidiotan si korban.
35

Kategori korban seperti penjelasan diatas, merupakan kategori orang-orang

yang mendominasi menjadi korban dari suatu tindak pidana dikarenakan

mental dan fisiknya yang lebih lemah dibandingkan dengan yang lainnya.

2. Hak-Hak Korban

Korban pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita

dalam suatu tindak pidana, oleh karena itu ia berhak diberikan

perlindungan yang berupa pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk

memberikan rasa aman. Hak - hak korban tindak pidana diatur dalam Pasal

5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlidungan

Saksi Dan Korban yang berisi ketentuan sebagai berikut :

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan

harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan

kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

Perlindungan semacam ini merupakan perlindungan utama

yang diperlukan Saksi dan Korban. Apabila perlu, Saksi dan

Korban harus ditempatkan dalam suatu lokasi yang dirahasiakan

dari siapa pun untuk menjamin agar Saksi dan Korban aman.

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk

perlindungan dan dukungan keamanan;

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan ;


36

Sesuai dengan Pasal 117 KUHAP yang berisi “Keterangan

tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan

dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun”.

d. Mendapat penerjemah;

Hak ini diberikan kepada Saksi dan Korban yang tidak

lancar berbahasa Indonesia untuk memperLancar persidangan.

e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

Sesuai dengan Pasal 166 KUHAP yang berisi “Pertanyaan

yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada terdakwa

maupun kepada saksi”.

f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;

Seringkali Saksi dan Korban hanya berperan dalam

pemberian kesaksian di pengadilan, tetapi Saksi dan Korban tidak

mengetahui perkembangan kasus yang bersangkutan. Oleh karna

itu, sudah seharusnya informasi mengenai perkembangan kasus

diberikan kepada Saksi dan Korban.

g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;

Informasi ini penting untuk diketahui Saksi dan Korban

sebagai tanda penghargaan atas kesediaan Saksi dan Korban dalam

proses peradilan tersebut.

h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;


37

Ketakutan Saksi dan Korban akan adanya balas dendam

dari terdakwa cukup beralasan dan ia berhak diberi tahu apabila

seorang terpidana yang dihukum penjara akan dibebaskan.

i. Mendapat identitas baru;

Dalam berbagai kasus, terutama yang menyangkut

kejahatan terorganisasi, Saksi dan Korban dapat terancam

walaupun terdakwa sudah dihukum. Dalam kasus-kasus tertentu,

Saksi dan Korban dapat diberi identitas baru.

j. Mendapatkan tempat kediaman baru;

1) Apabila keamanan Saksi dan Korban sudah sangat

mengkhawatirkan, pemberian tempat baru pada Saksi dan

Korban harus dipertimbangkan agar Saksi dan Korban dapat

meneruskan kehidupannya tanpa ketakutan.

2) “Tempat kediaman baru" adalah tempat tertentu yang bersifat

sementara dan dianggap aman.

k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan

kebutuhan;

Saksi dan Korban yang tidak mampu membiayai dirinya

untuk mendatangi lokasi, perlu mendapat bantuan biaya dari negara.

l. Mendapat nasihat hukum; dan/atau

Saksi dan Korban akan mendapatkan nasihat hukum

apabila diperlukan.
38

m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu

perlindungan berakhir.

Yang dimaksud dengan "biaya hidup sementara" adalah

biaya hidup yang sesuai dengan situasi yang dihadapi pada waktu

itu, misalnya biaya untuk makan sehari-hari.

Hak – hak korban lainnya adalah sebagai berikut :

a. Bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial dan

psikologis bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat,

korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan

orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana

kekerasan seksual dan korban penganiayaan berat yang diatur

dalam Pasal 6 Undang–Undang Nomor 31 Tahun 2014.

b. Pemberian Kompensasi dan Restitusi yang diatur dalam Pasal 7

dan Pasal 7A Undang–Undang Nomor 31 Tahun 2014. Untuk

korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan korban

tindak pidana terorisme selain mendapatkan hak sebagaimana

dalam Pasal 5 dan Pasal 6 juga berhak atas Kompensasi. Seorang

yang merupakan korban tindak pidana, dapat mengajukan restitusi

jika ia merasa perlu dan merasa itu haknya untuk mengajukan

restitusi.

c. Saksi, Korban, Saksi Pelaku dan/atau Pelapor tidak dapat

dituntut secara hukum , baik pidana maupun perdata atas kesaksian


39

dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya,

kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan

itikad baik yang diatur dalam Pasal 10 Undang–Undang Nomor 31

Tahun 2014.

C. Kualifikasi Tindak Pidana Sebagai Syarat Adanya Hak Restitusi Pada

Korban.

Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau

keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.10 Berdasarkan Pasal 7A ayat (1)

Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2014, Korban tindak pidana berhak

memperoleh restitusi yang berupa :

a. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;

b. Ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang

berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau

c. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.

Pasal 7A ayat (2) mengatur bahwa :

“Tindak pidana sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) ditetapkan

dengan Keputusan LPSK”.

Menurut penjelasan diatas, berarti hak untuk memperoleh restitusi

tidak dapat berlaku untuk semua tindak pidana karena ditetapkan dengan

Keputusan LPSK. Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber yaitu

10
Pasal 1 ayat (11) Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang –
Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
40

Bapak Syahrial Martanto Wirawan yang bekerja di Divisi Tenaga Ahli

Biro Pemenuhan Hak Saksi Dan Korban di LPSK mengungkapkan bahwa

sejauh ini LPSK sendiri tidak mengeluarkan regulasi untuk menjabarkan

Pasal 7 ayat 2, semua tindak pidana yang korbannya merasa perlu, merasa

itu haknya dapat mengajukan restitusi yang nantinya akan diputuskan

LPSK bahwa restitusi tersebut diterima atau tidak .

Pertimbangan LPSK terhadap permohonan ganti kerugian korban

adalah berdasarkan permintaan korban sendiri dikarenakan yang tahu

tentang kerugian tersebut adalah korban sendiri. LPSK hanya

mengintervensi, mengingatkan kewajaran yaitu nilai ganti rugi yang wajar

dan LPSK mengkerangkakan, membuat item-item ganti kerugian yang

dimintakan korban menjadi dokumen-dokumen (alat bukti surat) yang

akan disampaikan ke Jaksa.

LPSK akan melakukan langkah-langkah untuk memastikan bahwa

penemuan restitusi itu layak, patut, wajar untuk disampaikan di Jaksa

karena restitusi dimuat dalam tuntutan. Pengajuan permohonan restitusi

dapat dilakukan dengan 2 mekanisme, yaitu :

a. Sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

LPSK dapat mengajukan restitusi kepada penuntut umum untuk

dimuat dalam tuntutannya.

b. Setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.


41

LPSK dapat mengajukan restitusi kepada pengadilan untuk

mendapat penetapan.

Berdasarkan Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Permohonan dan Pelaksanaan

Restitusi Nomor 1 Tahun 2010, seseorang yang ingin mengajukan

permohonan restitusi melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

harus memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 22 Ayat (1) Peratutan

Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi,

Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, yaitu :

a. Identitas pemohon;

Menjelaskan nama lengkap pemohon, tempat

tanggal lahir, alamat domisili, nomor telepon yang dapat

dihubungi, agama, pekerjaan, status perkawinan, jumlah

tanggungan dalam keluarga, nama dan hubungan keluarga

tertanggung dengan pemohon, serta status/kapasitas pemohon

sehingga menjadi korban dari tindak pidana.

b. Uraian tentang tindak pidana;

Menjelaskan tentang peristiwa tindak pidana yang

dialami oleh korban. Peristiwa tersebut mencakup waktu,

tempat, kronologis peristiwa yang terjadi, kondisi korban pada

saat peristiwa terjadi, posisi korban ketika peristiwa terjadi,


42

dan keterangan-keterangan lain yang menjelaskan jalannya

peristiwa tindak pidana tersebut.

c. Identitas pelaku tindak pidana;

Menerangkan identitas pelaku atau pihak-pihak

yang melakukan tindak pidana. Dituliskan nama pelaku,

tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, alamat, kewarganegaraan

dari pelaku, dalam rangka apa pelaku melakukan tindak pidana,

dan penjelasan lainnya, yang mengungkap identitas pelaku

tindak pidana.

d. Uraian kerugian yang nyata-nyata diderita;

Menguraikan bentuk-bentuk kerugian yang dialami

oleh pemohon, akibat tindak pidana. Kerugian tersebut harus

nyata-nyata diderita oleh pemohon. Dan, termasuk ke dalam

jenis kerugian yang dapat dicover melalui mekanisme restitusi,

yang meliputi: biaya pengobatan dan biaya konseling,

kehilangan pendapatan atau keuntungan yang dapat

diperhitungkan, biaya pemakaman dan penguburan, biaya

transportasi selama mengurus proses pengajuan restitusi,

hilangnya kebahagiaan dalam hidup, akibat penderitaan yang

dialami, biaya penggantian atau perbaikan asset dan property,

dan biaya-biaya tambahan lainnya yang dapat dibuktikan

penggunaannya.
43

e. Bentuk Restitusi yang diminta.

Diuraikan bentuk-bentuk restitusi yang diminta oleh

pemohon baik berupa uang atau berujud barang dari pelaku.

Pasal 22 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008

tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan

Korban menyebutkan bahwa permohonan restitusi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) harus dilampiri :

a) Fotokopi identitas Korban yang disahkan oleh pejabat yang

berwenang;

Fotokopi identitas yang dimaksud adalah Kartu

Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku, Surat Ijin

Mengemudi (SIM), Paspor, atau kartu identitas lainnya.

b) Bukti kerugian yang nyata-nyata diderita oleh Korban atau

Keluarga yang dibuat atau disahkan oleh pejabat yang

berwenang;

Bukti kerugian yang dimaksud adalah Slip gaji dari

bendaharawan gaji tempat korban bekerja atau Surat Pajak

Terutang (SPT) yang menjelaskan Pajak Penghasilan

sehingga diketahui penghasilan korban dan juga SPT PBB

dari properti korban yang musnah. Nilai taksiran

barang/benda miliki korban yang hilang, yang dikeluarkan

oleh juru taksir terakreditasi. Bukti renovasi rumah atau


44

tempat kerja, untuk memudahkan aktivitas korban, yang

dikeluarkan pelaksana renovasi. Pemohon juga perlu

melampirkan bukti-bukti lainnya sesuai dengan bentuk

restitusi yang diajukan korban.

c) Bukti biaya yang dikeluarkan selama perawatan dan/atau

pengobatan yang disahkan oleh instansi atau pihak yang

melakukan perawatan atau pengobatan;

Menyantumkan nota-nota dan faktur pembayaran,

yang terkait dengan biaya pengobatan korban. Laporan

pengobatan (medical report), yang dikeluarkan oleh rumah

sakit atau dokter yang merawat korban, termasuk juga

laporan konseling untuk kesehatan (mental health

counseling). Termasuk jika ada adalah bukti-bukti

pengeluaran untuk membeli peralatan dan perlengkapan yang

dibutuhkan korban, seperti kursi roda, dan lain-lain.

d) Fotokopi surat kematian dalam hal Korban meninggal dunia;

Fotokopi surat kematian dikeluarkan oleh Lurah

atau Kepala Desa, tempat korban berdomisili.

e) Surat keterangan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia

yang menunjukkan pemohon sebagai Korban tindak pidana;


45

Surat keterangan tersebut menguraikan secara

singkat mengenai peristiwa tindak pidana yang dialami

korban.

f) Fotokopi putusan pengadilan yang disahkan oleh pejabat

yang berwenang dalam hal apabila permohonan diajukan

setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap;

g) Surat keterangan hubungan Keluarga, apabila permohonan

diajukan oleh Keluarga;

h) Surat kuasa khusus, apabila permohonan Restitusi diajukan

oleh kuasa Korban atau kuasa Keluarga.

Permohonan untuk memperoleh restitusi tersebut diajukan secara

tertulis dalam bahasa Indonesia diatas kertas bermaterai cukup kepada

Pengadilan melalui perantaraan LPSK. Apabila permohonan restitusi

perkaranya telah diputus pengadilan dan telah memperoleh kekuatan

hukum tetap, permohonan restitusi tersebut harus dilampiri kutipan

putusan pengadilan.

Pelaksanaan pemberian restitusi kepada korban paling lambat 30

(tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal salinan penetapan pengadilan

diterima. Menurut narasumber LPSK, mereka tidak memikirkan prosedur

yang berlaku yang penting pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga

mempunyai kehendak untuk membayar. Ketika terdakwa punya kehendak

untuk membayar, LPSK membuat surat kepada hakim bahwa korban telah
46

menerima restitusi dan di dalam surat memuat bahwa mohon kiranya

menjadi pertimbangan bagi hakim bahwa terdakwa telah memiliki itikad

baik untuk melakukan pemulihan bagi korban.

Pemberian sejumlah uang kepada korban maupun keluarganya

dilakukan setelah putusan berkekuatan hukum tetap dan dilakukan oleh

Jaksa kepada korban dengan didampingi oleh LPSK. Apabila pelaku

tindak pidana tidak mampu untuk membayar ganti rugi maka dia akan

dikenai pidana subsidair yang merupakan hukuman tambahan berupa

kurungan penjara, hal ini dikarenakan putusan harus bisa dieksekusi.

Narasumber menjelaskan bahwa dalam menerapkan restitusi ,

LPSK mengalami sedikit kendala yaitu secara konsep belum clear, karena

antara norma yang dirumuskan di Undang – Undang dengan praktiknya

tidak selaras. Secara konsep, bahwa ini tidak adil di proses peradilan

pidana dikarenakan sudah dipidana tetapi masih melakukan ganti rugi.

Acuan KUHP dan KUHAP belum menjawab tentang hak restitusi maka,

dibutuhkan Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2014 yang melengkapi

untuk urusan saksi dan korban.

Narasumber juga menjelaskan bahwa orang menggangap KUHAP

segalanya padahal tata cara perundangan antara KUHAP dengan Undang –

Undang LPSK sama atau setara dimana hal ini kurang dimengerti oleh

aparat penegak hukum sehingga menimbulkan problem pada

implementasinya. Aparat penegak hukum diharapkan mengerti dan


47

memahami tidak hanya KUHAP yang melindungi tersangka atau terdakwa

tetapi juga Undang – Undang LPSK yang melindung saksi dan korban

dikarenakan saksi dan korban mempunyai posisi yang sama dengan

stageholder yang lain.

Tabel 1 : Jumlah Permohonan Fasilitasi Restitusi Yang Diajukan Oleh

Pemohon Selama Tahun 2016

No. Jenis Kasus Jumlah

1. TPPO 148

2. Penganiayaan 7

3. Kekerasan Dalam Rumah Tangga 5

4. Tindak Pidana Umum Lainnya 1

Jumlah 161

Annual Report LPSK 2016

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui kriteria tindak pidana

yang kepada korbannya dapat diajukan hak restitusi yaitu tindak pidana

yang menimbulkan penderitaan fisik dan penderitaan psikis terhadap

korbannya.

Tabel 2 : Jumlah Permohonan Fasilitasi Restitusi Yang Diajukan Oleh

Pemohon Selama Tahun 2017

No. Jenis Kasus Jumlah

1. TPPO 85
48

2. Kekerasan Seksual Terhadap Anak 6

3. Penyiksaan 1

4. Penganiayaan Yang Menyebabkan Kematian 3

5. Eksploitasi Seksual dan Ekonomi Terhadap Anak 1

6. Penganiayaan Terhadap Anak 1

7. Pengrusakan 4

Jumlah 101

Annual Report LPSK 2017

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui kriteria tindak pidana

yang kepada korbannya dapat diajukan hak restitusi yaitu tindak pidana

yang menimbulkan kerugian harta benda, tindak pidana yang

menimbulkan penderitaan fisik dan tindak pidana yang menimbulkan

penderitaan psikis terhadap korbannya.

Berdasarkan fakta yang diperoleh mengenai jumlah permohonan

fasilitasi restitusi yang diajukan oleh pemohon pada tahun 2016 dan 2017

maka dapat di ketahui klasifikasi tindak pidana yang kepada korbannya

dapat diajukan hak restitusi yaitu tindak pidana yang menimbulkan

kerugian bagi korbannya baik harta benda, penderitaan fisik maupun

penderitaan psikis. Korban juga dapat mengajukan hak restitusi apabila ia

merasa perlu dan merasa itu haknya untuk mengajukan hak restitusi yang

nantinya akan diputuskan LPSK bahwa restitusi tersebut diterima atau

tidak.

Anda mungkin juga menyukai