Makalah Mujmal Dan Mubayan, Muradif Dan Musytarak
Makalah Mujmal Dan Mubayan, Muradif Dan Musytarak
Makalah Mujmal Dan Mubayan, Muradif Dan Musytarak
Makalah ini dibuat dan diajukan untuk memenuhi tugas individu pada Mata
kuliah “Muqaranah Mazahib Fi Al Ushul “
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A.
Disusun oleh:
1. Fatih Zein Muhammad 11220430000082
2. Deklan Ramadhan 11220430000069
3. Fariz Sulaiman Fahmi 11220430000030
4. Rafli Rantisi 11220430000018
5. Razan Bagas Khairullah 11220430000058
Penyusun
I
DAFTAR ISI
II
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ushul fiqh sebagai ilmu mengandung nilai atau berguna untuk memperoleh
hukum syara’ tentang perbuatan dari dalil-dalilnya yang terinci. Kegunaan ushul
fiqh yang demikian itu masih sangat diperlukan, bahkan dapat dikatakan “inilah
kegunaan pokoknya”. Karena meskipun para ulama terdahulu telah berusaha
mengeluarkan hukum dalam berbagai persoalan, namun dengan perubahan dan
perkembangan zaman, demikian pula dengan bervariasinya lingkungan alam dan
kondisi sosial di berbagai daerah- adalah faktor yang sangat memungkinkan sebagai
penyebab timbulnya persoalan-persoalan baru yang tidak didapati ketetapan
hukumnya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dan belum pernah terpikirkan oleh para
ulama terdahulu. Untuk dapat mengeluarkan ketetapan hukum persoalan-persoalan
baru tersebut, seseorang harus mengetahui kaidah-kaidah dan mampu
menerapkannya pada dalil-dalilnya.
Lebih dari itu, ushul fiqh dapat digunakan untuk mengetahui alasan-alasan
pendapat para ulama dan ini akan menjadi lebih penting ketika seseorang akan
memilih pendapat yang dipandang lebih valid atau paling tidak untuk menghindari
taklid buta. Seperti dikemukakan oleh Hasyim Kamali, ushul fiqh mengandung
kegunaan untuk membantu ahli hukum dalam memperoleh pengetahuan yang
memadai tentang sumber-sumber syari’at, metode deduksi hukum dan inferensi
(istimbat), juga untuk membedakan metode deduksi mana yang palig tepat
digunakan untuk memperoleh hukum syari’ bagi masalah tertentu. Bahkan ushul
fiqh juga memungkinkan ahli hukum untuk memastikan dan membandingkan
kekuatan dan kelemahan ijtihad serta dapat pula memberikan preferensi kepada
putusan ijtihad yang paling sesuai dengan nash.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa ushul fiqh
memegang peranan penting dalam upaya menemukan dan mengeluarkan hukum
dalil-dalil syara’, baik yang bersumber dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, yang
keduanya ini senantiasa menggunakan bahasa Arab.Oleh karena itu, pemahaman
dan pengetahuan terhadap kedua sumber hukum tersebut dan hal-hal yang terkait
dengannya seperti kaidah-kaidah penafsiran berupa ‘amm, khas, mutlaq,
1
muqayyad, dan Mujmal, mubayyan serta yang lainnya, adalah sebuah keniscayaan
bagi seorang mujtahid. Namun mengingat begitu banyaknya kaidah-kaidah
penafsiran di atas, sekaligus untuk menghindari terlalu melebar atau meluasnya
pembahasan dalam makalah ini, maka disinilah pentingnya pembatasan
pembahasan. Oleh karena itu, makalah ini akan lebih difokuskan pembahasaanya
tentang persoalan Mujmal dan mubayyan, serta Muradif dan Musytarak.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan mujmal dan mubayyan?
2. Apa yang dimaksud dengan muradif dan musytarak?
3. Apa saja macam-macam bentuk mujmal dan mubayyan, serta muradif dan
musytarak?
C. Tujuan
1. Mengetahui yang dimaksud dengan mujmal dan mubayyan?
2. Mengetahui yang dimaksud dengan muradif dan musytarak?
3. Mengetahui apa saja macam-macam bentuk mujmal dan mubayyan, serta
muradif dan musytarak?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mujmal dan Mubayyan
1. Pengertian Mujmal dan Mubayyan
Secara etimologi, Mujmal berarti global atau tidak terperinci, secara
umum dan keseluruhan atau bisa juga sekumpulan sesuatu tanpa
memperhatikan satu persatunya. Sedangkan menurut istilah, terdapat
beberapa redaksi yang diberikan beberapa ahli Ushul berikut ini. Menurut
Hanafiyah, Mujmal adalah lafal yang mengandung makna secara global
dimana kejelasan maksud dan rinciannya tidak dapat diketahui dari
pengertian lafal itu sendiri, melainkan melalui penjelasan dari pembuat
syari’at yakni Allah SWT dan Rasulullah saw (Azizah et al., 2023).
Sedangkan menurut Jumhur ulama ushul fiqh, Mujmal adalah perkataan
atau perbuatan yang tidak jelas petunjuknya. Abu Ishaq al-Syirazi (w.476 H)
ahli ushul fiqh dari kalangan Syafi’iyah, Mujmal adalah lafal yang tidak jelas
pengertiannya sehingga memahaminya memerlukan penjelasan dari luar (al-
Bayan) atau bila ada penafsiran dari pembuat Mujmal (Syari’). Selain itu, al-
Bazdawi dalam kitab ushul fiqhnya, mengajukan definisi Mujmal yaitu
ungkapan yang di dalamnya terkandung banyak makna, namun makna mana
yang dimaksud di antara makna-makna tersebut tidak jelas (kabur) (Azizah et
al., 2023).
Berdasarkan beberapa pengertian Mujmal secara istilah di atas, dapat
dipahami bahwa meskipun masing-masing ahli ushul berbeda dalam
memberikan redaksinya, namun secara substansi, semuanya saling
melengkapi dan mengarah pada makna yang sama yaitu suatu lafal atau
ungkapan yang belum jelas dan tidak dapat dipahami maksudnya dan untuk
mengetahuinya diperlukan penjelasan dari lainnya.
Penjelasan inilah disebut dengan al-Bayan, baik penjelasan itu dari
Allah langsung atau pun penjelasan melalui Rasulullah Saw. Dengan
demikian, dapat pula dikatakan bahwa Mujmal adalah lafal yang kandungan
maknanya masih global dan memerlukan perincian atau penjelasan dari
pembuat Mujmal atau syara’ itu sendiri.
3
Adapun, mubayyan berarti ‘yang menjelaskan atau yang merinci.
Sedangkan menurut istilah, terdapat dua redaksi yang sama-sama
dikemukakan Ulama Ushul Fiqh tentang pengertian mubayyan. Pertama,
mubayyan adalah upaya menyingkapkan makna dari suatu pembicaraan
(kalam) serta menjelaskan secara terperinci hal-hal yang tersembunyi dari
pembicaraan tersebut kepada orang-orang yang dibebani hukum (mukallaf).
Kedua, mubayyan adalah mengeluarkan suatu ungkapan dari keraguan
menjadi jelas.
Maksudnya, jika ada suatu ungkapan yang masih Mujmal (samar),
maka dengan mubayyan ungkapan itu menjadi jelas. Berdasarkan kedua
definisi tentang mubayyan di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud
dengan mubayyan adalah suatu lafal atau perkataan yang jelas maksudnya
setelah mendapatkan penjelasan dari lainnya,baik dari Allah langsung atau
melalui penjelasan sunnah Rasulullah SAW.
Dengan demikian, jika sunnah Rasulullah SAW. dikatakan sebagai
mubayyan terhadap al-Qur’an, berarti sunnah Rasulullah SAW. tersebut
berfungsi sebagai penyingkap hal-hal yang sulit (samar) ditangkap dari ayat-
ayat al-Qur’an, serta berfungsi untuk menjelaskan kandungan ayat-ayat itu
kepada umat Islam, baik melalui perkataan, perbuatan maupun
penetapan/pengakuan (taqrir) Rasulullah SAW. terhadap perbuatan para
sahabat.
2. Pembagian Mujmal dan Mubayyan
a. Mujmal
Lafal Mujmal jika dilihat dari segi penyebab keMujmalannya,
terbagi menjadi tiga macam, yaitu (Islamiyah, 2020):
1) Lafal itu mengandung makna lebih dari satu dan tidak ada makna
yang menentu untuk diketahui atau dengan kata lain lafal itu
muystarak. Sebagai contoh: seandainya ada seorang laki-laki
yang mewasiatkan sepertiga hartanya kepada para hamba atau
budak-budaknya. Sementara ia juga memiliki beberapa budak
dan juga bekas tuan-tuannya yang telah memerdekakannya,
sehingga kemudian orang tersebut meninggal dan dia belum
4
sempat menjelaskan tentang siapa-siapa diantara dua golongan itu
yang dia kehendakinya. Karena sesungguhnya lafal al-Mawali
pada wasiat itu bersifat Mujmal. Hal Ini disebabkan makna yang
dikehendaki salah satu keduanya, dan tidak ada jalan untuk
mengetahuinya kecuali dari orang yang bersangkutan. Dan ini
adalah menurut pendapatnya ulama Hanafiyah. Contoh lainnya
adalah surat al-Baqarah (2) ayat 228:
ٓ ُ ُ َ َ َٰ َ َ َّ ُ َ َ ۡ َّ َ َ َ ُ َٰ َ َّ َ ُ ۡ َ
... ٖۚ س ِهن ثلثة قروء ِ وٱلمطلقت يَتبصن بِأنف
Artinya: ‘Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'…
Lafal quru’ dalam ayat ini bersifat Mujmal, karena secara
etimologi mengandung dua makna, yaitu haid dan suci. Apabila
dipilih salah satu makna, maka harus didukung oleh dalil lain,
baik dari al-Qur’an, sunnah, maupun melalui ijtihad.
2) Lafal-lafal yang dinukilkan oleh Syari’ dari arti kata secara
bahasa yang sudah dikenal dan dialihkan menjadi istilah khusus
(teknis dalam hukum) yang dikehendaki Syari’, seperti kata-kata
sholat, zakat dan haji. Padahal di kalangan orang Arab, kata-kata
ini sudah umum dan digunakan oleh mereka. Namun kemudian,
Syari’at datang dan menghendaki makna khusus yakni yang
terkait dengan hukum. Sehingga (makna-makna) dari lafal-lafal
itu tidak bias diketahui kecuali melalui penjelasan dari Syari’.
Oleh karena itu, bila ada kata-kata tersebut dalam teks hukum
Islam (nash Syar’i) maka ia disebut lafal Mujmal, hingga ada
(datang) penjelasan Syari’ dan jika tidak ada penjelasannya, maka
tidak ada cara (jalan) untuk mengetahuinya. Karenanya, sunnah
Nabi saw, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan
berfungsi untuk menafsirkan (menjelaskan) arti kata sholat
termasuk juga rukun, syarat dan tata caranya. Demikian juga
sama dengan penjelasan as-Sunnah terkait zakat dan haji dalam
nash.
5
3) Lafal yang maknanya asing ketika digunakan. Seperti kata
“Hulu’” dalam firman Allah SWT,yakni Surat al-Ma’arij ayat 19:
نس َن ُخل َِق َهلُ ا ۡ َّ
١٩ وًع َٰ َ ٱۡل
ِ ۞إِن
Artinya: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah
lagi kikir.”
Pada ayat tersebut, kata “Hulu’” memiliki arti sangat keluh kesah
dan sedikit sabar. Kata ini disebut Mujmal karena penggunan
artinya yang asing ini tidak dapat diketahui kecuali oleh Syari’
sendiri, mengingat Syari’lah yang menyifati manusia dengan kata
“Hulu’” tersebut (Farid Naya, 2013).
b. Mubayyan
Mubayyan atau lafal-lafal yang memberikan dan menjelaskan
makna lafal-lafal yang Mujmal dalam al-Qur’an, oleh ulama ushul fiqh
juga disebut dengan al-Bayan. Dan menurut mereka al-Bayan terbagi
menjadi beberapa macam/fungsi, yaitu (Naya, 2013):
1) Menjelaskan isi al-Qur’an
Antara lain dengan merinci ayat-ayat global. Misalnya
hadis fi’liyah Rasulullah SAW. yang menjelaskan cara melakukan
sholat yang diwajibkan dalamal-Qur’an pada surat al-Baqarah (2)
ayat 110:
َ َٰ َ َّ ْ ُ َ َ َ َٰ َ َّ ْ ُ َ َ
.... َۚ وأقِيموا ٱلصلوة وءاتوا ٱلزكوة
Artinya: “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”
Ayat di atas menjelaskan tentang kewajiban shalat, namun
sifatnya masih global, karena ayat tersebut tidak merinci berapa
kali, berapa rakaat dan bagaimana tata cara mengerjakannya.
Oleh karena itu, datanglah hadis Rasulullah yang berfungsi
untukmenjelaskan ke-Mujmalan/global nya ayat tersebut. Hadis
yang dimaksud adalah:
6
صلوا َك رأيتمو ِن أص ِ ّل
Artinya: “‘Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya
melakukan shalat” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Di samping itu, ada juga contoh hadis yang berfungsi
menjelaskanayat yang masih umum dalam al-Quran yaitu
menjelaskan bahwa yang dimaksud oleh Allah adalah sebagian
dari cakupan lafal umum itu, bukan seluruhnya. Hadis tersebut
adalah:
7
sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi
kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya,
sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat ini menegaskan boleh mengawini selain wanita-
wanita yang telah disebutkan sebelumnya, seperti ibu, saudara
perempuan, anak saudara dan lain-lainnya yang tersebut dalam
ayat 23 sebelumnya. Sebelum datang hadis tersebut berdasarkan
kepada keumuman ayat 24 surat an-Nisa’, boleh memadu seorang
wanita dengan bibinya. Persepsi seperti inilah yang dihilangkan
oleh datangnya hadis pentakhsis tersebut, sehingga maksud ayat
tersebut tidak lagi mencakup masalah poligami antara seorang
wanita dengan bibinya.
2) Membuat aturan tambahan
Aturan ini bersifat teknis atas sesuatu kewajban yang
disebutkan pokok-pokoknya di dalam al-Qur’an. Misalnya
masalah Li’an, yaitu bilamana seorang suami menuduh istrinya
berzina, tetapi suami tersebut tidak mampu menghadirkan empat
orang saksi, padahal istrinya tidak mengakuinya,maka sebagai
jalan keluarnya adalah dengan cara Li’an, yaitu suami bersumpah
empat kali bahwa tuduhannya adalah benar dan pada kali kelima,
ia berkata La’nat Allah atasku jika aku termasuk ke dalam orang
yang berdusta (Farid, 2013).
Setelah itu istri juga mengadakan sumpah sebanyak lima
kali sebagai bantahan terhadap tuduhan suaminya tersebut
sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. an-Nur (24): 6-9.
ُ َ ٓ َّ ُ ٓ َ َ ُ ۡ ُ َّ ُ َ ۡ َ َ ۡ ُ َ َٰ َ ۡ َ َ ُ ۡ َ َ َّ َ
ۡنف ُس ُهم وٱَّلِين يرمون أزوجهم ولم يكن لهم شهداء إَِّل أ
َ َٰ َّ َ َ ُ َّ َّ َٰ َ َٰ َ َ ُ َ ۡ َ ۡ َ َ ُ َ َٰ َ َ َ
٦ ت بِٱَّللِ إِنهۥ ل ِمن ٱلص ِدق ِني ِۢ فشهدة أح ِدهِم أربع شهد
َ َٰ َ ۡ َ َ َ ۡ َ َ َّ َ َ ۡ َ َّ َ ُ َ َٰ َ ۡ َ
٧ وٱلخ ِمسة أن لعنت ٱَّللِ عليهِ إِن َكن مِن ٱلك ِذبِني
8
َٱَّللِ إنَّ ُهۥ ل َ ِمن
َّ َٰ َ َٰ َ َ َ َ ۡ َ َ َ ۡ َ َ َ َ َ ۡ َ ۡ َ ْ ُ َ ۡ َ َ
ِ ِت ب
ِۢ ويدرؤا عنها ٱلعذاب أن تشهد أربع شهد
َٱَّللِ َعلَ ۡي َها ٓ إن ََك َن مِن َّ َ َ َ َّ َ َ َ َٰ َ ۡ َ َ ۡ
َ ك َٰ ِذب
ِ ب ض غ ن أ ة س م
ِ خٱلو ٨ ني ِ ٱل
َ ٱلص ِدق
٩ ِني َٰ َّ
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina),
padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri
mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali
bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah
termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima:
bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang
berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya
empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-
benar termasuk orang-orang yang dusta. dan (sumpah) yang
kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk
orang-orang yang benar.
Dengan Li’an ini, maka suami terhindar dari hukuman
qazaf (delapan puluh kali dera atas orang yang menuduh orang
lain berzina tanpa saksi) dan istri pun bebas dari tuduhan zina.
Namun karena dalam ayat itu tidak dijelaskan apakah hubungan
diantara suami-istri itu masih lanjut atau putus.Maka datanglah
Sunnah Rasulullah menjelaskan hal itu yaitu bahwa diantara
keduanya dipisahkan utuk selama-lamanya. Al-Nasa’I dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah SAW.
3) Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam al-Qur’an
Seperti dalam hadis riwayat Al-Nasa’i dari Abu Hurairah
bahwa Rasulullah SAW. bersabda mengenai keharaman
memakan binatang buruan yang mempunyai taring dan burung
yang mempunyai cakar sebagaimana disebutkan dalam hadis
berikut ini:
9
ّ ِ ُك ِذي َن ٍب ِمن
الس با ِع فأْكه حرام
“Setiap binatang buas yang bertaring, maka memakannya
adalah haram.” (HR. Muslim no. 1933)
Terkait dengan pembagian lafal dari segi Mujmal dan mubayyan di atas,
dikalangan para ulama ushul juga terdapat perbedaan pendapat, yang secara
garis besar terbagi menjadi dua kelompok/golongan. Golongan yang
pertama, yaitu golongan Hanafiyah yang membagi lafal dari segi kejelasan
terhadap makna (mubayyan) dalam empat bagian, yaitu: zhahir, nash,
mufassar dan muhkam. Sedangkan dari segi ketidakjelasannya lafal, mereka
membaginya menjadi empat macam pula, yaitu: khafi, musykil, Mujmal dan
mutasyabih (Farid, 2013).
Golongan kedua, yaitu jumhur dari kalangan mutakallimin yang
dipelopori oleh asy-Syafi’i, yang membagi lafal dari segi kejelasan maknanya
menjadi dua bagian, yaitu: zhahir dan nash. Kedua bentuk lafal ini disebut
dengan kalam mubayyan. Sedangkan dari segi ketidakjelasan, mereka
membaginya menjadi dua, yakni Mujmal dan mutasyabih. Berikut ini adalah
uraian singkat tentang pembagian lafal dari segi Mujmal dan mubayyannya
berdasarkan pendapat kedua golongan tersebut.
B. Muradif dan Musytarak
1. Pengertian Muradif dan Musytarak
Muradif menurut bahasa artinya adalah: membonceng/ikut serta.
Muradif yang dimaksudkan oleh ahli uṣul fiqih adalah: “beberapa lafaz
terpakai untuk satu makna” (Farid, 2013; Wardania et al., 2023).
Contohnya:
10
Contohnya:
11
َ ََ َُ ََ
ۡ لَع ٱلۡ َغ
٢٤ ب بِضن ِني
ِ ي وما هو
ٌيز َحكِيم ُ َّ َوٞۗ وف َول ِلر َجال َعلَ ۡيه َّن َد َر َجة
ٌ ٱَّلل َعز ُ ۡ َ ۡ َّ ۡ َ َ َّ
ِ ِ ِ ِ ٖۚ ِ ٱَّلِي علي ِهن بِٱلمعر
٢٢٨
12
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa
yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada
Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.”
Lafadh quru’ dalam ayat tersebut, dalam bahasa Arab bias berarti
suci dan bias pula berarti masa haidh. Oleh karena itu, seorang mujtahid
harus mengerahkan segala kemampuannya untuk mengetahui arti yang
dimaksudkan oleh syari’ dalam ayat tersebut (Nazlianto, 2016).
Para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan lafadh quru’
tersebut diatas. Sebagian ulama’ yaitu Imam Syafi’i mengartikannya
dengan masa suci. Alasan beliau antara lain adalah karena adanya
indikasi tanda muannats pada ‘adad (kata bilangan: tsalatsah) yang
menurut kaida bahasa arab ma’dudnya harus mudzakkar, yaitu lafadh
al-thuhr (suci). Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan
masa haidh. Dalam hal ini, beliau beralasan bahwa lafadh tsalatsah
adalah lafadh yang khas yang secara dzahir menunjukkan sempurnanya
masing-masing quru’ dan tidak ada pengurangan dan tambahan.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mujmal adalah lafal yang maknanya global dan memerlukan penjelasan lebih
lanjut, sementara Mubayyan adalah lafal yang jelas setelah mendapat penjelasan.
Pembagian Mujmal didasarkan pada jenis keMujmalannya, sedangkan Mubayyan
menjelaskan Mujmal dalam konteks hukum syariat, seperti yang ditemukan dalam
Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah.
Muradif adalah lafal yang berbeda tetapi memiliki makna yang sama,
sedangkan Musytarak adalah lafal yang memiliki lebih dari satu arti yang berbeda,
memerlukan interpretasi untuk menentukan makna yang dimaksud dalam konteks
tertentu. Perbedaan dalam definisi dan penjelasan antara Mujmal, Mubayyan,
Muradif, dan Musytarak menunjukkan kompleksitas bahasa dalam memahami
hukum syariat.
14
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, N., Simanjuntak, S. khalijah, & Wahyuni, S. (2023). Fungsi Hadis terhadap
Al-Qur’an. Jurnal Dirosah Islamiyah, 5(2).
https://doi.org/10.47467/jdi.v5i2.3194
Farid, N. (2013). al-Mujmal dan al-Mubayyan Dalam Kajian Ushul Fiqih. Tahkim,
IX(2).
Farid Naya. (2013). Al-Mujmal dan Al-Mubayyan dalam Kajian Ushul Fiqh.
Tahkim, 9(2).
Islamiyah, I. (2020). Mufassar dan Mujmal dalam Tafsir Al-Munir. AL-THIQAH-
Jurnal Ilmu Keislaman, 3(2).
Naya, F. (2013). Al-Mujmal dan Al-Mubayyan Dalam Kajian USHUL FIQH.
Tahkim, 9(2).
Nazlianto, R. (2016). Hadits zaman rasulullah saw dan tatacara periwayatannya
oleh sahabat. Al-Mursalah, 2(2).
Wardania, W., Nurhalisa, S., Gafur, A., & Mahmud, B. (2023). Membongkar Teori
Anti-Sinonimitas Aisyah Bintu Syatih’ Dan Implikasinya Dalam Penafsiran
Al-Qur’an. El-Maqra’: Jurnal Ilmu Al-Qur’an, Hadis Dan Teologi, 3(1).
https://doi.org/10.31332/elmaqra.v3i1.6280
15