Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 6

Nama : INDAH SARI

NIM : 12304028

Prodi : Hukum Ekonomi Syariah

Semester : 2 (Dua)

Kelas : 2B

IJMA’

A. Pengertian Ijma’

Ijma’ menurut sebagian besar para ulama ushul mengatakan bahwa ijma’ adalah kesepakatan para
ulama mujtahid dari kaum muslimin pada masa Rasulullah saw sesudah wafat atas suatu hukum syara’
pada suatu kejadian. menurut ulama jumhur, ijma’ dikatakan sebagai sumber hukum islam setelah Al-
qur’an dan Hadits. Dari segi bahasa ijma’ berarti sepakat, setuju, dan sependapat. Sedangkan menurut
istilah, ijma’ berarti kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa sesudah
wafatnya Rasulullah saw atas suatu hukum syara.

Berdasarkan definisi diatas ada beberapa kata kunci yang harus diperjelas yang mana salah satu nya
adalah semua mujtahid artinya bahwa ijma’ itu harus disepakati oleh semua mujtahid, tidak ada diantara
mereka yang menolaknya pada masa tersebut. Sesudah nabi wafat, artinya bahwa pada masa nabi masih
hidup tidak ada ijma’ karena segala permasalahan hukum dapat dijawab langsung oleh nabi. Hukum
syara’ artinya kesepakatan itu hanya terbatas pada permasalahan hukum amaliah (syara’) dan tidak masuk
kepada masalah akidah.

Selain itu, ijma’ juga berarti kesepakatan terhadap sesuatu. Suatu kaum dikatakan telah berijma'
bila mereka bersepakat terhadap sesuatu. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surat Yusuf ayat
15, yang menerangkan keadaan saudara-saudara Yusuf a.s.

Contoh penggunaan kata ijmak dengan pengertian “kesepakatan”, dalam ungkapan bahasa
Arab ُ‫ وح غأؿـ ز ح‬dikatakan ٠ِ‫ػ‬, jika kaum itu telah menyepakatinya atas yang demikian. Adapun contoh
penggunaan kata ijmak dalam arti “kehendak”, dalam Q.S. Yunus [10]: 71 Allah swt. berfirman:

ُ ‫من ُما م أ ِ ج‬

1
Maka, bulatkanlah kehendakmu (dalam menyelesaikan) urusanmu. (Q.S. Yunus [10]: 71) Rasulullah saw.
pernah bersabda: ‫ ِصي‬61 ‫ الت ي ِف م ام ِ ِع ال ِصي ل ُ ُ ي ون ل ف ِل ل ام ل‬.‫ل‬

Artinya : Tidak sah puasa orang yang tidak sengaja berpuasa sejak malam.

Adapun rukun ijma dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam
suatu masa atas hukum syara’. “Kesepakatan” itu dapat dikelompokkan menjadi empat hal berikut:

1. Tidak cukup ijma dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaannya hanya seorang
(mujtahid) saja di suatu masa. Oleh karena, kesepakatan‟ dilakukan lebih dari satu orang,
pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.

2. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan melihat
negeri, jenis, dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid
haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunah, Mujtahid ahli Syiah, maka
secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak disebut ijma. Oleh karena ijma tidak terbentuk kecuali
dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.

3. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat
yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.

4. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka
sepakat maka tidak membatalkan kesepakatan yang „banyak‟ secara ijma sekalipun jumlah yang
berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang
banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.

B. Kehujjahan Ijma’

Ijma’ menjadi pegangan atau hujah dengan sendirinya di tempat yang tidak ada dalil (nash) nya, yakni Al-
Qur’an dan Hadits. Dikatakan tidak menjadi ijma’ kalau tidak ada kesepakatan dari ulama islam dan tidak
menyalahi nash yang Qath’i. Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa nilai kehujjahan ijma’ adalah dzanni, bukan
Qadh’i. Karena nilai ijma’ itu dzanni, maka ijma’ dapat dijadikan pegangan (hujjah). Kehujahan Ijma’ Bagaimana
lalu dengan kehujahan ijma’? Dalam hal ini, pandangan ulama terbelah. Ulama Syi'ah, Khawarij dan Nizam dari
golongan Mu'tazilah menolak kehujahan ijma’. Sementara, jumhur ulama menerima kehujahan ijma’ sebagai
sumber hukum Islam. Bagi yang meyakini kehujjahan ijma', maka kehujahan ijma’ ini terbagi menjadi dua: ijma’
yang sharih dan sukuti.

2
Masalah otoritas atau kehujahan ijmak merupakan isu sentral dalam kajian konsep atau teori ijmak. Sebab,
pokok permasalahan ijmak memang beranjak dari silang pendapat para ulama mengenai eksistensi ijmak sebagai
salah atau dalil hukum Islam (al-adillah attasyri‘iyyah). Dalam konteks ini, maka muncul pertanyaan, apakah ijmak
dapat dijadikan hujah atau tidak dalam penetapan hukum Islam. Terkait dengan kehujahan ijmak ini, kemudian
muncul juga pertanyaan, siapakah orang-orang yang memenuhi standar mujtahid dan berkompeten untuk ikut serta
dalam proses ijmak. Berkenaan dengan masalah kehujahan ijmak, pendapat para ulama secara garis besar dapat
diklasifikasi menjadi dua, sebagaimana akan dikemukakan berikut ini:

Ijmak Sebagai Hujah Sebagian ulama berpendapat bahwa ijmak merupakan hujah. Pendapat ini
dianut oleh jumhur ulama82 seperti al-Syafi’i, Ibnu alHumam, alJashshash, al-Gazali, asy-Syathibi, as-
Sarakhsi, Ibnu Hazm, dan para ulama kontemporer lainnya. Argumentasi yang dikemukakan oleh
kelompok ini untuk mendukung kehujahan ijmak terdiri atas beberapa ayat Alquran dan hadis Nabi saw.,
antara lain ialah firman Allah swt. dalam Q.S. anNisa’ [4]: 59:

‫ أ‬. ‫ِ ل ا ن ِ ِ م ِ ت ُ ما ال ي ِ ط م أ ُ ل ُ أ ت ُما الت ه ي ُِ ما ط أ م آ ف ِ ا ال ذ ه ا و‬


Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri di antara
kamu sakalian. (Q.S. an-Nisa’ [4]: 59).

C. Macam-Macam Ijma’

Ijma’ ditinjau dari sudut cara menghasilkan hukum itu, maka ijma’ inid ada dua macam:

A. Ijma’ Sharih ( bersih atau murni ) ijma’ sharih artinya ijma yang menampilkan pendapat masing
masing ulama secara jelas dan terbuka baik melalui ucapan (fatwa) atau perbuatan (keputusan).atau bisa
diartikan dengan ijma’ yang dikeluarkan oleh ulama mujtahid secara lisan maupun tulisan yang
mengeluarkan persetujuan atas pendapat mujtahid lain pada zamannya. Contoh ijma’ sharih dari zaman
setelah nabi meninggal terjadi kekosongan khulafah kemudian para sahabat nabi melakukan perundingan
(ijma’) penggantian khulafah atau penganti nabi untuk memimpin Islam.

B. Ijma’ Sukuti artinya para mujtahid seluruh atau sebagian mereka tidak mengatakan pendapat
dengan jelas dan tegas, atau kesepakatan yang dicapai setelah seorang atau beberapa orang telah
mengemukakan pendapatnya secara jelas, sedangkan yang lainnya mendiamkannya dengan arti tidak
mengemukakan pendapatnya yang menolak atau menyetujui. Hukum yang ditetapkan dalam bentuk ini
bersifat tidak menyakinkan atau zhanni. Para ulama berpendapat dalam menetapkan ijma’ sukuti sebagai
hujjah mempunyai kekuatan mengikat untuk seluruh umat. Ijma’ sukuti ini bersifat zhan(dugaan) dan
tidak mengikat. Oleh karena itu, boleh bagi mujtahid untuk mengemukakan pendapat yang berbeda

3
setelah ijma’itu diputuskan. Contoh ijma’ sukuti diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk sholat
jum’at yang diprakarsai oleh sahabat utsman bin affan r.a pada sahabat laiinya tidak ada yang memproses
atau menolak ijma’

D. Sandaran Ijma’

Ijma’ tidak dipandang sah kecuali mempunyai sandaran yang kuat, karena ijma’ itu bukan sebuah dalil
yang berdiri sendiri. Sandaran ijma’ adakalanya merupakan dalil yang bersifat Qath’i, yaitu AlQur’an
dan hadits mutawatir, dan adakalanya juga berupa dalil yang dzanni yaitu hadits ahad dan qiyas. Ijma’
secara garis besar dibagi menjadi 2 golongan yaitu:

1. Golongan pertama: berpendapat bahwa ijma’ merupakan hujjah. Pendapat ini di anut oleh jumhur
ulama. Ini berarti bahwa ijma’ dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat
islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an dan sunnah.

2. Golongan kedua: berpendapat bahwa ijma’ itu bukanlah hujah. Pendapat ini dianut oleh Al-Nazham
dan sebagian khawarij dan Syi’ah.bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an dan sunnah.

Argumentasi yang dikemukakan antara lain ialah bahwa berdasarkan Q.S. 4:59. Jika ada masalah yang
diperselisihkan hendaklah dikembalikan kepada kitab Allah dan sunnah Nabi saw.

E. Syarat-syarat Ijma’

Berdasarkan definisi di atas makan ada beberapa persyaratan ijma’ yaitu sebagai berikut:

1. Yang disepakati adalah para mujtahid

2. Para mujtahid harus umat muhammad saw

3. Dilakukan setelah wafatnya nabi

4. Kesepakatan mereka harus berupa syariat

F. Pembagian Ijma’

Ijma’ dibagi menjadi 2 macam yaitu sebagai berikut:

1. Ijma’ Qauli (Ucapan) : yaitu ijma yang dimana para ulama ijtihad menetapkan pendapatnya baik
dengan lisan maupun tulisan yang menerangkan persetujuan atas pendapat ulama mujtahid
dimasanya. Ijma qauli ini disebut juga dengan ijma’ qath’i. Sebagian ulama berpendapat, bahwa

4
sesuatu penetapan, jika yang menetapkan hakim yang berkuasa, dan didiamkan oleh para ulama, belum
dapat dijadikan sebagai pegangan (hujjah). Tetapi sesuatu pendapat yang ditetapkan oleh seorang faqih,
dan lalu didiamkan para ulama yang lain, maka dapat disebut dengan ijma’.

2. Ijmak sukuti adalah ijmak yang didasarkan pada asumsi karena kesepakatannya terbentuk melalui
pernyataan atau perbuatan sebagian ulama berkenaan dengan hukum suatu masalah, dan setelah informasi
ini menyebar di masyarakat, sebagian ulama yang lain diam (sukut) dan tidak menyatakan pendapatnya
meski telah cukup waktu untuk menelaahnya.

G. CONTOH-CONTOH IJMA’

a. Hak menerima waris atas kakek bersama dengan anak, apabila seseorang meninggal dunia dan
meninggalkan ahli waris (yaitu) anak dan kakek. Kakek ketika tidak ada bapak bisa menggantikan
posisinya dalam penerimaan warisan, sehingga bisa menerima warisan seperenam harta sebagaimana
(yang diperoleh) bapak, meskipun terdapat anak dari orang yang meninggal hal ini ditetapkan dengan
ijma sahabat.

b. Saudara seibu sebapak, baik laki-laki maupun perempuan (ibnu al-a’yam wa al-a’lat) terhalang dari
menerima warisan oleh bapak. Hal ini di tetapkan dengan ijma sahabat.

c. Wajib memilih khilafah dalam tenggat waktu 3 hari sejak berakhirnya ke-khilafahan sebelumnya. Para
pemuka sahabat tidak menyibukan diri dengan proses pemakaman jenazah rasul, tetapi mereka pergi
menuju saqifah bani sa’diyah hingga terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah dalam tenggat waktu 3
hari telah sempurna. Umar, ketika mencalonkan enam orang sahabat yang telah memperoleh kabar
gembira berupa surge untuk menjadi khalifah; beliau menunjuk orang yang akan membunuh mereka
apabila berselisih dalam hal pembaiatan seorang khalifah dalam tenggat waktu tiga hari. Hal ini tidak
ditentang oelh seorang sahabat pun. Perkara seperti ini termasuk perkara yang dilingkari apabila
(perkara itu) bertentangan dengan islam. Oleh karena itu termasuk ijma.

5
DAFTAR PUSTAKA
Buku ushul fiqh 1 karya Dr. Hj Rusdaya Basri, Lc., M. Ag
Buku ushul fiqh karya Ramli, S.Ag., M.H
Syafe'i, Z. (1997). Ijma Sebagai Sumber Hukum Islam. Al Qalam , 13 (67), 9-9.
Sulistiani, S. L. (2018). Perbandingan Sumber Hukum Islam. Tahkim (Jurnal Peradaban dan Hukum
Islam), 1(1).
Hasan, H. A. (2021). Sumber Hukum Dalam Sistem Ekonomi Islam. Pilar, 12(2), 66-78

Anda mungkin juga menyukai