Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

LP FIKS FRAKTUR HUMERUS

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Konsep Penyakit

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang


dan atau tulang rawan yang umumnya (Hoppenfield, 2011). Sedangkan fraktur
humerus adalah fraktur pada tulang humerus yang disebabkan oleh benturan atau
trauma langsung maupun tidak langsung (Sjamsuhidajat, 2010). Sedangkan
menurut Smeltzer & Bare (2009), fraktur humerus adalah salah satu jenis fraktur
yang memerlukan penanganan segera, tanpa penanganan segera dapat terjadi
komplikasi kelumpuhan nervusradial, kerusakan nervus brachial, atau median.

Dari uraian diatas maka penulis dapat disimpulkan bahwa fraktur humerus
adalah suatu keadaan diskontinuitas pada tulang humerus yang bisa disebabkan
oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak langsung

B. Tulang Humerus

Humerus (arm bone) merupakan tulang terpanjang dan terbesar dari


ekstremitas superior. Tulang tersebut bersendi pada bagian proksimal dengan
skapula dan pada bagian distal bersendi pada siku lengan dengan dua tulang, ulna
dan radius.3
Ujung proksimal humerus memiliki bentuk kepala bulat (caput humeri)
yang bersendi dengan kavitas glenoidalis dari scapula untuk membentuk
articulatio gleno-humeri. Pada bagian distal dari caput humeri terdapat collum
anatomicum yang terlihat sebagai sebuah lekukan oblik. Tuberculum majus
merupakan sebuah proyeksi lateral pada bagian distal dari collum anatomicum.
Tuberculum majus merupakan penanda tulang bagian paling lateral yang teraba
pada regio bahu. Antara tuberculum majus dan tuberculum minus terdapat sebuah
lekukan yang disebut sebagai sulcus intertubercularis. Collum chirurgicum
merupakan suatu penyempitan humerus pada bagian distal dari kedua tuberculum,
dimana caput humeri perlahan berubah menjadi corpus humeri. Bagian tersebut
dinamakan collum chirurgicum karena fraktur sering terjadi pada bagian ini.
Corpus humeri merupakan bagian humerus yang berbentuk seperti silinder
pada ujung proksimalnya, tetapi berubah secara perlahan menjadi berbentuk
segitiga hingga akhirnya menipis dan melebar pada ujung distalnya. Pada bagian
lateralnya, yakni di pertengahan corpus humeri, terdapat daerah berbentuk huruf
V dan kasar yang disebut sebagai tuberositas deltoidea. Daerah ini berperan
sebagai titik perlekatan tendon musculus deltoideus.
Beberapa bagian yang khas merupakan penanda yang terletak pada bagian
distal dari humerus. Capitulum humeri merupakan suatu struktur seperti tombol
bundar pada sisi lateral humerus, yang bersendi dengan caput radii. Fossa radialis
merupakan suatu depresi anterior di atas capitulum humeri, yang bersendi dengan
caput radii ketika lengan difleksikan. Trochlea humeri, yang berada pada sisi
medial dari capitulum humeri, bersendi dengan ulna. Fossa coronoidea merupakan
suatu depresi anterior yang menerima processus coronoideus ulna ketika
lengan difleksikan. Fossa olecrani merupakan suatu depresi posterior yang besar
yang menerima olecranon ulna ketika lengan diekstensikan. Epicondylus medialis
dan epicondylus lateralis merupakan suatu proyeksi kasar pada sisi medial dan
lateral dari ujung distal humerus, tempat kebanyakan tendon otot-otot lengan
menempel. Nervus ulnaris, suatu saraf yang dapat membuat seseorang merasa
sangat nyeri ketika siku lengannya terbentur, dapat dipalpasi menggunakan jari
tangan pada permukaan kulit di atas area posterior dari epicondylus medialis.

C. Etiologi

Kebanyakan fraktur dapat saja terjadi karena kegagalan tulang humerus


menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar, dan tarikan. Trauma
dapat bersifat:

1. Langsung

Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan


terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya
bersifat kominutif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.

2. Tidak Langsung
Trauma tidak langsung terjadi apabila trauma dihantarkan ke daerah
yang lebih jauh dari daerah fraktur. Yang patah biasanya adalah bagian yang
paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.

3. Kekerasan Akibat Tarikan Otot

Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan
penarikan.

4. Tekanan Pada Tulang Berupa :

a) Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat oblik atau spiral


b) Tekanan membengkok yang meny ebabkan fraktur transversal
c) Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat meny ebabkan fraktur
impaksi, dislokasi, atau fraktur dislokasi
d) Kompresi vertikal yang dapat menyebabkan fraktur kominutif atau
memecah
e) Trauma oleh karena remuk
f) Trauma karena tarikan pada ligament atau tendon akan menarik
sebagian tulang
D. Klasifikasi

Fraktur suprakondilar humerus

a) Tipe Ekstensi
Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan
bawah dalam posisi supinasi. Hal ini menyebabkan fraktur pada
suprakondilar, fragmen distal humerus akan mengalami dislokasi
keanterior dari fragmen proksimalnya.

b) Tipe Fleksi
Trauma terjadi ketika posisi siku dalam keadaan fleksi, sedang lengan
bawah dalam keadaan pronasi. Hal ini megakibatkan fragmen distal
humerus mengalami dislokasi keposterior dari fragmen proksimalnya.
Hal ini akan menyebabkan komplikasi jika terjadi penekanan pada
arteri brakialis yang disebut dengan iskemia volkmanss. Timbulnya
sakit, denyut arteri radialis berkurang, pucat, rasa kesemutan, dan
kelumpuhan.

E. Patofisiologi

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya


pegas untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang
lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada
tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang.
Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam
korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di
rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang
yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya
respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan
leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. ini merupakan dasar penyembuhan
tulang
Trauma pada tulang Gerakan pintir mendadak Tekanan yang berulang (kompresi) Keadaan patologis
(Kecelakaan)

FRAKTUR HUMERUS MRS MK : Ansietas

Diskontiunitas tulang Pergeseran fragmen tulang

B I (BREATHING) B 2 (BLOOD) B 3 (BRAIN) B 4 (BLADDER) B 6 (BONE)

Perubahan Perubahan
Perubahan jaringan Perubahan jaringan Pergeseran fragmen Perubahan jaringan
jaringan jaringan sekitar
sekitar sekitar tulang sekitar
sekitar

Inflamasi Laserasi kulit Laserasi kulit


Laserasi kulit Spasme otot Nyeri saat
beraktifitas
Merangsang Terputusnya vena / Ada luka
Terputusnya vena/ Peningkatan tekanan
neurotransmiter terbuka
arteri kapiler arteri
Aktivitas
terhambat
Hipotalamus perdarahan Sebagai media
perdarahan Pelepasan histamin masuknya virus
MK : penyebab infeksi
Reseptor nyeri Gangguan
Suplai O2 oleh darah Protein plasma hilang Perdarahan Mobilitas
Fisik MK :
Persepsi nyeri 1. Risiko Infeksi
Kebutuhan O2 Edema Kehilangan volume 2. Kerusakan
cairan integritas Kulit
Penekanan pembuluh MK : Nyeri Akut
Takipnea, dispnea
darah
MK : Kekurangan
MK: perfusi jaringan Volume Cairan
Ketidakefektifan
Pola Napas
MK : Ketidakefektifan
Perfusi Jaringan Perifer
F. Manifestasi Klinis (Tanda dan Gejala)
Secara umum tanda dan gejala fraktur yang terjadi biasanya seperti menurut M.
Clevo & Margareth, tahun 2012 :
1. Pada tulang traumatik dan cedera jaringan lunak biasanya disertai nyeri.
Setelah terjadi patah tulang terjadi spasme otot yang menambanh rasa nyeri.
Fraktur patologis mungkin tidak disertai nyeri
2. Bengkak dan nyeri tekan: edema muncul secara cepat dari lokasi dan
ekstravaksasi darah dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur
3. Deformitas: Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah
dari tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti :
i. Rotasi pemendekan tulang
ii. Penekanan tulang
4. Mungkin tampak jelas posisi tulang dan ekstermitas yang tidak alami
5. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous
6. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur
7. Tenderness/keempukan
8. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya
dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
9. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf/perdarahan)
10. Pergerakan abnormal
11. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
12. Krepitas

G. Komplikasi

1. Komplikasi awal
a) Kerusakan arteri: pecahnya arteri karena trauma bisa di tandai dengan
tidak adanya nadi, CRT menurun, cianosis bagian distal, hematoma yang
lebar dan dingin pada ekstermitas
b) Kompartement syndrom
Merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot,
tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut.
c) Fat embolism syndrom
Yang paling sering terjadi pada fraktur tulang panjang. Terjadi karena
sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk kealiran darah
dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai
dengan gangguan pernafasan, takikardi, hipertensi, tachypnea, demam
d) Infeksi: jika sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada
jaringan.
e) Avaskuler nekrosis
Terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa
menyebabkan nekrosis tulang
f) Shock: karena kehilangan banyak darah
2. Komplikasi dalam waktu lama
a) Delayed union
Kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan
tulang untuk menyambung karena penurunan suplai darah ke tulang.
b) Nonunion
Merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Ditandai
dengan pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi
palsu atau pseudoarthritis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang
kurang.
c) Malunion
Penyembuhan tulang yang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan
dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimmobilisasi yang baik.

H. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium
Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hemoglobin, hematokrit
sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat bila
kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa penyembuhan Ca dan P
mengikat di dalam darah.

2 . Radiologi
Pada rontgen dapat dilihat gambaran fraktur (tempat fraktur, garis fraktur
(transversa, spiral atau kominutif) dan pergeseran lainnya dapat terbaca jelas).
Radiografi humerus AP dan lateral harus dilakukan. Sendi bahu dan siku harus
terlihat dalam foto. Radiografi humerus kontralateral dapat membantu pada
perencanaan preoperative. Kemungkinan fraktur patologis harus diingat. CT-
scan, bone-scan dan MRI jarang diindikasikan, kecuali pada kasus dengan
kemungkinan fraktur patologis. Venogram/anterogram menggambarkan arus
vascularisasi. CT scan untuk mendeteksi struktur fraktur yang lebih kompleks.

I. Penatalaksanaan Medis

Konservatif
Pada umumnya, pengobatan patah tulang shaft humerus dapat ditangani
secara tertutup karena toleransinya yang baik terhadap angulasi, pemendekan serta
rotasi fragmen patah tulang. Angulasi fragmen sampai 300 masih dapat
ditoleransi, ditinjau dari segi fungsi dan kosmetik. Hanya pada patah tulang
terbuka dan non-union perlu reposisi terbuka diikuti dengan fiksasi interna.
Dibutuhkan reduksi yang sempurna disamping imobilisasi; beban pada lengan
dengan cast biasanya cukup untuk menarik fragmen ke garis tengah. Hanging
cast dipakai dari bahu hingga pergelangan tangan dengan siku fleksi 90° dan
bagian lengan bawah digantung dengan sling disekitar leher pasien. Cast
(pembalut) dapat diganti setelah 2-3 minggu dengan pembalut pendek (short cast)
dari bahu hingga siku atau functional polypropylene brace selama ± 6 minggu.
Pergelangan tangan dan jari-jari harus dilatih gerak sejak awal. Latihan
pendulum pada bahu dimulai dalam 1 minggu perawatan, tapi abduksi aktif
ditunda hingga fraktur mengalami union. Fraktur spiral mengalami union sekitar 6
minggu, variasi lainnya sekitar 4-6 minggu. Sekali mengalami union, hanya sling
(gendongan) yang dibutuhkan hingga fraktur mengalami konsolidasi.
Pengobatan non bedah kadang tidak memuaskan pasien karena pasien harus
dirawat lama. Itulah sebabnya pada patah tulang batang humerus dilakukan
operasi dan pemasangan fiksasi interna yang kokoh.
Berikut beberapa metode dan alat yang digunakan pada terapi konservatif:
a. Hanging cast
Indikasi penggunaan meliputi pergeseran shaft tengah fraktur humerus
dengan pemendekan, terutama fraktur spiral dan oblik. Penggunaan
pada fraktur transversa dan oblik pendek menunjukkan kontraindikasi
relatif karena berpotensial terjadinya gangguan dan komplikasi pada
saat penyembuhan. Pasien harus mengangkat tangan atau setengah
diangkat sepanjang waktu dengan posisi cast tetap untuk efektivitas.
Seringkali diganti dengan fuctional brace 1-2 minggu pasca trauma.
Lebih dari 96% telah dilaporkan mengalami union.
b. Coaptation splint
Diberikan untuk efek reduksi pada fraktur tapi coaptation splint
memiliki stabilitas yang lebih besar dan mengalami gangguan lebih
kecil daripada hanging arm cast. Lengan bawah digantung dengan
collar dan cuff. Coaptation splint diindikasikan pada terapi akut
fraktur shaft humerus dengan pemendekan minimal dan untuk jenis
fraktur oblik pendek dan transversa yang dapat bergeser dengan
penggunaan hanging arm cast. Kerugian coaptation splint meliputi
iritasi aksilla, bulkiness dan berpotensial slippage. Splint seringkali
diganti dengan fuctional brace pada 1-2 minggu pasca trauma.
c. Thoracobranchial immobilization (velpeu dressing)
Biasanya digunakan pada pasien lebih tua dan anak-anak yang tidak
dapat ditoleransi dengan metode terapi lain dan lebih nyaman jadi
pilihan. Teknik ini diindikasikan untuk pergeseran fraktur yang
minimal atau fraktur yang tidak bergeser yang tidak membutuhkan
reduksi. Latihan pasif pendulum bahu dapat dilakukan dalam 1-2
minggu pasca trauma.

d. Shoulder spica cast


Teknik ini diindikasikan pada jenis fraktur yang mengharuskan
abduksi dan eksorotasi ektremitas atas. Kerugian teknik ini meliputi
kesulitan aplikasi cast, berat cast dan bulkiness, iritasi kulit,
ketidaknyamanan dan kesusahan memposisikan ektremitas atas.
e. Functional bracing
Memberikan efek kompresi hidrostatik jaringan lunak dan
mempertahankan aligment fraktur ketika melakukan pergerakan pada
sendi yang berdekatan. Brace biasanya dipasang selama 1-2 minggu
pasca trauma setelah pasien diberikan hanging arm cast atau
coaptation splint dan bengkak berkurang. Kontraindikasi metode ini
meliputi cedera massif jaringan lunak, pasien yang tidak dapat
dipercaya dan ketidakmampuan untuk mempertahankan asseptabilitas
reduksi. Collar dan cuff dapat digunakan untuk menopang lengan
bawah; aplikasi sling dapat menghasilkan angulasi varus (kearah
midline).
Tindakan operatif
Pasien kadang-kadang mengeluh hanging cast tidak nyaman, membosankan
dan frustasi. Mereka bisa merasakan fragmen bergerak dan hal ini kadang-kadang
cukup dianggap menyusahkan. Hal penting yang perlu diingat bahwa tingkat
komplikasi setelah internal fiksasi pada humerus tinggi dan sebagian besar fraktur
humerus mengalami union tanpa tindakan operatif.
Meskipun demikian, ada beberapa indikasi untuk dilakukan tindakan
pembedahan, diantaranya:
 Cedera multiple berat
 Fraktur terbuka
 Fraktur segmental
 Fraktur ekstensi intra-artikuler yang bergeser
 Fraktur patologis
 Siku melayang (floating elbow) – pada fraktur lengan bawah
(antebrachi) dan humerus tidak stabil bersamaan
 Palsi saraf radialis (radial nerve palsy) setelah manipulasi
 Non-union
Fiksasi dapat berhasil dengan;
1. Kompresi plate and screws
2. Interlocking intramedullary nail atau pin semifleksibel
3. External Fixation

Plating menjadikan reduksi dan fiksasi lebih baik dan memiliki


keuntungan tambahan bahwa tidak dapat mengganggu fungsi bahu dan
siku. Biar bagaimanapun, ini membutuhkan diseksi luas dan perlindungan
pada saraf radialis. Plating umumnya diindikasikan pada fraktur humerus
dengan kanal medulla yang kecil, fraktur proksimal dan distal shaft
humerus, fraktur humerus dengan ekstensi intraartikuler, fraktur yang
memerlukan eksplorasi untuk evaluasi dan perawatan yang berhubungan
dengan lesi neurovaskuler, serta humerus non-union.
Interlocking intramedullary nail diindikasi pada fraktur segmental
dimana penempatan plate akan memerlukan diseksi jaringan lunak, fraktur
humerus pada tulang osteopenic, serta pada fraktur humrus patologis.
Antegrade nailing terbentuk dari paku pengunci yang kaku (rigid
interlocking nail) yang dimasukkan kedalam rotator cuff dibawah control
(petunjuk) fluoroskopi. Pada cara ini, dibutuhkan diseksi minimal namun
memiliki kerugian, yaitu menyebabkan masalah pada rotator cuff pada
beberapa kasus yang berarti. Jika hal ini terjadi, atau apabila nail keluar
dan fraktur belum mengalami union, penggantian nailing dan bone grafting
mungkin diperlukan; atau dapat diganti dengan external fixator.
Retrograde nailing dengan multiple flexible rods dapat
menghindari masalah tersebut, tapi penggunaannya lebih sulit, secara luas
kurang aplikatif dan kurang aman dalam mengontrol rotasi dari sisi yang
fraktur.
External fixation mungkin merupakan pilihan terbaik pada fraktur
terbuka dan fraktur segmental energy tinggi. External fixation ini juga
prosedur penyelamatan yang paling berguna setelah intermedullary nailing
gagal. Indikasi umumnya pada fraktur humerus dengan non-union infeksi,
defek atau kehilangan tulang, dengan luka bakar, serta pada luka terbuka
dengan cedera jaringan lunak yang luas.

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien
sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan
proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:

B. Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register,
tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien,
bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari. (Ignatavicius, Donna D, 1995)
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini
bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu,
dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-
penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan
fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit
diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut
maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis
yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup
klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan
apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu
proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi
dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces
pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi Anna, 1991)
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 1999).
(5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan
klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang
lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan
klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan
body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga pada
kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat
fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri
yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk
jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping
yang ditempuh klien bisa tidak efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995).
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan
baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak klien (Ignatavicius, Donna D, 1995).

C.Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu
untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung
pada keadaan klien.
(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a) Sistem Integumen : Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b) Kepala : Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(c) Leher : Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
(d) Muka : Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(e) Mata : Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak
terjadi perdarahan)
(f) Telinga : Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi
atau nyeri tekan.
(g) Hidung : Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h) Mulut dan Faring : Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
(i) Thoraks : Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(j) Paru
(1) Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi :Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4) Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
(k) Jantung
(1) Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l) Abdomen
(1) Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi : Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3) Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4) Auskultasi : Peristaltik usus normal  20 kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai
status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).
(b) Cape au lait spot (birth mark).
(c) Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
(abnormal).
(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari
posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang
memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama
disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal,tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di
permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya,
nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3) Move (pergeraka terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan
ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan
lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan
sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah
pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik.
Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
3) Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi
keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP
atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan
(khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya
superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi
kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.
Hal yang harus dibaca pada x-ray:
(1) Bayangan jaringan lunak.
(2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau
juga rotasi.
(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang
kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh
darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda
paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
(2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
(3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma
yang berlebihan.
(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)

D.Diagnosa Keperawatan
1 Nyeri akut b.d pergeseran fragmen tulang SDKI (D.0077 : Hal 172)
2 Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan dan
ketahanan, SDKI (D.0054: Hal 124)
3 Resiko Infeksi berhubungan dengan Kerusakan integritas kulit, SDKI (D.0142 :
Hal 304)
4 Defisit pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d
kurang terpajan terhadap informasi, kurang akurat/lengkapnya informasi yang
ada. SDKI (D.0111: Hal 246)

E.Intervensi Keperawatan

Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria Intervensi Rasional


hasil)
1. Nyeri akut 1) Menyatakan 1) Tutup luka - Suhu berubah dan
berhubungan dengan nyeri berkurang sesegera mungkin, tekanan udara
pergeseran fragmen atau terkontrol kecuali perawatan luka dapat
tulang SDKI (D.0077 : 2) Menunjukkan bakar metode menyebabkan
Hal 172) ekspresi wajah atau pemejanan pada udara nyeri hebat pada
postur tubuh rileks terbuka pemajanan ujung
3) Berpartisipasi 2) Ubah pasien saraf.
dalam aktivitas dari yang sering dan - Gerakan dan
tidur atau istirahat rentang gerak aktif latihan
dengan tepat dan pasif sesuai menurunkan
indikasi kekuatan sendi dan
3) Pertahankan kekuatan otot
suhu lingkungan tetapi tipe latihan
nyaman, berikan tergantung
lampu penghangat dan indikasi dan luas
penutup tubuh cedera
4) Kaji keluhan - Pengaturan suhu
nyeri pertahankan dapat hilang
lokasi, karakteristik karena luka bakar
dan intensitas (skala 0- mayor, sumber
10) panas eksternal
5) Dorong ekspresi perlu untuk
perasaan tentang nyeri mencegNyeri
6) Dorong hampir selalu ada
penggunaan tehnik pada derajat
manajemen stress, beratnya,
contoh relaksasi, nafas keterlibatan
dalam, bimbingan jaringan atau
imajinatif dan kerusakan tetapi
visualisasi. biasanya paling
7) Kolaborasi berat selama
pemberian analgetik penggantian
balutan dan
debridement.ah
menggigil.
- Pernyataan
memungkinkan
pengungkapan
emosi dan dapat
meningkatkan
mekanisme
koping.
- Memfokuskan
kembali perhatian,
memperhatikan
relaksasi dan
meningkatkan rasa
control yang dapat
menurunkan
ketergantungan
farmakologi.
- Dapat
menghilangkan
nyeri
2.Resiko Infeksi Tidak ada tanda- 1) Implementasika - Tergantung tipe
berhubungan dengan tanda infeksi : n tehnik isolasi yang atau luasnya luka
Kerusakan integritas 1) Menunjukkan tepat sesuai indikasi untuk menurunkan
kulit, SDKI (D.0142 : regenerasi jaringan 2) Tekankan resiko kontaminasi
Hal 304) 2) Mencapai pentingnya tehnik cuci silang atau
penyembuhan tepat tangan yang baik terpajan pada flora
waktu pada area untuk semua individu bakteri multiple.
luka bakar yang datang kontak ke - Mencegah
pasien kontaminasi silang
3) Cukur rambut - Rambut media
disekitar area yang baik untuk
terbakar meliputi 1 pertumbuhan
inci dari batas yang bakteri
terbakar - Infeksi
4) Periksa area oportunistik (misal
yang tidak terbakar : Jamur) seringkali
(lipatan paha, lipatan terjadi sehubungan
leher, dengan depresi
membran mukosa ) sistem imun atau
5) Bersihkan proliferasi flora
jaringan nekrotik yang normal tubuh
lepas (termasuk selama terapi
pecahnya lepuh) antibiotik
dengan gunting dan sistematik.
forcep. - Meningkatkan
6) Kolaborasi penyembuhan
pemberian antibiotik - Mencegah
terjadinya infeksi
3. Gangguan mobilitas Menyatakan dan 1) Pertahankan - Meningkatkan
fisik berhubungan menunjukkan posisi tubuh tepat posisi fungsional
dengan penurunan fungsi keinginan dengan dukungan atau pada ekstermitas
tulang, SDKI (D.0054: berpartisipasi dalam khususnya untuk luka dan mencegah
Hal 124) aktivitas, bakar diatas sendi. kontraktor yang
mempertahankan 2) Lakukan latihan lebih mungkin
posisi, fungsi rentang gerak secara diatas sendi.
dibuktikan oleh konsisten, diawali - Mencegah secara
tidak adanya pasif kemudian aktif progresif,
kontraktor, 3) Instruksikan dan mengencangkan
mempertahankan Bantu dalam jaringan parut dan
atau meningkatkan mobilitas, contoh kontraktor,
kekuatan dan fungsi tingkat walker secara meningkatkan
yang sakit dan atau tepat. pemeliharaan
menunjukkan tehnik fungsi otot atau
atau perilaku yang sendi dan
memampukan menurunkan
aktivitas. kehilangan
kalsium dan
tulang.
- Meningkatkan
keamanan
ambulasi
4. Defisit 1. Perilaku sesuai 1. Kaji ulang - Memberikan dasar
pengetahuan anjuran pengetahuan klien pengetahuan,
tentang kondisi, meningkat (5) 2. Kaji kesiapan dimana klien dapat
prognosis dan 2. Persepsi yang klien mengikuti membuat pilihan
kebutuhan keliru terhadap program untuk intervensi
pengobatan b/d masalah pembelajaran. selanjutnya
kurang terpajan meningkat (1) 3. Diskusikan - Efektivitas proses
terhadap 3. Perilaku sesuai metode mobilitas pemeblajaran
informasi, kurang dengan dan ambulasi dipengaruhi oleh
akurat/lengkapny pengetahuan sesuai program kesiapan fisik dan
a informasi yang meningkat (5) terapi fisik. mental klien untuk
ada. SDKI 4. Ajarkan mengikuti
(D.0111: Hal 246) tanda/gejala klinis program
yang memerlukan pembelajaran.
evaluasi medik - Meningkatkan
(nyeri berat, partisipasi dan
demam, kemandirian klien
perubahan sensasi dalam perencanaan
kulit distal dan pelaksanaan
cedera). program terapi
5. Ajarkan klien fisik.
tentang persiapan - Meningkatkan
pasca operasi kewaspadaan klien
(nafas dalam, untuk mengenali
ambulasi dini). tanda/gejala dini
yang memerlukan
intervensi lebih
lanjut.
- Pada pasca operasi
resiko terjadi
seperti pneumonia
hipostatik, nyeri.
meningkatkan
pemahaman
sehingga resiko
komplikasi pasca
dapat berkurang
- Upaya
pembedahan
mungkin
diperlukan untuk
mengatasi masalah
sesuai kondisi
klien.

E.Implementasi Keperawatan
Implementasi atau tindakan adalah pengelolaan dan perwujudan dan rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Pada tahap ini, perawat
sebaiknya tidak bekerja sendiri, tetapi perlu melibatkan secara integrasi semua
profesi kesehatan yang menjadi tim perawatan (Setiadi, 2010).

F.Evaluasi Keperawatan
Tahap terakhir dari proses keperawatan adalah evaluasi. Tahap penilaian atau
evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan
keluarga dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara
berkesinambungan dengan melibatkan pasien dengan tenaga kesehatan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Mubarak, Wahit Iqbal & Cahyani, Nurul. 2007. Kebutuhan Dasar. Jakarta : EGC.
Perry, Potter Peterson. 2015. Keterampilan Dasar dan Prosedur Dasar. Jakarta :
EGC.
Perry, Potter. 2016. Konsep Proses dan Praktik, Fundamental Keperawatan, vol
2, edisi 4. Jakarta : EGC.
Smeltzer & Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Suddarth & Brunner. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta:
EGC.
Tabunan, Eviana. S. Dkk. 2009. Panduan Praktik Kebutuhan Dasar Manusia I.
Jakarta : Salemba Medika
Tamsuri, A. (2006). Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai