Divergensi Besar
Divergensi Besar (Great Divergence) atau Keajaiban Eropa adalah pergeseran sosial ekonomi di dunia Barat (yaitu Eropa Barat dan sebagian Dunia Baru di mana penduduknya menjadi populasi dominan) mampu mengatasi kendala pertumbuhan dan selama abad ke-19 muncul sebagai peradaban dunia yang paling kuat dan paling kaya, melampaui Kesultanan Utsmaniyah, Mughal India, Qing Tiongkok, Tokugawa Jepang, dan Joseon Korea.
Para sarjana telah mengusulkan berbagai macam teori untuk menjelaskan mengapa Divergensi Besar terjadi, termasuk geografi, budaya, institusi, kolonialisme, sumber daya, dan kebetulan murni. Titik awal yang jelas dari divergensi secara tradisional dianggap pada abad ke-16 atau bahkan ke-15, dengan revolusi komersial dan kemunculan merkantilisme dan kapitalisme selama Renaissans dan Era Penjelajahan, kebangkitan Imperium kolonial Eropa, Proto-globalisasi, Revolusi Ilmiah, atau Zaman Pencerahan. Namun lompatan terbesar dalam divergensi terjadi pada akhir abad ke-18 dan ke-19 dengan Revolusi Industri dan Revolusi Teknologi.
Definisi
[sunting | sunting sumber]Istilah "Great Divergence" diciptakan oleh Samuel P. Huntington pada tahun 1996 dan digunakan oleh Kenneth Pomeranz dalam bukunya The Great Divergence: China, Europe, and the Making of the Modern World Economy (2000). Fenomena yang sama didiskusikan oleh Eric Jones, dalam bukunya tahun 1981 The European Miracle: Environments, Economies and Geopolitics in the History of Europe and Asia (diterjemahkan: Keajaiban Eropa: Lingkungan, Ekonomi dan Geopolitik dalam Sejarah Eropa dan Asia) mempopulerkan istilah alternatif "Keajaiban Eropa". Secara umum, kedua istilah menandakan pergeseran sosial ekonomi di mana negara-negara Eropa maju lebih dulu dari yang lain selama periode modern.[1]
Kapan dimulainya Divergensi Besar masih diperdebatkan di antara para sejarawan. Para sarjana berpendapat bahwa sebelum abad 16, sebagian Asia memiliki perkembangan ekonomi yang sebanding dengan Eropa, terutama Dinasti Qing di Delta Yangzi dan Asia Selatan di Bengal Subah. Beberapa tokoh berpendapat bahwa faktor budaya di balik divergensi dapat ditelusuri ke periode sebelumnya ataupun kondisi tertentu seperti Renaisans dan sistem ujian kenegaraan Tiongkok. Kenneth Pomeranz awalnya mengklaim bahwa Great Divergence baru dimulai pada abad ke-19. Kemudian dia meninjau kembali posisinya dan sekarang melihat tanggal antara 1700 dan 1750.[2]
Kondisi dunia sebelum Divergensi Besar
[sunting | sunting sumber]Eropa Barat
[sunting | sunting sumber]Memasuki abad ke-10, setelah sebelumnya mengalami invasi oleh Viking, Muslim, dan Magyar berkurang. Eropa memasuki periode kemakmuran, pertumbuhan populasi, dan perluasan wilayah yang dikenal sebagai Puncak Abad Pertengaha. Perdagangan dan perniagaan bangkit kembali, dengan peningkatan spesialisasi antar wilayah. Pada abad ke-13 tanah terbaik telah ditempati dan pendapatan pertanian mulai turun, meskipun perdagangan terus berkembang, terutama di Venesia dan kota-kota Italia utara lainnya. Abad ke-14 terjadi serangkaian bencana : kelaparan, perang, Wabah Hitam dan epidemi lainnya. Menyebabkan penurunan populasi yang berakibat jatuhnya harga sewa dan kenaikan upah, merusak hubungan feodal dan bangsawan yang menjadi ciri khas Eropa Abad Pertengahan.[3]
Ketika memasuki Era Penjelajahan, navigator menemukan rute baru ke Amerika dan Asia. Meperluas perdagangan, bersama dengan inovasi seperti perusahaan saham gabungan dan berbagai lembaga keuangan. Inovasi teknologi militer menjadi lebih besar, yang mengarah ke konsentrasi kekuasaan di negara-negara yang keuangannya bergantung pada perdagangan. Republik Belanda dikuasai oleh para pedagang, sementara Parlemen Inggris menguasai Kerajaan setelah perjuangan panjang yang berpuncak pada Revolusi Agung.
Menurut tinjauan bukti yang ada pada tahun 2021 oleh Jack Goldstone, Divergensi Besar baru muncul setelah tahun 1750 (atau bahkan 1800) di Eropa barat laut. Sebelumnya, tingkat pertumbuhan ekonomi di Eropa barat laut tidak berkelanjutan atau pelik, dan kemudian pendapatan per kapita serupa dengan "tingkat puncak yang dicapai ratusan tahun sebelumnya di wilayah paling maju di Italia dan Tiongkok".
Eropa Barat memiliki serangkaian keunggulan unik dibandingkan Asia, seperti kedekatannya dengan tambang batu bara; penemuan Dunia Baru, yang meringankan hambatan ekologis terhadap pertumbuhan ekonomi (kekurangan lahan, dll.); dan keuntungan dari kolonisasi.[2]
Tiongkok
[sunting | sunting sumber]Tiongkok memiliki populasi yang lebih besar daripada Eropa selama dua milenium terakhir. Tidak seperti Eropa, secara politik bersatu untuk beberapa waktu yang lama.[4]
Selama Dinasti Song (960–1279), kekaisaran mengalami revolusi di bidang pertanian, transportasi air, keuangan, urbanisasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, yang menjadikan ekonomi Tiongkok paling maju di dunia sejak sekitar tahun 1100.[5]
Pada akhir periode kekaisaran (1368–1911), yang terdiri dari dinasti Ming dan Qing, perpajakan rendah, dan ekonomi serta populasi tumbuh secara signifikan, meskipun tanpa peningkatan produktivitas yang substansial. Barang-barang Tiongkok seperti sutra, teh, dan keramik sangat diminati di Eropa, menyebabkan masuknya perak, memperluas jumlah uang beredar, dan memfasilitasi pertumbuhan pasar yang kompetitif dan stabil. Pada akhir abad ke-18, tingkat kepadatan populasi melebihi Eropa. Tiongkok memiliki lebih banyak kota besar tetapi lebih sedikit daripada di Eropa kontemporer.[2]
India
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 1500-an, di India, khususnya Kesultanan Benggala adalah negara yang menjadi perdagangan utama dunia, mendapat manfaat dari perdagangan eksternal dan internal yang luas. Pertaniannya sangat efisien serta industrinya. Tidak seperti Tiongkok, Jepang, dan Eropa, India tidak mengalami penggundulan hutan yang luas hingga abad ke-19 dan ke-20. Sehingga penggunaan batubara masih dibilang minimal. Dari abad ke-17, tekstil katun dari Mughal India menjadi populer di Eropa, dengan beberapa pemerintah melarang mereka untuk melindungi industri wol mereka. Subah Bengal, wilayah yang paling maju di Mughal, menonjol secara global dalam industri seperti manufaktur tekstil dan pembuatan kapal.[6]
Di Eropa saat itu, ada permintaan yang signifikan untuk produk dari Mughal India, khususnya tekstil katun, serta barang-barang seperti rempah-rempah, paprika, nila, sutra, dan sendawa (yang digunakan dalam amunisi). Mode Eropa, menjadi semakin tergantung pada tekstil dan sutra India. Pada abad ke-17 dan ke-18, India menyumbang 95% impor Inggris dari Asia, dan Bengal Subah saja menyumbang 40% impor Belanda dari Asia. Sebaliknya, hanya ada sedikit permintaan untuk barang-barang Eropa ke India, kecuali beberapa tekstil wol, logam mentah, dan beberapa barang mewah. Ketidakseimbangan perdagangan menyebabkan orang Eropa mengekspor emas dan perak dalam jumlah besar ke India untuk membayar impor India.[7]
Jepang
[sunting | sunting sumber]Keshogunan Tokugawa membagi masyarakat Jepang ke dalam hirarki yang sangat ketat dan mengintervensi perekonomian melalui monopoli negara dan pembatasan perdagangan luar negeri; namun, dalam praktiknya, aturan Keshogunan sering diabaikan. Dari 725 hingga 1974, Jepang mengalami pertumbuhan PDB per kapita pada tingkat tahunan sebesar 0,04%, dengan periode utama pertumbuhan PDB per kapita yang positif terjadi selama 1150–1280, 1450–1600, dan setelah 1730. Tidak ada periode signifikan dari pembalikan pertumbuhan yang berkelanjutan. [68] Sehubungan dengan Britania Raya, PDB per kapita kira-kira berada pada tingkat yang sama sampai pertengahan abad ke-17. Pada tahun 1850, pendapatan per kapita di Jepang kira-kira seperempat dari PDB Inggris. Namun, Jepang abad ke-18 memiliki harapan hidup yang lebih tinggi, 41,1 tahun untuk pria dewasa, dibandingkan dengan Eropa: 31,6 hingga 34 tahun untuk Inggris, antara 27,5 dan 30 tahun untuk Prancis, dan 24,7 tahun untuk Prusia.[2]
Timur Tengah
[sunting | sunting sumber]Timur Tengah lebih maju daripada Eropa Barat pada tahun 1000, setara dengan pertengahan abad ke-16, tetapi pada tahun 1750, negara-negara besar di Timur Tengah telah tertinggal di belakang negara-negara besar Eropa Barat seperti Inggris dan Belanda.
Wilayah Timur Tengah yang memiliki ekonomi maju pada awal abad ke-19 adalah Mesir Utsmaniyah, yang memiliki sektor manufaktur industri yang sangat produktif, dan pendapatan per kapita yang sebanding dengan negara-negara Eropa Barat seperti Prancis atau lebih tinggi dari Jepang dan Eropa Timur saat ini. Bagian lain dari Kesultanan Utsmaniyah, khususnya Suriah dan Anatolia tenggara, juga memiliki sektor manufaktur yang sangat produktif yang berkembang pada abad ke-19. Pada tahun 1819, Mesir di bawah Muhammad Alimemulai program industrialisasi yang disponsori negara, yang meliputi pendirian pabrik untuk produksi senjata, pengecoran besi, penanaman kapas skala besar, pabrik pemintalan dan penenunan kapas, dan perusahaan untuk pemrosesan pertanian. Pada awal 1830-an, Mesir memiliki 30 pabrik kapas, mempekerjakan sekitar 30.000 pekerja.[8]
Pada awal abad ke-19, Mesir memiliki industri kapas paling produktif kelima di dunia, dalam hal jumlah kumparan per kapita. Industri ini awalnya digerakkan oleh mesin yang mengandalkan sumber energi tradisional, seperti tenaga hewan, kincir air, dan kincir angin, yang juga merupakan sumber energi utama di Eropa Barat hingga sekitar tahun 1870. Sementara tenaga uap telah diujicoba di Mesir oleh insinyur Taqi ad-Din Muhammad ibn Ma'ruf pada tahun 1551, ketika ia menemukan dongkrak uap yang digerakkan oleh turbin uap yang belum sempurna, di bawah Muhammad Ali dari Mesir pada awal abad ke-19 mesin uap diperkenalkan untuk manufaktur industri Mesir. Boiler diproduksi dan dipasang di industri Mesir seperti pabrik besi, manufaktur tekstil, pabrik kertas, dan pabrik penggilingan. Dibandingkan dengan Eropa Barat, Mesir juga memiliki pertanian unggul dan jaringan transportasi yang efisien melalui Sungai Nil. Sejarawan ekonomi Jean Batou berpendapat bahwa kondisi ekonomi yang diperlukan untuk industrialisasi yang cepat ada di Mesir selama tahun 1820-1830-an. Setelah kematian Muhammad Ali pada tahun 1849, program industrialisasinya menurun.[8]
Afrika sub-Sahara
[sunting | sunting sumber]Afrika sub-Sahara pra-kolonial secara politis terfragmentasi, sama seperti Eropa modern awal. Afrika adalah rumah bagi banyak kerajaan kaya yang tumbuh di sekitar wilayah pesisir atau sungai besar yang berfungsi sebagai bagian dari jalur perdagangan penting. Namun Afrika jauh lebih jarang penduduknya daripada Eropa. Menurut ilmuwan politik Universitas Michigan Mark Dincecco, "rasio lahan/tenaga kerja yang tinggi mungkin telah mengurangi kemungkinan terjadinya sentralisasi institusional bersejarah di "tingkat nasional" di Afrika sub-Sahara, menggagalkan pembangunan negara lebih lanjut." Perdagangan budak trans-atlantik mungkin semakin melemahkan kekuatan negara di Afrika.
Serangkaian negara berkembang di Sahel tepi selatan Sahara yang menghasilkan keuntungan besar dari perdagangan melintasi Sahara, berdagang emas dan budak untuk perdagangan budak Trans-Sahara. Kerajaan-kerajaan di kawasan hutan lebat di Afrika Barat juga merupakan bagian dari jaringan perdagangan. Pertumbuhan perdagangan di daerah ini didorong oleh peradaban Yoruba yang didukung oleh kota-kota yang dikelilingi oleh tanah pertanian dan menjadi kaya dengan perkembangan perdagangan yang luas.[9]
Afrika Timur
[sunting | sunting sumber]Pada milenium pertama Masehi, Kekaisaran Aksum di Afrika Timur memiliki angkatan laut yang kuat dan jalur perdagangan yang menjangkau sejauh Kekaisaran Romawi Timur dan India. Antara abad ke-14 dan ke-17, Kesultanan Ajuran di Somalia modern mempraktikkan teknik hidrolik dan mengembangkan sistem baru untuk pertanian dan perpajakan, yang terus digunakan di beberapa bagian Tanduk Afrika hingga abad ke-19.
Di pantai timur Afrika, kerajaan Swahili memiliki kerajaan perdagangan yang makmur. Kota-kota Swahili adalah pelabuhan perdagangan penting di sepanjang Samudra Hindia, terlibat dalam perdagangan dengan Timur Tengah dan Timur Jauh. Kerajaan-kerajaan di Afrika tenggara juga mengembangkan hubungan perdagangan yang luas dengan peradaban lain sejauh Tiongkok dan India. Instansi untuk perdagangan jarak jauh melintasi batas-batas politik dan budaya telah lama diperkuat dengan adopsi Islam sebagai landasan budaya dan moral untuk kepercayaan antara dan dengan pedagang.[10]
Dugaan Penyebab Divergensi Besar
[sunting | sunting sumber]Batu bara
[sunting | sunting sumber]Dalam metalurgi dan mesin uap, Revolusi Industri menggunakan batu bara dan kokas secara ekstensif, karena lebih murah, lebih banyak, dan lebih efisien daripada kayu dan arang. Mesin uap berbahan bakar batu bara juga beroperasi di jalur kereta api dan perkapalan, merevolusi transportasi pada awal abad ke-19. Kenneth Pomeranz memperhatikan perbedaan ketersediaan batu bara antara Barat dan Timur. Karena iklim regional, tambang batu bara Eropa lebih basah, dan tambang dalam tidak praktis sampai diperkenalkannya mesin uap Newcomen untuk memompa air tanah. Di tambang di barat laut Tiongkok yang gersang, ventilasi untuk mencegah ledakan jauh lebih sulit.[2]
Dunia baru
[sunting | sunting sumber]Hubungan unik Eropa dengan Dunia Baru diduga sebagai penyebab utama Divergensi Besar. Keuntungan tinggi yang diperoleh dari kolonisasi dan perdagangan budak mencapai 7 persen per tahun. Kolonialisme Eropa awal ditopang oleh keuntungan melalui penjualan barang-barang dari Dunia Baru ke Asia, terutama perak ke Tiongkok. Menurut Pomeranz, keuntungan paling penting bagi Eropa adalah banyaknya tanah subur dan belum digarap di Amerika yang dapat digunakan untuk menanam produk pertanian dalam jumlah besar yang diperlukan, untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi Eropa dan memungkinkan menyerap tenaga kerja dan pembebasan lahan di Eropa untuk industrialisasi.[2]
Fragmentasi politik
[sunting | sunting sumber]Sejarawan ekonomi Joel Mokyr berpendapat bahwa fragmentasi politik (munculnya sejumlah besar negara Eropa) memungkinkan berkembangnya ide-ide heterodoks, karena pengusaha, inovator, ideolog, dan penemu dapat dengan mudah melarikan diri ke negara tetangga jika negara asalnya mencoba untuk menekan ide-ide dan kegiatan mereka. Inilah yang membedakan Eropa dari kerajaan kesatuan besar yang maju secara teknologi seperti Tiongkok. Tiongkok memiliki mesin cetak dan tipe bergerak, namun revolusi industri justru terjadi di Eropa. Di Eropa, fragmentasi politik digabungkan dengan "pasar ide yang terintegrasi" di mana para intelektual Eropa menggunakan lingua franca bahasa Latin, memiliki basis intelektual bersama dalam warisan klasik Eropa dan institusi pan-Eropa.[2]
Lihat juga
[sunting | sunting sumber]Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ Frank, Andre Gunder (2001-02). "The Great Divergence: Europe, China, and the Making of the Modern World Economy. By Kenneth Pomeranz. Princeton: Princeton University Press, 2000. 382 pp. $39.95 (cloth)". The Journal of Asian Studies. 60 (1): 180–182. doi:10.2307/2659525. ISSN 0021-9118.
- ^ a b c d e f g Pomeranz, Kenneth (2000). The great divergence : China, Europe, and the making of the modern world economy. Princeton, N.J.: Princeton University Press. ISBN 0-691-00543-5. OCLC 41835186.
- ^ North, Douglass C. (1973). The rise of the Western world : a new economic history. Robert Paul Thomas. Cambridge [England]: University Press. ISBN 0-521-20171-3. OCLC 730879.
- ^ Heritage of China : contemporary perspectives on Chinese civilization. Paul S. Ropp, T. H. Barrett. Berkeley: University of California Press. 1990. ISBN 978-0-520-90893-2. OCLC 44957082.
- ^ Broadberry, Stephen; Guan, Hanhui; Li, David Daokui (2018-09-19). "China, Europe, and the Great Divergence: A Study in Historical National Accounting, 980–1850". The Journal of Economic History. 78 (4): 955–1000. doi:10.1017/s0022050718000529. ISSN 0022-0507.
- ^ Jan, de Zwart, Pim Lucassen, (2020). Poverty or prosperity in northern India? New evidence on real wages, 1590s–1870s. OCLC 1200316650.
- ^ An atlas and survey of South Asian history, 2015, ISBN 978-1-317-47680-1, OCLC 910069630, diakses tanggal 2023-01-07
- ^ a b Lockman, Zachary (1980). "Notes on Egyptian Workers' History". International Labor and Working-Class History. 18: 1–12. doi:10.1017/s0147547900006670. ISSN 0147-5479.
- ^ Dincecco, Mark (2017-10-26). State Capacity and Economic Development: Present and Past (edisi ke-1). Cambridge University Press. doi:10.1017/9781108539913. ISBN 978-1-108-53991-3.
- ^ Pouwels, Randall Lee (2005). African and Middle Eastern world, 600-1500. New York: Oxford University Press. ISBN 0-19-517673-1. OCLC 56517485.