John Hick
John Harwood Hick (lahir di Yorkshire, Inggris tahun 1922) adalah seorang Teolog yang mendapatkan pendidikan teologi di Edinburg dan Oxford.[1] John Hick adalah tokoh yang terkenal dengan pluralime, dialog antar agama-agama.[2]
Riwayat Hidup
[sunting | sunting sumber]John Hick adalah seorang pemikir dalam bidang filsafat agama-agama.[1][3] Ia pernah sekolah di Claremont School of Graduate Studies di California.[1][3] John Hick adalah seorang pendeta di United Reform Church (gereja reformis).[1][3] Ia seorang penulis yang produktif dan buku yang dituliskannya meliputi Evil and the God of Love (1979), The Second Christianity dan The Metaphor of God Incarnate.[3] Ia adalah filsuf yang paling signifikan mengenai agama-agamanya di zamannya, ia mengingat pembelaannya mengenai verifikasi eskatologi.[1][3] Hick menjadi editor dalam buku The Myth of God Incarnate yang sensasi minor dalam gereja karena mengarahkan doktrin inkarnasi bukan kebenaran literer, klasik.[1][3] Beberapa tahun belakangan ia masuk ke dalam pertanyaan yang menjengkelkan mengenai hubungan kekristenan dengan agama-agama lain dan ia meletakkan pemikirannya dengan menganjurkan posisi pluralis-yaitu keselamatan mungkin bukan sesuatu yang eksklusif yang ditemukan melalui kemanusiaan Yesus.[1]
Pemikiran
[sunting | sunting sumber]John Hick seorang teolog Inggris dan juga seorang filsuf.[4] Hick mempunyai pengalaman belajar dan hidup bersama dengan komunitas yang beragama lain di kota kelahirannya Birmingham.[4] Dari kehidupannya ia menyadari banyak rahmat.[4] Hick melihat ke abad-abad sebelumnya dalam hal keseganan gereja menghadapi perubahan dalam teologi agama-agama Kristen.[4] Hick menyapa Tuhan bukan dengan nama Allah melainkan dengan sebutan ‘Yang Nyata’.[4][2] Ia tidak mencari nama melainkan penunjuk:ia berusaha mencari istilah bukan untuk menjelaskan apa yang ada di pusat melainkan ada satu pusat walaupun manusia tidak tahu dengan jelas dan benar apa isinya.[4] Semua agama sama efektifnya, atau sama tidak efektifnya, dalam memandu dan mendorong para pengikutnya mengubah haluan kehidupan mereka dari ingat diri sendiri ke ingat akan Yang Lain.[4] Mengenai nama Allah, Hick ingin menunjukkan banyaknya perbedaan dan untuk saling melengkapi.[4][2] Ketika banyak agama saling memperdebatkan hal yang lebih baik, maka jawabannya akan dijawab secara eskatologis.[4][2][3] Oleh karena itu, apa yang hanya bisa diketahui pada akhir zaman tidak perlu mengganggu perjalanan.[4][5] John Hick mengatakan bahwa kebenaran yang sesungguhnya terletak di depan fenomena semua agama.[4][2][5] Yesus adalah jalan untuk kekristenan, tetapi Taurat untuk orang-orang Yahudi, dan hukum Islam berdasar pada teks dari Muhamad, Al-Quran untuk umat Muslim, dll.[2][5] Melangkah lebih jauh, semua agama mengajarkan kebenaran dan keadilan, itulah cara beriman yang paling benar untuk semua orang percaya.[5] Hick mendapatkan pengaruh dari filsuf yang ternama, Imanuel Kant yang tidak mengarahkan pikirannya mengenai hal-hal besar, seperti kekristenan, Islam atau Yahudi.[5][2] Kant lebih mengarahkan pikirannya kepada teks-teks kuno dan tradisi.[5] Dengan demikian pemahaman lama Hick mengenai Yesus adalah keselamatan satu-satu, diperbarui dan menghasilkan dialog antar agama.[6]
Kristologis
[sunting | sunting sumber]Yesus merupakan satu-satunya penghubung antara Tuhan dan manusia.[4] OLeh karena itu orang-orang Kristen tidak meninggalkan keyakinan mengenai inkarnasi dan Yesus sebagai anak Allah.[4] Dalam pernyataan ini dapat dilihat adanya unsur puitis, simbolis dan metafora.[4] Pernyataan bahwa Yesus adalah anak Allah menunjukkan sikap, perasaan, keyakinan dan perasaan.[4] Pernyataan ini lahir karena orang-orang Kristen sudah merasakan Allah berbicara kepada mereka, menyentuh mereka, memberi inspirasi kepada mereka melalui Yesus.[4]
Untuk memahami Yesus sebagai anak Allah dalam bahasa simbolis, Hick menyarankan agar menggunakan kristologi Roh untuk memahami hal ini.[4] Di dalam Kristologi Roh, Yesus dikenal sebagai ilahi bukan karena Allah secara harafiah turun dari surga dan secara harafiah juga menghamili ibu Yesus, tetapi karena Yesus memang dipenuhi Roh yang diberikan kepada semua orang dan memberi respon total terhadap roh itu.[4] Hick meringkaskan pemahamannya mengenai keunikan Yesus dalam bahasa Latin, umat Kristen dihadapan sesama umat Kristen dan agama lain harus menyaksikan bahwa Yesus adalah totus Deus - Tuhan seutuhnya.[4] Namun mereka tidak bisa beranggapan bahwa Ia adalah totum Dei - Tuhan keseluruhan.[4] Siapa Yesus itu, semua yang ia lakukan dan yang ia katakan diperoleh dari, dan dinyatakan oleh, Roh Ilahi.[4] Namun, siapa Roh Ilahi itu dan apa yang dilakukan tidak hanya terbatas pada Yesus, atau kepada inkarnasi Ilahi manusia siapa pun.[4]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d e f g (Inggris)Lavinia Cohn-Sherbok. 2002. Who's Who in Christianity. London and New York: Routledge. Hal. 129.
- ^ a b c d e f g (Inggris)Veli-Matti Karkkainen. 2003. Christology a Global Introduction. Michigan: BakerAcademic. Hal. 179-185.
- ^ a b c d e f g (Inggris)Gareth Jones. 2004. The Blackwell Companion to Modern Teology. USA: Blachwell Publishing. Hal. 260.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v (Indonesia)Paul F. Knitter. 2008. Pengantar Ke Dalam Teologi Agama-Agama. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 134-145.
- ^ a b c d e f (Inggris)John Bowden. 2005. Encyclopedia of Christianity. Oxford: University Press. Hal. 695 dan 872.
- ^ (Inggris)Nicholas Lossky. 1991. Dictionary of the Ecumenical Movement. Geneva: WCC Publications. Hal. 1030.