Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Lompat ke isi

Organisasi Kemasyarakatan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Organisasi kemasyarakatan (disingkat ormas) adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk melakukan perbaikan yang diinginkan terhadap kesehatan sosial, kesejahteraan, pendidikan dan fungsi komunitas secara keseluruhan.

Pengorganisasian komunitas terjadi dalam komunitas yang terikat secara geografis, pisikososial, adat yang membudaya dan digital. Pengorganisasian komunitas mencakup kerja komunitas, proyek komunitas, pembangunan komunitas, pemberdayaan komunitas dan mobilisasi komunitas. Ini ialah model yang umum digunakan untuk mengorganisir komunitas dalam proyek komunitas, lingkungan sekitar, organisasi, asosiasi sukarela, lokalitas, dan jaringan sosial, yang dapat berpungsi sebagai cara untuk melakukan mobilisasi berdasarkan geografi, ruang bersama, pengalaman bersama, minat, kebutuhan dan keprihatinan. Berpartisipasi demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.[1][2]

Keberadaan organisasi kemasyarakatan muncul seiring dengan timbulnya organisasi masyarakat sipil (civil society).[3] Sejarah perkembangan masayarakat sipil sebenarnya berasal dari sejarah masyarakat barat. Akar perkembangannya dapat dirunut mulai dari tokoh Cicero, seorang filsuf dan pujangga Romawi Kuno. Cicero mulai menggunakan istilah societes civilis dalam filsafat politiknya.[4]

Dalam tradisi Eropa sampai abad ke-18, pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian negara (state), yakni suatu kelompok atau kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Maka ketika Jean-Jacques Rousseau menggunakan istilah societes civille, ia memahaminya sebagai negara yang salah satu fungsinya adalah menjamin hak milik, kehidupan dan kebebasan para anggotanya.

Barulah pada paruh kedua abad ke-18, terminologi ini mengalami pergeseran makna. State dan civil society kemudian dipahami sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan dengan pembentukan sosial dan perubahan-­perubahan struktur politik di Eropa sebagai akibat pencerahan (enlightment) dan modernisasi dalam menghadapi persoalan duniawi, yang keduanya turut mendorong tergusurnya rezim-rezim absolut. Para pemikir politik yang mempelopori perbedaan ini antara lain Adam Ferguson, Johann Reinhold Forster, Tom Hodgkins, Emmanuel Sieyes dan Tom Paine.

Dalam perkembngan lebih lanjut, konsep civil society pernah dipahami secara radikal oleh para pemikir politik yang menekankan aspek kemandirian dan perbedaan posisi sedemikian rupa sehingga menjadi anti tesis dari state. Pemahaman seperti ini mengundang reaksi para pemikir seperti Georg Wilhelm Friedrich Hegel yang mengajukan tesis bahwa civil society justru memerlukan berbagai macam aturan dan pembatasan-pembatasan serta penyatuan dengan negara lewat kontrol hukum, administratif dan politik. Hegel rupanya ingin mengembalikan posisi negara sebagai entitas yang lebih berkuasa. Civil society bagi Hegel, merupakan kelas borjuis dan munculnya civil society adalah tidak lepas dari munculnya revolusi industri dan kapitalisme.

Dasar hukum Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Definisi dari Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) disebutkan dalam Pasal 1 ayat 1 UU Ormas: Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Tujuan dan Fungsi

[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Ormas sebagaimana telah diubah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dijelaskan bahwa Ormas bertujuan untuk:

  1. meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat;
  2. memberikan pelayanan kepada masyarakat;
  3. menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
  4. melestarikan dan memelihara norma, nilai, moral, etika, dan budaya yang hidup dalam masyarakat;
  5. melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup;
  6. mengembangkan kesetiakawanan sosial, gotong royong, dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat;
  7. menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa; dan/atau
  8. mewujudkan tujuan negara.

Berdasarkan pada Pasal 6 Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dijelaskan bahwa Ormas bertujuan untuk:

  1. penyalur kegiatan sesuai dengan kepentingan anggota dan/atau tujuan organisasi;
  2. pembinaan dan pengembangan anggota untuk mewujudkan tujuan organisasi;
  3. penyalur aspirasi masyarakat;
  4. pemberdayaan masyarakat;
  5. pemenuhan pelayanan sosial;
  6. partisipasi masyarakat untuk memelihara, menjaga, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa; dan/atau
  7. pemelihara dan pelestari norma, nilai, dan etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Organisasi Kemasyarakatan di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) di Indonesia terbagi menjadi beberapa jenis yaitu:

  • Organisasi massa tidak berbadan hukum dengan SKT Kemendagri membidangi:
  1. Organisasi Kemasyarakatan Agama;
  2. Organisasi Kemasyarakatan Adat dan Budaya yang berbasis buti yaitu Gerakan objektif, Perencanaan khusus, Partisipasi masyarakat yang aktif, Pendekatan antar kelompok, Berpungsinya demokrasi, Organosasi yang pleksibel, Pemanfaatan sumberdaya yang tersedia, Orientasi Integritas;
  3. Organisasi Kemasyarakatan Nasional;
  • Organisasi Masyarakat Berbadan hukum SK Menkumham membidangi:
  1. Demokrasi dan kesejahteraan sosial;
  2. Akas komunitas untuk program komunitas;
  3. Pemahaman, dikungan, dan partisipasi warga negara serta pelayanan profesional;
  4. Kerja sama;
  5. Program Kesejahteraan sosial;
  6. Kecukupan, distribusi, dan penyelenggaraan layanan kesejahteraan sosial;
  7. Pencegahan korupsi;

Perkembangan

[sunting | sunting sumber]

Akar sejarah civil society di Indonesia, bisa dirunut semenjak terjadinya perubahan sosial ekonomi pada masa kolonial, terutama ketika kapitalisme merkantilis mulai diperkenalkan oleh Belanda. Ia telah ikut mendorong terjadinya pembentukan sosial lewat proses industrialisasi, urbanisasi dan pendidikan modern. Hasilnya, antara lain adalah munculnya kesadaran baru di kalangan kaum elit pribumi yang kemudian mendorong terbentuknya organisasi-organisasi sosial modern di awal abad ke­20. Gejala ini menandai mulai bersemainya civil society di Indonesia.

Pasca kemerdekaan (tahun 1950-an), pertumbuhan civil society di Indonesia mengalami kemajuan. Pada saat itu, organisasi-organisasi sosial dan politik dibiarkan tumbuh bebas dan memperoleh dukungan kuat dari warga masyarakat yang baru saja merdeka. Selain itu, Indonesia yang baru lahir belum memiliki kecenderungan intervensionis, sebab kelompok elit penguasa berusaha keras untuk mempraktikkan sistem demokrasi parlementer.

Sayangnya, civil society yang mulai berkembang itu segera mengalami penyurutan terus menerus. Bahkan akibat dari krisis-krisis politik pada level negara ditambah dengan kebangkrutan ekonomi dalam skala massif, distorsi­distorsi dalam masyarakatpun meruyak. Hal ini pada gilirannya menghalangi kelanjutan perkembangan civil society.

Kondisi civil society demikian mencapai titik yang paling parah di bawah rezim Sukarno. Yang ditopang oleh upaya penguatan negara, dilakukan dengan dukungan elit kekuasaan yang baru. Di bawah rezim demokrasi terpimpin, politik Indonesia didominasi oleh penggunaan mobilisasi massa sebagai alat legitimasi politik. Akibatnya, setiap usaha yang dilakukan oleh anggota masyarakat untuk mencapai kemandirian berisiko dicurigai sebagai kontra revolusi. Demikian pula, menguatnya kecenderungan ideologisasi politik telah mempertajam polarisasi politik sehingga merapuhkan kohesi sosial.

Orde Baru yang menggantikan rezim Sukarno membawa dampak tersendiri bagi perkembangan civil society di Indonesia. Pada dataran sosial­ekonomi, akselerasi pembangunan lewat industrialisasi telah berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ia juga telah mendorong terjadinya perubahan struktur sosial masyarakat Indonesia yang ditandai dengan tergesernya pola-pola kehidupan masyarakat agraris.

Pada wilayah politik, Orba melanjutkan upaya sebelumnya untuk memperkuat posisi negara di segala bidang. Ini berakibat pada merosotnya kemandirian dan partisipasi politik masyarakat. Penetrasi negara yang kuat dan jauh, terutama lewat jaringan birokrasi dan aparat keamanan, telah mengakibatkan semakin menyempitnya ruang-ruang bebas yang dulu pernah ada.

Paradoks yang lain adalah soal fungsi pers. Perkembangan civil society di Barat, seperti dikatakan Habermas, amat ditentukan oelh perkembangan ruang publik bebas. Praktik pembredelan pers sering dilakukan oleh negara.[5]

Asas dan Sifat

[sunting | sunting sumber]
  • Asas:

Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 4, disamping Ormas juga dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan kehendak dan cita-citanya[6]

  • Sifat:

Sementara itu untuk sifat kegiatan, Ormas tentunya harus dibedakan dengan organisasi lainnya yang tujuannya memang memperoleh keuntungan, seperti CV, PT, dan sebagainya. Dalam melaksanakan kegiatannya Ormas bersifat Kerja sama, sukarela, sosial, mandiri, nirlaba, dan demokratis.[7] Harus mewujudkan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
  2. ^ Centre, ICP Documentation. "UU RI No 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan". humanrightspapua.org (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-04-10. Diakses tanggal 2018-04-09. 
  3. ^ "Civil Society". www.un.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-04-09. 
  4. ^ DeLue, Steven M.; Dale, Timothy M. (2016-07-01). Political Thinking, Political Theory, and Civil Society (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 9781317243656. 
  5. ^ Sufyanto, Masyarakat Tamaddun; Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholis Madjid,Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001). M. Dawam Raharjo, “Sejarah Agama dan Masyarakat Madani”, dalam Prof. Dr. T. Jacob (pengantar), Membongkar Mitos Masyarakat Madani, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000).
  6. ^ Lihat Pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
  7. ^ Lihat Pasal 4 Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan

Lihat juga

[sunting | sunting sumber]
  • Putra, Eka Widya., 2006. "Peningkatan Kapasitas Organisasi Masyarakat Sipil dalam Penerapan Transparansi Dan Akuntabilitas Studi Kasus: Konsorsium Pengembangan Masyarakat Madani (KPMM)" unpad.ac.id pdf
  • Kemendagri. 2010. "Data Ormas/LSM terdaftar Tahun 2010" Kemendagri.go.id Diarsipkan 2018-04-04 di Wayback Machine. pdf