Suku Alor
Daerah dengan populasi signifikan | |
---|---|
Indonesia (Kabupaten Alor) | |
Bahasa | |
Alor, Melayu Alor, Indonesia | |
Agama | |
Islam dan Kekristenan | |
Kelompok etnik terkait | |
Abui • Blagar • Nedebang |
Suku Alor adalah kelompok etnis yang mendiami pesisir barat Alor, Pantar bagian utara, dan Pura di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur.[1] Wilayah domisili suku Alor terdiri atas 5 kecamatan, yakni kecamatan Alor Timur, Alor Barat Laut, Alor Barat Daya, Alor Selatan, dan Pantar. Wilayah yang dihuni merupakan daerah yang berbukit dan bergunung-gunung dengan berbagai tingkat kemiringan.[2]
Bahasa
[sunting | sunting sumber]Bahasa yang digunakan oleh suku Alor terutama bahasa Alor.[3] Sedangkan bahasa Indonesia dan Melayu Alor merupakan bahasa perantara diantara masyarakat suku Alor dan kelompok etnis lainnya.[4]
Sistem kekerabatan
[sunting | sunting sumber]Seperti kelompok etnis lainnya di Indonesia, masyarakat suku Alor juga memiliki sistem kekerabatan yang telah terbentuk sejak zaman dahulu. Berikut ini beberapa kelompok berdasarkan kekerabatan dalam suku Alor.
- Hieta, keanggotaannya dihitung melalui prinsip patrilineal.
- Fengfala, semua keturunan dari saudara ayah dan ibu yang lebih tua.
- Nengfala, sepupu silang dari pihak ibu.
Kepercayaan
[sunting | sunting sumber]Masyarakat suku Alor saat ini umumnya menganut dua agama Abrahamik, yakni Islam dan Kekristenan. Akan tetapi, tidak sedikit dari masyarakat suku Alor yang menganut kepercayaan asli. Berikut ini beberapa unsur alam dalam kepercayaan asli suku Alor.[5]
- Larra atau lera, sebutan untuk 'matahari'
- Wulang, sebutan untuk 'bulan'
- Neda, sebutan untuk 'sungai'
- Addi, sebutan untuk 'hutan'
- Hari, sebutan untuk 'laut'
- Nayaning lahatal, sebutan untuk 'Tuhan'
Budaya
[sunting | sunting sumber]Tari tradisional
[sunting | sunting sumber]Salah satu tari tradisional suku Alor yang terkenal adalah tari lego-lego, disebut juga sohhe atau darriz.[6] Tarian ini dilakukan secara massal di mana satu dengan lainnya saling bergandengan tangan dan membentuk lingkaran, serta mengelilingi tiga batu bersusun yang disebut mesbah dengan mengumandangkan lagu dalam bahasa Alor. Biasanya tarian ini dilakukan semalaman dengan diiringi gong dan moko.[6]
Makanan khas
[sunting | sunting sumber]Dalam setiap upacara adat ataupun kegiatan sehari-hari, suku Alor biasanya menyajikan makanan khas, yakni jagung bose dan jagung titi, sebuah olahan makanan berbahan dasar jagung.
Lagu tradisional
[sunting | sunting sumber]Lagu tradisional suku Alor diantaranya adalah Eti Lola, Handek, dan Heelora.
Alat musik
[sunting | sunting sumber]Masyarakat suku Alor mempunyai alat musik khas yang mirip gendang dan disebut sebagai moko. Alat musik ini biasanya digunakan sebagai alat pelengkap dalam upacara adat. Moko merupakan hasil kebudayaan zaman perunggu. Selain itu, moko juga biasa dijadikan sebagai mahar atau maskawin (belis).[6]
Masyarakat Alor percaya bahwa moko berasal dari tanah dan hanya dimiliki para bangsawan karena nilainya yang sangat tinggi. Oleh karena itu, hampir bisa dipastikan tidak ada masyarakat lainnya di Nusantara yang mengoleksi moko dalam jumlah banyak seperti suku-suku di Alor.[6]
Perkawinan adat
[sunting | sunting sumber]Dalam masyarakat Alor, terdapat beberapa sistem perkawinan adat, diantaranya perkawinan dengan pembayaran belis secara kontan yang diawali dengan proses peminangan dan pembayaran belis secara tidak kontan. Kemudian terdapat beberapa perkawinan lainnya, yakni 'tukar gadis' dan 'perkawinan terikat'.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Pemerintah Kabupaten Alor."Sejarah Kabupaten Alor" diakses 19 Januari 2016
- ^ Lien, Dwiari Ratnawati (2018). Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan.
- ^ Alor Speaking Peoples - Joshua Project
- ^ Baird, Louise (2008). A grammar of Klon: a non-Austronesian language of Alor, Indonesia. Canberra: Pacific Linguistics.
- ^ Rumah adat takpala Diarsipkan 2016-02-01 di Wayback Machine. diakses 2016-01-19.
- ^ a b c d Azis Anwar Hidayat. Suku Alor. Diakses 2016-01-23.