Tari Linda
Tari Linda adalah tari tradisional masyarakat Muna. Tari ini telah ditampilkan sejak masa Wa Ode Kamomo Kamba. Ia adalah putri dari La Ode Husein yang menjadi raja Kerajaan Muna pada abad ke-16 Masehi. Tari ini dilakukan oleh para gadis remaja dalam rangkaian acara kedewasaan masyarakat Muna yang disebut Karia.[1] Tari Linda diciptakan oleh permaisuri raja La Ode Ngkadiri yang bernama Wa Ode Wakelu. La Ode Ngkadiri adalah raja Kerajaan Muna yang ke-12. Oleh karenanya, Tari Linda disajikan oleh perempuan Muna yang sudah berkeluarga.[2]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Tari Linda diciptakan pada masa kekuasaan Kerajaan Muna di Pulau Muna pada abad ke-16 Masehi. Tarian ini tepatnya dipertunjukkan pada masa pemerintahan raja Kerajaan Muna yang bernama Lapsasu atau Kobang Kuduno. Nama Tari Linda berasal dari Bahasa Muna, yang berarti “menari sambil berkeliling”. Penamaan ini didasari oleh gerakan para penari yang berkeliling seperti burung yang terbang berkeliling dengan sayap yang indah. Dalam perkembangannya, Tari Linda mulai dikenal juga oleh masyarakat di Pulau Buton.[3]
Tari Linda berasal dari kisah mitologi tentang seorang bidadari yang tidak dapat kembali ke kahyangan. Dalam cerita rakyat Muna, ada delapan bidadari yang turun ke bumi untuk mandi di sebuah sungai. Kecantikan mereka menarik perhatian seorang pemuda yang berada di dekat sungai itu. Ia mengintip para bidadari yang sedang mandi, kemudian mencuri salah satu selendang bidadari tersebut. Salah satu bidadari tersebut kemudian tidak dapat kembali ke kahyangan. Sang pemuda kemudian mendatangi bidadari tersebut dan mengajaknya menikah. Bidadari tersebut bersedia dinikahi oleh sang pemuda. Syarat yang diajukannya hanya satu, yaitu setelah hidup bersama sang pemuda tidak boleh membuka periuk penanak nasi saat ia sedang memasak. Setelah menikah, bidadari itu memperol nama yaitu Waode Fari. Pasangan suami-istri ini dikaruniai seorang anak perempuan.[3]
Pada suatu ketika, desa tempat tinggal mereka mengalami kemarau panjang dan kekeringan. Para warga mengalami kelaparan tetapi keluarga Waode Fari justru tidak pernah mengalami kekurangan beras. Keanehan ini membuat suaminya penasaran, sehingga ia membuka periuk penanak nasi saat istrinya sedang mencuci pakaian di sungai. Ia terkejut ketika melihat di dalam penanak nasi hanya terdapat sebutir beras. Setelah airnya mendidih, tiba-tiba periuk tersebut telah penuh oleh nasi. Keesokan harinya, Waode Fari memasak nasi seperti biasa tetapi periuknya tidak menghasilkan nasi. Ia pun sadar bahwa suaminya telah melanggar janji untuk tidak membuka periuk nasi. Sejak saat itu, Waode Fari harus menanak nasi seperti warga desa lainnya. Persediaan padi di dalam lumbung berasnya semakin berkurang. Suatu pagi, tanpa sengaja ia menemukan selendangnya yang hilang di bawah tumbukan padi. Ia pun sadar, suaminyalah yang telah mencuri selendangnya dahulu. Ia pun menemui suami dan anaknya untuk berpamitan dan kembali ke kahyangan. Sebagai tanda perpisahan, Waode Fari menari sambil mendendangkan lagu. Anak perempuannya pun kemudian meliuk-liukkan tubuh dengan mempesona dan mengikuti gerakan ibunya. Sejak saat itu gerakan tubuh sang anak menjadi cikal bakal tari Linda.[3]
Persyaratan
[sunting | sunting sumber]Pemusik
[sunting | sunting sumber]Dalam Tari Linda, para pemusik hanya menggunakan busana yang bebas rapi. Ini dikarenakan para pemusik ini tidak hanya memerankan satu tugas. Mereka juga mengerjakan hal lain dalam ritual. Pakaian adat Muna hanya dikenakan apabila dalam ritual dihadiri oleh para tamu terhormat sehingga terlihat lebih sopan.[4] Panggung yang digunakan sebagai tempat pertunjukan Tari Linda tidak memiliki aturan tertentu. Arah dari panggung menyesuaikan dengan keadaan di sekitar tempat pertunjukan. Satu-satunya hal yang dianjurkan dalam adat Muna adalah membuat panggung yang tidak bertolak belakang dengan arah rumah utama pelaksana acara.[4]
Penari
[sunting | sunting sumber]Tarian Linda ditarikan oleh enam hingga delapan orang penari. Gerakan tarinya lemah gemulai dan mengikuti irama gendang yang keras. Tarian ini diiringi dengan beberapa alat musik tradisional yang dipukul, yaitu gendang, gong, dan dengu-dengu. Tari Linda kini dipentaskan di hadapan para tamu dan turis yang berkunjung di Pulau Muna maupun Pulau Buton.[5]
Waktu pelaksanaan
[sunting | sunting sumber]Dalam masyarakat Muna, Tari Linda merupakan bagian dari upacara adat Karia. Upacara ini merupakan upacara pingitan para gadis yang akan mencapai usia dewasa dan siap memulai hubungan rumah tangga. Pada masa lalu upacara Kariya atau pingitan harus dilalui oleh seorang anak gadis yang sudah menginjak masa remaja. Dalam upacara ini para gadis remaja harus dikurung selama delapan hari dan tujuh malam dalam suatu ruangan tertutup. Pada hari kedelapan, para gadis remaja tersebut keluar dari pingitan dengan mengenakan pakaian adat Buton. Upacara Karia diakhiri dengan para gadis pingitan tersebut bersama-sama menarikan tari Linda.[6]
Busana
[sunting | sunting sumber]Badhu kombo
[sunting | sunting sumber]Badhu kombo adalah pakaian adat suku Muna yang digunakan oleh para gadis selama menarikan Tari Linda. Warna bajunya adalah putih yang melambangkan kesucian dari gadis yang menari. Pinggiran baju pada Badhu kombo memiliki warna merah yang dimaknai sebagai perbatasan larangan kodrat seorang wanita. Selain itu, bahan pembuatan bagian baju yang berwarna merah adalah wol merah. Ini dimaknai sebagai warna kedewasaan bagi para gadis.[7]
Punto
[sunting | sunting sumber]Punto adalah rok yang dipasang paling luar oleh para penari Tari Linda. Rok ini digunakan setelah mengenakan rok bagian dalam pada kostum tari Linda. Warna kainnya adalah hitam dan merah. Ini melambangkan budaya suku Muna. Pesannya bahwa segala macam kejahatan yang ditemui dalam masyarakat suku Muna akan selalu dikahalahkan oleh keberanian yang berlandaskan pada membela kebenaran. Punto memiliki hiasan emas sebagai perlambangan harga diri perempuan agar tidak dipandang murahan dan derajatnya sangat tinggi.[8]
Ndoro panda
[sunting | sunting sumber]Ndoro panda adalah rok yang digunakan sebelum Punto. Warna kainnya yaitu putih, hijau, kuning dan merah.. Warna-warna ini merupakan perlambangan bahwa setiap manusia memiliki adat istiadat serta budaya yang berbeda-beda, tetapi perbedaan tersebut menjadikan manusia harus saling menolong dan bekerja sama. Warrna putih melambangkan kesucian, hijau mewakili keagamaan, kuning melambangkan perdamaian dan warna merah melambangkan keberanian dan pertumpahan darah.[9]
Dali-dali manu dan Simbi
[sunting | sunting sumber]Dali-dali manu adalah anting-anting yang berbentuk burung. Anting-anting ini berwarna emas atau perak. Warna ini wewakili pepatah yaitu '' setinggi-tingginya burung yang terbang, pada akhirnya akan ke kubangan juga''. Ini dimaknai pada jenjang pendidikan wanita yang setinggi apapun tetap akan melakukan kehidupan berumah tangga juga. Dalam Tari Linda, para penari juga menggunakan gelang yang disebut Simbi. Gelang ini berbentuk bulat yang terbuat dari emas atau perak. Dalam Tari Linda, gelang ini digunakan sebanyak empat buah secara bersusun dengan dua gelang di tangan kanan dan dua gelang di tangan kiri. Jumlah keseluruhan gelang ini adalah delapan. Ini melambangkan sifat yang harus dimiliki oleh seorang wanita yaitu adil, jujur, dan bijaksana dalam menjalani kehidupa berumah tangga. Selain itu, ini juga berarti bahwa pasangan hidup harus saling menyemangati dan tidak memiliki rahasia yang disembunyikan dari pasangannya.[9]
Dhao-dhaonga dan Panto
[sunting | sunting sumber]Dhao-dhaonga adalah kalung khusus yang hanya digunakan pada Tari Linda. Warna kalung ini adalah emas. Ini dilambangkan sebagai kehidupan berumah tangga yang dialami oleh wanita memiliki banyak kejadian yang tidak pasti dan selalu berubah-ubah seiring waktu. Dalam Tari Linda, para penari juga mengenakan tusuk sanggul yang disebut panto. Jumlahnya ada tiga yang melambangkan persatuan bagi para generasi penerus bangsa. Sifat yang dilambangkannya adalah saling tolong-menolong dan bergotong royong serta bahu-membahu untuk menyatukan masyarakat Muna.[9]
Kabunsale dan tarima kasi
[sunting | sunting sumber]Kabunsale adalah hiasan sanggul yang terbuat dari kain dengan hiasan pinggir dan manik-manik pada bagian luar permukaannya. Bentuknya adalah persegi di bagian ujung atas, sedangkan bagian ujung bawah berbentuk bulat dan terjuntai ke bawah. Hiasan ini melambangkan kecantikan gadis Muna yang tidak hanya cantik secara penampilan, tetapi juga cantik secara perilaku. Keterampilan yang harus dimiliki oleh para gadis sebelum menjalin rumah tangga adalah keterampilan menjahit, menenun, dan memasak. Keterampilan ini digunakan untuk menciptakan rumah tangga yang bahagia dan tenteram.[9] Hiasan lsanggul lain yang digunakan dalam Tari Linda adalah tarima kasi. Bentuknya seperti daun jambu mente dengan lima titik yang dipasang tegak lurus di atas sanggul para penari. Ini melambangkan lima rukun Islam dan memberikan pesan bahwa manusia harus saling mengingatkan satu sama lain, saling menghormati, saling menghargai serta menjadi pribadi yang taat beragama dalam bermasyarakat dan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa.[10]
Lilitan Konde dan Sulepe
[sunting | sunting sumber]Dalam Tari Linda, lilitan konde digunakan untuk melingkari sanggul penari. Lilitan konde ini berwarna merah dan terbuat dari kain. Warna dan bahannya melambangkan hidup seumpama lingkaran yang dalam perputarannya selalu ada keadaan yang berbeda dan tidak selalu sama. Oleh karenanya, manusia harus menjadi pribadi yang bijak dan baik dalam memutuskan sesuatu hal. Para penari Tari Linda juga mengenakan i kat pinggang yang disebut Sulepe. Bahan pembuatannya adalah kain yang berwarna kuning. Ini melambangkan bahwa dalam rumah tangga, suami dan istri harus saling menghormati sehingga kehidupan mereka dapat berlangsung dengan tenteram dan tanpa perselisihan.[11]
Kapusuli
[sunting | sunting sumber]Kapusuli adalah sapu tangan yang digunakan dalam tari Linda. Warnanya adalah putih dan digunakan pada tangan kanan dengan penjepit pada jari tengah dan jari telunjuk. Sapu tangan menjadi simbol kelincahan para wanita Muna dalam etika dan adat istiadat yang berlaku. Selain itu, sapu tangan ini juga menjadi lambang untuk menjaga lisan dalam bertutur kata dan menjaga kesucian jasmani maupun rohani.[11]
Salenda
[sunting | sunting sumber]Salenda adalah selendang yang digunakan pada Tari Linda. Selendang ini digunakan pada lingkaran leher bagian depan. Ujung selendang dijepit dengan tangan kiri pada jari tengah dan telunjuk. Ini melambangkan kesucian seorang gadis remaja yang ditentukan oleh dirinya sendiri, Jika wanita pandai menjaga diri maka ia akan selamat dari bahaya dan sebaliknya.[11]
Penyajian
[sunting | sunting sumber]Dalam Tari Linda, para penari akan menghampiri penonton dan memberikan selendangnya kepada ibu-ibu yang menghadiri pertunjukan. Ini dimaknai sebagai bentuk penghormatan kepada para penonton. Penonton yang mendapatkan selendang kemudian mengembalikan selendang dengan memberikan hadiah berupa uang atau bingkisan. Ini merupakan bentuk ucapan terima kasih dan rasa syukur karena para penari karena telah menjalani ritual Karia.[12]
Tari dimulai oleh pemandu kemudian diikuti oleh para penari secara berurutan. Tari Linda yang diperagakan untuk ritual berbeda dengan Tari Linda untuk hiburan. Pada Tari Linda untuk hiburan, para penari hanya berputar di sekeliling tempat berdirinya.[13] Selain itu, pada tahap perubahan posisi, para penari Tari Linda untuk ritual akan mengelilingi lampu secara berurutan sebagai pertanda perpindahan alam. Sedangkan pada Tari Linda untuk hiburan, tidak ada tahap mengelilingi lampu serta tidak ada urutan tertentu. Pada Tari Linda untuk hiburan, musiknya hanya berupa alunan ganda, sedangkan pada Tari Linda untuk ritual, musiknya diiringi oleh lagu La Kadandio.[14]
Musik
[sunting | sunting sumber]Musik pengiring Tari Linda disebut rambi Wuna. Alat musik yang digunakan yaitu gendang, gong gantung dan kasepe. Musik ini dimainkan oleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Musik yang dilantunkan memiliki irama yang cepat. Ini berkebalikan dengan gerakan Tari Linda yang sangat pelan. Ini melambangkan bahwa gadis remaja yang tumbuh perlahan memiliki banyak godaan yang silih berganti dan cepat dari lingkungan sekitarnya. Oleh karenanya, musik ini memberikan pesan bahwa perempuan tidak boleh terpengaruh untuk melakukan kemaksiatan. Perempuan harus bersikap tenang, penuh konsentrasi dan pandai membedakan antara yang baik dan buruk.[11]
Pemaknaan
[sunting | sunting sumber]Sebagai tutura
[sunting | sunting sumber]Dalam Tari Linda terdapat gerakan menyentuh kedua bahu yang mempunyai makna sebagai tutura. Dalam bahasa Muna, tutura berarti pencerahan. Tari Linda dimaknai sebagai proses manusia menuju kesempurnaannya. Dalam prosesnya, manusia melalui tujuh tahapan. Salah satunya ialah tutura yang berlangsung selama 40 hari. Sebagai bentuk kiasan, tutura dilakukan selama 4 hari dan 7 hari menjadi tahapan lengkap dari awal hingga akhir. Melalui Tari Linda, manusia diyakini kembali ke keadaan suci seperti saat baru dilahirkan. Sebelum melakukan Karia dan Tari Linda, para peserta dimandikan sebagai bentuk pembersihan yang bertujuan untuk mencapai kesucian agar senantiasa memiliki hidup yang baik dan sifat dasarnya sebagai manusia dapat tetap terjaga. Gerak yang dilakukan oleh penari ketika melakukan tarian adalah menyentuh kedua bahu dengan menggunakan tangan kanan dan kiri. Ini merupakan perlambangan terhadap pembersihan anggota badan yang diawali dari tubuh bagian atas hingga ke tubuh bagian bawah.[15]
Simbol moral
[sunting | sunting sumber]Tari Linda juga berguna sebagai penyatu norma, etika, sopan santun dan tata krama pergaulan. Perwujudan kesatuannya terungkap dalam unsur-unsur gerak tarinya. Sebelum memulai tari, pengatur acara akan menyampaikan bahwa Tari Linda akan dimulai. Ini dilakukan sebagai penghormatan kepada orang tua yang hadir dalam pertunjukan. Setelahnya, para penari akan menari secara bergantian dengan lincah. Gerakan awal yang dilakukan oleh para penari yaitu bergerak maju ke depan sambil menundukan kepala dengan posisi badan ke bawah. Ini melambangkan rasa hormat kepada orang tua dan bentuk penghargaan kepada para penonton yang mengadiri pertunjukan. Selain itu, para penari juga melakukan gerakan berupa mengayunkan kedua tangan sambil memutar badan hingga posisinya berada di depan dada. Ini melambangkan kewajiban seorang gadis remaja untuk menjaga harga diri, kesucian dan menjaga aurat dalam pergaulan.[16] Gerakan selanjutnya adalah mengayun-ayunkan sapu tangan dengan menggunakan tangan kanan sambil berputar disertai dengan melempar sapu tangan. Gerakan ini melambangkan kebebasan yang bertanggung jawab dari orang tua bagi perempuan yang telah mencapai masa remaja dalam lingkungan masyarakat.[17]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Janat, A., Husain, M.N., dan Joko (2016). "Strategi Komunikasi Sanggar Lokal dalam Melestarikan Tari Linda Kabupaten Muna". Jurnal Ilmu Komunikasi UHO. 1 (3): 2.
- ^ Firmansyah, Simatupang, Kusmayati, dan Sushartami 2019, hlm. 139.
- ^ a b c Setiawan 2017, hlm. 151.
- ^ a b Firmansyah, Simatupang, Kusmayati, dan Sushartami 2019, hlm. 141.
- ^ Setiawan 2017, hlm. 152.
- ^ Setiawan 2017, hlm. 151-152.
- ^ Ardin, Cahyono, dan Hartono 2017, hlm. 61.
- ^ Ardin, Cahyono, dan Hartono 2017, hlm. 61-62.
- ^ a b c d Ardin, Cahyono, dan Hartono 2017, hlm. 62.
- ^ Ardin, Cahyono, dan Hartono 2017, hlm. 62-63.
- ^ a b c d Ardin, Cahyono, dan Hartono 2017, hlm. 63.
- ^ Ardin, Cahyono, dan Hartono 2017, hlm. 63-64.
- ^ Pratiwi dan Hak 2017, hlm. 54-55.
- ^ Pratiwi dan Hak 2017, hlm. 58.
- ^ Ardin, Cahyono, dan Hartono 2017, hlm. 59-60.
- ^ Ardin, Cahyono, dan Hartono 2017, hlm. 60.
- ^ Ardin, Cahyono, dan Hartono 2017, hlm. 60-61.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Ardin, Cahyono, A., dan Hartono (2017). "Makna Simbolik Pertunjukan Linda dalam Upacara Ritual Karia di Kabupaten Muna Barat Sulawesi Tenggara". Catharsis: Journal of Arts Education. 6 (1): 57–64.
- Firmansyah, Simatupang, G.R.L.L., Kusmayati, H., dan Sushartami, W. (Desember 2019). "Aksiologi Musikal pada Pertunjukan Tari Tradisional Linda dalam Ritual Adat Keagamaan Karia di Daerah, Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara". Resital. 20 (3): 132–149.
- Pratiwi, I., dan Hak. P. (Desember 2017). "Tradisi Karia pada Masyarakat Muna di Kecamatan Wakorumba Selatan Kabupaten Muna". Hitorical Education. 2 (3): 46–61. ISSN 2502-6674.
- Setiawan, Budiana (Desember 2017). "Revitalisasi Tari Linda dan Lariangi dalam Masyarakat Kota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara". Jurnal Kebudayaan. 12 (2): 145–156. doi:10.24832/jk.v12i2.250.