Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Lompat ke isi

Tuti Marini Puspowardojo

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

R.A. Habibie
Tuti Marini Puspowardojo (kanan) bersama B. J. Habibie (kiri)
LahirToeti Saptorini
(1911-11-19)19 November 1911
Ngayogyakarta Hadiningrat, Hindia Belanda
Meninggal24 Juni 1990(1990-06-24) (umur 78)
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
KebangsaanIndonesia
AlmamaterHogere Burger School
Dikenal atasIbu dari Presiden Republik Indonesia ke-3 B. J. Habibie
Suami/istriAlwi Abdul Jalil Habibie
AnakSri Sulaksmi Habibie
Satoto M. Duhri Habibie
Alwini Karsum Habibie
Bacharuddin Jusuf Habibie
Junus Effendi Habibie
Sri Rejeki Habibie
Sri Rahayu Fatima Habibie
Ali Buntarman Habibie
Suyatim Abdurrahman Habibie

Raden Ayu Tuti Marini Puspowardojo atau R.A. Habibie (19 November 1911 – 24 Juni 1990) adalah Ibu dari Presiden ke-3 Republik Indonesia Bachruddin Jusuf Habibie. Tuti menikah Alwi Abdul Jalil Habibie.[1]

R.A. Habibie adalah sosok wanita yang senang berkebaya namun sangat lancar berbahasa Belanda. Ia juga berpikiran dinamis tapi tetap teguh mempraktikkan budaya Jawa saat bergaul.[2]

Riwayat Hidup

[sunting | sunting sumber]

Tradisi intelektual telah ditanamkan oleh orang tua Tuti sejak dini disamping pengajaran keagamaan serta nilai-nilai tradisi yang dimiliki sebagai warisan leluhur tetap dipelihara. Ketika ia masih duduk di bangku sekolah HBS (Hogere Burger School), Tuti berkenalan dengan seorang pemuda dari Suku Gorontalo, tepatnya dari daerah Kabila, Gorontalo, bernama Alwi Abdul Jalil Habibie yang saat itu merupakan seorang pelajar di Sekolah Pertanian Bogor.[3]

Keluarga Alwi Habibie memiliki marga Habibie yang merupakan salah satu entitas asli masyarakat Gorontalo yang terkenal gemar bertani kopi dan memiliki banyak ternak.

Menikah Dengan Alwi Abdul Jalil Habibie

[sunting | sunting sumber]

Setelah menyelesaikan studinya di Bogor, Alwi Abdul Jalil Habibie melamar Tuti Marini Puspowardojo dan dilanjutkan dengan pernikahan yang menggunakan adat budaya Gorontalo dan Jawa sebagai tradisi keluarga asal dari kedua belah pihak.

Tidak lama kemudian, Alwi Abdul Jalil diangkat sebagai Ahli Pertanian di Afdeling Parepare sehingga Tuti Marini harus meninggalkan semua kenangan indah masa kecil di Kota Yogyakarta.[4] Di Kota Parepare Tuti menjalani hari-harinya sebagai ibu muda dan dikarunia sembilan orang anak akan tetapi satu diantaranya meninggal dunia ketika masih berusia 1 tahun (Satoto Muhammad Duhri Habibie).

Ketika Rudy Habibie Sakit

[sunting | sunting sumber]

Hingga pada suatu hari Rudy menderita sakit yang cukup parah, karena tenaga dokter di daerah tersebut belum ada mereka membawanya kepada seseorang yang dianggap pintar mengobati yaitu Raja Bau Djondjo Kalimullah Kara Engta Lembang Parang Arung Barru. Lewat bantuan raja tersebut yang memberinya air jampi-jampi kondisi Rudy berangsur-angsur pulih kembali.

Ada kejadian menarik yang selalu dikenang Tuti tenang Rudy, karena wajah Rudy sangat mirip dengan wajah ayahnya maka menurut kepercayaan orang Bugis tempat dimana mereka tinggal di masa kecil, maka Rudy harus dijual. Jika hal ini tidak dilakukan maka akan terjadi suatu musibah yakni salah satu dari mereka akan meninggal dunia atau terpisah secara berjauhan. Oleh karena itu dalam sebuah upacara adat Rudy dibeli secara simbolis oleh Raja Barru dengan sebilah keris.

Invasi Jepang ke Hindia Belanda

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1942, tersiar kabar bala tentara Jepang akan memasuki wilayah Parepare sehingga keluarga Tuti bersama warga lainnya terpaksa meninggalkan rumah serta sebagian kekayaannya untuk mengungsi ke desa Tete Aji.

Setelah Belanda menyerah kepada tentara Jepang, keluarga Tuti Marini kembali ke Parepare, tetapi tidak lama kemudian sekutu datang menyerang. Ketika peperangan antara sekutu melawan Jepang semakin sengit, Tuti Marini bersama keluarga terpaksa mengungsi kembali dengan dibantu oleh Aru Malusitasi mereka menyingkir ke Desa Landrai di kota Kecamatan Palanro yang terletak di jalan besar tepi pantai antara Makassar dan Parepare.

Mereka kembali ke Parepare setelah Jepang dikalahkan oleh sekutu dan setelah itu datang tentara Australia untuk mengambil alih kekuasaan.

Setelah Indonesia Merdeka dan Alwi Habibie Wafat

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1947 suami Tuti, Alwi Abdul Jalil Habibie dipromosikan menjadi Kepala Pertanian untuk wilayah Indonesia Timur yang berkedudukan di Makassar, sehingga Tuti dan keluarga pindah ke Makassar dan dapat berkumpul kembali dengan B.J. Habibie dan kakak-kakaknya.

Pada tanggal 3 September 1950 ketika sedang Sholat Isya, Alwi Abdul Jalil Habibie mendapat serangan jantung, seketika kepanikan melanda keluarga ini. Tuti Marini meminta anak tertuanya untuk mencari pertolongan, tetapi sebelum melakukan pertolongan lebih jauh nyawa Alwi Abdul Jalil Habibie sudah tidak dapat diselamatkan. Saat ayahnya meninggal Rudy baru menginjak kelas 2 Concordante HBS.

Dari kedelapan anak-anaknya, ada dua diantaranya yang sangat menonjol baik dalam prestasi maupun tingkah lakunya, yaitu Rudy (panggilan akrab B.J. Habibie) dan adiknya Fanny (panggilan akrab Junus Effendi Habibie). Meski memiliki sifat yang bertolak belakang, kedua anak tersebut memiliki potensi yang luar biasa jika dibandingkan dengan saudara-saudara dan teman-temannya.

Namun demikian sebagai seorang ibu, Tuti tetap berusaha memperlakukan anak-anaknya secara adil dan kebanggaan Tuti terhadap anak-anaknya terutama Rudy adalah sebuah pengecualian.

Pindah ke Bandung

[sunting | sunting sumber]

Meski tantangan ekonomi yang dihadapi semakin berat, Tuti Marini masih melihat harapan besar pada anak-anaknya sehingga ia memutuskan menyekolahkan Rudy di Bandung agar mendapat pendidikan yang lebih baik. Akhirnya Tuti Marini memutuskan untuk pindah ke Bandung dan mendampingi Rudy menjalani pendidikannya. Rudy melanjutkan sekolah ke HBS namun atas kemauannya sendiri ia pindah ke SMP Negeri 5 dan kemudian pindah sekolah lagi. Rudy akhirnya lulus tes masuk Universitas Indonesia Bandung (sekarang Institut Teknologi Bandung) dengan bidang pesawat terbang. Melihat perkembangan ini, Tuti Marini berniat menyekolahkan Rudy ke Jerman dengan biaya sendiri dan akhirnya ia memperoleh izin membeli devisa pemerintah.

Pada bulan Juli 1959, Tuti mendapat kabar bahwa B.J. Habibie terbaring tak berdaya di rumah sakit, virus influenza di tubuh Rudy menyerang jantung. Tuti menyusul ke Jerman dan berupaya membangkitkan semangat hidup anaknya hingga akhirnya Rudy berangsur-angsur pulih kembali dan melanjutkan studinya sehingga akhirnya Rudy berhasil menjadi insinyur sebagai lulusan terbaik. Tuti sempat merasakan keberhasilan putra-putrinya sebagai manusia yang memiliki martabat dan juga ia telah menunaikan janjinya kepada sang suami.

Menjaga Adat Istiadat Jawa-Gorontalo

[sunting | sunting sumber]

Tuti menyibukkan diri dengan mengurus dan membimbing anak-anaknya agar menjadi anak yang sehat, tangkas dan disiplin dan memperkenalkan mereka pada budaya Jawa dan juga adat istiadat Gorontalo yang menjadi kekayaan batinnya serta suaminya. Sebabnya itu, Tuti selalu menikahkan seluruh anak-anaknya dengan menggunakan adat istiadat Gorontalo dan Jawa sebagai bentuk komitmen serta penghomatannya kepada adat istiadat leluhur serta daerah asal sang suami, Alwi Abdul Jalil Habibie. Termasuk pula dengan B.J. Habibie yang turut melaksanakan tradisi adat istiadat Gorontalo saat menggelar resepsi pernikahannya di Hotel Preanger, Bandung, Jawa Barat.

Di usia 78 tahun, Tuti Marini menjalani operasi bypass jantung dan dirawat selama hampir dua bulan di RS Mount Elizabeth Singapura. Tuti Marini menghembuskan nafasnya yang terakhir di Bandung pada tanggal 24 Juni 1990 dengan disaksikan oleh kedelapan putra-putrinya. Jenazahnya kemudian diterbangkan ke Jakarta untuk dimakamkan di TPU Tanah Kusir, berdampingan dengan makam almarhum suaminya yang telah dipindahkan dari Ujung Pandang, Sulawesi Selatan.

Kehidupan Pribadi

[sunting | sunting sumber]

Setelah menikah dengan Alwi Abdul Jalil Habibie, Tuti Marini dikaruniai 9 orang anak, yaitu:

  • Titi Sri Sulaksmi Habibie (28 Desember 1928 — 5 Februari 2016) menikah dengan Mayjen. Subono Mantofani (alm.) dan memiliki 5 orang anak.
  • Satoto Muhammad Duhri Habibie (alm.)
  • Alwini Karsum Habibie (l. 1933)
  • Bacharuddin Jusuf Habibie (25 Juni 1936 — 11 September 2019), yang kemudian menjadi Presiden ketiga RI, menikah dengan Hasri Ainun Besari (11 Agustus 1937 — 22 Mei 2010) dan memiliki 2 orang anak.
  • Junus Effendi Habibie (11 Juni 1937 — 12 Maret 2012) menikah dengan Meike Mariam Soepardi (5 Maret 1937 — 28 Februari 2008) dan memiliki 3 orang anak.
  • Sri Redjeki Chasanah Habibie (8 Oktober 1938 – 2 November 2017) menikah dengan Mayjen. Soedarsono Darmosoewito (1927 — 2005) dan memiliki 4 orang anak.[5]
  • Sri Rahayu Fatimah Habibie (14 Desember 1941 – 15 November 2024) menikah dengan Muchsin Mochdar.
  • Ali Buntarman Habibie (1945 — 1946)
  • Suyatim Abdurrahman Habibie (9 November 1950 – 21 Januari 2024)

Dalam budaya populer

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Keluarga Presiden - Situs Web Kepustakaan Presiden-Presiden Republik Indonesia". kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-15. Diakses tanggal 2022-05-24. 
  2. ^ Khalika, Nindias; Khalika, Nindias (2019-09-12). "Tuti Marini Puspowardojo, Ibunda BJ Habibie yang Berdarah Yogyakarta". IDN Times. Diakses tanggal 2022-05-24. 
  3. ^ "Keluarga Presiden B. J. Habibie". Kepustakaan Presiden. 30 Oktober 2014. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-11-13. Diakses tanggal 7 November 2014. 
  4. ^ Arnold, Andri (2019-09-11). Hida, Ramdania El, ed. "Jejak Kenangan BJ Habibie dalam Rumah Tua di Gorontalo". Liputan6.com. Diakses tanggal 2022-05-24. 
  5. ^ Arman, Dedi (Desember 2022). "Sri Soedarsono Perintis Pembangunan Sekolah Modern di Batam". Majalah Jendela Pendidikan dan Kebudayaan. Diakses tanggal 8 Maret 2023.