Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Lompat ke isi

Wacana

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Wacana adalah kesatuan makna antarkomponen bahasa didalam suatu struktur bahasa yang terkait dengan konteks. Kesatuan struktur di dalam wacana bersifat abstrak sehingga membedakannya dari teks, tulisan, bacaan, tuturan, atau inskripsi dalam pengertian yang sama. Sementara kesamaannya yaitu sama-sama memiliki wujud konkret yang terlihat, terbaca, atau terdengar.[1] Wacana tersusun dari unsur-unsur bahasa yang lengkap mulai dari fonem hingga karangan utuh.[2] Unsur-unsur bahasa yang membentuk suatu wacana bersifat kohesi.[3] Wacana terbentuk melalui konteks situasi kebudayaan dan kondisi sosial tertentu. Kenampakan kondisi ini, sangat jelas pada jenis wacana lisan yang ujarannya menggunakan bahasa tertentu pada lingkungan tertentu.[4] Analisis terhadap wacana dapat menggunakan dua tingkatan, yaitu analisis wacana yang hanya setingkat naskah, atau analisis wacana kritis yang analisanya meliputi naskah, konteks dan kesejarahan.[5] Wacana termasuk cabang keilmuan dari linguistik teoretis.[6] Dalam linguistik, wacana merupakan bagian dari pragmatik dengan ruang lingkup kajian yang lebih luas dibandingkan dengan klausa dan kalimat.[7] Selain pada kajian-kajian linguistik, istilah "wacana" juga banyak digunakan pada bidang pendidikan bahasa, filsafat dan sosiologi.[8] Modifikasi terhadap wacana dapat mengubah satu peristiwa yang sama menjadi beberapa versi cerita berbeda.[9] Wacana merupakan satuan bahasa yang terlengkap dan dapat diwujudkan ke dalam suatu bentuk.[10] Perwujudan nyata dari wacana ialah dalam bentuk karangan atau laporan dengan isi yang utuh.[11]

Definisi wacana bersinonim dengan teks. Kesamaan keduanya ialah menggunakan acuan berupa bahasa yang lebih luas dibandingkan klausa atau kalimat. Sementara perbedaan keduanya ialah pada segi penggunaan. Wacana berbentuk lisan sehingga interaktif, sementara teks berbentuk tulisan dan tidak interaktif. Dalam definisi teks, wacana terwujud ke dalam bentuk teks karena merupakan rekaman verbal atas suatu komunikasi. Perbedaan lainnya ialah dari segi pembahasan yang mana teks dapat memiliki pembahasan dengan ukuran panjang atau pendek.[12] Sementara pada wacana, pembahasannya tidak terbatas.[13]

Unsur internal

[sunting | sunting sumber]

Unsur ruang terbentuk baik pada wacana yang pembahasannya tidak luas maupun yang luas. Pada wacana yang pembahasannya tidak luas, unsur ruang terdapat pada tiga hal. Pertama, pada pemakaian kosakata yang mewakili sifat atau keadaan yang dibahas. Kedua, pada kata-kata baku yang telah mempunyai makna tersendiri. Sedangkan yang ketika pada pemakaian analogi. Sementara itu, pada wacana yang pembahasannya luas, unsur ruang ditemukan pada tiga hal. Pertama, penunjukan arah dari suatu tempat tertentu. Kedua, pada perilaku tokoh yang tergambarkan melalui dialog. Ketiga, pada deskripsi yang langsung disampaikan oleh pengarang.[14]

Unsur eksternal

[sunting | sunting sumber]

Dalam perbincangan mengenai wacana terdapat unsur konteks. Jenis konteks di dalam wacana meliputi konteks situasi yang melibatkan kontek sosial. Selain itu, konteks sosial umumnya juga menyertakan konteks budaya. Ada pula pakar yang menyatakan bahwa konteks situasi terpisah dari konteks sosial dan konteks budaya. Salah satunya ialah Bronisław Malinowski. Ia adalah seorang antrpolog dengan spesialisasi di bidang etnografi yang melakukan inisiasi atas konteks situasi. Malinowski mengemukakan bahwa kegagalan dalam memahami suatu tuturan dapat terjadi ketika konteks situasi diabaikan. Ia menyimpulkan hal ini setelah mengadakan penerjemahan tuturan pada bahasa Kiriwinia di masyarakat Kepulauan Trobriand yang termasuk bagian dari wilayah Kepulauan Pasifik.[15]

Wacana memerlukan ideologi karena fungsi keberadaannya dalam pembicaraan dan pemahaman akan dunia memerlukan cara tertentu. Sementara itu, proses berwacana memerlukan bahasa. Ideologi yang terdapat di dalam bahasa tidak dapat terpisahkan di dalam wacana. Karenanya, di dalam wacana juga terdapat hubungan antara bahasa dan ideologi.[16] Sementara itu, suatu wacana yang mengandung aspek tindakan, konteks, sejarah, kekuasaan dan ideologi disebut sebagai wacana kritis.[17]

Salah satu karakteristik AWK adalah memperhatikan aspek ideologi. Wacana dipandang sebagai praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Teori-teori ideologi menyatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk 168 memproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strategi utamanya adalah dengan membuat kcsadaran pada khalayak bahwa dominasi itu diterima secara taken for granted.[18]

Wacana lisan

[sunting | sunting sumber]

Wacana lisan terbentuk dalam proses komunikasi dengan tuturan yang menghasilkan kalimat yang tersusun. Pembentukan wacana lisan hanya dapat terjadi melalui komunikasi antara dua pihak. Masing-masing ialah pihak penutur dan mitra tuturnya.[19]

Wacana prosa

[sunting | sunting sumber]

Wacana prosa merupakan salah satu jenis wacana yang ditinjau dari penggunaan pemaparan dan tujuannya. Jenis wacana prosa meliputi wacana narasi, wacana deskripsi, wacana eksposisi, wacana persuasi dan wacana argumentasi. Wacana narasi adalah wacana yang menjelaskan sesuatu hal melalui cerita. Wacana deskripsi adalah yang memberikan gambaran atau ilustrasi mengenai hal, orang atau tempat tertentu. Wacana eksposisi adalah wacana yang memberikan pemarapan terhadap suatu hal. Wacana persuasi adalah wacana yang membujuk atau melarang pembacanya untuk melakukan sesuatu hal. Sementara wacana argumentasi adalah wacana yang memberikan argumentasi yang berupa alasan terhadap suatu hal.[20]

Penyusunan

[sunting | sunting sumber]

Penyusunan wacana menggunakan alat wacana yang meliputi aspek tata bahasa dan semantik. Konsep ideal dari suatu wacana ialah memiliki seperangkat proposisi yang menghasilkan kohesi yang saling berkaitan satu sama lain. Kohesi pada proposisi ini mempersyaratkan kebutuhan akan keteraturan atau kerapian susunan proposisi yang menimbulkan koherensi. Wacana yang kohesif jarang terwujud dalam kenyataan karena tidak semua penutur bahasa memahami aspek tata bahasa dan semantik.[21]

Pengkajian linguistik

[sunting | sunting sumber]

Aliran linguistik struktural Inggris

[sunting | sunting sumber]

Kajian utama di dalam aliran linguistik struktural Inggris adalah wacana. Dalam pandangan ini, kedudukan wacana sebagai satuan bahasa yang lebih luas dibandingkan kalimat. Tujuan pengembangan teori dalam aliran linguistik struktural Inggris adalah teori kontekstual. Dalam teori ini, ujaran mempunyai makna yang sama dengan konteks situasi. Aliran linguistik struktural Inggris dikenal pula dengan nama London School. Tokoh pemikir aliran ini antara lain John Rupert Firth, Robert Henry Robins, Michael Halliday dan Richard Anthony Hudson.[22]

Linguistik fungsional sistemik

[sunting | sunting sumber]

Dalam kajian linguistik fungsional sistemik, wacana menempati kedudukan sebagai sebuah bahasa pada kondisi tertentu. Linguistik fungsional sistemik mengartikan bahasa sebagai bentuk semiotika sosial yang digunakan secara lisan maupun tulisan dalam konteks sosial dan konteks budaya. Dalam hal ini, bahasa disamakan dengan wacana yang sistemnya tersusun dari sejumlah unsur kebahasaan dengan hierarki yang bekerja secara simultan dari sistem yang lebih kecil hingga ke sistem yang lebih besar. Sistem terkecilnya ialah fonologi atau grafologi, sedangkan sistem terbesarnya adalah leksikogramatika, struktur teks dan semantik wacana.[23]

Sudut pandang filosofis

[sunting | sunting sumber]

Pascamodernisme

[sunting | sunting sumber]

Penganut pascamodernisme menolak penggunaan konvensional dari bentuk-bentuk logika dan wacana. Mereka mengembangkan suatu rumusan alternatif bagi paradigma pemikiran khususnya di bidang sosial dan politik dalam kajian humaniora. Upaya awal yang dilakukan adalah membuat model produksi budaya yang berbeda-beda dan non-linier. Dalam pandangan pascamodernisme. hubungan metanaratif tunggal tidak lagi dapat memberikan pemahaman terhadap kenyataan. Pemahaman hanya dapat diperoleh melalui penyifatan hubungan metanaratif secara ganda dengan bermacam-macam makna yang definisinya dibentuk berulang-ulang. Tujuannya untuk menemukan model penyatuan tunggal yang terpadu.[24]

Sudut pandang linguistik

[sunting | sunting sumber]

Wacana di dalam linguistik dapat dipandang dari dua sudut pandang yang berbeda. Adanya perbedaan pandangan ini merupakan akibat dari perbedaan asumsi terhadap hakikat umum dari linguistik. Pandangan yang pertama ialah pandangan formalis atau linguistik struktural. Pandangan ini mengemukakan bahwa wacana merupakan bahasa yang lebih luas dari kalimat. Kemudian, pandangan kedua ialah pandangan interaktif atau linguistik fungsional. Pandangan ini mengemukakan bahwa wacana merupakan tuturan. Perbedaan kedua pandangan ini diperoleh melalui asumsi yang berbeda dalam tujuan teori bahasa, metode pengkajian bahasa, serta hakikat data dan bukti empiris.[25]

Analisis wacana merupakan ilmu yang mempelajari penggunaan unsur-unsur bahasa di dalam wacana pada kehidupan sehari-hari. Ruang lingkup kajiannya merupakan yang terluas di dalam linguistik. Proses pengkajiannya dapat dilakukan pada percakapan, koran, pendidikan bahasa, rapat politik, sidang pengadilan, iklan, film, buku maupun pementasan drama.[26] Analisis terhadap suatu wacana dapat dilakukan menggunakan teori retorika. Aspek dari wacana yang dianalisis oleh retorika meliputi estetika bahasa. Retorika dapat menganalisis wacana pada komunikasi verbal seperti pidato, maupun komunikasi nonverbal seperti teks.[27] Alat analisis yang digunakan untuk melakukannya adalah makna dan tindakan yang dapat diketahui menggunakan teori tindak tutur. Teori ini merupakan hasil pemikiran dari J.L. Austin dan John Searle.[28] Sementara itu, pada wacana yang memiliki suatu kepentingan di dalamnya, metode analisis yang digunakan adalah analisis wacana kritis.[29]

Penerapan praktis

[sunting | sunting sumber]

Tradisi lisan

[sunting | sunting sumber]

Dalam kajian antropologi, tradisi lisan merupakan wacana lisan yang terbentuk akibat adanya adat di dalam masyarakat. Wacana lisan di dalam tradisi lisan berisi berbagai jenis cerita maupun ungkapan dan ritual tradisional. Cerita di dalam wacana lisan pada tradisi lisan dianalisa pada kajian sastra lisan. Secara umum, fakta budaya yang terkandung di dalam setiap jenis tradisi lisan meliputi sistem geneaologi, komsologi, kosmogoni, sejarah. filsafat, etika, moral, sistem pengetahuan serta kaidah kebahasaan dan kesastraan.[30]

Tuturan lagu merupakan salah satu penerapan wacana berjenis wacana budaya. Para individu yang menjadi anggota di dalam masyarakat dapat menyampaikan ekspresi budaya melalui tuturan lagu dengan menggunakan bahasa sebagai sarana penuturannya. Dalam penuturan ini telah terjadi komunikasi melalui lagu sehingga telah dianggap sebagai wacana. Gagasan, pengalaman dan perasaan atas ekspresi budaya masyarakat terungkap melalui tuturan lagu. Isyarat yang diberikan ialah adanya nilai, aturan dan norma budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat atas tuturan lagu.[31]

Wacana kelas

[sunting | sunting sumber]

Wacana kelas digunakan di lingkungan sekolah untuk menggunakan kekuasaan terkait institusi sosial. Sekolah memiliki struktur ruang sosial tersendiri di dalam tatanan wacana dan tatanan sosialnya. Penandanya terdapat pada seperangkat situasi pembentuk wacana, pengakuan peranan sosial dan tujuan wacana oleh partisipan. Konteks kewacanaan kelas meliputi pembelajaran, ujian dan pengendalian sosial.[32]

Keutuhan Wacana

[sunting | sunting sumber]

Wacana terletak pada tingkat tertinggi dalam hirarki bahasa yaitu selepas tingkat ayat. Dalam wacana, hubungan antara unit bahasa atau unsur seperti kata, frasa, klausa dan ayat, disusun dan disatukan dengan baik untuk menunjukkan bagaimana pemikiran manusia bersambung dan berkembang sehingga membawa kepada kesatuan pikiran yang kokoh. Sebuah wacana yang baik merujuk kepada bentuk penulisan yang mempunyai ciri-ciri asas yaitu kesatuan dan pertautan

  1. Kesatuan: Setiap bagian atau unsur dalam wacana yang mempunyai hubungan ide tajuk atau jadwal yang menjadi latar wacana tersebut. Contohnya ayat-ayat perenggan atau subjudulnya mempunyai hubungan makna yang mengarah kepada pokok perbincangan wacana itu.
  2. Pertautan: Hubungan antara unsur-unsur bahasa seperti kata hubung, penanda wacana, kata rujukan dan sebagainya yang berfungsi untuk menyambung bagian-bagian dalam wacana tersebut. Contoh kata hubung seperti walaupun, malah, lantaran dan sebagainya.

Keutuhan wacana adalah ciri wacana yang baik. Apabila wacana dijalankan dalam cara yang teratur dan berturutan, perkara ini disebut konsisten. Menurut Raminah Hj. Sabran dan Rahim Syam (1987) kesesuaian wacana adalah penting untuk menentukan sama ada sesuatu satuan itu dianggap sebagai wacana atau hanya sekumpulan ayat yang tidak teratur. Melalui analisis keutuhan wacana juga membantu kita lebih memahami hubungan bahasa dengan alam di luar bahasa secara lebih mendalam. Berdasarkan Kamus Webster yang ditulis oleh Noah Webster (1983) perkataan wacana dalam bahasa Inggris dapat dijelaskan seperti berikut:

  1. Hubungan pikiran dengan kata-kata, ekspresi ide-ide atau gagasan atau percakapan.
  2. Hubungan secara  umum, sama ada sebagai satu subjek atau pokok perbincangan.
  3. Risalah bertulis, disertai formal, kuliah, ceramah, khotbah dan sebagainya.

Menurut Stubbs (1983) wacana ialah suatu kesatuan bahasa yang lebih besar dari ayat dan klausa. Wacana menjadi unit linguistik yang lebih tinggi kedudukannya daripada batasan ayat dan klausa. Dalam kata lain, wacana dapat terdiri dari bentuk novel, buku, ensiklopedia dan sebagainya yang membawa makna atau pesan yang lengkap. Asmah Haji Omar (1986) berpendapat, wacana adalah perwujudan sistem bahasa dan unsur-unsur lain sistem bahasa yang membantu ke arah menjadi pertuturan ataupun tulisan yang berkenaan sebagai ssesuatu yang bermakna dalam aktivitas komunikasi.

Walau bagaimanapun terdapat aspek penting yang menghasilkan wacana yang utuh yaitu terdapatnya runtuhan koheren (kesinambungan ide yang menjadikan wacana itu suatu teks yang bermakna serta dapat dipahami) dan wujudnya tautan atau kohesi (keserasian hubungan antara suatu unsur linguistik dengan unsur linguistik yang lain). Selain itu, keutuhan wacana juga dapat dianalisis daripada wujudnya hubungan atau kaitan daripada aspek semantik, leksikal, gramatikal, atau tatabahasa dan fonologi yang dilihat sebagai salah satu bagian dalam wacana.

Ciri-ciri Keutuhan Wacana

[sunting | sunting sumber]

Dalam Pengajian Melayu 2: Ketrampilan Bahasa oleh Kamaruddin Hj. Husin dan Siti Hajar Abd. Aziz, (1997) dinyatakan bahawa suatu wacana yang utuh secara umumnya mempunyai empat ciri yaitu:

  • Hubungan Keutuhan dari Segi Semantik
  • Hubungan Keutuhan dari Segi Fonologi
  • Hubungan Keutuhan dari segi Leksikal
  • Hubungan Keutuhan dari segi Tatabahasa atau Gramatikal

Keutuhan Semantik

[sunting | sunting sumber]

Wacana menunjukkan hubungan dan perkembangan gagasan yang berurutan. Hubungan antara satuan wacana, baik lisan maupun tulisan, diungkapkan dalam rangka menyampaikan informasi tentang sesuatu. Gaya tuturan tergantung pada situasi dan posisi pembicara. Ayat-ayat harus menunjukkan kesinambungan semantik. Wacana tidak boleh mempunyai pernyataan-pernyataan yang bertentangan dengan ayat sebelumnya. Keutuhan suatu ujaran bergantung pada adanya hubungan semantik. Hal ini dapat menentukan ayat tersebut merupakan satu wacana atau hanya kumpulan ayat yang tidak teratur.

Hubungan dari segi semantik

[sunting | sunting sumber]

Hubungan Semantik Umum: Hubungan semantik umum juga dikenali sebagai kaitan semantik antara bagian-bagian wacana yang merujuk kepada penggunaan bentuk-bentuk pernyataan yang memperlihatkan hubungan dalam bentuk berikut:

  • Hubungan yang Berkaitan Sebab dan Akibat
  • Hubungan Pasangan
  • Hubungan Tempo Masa
  • Hubungan Kebenaran Kesahihan
  • Hubungan Ikatan
  • Hubungan Prafrasa
  • Hubungan Penekanan
  • Hubungan Suasana dan Perlakuan

Hubungan Semantik Interaktif

[sunting | sunting sumber]

Hubungan semantik interaktif banyak berfungsi dalam wacana lisan. Bertujuan untuk menimbulkan respon atau tindak balas dari pendengar. Terdapat tiga bentuk asas aplikasi semantik dalam pembicaraan yaitu inisiatif, respon dan susulan.

a.Inisiatif

Inisiatif merujuk kepada langkah atau tindakan yang diambil untuk mencapai tujuan tertentu. Bisa diandaikan bahwa bagaimana makna perkataan atau konsep berinteraksi atau berkait antara satu sama lain dalam usaha mencapai matlamat atau inisiatif tertentu. Ia juga bisa merujuk kepada bagaimana komunikasi dan kerjasama antara pihak berkepentingan dalam sesuatu inisiatif boleh mempengaruhi pemahaman bersama tentang makna perkataan dan konsep tertentu, serta bagaimana pemahaman ini mempengaruhi pelaksanaan inisiatif. Inisiatif adalah penting untuk memahami cara komunikasi, kerjasama dan pemahaman bersama mempengaruhi pelaksanaan dan hasil.

Contoh : "Saya lapar".

b.Respon

Hubungan semantik interaktif sebagai respons merujuk kepada cara makna teks dipengaruhi oleh konteks interaksi antara penutur dan pendengar atau antara penulis dan pembaca. Ini termasuk bagaimana makna ayat atau ujaran boleh berubah bergantung kepada konteks perkataan atau penulisan yang berlaku. Sebagai contoh, dalam perkataan, maksud ayat boleh diubah atau dijelaskan dengan respons yang diberikan oleh orang lain. Jika seseorang bertanya "Saya lapar", jawaban dari orang lain seperti "ayo/mari makan" akan menunjukkan bahawa mereka sadar dan bertindak balas terhadap keperluan yang dinyatakan.

c.Susulan

Susulan menunjukkan antara makna dan hubungan semantik dalam konteks penyiasatan susulan atau penyelidikan susulan. Ia boleh merujuk kepada cara makna perkataan, frasa atau ayat berinteraksi antara satu sama lain dalam konteks tertentu, serta bagaimana hubungan semantik antara unsur bahasa mempengaruhi pemahaman keseluruhan. Dalam konteks penyelidikan susulan, ini mungkin bermakna meneroka lebih mendalam hubungan antara makna perkataan atau konsep dalam teks atau bahasa.

Keutuhan Fonologi

[sunting | sunting sumber]

Keutuhan fonologi boleh dilihat dari aspek segi hentian suara, nada suara dan intonasi suara. Intonasi dapat menimbulkan hubungan semantik di antara bagian wacana. Hal ini dikatakan demikian karena intonasi berperanan penting sebagai penanda, pemisah frasa dan pembeda struktur ayat. Keutuhan fonologi juga terbagi kepada dua unsur paralinguistik yang dapat membantu pemahaman tentang sesuatu wacana yaitu:

  1. Wacana Tulisan: Unsur-unsur para linguistik ini ialah alat-alat yang digunakan untuk menjelaskan persembahan wacana seperti tanda baca termasuk noktah, koma, tanda tanya, titik bertindih dan sebagainya.
  2. Wacana Lisan: Ekspresi wajah yaitu keadaan mimik wajah serta gerakan tangan dan badan merupakan alat-alat untuk membantu memahami ujaran.

Intonasi memainkan peranan penting dalam menunjukkan jenis ayat, seperti pernyataan, soalan, atau seruan. Dalam bahasa pertuturan, intonasi melibatkan variasi dalam nada suara yang digunakan dalam pertuturan untuk menyampaikan makna atau perasaan tertentu.

Secara umumnya, perbezaan intonasi atau hentian dalam soalan dan pernyataan boleh mempengaruhi cara kita memahami dan mentafsir ayat. Dalam situasi pertanyaan soalan, intonasi sering naik pada akhir ayat, manakala dalam pernyataan, intonasi boleh kekal sama atau jatuh sedikit. Oleh itu, walaupun perkataan dalam kedua-dua ayat adalah sama, perbedaan intonasi dapat menunjukkan perbedaan fungsi atau makna.

Keutuhan Leksikal

[sunting | sunting sumber]

Keutuhan leksikal dalam Bahasa Melayu adalah aspek penting dalam mengekalkan keaslian dan konsistensi kata-kata dalam penggunaan harian. Ini merangkumi pematuhan terhadap ejaan, makna, dan bentuk kata. Secara umum, sistem ejaan Rumi/latin dan Jawi perlu dihormati untuk memastikan penggunaan yang betul dan konsisten dalam penulisan. Pematuhan terhadap keutuhan leksikal ini memainkan peranan penting dalam memastikan komunikasi yang tepat dan memudahkan pemahaman antara penutur bahasa Melayu. Bagi mencapai keutuhan leksikal secara terperinci, penulis perlu memperhatikan peraturan ejaan yang ditetapkan, menghindari penggunaan perkataan yang tidak baku, dan memahami konteks penggunaan sesuatu kata untuk mengelakkan kekeliruan atau salah paham. Keaslian dan keutuhan dalam penggunaan kata-kata juga penting untuk mengekalkan identitas bahasa dan kebudayaan Melayu. Dengan menjaga keutuhan leksikal secara rapi, kita dapat mengekalkan kekayaan bahasa dan memastikan warisan linguistik yang kukuh untuk generasi yang akan datang. Keutuhan leksikal dapat dilihat di dalam beberapa bentuk seperti:

Pembuka dan Penutup

[sunting | sunting sumber]
  • Dalam konteks pembukaan dan penutupan, keutuhan leksikal memainkan peranan yang penting dalam menyampaikan maklumat secara jelas dan memberikan kesan yang positif kepada pembaca atau pendengar. Pembukaan yang mematuhi keutuhan leksikal dapat menarik perhatian dengan menggunakan perkataan yang tepat dan sesuai dengan tujuan komunikasi. Pemilihan kata yang kreatif dan padat memastikan pesan disampaikan dengan jelas dan memikat minat. Sebaliknya, penutupan yang memperlihatkan keutuhan leksikal menegaskan kesimpulan dengan kuat, meninggalkan kesan yang berkesan.
  • Dalam pembukaan dan penutupan, keutuhan leksikal memastikan penggunaan kata yang tepat dan gaya penulisan yang sesuai, mencipta kesan positif. Contoh ayat: “Pembukaan yang memikat perhatian dan penutupan yang padat memberikan dimensi yang kuat kepada komunikasi. Misalnya, dalam sebuah ceramah, pemilihan kata yang kreatif di awal dapat memikat pendengar 'Dalam zaman yang serba canggih ini...' Manakala penutup yang kemas meninggalkan kesan yang berkesan: 'Dengan itu, mari kita bersama-sama membina masa depan yang lebih cerah untuk generasi akan datang.”

Keutuhan leksikal dalam konteks kolokasi melibatkan penggunaan kata-kata yang secara semantik sering kali digunakan bersama-sama untuk membentuk ungkapan atau frasa yang maknanya lebih khusus. Memahami kolokasi ini memainkan peranan penting dalam memastikan kejelasan dan keaslian komunikasi. Sebagai contoh, kolokasi yang umum dalam Bahasa Melayu adalah "membuat keputusan," di mana kata kerja "membuat" dan kata benda "keputusan" sering digunakan bersama untuk menyatakan tindakan mengambil keputusan. Penggunaan yang tepat dalam konteks ini menghormati keutuhan leksikal dan memastikan pesan disampaikan dengan jelas. Oleh itu, pemahaman dan penggunaan kolokasi dengan betul adalah penting untuk memelihara keaslian dan kejelasan dalam komunikasi bahasa.

Pengulangan

[sunting | sunting sumber]

Dalam konteks pengulangan, keutuhan leksikal merujuk kepada pemilihan kata atau frasa yang bersifat konsisten untuk menghindari kekeliruan. Penggunaan kata atau frasa yang sama secara berulang dalam suatu teks atau percakapan memperkokoh kejelasan dan memberikan kesan yang teratur. Pemahaman aspek ini adalah penting untuk memastikan bahawa pesan disampaikan dengan tepat dan mudah dipahami. Sebagai contoh, dalam satu perkataan formal, pengulangan kata ganti "beliau" sebagai pengganti nama diri seseorang mengekalkan keutuhan leksikal dan menunjukkan penuh hormat. Dengan memahami dan mengamalkan keutuhan leksikal dalam pengulangan, kita dapat mencapai ketelusan dan konsistensi yang diperlukan dalam komunikasi bahasa.

Persamaan Leksikal

[sunting | sunting sumber]

Dalam konteks persamaan leksikal, keutuhan leksikal merujuk kepada konsistensi dan keselarasan dalam penggunaan kata-kata atau frasa yang mempunyai makna serupa. Pemilihan kata-kata dengan persamaan leksikal dapat memperkokoh makna dan memberikan variasi yang sesuai dalam komunikasi. Penting untuk menjaga persamaan leksikal agar tidak menimbulkan kekeliruan dalam penyampaian maklumat. Sebagai contoh, dalam satu laporan kaji selidik, istilah seperti "pengguna" dan "pelanggan" dapat digunakan secara bersamaan untuk merujuk kepada individu yang menggunakan sesuatu jasa atau produk. Dengan memelihara persamaan leksikal, kita dapat mencapai kejelasan dan kohesi dalam penyampaian maklumat, memastikan pemahaman yang tepat oleh penerima maklumat.

  • Hiponim merujuk kepada kata-kata yang mempunyai makna yang lebih spesifik atau terperinci berbanding dengan kata-kata yang lebih umum atau luas. Dalam konteks keutuhan leksikal Bahasa Melayu, contoh hiponim untuk keutuhan leksikal bisa termasuk pematuhan terhadap peraturan ejaan.
  • Penggunaan ejaan yang benar adalah penting dalam menjaga keutuhan leksikal Bahasa Melayu Malaysia. Sebagai contoh, perkataan 'sesuatu' sepatutnya ditulis dengan huruf 's' ganda, bukan 'suatu', untuk memastikan pematuhan terhadap peraturan ejaan yang ditetapkan.

Keutuhan leksikal dalam Bahasa Melayu adalah aspek penting untuk memelihara keaslian dan konsistensi kata-kata dalam komunikasi harian. Ini mencakup pematuhan terhadap ejaan Rumi dan Jawi, serta penjagaan terhadap makna dan bentuk kata. ms:Profesor Emeritus Dr. Asmah Haji Omar, tokoh terkemuka dalam bidang linguistik, menekankan betapa pentingnya keutuhan leksikal dalam memelihara kekayaan budaya dan bahasa Melayu. Beliau berpendapat bahawa usaha bersama masyarakat, pendidik, dan pihak berkuasa diperlukan untuk memastikan bahawa bahasa ini terus berkembang tanpa mengorbankan keaslian bahasa itu sendiri.

Keutuhan Tatabahasa atau Gramatikal

[sunting | sunting sumber]

Keutuhan gramatikal adalah hubungan wacana yang berkaitan dengan tatabahasa. Wacana yang berkualiti dapat memperlihatkan hubungan yang berturutan atau teratur  dalam sesuatu wacana serta terdapat urutan atau koheren dan kohesi. Keutuhan gramatikal berfungsi sebagai penghuraian yang memastikan terdapat kesinambungan makna dan struktur dalam sebuah wacana. Hal ini dapat dicapai melalui perkaitan di antara unsur tatabahasa, penggunaan penanda rujukan dan hubungan antara kata dengan benda yang dirujuk. Terdapat tiga jenis keutuhan gramatikal:

Kohesi Gramatikal

[sunting | sunting sumber]

Kohesi gramatikal merujuk kepada perkaitan di antara unsur tatabahasa dalam wacana, seperti pengulangan kata, penggunaan sinonim dan penggunaan konjungsi. Ia bertujuan untuk memastikan terdapat kesinambungan struktur tatabahasa dalam wacana sehingga wacana tersebut lebih mudah dipahami dan mempunyai kualitas yang baik. Sebagai contoh, dalam kalimat “Dia pergi ke kedai, kemudian dia membeli beberapa buah.”. Pengulangan kata “dia” menunjukkan terdapatnya kohesi gramatikal. Selain itu, penggunaan sinonim seperti “membeli” sebagai pengganti kata “membeli” juga merupakan contoh dari kohesi gramatikal. Selain itu, kolokasi dalam kohesi gramatikal juga dapat digunakan dengan mengenal pasti penggunaan kata-kata yang cenderung untuk memiliki hubungan makna yang erat.  Dalam sebuah wacana, penggunaan kolokasi yang tepat dapat meningkatkan kohesi gramatikal dengan cara memperkuat hubungan di antara unsur kata dan ayat. Oleh itu, penggunaan kolokasi yang tepat dapat membantu dalam meningkatkan kohesi gramatikal dalam sebuah wacana.

Pengguna Penanda Rujukan

[sunting | sunting sumber]

Penggunaan penanda rujukan melibatkan penggunaan kata ganti, kata keterangan atau kata penghubung untuk merujuk kepada unsur-unsur dalam wacana. Sebagai contoh kata ganti benda, penggunaan kata “itu” atau “ini” untuk merujuk kepada benda atau objek tertentu dalam wacana. Bagi keterangan waktu, penggunaan “kemarin” atau “hari ini” untuk merujuk kepada waktu tertentu dalam wacana. Bagi kata penghubung, penggunaan “karena” atau “sehingga” untuk menghubungkan antara alasan dan hasil dari sesuatu peristiwa dalam wacana.

Hubungan antara Kata dan Benda yang Dirujuk

[sunting | sunting sumber]

Hubungan antara kata dan benda yang dirujuk merupakan sebagian dari keutuhan gramatikal yang terkait dengan penggunaan kata-kata untuk merujuk kepada benda atau objek tertentu dalam wacana. Penggunaan penanda rujukan yang mempunyai ciri keutuhan gramatikal  meliputi penggunaan kata ganti nama orang  seperti “saya”, “dia”, “kamu”, “mereka” dan kata ganti lainnya. Hal ini menegaskan bahwa betapa pentingnya penggunaan kata ganti untuk merujuk kepada unsur-unsur dalam wacana untuk menjaga keutuhan gramatikal.

Contoh keutuhan gramatikal dalam sebuah wacana adalah penggunaan penanda rujukan yang mempunyai ciri keutuhan gramatikal seperti penggunaan kata ganti, kata keterangan atau kata penghubung untuk merujuk kepada unsur-unsur dalam wacana. Selain itu, keutuhan gramatikal juga dapat dilihat dari kesinambungan struktur tatabahasa dalam wacana seperti pengulangan kata, penggunaan sinonim dan penggunaan konjungsi. Sebagai contoh, dalam sebuah wacana tentang kegiatan olahraga, dapat ditemukan penggunaan kata ganti nama “mereka” untuk merujuk kepada para atlet yang sedang berlumba, serta penggunaan konjungsi “karena” untuk menghubungkan antara alasan dan kegiatan olahraga tersebut.. Bagi mengenal pasti keutuhan gramatikal dalam sebuah wacana, terdapat kesinambungan tatabahasa, penggunaan konjungsi, pengulangan kata, penggunaan sinonim dan penggunaan kata ganti atau kata keterangan. Hal ini akan membantu dalam memastikan adanya kohesi dan koheren dalam wacana yang merupakan ciri keutuhan gramatikal. Selain itu, penanda rujukan yang mempunyai ciri keutuhan gramatikal juga dapat menjadi petunjuk dalam mengenal pasti keutuhan gramatikal dalam sesebuah wacana.

Terdapat beberapa cara untuk mengatasi keutuhan gramatikal dalam sesebuah wacana dimana keutuhan gramatikal dalam sebuah wacana dapat dijaga dengan baik sehingga wacana itu lebih mudah dipahami.

  1. Pemilihan Kata atau Ayat yang Tepat: Pemilihan kata atau ayat yang tepat dapat memastikan ia sesuai dengan tatabahasa untuk menjaga kohesi dan koheren dalam wacana.
  2. Penggunaan Kata Hubung yang Tepat: Kata hubung digunakan untuk menghubungkan ayat dalam sebuah wacana. Penggunaan kata hubung yang tepat akan membantu menjaga keutuhan gramatikal dalam wacana.
  3. Penggunaan Sinonim dan Kata Penghubung: Penggunaan sinonim dan kata penghubung yang tepat akan membantu menjaga kohesi dan koheren dalam wacana sehingga memperkuat keutuhan gramatikal.

Kerangka Teori Keutuhan Wacana

[sunting | sunting sumber]

Wacana ialah satu set perkataan atau frasa yang kerap, hampir selalu, digunakan dalam konteks sosial yang berbeda. Khususnya, fakta dan isu perkataan atau istilah wacana yang sering digunakan dapat diperhatikan dalam interaksi dan komunikasi orang terpelajar yaitu dalam konteks formal dan tidak formal. Contohnya, ketika aktivitas bercakap secara individu melalui alat peranti untuk menggunakan teknologi maklumat. Walau bagaimanapun, beberapa bukti menunjukkan bahwa tindak balas mereka terhadap arahan yang dikemukakan kepada mereka seperti "Apakah wacana?"  adalah berbeda secara drastis. Perkara ini adalah logika bahwa terdapat pelbagai jawaban kepada soalan ini memandang perkataan dan frasa wacana mempunyai pelbagai makna dan konotasi.

Dalam konteks ini, istilah dan frasa wacana hanya dipahami oleh kalangan ini sebagai wacana lisan, membolehkan seseorang mempercayai bahwa ia mempunyai makna yang sama dengan ucapan atau pembicaraan. Walaupun pada hakikatnya berdasarkan medium penyampaian, wacana juga boleh boleh didapati dalam bentuk tulisan seperti buku, artikel, pendapat, dan sebagainya. Linguistik merupakan bidang pengajian yang memfokuskan bahasa sebagai sistem tanda seperti dalam mata pelajaran akademik yang lain. Oleh itu, perkataan dan istilah wacana mempunyai makna yang berbeda. Berbagai pengetahuan dihasilkan apabila penggunaan penterjemah latar belakang yang berbeda dari segi pemikiran yang memberi tumpuan kepada pemahaman dan penyampaian perkataan atau konsep wacana. Namun begitu, wacana mementingkan bahasa yang digunakan berdasarkan teori beberapa pengarang dan pakar linguistik yaitu Moeliono (1988). Kerangka pemahaman dan makna ini berkait rapat dengan fungsi dan kegunaan bahasa dalam penggunaannya sebagai alat atau medium komunikasi yang dianggap paling berkesan dalam konteks kehidupan masyarakat sebagai penutur subjek bahasa berkenaan yang dalam perspektif sosiolinguistik dipanggil komunikasi pertuturan (Labu Djuli et.al, 2020).

Dalam konteks masyarakat, ide menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi yang paling cekap bertujuan untuk mendedahkan pemikiran, perasaan dan pengalaman individu dalam dunia nyata atau dunia di mana individu membayangkan bahwa objek wujud sebagai rujukan. Hal ini dikatakan demikian karena item rujukan wujud pada tahap konsep atau emosi. Melalui konsep ini, mengetahui dan memahami makna unit linguistik yang digunakan dalam wacana atau teks wacana memerlukan maklumat yang cukup tentang sifat wacana dan bagian konstituennya, termasuk pengetahuan tentang komponen yang mengekalkan keutuhan wacana. Secara umumnya, terdapat dua kategori unsur yang membentuk keutuhan teks wacana atau wacana yaitu:

  1. Unsur Dalaman: Unsur dalaman adalah mengenai aspek formal bahasa yang digunakan dalam teks wacana atau teks wacana.
  2. Unsur Luaran: Unsur luaran adalah mengenai kerangka wacana yang terlibat secara spesifik yaitu tidak terkandung dalam wacana atau teks.

Unsur-unsur luaran dikemukakan dan dijelaskan sebagai sumber atau peralatan untuk membentuk keutuhan wacana. Perkara itu turut diikuti bersama dengan unsur-unsur dalaman yang berkaitan dengan aspek formal bahasa atau satuan linguistik sebagai alat serta peralatan untuk membentuk wacana atau teks wacana. Faktor rujukan dan inferens berhubung dengan fungsi dan kegunaannya sebagai alat linguistik merupakan unsur luaran yang membentuk keutuhan wacana. Namun, perkara utama yang menarik sasaran maklumat atau perbincangan membuktikkan elemen luaran ini mempunyai bidang yang sangat luas.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Kushartanti, Yuwono, U., dan Lauder, L. RMT. (2007). Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm. 92. ISBN 978-979-221-681-3. 
  2. ^ Saputri, Windi (2021). Winoto, Darmawan Edi, ed. Tindak Tutur Wacana Rubrik (PDF). Purbalingga: Eureka Media Aksara. hlm. 25. ISBN 978-623-97391-2-6. 
  3. ^ Tim Dosen Bahasa Indonesia Universitas Islam Bandung (2017). Buku Ajar Bahasa Indonesia (PDF). Bandung: Lembaga Studi Islam dan Pengembangan Kepribadian (LSIPK) Universitas Islam Bandung. hlm. 68. ISBN 978-602-71823-7-0. 
  4. ^ Malini, Ni Luh Nyoman Seri (2016). Pastika, I Wayan, ed. Analisis Wacana (Wacana Dakwah di Kampung Muslim Bali (PDF). Denpasar: Cakra Press. hlm. 3. ISBN 978-602-9320-21-3. 
  5. ^ Hamad, Ibnu (2007). "Lebih Dekat dengan Analisis Wacana" (PDF). MediaTor. 8 (2): 328. 
  6. ^ Alwasilah, A, Chaedar. Pengantar Penelitian Linguistik Terapan (PDF). Jakarta: Pusat Bahasa. hlm. 67. ISBN 979-685-512-7. 
  7. ^ Rohana dan Syamsuddin (2015). Analisis Wacana (PDF). Makassar: CV. Samudra Alif Mim. hlm. 1. ISBN 978-602-73810-1-8. 
  8. ^ Jumadi (2017). Rafiek, M., ed. Wacana, Kekuasaan, dan Pendidikan Bahasa (PDF). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 2. ISBN 978-602-229-824-3. 
  9. ^ Goziyah (2019). "Analisis Wacana Kritis Film Rudy Habibie dalam Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa" (PDF). Diksa: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 5 (2): 78. 
  10. ^ Ayu, Dewi Mutiara Indah (2016). "Ketidakwajaran dalam Penerjemahan The 8th Habits from Effectiveness to Greatness ke dalam Bahasa Indonesia" (PDF). Prosiding Seminar Tahunan Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia 2016. Penerbit Prodi Linguistik SPs UPI: 108. 
  11. ^ Iqbal, M., Azwardi, dan Taib, R. (2017). Linguistik Umum. Syiah Kuala University Press. hlm. 240. ISBN 978-602-5679-00-1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-14. Diakses tanggal 2021-12-14. 
  12. ^ Fauzan, Umar (2016). Analisis Wacana Kritis: Menguak Ideologi dalam Wacana (PDF). Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta. hlm. 2. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-12-15. Diakses tanggal 2021-12-15. 
  13. ^ Fradana, A. N., dan Suwarta, N. (2020). Rezania, Vanda, ed. Buku Ajar Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Sidoarjo: Umsida Press. hlm. 5. ISBN 978-623-6833-95-7. 
  14. ^ Al-Ma’ruf, A. I., dan Nugrahani, F. (2017). Saddhono, Kundharu, ed. Pengkajian Sastra: Teori dan Aplikasi (PDF). Surakarta: CV. Djiwa Amarta Press. hlm. 95. ISBN 978-602-60585-8-4. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2022-06-08. Diakses tanggal 2021-12-15. 
  15. ^ Rahardi, R. Kunjana (2020). Pragmatik: Konteks Ekstralinguistik dalam Perspektif Cyberpragmatics (PDF). Yogyakarta: Penerbit Amara Books. hlm. 142–143. ISBN 978-623-7042-46-4. 
  16. ^ Beratha, Ni Luh Sutjiati (2020). "Ideologi Penggunaan Bahasa Bali di Kelurahan Ubud" (PDF). Prosiding Seminar Nasional Bahasa Ibu XII dan Lokakarya Pelestarian Bahasa Ibu II. Udayana University Press: 45. ISBN 978-602-294-403-4. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-12-15. Diakses tanggal 2021-12-15. 
  17. ^ Ratnaningsih, Dewi (2019). Sumarno dan Widayati, S., ed. Analisis Wacana Kirtis: Sebuah Teori dan Implementasi (PDF). Lampung Utara: Universitas Muhammadiyah Kotabumi. hlm. 1–2. ISBN 978-602-60227-3-8. 
  18. ^ R, Syahrul (Juli 2005). "PERSPEKTIF IDEOLOGI DALAM WACANA SILANG TUTUR "KONVENSI PARTAI GOLKAR"". Diksi. 12 (2).  line feed character di |title= pada posisi 46 (bantuan)
  19. ^ Wiharja, Irpa Anggriani (2019). "Suara Miring Konten YouTube Channel Deddy Corbuzier di Era Society (Analisis Wacana Kritis)". Prosiding Seminar Nasional Bulan Bahasa 2019: 223. ISBN 978-623-707438-0. 
  20. ^ Nesi, A., dan Sarwoyo, V. (2012). Kerans, Hendrik L., ed. Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur. Flores: Penerbit Nusa Indah. hlm. 21. 
  21. ^ Badru, S., Saptarini, T., dan Suladi (2003). Pemahaman dan Penguasaan Siswa Kelas VI SD DKI Jakarta terhadap Wacana Bahasa Indonesia (PDF). Jakarta: Pusat Bahasa. hlm. 3. ISBN 979-685-370-1. 
  22. ^ Arnawa, Negah (2008). Wawasan Linguistik dan Pengajaran Bahasa (PDF). Denpasar: Pelawa Sari. hlm. 114. ISBN 978-979-17302-6-6. 
  23. ^ Aziez, Furqanul (ed.). Struktur Bahasa Indonesia dalam Gaya Berpikir: Kajian Berdasarkan Ancangan Aspek Kebahasaan Karangan (PDF). Purwokerto: CV. IRDH. hlm. 37. ISBN 978-623-7718-12-3. 
  24. ^ Zubaedi (2013). Pengembangan Masyarakat: Wacana dan Praktik (PDF). Jakarta: Kencana. hlm. 15. ISBN 978-602-9413-79-3. 
  25. ^ Hudiyono, Yusak (2021). Mulawarman, W. G., dan Rokhmansyah, A., ed. Wacana Percakapan Instruksional: Kajian Struktur, Strategi, dan Fungsi. Yogyakarta: CV Istana Agency. hlm. 1. ISBN 978-623-7313-93-9. 
  26. ^ Damayanti, R., dan Suryandari, S. (2017). Psikolinguistik: Tinjauan Bahasa Alay dan Cyberbullying (PDF). Kresna Bina Insan Prima. hlm. 18. ISBN 978-602-6276-24-7. 
  27. ^ Gemiharto, Ilham (2016). Aryanti, Nina Yudha, ed. "Pemanfaatan Teknologi Komunikasi Sebagai media Informasi Pasar oleh Kelompok Petani: Studi Kasus Pemanfaatan SMS Gateway sebagai Sumber Informasi Pasar oleh Kelompok Petani Nilam di Kabupaten Sumedang" (PDF). Prosiding Seminar Nasional Komunikasi 2016. Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Lampung: 228. ISBN 978-602-60412-0-3. 
  28. ^ Hamidah (2017). Filsafat Pembelajaran Bahasa: Perspektif Strukturalisme dan Pragmatisme (PDF). Bantul: Naila Pustaka. hlm. 56. ISBN 978-602-1290-43-9. 
  29. ^ Dosen Jurusan Komunikasi Fisip Unib (2019). Rozi, Achmad, ed. Bunga Rampai Riset Komunikasi Edisi 2 (PDF). Serang: Desanta Muliavisitama. hlm. 4. ISBN 978-623-7019-71-8. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-12-15. Diakses tanggal 2021-12-15. 
  30. ^ Makmur, A., dan Biantoro, S., ed. (2014). Ketahanan Budaya: Pemikiran dan Wacana (PDF). Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan dan Insignia. hlm. 46–47. ISBN 978-602-1489345. 
  31. ^ Suyitno, Imam (2015). Analisis Wacana Budaya: Refleksi Budaya Etnik Dalam Kosakata Wacana (PDF). UM Press. hlm. 5. ISBN 978-979-495-800-1. 
  32. ^ Jumadi (2010). Pamungkas, Daud, ed. Wacana: Kajian Kekuasaan Berdasarkan Ancangan Etnografi Komunikasi dan Pragmatik (PDF). Yogyakarta: Pustaka Prisma. hlm. 2–3. ISBN 979-17083-3-9.