Tanam paksa
Sistem tanam paksa (Belanda: cultuurstelsel ) adalah penerapan aturan secara paksa yang dilaksanakan pemerintahan Belanda ke atas jajahan-jajahan Hindia Timurnya (sekarang Indonesia) pada pertengahan abad ke-19 dimulakan dari penyerahan sebahagian besar hasil pertanian atau barang dagangan tertentu khususnya tanaman kopi kepada pihak penjajah; ia ditetapkan dalam peraturan dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830.[1]
Keadaan sistem ini yang mendatangkan kesengsaraan kepada jajahannya menyebabkannya dihentikan kemudian setelah muncul berbagai kritikan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria 1870 dan Undang-Undang Gula 1870 memulakan zaman liberalisasi ekonomi dalam sejarah penjajahan Indonesia.
Latar belakang
[sunting | sunting sumber]Kesan dampak
[sunting | sunting sumber]Terhadap pertanian
[sunting | sunting sumber]Cultuurstelsel menandakan bermulainya penanaman tanaman komoditas pendatang di Indonesia secara luas. Kopi dan teh, yang semula hanya ditanam untuk kepentingan keindahan taman mulai dikembangkan secara luas. Tebu, yang merupakan tanaman asli, menjadi populer pula setelah sebelumnya, pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada tanaman "tradisional" penghasil rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkih.
Namun, penanaman tanaman dagangan seperti tarum atau gula mencetuskan kebuluran akibat kekurangan bekalan makanan yang diketepikan; wabak penyakit pada tahun 1840-an yang berlaku di Cirebon dan Jawa Tengah merupakan contoh paling kuat diingati dari kemudaratan dibawa sistem ini.[2] Hal pemerosotan ini meningkatkan kesedaran pemerintah koloni akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil komoditas pertanian, dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian. Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan Undang-Undang Agraria 1870 kegiatan penelitian pertanian dilakukan secara serius.
Terhadap masyarakat
[sunting | sunting sumber]Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai hamba, melainkan terjadinya kesamaan sosial dan ekonomi yang berprinsip pada penyamarataan dalam pembahagian tanah. Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri. Hal ini terjadi karena penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.
Terhadap ekonomi
[sunting | sunting sumber]Dasar ini meraih kekayaan besar kepada pihak penjajah Belanda melalui pertumbuhan eksport rata-rata sekitar 14% lalu memulihkan Belanda dari ambang kemuflisan sambil menjadikan Hindia Belanda mampan sendiri dan menguntungkan dengan cepat. Pada awal tahun 1831, dasar itu memungkinkan perbelanjaan menampung pemerintahan ke atas Hindia Belanda menyeimbang sambil lebihan pendapatan digunakan untuk membayar hutang yang tersisa dari tanggungan syarikat VOC yang dibubarkan.[3]
Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotong royong terutama tampak di kota-kota pelabuhan mahupun di kilang ("pabrik", dari kata Belanda fabriek) gula. Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.
Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” iaitu suatu kerja paksaan bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jambatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk askar-askar jajahan. Di samping itu, penduduk desa se tempat diwajibkan memelihara dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut surat-surat, barang-barang dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan melakukan berbagai macam pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan ketua-ketua desa itu sendiri.
Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ Goh, Taro (1998). Communal Land Tenure in Nineteenth-century Java: The Formation of Western Images of the Eastern Village Community (dalam bahasa Inggeris). Department of Anthropology, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University. m/s. 14. ISBN 978-0-7315-3200-1.
- ^ Schendel, Willem van (17 June 2016). Embedding Agricultural Commodities: Using Historical Evidence, 1840s–1940s, edited by Willem van Schendel, from google (cultivation system java famine) result 10. ISBN 9781317144977.
- ^ 1