My research interest falls into four categories: (1) ethnolinguistics with Javanese and Indonesian languages as core areas, (2) philology in the context of Java and Malay writing manuscripts, (3) verbal art performance focusing on the variant performance of Javanese style, (4) Islam and Pesantren tradition in the context of Java and the Malay world. My earlier writings on these four major interests were published in professional journals (i.e, Linguistik Indonesia and Widyaparwa) and chapter books (i.e., Membaca Ulang Max Havelaar, Tumpeng Akademik untuk Pak Effendi Kadarisman). I am currently doing a Ph.D. project at LIAS Leiden University under the project title “Javanese Incantatory Poems in Two Traditions: A Comparative Study on Ritual Art Performance of Javanese Incantatory Poetry (Mantra Kidung Jawa) and Islamic Spells (Ḥizb)”. Supervisors: Prof. Bernard Arps
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap pemahaman generasi muda Jawa atas ragam panggung bahasa... more Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap pemahaman generasi muda Jawa atas ragam panggung bahasa Jawa (RPBJ). Instrumen yang dibuat untuk penelitian ini berupa pertunjukan wayang kulit dalam dua adegan. Adegan pertama menggambarkan deskripsi pertapaan (kandha) dan adegan kedua memuat pemberian wejangan Dewa Ruci kepada Werkudara (ginem). Kedua adegan tersebut diperagakan oleh dalang Ki Purbo Asmara. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Responden penelitian sejumlah 100 responden, yang diambil dari dua kampus: mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya (FIB-UB) dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (FS-UM), yang tentu saja memenuhi kriteria sebagai responden penelitian. Teknik wawancara mendalam dilakukan untuk mengungkap keinginan dan tanggapan generasi muda Jawa atas RPBJ. Selain itu, digunakan juga dua responden yang mampu menguasai RPBJ dengan baik, sebagai contoh ideal penggunaan RPBJ (bench-mark). Hasil penelitian ini menunjukka...
There have been five congresses on Javanese language from 1991 to 2011. This indicates that there... more There have been five congresses on Javanese language from 1991 to 2011. This indicates that there has been an effort to strengthen the Javanese identity through language engineering programs. There is an assumption that the Javanese people, especially the younger generation, nowadays tend to be monolingual than bilingual (Cohn & Ravindranath, 2014). Is Javanese language internally unable to face globalization challenges, and as a result it suffers from “impotence” and “complication”? (Djatmika, 2010). This article attempts to address the following question: What are the obstacles faced by Javanese language during its process of development? This article is based on the argument that the Javanese language planning through the language engineering program does not incorporate the ‘collective dream’ of its native speakers. The sources of data for this article come from the documents of Javanese congresses I-V and language policy documents pertaining to Javanese language preservation.
Abstrak: Mahasiswa Tunarungu menghadapi kesulitan penguasaan bahasa, khususnya memahami leksem ya... more Abstrak: Mahasiswa Tunarungu menghadapi kesulitan penguasaan bahasa, khususnya memahami leksem yang berkonsep Abstrak dan Emosi. Hal ini dikarenakan tunarungu sangat mengandalkan referent (acuan) dalam memahami makna kata. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) bagaimanakah tingkat pemahaman tunarungu terhadap leksem yang berkonsep emosi dan abstrak, (2) Apakah latar belakang pendidikan mahasiswa tunarungu (SMA atau SMA LB) berperan dalam membentuk pemahaman arti abstrak dan emosi? Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan tes tertulis yang berisikan soal leksem berkonsep abstrak dan emosi dengan acuan dan tanpa acuan (gambar). Analisis dilakukan dengan mempertimbangkan dua hal, yaitu pemahaman tunarungu terhadap arti leksem dan ketepatan konteks penggunaan leksem dalam kalimat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kata abstrak acuan tidak terlalu berpengaruh pada pemahaman tunarungu, sedangkan pada leksem emosi acuan berpengaruh dalam membantu tunarungu memahami makna leksem.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterampilan anak-anak Tuli di tataran penulisan narasi... more Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterampilan anak-anak Tuli di tataran penulisan narasi. Subjek penelitian ini adalah 37 siswa kelas 1 sampai kelas 6 Sekolah Dasar Luar Biasa Yayasan Pendidikan Tunas Bangsa (SDLB YPTB) Malang. Penelitian kualitatif ini menggunakan dua instrumen, yaitu (1) film bisu berdurasi enam menit The Pear Story ‘Kisah Buah Pir’ yang digunakan untuk memancing subjek menarasikan apa yang telah dilihat dan kemudian menuliskan film tersebut dalam bentuk narasi, (2) narrative scoring guidelines ‘panduan penilaian narasi’ yang mengukur keterampilan narasi pada tingkat mikro struktur yang meliputi kohesi naratif, kohesi referensial, penggunaan konjungsi, pembentukan kata-kata gramatikal, dan piranti-piranti naratif.
This research aims to reveal the understanding of Javanese young speakers in a performance varian... more This research aims to reveal the understanding of Javanese young speakers in a performance variant of Javanese (PVJ). A research instrument are two performance scenes of Javanese shadow puppet. The first scene portrays hermitage (pertapan) (kandha) and the second scene describes pontificate of Dewa Ruci to Werkudara (ginem) performed by Ki Purba Asmara as shadow puppeteer (dalang). This research uses quantitative descriptive methods. The respondents of this research are 100 undergraduate students taken from two Universities: faculty of cultural science from Brawijaya University and faculty of letters from state university of Malang. They are selected based on some of criteria. In-depth interview techniques is employed to reveal aspiration and response of Javanese young speakers on PVJ. Furthermore, two respondents who master the performance variant of Javanese (PJV) well are chosen as ideal model or bench-mark of PVJ. The finding shows that Javanese young speakers’ understanding on PJV as follows: good criteria amounted to 2%, sufficient criteria amounted to 7%, poor criteria amounted to 7%, and very poor amounted to 86%. This result indicates that Javanese young speakers is very unfamiliar with PJV and this situation leads to vulnerability of language, which is going to seriously endangered. Such circumstance is urgent to revitalize the language through a series of language policy engineering program.
There have been five congresses on Javanese language from 1991 to 2011. This indicates that there... more There have been five congresses on Javanese language from 1991 to 2011. This indicates that there has been an effort to strengthen the Javanese identity through language engineering programs. There is an assumption that the Javanese people, especially the younger generation, nowadays tend to be monolingual than bilingual (Cohn & Ravindranath, 2014). Is Javanese language internally unable to face globalization challenges, and as a result it suffers from " impotence " and " complication " ? (Djatmika, 2010). This article attempts to address the following question: What are the obstacles faced by Javanese language during its process of development? This article is based on the argument that the Javanese language planning through the language engineering program does not incorporate the 'collective dream' of its native speakers.The sources of data for this article come from the documents of Javanese congresses I-V and language policy documents pertaining to Javanese language preservation.
Mantra dalam kajian ini diambil dari Kitab Primbon Atasadhur Adammakna yang berbentuk kidung dan ... more Mantra dalam kajian ini diambil dari Kitab Primbon Atasadhur Adammakna yang berbentuk kidung dan japa mantra (wiridan). Mantra ini tergolong jenis mantra magi putih. Kidung ialah nyanyian, lagu, atau syair yang dinyanyikan, disebut juga puisi (dalam tembang Jawa). Kidung Mantraweda (selanjutnya ditulis dengan KM) yang lebih dikenal dengan Kidung Rumeksa Ing Wengi banyak dihafal oleh sebagian masyarakat Jawa. kajian ini akan mengkaji mantra dengan pendekatan analisis wacana dari aspek gramatikal dan aspek leksikal serta konteks mantra KM. Hasil penelitiaan ini menunjukkan bahwa mantra KM dari aspek gramatikal didominasi oleh aspek pengacuan (referensi) yang menggunakan bentuk pronomina persona terikat –ku, -ngwang dan bentuk bebas mami, sedangkan dari aspek leksikal didominasi penggunaan repetisi (pengulangan) yaitu repetisi anafora, anadiplosis, mesodiplosis, pengulangan pronomina persona, pengulangan jumlah baris, dan penghilangan bagian satuan lingual. Dari penemuan tersebut mengindikasikan bahwa pronomina persona pertama mengacu pada sang pelafal mantra KM atau sang pencipta KM yaitu Sunan Kalijaga, sedangkan banyaknya penggunaan repetisi mempunyai fungsi penguat sugesti alam bawah sadar pelafal mantra. Tuah mantra akan terwujud manakala diaktivasi dengan keyakinan dan pengulangan satuan lingual tertentu.
Mantra dalam kajian ini diambil dari Kitab Primbon Atasadhur Adammakna yang berbentuk kidung dan ... more Mantra dalam kajian ini diambil dari Kitab Primbon Atasadhur Adammakna yang berbentuk kidung dan japa mantra (wiridan). Mantra ini tergolong jenis mantra magi putih. Kidung ialah nyanyian, lagu, atau syair yang dinyanyikan, disebut juga puisi (dalam tembang Jawa). Kidung Mantraweda (selanjutnya ditulis dengan KM) yang lebih dikenal dengan Kidung Rumeksa Ing Wengi banyak dihafal oleh sebagian masyarakat Jawa. kajian ini akan mengkaji mantra dengan pendekatan analisis wacana dari aspek gramatikal dan aspek leksikal serta konteks mantra KM. Hasil penelitiaan ini menunjukkan bahwa mantra KM dari aspek gramatikal didominasi oleh aspek pengacuan (referensi) yang menggunakan bentuk pronomina persona terikat –ku, -ngwang dan bentuk bebas mami, sedangkan dari aspek leksikal didominasi penggunaan repetisi (pengulangan) yaitu repetisi anafora, anadiplosis, mesodiplosis, pengulangan pronomina persona, pengulangan jumlah baris, dan penghilangan bagian satuan lingual. Dari penemuan tersebut mengindikasikan bahwa pronomina persona pertama mengacu pada sang pelafal mantra KM atau sang pencipta KM yaitu Sunan Kalijaga, sedangkan banyaknya penggunaan repetisi mempunyai fungsi penguat sugesti alam bawah sadar pelafal mantra. Tuah mantra akan terwujud manakala diaktivasi dengan keyakinan dan pengulangan satuan lingual tertentu.
Tumpeng Akademik untuk Pak Effendi Kadarisman, 2020
Tulisan ini akan memfokuskan pada penggunaan kosakata Kawi atau lema klasik pada narasi penganti... more Tulisan ini akan memfokuskan pada penggunaan kosakata Kawi atau lema klasik pada narasi pengantin Jawa (Kadarisman, 1999: 151-164). Penggunaan kosakata Kawi juga masih dipertahankan penggunaanya dalam pertujukkan wayang kulit oleh Ki Purbo Asmoro (Emerson, 2016), pembahasan mengenai penggunaan kosakata Kawi dalam ragam panggung bahasa Jawa yang bersumber dari Ki Purbo Asmoro juga dibahas sekilas oleh (Widodo, Ardhian, & Rohman, 2017). Kosakata Kawi (tembung Kawi; basa Kawi) menjadi ciri yang melekat dalam pementasan Jawa, ia seolah-oleh telah menjadi fitur distingtif yang harus ada dalam pementasan Jawa (Becker, 1980:143). Ia direkacipta dengan mendayagunakan elemen bahasa Jawa Kuna yang ditampilkan dalam pementasan, maka padanan dalam bahasa Inggris oleh (Arps, 2016:630) diajukan sebagai archaic-poetic vocabularies. Kesan arkaik dan klasik ini juga dibahas oleh Kadarisman (1999:153) dengan istilah neologisme, yakni newly coined words or phrases which sound classical. Anasir klasik tersebut diupayakan hadir melalui penggalian dari akar bahasa Jawa Kuna. Penggalian akar klasik tersebut di saat yang sama juga menampik pungutan bahasa Asing lainnya, Melayu dan Arab. Kadarisman (1999:153-154) mencontohkan dengan talanging basa ‘orang yang ditugasi sebagai pengganti tuan rumah’ dan wakiling keluwarga ‘wakil dari keluarga’, talanging basa lebih memiliki daya klasik daripada wakiling keluwarga. Alasan ini oleh Kadarisman (1999:154) ditengarai karena wakil adalah lema pungutan bahasa Arab sehingga mengakibatkan lema pinjaman dari bahasa Asing merusak kadar klasik dalam bahasa pementasan. Dalam pemproduksian neologisme juga mengisyaratkan ‘pemurnian linguistik’ dengan lugas dan terang Kadarisman mengatakan “in brief, producing a classical discourse is in some way like an act of linguistic purification (1999:154)”. Argumentasi tersebut setelah dua puluh satu tahun berlalu belum ada yang menyangkal ataupun mendukung. Untuk itu, tulisan pendek ini akan memberikan gambaran lebih terang atas argumentasi tersebut dengan menghadirkan beberapa contoh dari bahasa Jawa Kuna.
Tulisan ini menyoal posisi “Max Havelaar sebagai karya sastra” (Sastrowardoyo, 1983) dan upaya me... more Tulisan ini menyoal posisi “Max Havelaar sebagai karya sastra” (Sastrowardoyo, 1983) dan upaya mendudukkannya “kembali” dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Rintisan pemartabatan Max Havelaar (selanjutnya disebut dengan MH) sebagai tonggak penting kesusastraan Indonesia telah dicanangkan oleh Siregar (1964), yang ia tasbihkan sebagai ‘mula sastera Indonesia modern’. Siregar (1954) juga menerjemahkan salah satu fragmen dalam MH, yakni Saijah Adinda dalam bahasa Indonesia dengan mengabaikan kepentingan penerjemahan itu sebagai propaganda politik anti-kolonialisme dan anti-imperialisme sebagaimana dituduhkan oleh Sastrowardoyo (1983; 1989). Tidak dapat dielakkan bahwa ada upaya penyusunan sejarah sastra Indonesia modern versi Siregar (Sambodja, 2009). Berbeda dengan Siregar (1960), Junus (1969); Jassin (1954); Teeuw (1955); Hooykaas (1951); Rosidi (1969); Sastrowardoyo (1989) tidak menjadikan MH sebagai posisi sentral dalam perjalanan kesusastraan Indonesia. Mereka hanya menyebut sepintas lalu keberadaannya. Ringkasnya, menjadikan MH sebagai titik-pangkal sastra Indonesia modern masih menjadi perdebatan dengan sejumlah argumentasi di kalangan pemerhati kesusasteran Indonesia. Keterkaitan dengan itu, tulisan ini menandaskan argumentasi bahwa tidak dimasukkannya MH dalam sejarah sastra Indonesia modern berarti mengabaikan pula peran Sastra Hindia Belanda (Indische Belletre) yang menjadi rujukan bagi roman-roman Indonesia pada tahap permulaan. Dengan pengabaian itu pula, kita--sebagai warga bangsa--, juga mengelak-menampik bahwa perjumpaan dan saling keterpengaruhan antara “penjajah” dan “yang-dijajah” pada masa itu adalah sebuah keniscayaan. Penyangkalan itu juga menuntun pada kondisi tidak jernihnya memandang problematika di wilayah sosial-politik. Melalui MH sejatinya tengah terjadi peralihan penguasaan kolonial dari penguasaan tunggal (monopolist) menjadi penguasaan makelar (middlemen) (Chaiklin, 2010). Dengan demikian, MH adalah “wakil sejarah” (Toer, 1964) dalam kesusastraan Indonesia yang tidak bisa diabaikan apalagi terampas dan luput disebut.
Kata Kunci: Sastra Indonesia Modern, Sastra Hindia Belanda, penguasaan tunggal, makelar
Mantra Kidung Jawa dalam buku ini menjadi bahasan utama ditelisik dari pendekatan etnopuitika. Pa... more Mantra Kidung Jawa dalam buku ini menjadi bahasan utama ditelisik dari pendekatan etnopuitika. Pada bab I dibahas penelitian-penelitian terdahulu tentang mantra Jawa, celah yang belum digarap, dan “pisau bedah” yang dipakai dalam buku ini. Kemudian, dalam bab II diuraikan keberadaan mantra, kitab primbon dalam masyarakat Jawa. Hal tersebut digunakan untuk memberi gambaran secara saksama mantra dalam lanskap kebudayaan Jawa. Pemaparan ini disusul dengan bagaimana mantra dalam Kitab Primbon Atashadur Adammakna digali, disajikan, dan diterjemahkan (bab III). Secara khusus anasir-anasir kebahasaan yang membangun dibahas secara mendalam dalam Bab IV.Bahasan selanjutnya membuhul-simpulkan aspek lingual dengan aspek transendental, yakni bahasan keselamatan, kesaktian, dan keyakinan, yang mengalasi motif pembacaan mantra. Selain itu, linguistik sinkretik menjadi temuan yang penting dalam buku ini. Ia menjadi bukti lingual untuk kajian lebih luas dalam bidang antropologi, kajian agama dan tradisi, dan kajian sastra pertunjukkan. Dalam bab akhir disajikan sejumlah perenungan atas tersungkur dan tersingkirnya tradisi pembacaan mantra saat ini dan sejumlah kontribusi teoretik dalam kajian linguistik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap pemahaman generasi muda Jawa atas ragam panggung bahasa... more Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap pemahaman generasi muda Jawa atas ragam panggung bahasa Jawa (RPBJ). Instrumen yang dibuat untuk penelitian ini berupa pertunjukan wayang kulit dalam dua adegan. Adegan pertama menggambarkan deskripsi pertapaan (kandha) dan adegan kedua memuat pemberian wejangan Dewa Ruci kepada Werkudara (ginem). Kedua adegan tersebut diperagakan oleh dalang Ki Purbo Asmara. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Responden penelitian sejumlah 100 responden, yang diambil dari dua kampus: mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya (FIB-UB) dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (FS-UM), yang tentu saja memenuhi kriteria sebagai responden penelitian. Teknik wawancara mendalam dilakukan untuk mengungkap keinginan dan tanggapan generasi muda Jawa atas RPBJ. Selain itu, digunakan juga dua responden yang mampu menguasai RPBJ dengan baik, sebagai contoh ideal penggunaan RPBJ (bench-mark). Hasil penelitian ini menunjukka...
There have been five congresses on Javanese language from 1991 to 2011. This indicates that there... more There have been five congresses on Javanese language from 1991 to 2011. This indicates that there has been an effort to strengthen the Javanese identity through language engineering programs. There is an assumption that the Javanese people, especially the younger generation, nowadays tend to be monolingual than bilingual (Cohn & Ravindranath, 2014). Is Javanese language internally unable to face globalization challenges, and as a result it suffers from “impotence” and “complication”? (Djatmika, 2010). This article attempts to address the following question: What are the obstacles faced by Javanese language during its process of development? This article is based on the argument that the Javanese language planning through the language engineering program does not incorporate the ‘collective dream’ of its native speakers. The sources of data for this article come from the documents of Javanese congresses I-V and language policy documents pertaining to Javanese language preservation.
Abstrak: Mahasiswa Tunarungu menghadapi kesulitan penguasaan bahasa, khususnya memahami leksem ya... more Abstrak: Mahasiswa Tunarungu menghadapi kesulitan penguasaan bahasa, khususnya memahami leksem yang berkonsep Abstrak dan Emosi. Hal ini dikarenakan tunarungu sangat mengandalkan referent (acuan) dalam memahami makna kata. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) bagaimanakah tingkat pemahaman tunarungu terhadap leksem yang berkonsep emosi dan abstrak, (2) Apakah latar belakang pendidikan mahasiswa tunarungu (SMA atau SMA LB) berperan dalam membentuk pemahaman arti abstrak dan emosi? Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan tes tertulis yang berisikan soal leksem berkonsep abstrak dan emosi dengan acuan dan tanpa acuan (gambar). Analisis dilakukan dengan mempertimbangkan dua hal, yaitu pemahaman tunarungu terhadap arti leksem dan ketepatan konteks penggunaan leksem dalam kalimat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kata abstrak acuan tidak terlalu berpengaruh pada pemahaman tunarungu, sedangkan pada leksem emosi acuan berpengaruh dalam membantu tunarungu memahami makna leksem.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterampilan anak-anak Tuli di tataran penulisan narasi... more Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterampilan anak-anak Tuli di tataran penulisan narasi. Subjek penelitian ini adalah 37 siswa kelas 1 sampai kelas 6 Sekolah Dasar Luar Biasa Yayasan Pendidikan Tunas Bangsa (SDLB YPTB) Malang. Penelitian kualitatif ini menggunakan dua instrumen, yaitu (1) film bisu berdurasi enam menit The Pear Story ‘Kisah Buah Pir’ yang digunakan untuk memancing subjek menarasikan apa yang telah dilihat dan kemudian menuliskan film tersebut dalam bentuk narasi, (2) narrative scoring guidelines ‘panduan penilaian narasi’ yang mengukur keterampilan narasi pada tingkat mikro struktur yang meliputi kohesi naratif, kohesi referensial, penggunaan konjungsi, pembentukan kata-kata gramatikal, dan piranti-piranti naratif.
This research aims to reveal the understanding of Javanese young speakers in a performance varian... more This research aims to reveal the understanding of Javanese young speakers in a performance variant of Javanese (PVJ). A research instrument are two performance scenes of Javanese shadow puppet. The first scene portrays hermitage (pertapan) (kandha) and the second scene describes pontificate of Dewa Ruci to Werkudara (ginem) performed by Ki Purba Asmara as shadow puppeteer (dalang). This research uses quantitative descriptive methods. The respondents of this research are 100 undergraduate students taken from two Universities: faculty of cultural science from Brawijaya University and faculty of letters from state university of Malang. They are selected based on some of criteria. In-depth interview techniques is employed to reveal aspiration and response of Javanese young speakers on PVJ. Furthermore, two respondents who master the performance variant of Javanese (PJV) well are chosen as ideal model or bench-mark of PVJ. The finding shows that Javanese young speakers’ understanding on PJV as follows: good criteria amounted to 2%, sufficient criteria amounted to 7%, poor criteria amounted to 7%, and very poor amounted to 86%. This result indicates that Javanese young speakers is very unfamiliar with PJV and this situation leads to vulnerability of language, which is going to seriously endangered. Such circumstance is urgent to revitalize the language through a series of language policy engineering program.
There have been five congresses on Javanese language from 1991 to 2011. This indicates that there... more There have been five congresses on Javanese language from 1991 to 2011. This indicates that there has been an effort to strengthen the Javanese identity through language engineering programs. There is an assumption that the Javanese people, especially the younger generation, nowadays tend to be monolingual than bilingual (Cohn & Ravindranath, 2014). Is Javanese language internally unable to face globalization challenges, and as a result it suffers from " impotence " and " complication " ? (Djatmika, 2010). This article attempts to address the following question: What are the obstacles faced by Javanese language during its process of development? This article is based on the argument that the Javanese language planning through the language engineering program does not incorporate the 'collective dream' of its native speakers.The sources of data for this article come from the documents of Javanese congresses I-V and language policy documents pertaining to Javanese language preservation.
Mantra dalam kajian ini diambil dari Kitab Primbon Atasadhur Adammakna yang berbentuk kidung dan ... more Mantra dalam kajian ini diambil dari Kitab Primbon Atasadhur Adammakna yang berbentuk kidung dan japa mantra (wiridan). Mantra ini tergolong jenis mantra magi putih. Kidung ialah nyanyian, lagu, atau syair yang dinyanyikan, disebut juga puisi (dalam tembang Jawa). Kidung Mantraweda (selanjutnya ditulis dengan KM) yang lebih dikenal dengan Kidung Rumeksa Ing Wengi banyak dihafal oleh sebagian masyarakat Jawa. kajian ini akan mengkaji mantra dengan pendekatan analisis wacana dari aspek gramatikal dan aspek leksikal serta konteks mantra KM. Hasil penelitiaan ini menunjukkan bahwa mantra KM dari aspek gramatikal didominasi oleh aspek pengacuan (referensi) yang menggunakan bentuk pronomina persona terikat –ku, -ngwang dan bentuk bebas mami, sedangkan dari aspek leksikal didominasi penggunaan repetisi (pengulangan) yaitu repetisi anafora, anadiplosis, mesodiplosis, pengulangan pronomina persona, pengulangan jumlah baris, dan penghilangan bagian satuan lingual. Dari penemuan tersebut mengindikasikan bahwa pronomina persona pertama mengacu pada sang pelafal mantra KM atau sang pencipta KM yaitu Sunan Kalijaga, sedangkan banyaknya penggunaan repetisi mempunyai fungsi penguat sugesti alam bawah sadar pelafal mantra. Tuah mantra akan terwujud manakala diaktivasi dengan keyakinan dan pengulangan satuan lingual tertentu.
Mantra dalam kajian ini diambil dari Kitab Primbon Atasadhur Adammakna yang berbentuk kidung dan ... more Mantra dalam kajian ini diambil dari Kitab Primbon Atasadhur Adammakna yang berbentuk kidung dan japa mantra (wiridan). Mantra ini tergolong jenis mantra magi putih. Kidung ialah nyanyian, lagu, atau syair yang dinyanyikan, disebut juga puisi (dalam tembang Jawa). Kidung Mantraweda (selanjutnya ditulis dengan KM) yang lebih dikenal dengan Kidung Rumeksa Ing Wengi banyak dihafal oleh sebagian masyarakat Jawa. kajian ini akan mengkaji mantra dengan pendekatan analisis wacana dari aspek gramatikal dan aspek leksikal serta konteks mantra KM. Hasil penelitiaan ini menunjukkan bahwa mantra KM dari aspek gramatikal didominasi oleh aspek pengacuan (referensi) yang menggunakan bentuk pronomina persona terikat –ku, -ngwang dan bentuk bebas mami, sedangkan dari aspek leksikal didominasi penggunaan repetisi (pengulangan) yaitu repetisi anafora, anadiplosis, mesodiplosis, pengulangan pronomina persona, pengulangan jumlah baris, dan penghilangan bagian satuan lingual. Dari penemuan tersebut mengindikasikan bahwa pronomina persona pertama mengacu pada sang pelafal mantra KM atau sang pencipta KM yaitu Sunan Kalijaga, sedangkan banyaknya penggunaan repetisi mempunyai fungsi penguat sugesti alam bawah sadar pelafal mantra. Tuah mantra akan terwujud manakala diaktivasi dengan keyakinan dan pengulangan satuan lingual tertentu.
Tumpeng Akademik untuk Pak Effendi Kadarisman, 2020
Tulisan ini akan memfokuskan pada penggunaan kosakata Kawi atau lema klasik pada narasi penganti... more Tulisan ini akan memfokuskan pada penggunaan kosakata Kawi atau lema klasik pada narasi pengantin Jawa (Kadarisman, 1999: 151-164). Penggunaan kosakata Kawi juga masih dipertahankan penggunaanya dalam pertujukkan wayang kulit oleh Ki Purbo Asmoro (Emerson, 2016), pembahasan mengenai penggunaan kosakata Kawi dalam ragam panggung bahasa Jawa yang bersumber dari Ki Purbo Asmoro juga dibahas sekilas oleh (Widodo, Ardhian, & Rohman, 2017). Kosakata Kawi (tembung Kawi; basa Kawi) menjadi ciri yang melekat dalam pementasan Jawa, ia seolah-oleh telah menjadi fitur distingtif yang harus ada dalam pementasan Jawa (Becker, 1980:143). Ia direkacipta dengan mendayagunakan elemen bahasa Jawa Kuna yang ditampilkan dalam pementasan, maka padanan dalam bahasa Inggris oleh (Arps, 2016:630) diajukan sebagai archaic-poetic vocabularies. Kesan arkaik dan klasik ini juga dibahas oleh Kadarisman (1999:153) dengan istilah neologisme, yakni newly coined words or phrases which sound classical. Anasir klasik tersebut diupayakan hadir melalui penggalian dari akar bahasa Jawa Kuna. Penggalian akar klasik tersebut di saat yang sama juga menampik pungutan bahasa Asing lainnya, Melayu dan Arab. Kadarisman (1999:153-154) mencontohkan dengan talanging basa ‘orang yang ditugasi sebagai pengganti tuan rumah’ dan wakiling keluwarga ‘wakil dari keluarga’, talanging basa lebih memiliki daya klasik daripada wakiling keluwarga. Alasan ini oleh Kadarisman (1999:154) ditengarai karena wakil adalah lema pungutan bahasa Arab sehingga mengakibatkan lema pinjaman dari bahasa Asing merusak kadar klasik dalam bahasa pementasan. Dalam pemproduksian neologisme juga mengisyaratkan ‘pemurnian linguistik’ dengan lugas dan terang Kadarisman mengatakan “in brief, producing a classical discourse is in some way like an act of linguistic purification (1999:154)”. Argumentasi tersebut setelah dua puluh satu tahun berlalu belum ada yang menyangkal ataupun mendukung. Untuk itu, tulisan pendek ini akan memberikan gambaran lebih terang atas argumentasi tersebut dengan menghadirkan beberapa contoh dari bahasa Jawa Kuna.
Tulisan ini menyoal posisi “Max Havelaar sebagai karya sastra” (Sastrowardoyo, 1983) dan upaya me... more Tulisan ini menyoal posisi “Max Havelaar sebagai karya sastra” (Sastrowardoyo, 1983) dan upaya mendudukkannya “kembali” dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Rintisan pemartabatan Max Havelaar (selanjutnya disebut dengan MH) sebagai tonggak penting kesusastraan Indonesia telah dicanangkan oleh Siregar (1964), yang ia tasbihkan sebagai ‘mula sastera Indonesia modern’. Siregar (1954) juga menerjemahkan salah satu fragmen dalam MH, yakni Saijah Adinda dalam bahasa Indonesia dengan mengabaikan kepentingan penerjemahan itu sebagai propaganda politik anti-kolonialisme dan anti-imperialisme sebagaimana dituduhkan oleh Sastrowardoyo (1983; 1989). Tidak dapat dielakkan bahwa ada upaya penyusunan sejarah sastra Indonesia modern versi Siregar (Sambodja, 2009). Berbeda dengan Siregar (1960), Junus (1969); Jassin (1954); Teeuw (1955); Hooykaas (1951); Rosidi (1969); Sastrowardoyo (1989) tidak menjadikan MH sebagai posisi sentral dalam perjalanan kesusastraan Indonesia. Mereka hanya menyebut sepintas lalu keberadaannya. Ringkasnya, menjadikan MH sebagai titik-pangkal sastra Indonesia modern masih menjadi perdebatan dengan sejumlah argumentasi di kalangan pemerhati kesusasteran Indonesia. Keterkaitan dengan itu, tulisan ini menandaskan argumentasi bahwa tidak dimasukkannya MH dalam sejarah sastra Indonesia modern berarti mengabaikan pula peran Sastra Hindia Belanda (Indische Belletre) yang menjadi rujukan bagi roman-roman Indonesia pada tahap permulaan. Dengan pengabaian itu pula, kita--sebagai warga bangsa--, juga mengelak-menampik bahwa perjumpaan dan saling keterpengaruhan antara “penjajah” dan “yang-dijajah” pada masa itu adalah sebuah keniscayaan. Penyangkalan itu juga menuntun pada kondisi tidak jernihnya memandang problematika di wilayah sosial-politik. Melalui MH sejatinya tengah terjadi peralihan penguasaan kolonial dari penguasaan tunggal (monopolist) menjadi penguasaan makelar (middlemen) (Chaiklin, 2010). Dengan demikian, MH adalah “wakil sejarah” (Toer, 1964) dalam kesusastraan Indonesia yang tidak bisa diabaikan apalagi terampas dan luput disebut.
Kata Kunci: Sastra Indonesia Modern, Sastra Hindia Belanda, penguasaan tunggal, makelar
Mantra Kidung Jawa dalam buku ini menjadi bahasan utama ditelisik dari pendekatan etnopuitika. Pa... more Mantra Kidung Jawa dalam buku ini menjadi bahasan utama ditelisik dari pendekatan etnopuitika. Pada bab I dibahas penelitian-penelitian terdahulu tentang mantra Jawa, celah yang belum digarap, dan “pisau bedah” yang dipakai dalam buku ini. Kemudian, dalam bab II diuraikan keberadaan mantra, kitab primbon dalam masyarakat Jawa. Hal tersebut digunakan untuk memberi gambaran secara saksama mantra dalam lanskap kebudayaan Jawa. Pemaparan ini disusul dengan bagaimana mantra dalam Kitab Primbon Atashadur Adammakna digali, disajikan, dan diterjemahkan (bab III). Secara khusus anasir-anasir kebahasaan yang membangun dibahas secara mendalam dalam Bab IV.Bahasan selanjutnya membuhul-simpulkan aspek lingual dengan aspek transendental, yakni bahasan keselamatan, kesaktian, dan keyakinan, yang mengalasi motif pembacaan mantra. Selain itu, linguistik sinkretik menjadi temuan yang penting dalam buku ini. Ia menjadi bukti lingual untuk kajian lebih luas dalam bidang antropologi, kajian agama dan tradisi, dan kajian sastra pertunjukkan. Dalam bab akhir disajikan sejumlah perenungan atas tersungkur dan tersingkirnya tradisi pembacaan mantra saat ini dan sejumlah kontribusi teoretik dalam kajian linguistik.
Uploads
yang telah dilihat dan kemudian menuliskan film tersebut dalam bentuk narasi, (2) narrative scoring guidelines ‘panduan penilaian narasi’ yang mengukur keterampilan narasi pada tingkat mikro struktur yang meliputi kohesi naratif, kohesi referensial, penggunaan konjungsi, pembentukan kata-kata gramatikal, dan piranti-piranti naratif.
Hasil penelitiaan ini menunjukkan bahwa mantra KM dari aspek gramatikal didominasi oleh aspek pengacuan (referensi) yang menggunakan bentuk pronomina persona terikat –ku, -ngwang dan bentuk bebas mami, sedangkan dari aspek leksikal didominasi penggunaan repetisi (pengulangan) yaitu repetisi anafora, anadiplosis, mesodiplosis, pengulangan pronomina persona, pengulangan jumlah baris, dan penghilangan bagian satuan lingual. Dari penemuan tersebut mengindikasikan bahwa pronomina persona pertama mengacu pada sang pelafal mantra KM atau sang pencipta KM yaitu Sunan Kalijaga, sedangkan banyaknya penggunaan repetisi mempunyai fungsi penguat sugesti alam bawah sadar pelafal mantra. Tuah mantra akan terwujud manakala diaktivasi dengan keyakinan dan pengulangan satuan lingual tertentu.
Kata Kunci: Mantra KM, Analisis Wacana
Hasil penelitiaan ini menunjukkan bahwa mantra KM dari aspek gramatikal didominasi oleh aspek pengacuan (referensi) yang menggunakan bentuk pronomina persona terikat –ku, -ngwang dan bentuk bebas mami, sedangkan dari aspek leksikal didominasi penggunaan repetisi (pengulangan) yaitu repetisi anafora, anadiplosis, mesodiplosis, pengulangan pronomina persona, pengulangan jumlah baris, dan penghilangan bagian satuan lingual. Dari penemuan tersebut mengindikasikan bahwa pronomina persona pertama mengacu pada sang pelafal mantra KM atau sang pencipta KM yaitu Sunan Kalijaga, sedangkan banyaknya penggunaan repetisi mempunyai fungsi penguat sugesti alam bawah sadar pelafal mantra. Tuah mantra akan terwujud manakala diaktivasi dengan keyakinan dan pengulangan satuan lingual tertentu.
Kata Kunci: Sastra Indonesia Modern, Sastra Hindia Belanda, penguasaan tunggal, makelar
yang telah dilihat dan kemudian menuliskan film tersebut dalam bentuk narasi, (2) narrative scoring guidelines ‘panduan penilaian narasi’ yang mengukur keterampilan narasi pada tingkat mikro struktur yang meliputi kohesi naratif, kohesi referensial, penggunaan konjungsi, pembentukan kata-kata gramatikal, dan piranti-piranti naratif.
Hasil penelitiaan ini menunjukkan bahwa mantra KM dari aspek gramatikal didominasi oleh aspek pengacuan (referensi) yang menggunakan bentuk pronomina persona terikat –ku, -ngwang dan bentuk bebas mami, sedangkan dari aspek leksikal didominasi penggunaan repetisi (pengulangan) yaitu repetisi anafora, anadiplosis, mesodiplosis, pengulangan pronomina persona, pengulangan jumlah baris, dan penghilangan bagian satuan lingual. Dari penemuan tersebut mengindikasikan bahwa pronomina persona pertama mengacu pada sang pelafal mantra KM atau sang pencipta KM yaitu Sunan Kalijaga, sedangkan banyaknya penggunaan repetisi mempunyai fungsi penguat sugesti alam bawah sadar pelafal mantra. Tuah mantra akan terwujud manakala diaktivasi dengan keyakinan dan pengulangan satuan lingual tertentu.
Kata Kunci: Mantra KM, Analisis Wacana
Hasil penelitiaan ini menunjukkan bahwa mantra KM dari aspek gramatikal didominasi oleh aspek pengacuan (referensi) yang menggunakan bentuk pronomina persona terikat –ku, -ngwang dan bentuk bebas mami, sedangkan dari aspek leksikal didominasi penggunaan repetisi (pengulangan) yaitu repetisi anafora, anadiplosis, mesodiplosis, pengulangan pronomina persona, pengulangan jumlah baris, dan penghilangan bagian satuan lingual. Dari penemuan tersebut mengindikasikan bahwa pronomina persona pertama mengacu pada sang pelafal mantra KM atau sang pencipta KM yaitu Sunan Kalijaga, sedangkan banyaknya penggunaan repetisi mempunyai fungsi penguat sugesti alam bawah sadar pelafal mantra. Tuah mantra akan terwujud manakala diaktivasi dengan keyakinan dan pengulangan satuan lingual tertentu.
Kata Kunci: Sastra Indonesia Modern, Sastra Hindia Belanda, penguasaan tunggal, makelar