Pernahkah kita ditanya mengenai profesi kita, mengenai pekerjaan kita, kelas sosial kita, keluarga kita, ras kita dan sebagainya mengenai diri kita oleh orang lain? Tentu rujukan yang kita pakai untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah...
morePernahkah kita ditanya mengenai profesi kita, mengenai pekerjaan kita, kelas sosial kita, keluarga kita, ras kita dan sebagainya mengenai diri kita oleh orang lain? Tentu rujukan yang kita pakai untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah apa yang sedang kita kerjakan sekarang. Misalkan saja seorang kuliahan yang tengah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi akan menjawab mahasiswa, orang yang bergelut dengan layar komputer untuk menghasilkan berbagai tulisan akan menjawab sebagai penulis atau jurnalistik atau bahkan sastrawan, orang yang menjual barang akan menjawab pedagang dan sebagainya. Inilah yang disebut sebagai kelas sosial dalam stratifikasi sosial kita di masyarakat atau pembagian masyarakat sesuai kelas pekerjaannya atau apalah itu istilahnya. Bukankah hal tersebut merupakan diskriminasi sosial dan ironisnya secara sadar (maupun tidak) kita sendiri juga menyepakati hal ini sebagai konsensus bersama. Lalu bagaimana kalau kita melakukan dua pekerjaan atau lebih dalam kehidupan kita. Maksudnya, misalkan ada yang seorang penulis dan juga seorang pedagang sekaligus seorang mahasiswa dan santri, ada lagi seorang penyanyi dan juga seorang penyair serta menjadi seorang dosen. Nah, digolongkan dalam kelas manakah mereka? Hal ini tampaknya sepele, akan tetapi dari sinilah para filsuf yang membicarakan tentang perbedaan, hierarki, kaum miskin, buruh, pekerja dan kelas-kelas (yang dianggap) tertindas lainnya dipertanyakan keabsahan ontologis keberangkatan pemikiran mereka. *** Berikut ini narasi singkat yang setidaknya dapat menjadi analogi permasalahan tersebut. Pada hari senin, tepatnya 1 Februari 1960, empat mahasiswa kulit hitam yang hidup pada masa penuh gelora rasisme di Greensboro, Carolina Utara, AS, hendak duduk di kantin kampus. Akan tetapi, di sana terdapat aturan paten bahwa kantin tersebut hanya disediakan untuk mahasiswa kulit putih. Lalu apa yang mereka lakukan? Menulis nota protes ke pimpinan kampus dengan gagasan diskriminasi, atau menulis petisi yang ditujukan ke pemerintah kota, atau menulis laporan dengan basis hak asasi manusia dan kesetaraan universal pada dewan hak asasi manusia. Jawabannya tidak dari semua hal tersebut. Mereka, tanpa rencana apapun, langsung mengunjungi kantin itu dan duduk, makan, minum tanpa memperdulikan larangan rasis yang mengambang dalam ideologi kantin tersebut. Menulis nota protes dengan memikirkan argumentasi hak asasi manusia merupakan tindakan diambang logika struktur penundaan, yang pada dasarnya pasif. Yang sebenarnya diperlukan hanya tindakan di luar logika penundaan maupun di luar logika konvensional. Dengan duduk manis sambil makan dan minum langsung di 1 Sebuah Tulisan yang pernah dimuat di situs sukanyindir.com