Hizkia Yosias Polimpung
A pluridisciplinary researcher, a university lecturer, and a writer. Moonlights as a strategic consultant, business intelligence and sometimes a clinical pscyhotherapist. Holds degrees in strategic and security studies. Experienced in research in and for academic ivory towers, capitalist business districts, governmental bureaus, military think-tanks, security intelligence, psychotherapeutic clinic, and community-based settings. Have a keen on venturing the experimental and post-disciplinary world of xeno-humanities; of particular interest is the intersection of planetary urbanization, financial geopolitics, postfordist economy, and societal neurosis in the capitalist labor relations. Stubbornly convinced to the idea that the true way out of the deep dark sh*t we are in right now is through the cybernetically designed cooperatives & worker union.
Wrote a book on Lacanian critique of Continental Realist Philosophy. Trained in Security and Strategic Studies of International Relations Department, and chose to concentrate in the genealogy of sovereignty and international system of states. My interest is on the contemporary mutation of post-Fordist capitalist order and how this mutation is grounded in the psychic formation of society in general. My theoretical enterprise is built on Lacanian psychoanalysis, Foucauldian genealogy and Autonomism/Workerism. Philosophically, I am close to (dark) vitalism with a high dose of Lacanian psychoanalysis and dialectical materialism, streaked by an accelerationist tendency. Outside academia, I am also a practicing psychotherapist.
My current research endeavors at a new historiography of technological revolution from the perspective of labor. I am also working on my side project on grounding cybernetics in psychoanalytic way of (un)reasoning, by also engaging in dialogue with neuroscience, computer science, linguistics and design theories.
Address: Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Wrote a book on Lacanian critique of Continental Realist Philosophy. Trained in Security and Strategic Studies of International Relations Department, and chose to concentrate in the genealogy of sovereignty and international system of states. My interest is on the contemporary mutation of post-Fordist capitalist order and how this mutation is grounded in the psychic formation of society in general. My theoretical enterprise is built on Lacanian psychoanalysis, Foucauldian genealogy and Autonomism/Workerism. Philosophically, I am close to (dark) vitalism with a high dose of Lacanian psychoanalysis and dialectical materialism, streaked by an accelerationist tendency. Outside academia, I am also a practicing psychotherapist.
My current research endeavors at a new historiography of technological revolution from the perspective of labor. I am also working on my side project on grounding cybernetics in psychoanalytic way of (un)reasoning, by also engaging in dialogue with neuroscience, computer science, linguistics and design theories.
Address: Pasar Minggu, Jakarta Selatan
less
InterestsView All (15)
Uploads
Books by Hizkia Yosias Polimpung
as a lead author.
It is Quentin Meillassoux who tried, and succeeded, in showing how contemporary philosophy, while constantly yelling for difference (in any of its forms and manifestations), is actually incessantly repeating one sameness, that is the reinforcement of human correlates as the anchor of its very existence in the first place. But in fact, it is Meillassoux himself--which Alain Badiou deems as a pathbreaker for contemporary philosophy from the mire of postmodernist philosophies--who has not truly able to break out of the imprisonment of humanity's correlates.
Notwithstanding, the philosophical project to reach for the absolute has never been this urgent and so relevant. Never once that the demand for philosophy to go down to earth and to form alliance with other disciplines (economics, socio-anthropologu, theology, biology, physics, mathematics, neurosciences, etc.) has been so insistent like now. With its capacity as an absolute rationality that is capable of cancelling humanity, even ourselves, humans, need philosophy more than ever. For this reason it is not exaggerating that this book ends up with a calling: philosopher all the world, unite!
~ translated from the cover section; the book is written in Indonesian.
Buy the book from, and support progressive publisher: http://cantrikpustaka.com/product/ontoantropologi-fantasi-realisme-spekulatif-quentin-meillassoux/
Dengan menggabungkan pendekatan Psikoanalisis Jacques Lacan dan Genealogi Michel Foucault, penulis pertama-tama mendesain suatu kerangka analisis yang sesuai bagi pelacakan asal-usul kedaulatan ini, yaitu yang penulis sebut Psikogenealogi. Melalui psikogenealogi, dapat dianalisis bagaimana suatu rezim kebenaran tidak dapat dilepaskan dari hasrat-hasrat tak sadar para pihak/partisipannya dan juga bagaimana rezim itu berhasil menyingkirkan rezim-rezim kebenaran lain pada masanya. Hal berikut yang dilakukan adalah dengan mengeksplorasi tesis makrosubyektivitas yang marak menjadi asumsi dasar terorisasi negara berdaulat. Hasil eksplorasi tersebut nantinya akan mampu melampaui tesis makrosubyektivitas dengan menekankan bahwa negara pada dasarnya memang merupakan manusia-makro, dan bukan analogi. Hal ini hanya akan dapat dilakukan dengan melinguistisasi “manusia” dan “negara”, yaitu bahwa keduanya hanyalah efek bahasa.
Berikutnya, dengan dibantu gagasan fasisme dari Gilles Deleuze dan Félix Guattari, subyeksi Judith Butler, dan abyeksi Julia kristeva, penulis menggariskan beberapa konsep yang akan berpengaruh bagi pemahaman tentang kedaulatan itu sendiri, yaitu di antaranya: kedaulatan itu sendiri, paradoks kedaulatan, komodifikasi kedaulatan, logika kedaulatan. Melalui studi ini, penulis menyimpulkan bahwa sifat paradoksal dari kedaulatan adalah merupakan bawaan semenjak gagasan kedaulatan tersebut muncul pada sekitar abad-12. Kedaulatan muncul dari kegelisahan raja akan ke-diri-an yang utuh dan otonom. Kegelisahan inilah yang nantinya mengkonstrusikan suatu fantasi tentang kedaulatan, yang berikutnya akan diperjuangkan mati-matian. Negara-modern merupakan hasil perjuangan mati-matian tersebut. Jadi, studi ini menekankan bahwa sedari awalnya, kedaulatan adalah selalu untuk memenuhi fantasi ideal tentang kepenuhan diri. Dan sejarah membuktikan bahwa fantasi tersebut adalah selalu merupakan fantasi raja. Sehingga pada dasarnya, negara didirikan adalah untuk merealisasikan hasrat fantastis dari raja. Natur fasis dalam diri raja akan membuatnya mempertahankan mati-matian kedaulatannya. Upaya raja adalah menggunakan universalitas sebagai landasan kedaulatannya. Universalitas ini akhirnya berfungsi sebagai komoditas kedaulatan. Inilah logika kedaulatan, yaitu bahwa sang berdaulat akan selalu mengkomodifikasi universalitas demi membenarkan dan melanggengkan eksistensi berdaulatnya.
Pemikiran ini penulis teruskan dengan memahami praktik kedaulatan AS di era Perang Global Melawan Teror. Melalui kasus AS ini penulis menunjukkan bahwa inti dari konsep kedaulatan, yaitu fantasi ke-diri-an ideal, belumlah berubah dari versi Westphalianya. Hal ini akhirnya menjadi tidak relevan berbicara tentang kedaulatan kontemporer. Oleh karena itu kedaulatan kontemporer adalah selalu kedaulatan kontemporer.
Kata Kunci:
Kedaulatan, psikoanalisis, psikogenealogi, fasisme, abyeksi, paradoks kedaulatan, makro-subyektivitas, komoditas kedaulatan.
Papers by Hizkia Yosias Polimpung
Analisis di atas dilandasi dari dua gagasan: pertama, bahwa analisis objektif mengenai medan perjuangan kelas pekerja haruslah dimulai dari analisis modus produksi ketimbang semata-mata kelembagaan legal-formal; dan kedua, bahwa upaya strategisasi pemenangan politik kelas pekerja harus berangkat dari proses produksi di basis material (yaitu proses kerja dan proses valorisasi/penciptaan nilai), ketimbang lagi-lagi aturan ketenagakerjaan. Untuk yang pertama, tulisan ini sudah menjabarkan apa dan bagaimana universitas menjadi sebuah modus produksi, apa komoditasnya, dan bagaimana konstelasi nilai dari komoditas tersebut. Berikutnya juga sudah dijelaskan implikasinya bagi subjek-subjek produsen nilai yang adalah buruh, yang porsi terbesarnya adalah mahasiswa.
as a lead author.
It is Quentin Meillassoux who tried, and succeeded, in showing how contemporary philosophy, while constantly yelling for difference (in any of its forms and manifestations), is actually incessantly repeating one sameness, that is the reinforcement of human correlates as the anchor of its very existence in the first place. But in fact, it is Meillassoux himself--which Alain Badiou deems as a pathbreaker for contemporary philosophy from the mire of postmodernist philosophies--who has not truly able to break out of the imprisonment of humanity's correlates.
Notwithstanding, the philosophical project to reach for the absolute has never been this urgent and so relevant. Never once that the demand for philosophy to go down to earth and to form alliance with other disciplines (economics, socio-anthropologu, theology, biology, physics, mathematics, neurosciences, etc.) has been so insistent like now. With its capacity as an absolute rationality that is capable of cancelling humanity, even ourselves, humans, need philosophy more than ever. For this reason it is not exaggerating that this book ends up with a calling: philosopher all the world, unite!
~ translated from the cover section; the book is written in Indonesian.
Buy the book from, and support progressive publisher: http://cantrikpustaka.com/product/ontoantropologi-fantasi-realisme-spekulatif-quentin-meillassoux/
Dengan menggabungkan pendekatan Psikoanalisis Jacques Lacan dan Genealogi Michel Foucault, penulis pertama-tama mendesain suatu kerangka analisis yang sesuai bagi pelacakan asal-usul kedaulatan ini, yaitu yang penulis sebut Psikogenealogi. Melalui psikogenealogi, dapat dianalisis bagaimana suatu rezim kebenaran tidak dapat dilepaskan dari hasrat-hasrat tak sadar para pihak/partisipannya dan juga bagaimana rezim itu berhasil menyingkirkan rezim-rezim kebenaran lain pada masanya. Hal berikut yang dilakukan adalah dengan mengeksplorasi tesis makrosubyektivitas yang marak menjadi asumsi dasar terorisasi negara berdaulat. Hasil eksplorasi tersebut nantinya akan mampu melampaui tesis makrosubyektivitas dengan menekankan bahwa negara pada dasarnya memang merupakan manusia-makro, dan bukan analogi. Hal ini hanya akan dapat dilakukan dengan melinguistisasi “manusia” dan “negara”, yaitu bahwa keduanya hanyalah efek bahasa.
Berikutnya, dengan dibantu gagasan fasisme dari Gilles Deleuze dan Félix Guattari, subyeksi Judith Butler, dan abyeksi Julia kristeva, penulis menggariskan beberapa konsep yang akan berpengaruh bagi pemahaman tentang kedaulatan itu sendiri, yaitu di antaranya: kedaulatan itu sendiri, paradoks kedaulatan, komodifikasi kedaulatan, logika kedaulatan. Melalui studi ini, penulis menyimpulkan bahwa sifat paradoksal dari kedaulatan adalah merupakan bawaan semenjak gagasan kedaulatan tersebut muncul pada sekitar abad-12. Kedaulatan muncul dari kegelisahan raja akan ke-diri-an yang utuh dan otonom. Kegelisahan inilah yang nantinya mengkonstrusikan suatu fantasi tentang kedaulatan, yang berikutnya akan diperjuangkan mati-matian. Negara-modern merupakan hasil perjuangan mati-matian tersebut. Jadi, studi ini menekankan bahwa sedari awalnya, kedaulatan adalah selalu untuk memenuhi fantasi ideal tentang kepenuhan diri. Dan sejarah membuktikan bahwa fantasi tersebut adalah selalu merupakan fantasi raja. Sehingga pada dasarnya, negara didirikan adalah untuk merealisasikan hasrat fantastis dari raja. Natur fasis dalam diri raja akan membuatnya mempertahankan mati-matian kedaulatannya. Upaya raja adalah menggunakan universalitas sebagai landasan kedaulatannya. Universalitas ini akhirnya berfungsi sebagai komoditas kedaulatan. Inilah logika kedaulatan, yaitu bahwa sang berdaulat akan selalu mengkomodifikasi universalitas demi membenarkan dan melanggengkan eksistensi berdaulatnya.
Pemikiran ini penulis teruskan dengan memahami praktik kedaulatan AS di era Perang Global Melawan Teror. Melalui kasus AS ini penulis menunjukkan bahwa inti dari konsep kedaulatan, yaitu fantasi ke-diri-an ideal, belumlah berubah dari versi Westphalianya. Hal ini akhirnya menjadi tidak relevan berbicara tentang kedaulatan kontemporer. Oleh karena itu kedaulatan kontemporer adalah selalu kedaulatan kontemporer.
Kata Kunci:
Kedaulatan, psikoanalisis, psikogenealogi, fasisme, abyeksi, paradoks kedaulatan, makro-subyektivitas, komoditas kedaulatan.
Analisis di atas dilandasi dari dua gagasan: pertama, bahwa analisis objektif mengenai medan perjuangan kelas pekerja haruslah dimulai dari analisis modus produksi ketimbang semata-mata kelembagaan legal-formal; dan kedua, bahwa upaya strategisasi pemenangan politik kelas pekerja harus berangkat dari proses produksi di basis material (yaitu proses kerja dan proses valorisasi/penciptaan nilai), ketimbang lagi-lagi aturan ketenagakerjaan. Untuk yang pertama, tulisan ini sudah menjabarkan apa dan bagaimana universitas menjadi sebuah modus produksi, apa komoditasnya, dan bagaimana konstelasi nilai dari komoditas tersebut. Berikutnya juga sudah dijelaskan implikasinya bagi subjek-subjek produsen nilai yang adalah buruh, yang porsi terbesarnya adalah mahasiswa.