Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Jeda Berbincang dengan dan membaca tulisan Ester tentang serba-serbi orgasme, sebenarnya, menguak kembali beberapa pertanyaan yang sampai hari ini belum saya dapatkan jawabannya: mengapa dan bagaimana seksualitas bisa ada? Mengapa orang menghasrati seksualitas? Bagaimana suatu aktivitas, benda, organ tubuh, emosi, dst., bisa memperoleh predikat “seksual”?—khusus pertanyaan yang terakhir ini bisa saya formulasikan untuk konteks pengantar buku ini: bagaimana orgasme bisa menjadi seksuil? (Bagi yang masih bingung dengan pertanyaan ini, saya akan bahas sedikit nanti). Bahasan Ester di buku ini amat luas: ia membahas persoalan keseharian dalam pengupayaan orgasme; ia juga menghampiri problem-problem sosial politik yang menyeruak intimitas orgasme (tapi, apakah orgasme pasti selalu intim?); ia menyentuh persoalan medis dan psikologis, namun tidak luput juga menyempatkan diri untuk menyapa filsafat. Karya Ester ini juga menunjukkan kelincahan dalam mengeksplorasi kedalaman ragam “kualitas” cerita: mulai dari obrolan sambil lalu, curhatan kinky, sampai komentar pakar, elaborasi dokter, dan juga analisis jurnal ilmiah. Saat saya—dan saya anjurkan kita semua setelah membaca buku ini—mengambil jarak dengan obrolan dan tulisan-tulisan Ester, kembali lagi saya bertanya: kok bisa seksualitas muncul di mana-mana? Luasnya arena di mana orgasme dan hal-hal terkait orgasme bisa muncul menunjukkan bagaimana logika seksualitas sebenarnya tidaklah memiliki bentuk dan manifestasi yang baku. Sekalipun saya tidak bisa menjawab soal mengapa seksualitas bisa memiliki itu semua, setidaknya satu yang saya bisa ajak kita bayangkan adalah bahwa ada terdapat jeda yang amat sangat super duper luas di antara ‘seks’ dan ‘orgasme’. Jeda di antara seks menuju orgasme: ada rute alternatif tak terhingga yang merupakan hasil sengkarut pemaknaan kultural, konteks sosioekonomi, pertautan kekuasaan, invensi teknologi, dan nasihat religius moralis yang menghubungkan keduanya. Tidak jarang, orang tersesat di antaranya. Tidak sedikit pula kita temukan cerita-cerita unik di semesta jeda ini; beberapa kita dapatkan di buku ini. Kalau memang ada pelajaran berharga bagi anak manusia dari hasil selama lebih dari lima belas tahun saya mempelajari dan menggunakan psikoanalisis, maka itu adalah: satu, manusia adalah makhluk hasrat; dua, sekalipun hakikatnya adalah “hasratiah,” tapi tetap saja manusia tidak tahu harus menghasrati apa, bagaimana menghasratinya, dan paling ironisnya, tidak tahu apakah hasratnya sudah terpuaskan atau tidak. Untuk ini, manusia beralih kepada … edukasi. Baik itu edukasi formal, walau sedikit sekali pengetahuan yang didapat secara umum, dan juga informal: kata teman, lihat filem, nonton bokep, baca majalah tips trik bercinta, menyelami stensilan, dst., dsb. Saya anjurkan kita semua menggunakan dua pelajaran psikoanalisis ini sembari membaca atau saat membayang-bayangkan cerita-cerita Ester di buku ini. Satu, manusia adalah makhluk hasrat; dua, manusia tidak tahu-menahu tentang hasratnya. Insya Allah, akan sedikit terjawab pertanyaan yang kalau-kalau kita tanyakan: “kok bisa gitu ya?” Orgasme itu janji surgawi, seks adalah ritual sakralnya. Pertama, dikatakan janji, karena orgasme itu sendiri adalah gagasan ideal yang menjanjikan kepuasaan kosmik apabila kita mau, bisa, dan mampu melaksanakan ritual seks. Kedua, dikatakan sakral, itu bukan berarti bahwa ia suci nan kudus dalam artian umum. Sakral di sini artinya ia kita lakukan tanpa kita pertanyakan; kita just do it! Sekalipun toh kita pertanyakan, tidak akan kita ketemu jawabannya. Bukan hanya itu, ia akan jadi pertanyaan menggelikan. Silakan coba: mengapa “gerak maju-mundur maju-mundur” bisa memantik ejakulasi dan menyulap orgasme? … Hanya saja, karena seolah-olah seantero jagad termakan janji ini dan tidak lagi mempertanyakan pertanyaan menggelikan di atas, jadilah seks itu sendiri menjadi sesuatu yang sakral, yang fetis (fethistic) istilah kerennya. Kita tidak mempertanyakan, karena kita dikasi tahu bahwa ya begitu itu caranya. Just do it! Lakukan saja. Lakukan sesuai instruksi dan arahan (dari majalah, dari bokep, dari pengalaman teman, dari seksolog, dari selebgram, dst., dsb.). Tepat di sinilah seksualitas dan janji ganjaran orgasme terkuak dimensinya yang jauh dari intim, … melainkan sosial. Sebelum seksual, orgasme itu sosial. Cerita-cerita Ester mengonfirmasi ini: tentang memalsukan orgasme demi “memuaskan” (atau memberi “pakan” bagi ego pasangan), orgasme sebagai perlombaan machois, pemaknaan-pemaknaan tanda-tanda orgasme, dst. Tanpa ada orang lain di luar kita, maka kita tidak akan pernah kita tahu bahwa “ooh kayak gitu itu toh orgasme” atau “ ooh begini toh cara memantik orgasme.” Singkat cerita, edukasi. Layaknya semua edukasi dan instruksi, kita yang melakukannya bisa saja salah. Bahkan, lika-liku seksualitas dan orgasme penuh dengan kesalah-mengiraan. Mari kita ingat-ingat, berapa banyak orang yang salah mengira bahwa dengan ngeseks lantas ia akan mendapat kepuasan orgasme? Berapa sering mereka yang ejakulasi ternyata tidak juga orgasme? Berapa banyak invensi obat perangsang memanipulasi biopsikologi seksual manusia? Berapa jenuh media kita melaporkan cerita seseorang dilecehkan secara seksual karena mengenakan pakaian yang dianggap “memang minta digodain”? Semesta luas jeda antara seks dan orgasme telah dan selalu membuat orang menjadi serampangan mencari informasi, best practice, dan model dalam menghubungkan kedua kutub ini. Namun, juga di dalam jeda itu muncul banyak kesalahkaprahan dan kesalah-mengiraan. Lagi-lagi, karena ini semua menjadi sesuatu yang sakral-fetis alias tidak dipertanyakan, maka jadilah ini semua mitos. Lalu, ada satu lagi yang menarik yang membentang di belantika zona antara seks dan orgasme, yaitu ekses. Saya tidak bilang “penyimpangan” di sini, untuk menghindari bagasi moral. “Ekses” lebih merujuk pada kondisi yang mana sesuatu itu melebihi atau melampaui maksud normatif-fungsionalnya. Apa yang membuat manusia berbeda dari hewan?—kata kaum kudus, “seks manusia itu prokreasi, untuk punya keturunan”; bahkan, kata seorang pemuka agama dunia, adalah egois bercinta tanpa tujuan berkeluarga. Sekarang saya tanya balik: bukankah adalah hewan yang ngeseks semata untuk melestarikan trah dan keturunan? Bahkan, kasarannya, bukankah hewan jauh lebih “tertib” dalam bercinta dengan menatanya ke dalam musim-musim kawin? Di sini kita perlu jelas: yang membedakan seksualitas manusia dari hewan, justru adalah di eksesnya! Terakhir saya nonton video Kama Sutra, ada puluhan gaya dan cara untuk sekedar mencarikan variasi bagi “gerakan maju-mundur maju-mundur,” bahkan ada pula gaya-gaya yang membuat saya tercekat—ketimbang terangsang—seraya, “salut, niat banget, euy!” Dimensi ekses lainnya—dan ini favorit saya, sekalipun tidak bisa juga saya jelaskan—adalah bagaimana logika seksual menyulap segala sesuatunya menjadi seksual (seksualisasi), bahkan untuk hal-hal yang secara penampakan nggak ada seks-seksnya sama sekali. Sebuah dialog filem antara seorang pria dan wanita sepulang dari kencan pertama. Si wanita, “makasih sudah diantar, kamu mau masuk dulu dan ngopi-ngopi?” Jawab si pria, “aduh saya nggak suka kopi.” Langsung dibalas, “aku juga nggak suka sih.” Mungkin saya menerjemahkan/memparafrase dialognya kurang oke, tapi sebenarnya itu adalah salah satu dialog paling merangsang bagi saya: sebuah invitasi bercinta terang-terangan, justru dalam kesamaran bahasa. Ekses seksualitas tidak hanya masuk ke bidang-bidang dan ranah-ranah non-seksual dan intimitas, melainkan ia juga memiliki “kekuatan misterius” yang mampu mengubah apapun menjadi bernuansa seksual. Saya bilang tadi bahwa antara seks dan orgasme terdapat jeda—suatu jeda yang mana di dalamnya terdapat semesta kombinasi tak terhingga dari buah dan daya upaya anak manusia untuk menghubungkan keduanya. Buku ini adalah satu titik kecil yang nyempil di dalam semesta yang terbentang di antara jeda tersebut. Sekalipun kecil, menariknya, ia memiliki sinar yang mampu menyoroti banyak sudut di dalam semesta orgasmik itu. Selamat membaca. Surabaya, 7 Februari 2022 Hizkia Yosias