Fenomena Seksualitas Anak Muda
(Studi Kasus tentang Dispensasi Kawin pada Pos Bantuan Hukum
Pengadilan Agama di Sleman, Yogyakarta)
Abdul Jalil
ABSTRAK
Artikel ini mencoba menganalisis angka permohonan Dispensasi Kawin (DK) pada
Pengadilan Agama (PA) di Kabupaten/Kota se D.I Yogyakarta yang selalu meningkat.
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 mengamanatkan bahwa perkawinan hanya diizinkan
jika pihak laki-laki sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan
sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun, sementara penyuluhan yang digalakkan
terutama bagi penggerak dan pegiat Keluarga Sejahtera telah mensosialisasikan atas
pendewasaan usia perkawinan, yakni laki-laki 25 tahun dan perempuan minimal 21 tahun.
Dalam realitanya, ada kecenderungan banyak yang melakukan perkawinan di bawah usia
tersebut. Tulisan ini hendak melihat faktor-faktor apa saja yang mendorong perkawinan
usia muda dan bagaimana dampak yang dialami oleh mereka yang melangsungkan
perkawinan saat usia muda.
Kata kunci: dispensasi kawin, dampak, usia muda
AB S T RACT
This article tries to analyze the marriage dispensation request number (DK) in the
Religious Court (PA) in the District / City of Yogyakarta which is always increasing.
Act 1 of 1974 mandates that marriage is only allowed if the man has reached the age of
19 (nineteen) years and the woman has reached the age of 16 (sixteen) years, while the
extension to be encouraged, especially for propulsion and activists Family Prosperity
has been socializing on the maturation age of marriage, the men 25 years and women at
least 21 years. In reality, there is the tendency of many who do marriage under that age.
This paper is going to see any factors that encourage early marriage and how it impacts
experienced by those who enter into marriage at a young age.
Keywords:
marriage dispensation, impact, tender age
PENDAHULUAN
Semenjak tahun 2011, tepatnya pada bulan April sampai tahun 2014, penulis dilibatkan dalam kegiatan konsultasi hukum
dalam program Pos Bantuan Hukum
(POSBAKUM) di Pengadilan Agama Sle-
man, yang salah satu tugasnya adalah
memberikan konsultasi terkait hukum
bagi setiap anggota masyarakat yang hendak mencari keadilan, utamanya dalam
hal hak dan kewajiban rumah tangga, termasuk di antaranya adalah membantu dan
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 1, Mei 2014
49
Abdul Jalil, Fenomena Seksualitas Anak Muda ...
membuatkan surat permohoan cerai talak
(suami yang mengajukan cerai) dan permohonan gugatan cerai (perceraian dengan
istri yang mengajukan) untuk diajukan
kepada Ketua Pengadilan Agama.
Berdasarkan kasus yang ditangani penulis, terdapat beberapa contoh kasus usia
pernikahan usia dini. Pertama, atas nama
IW nikah pada 3 November 2010, dan
anak pertama lahir pada 8 Februari 2011
(selisih usia nikah dengan lahirnya anak 4
bulan), kedua, atas nama M, nikah pada 28
Juni 2008 dan anak lahir pada 20 Oktober
2008 (selisish usia nikah dengan lahirnya
anak 5 bulan), dan kasus ketiga atas nama
PL, nikah pada 15 Mei 2009, dan memiliki
anak pertama, lahir pada 29 Oktober 2009
(selisish antara usia nikah dengan lahirnya
anak 6 bulan). Dari ketiga kasus tersebut
dapat dijelaskan bahwa pernikahan tersebut
terjadi karena mempelai perempuan telah
hamil terlebih dahulu. Terdapat beberapa
faktor majelis hakim mengabulkan permintaan tersebut, antara lain agar tidak tidak
berlarut-larut dalam dosa secara agama,
yang kemudian dalam bahasa majelis hakim
demi kemaslahatan antara kedua calon.
Secara umum data Dispensasi Kawin
(DK) di Pengadilan Agama (PA) kabupaten/kota se DIY dari tahun ke tahun terus
meningkat. PA Gunung Kidul pada tahun
2008 yang mengajukan DK berjumlah
19, tahun 2009 meningkat menjadi 60,
tahun 2010 semakin menanjak menjadi
120, tahun 2011 mencapai 145, dan pada
tahun 2012 meningkat juga menjadi 172.
Di Kota Yogyakarta, data Pengadilan Agama juga menunjukkan hal sama, kecenderungannya menanjak. Tahun 2008,
jumlah pengajuan DK sebanyak 21 pemohon, tahun berikutnya 2009 menjadi
28 pemohon, kemudian di tahun 2010 sebanyak 36 pemohon. Kemudian di tahun
2011 kembali naik ke angka 61 pemohon
dan data terakhir tahun 2012 menjadi 66
pemohon. Sementara PA Sleman, data
50
yang didapat mulai bulan Oktober tahun
2010, permohonan DK berjumlah 65, tahun
2011, naik drastis mencapai 115 pemohon.
Kemudian tahun 2012, berjumlah 127
pemohon. Di tahun 2013, sejak Januari
hingga Oktober sudah mencapai angka
106. Angka 106 tahun 2013 di Kabupaten
Sleman tersebut belum merupakan rekap
data pengajuan DK tahunan. Dari 2010
hingga 2012 tidak berbeda dengan data di
wilayah lain di DIY, menunjukkan angka
yang menanjak. Dan terakhir di PA Bantul,
tahun 2008 masyarakat yang mengajukan
DK berjumlah 70 pemohon. Tahun 2009
naik menjadi 82 pemohon. Kemudian tahun 2010 jumlahnya menyerupai daerahdaerah yang lain, 115 pemohon. Di tahun
berikutnya 2011, sejak Januari hingga
Oktober jumlahnya di atas tahun 2010,
yakni 135 pemohon.
Wacana seksualitas tentu sudah banyak
yang menulis khususnya bagi penggerak
kesehatan reproduksi semacam Perkumpulan
Keluarga Berencana Indonesia. Salah satu
rekomendasi lembaga ini adalah perlunya
muatan lokal terutama kesehatan reproduksi
dikenalkan sejak dini. Namun demikian,
dengan berbagai pertimbangan masih ada
yang keberatan mengenai esensi sosialisasi
kesehatan reproduksi. Dikhawatirkan hal
ini disalah-artikan, terutama bagi mereka
yang awalnya belum tahu kemudian ingin
tahu dan mempraktikannya dengan tidak
benar. Sosialisasi penting dilakukan terkait
kesehatan reproduksi agar tidak mengarah
pada perilaku menyimpang. Akan tetapi,
di sisi lain, sangat tipis perbedaanya antara
sosialisasi sebagai basis pengetahuan
dengan praktik sebagai pengejawantahan
atas pengetahuan yang didapatkan.
DISPENSASI KAWIN ȍDKȎ
DK merupakan permohonan kepada Pengadilan Agama untuk memberikan dispensasi bagi pihak yang hendak menikah
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 1, Mei 2014
Abdul Jalil, Fenomena Seksualitas Anak Muda ...
tetapi terhalang oleh umur. Sementara
itu DK adalah dispensasi yang diberikan
Pengadilan Agama kepada calon mempelai yang belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan, bagi pria yang
belum mencapai 19 tahun dan wanita 16
tahun (Rasyid, 1998:20). DK diajukan oleh
para pihak kepada Pengadilan Agama yang
ditunjuk oleh orang tua masing-masing.
Pengajuan perkara permohonan diajukan
dalam bentuk permohonan (voluntair), dan
bukan gugatan, dan jika calon suami-istri
beragama non-muslim, maka pengajuan
permohonannya ke Pengadilan Negeri.
Adapun teknisnya adalah orang tua
mengajukan permohonan, dengan kata
lain pemohon DK adalah orang tuanya,
baik ayah atau ibunya. Pemohon membuat
surat permohonan perihal dispensasi kawin
kepada pengadilan agama setempat dengan
melampirkan surat penolakan pencatatan
nikah dari KUA Kecamatan karena di
bawah umur, kemudian dalam isi surat
permohonan disebutkan identitas dari calon
mempelai, serta dalil-dalil yang mendasari
permohonan dispensasi. Berikut standar
umum dalam dalil pembuatan dispensai
kawin, antara lain:
a) Bahwa syarat-syarat untuk melaksanakan pernikahan tersebut, baik menurut
ketentuan hukum Islam maupun
peraturan perundang-undangan yang
berlaku telah terpenuhi kecuali syarat
usia bagi Pemohon belum mencapai
umur 19 tahun. Namun pernikahan
tersebut sangat mendesak untuk tetap
dilangsungkan karena kami telah
bertunangan sejak bulan yang lalu dan
hubungan kami sudah sedemikian erat,
sehingga Pemohon sangat khawatir
akan terjadi perbuatan yang dilarang
oleh ketentuan hukum Islam apabila
tidak segera dinikahkan;
b) Bahwa antara Pemohon dan calon
istri tersebut tidak ada larangan untuk
melakukan pernikahan;
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 1, Mei 2014
c) Bahwa Pemohon berstatus jejaka,
dan telah akil baliq, serta sudah siap
untuk menjadi seorang suami dan/atau
kepala keluarga serta telah bekerja
dengan penghasilan tetap setiap harinya
Rp. ................,- (................ rupiah).
Begitupun calon istri sudah siap pula
untuk menjadi seorang istri dan atau ibu
rumah tangga;
d) Bahwa orang tua calon istri Pemohon
telah merestui rencana pernikahan
tersebut dan tidak ada pihak ketiga
lainnya yang keberatan atas berlangsungnya pernikahan tersebut;
e) Bahwa berdasarkan uraian tersebut di
atas, dalil-dalil Pemohn telah sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 dan peraturan lain
yang berkaitan dengan itu;
f) Berdasarkan hal-hal tersebut di atas,
Pemohon mohon agar Ketua Pengadilan
Agama ................ segera memeriksa
dan mengadili perkara ini, selanjutnya
menjatuhkan penetapan yang amarnya
berbunyi sebagai berikut:
(1) Mengabulkan permohonan Pemohon;
(2) Menetapkan, memberikan dispensasi kepada Pemohon bernama
........ bin ........ untuk menikah
dengan calon istri bernama ........
binti ........;
(3) Menetapkan biaya perkara menurut
hukum;
(4) Atau menjatuhkan keputusan lain
yang seadil-adilnya.
Sementara jika permohonan DK dari
orang tua mempelai istri, maka hal yang
ditulis selain klausul peristiwa pernikahan
pemohon sendiri (ayah mempelai) dengan
ibunya, juga berapa jumlah anaknya, baru
kemudian anaknya yang bernama siapa
dalam DK yang akan dimintakan DK, setelah
itu klausul yang isinya bahwa pemohon
telah mendatangi atau melapor ke KUA
51
Abdul Jalil, Fenomena Seksualitas Anak Muda ...
kecamatan, namun ditolak karena mempelai
masih di bawah umur, dan klausul-klausul
lain yang mendukung, misalnya perlu disebutkan hubungan cinta calon mempelai
sudah sekian tahun, bahkan sejauhmana
hubungannya telah sekian tahun, atau jika
memang sudah hamil juga harus disebutkan
berapa bulan usia kehamilannya. Termasuk
jika yang mengajukan adalah orang tua
pihak istri.
Dalam hal penolakan KUA terkait
permohonan pernikahan anaknya yang
secara umur tidak dibenarkan oleh
peraturan, maka dalam isi surat penolakan
berupa Pemberitahuan adanya halangan/
kekurangan persyaratan terlebih dahulu,
semisal redaksi yang sering digunakan
bahwa “setelah adanya pemeriksaan
terhadap segala persyaratan oleh undangundang dan peraturan yang berlaku tentang
perkawinan, ternyata kehendak pernikahan
yang disampaikan belum memenuhi persyaratan” baru surat yang berikutnya perihal Penolakan Pernikahan, dalam surat ini
diawali dengan surat sebelumnya terkait
pemberitahuan kehendak nikah tidak bisa
diproses karena terhalang dengan persyaratan sebagaimana UU No. 1 tahun
1974 tentang perkawinan, terutama usia
di bawah batas minimal. Baru dijelaskan
bahwa permohonan nikah oleh KUA
ditolak, dan dalam kalimat berikutnya,
“apabila saudara tidak dapat menerima
penolakan tersebut, dipersilahkan mengajukan keberatan kepada Pengadilan Agama setempat”.
Secara Yuridis, UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 6 ayat 2 bab II
Syarat-syarat perkawinan disebutkan Untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang
belum mencapai umur 21 (duapuluh satu)
tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
Sementara pada pasal 7 ayat 1 menyebutkan
bahwa perkawinan hanya diizinkan jika
pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun,
namun pada pasal 7 ayat 2 disebutkan
bahwa apabila terjadi penyimpangan dalam
hal tersebut, maka dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat
lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua
pihak laki-laki dan perempuan. Dari isi
pasal tersebut, masih banyak ruang untuk
didiskusikan, meskipun sekilas maknanya
saling memperkuat, padahal sangat banyak
tafsir. Misalnya, jika pasal 6 ayat 2 ini
dihubungkan dengan pasal 7 ayat 1, bisa
diinterpretasikan kalau pria belum berusia
21 tahun maka diperbolehkan kawin selama mendapat izin orang tua. Tetapi jika
kemudian dilihat pasal berikutnya (7 ayat
1), seakan-akan diperbolehkannya kawin
sebelum usia 21 tahun adalah usia 19 tahun
plus mendapat izin orang tua. Padahal
pasal 6 ayat 2 ini sebenarnya makna umum
tidak membatasi batas minimal usia atau
19 tahun sebagaimana pasal 7 ayat 1, yaitu
tidak menyebut minimal usia 19 tahun,
berapapun usia asal mendapat izin orang
tua diperbolehkan. Kalau pasal 7 ayat 2,
sangat jelas bahwa pria usia 19 tahun dan
wanita 16 tahun, kurang dari aturan ini,
maka diperlukan dispensasi. Persoalannya
peraturan-peraturan perundangan termasuk
pasal yang di bawahnya lebih khusus
daripada pasal sebelumnya. Melihat hal
ini, maka pasal 7 ayat 2 ini yang akan
dioperasikan dari pada pasal 6 ayat 1 yang
umum.
Ketentuan ini sejalan dengan Kompilasi
Hukum Islam KHI pada Bab IV Rukun
dan syarat perkawinan di pasal 15 ayat
1 dijelaskan bahwa untuk kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga, perkawinan
hanya boleh dilakukan calon mempelai
yang telah mencapai umur yang ditetapkan
dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 tahun 1974, yakni calon suami sekurang-
52
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 1, Mei 2014
POLEMIK PENENTUAN USIA NIKAH
Abdul Jalil, Fenomena Seksualitas Anak Muda ...
kurangnya beruur 19 tahun dan calon istri
passekurang-kurangnya berumur 16 tahun,
pada ayat 2 pasal ini juga sama isinya
dengan pasal 6 UU No. 1 tahun 1974, yakni
bagi calon mempelai yang belum mencapai
umur 21 tahun harus mendapat izin.
Sementara menurut PKBI DIY UU No.1
tahun 1974 terutama pasal 7 seyogyanya
direvisi karena sangat bertentangan
dengan UU perlindungan anak. Dalam UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 7 berbunyi, usia minimal menikah bagi laki-laki
adalah 19 tahun dan perempuan 16 tahun.
Pasal ini tentu bertentangan dengan UU
Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002
pasal 1, di mana menyebutkan anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun.
Jika UU Perkawinan tetap membolehkan
perempuan usia 16 tahun menikah, maka
sama saja dengan melegalkan pernikahan
bagi anak-anak. Dalam UU Perlindungan
Anak juga disebutkan hak anak antara lain
mendapatkan pendidikan dan pengajaran
serta terhindar dari kekerasan dan diskriminasi. Jika dalam usia anak sudah menikah, maka hak tersebut akan tercerabut
darinya. Selain bertentangan dengan UU
Perlindungan Anak, pernikahan usia dini
juga bertentangan dengan Hak Kesehatan
Reproduksi Remaja yang berbunyi bahwa
remaja usia 10-24 tahun memiliki hak untuk
menentukan pernikahannya. Secara risiko,
perilaku seksual dini (sebelum 20 tahun)
juga terbukti memiliki andil dalam kasus
kanker leher rahim yang berakibat kematian
perempuan. Fakta Pernikahan Dini Data
Susenas dari Badan Pusat Statistik Propinsi
DIY tahun 2009 menunjukkan perempuan
yang menikah usia di bawah 16 tahun di
Daerah Istimewa Yogyakarta sekitar 8,74%
dengan prosentase terbesar di Kabupaten
Gunungkidul (15,40%) diikuti oleh Kabupaten Sleman (7,49%). Prosentase tersebut
meningkat pada tahun 2010 menjadi
10,81% dengan prosentase terbesar di Kabupaten Gunungkidul (16,24%), diikuti
oleh Kabupaten Kulonprogo (10,81%) dan
Kabupaten Sleman (9,12%).
Fakta yang terjadi di DIY juga menjadi
gambaran bagi daerah lainnya, mengingat
belum ada kebijakan nasional mengenai
penerapan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual di sekolah sehingga
fakta perilaku remaja bisa jadi tidak jauh
berbeda. Pernikahan dini selalu berbanding
lurus dengan angka Kehamilan Tidak
Diinginkan (KTD). Walaupun ini bukan
satu-satunya penyebab pernikahan dini.
Data diatas menunjukkan pernikahan dini
selalu didahuli oleh KTD. Menurut Putri
Khatulistiwa, Koordinator Program Lentera
Sahaja, selama ini remaja KTD cenderung
didorong untuk melakukan pernikahan
dini oleh orang dewasa (keluarga, guru)
karena pertimbangan agama dan sosial.
Pernikahan hampir menjadi solusi satusatunya bagi remaja yang mengalami KTD.
Namun demikian, ada juga beberapa kasus
KTD yang tidak berakhir dengan pernikahan, misalnya korban memilih untuk
menghentikan kehamilan atau meneruskan
kehamilan dan masuk shelter atau tempat
pembinaan. Menurut Putri, ada juga kasus
KTD yang berakhir menikah namun terlebih dahulu diadakan Perjanjian Pra Nikah yang mengatur soal pembiayaan anak
serta pilihan hidup bersama atau tidak
pasca menikah. Pernikahan dini selain
berdampak terputusnya hak anak, juga akan
menyebabkan berbagai persoalan sosial
lainnya seperti tingginya angka perceraian,
KDRT serta pengangguran. Hal ini karena
anak-anak belum siap membangun keluarga
karena ketidaksiapan secara ekonomi, fisik
dan mentalnya.
Lebih lanjut terkait hal pencatatan nikah, dalam pasal 2 PP No. 9 tahun 1975,
disebutkan pencatatan perkawinan dari
mereka yang melangsungkan perkawinan
menurut agama Islam, dilakukan oleh
pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh
menteri agama atau oleh pegawai yang
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 1, Mei 2014
53
Abdul Jalil, Fenomena Seksualitas Anak Muda ...
ditunjuk olehnya, sebagaimana diatur dalam
UU No. 32 tahun 1954 tentang pencatatan
Nikah, Talak, dan Rujuk. Pencatatan bukanlah suatu hal yang menentukan sah atau
tidak sahnya suatu perkawinan, perkawinan
sah jika telah dilakukan menurut ketentuan
agamanya masing-masing, walaupun tidak
atau belum didaftar. Dalam surat keputusan Mahkamah Islam Tinggi, pada tahun
1953 No. 23 menegaskan bahwa bila rukun nikah telah lengkap, tetapi tidak didaftarkan, maka nikahnya tetap sah, sedangkan yang bersangkutan di kenakan
denda. Tentu putusan ini berbeda dengan
PP No.48 tahun 2014 tentang penerimaan
negara bukan pajak yang mulia berlaku
sejak 10 Juli 2014, lebih lanjut, peraturan
ini menjelaskan bahwa nikah atau rujuk di
KUA pada hari dan jam kerja dikenakan tarif
0 (nol rupiah), jika nikah diluar KUA dan
atau di luar hari dan jam kerja, dikenakan
tarif Rp. 600.000,- (enam ratus ribu rupiah),
dan bagi warga yang tidak mampu secara
ekonomi dan warga yang terkena bencana
alam dikenakan tarif 0 (nol) rupiah,
dengan melampirkan persyaratan surat keterangan dari lura/desa. Adapun waktu
pemberitahuan kepada petugas pencatat
nikah kurang lebih 10 hari.
PERTIMBANGAN PUTUSAN HAKIM
Tugas pokok Peradilan Agama sebagai
badan pelaksana kekuasaan kehakiman
adalah menerima, memeriksa, dan mengadili
serta menyelesaikan setiap perkara yang
diajukan kepadanya, hal ini sesuai pasal
17 ayat 1 UU N0. 4 tahun 2004. Dalam
memeriksa dan mengadili perkara, hakim
wajib untuk: pertama, Mengkonstatir. Artinya, membuktikan benar tidaknya peristiwa/fakta yang diajukan para pihak dengan
pembuktian melalui alat-alat bukti yang sah,
menurut hukum pembuktian, yang diuraikan
dalam duduknya perkara, dan berita acara
persidangan (BSAP); kedua, Mengkualifisir
54
fakta/peristiwa yang telah terbukti, yaitu
menilai sebuah peristiwa tertentu, apakah
termasuk hubungan hukum apa atau yang
mana, menemukan hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatiring untuk
kemudian dituangkan dalam pertimbangan
hukum; ketiga, Mengkonstituier, yaitu
menetapkan hukumnya yang kemudian
dituangkan dalam amar putusan. Selain itu
dalam produk Hakim dari hasil pemeriksaan
perkara di persidangan, memiliki 3 macam,
yaitu putusan, penetapan, dan akta perdamaian.1
Hakim dalam memberikan putusan
terkait DK juga mempertimbangkan dan
menggunakan kaidah fiqh berupa maslahah
mursalah, di mana demi kepentingan umum
terkait kasus ini maka diperlukan putusan
secepatnya dengan mengacu aturan yang ada
dan tidak melanggar dan benturan dengan
aturan yang ada. salah satu yang disebutkan
pasal 53 ayat 1, 2, dan 3 di Kompilasi
Hukum Islam (KHI) bahwa seorang wanita
hamil di luar nikah, dapat dikawinkan
dengan pria yang menghamilinya. Ayat 2,
perkawinan dengan wanita hamil pada ayat
1, dapat dilangsungkan tanpa menunggu
lebih dahulu kelahiran anaknya; dan ayat
3 juga berbunyi, dengan dilangsungkannya
perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak
yang dikandung lahir.
Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim menimbang, bahwa Majelis Hakim
1
Lebih lanjut dapat dijelaskan produk Hakim
tersebut, putusan adalah pernyataan Hakim yang
dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan
oleh Hakim dalam sidang terbuka untuk umum,
sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan
(kontentius). Sementara Penetapan berarti pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk
tertulis dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang
terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara perohonan (voluntair). Adapun
akta perdamaian berarti pernyataan Hakim yang
dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan
oleh Hakim dalam sidang terbuka untuk umum,
sebagai hasil telah dicapai perdamaian antara
kedua pihak yang sengketa.
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 1, Mei 2014
Abdul Jalil, Fenomena Seksualitas Anak Muda ...
Secara umum, bukan berarti perkawinan
usia muda selalu berdampak negatif terutama yang secara usia sudah dibenarkan
oleh undang-undang, tetapi banyak juga
yang langgeng alias positif. Penulis mencoba melihat faktor apa saja yang melatarbelakangi perkawinan usia muda.
Berikut beberapa faktor yang penulis temukan terkait uraian di depan, antara lain:
pergaulan bebas, pengaruh lingkungan,
faktor ekonomi, pendidikan rendah, faktor
agama, faktor sosial budaya, dan kurangnya
pemahaman UU perkawinan. Usia remaja
merupakan fase kritis, rasa keingintahuan
khususnya dalam aspek seksualitas idealnya
dapat difasilitasi oleh orang tua. Di sisi lain,
dengan perkembangan teknologi informasi,
maka remaja mendapatkan kesempatan
luas untuk mengakses informasi tentang
konten-konten berbau pornografi, baik di
media cetak maupun elektronik, bahkan
melalui warung internet. Tidak jarang
terjadi, warung internet memungkinkan
penggunanya untuk berhubungan seksual
di bilik-bilik tertutup.
Secara umum, perceraian di Pengadilan
Agama Sleman lebih banyak diajukan
oleh pihak perempuan atau yang umum
disebut sebagai permohonan cerai gugat.
Dari beberapa alasan yang mendasari permohonan cerai gugat, bahwa selain suami
kurang tanggung jawab, misalnya ijin
sama istrinya untuk bekerja, namun hasil
pendapatannya tidak pernah diberikan oleh
istri, bahkan ada yang tidak kembali lagi
dan tidak diketahui keberadaanya (ghoib),
sampai kemudian diajukan permohonan
oleh istri. Selain itu, faktor sifat “pemberani”
yang dimiliki oleh perempuan-perempuan
pada masyarakat Sleman untuk melakukan
cerai gugat. Hal inilah yang menjadikan
budaya patriarki pada masyarakat Jawa
sudah sedikit luntur oleh arus gelombang
globalisasi atau masyarakat era digital.
Pada saat yang sama, perempuan yang
melakukan cerai gugat juga telah memiliki
pekerjaan yang notabene cukup untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, baik
menjadi pekerja sebagai ibu rumah tangga
atau membuka usaha lain yang dirasa
untuk bisa survive di kemudian hari. Tentu
kebutuhannya juga masih ditanggung oleh
keluarga terdekat dari pihak Istri yang
melakukan cerai gugat, terutama jika telah
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 1, Mei 2014
55
telah berusaha memberikan nasehat kepada Pemohon dan anaknya agar menunda pelaksanaan perkawinannya sampai mencapai usia perkawinan menurut
undang-undang yaitu 19 tahun, akan
tetapi Pemohon maupun anaknya tersebut menyatakan tetap segera untuk melangsungkan pernikahannya dan tetap
mohon dispensasi kawin dari Pengadilan
Agama Sleman. Selain itu, alasan Mejelis
Hakim yang tidak mengabulkan atau menolak permohonan dispensasi kawin, biasanya karena bertentangan dengan pasal
53 ayat 1 dan 2 Kompilasi Hukum Islam
sebagaimana bunyi diatas.
Dalam hal ini, penulis mengamati
bahwa terdapat beberapa dampak yang
umumnya terjadi dari dikabulkannya Dispensasi Kawin, salah satunya adalah perceraian. Aspek fisik calon mempelai yang
belum siap untuk membina rumah tangga
disinyalir menjadi penyebab perceraian.
Selain itu, fertilitas yang tinggi dari perempuan kawin dalam usia muda, angka kematian bayi dan anak cukup tinggi, kesulitan
dalam mengatasi masalah-masalah yang
timbul dalam kehidupan keluarga akhirnya
menimbulkan perceraian. Belum lagi masalah ekonomi yang menjadi salah stau penyebab perceraian. Usia pernikahan yang
tergolong dini membuat pasangan tersebut
belum memiliki pendapatan yang tetap
sehingga rentan timbulnya konflik dan
berujung pada perceraian.
FAKTOR YANG MENDORONG DAN
DAMPAK PERKAWINAN USIA
MUDA
Abdul Jalil, Fenomena Seksualitas Anak Muda ...
Pernikahan usia muda, dalam hal ini
meningkatnya permohonan dispensasi kawin pada Pengadilan Agama menunjukkan
bahwa usia remaja sebagai masa transisi dari anak-anak menuju dewasa sangat
rentan terhadap sesuatu yang baru, termasuk hal-hal yang sangat dekat dengan
dunianya, yaitu pertemanan dan teknologi.
Pertemanan yang dibangun oleh mereka
para remaja sangat identik dengan hal-hal
yang menyenangkan, misalnya dalam ranah
keistimewaan Yogyakarta sebagaimana
program pada sektor Keluarga Berencana
dan Keluarga Sejahtera (KBKS) perlunya
program Kesehatan Reproduksi Remaja.
Program semacam ini diperlukan bagi remaja agar lebih dini untuk mengetahui
segala sesuatu terkait kesehatan reproduksi,
meskipun istilah ini sebenarnya lebih difokuskan pada usia remaja yang telah dahulu membina rumah tangga, tanpa menilai
perilaku remaja tertentu negatif. Selain itu,
pemateri atau penyuluh terkait program
ini, biasanya kader seusia mereka atau
para kader yang secara psikologi lebih mengetahui dunia remaja, agar materi dan
program cepat diterima.
Konsep interaksi oleh remaja dewasa
ini, tentu tidak bisa lepas dengan media
komunikasi, baik melalui handphone maupun teknologi lain. Semakin tinggi status
sosial remaja, semakin canggih teknologi
yang dimilikinya. Persoalannya, tidak banyak para remaja di era Masyarakat Ekonomi
Asean ini yang dapat memanfaatkan teknologi yang ada sebagai sesuatu yang
menunjang pada hal-hal yang positif, sebaliknya, teknologi seringnya lebih banyak
dimanfaatkan sebagai hal-hal yang kurang
positif dan umumnya konsumtif, lain ceritanya jika kecanggihan teknologi yang
dimiliki bisa digunakan secara positif dan
produktif.
Menurut data BPPM DIY 2011, disebutkan bahwa hasil survei kesehatan reproduksi dikalangan remaja menunjukkan
fakta sebagai berikut:
• Perilaku seks pra nikah: 10,10%;
• Kehamilan di luar nikah: 10,53%;
• Informasi pubertas bagi remaja paling
banyak diperoleh dari guru (93,26%)
dan buku (83,94%);
• Informasi sistem reproduksi paling dominan dari guru (92,48%), dari buku
(79,27%) dan dari internet (51,30%);
• Sumber informasi hubungan dengan
lawan jenis tidak terlihat yang dominan
meski guru tetap terbanyak (65,28%)
disusul buku (61,92%) dan teman
(53,89%);
• Sebanyak 77, 98% remaja di DIY memiliki pengalaman berpacaran di mana
sebanyak 44,30% di antaranya masih
aktif berpacaran. Perilaku pacaran
menjadi semakin mungkin dilakukan
dengan semakin umur bertambah;
• Aktifitas/perilaku selama pacaran
berupa berpegang tangan dan atau berpelukan dilakukan oleh sebagian besar
remaja DIY yang berpacaran (88,70%).
Mencium bibir pacar dilakukan oleh 49,
17% remaja berpacaran di DIY;
• Sebanyak 13,29% remaja menyatakan
melakukan aktifitas menyentuh alat
kelamin atau disentuh, sementara 9,63%
remaja menyatakan pernah melakukan
masturbasi/onani;
• Sebanyak 12,29% dari remaja yang
berpacaran menyatakan pernah melakukan hubungan badan dengan pacar;
• Sebanyak 10%, remaja di DIY telah
melakukan hubungan badan (52% lakilaki, 40% perempuan). Umur termuda
adalah umur 12 tahun (12,7%).
• Kehamilan remaja yang pernah berhubungan badan mencapai 10,53% yang
merupakan hal tidak direncanakan. Dari
sejumlah remaja yang pernah hamil/
56
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 1, Mei 2014
memiliki anak dan banyak kebutuhan yang
dikeluarkan terutama kebutuhan sekolah.
Abdul Jalil, Fenomena Seksualitas Anak Muda ...
remaja, khususnya di Yogyakarta, yang
sedikit banyak telah luntur nilai-nilai yang
telah lama disandang sebagai kota Budaya,
Kota Pendidikan, dan Kota yang penuh
Toleransi.
menghamili, 75% status hubungan
dengan pasangannya adalah sebagai
pacar.
Dari sejumlah remaja yang menyatakan
pernah hamil atau menghamili, prosentasenya seimbang antara lakilaki dan perempuan, dan 25% masih
berumur di bawah 17 tahun, 50% masih
berstatus sebagai pelajar, di mana
75% di antaranya masih bersekolah di
SMA. Seluruh kehamilan dari remaja
responden berakhir dengan aborsi.
•
Tabel 1 dan Tabel 2 menunjukkan data
usia perkawinan anak muda DIY antara
tahun 2010 dan tahun 2011. Data ini didapat
ketika penulis juga terlibat dalam draf
penyusunan Sektor KBKS dalam bingkai
keistimewaan.
Perbedaan usia pernikahan di beberapa
wilayah DIY yang berbeda antara lakilaki dan perempuan terlihat berubahubah. Namun kecenderungan yang bisa
dilihat di sini adalah di perkawinan di
bawah 16 tahun terjadi di Kabupaten
Bantul tahun 2010 kemudian digantikan
Meski demikian, sebagai masyarakat
umum Yogyakarta perlu mengklarifikasi sejauh mana metode dan penggunaan survey
ini. Artinya jika memang benar data yang
ada, diperlukan kewaspadaan bagi orang
tua dan siapapun yang memiliki anak usia
Tabel 1
Jumlah Pernikahan Menurut Usia Perkawinan, Jenis Kelamin dan Kabupaten/Kota
di D.I. Yogyakarta Tahun 2010
No
1
2
3
4
5
Kab/Kota
Yogyakarta
Bantul
Kulon P
Gunung K
Sleman
DIY
Usia Perkawinan (Tahun)
>16
>19
17-21
19-21
Pr
Lk
Pr
Lk
22-25
26-30
31-35
Lk
Pr
Lk
Pr
1. 035
2. 210
1. 255
1. 259
2. 097
847
1. 853
797
1. 613
2. 565
24
93
19
42
22
27
52
44
36
28
416
1. 531
382
1. 674
1. 309
175
845
781
676
652
598
2. 082
996
1. 741
2. 301
782
2. 306
1. 170
1. 977
1. 927
200
187
5. 312
3. 129
7. 344
8. 162 7. 856
Lk
>36
Pr
Lk
Pr
401
278
871
770
528
344
538
677
911 1. 235
401
772
385
368
929
278
523
265
482
969
7. 675 3. 249 3. 304
2. 855
2. 517
Sumber: Kantor Kementerian Agama Kab/Kota
Tabel 2
Jumlah Pernikahan Menurut Usia Perkawinan, Jenis Kelamin dan Kabupaten/Kota
di D.I. Yogyakarta Tahun 2011
Usia Perkawinan (Tahun)
No
Kab/Kota
1
2
3
4
5
Yogyakarta
Bantul
Kulon P
Gunung K
Sleman
DIY
>16
>19
17-21
19-21
P
L
P
L
14
42
30
59
25
428
32
105 1. 679
26
290
68 1. 906
46 1. 297
170
184
855
870
988
689
22-25
L
26-30
P
L
31-35
P
L
>36
P
630
1923
1172
2153
2101
742
2. 225
1. 056
1. 971
1. 914
978
1. 985
1. 194
1. 240
2. 025
780
2. 036
825
1. 518
2. 523
388
787
543
543
871
309
807
291
612
1. 138
277 5. 600 3. 586 7. 819
7. 908
7. 422
7. 682 3. 132
3. 157
L
P
400
696
502
496
508
317
685
321
584
872
2. 662 2. 779
Sumber: Kantor Kementrian Agama Kab/Kota
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 1, Mei 2014
57
Abdul Jalil, Fenomena Seksualitas Anak Muda ...
oleh Kabupaten Gunung Kidul pada tahun
berikutnya. Kabupaten Sleman cenderung
usia pernikahan perempuan adalah 22-25
tahun ke atas. Kemudian untuk tahun 2011
kebanyakan perempuan di DIY menikah
pada usia tersebut.
Di sisi lain, dengan perkembangan
teknologi informasi, maka remaja mendapatkan kesempatan luas untuk mengakses
informasi tentang konten-konten berbau
pornografi, baik di media cetak maupun
elektronik, bahkan melalui warung internet.
Tidak jarang terjadi, warung internet memungkinkan penggunanya untuk berhubungan seksual di bilik-bilik tertutup.
Pernikahan dini, sebagaimana telah diuraikan di atas rentan terhadap perceraian.
Secara umum faktor penyebab perceraian
berdasarkan informasi Pengadilan Agama
Sleman, didapat beberapa alasan di antaranya: Poligami Tidak Sehat, Krisis Akhlak,
Cemburu, Kawin Paksa, Faktor Ekonomi,
Tidak Ada Tanggung Jawab, Kawin di
Bawah Umur, Kekejaman Jasmani, Kekejaman Mental, Dihukum, Cacat Biologis,
Politis, Gangguan Pihak Ketiga, Dan Tidak
Ada Keharmonisan. Maksud dari poligami
tidak sehat misalnya dengan memalsukan
identitas, dengan mengaku masih perjaka/
duda ketika melakukan pernikahan dengan
istri kedua. Pemalsuan identitas ini tentunya
akan merugikan istri kedua di kemudian
hari. Dari berbagai problema dari poligami
tidak sedikit wanita yang memilih untuk
bercerai atau bercerai dikemudian hari
setelah terjadi konflik dalam pernikahan
poligami yang telah dijalani. Alasan mengapa poligami sering menimbulkan konflik
di kemudian hari adalah faktor keadilan
yang tidak bisa dipenuhi oleh laki-laki.2
Pengadilan Agama bagi mereka yang
beragama Islam (pasal 36, UU No.1
2
Panani, Problematika Poligami, http://
ri kaanisa.blogdetik.com/2012/10/08/
problematika-poligami, diakses pada 11
Desember 20014.
58
tahun 1974) yang secara kompetensinya
menyidangkan perkara antara orang
Islam, termasuk ketika problem ketidakharmonisan dalam rumah tangga yang
salah satunya adalah faktor ekonomi rumah tangga, lebih ditekankan sebagai
tanggug jawab suami. Dalam pasal 31 ayat
3 UU No.1 tahun 1974 disebutkan bahwa
suami adalah kepala keluarga dan istri
ibu rumah tangga. Meskipun pada ayat
selanjutnya disebutkan bahwa kewajiban
suami melindungi istri dan memberi segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga
sesuai dengan kemampuannya. Artinya
secara eksplisit, aturan ini menekankan
bahwa eonomi menjadi kewajiban suami,
bagaimana jika penghasilan istri justru
lebih tinggi dari pada suami, misalnya istri
karirnya lebih dahulu dibanding suami. Hal
ini yang secara etika, belum bisa dibenarkan
mengapa para istri-istri justru lebih banyak
yang mengajukan cerai gugat, jika ekonomi
hanya dibenarkan oleh undang-undang sebagai tanggung jawab suami, menururt
hemat penulis berdasarkan pengalaman
di Posbakum bahwa seringnya para istri
sudah mandiri dan memiliki usaha yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan, selain
itu memang ada karakter dari individu pada
perempuan tersebut sebagai Perempuan
yang “pemberani” untuk mengajukan cerai
gugat.
ALTERNATIF PENDEWASAAN
BERPERILAKU DAN BERSIKAP
BAGI REMAJA YOGYAKARTA
Masa remaja ditandai dengan fase pubertas
menjadi titik kritis bagi remaja dalam
proses sosialisasi pendidikan seksualitas
dan reproduksi. Pada masa ini, banyak
sekali perubahan yang terjadi pada diri
seseorang, baik secara fisik maupun psikis,
terutama pada alat reproduksi. Dengan
aktifnya hormon seksual (sementara organ
reproduksi sudah mulai berfungsi) maka
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 1, Mei 2014
Abdul Jalil, Fenomena Seksualitas Anak Muda ...
mulai muncullah dorongan seksual yang
menggebu-gebu pada remaja. Jika tidak
dikendalikan dan difasilitasi bisa saja
menyebabkan beragam permasalahan,
seperti kehamilan yang tidak diinginkan,
tertular infeksi menular seksual seperti HIV/
AIDS, terkena infeksi saluran reproduksi
sampai pada timbulnya tumor atau kanker. Term kesehatan reproduksi sering
diidentikkan dengan masalah Penyakit
Menular Sek (PMS), free sex, merebaknya
pelacuran, meningkatnya kehamilan yang
tidak dikehendaki (KTD), aborsi, pelecehan
seksual dan tingginya angka kematian ibu,
anehnya masalah-masalah tersebut secara
kuantitatif selalu meningkat jumlahnya.
Keadaan remaja khususnya remaja
Yogyakarta membutuhkan bantuan guna
menyelesaikan berbagai persoalan, yang
tidak sekedar mendengarkan atau curhat
tetapi perlu merombak dan memasukkan
mindset dan pola pikir yang penuh dengan
tanggung jawab melalui pendidikan
seksualitas dan kesehatan reproduksi, tentu
juga perlu proses pendampingan terkait
pemahaman dan pengetahuan dasar terkait
organ-organ reproduksi dll. Kurikulum
seyogyanya dapat mengakomodir apa yang
menjadi kegelisahan para aktivis dan pegiat
kesehatan reproduksi—bukan sesuatu yang
bersifat anatomis tetapi pengetahuan dan
pentingnya memahami sejak dini terkait
kesehatan reproduksi.
Perbaikan kurikulum lebih mendorong
pemerintah daerah maupun pimpinan
perguruan tinggi agar memberikan muatan
lokal pada pentingnya mata pelajaran/
mata kuliah kesehatan reproduksi dengan
melibatkan LSM/pemerinta yang konsen
dibidang ini, seperti PKBI dan BKKBN/
BPPM, dengan harapan anak-anak didik
lebih dini mengetahui dan memahami
pentingnya wawasan tentang kesehatan
reproduksi,
khususnya
anak
didik
perempuan, dengan metode mensinergikan
dengan materi lain, misalnya Biologi.
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 1, Mei 2014
Sementara mindset dan pola pikir seseorang, perlu diarahkan agar dikemudian
hari mengenal budayanya. Tugas berat
ini tidak dapat dibebankan seorang guru
atau orang tua saja, tetapi semua lapisan
masyarakat dan dari berbagai organisasi,
misalnya KUA, BP4, Kevikepan, Organisasi Wanita Pemuda Katolik, di lingkungan Pendeta, Organisasi Wanita Pemuda Kristen, Remaja Masjid, melalui
Muhammadiyah, LKKNU, Parisada Hindu,
Budha, dll karena masing-masing memiliki
man power/sumber daya manusia yang
potensial menyebarluaskan, mengedukasi,
dan saling mengingatkan anak-anak yang
perilakunya kurang sesuai dengan norma di
masyarakat. Contoh yang sering terjadi di
lingkungan sekitar, misalnya jam bertamu
bagi lawan jenis, selain hari Sabtu adalah
maksimal jam 21.30 WIB, namun aturan
hanya sebatas aturan tanpa diindahkan
oleh pelanggar. Contoh lain dalam tertib
lalu lintas, sering diantara saudara kita
yang melanggar rambu-rambu lalu lintas.
Perilaku salah meskipun kecil, jika tidak
diluruskan mulai sekarang akan menjadi
budaya dan membentuk pola pikir bahkan
mindset yang sukar untuk diperbaiki,
yang ada hanya menyalahkan orang tanpa
introspeksi diri.
DAFTAR PUSTAKA
Administrator UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
website, Tingkat Perceraian Pasangan Muslim Berpendidikan Tinggi Makin Tinggi, 22 November
2011, (online), <http://pps.uin-suka.
ac.id/index.php?option=com_con
tent&view=article&id=250:tingk
at-perceraian-pasangan-muslimberpendidikan-tinggi-makinmeningkat&catid=1:berita-terkini>,
diakses pada 19 Desember 2014
Anwar, Syamsul. 2007. Hukum Perjanjian
Syari’ah-Studi tentang Teori Akad
59
Abdul Jalil, Fenomena Seksualitas Anak Muda ...
dalam Fiqh Mu’amalat, Jakarta: PT
Raja Grafindo.
BKKBN. 2010. Buku Pedoman Konseling
Kesehatan
Reproduksi
Remaja.
Semarang: BKKBN
Kutipan Penetapan Mahkamah Agung Republik
Indonesia, Penetapan Nomor: 0176/
Pdt.P/2011/PA.Btl tentang Dispensasi
Kawin pada Direktori Putusan Mahkamah Agung RI.
BPPM DIY. 2011. Data Pilah Gender dan Anak
Provinsi DI Yogyakarta Tahun 2011.
Yogyakarta: BPPM DIY
Jalil, Abdul. 2011. “Dana Pensiun Dalam Perspektif Syari’ah”. Rihlah-Jurnal Studi
Islam, vol.1 No.1
Muktiarto. 2000. Praktik Perkara Perdata
Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Mukhotib dan Putri Khatulistiwa, Mendesak:
Revisi UU Perkawinan, dalam dokumen PKBI DIY, 2013
Rasyid, Roihan A. 1998. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: Raja Grafindo.
Thalib, Sayuti. 1974. Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta: UI Press.
Moeliono, Laurike. 2004. Proses Belajar Aktif
Kesehatan Reproduksi Remaja. Jakarta: BKKBN
Waluyo, Pristy. 2005. Buku Pedoman Konseling
Kesehatan Reproduksi Remaja. Semarang: BKKBN
Website Pengadilan Agama Kota Malang,
Blanko Dispensasi Kawin, 18 November 2010, (online), <http://www.
pa-malangkota.go.id/index.php/
layanan-publik/layanan-pengaduan/
blanko-surat/209-dk>, diakses pada
15 September 2014
Peraturan Perundangan:
UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama.
UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 47
Tahun 2004 Tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Kumpulan Draf Permohonan Dispensasi Kawin
pada PA Sleman 2014.
60
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 1, Mei 2014