Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Islamisasi Pengetahuan: Tinjauan Historis dan Epistemologis

2023, Lathaif: Literasi Tafsir, Hadis dan Filologi

the paper discusses the concept and epistemological framework of Islamization of knowledge, in light of its discursive philosophy and history and widely popular debates of Islamization of present-day knowledge. It looks into classical role of its major proponents and institutions in articulating the ideas of Islamization of knowledge and the essence of tawhid in late 1970-80s and its impact in spearheading the movement for dynamic and modern Islamic worldview and renewed religious consciousness. This was consistently undertaken by IIUM and IIIT in promoting the idea of Islamization of human knowledge and integration of knowledge and value. The study was qualitative in nature in the form of integrative library research. Data was collected from primary and secondary sources and analyzed using certain inductive and deductive method. The finding shows that fundamental issues in Islamization of knowledge has been articulated consistently with principal debate relating to classical ideas of its methodology and workplan

lathaif: Literasi Tafsir, Hadis dan Filologi, Vol. 2 (1), 2023, (Januari-Juni) ISSN Print : 2963-7678 ISSN Online : 2962-6153 Tersedia online di: https://ojs.iainbatusangkar.ac.id/ojs/index.php/lathaif/index Islamisasi Pengetahuan: Tinjauan Historis dan Epistemologis Ahmad Nabil Amir 1, Tasnim Abdul Rahman2 1 International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC-IIUM), Kuala Lumpur 50480 Wilayah Persekutuan, Malaysia 2 Fakulti Pengajian Kontemporari Islam, Universiti Sultan Zainal Abidin, Kuala Nerus, Malaysia nabiller2000@gmail.com Abstract The paper discusses the concept and epistemological framework of Islamization of knowledge, in light of its discursive philosophy and history and widely popular debates of Islamization of present-day knowledge. It looks into classical role of its major proponents and institutions in articulating the ideas of Islamization of knowledge and the essence of tawhid in late 1970-80s and its impact in spearheading the movement for dynamic and modern Islamic worldview and renewed religious consciousness. This was consistently undertaken by IIUM and IIIT in promoting the idea of Islamization of human knowledge and integration of knowledge and value. The study was qualitative in nature in the form of integrative library research. Data was collected from primary and secondary sources and analyzed using certain inductive and deductive method. The finding shows that fundamental issues in Islamization of knowledge has been articulated consistently with principal debate relating to classical ideas of its methodology and workplan. Keywords: Islamization of knowledge, philosophy of science, religion Abstrak Tulisan ini membuat tinjauan dasar terhadap konsep dan epistemologi ilmu dari kerangka falsafah dan latar sejarahnya yang awal. Gagasan ini terkait dengan faham Islamisasi ilmu dan nilai yang dikembangkan dalam pemikiran dan praksis pendidikan. Ia meninjau isu-isu pokok dalam perdebatan Islamisasi ilmu pengetahuan semasa dan implikasinya terhadap dasar-dasar yang diterapkan. Ia melihat peranan beberapa tokoh dan institusi penting dalam menggerakkan idea Islamisasi ilmu sepanjang dekad 1970-80an dan pengaruhnya dalam mencorakkan visi intelektual dan kesedaran tauhid dalam praktik dan tradisi keilmuannya. Ini digerakkan di UIAM dan IIIT yang membawa gagasan pembaharuan pendidikan melalui proses pengislaman pengetahuan dan pengintegrasian ilmu dan nilai. Kajian ini bersifat kualitatif dari jenis penelitian kepustakaan. Bahan-bahan kajian diperoleh dari sumber-sumber primer dan sekunder berupa buku, tesis, artikel, majalah dan dianalisis secara deskriptif dan analitis. Temuan kajian merumuskan bahawa isu-isu dasar tentang Islamisasi pengetahuan ini telah diungkapkan secara konsisten dengan perdebatan yang signifikan dan terus berlanjut terkait aspek-aspek metodologi dan prinsip umumnya. Kata Kunci: Islamisasi pengetahuan, sains, agama, falsafah ilmu PENDAHULUAN Antara krisis utama dalam pendidikan tinggi di dunia Islam adalah dasar pendidikan sekular yang diasak dalam amalan pendidikan yang berasal dari warisan penjajah yang membawa faham dualisme dan dikotomi ilmu. Sistem yang menafikan ilmu ketuhanan yang memisahkan faham wahyu dan akal, nilai moral dan akhlak ini telah menimbulkan kekacauan dan kekeliruan yang mendasar dan mengakibatkan krisis moral dan intelektual yang parah di tengah umat. Dekonstruksi nilai dan kebejatan sistem inilah yang dibahaskan dalam Konferensi Dunia Pertama mengenai Pendidikan Islam di Mekah pada tahun 1977 yang merumuskan bahawa krisis sebenar yang membelenggu umat adalah krisis intelektual. Kegawatan dan permasalahan pendidikan ini telah berusaha ditangani dengan konsensus yang dicapai dalam Konferensi tersebut untuk mewujudkan sebuah universiti Islam. 69 Lathaif, Volume 2 Nomor 1, Januari-Juni 2023 Hal Ini direalisasikan pada tahun 1983 dengan penubuhan Universiti Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM) yang berperanan untuk menegakkan nilai dan falsafah perubahan dan mereformasi sistem pendidikan, melalui upaya pengislaman dan pengintegrasian ilmu dan nilai. Selaras dengan itu, kertas ini berusaha menganalisis asal usul faham Islamisasi pengetahuan dan aspirasinya yang digarap dalam kerangka falsafah dan sejarah intelektual dan tradisi pemikiran Islam kontemporer. Ia secara khusus meninjau tentang peranan dan sumbangan al-Faruqi dan al-Attas dan kepeloporan mereka dalam pentakrifan konsep, dan pendekatan integratif yang dikembangkan, yang telah menyediakan rujukan materi yang berharga bagi para peneliti muda dan sarjana yang ingin membangunkan seperangkat pengetahuan kontemporer dari perspektif Islam. Dalam konteks semasa, upaya ini turut terkait dengan peranan institusi pendidikan seperti UIAM dan IIIT dalam memimpin gerakan perubahan dalam pendidikan, dengan menfokuskan kepada usaha pengislaman ilmu (Islamiyyat al-Ma‘rifat) dan integrasi sains (Takamul al-Ma‘rifi) yang digerakkan sejak 1983. Ia menggarap manhaj yang mendasari inisiatif penting ini dalam rangka teori dan praktis yang disintesiskan di semua Kulliyyah. Kajian turut menyorot perkembangan usaha integrasi di IIUM dan perkaitannya dengan inisiatif mutakhir seperti releventisasi ilmu-ilmu wahyu, Islamikisasi, dan masukan Islam (Islamic input) dalam ilmu sekular. Kajian turut menganalisis aspek yang diintegrasikan seperti integrasi ilmu dan nilai, kurikulum, disiplin keilmuan, ilmu dan amal dan wahyu dan akal serta melihat sumbangannya dalam pengislaman ilmu dan upaya menghidupkan turath dan warisan intelektual, budaya dan pemikiran dan melahirkan insan mutafannin. Penelitian ini penting bagi melihat kesan yang signifikan yang dipelopori UIAM dan IIIT dalam mengangkat martabat dan harakat pendidikan di dunia Islam dan membangunkan tradisi pemikiran dan peradabannya. Kajian terdahulu yang membahaskan tentang idea dan faham Islamisasi dan integrasi ilmu di UIAM ini banyak menfokuskan kepada manhaj dan operasinya dalam kurikulum, dan disiplin keilmuan. Tumpuan kajian ini adalah terhadap penelitian-penelitian baru yang terhasil dalam rentang waktu antara tahun-tahun 1980an hingga 2015. Abu Baker Mohmed (2004) dalam tesisnya yang mengkaji prinsip dan dasar yang diketengahkan dalam integrasi ilmu (takamul al-ma‘rifi) di Kulliyyah Ilmu Wahyu dan Sains Kemanusiaan (KIRKHS), UIAM merumuskan bahawa fikrah dan falsafah integrasi ini menjadi landasan yang penting dalam kaedah dan instruksi pembelajaran di Kulliyyah dalam rangka teoretikal dan praktiknya, dan pengalaman ini telah menyumbang kepada pengembangan idea dan manhaj sebagai model yang diangkat dalam pendidikan tinggi Islam bagi mengatasi krisis pendidikan dan peradabannya. Penelitian ini diperkukuh oleh Ibrahim Mohamed Zein (2011) dalam makalahnya yang menyorot tentang impak idea-idea penulisan al-Faruqi terhadap UIAM, dengan menjelaskan bahawa Kulliyyah of Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences (KIRKHS) yang diilhamkan oleh Abdul Hamid Abu Sulayman, Rektor kedua diwujudkan bagi mendukung usaha integrasi ilmu-ilmu agama dan sains sosial, dan melahirkan profesional Muslim yang dapat merealisasikan visi Islam. Menurutnya: “even some might argue that the best way to achieve that goal (to reform Islamic education and producing Muslim professionals) would be through integration of knowledge. This became the main principle around which the Kulliyyah of Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences was set up to facilitate the goal of integrating social sciences with Islamic Revealed Knowledge” (2011: 57-58). 70 Lathaif, Volume 2 Nomor 1, Januari-Juni 2023 Prinsip ini turut dihuraikan oleh Tan Sri Prof. Dr. Mohd. Kamal Hassan (2013) dalam penulisannya yang signifikan tentang dasar dan hala tuju dan matlamat integrasi ilmu di UIAM dengan memberikan penakrifan yang jelas tentang doktrin dan idea perubahan dan pembaikan (islah), pembaharuan (tajdid), penyegaran (ihya’), releventisasi, pemodenan (tahdith) dan integrasi (takamul ma’rifi), serta inisiatif dan usaha-usaha intelektual dan akademik yang digerakkan bagi merealisasikan visi pengislaman ilmu akliah dan misi integratif yang digagaskan ini: “integration or incorporation of Divinely revealed values and norms/Islamic worldview/Islamic or Qur’anic perspectives/positive aspects of Muslim religious and intellectual legacy with the contemporary social sciences, human sciences, humanities, natural sciences, applied and professional sciences.” Ini diusahakan secara terancang dan strategik, dengan memperluaskan dan mempesatkan inisiatif melalui upaya pengintegrasian yang terhad di Kulliyyah Sains dan Perubatan, seperti dinyatakannya: “A form of limited integration called “Islamic Input” has been going on for some time now in the Kulliyyah of Medicine”. Dalam rangka teori dan konsepsinya pula, idea ini turut dikaji oleh W. Mohd Azam Mohd Amin (2014) dalam artikelnya yang menyorot prinsip dan asas epistemologi yang melahirkan konsep integrasi ilmu dari karya-karya besar fuqaha dan filasuf Islam klasik seperti Imam Muhammad Idris al-Shafi‘i (w. 204/820) dalam Jima‘ al-‘Ilm, Abu Hamid al-Ghazali (w. 505/1111) dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, Ibn Khaldun (w. 806/1406) dalam ‘Ilm al-Sana’i‘, dan al-Dihlawi dalam al-Funun. Ia mencerakinkan kefahaman dan terminologi ilmu dalam karya-karya ini yang memperlihatkan bahawa kerangka dasar tentang integrasi ilmu telah dibangunkan oleh mereka yang menekankan tentang konsep ruh, ma‘rifah dan aspek praktikalnya. Prinsip ini dikembangkan dalam rangka moden oleh pemikir Islam mutakhir yang mengungkapkan istilah Islamisasi (Aslamat al-ma‘rifah), Islamikisasi (Islamiyyat alma‘rifat) dan integrasi ilmu-ilmu akliah (al-takamul) bagi melanjutkan usaha pengislaman yang diasaskan itu. METODE PENELITIAN Metode kajian ini adalah berasaskan kaedah kajian perpustakaan dan lapangan. Ia menyorot secara kualitatif dan kuantitatif literatur dan penulisan yang ekstensif yang menggariskan teori dan falsafah dan manhaj integratif (takamul al-ma‘rifi) yang diimplementasikan, dan merumuskan idea dan pandangan yang dilontarkan berasaskan kaedah induktif (istiqra’) dan deduktif (istinbat) yang objektif dan saintifik. Kajian turut menjalankan soal selidik dengan pimpinan tertinggi Universiti yang bertanggungjawab melakarkan kertas dasar tentang penubuhan universiti Islam, dan menjadi perancang awal yang merangka dasar Islamisasi dan integrasi sains dan menjadi tulang belakang dan arkitek kepada idea pengislaman ilmu (Islamiyyat alMa‘rifat), seperti Abdul Hamid Abu Sulayman (1936-18 Ogos 2021), Ibrahim Mohamed Zein, dan lain-lain. HASIL DAN PEMBAHASAN Tulisan ini bermaksud meninjau prinsip dan kerangka asas tentang faham Islamisasi pengetahuan dan gagasan integrasi ilmu dan nilai. Garis pemikiran ini dianalisis dari kerangka sejarah dan falsafah yang luas yang dikembangkan dan diperkukuh secara konsisten dalam konteks pemikiran moden dalam rangka merealisasikan matlamat Islamisasi (Aslamat al-ma‘rifah), Islamikisasi (Islamiyyat al71 Lathaif, Volume 2 Nomor 1, Januari-Juni 2023 ma‘rifat) dan integrasi ilmu-ilmu akliah (al-takamul) yang komprehensif. Pada asasnya, kajian ini membincangkan tentang Islamisasi ilmu (Islamization of Knowledge IOK), sebagai projek yang mewakili respon balas intelektual Muslim terhadap kemodenan. Respon intelektual ini, bermula pada akhir 1960an dan menjadi ciri penting dari perdebatan dan perbincangan ilmiah menjelang akhir 1980an dan awal 1990an. Kajian ini cuba mengajukan tinjauan ulang yang komprehensif terhadap IOK, membincangkan pemandangan pelopor-pelopor utama serta pengkritiknya dan merangkumkan isu-isu terkait takrif, rasional, and proses Islamisasi ilmu itu sendiri. Islamisasi Ilmu (IOK) dapat dianggap sebagai salah satu gerakan intelektual yang terpenting pada abad ke-20, dan ternyata merupakan salah satu respon balas yang paling dapat diandalkan dan bertahan lama dari intelektual Islam semasa terhadap kemodenan, jika kita mengambil akhir 1960an sebagai titik permulaannya. Penting dicatatkan bahawa seperti kebanyakan sarjana yang dibahas dalam tulisan ini, IOK harus dilihat terutamanya sebagai masalah epistemologis dan metodologis. Setelah hampir 30 tahun, terdapat banyak sekali kajian yang cuba membincangkan dan menganalisis projek IOK. Bagaimanapun, karya-karya itu biasanya terbatas kepada idea individu-individu atau institusi tertentu dan jika perbandingan dibuat, ini agak terbatas dalam ruang lingkup dan jumlahnya. Para penganjur IOK melihat urat akar punca permasalahannya adalah ilmu pengetahuan yang telah ditafsirkan melalui pandangan dunia Barat dan landasan epistemologinya. Penting pada masa ini untuk menyatakan bahawa semua sarjana yang mendakwa memajukan agenda IOK, harus secara definisi, mendukung interaksi dengan pengetahuan moden ketimbang mengambil pendirian penolak (rejectionist). Secara definisi, IOK membayangkan mendukung pendirian bahawa penyelesaian kepada permasalahan kontemporer menuntut sintesis antara warisan Islam dengan pengetahuan kontemporer (Fazlur Rahman, 1965:75-76). Sementara separuh terakhir dari era 1970an dan awal 1980an melihat pengenalan dan pertumbuhan awal konsep Islamisasi, akhir 1980an dan awal 1990an dapat dilihat sebagai dekad “keghairahan” dan “pernyataan aktif ” dan percubaan ke arah “pembangunan produk” i.e., “buku-buku teks Islam.” Meski demikian, menjelang separuh kedua era 1990an, ramai yang mula mempersoalkan “produk Islam” yang dikemukakan, dan malah mempersoalkan keseluruhan projek tersebut. Apakah kekuatan, kelemahan dan dapatkah projek IOK bertahan satu dekad lagi. Terdapat cukup banyak karya tentang IOK yang dikeluarkan sepanjang dua puluh tahun yang terakhir. Terdapat pendukung IOK dengan berbagai pendekatan dan pandangan mereka tentang apa yang ia libatkan; terdapat pengkritik IOK; sejumlah pengarang telah cuba meninjau ulang tulisan-tulisan individu atau institusi; sementara yang lain berusaha membuat perbandingan antara sarjana dan idea-idea mereka. Pengalaman IOK, baik yang positif mahupun negatif sejak dua puluh tahun yang lalu, terutamanya semenjak awal 1980an melihat pembentukan institusi-institusi seperti International Institute of Islamic Thought (IIIT), Universiti Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM), dan Institut Pemikiran dan Tamadun Islam Antarabangsa (ISTAC) yang didirikan untuk memperkembangkan usaha IOK. Institusi-institusi ini sangat kritikal di mana mereka telah menjadi tempat fizikal di mana upaya-upaya IOK telah berkembang sejak dua dekad yang terakhir. Penulisan awal tentang IOK dipelopori oleh dua tokoh pemikir utama. Pertamanya, Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang karya utamanya adalah buku72 Lathaif, Volume 2 Nomor 1, Januari-Juni 2023 buku dan monograf yang diterbitkan pada separuh kedua tahun 1970an, kebanyakannya oleh Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) dan kemudiannya terbitan Institut Pemikiran dan Tamadun Islam Antarabangsa (ISTAC), yang didirikan pada 1987, di mana beliau merupakan Pengasas-Pengarahnya. Tokoh atau kumpulan individu utama yang lain adalah mereka yang dikaitkan dengan Institut Pemikiran Islam Sedunia (IIIT) yang berpengkalan di Herndon, Virginia dan ditubuhkan pada 1981. Penulis-penulis utama dari IIIT termasuk almarhum Ismail Raji al-Faruqi, AbdulHamid AbuSulayman, Taha Jabir al-Alwani, semua Presiden IIIT di berbagai waktu, yang melalui penulisan mereka telah membangunkan “Sekolah Pemikiran IIIT” kepada keadaannya sekarang. (Mohamed Aslam Haneef, 2005) Dengan kemerdekaan politik mulailah muncul tekanan kaum Muslimin ke atas pemerintah mereka masing-masing bagi “penyelesaian pribumi” yang lebih besar ke atas permasalahan politik, sosial dan ekonomi mereka. Kegagalan yang dirasakan dari sistem kapitalis dan sosialis bagi umat Islam, digabungkan dengan kekayaan yang baru ditemui di negara-negara Islam yang kaya dengan simpanan minyak juga membawa kepada panggilan yang lebih besar ke arah penyelesaian dan alternatif Islam. Pada garis intelektual, ekonomi Islam adalah penerima manfaat pertama dari kekayaan yang baru ditemui dan kebangkitan intelektual yang menghasilkan Konferensi Antarabangsa Pertama Ekonomi Islam yang dilangsungkan di Mekah pada 1976. Tahun berikutnya, Persidangan Sedunia Pertama Pendidikan Islam juga diadakan di Mekah, dan membincangkan antara lain keperluan terhadap pembaharuan dalam sistem pendidikan di negara-negara Muslim serta idea tentang IOK. Meskipun persidangan ini mendorong kepada penubuhan universiti-universiti “Islam” yang khusus, satu di Islamabad (1981) dan yang lainnya di Kuala Lumpur (1983), idea IOK mungkin dapat ditelusuri kembali ke pertengahan tahun enam puluhan. (Louay Safi, 1996, 5). Dua orang penganjur utama IOK, yaitu al-Attas dan al-Faruqi/IIIT, menyebut dua alasan yang memberikan rasional bagi IOK, meski dengan penekanan dan pengenengahan yang berbeza. Alasan pertama yang dapat dipertimbangkan sebagai alasan luaran adalah keadaan politik, sosial dan ekonomi umat Islam. Al-Faruqi, secara khusus, menyebut dalam bahagian bertajuk ‘Masalah” dalam rangka-kerja 1982nya, “kelesuan ummah,” i.e. ketertinggalan dan kondisi ummah kontemporer yang rendah dalam semua lapangan (Al-Faruqi, 1982:1-6), politik (terbahagi, terpecah belah, pemerintahan tentera), ekonomi (belum berkembang, kebergantungan kepada Barat, buta huruf meski dengan kekayaan minyak yang besar yang baru ditemui) dan agama-budaya (pembaratan, terasing daripada Islam dan budayanya). Sementara semua manifestasi ini mungkin fakta sebenar di dunia Islam, Umar Hassan (1988) dalam responnya yang singkat kepada projek IOK memperingatkan penekanan al-Faruqi yang berlebihan terhadap punca luaran ini dan apa yang dilihatnya sebagai penandaarasan berterusan kepada Barat, dikhuatiri ianya boleh membawa kepada jebakan dalam rangka kerja Barat, tema yang ramai pengkritik seperti Ziauddin Sardar, Nasim Butt dan Yasien Mohamed (1993) juga angkat. Punca utama kelesuan itu dilihat terletak dalam kondisi pendidikan saat ini di dunia Islam dan tiadanya visi di pihak umat Islam. Untuk berlaku adil kepada al-Faruqi, ini adalah punca dalaman dan diakui olehnya. Yang awal adalah masalah kerana ia 73 Lathaif, Volume 2 Nomor 1, Januari-Juni 2023 dibelenggu oleh dwi bentuk sistem, satu sekular dan moden, yang lain agama dan tradisional. Yang akhir tidak diberi perhatian secukupnya oleh al-Faruqi. Merujuk kepada sistem pendidikan, beliau menyesali bahawa tiadanya visi Islam ini telah menafikan sistem pendidikan untuk benar-benar mencerminkan cita-cita Islam dan justeru menciptakan keadaan mediokriti di kalangan guru dan pelajar yang tidak sanggup menentang ideologi asing yang dihadapi di universiti. Abu Sulayman (1994: 2), yang mengambil alih dari al-Faruqi sebagai Presiden IIIT, melihat punca utama kelesuan adalah salah tanggapan ummah tentang ilmu yang menciptakan “krisis pemikiran” yang telah menjadikan umat Islam pentaklid yang buruk kepada Barat. Kedua-duanya Abu Sulayman dan al-Alwani (1989), Presiden ketiga IIIT, menambah apa yang disebut mereka “perpecahan sejarah” ilmu ke dalam ilmu-ilmu shari‘ah dan ilmu-ilmu lain, yang membawa kepada konsentrasi berlebihan dan pengkhususan yang sempit dalam yang awal dan pengabaian dalam yang akhir. Ilmu-ilmu lain yang merangkumi sains sosial dan kemanusiaan, ditinggalkan kepada sistem moden/sekular yang diacu mengikut tempaan Barat. Bagi Abu Sulayman, wujud keperluan yang mendesak untuk memperbaiki hubungan “wahyu-akal” ini, mentakrifkan semula ruang lingkup ilmu dan mengadakan prasarana pendidikan Islam (termasuk sistem). Sebaliknya, penyumbang utama lainnya kepada wacana IOK, yaitu al-Attas, sementara mengakui bahawa masalah yang dihadapi oleh masyarakat Islam tidak dapat dipisahkan dari faktor luaran, khasnya pertembungan sejarah dengan budaya dan peradaban Barat dan akibat penjajahan, mengesan sebab utama ketertinggalan ini berpunca dari sebab dalaman, lebih spesifik pada apa yang diistilahkannya sebagai “kehilangan adab” dalam diri umat Islam sendiri. Dengan adab, al-Attas merujuk kepada disiplin raga, pemikiran dan jiwa yang telah mengakibatkan kehilangan keadilan, yang menayangkan kekeliruan dalaman pada ilmu. Kekeliruan ilmu ini disebabkan ketidakupayaan umat Islam untuk membezakan “ilmu yang benar” daripada ilmu yang telah diserap dengan visi Barat. Dimensi dalaman atau alasan panggilan kepada IOK berasal dari premis asas bahawa ilmu pengetahuan semasa tidak bersifat neutral. Ini memerlukan beberapa penjelasan, kerana terdapat perbezaan pandangan tentang ini, meskipun seseorang dapat melihat isu ini sebagai masalah penakrifan dan ruang lingkup tentang apa yang dirujuk padanya ketika IOK disebut. Dalam karya al-Attas yang menjangkau antara 1978-1996, beliau memfokuskan terutamanya pada pertalian antara visi/pandangan dunia Islam dengan ilmu dan membuat perbandingan yang secara relatifnya mendalam dengan pendirian falsafah dan teologi Barat (khasnya Kristian). Kedua-duanya al-Attas dan al-Faruqi merujuk kepada pandangan dunia/rangka kerja di mana ilmu pengetahuan semasa ditafsir dan disajikan di dalamnya. Sementara al-Faruqi dan IIIT (1982, 1989) menyebut “dwi bentuk sistem pendidikan,” satu agama dan lainnya moden, sebagai sasaran bagi pembaharuan dan penyatuan, tiada pertimbangan secukupnya tentang masalah ilmu pengetahuan. Fokus mereka lebih tentang berbagai disiplin yang terdapat di universiti-universiti moden. Al-Attas, bagaimanapun cukup jelas dalam apa yang dilihatnya sebagai masalahnya dalam pernyataan berikut: “Cabaran sebenar kita adalah masalah kebinasaan ilmu. Ini terjadi disebabkan kekeliruan kita sendiri dan juga pengaruh yang datang dari falsafah, sains, dan ideologi daripada budaya dan peradaban Barat.” (1995, 15)… “Saya berani menyatakan bahawa cabaran terbesar yang telah secara 74 Lathaif, Volume 2 Nomor 1, Januari-Juni 2023 sembunyi-sembunyi muncul di zaman kita adalah cabaran ilmu, malah, bukan terhadap kejahilan; tetapi ilmu yang difahami dan disebarkan di seluruh dunia oleh tamadun Barat…Menurut saya penting untuk menekankan bahawa ilmu tidak bersifat neutral…tetapi penafsirannya melalui prisma, seakannya, pandangan dunia, wawasan intelektual dan persepsi psikologi dari peradaban yang kini memainkan peranan kunci dalam perumusan dan penyebarannya” (1978, 127). Al-Faruqi (1981, 1982) juga membahas faktor dalaman tetapi tidak serinci alAttas. Beliau melihat sains sosial Barat sebagai “tidak lengkap” kerana ia mengabaikan wahyu sebagai sumber ilmu; “semestinya Barat” atau lebih tepatnya, eurosentris, kerana ia berkembang dalam pengalaman Eropah Barat sepanjang tiga abad yang lalu; dan akhirnya, penolakan wahyu melanggar keperluan yang krusial dari metodologi Islam, justeru kebutuhan bagi IOK. Al-Alwani (1995) mendukung ini dengan pemandangannya bahawa ilmu moden telah menjadi “positivistik,” pembacaan “satu-kitab” (alam sahaja), oleh sebab itu tidak memadai dari perspektif Islam yang menuntut “pembacaan dua kitab” (wahyu dan alam). Dalam kertas sebelumnya (1989), beliau mengakui bahawa sains sosial dan kemanusiaan semasa adalah produk pemikiran Barat dan mempunyai metodologi, isi, natijah, tujuan, penjelasan tentang perilaku manusia dan pandangan tentang hidup dan alam yang bertentangan dengan perspektif Islam. Hanya “pembacaan dua kitab” akan memberikan pemahaman yang seimbang tentang realiti. Kegagalan untuk melakukannya tidak akan menghasilkan masyarakat yang benar-benar terpelajar tetapi hanya “kerani dan pegawai” (1989, 233). Dalam mempertimbang dan menganalisis pelbagai pendapat tentang IOK, penakrifan yang tepat terhadap frasa perlu dikemukakan. Sebahagian sarjana memberi perhatian yang lebih terhadap keperluan bagi definisi, yang lain berpuas hati dengan “definisi kerja” sementara ramai yang sama ada tidak memandangnya penting atau mengambil salah satu takrif yang diberikan oleh sarjana lain. IIIT nampaknya telah mengambil pandangan yang akhir seperti dinyatakan oleh alAlwani (1995, 83) bahawa: “Para sarjana sekolah pemikiran kita tidak berusaha memberikan takrif yang benar-benar inklusif dan ekslusif mengikut cara klasik.” Beliau menambah bahawa agenda IOK seharusnya tidak terbatas kepada batasan takrif yang keras dan cepat. Tulisan ini berpendirian bahawa sekurangkurangnya definisi kerja diperlukan supaya usaha Islamisasi mempunyai hala tuju dan fokus. Memiliki definisi juga mengenalpasti ruang lingkup Islamisasi dan memungkinkan penentuan keutamaan usaha. Dalam hal ini, al-Attas menonjol daripada yang lain kerana desakannya pada definisi yang tepat terhadap istilah dan konsep yang digunakan dalam kesarjanaan. Umumnya, Islamisasi ditakrifkan oleh alAttas (1978) sebagai: “…pembebasan manusia pertamanya daripada tradisi magis, mitos, animistik, budaya-kebangsaan (yang bertentangan dengan Islam), kemudian daripada kawalan sekular ke atas akal dan bahasanya.” Berkenaan dengan ilmu, khasnya ilmu pengetahuan moden atau kontemporer, seperti yang dinyatakan dalam bahagian sebelumnya, tidak bebas-nilai. Ia semestinya mencerminkan penafsiran dan rangka kerja peradaban di mana ia berkembang. Justeru, Islamisasi dalam konteks ini bermakna: “Pembebasan ilmu daripada tafsirannya berdasarkan ideologi sekular; dan daripada makna dan ekspresi sekular.” Bahagian yang sangat penting daripada pembebasan dan pelepasan ini adalah konsep pandangan alam yang al-Attas (1995) takrifkan sebagai: “pandangan tentang 75 Lathaif, Volume 2 Nomor 1, Januari-Juni 2023 hakikat dan kebenaran yang muncul di hadapan mata fikiran kita menampakkan hakikat kewujudan yang sebenar,” yang diwakili oleh frasa ru’yat al-islam li al-wujud. Visi Islam tentang hakikat dan kebenaran ini, yang merupakan tinjauan metafizik tentang dunia yang terlihat dan tak dapat dilihat dan kehidupan secara keseluruhan, perlu difahami oleh “pengislam” terlebih dahulu kerana proses Islamisasi tidak boleh berlaku melainkan orang yang menjalankannya mengetahui apa yang perlu “diserapkan,” apa yang dapat diterima, dan apakah alternatif yang boleh diterima atau tidak dan mengapa. Sementara sains sosial/kemanusiaan adalah cabang utama ilmu yang menjadi fokus Islamisasi, sains tabii, fizikal dan gunaan juga terlibat dari segi landasan falsafah yang mendasarinya, pentafsiran dan juga perumusan teori. Malah, menurut al-Attas (1995) tugas Islamisasi ilmu harus melibatkan: “Pemeriksaan yang kritis terhadap metode sains moden; konsep, andaian, dan simbolnya; aspek empirikal dan rasionalnya, dan yang melanggar nilai dan etika; interpretasinya tentang asal-usul, teorinya tentang ilmu; pengandaiannya tentang keberadaan dunia luar, tentang keseragaman alam, dan tentang rasionaliti proses semulajadi; teorinya tentang alam; klasifikasinya tentang sains: keterbatasan dan keterkaitannya satu sama lain dalam sains dan hubungan sosialnya.” Wan Mohd. Nor (1997) dalam karyanya tentang al-Attas memperingatkan bahawa seseorang mungkin mendapati mereka yang berfikiran-lemah yang dengan keliru menganggap proses Islamisasi sebagai proses mekanikal yang bekerja di luar pemikiran dan jiwa. Mengutip al-Attas, beliau mengingatkan pembaca bahawa proses IOK bersifat konseptual, justeru “mereka disajikan kepada intelek, dan oleh itu dirujuk sebagai berada dalam fikiran.” Individu yang berfikiran-lemah inilah yang kemudian mulai bercakap tentang “sepeda Islam, keretapi Islam dan bom Islam,” atau memberi keutamaan yang lebih tinggi kepada penciptaan institusi fizikal, tanpa menyedari bahawa IOK memerlukan pertama sekali, kecerdasan yang cemerlang. Al-Faruqi (1982) juga melihat IOK sebagai proses “menyusun semula ilmu sebagaimana Islam berkait dengannya.” Ia melibatkan ruang lingkup aktiviti yang luas termasuk, akhirnya, untuk mengatasi dikotomi antara sistem pendidikan sekular moden dengan Islam tradisional. IOK juga bertujuan untuk “menghasilkan bukubuku teks peringkat universiti dengan menyusun semula kira-kira dua puluh disiplin mengikut visi Islam” dan sementara penguasaan ilmu pengetahuan moden adalah “prasyarat pertama” bagi IOK, ini harus diikuti dengan “menyatukan ilmu pengetahuan baru ke dalam korpus warisan Islam dengan menghapuskan, meminda, menafsir ulang dan menyesuaikan komponennya sebagaimana yang didikte oleh pandangan dunia Islam dan nilai-nilainya. Dari definisi dan skop yang dikemukakan oleh al-Attas dan sedikit sebanyak oleh al-Faruqi, ternyata bahawa IOK seperti diungkapkan oleh Ragab (1995), pokoknya adalah masalah epistemologi dan metodologi dan melibatkan integrasi ilmu berdasarkan sumber-sumber Islam, yang terhasil oleh metode sains sosial moden. Ia merupakan upaya penelitian dan pembinaan teori, bermaksud untuk mengembalikan semula perusahaan ilmiah umumnya dan sains sosial khasnya, ke jalan yang benar dari penyatuan wahyu dan pemerhatian dunia nyata; ia tidak boleh menjadi proses penambahan dan penolakan yang sederhana tetapi proses yang serius dari ‘penglibatan kreatif ’ dengan sains sosial moden (Ragab, 1997). 76 Lathaif, Volume 2 Nomor 1, Januari-Juni 2023 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Tulisan ini telah merumuskan pandangan ringkas tentang Islamisasi ilmu dengan ikhtisar dan analisis sejarah yang mendukung dan mencabar kritik dan tesis yang dilontarkan. Tesis al-Faruqi dan al-Attas telah diakui secara meluas secara intelektual khasnya di kalangan ahli akademik dan persuratan Islam, dengan beberapa kritik yang berkesan di peringkat yang paling dasar terutamanya oleh Ziauddin Sardar. Penemuan kajian memperlihatkan persamaan dan perbedaan idea-idea serta kekuatan dan kelemahan konsep, kerangka falsafah dan metodologi keduanya, selain meneroka kemungkinan untuk mendamaikan teori dan premis yang diutarakan bagi memajukan lagi usaha Islamisasi Ilmu. Dalam meneliti, memperbanding dan menganalisis idea kedua-dua sarjana berhubung berbagai tafsiran terkait konsep Islamisasi Ilmu, ia mendedahkan keterbukaan idea dan manhaj integratif yang digariskan dan keberkesanannya dalam menangani permasalahan dikotomi dan krisis intelektual dan nilai di dunia Islam, seraya menetapkan kaedah yang holistik dan ideal dalam integrasi ‘ulum al-naqli dan aqli bagi mempesatkan usaha pembaharuan dan menggerakkan revolusi pendidikan di dunia Islam. . REFERENSI Abdul Hamid A. S., ed. (1989). Islamization of Knowledge. Riyadh: International Islamic Publishing House and the International Institute of Islamic Thought. Abdul Hamid A. S. ed. (1994). Islamization: Reforming Contemporary Knowledge. Herndon: International Institute of Islamic Thought. Abu Baker, M. A. M. (2004). Mafhum al-Takamul al-Ma‘rifi wa Tatbiqatuhu fi al-Manahij al-Jami‘iyyah: Dirasat fi Tajribat Kulliyyah Ma‘arif al-Wahy al-Islami wa’l-‘Ulum alInsaniyyah bi’l-Jami‘ah al-Islamiyyah al-‘Alamiyyah - Maliziyya (1990-2000). PhD dissertation, Institute of Education, International Islamic University Malaysia. Al-Alwani, T. J. (1989). Islamization of Methodology of Behavioral Sciences. The American Journal of Islamic Social Sciences (AJISS), 6(2), 227-238. Al-Alwani, T. J. (1995). The Islamization of Knowledge: Yesterday and Today. The American Journal of Islamic Social Sciences (AJISS), 12(1), 81-101. Al-Attas, S. M. N. (1978). The Dewesternization of Knowledge. In Islam and Secularism (133-150). Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia (ABIM). Al-Attas, S. M. N. (1980). The Concept of Education in Islam: A Framework of an Islamic Philosophy of Education. Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia (ABIM). Al-Attas, S. M. N. (1995). Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization. Al-Faruqi, I. R. (1982). Islamization of Knowledge: The Problem, the Principle and the Workplan. Herndon: International Institute of Islamic Thought. Al-Faruqi, I. R. (1981). Islamizing the Social Science. In Social and Natural Science, eds. Al-Faruqi, I.R. & Nascef, A.O. Jeddah: King Abdul Aziz University. Anwar, I. (1993). Muslim Ummah: Vision and Hope. Intellectual Discourse, 1(1), 5-8. Haneef, M. A. (2005). A Critical Survey of Islamization of Knowledge. Kuala Lumpur: Research Centre IIUM. 77 Lathaif, Volume 2 Nomor 1, Januari-Juni 2023 Hassan, M. K. (2013). Malay Intelligentsia’s Quest for an Islamic University and the Future of “Islamisation of Human Knowledge” in International Islamic University Malaysia. In UIAM The Premier Global Islamic University, eds. Zaleha Kamaruddin, Abdul Rashid Moten. Kuala Lumpur: UIAM Press. Centre for Islamisation. (2013). UIAM Policies and Guidelines on Islamisation. Kuala Lumpur: Centre for Islamisation (CENTRIS). Fazlur, R. (1965). Islamic Methodology in History. Karachi: Central Institute of Islamic Research. Ibrahim, M. Z. (2011). Religions As a “Life Fact”: Al-Faruqi’s Impact on the International Islamic University Malaysia. The American Journal of Islamic Social Sciences, 28(3), 53-74. IIIT. (1989). Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan, ed. AbdulHamid A. S. Herndon: International Institute of Islamic Thought. Louay, S. (1996). The Foundation of Knowledge: A Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry. Herndon: International Institute of Islamic Thought. Louay, S. (1993). The Quest for an Islamic Methodology: The Islamization of Knowledge Project in Its Second Decade. The American Journal of Islamic Social Science 10 (1), 23-48. Ragab, I. A. (1995). On the Nature and Scope of the Islamization Process: Toward Conceptual Clarification. Intellectual Discourse, 3(2), 113-122. Ragab, I.A. (1997). Creative Engagement of Modern Social Science Scholarship: A Significant Component of the Islamization of Knowledge Effort. Intellectual Discourse, 1(5), 35-49. Umar, H. (1988). Islamization of Knowledge: A Response. The American Journal of Islamic Social Sciences (AJISS), 5(2), 327-333. Yasien, M. (1993). Islamization: A Revivalist Response to Modernity. Muslim Education Quarterly (MEQ), 10(2), 2-23. Wan Daud, W. M. N. (1997). Islamization of Contemporary Knowledge: A Brief Comparison Between al-Attas and Fazlur Rahman. Al-Shajarah, Journal of International Institute of Islamic Thought and Civilization, 2(1), 1-19. W. Mohd Azam, M. A. (2014). A Preliminary Analysis of The Classical Views of the Concept of Integration of Knowledge. Revelation and Science, 4 (2), 12-22. 78 Lathaif, Volume 2 Nomor 1, Januari-Juni 2023