Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

TAFSIR TARBAWI

Judul Tafsir Tarbawi Sinopsis Buku ini ditulis oleh beberapa penulis dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Tiga tulisan awal ditulis oleh Dr. Nasarudin, S.Pd.I., M.Pd dengan judul Konsep Tarbiyah dalam Al-Qur’an dan tulisan Amri Amri dengan judul Konsep Ta’lim dalam Al-Qur’an dan tulisan Dr. Ahmad Deski, S.S.I., MA dengan judul Konsep Tadris dalam Al-Qur’an. Tiga tulisan setelah itu ditulis oleh Zulfahmi Syahri, S.Pd.I, MA dengan judul Hakikat Ilmu Dalam Al-Qur’an, tulisan Dr. Nurzannah, M.A dengan judul Kewajiban Belajar Dalam Al-Quran, dan tulisan Febri Wardani, M.Ag dengan judul Kewajiban Mengajar Dalam Al-Qur’an. Buku ini diakhiri oleh tiga tulisan berikutnya diantaranya tulisan Haerudin, Lc., MA. dengan judul Motivasi Belajar Dalam Al-Qur’an, tulisan Riyanto, S.Pd.I., M.Pd.I. dengan judul Instrumen Pembelajaran Dalam Al-Qur’an, dan tulisan Dr. Andi Abd. Muis, M.Pd.I dengan judul Peserta Didik Dan Pendidik Dalam Al-Qur’an. Genre Pendidikan Penulis Dr. Nasarudin, S.Pd.I., M.Pd., dkk Editor Yulda Dina Septiana, M.A. dan Rahma Yani ISBN Proses Jumlah Halaman 171 Tahun Terbit 2023 Penerbit CV. Afasa Pustaka Edisi 1 Cetakan Ke 1

ii Dr. Nasarudin, S.Pd.I., M.Pd., Dkk TAFSIR TARBAWI Sumatera Barat-Indonesia iii TAFSIR TARBAWI Penulis: Dr. Nasarudin, S.Pd.I., M.Pd Amri, S.Th.I.,M.Pd.I Dr. Ahmad Deski, S.S.I., MA Zulfahmi Syahri, S.Pd.I, MA Febri Wardani, M.Ag Riyanto, S.Pd.I., M.Pd.I Haerudin, Lc., MA. Dr. Nurzannah, M.Ag Dr. Andi Abd. Muis, M.Pd.I Editor: Yulda Dina Septiana, M.A. Rahma Yani Setting Lay Out & Cover: Mega Azzahra Diterbitkan Oleh: CV. Afasa Pustaka Perumahan Pasaman Baru Garden Blok B Nomor 8 Katimaha, Lingkuang Aua, Kecamatan Pasaman Simpang Empat Pasaman Barat 26566 Sumatera Barat, Indonesia Mobile: 085376322130 Email: chadijahismail@gmail.com Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin Penerbit Cetakan ke-1, November 2023 ISBN: 978-623-09-6946-1 iv KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabiil'alamin. Puji dan syukur kepada Allah SWT., atas terbitnya buku Tafsir Tarbawi. Penerbitan buku ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi penyebaran dan pengembangan ilmiah intelektual pada perguruan tinggi. Buku ini ditulis oleh beberapa penulis dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Tiga tulisan awal ditulis oleh Dr. Nasarudin, S.Pd.I., M.Pd dengan judul Konsep Tarbiyah dalam Al-Qur’an dan tulisan Amri, S.Th.I, M.Pd.I dengan judul Konsep Ta’lim dalam Al-Qur’an dan tulisan Dr. Ahmad Deski, S.S.I., MA dengan judul Konsep Tadris dalam AlQur’an. Tiga tulisan setelah itu ditulis oleh Zulfahmi Syahri, S.Pd.I, MA dengan judul Hakikat Ilmu Dalam Al-Qur’an, tulisan Dr. Nurzannah, M.A dengan judul Kewajiban Belajar Dalam Al-Quran, dan tulisan Febri Wardani, M.Ag dengan judul Kewajiban Mengajar Dalam Al-Qur’an. Buku ini diakhiri oleh tiga tulisan berikutnya diantaranya tulisan Haerudin, Lc., MA. dengan judul Motivasi Belajar Dalam Al-Qur’an, tulisan Riyanto, S.Pd.I., M.Pd.I. dengan judul Instrumen Pembelajaran Dalam Al-Qur’an, dan tulisan Andi Abd. Muis dengan judul Peserta Didik Dan Pendidik Dalam Al-Qur’an. Penulis sangat menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dan kelemahan dalam buku ini. Masukan dan kritikan dari semua pihak sangat kami harapkan. Terimakasih. Penulis v DAFTAR ISI Kata Pengantar__ iv Daftar Isi__v BAB 1 Konsep Tarbiyah dalam Al-Qur’an _1 BAB 2 Konsep Ta’lim dalam Al-Qur’an _23 BAB 3 Konsep Tadris dalam Al-Qur’an _36 BAB 4 Hakikat Ilmu Dalam Al-Qur’an _48 BAB 5 Kewajiban Belajar Dalam Al-Quran_65 BAB 6 Kewajiban Mengajar Dalam Al-Qur’an _80 BAB 7 Motivasi Belajar Dalam Al-Qur’an _92 BAB 8 Instrumen Pembelajaran Dalam Al-Qur’an _114 BAB 9 Peserta Didik Dan Pendidik Dalam Al-Qur’an_134 BIOGRAFI PENULIS_150 1 BAB 1 KONSEP TARBIYAH DALAM AL-QUR’AN Dr. Nasarudin, M.Pd. A. Pendahuluan Tafsir tarbawi adalah jenis tafsir yang berfokus pada aspek pendidikan dan pembinaan moral dalam Al-Qur'an. Eksistensi tafsir tarbawi sangat penting dalam konteks pendidikan Islam, karena melalui tafsir ini, dapat dipahami konsep eksistensi pendidikan yang terkandung dalam Al-Qur'an. Tafsir tarbawi membantu dalam memahami pesan-pesan moral yang terkandung dalam Al-Qur'an dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Tafsir ini juga membantu dalam membentuk karakter dan kepribadian yang baik, serta membina sikap dan perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam. Eksistensi tafsir tarbawi juga penting dalam konteks pendidikan formal, di mana tafsir ini dapat digunakan sebagai sumber pembelajaran untuk mengajarkan nilai-nilai moral kepada siswa. Dengan memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai moral yang terkandung dalam Al-Qur'an, diharapkan siswa dapat menjadi individu yang bertanggung jawab, jujur, adil, dan memiliki sikap yang baik terhadap sesama. Selain itu, tafsir tarbawi juga dapat menjadi pedoman dalam menghadapi berbagai masalah dan tantangan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memahami pesan moral yang terkandung dalam Al-Qur'an, individu dapat mengambil keputusan yang bijaksana dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dalam konteks pendidikan Islam, eksistensi tafsir tarbawi juga penting dalam mengembangkan kurikulum pendidikan yang berbasis nilai-nilai Islam. Dengan memasukkan tafsir tarbawi dalam kurikulum, pendidikan Islam dapat memberikan 2 pendidikan yang holistik, yang tidak hanya fokus pada aspek akademik, tetapi juga pada pembentukan karakter dan moral peserta didik. Secara keseluruhan, eksistensi tafsir tarbawi sangat penting dalam konteks pendidikan Islam. Melalui tafsir ini, individu dapat memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai moral yang terkandung dalam Al-Qur'an, serta membentuk karakter dan kepribadian yang baik. Kajian tafsir tarbawi atau tafsir tarbiyah menjadi bidang kajian mengupas konsep tarbiyah (pendidikan) sesuai dengan kandungan isi Al-Qur‟an. Tarbiyah dalam Al-Quran adalah konsep pendidikan dan pembinaan diri yang ditekankan dalam ajaran Islam. Konsep ini mencakup pengembangan spiritual, moral, intelektual, dan sosial individu agar mencapai kesempurnaan sebagai hamba Allah. Dalam Al-Quran, tarbiyah ditekankan sebagai tanggung jawab setiap individu untuk mengembangkan diri mereka sendiri dan membantu orang lain dalam menggali potensi terbaik mereka. B. Makna Tarbiyah Secara etimologi, makna tarbiyah berasal dari bahasa Arab. Kata "tarbiyah" berasal dari akar kata "rabb" yang berarti "Allah" atau "pemilik" dan kata kerja "tarubbu" yang berarti ّ "mendidik" atau "mengasuh". Kata rabba (ّ‫)رب‬ yang berarti memelihara dan menjaga namun lebih menggunakan kata ّ dengan bentuk sinonimnya dalam fi‟il rubai-nya yaitu rabba (ّ‫)رب‬ masdarnya yaitu tarbiah (‫ )تربية‬bukan menggunakan istilah tarbib (‫ )تربيب‬dari kata rabbaba (‫) ّربب‬. Sehingga dalam bahasa Arab pendidikan dikenal dengan istilah tarbiah (‫ )تربية‬yang dalam bahasa operasionalnya menggunakan kata ta‟lim (‫ )تعليم‬derivasi dari kata ilmun (‫ )علم‬yang bersinonim dengan kata tadris (‫ )تدريس‬yang 3 bermakna pendidikan dan pengajaran (Nasarudin, 2023). Kata tarbiyah yang dapat mewakili konsep pendidikan Islam (LAL, 2010). Menurut para ahli kata tarbiyah dalam bahasa Arab َ raba berkaitan dengan kata dasar kata kerjanya yaitu rabiya (ّ‫)ر ِ ِ َب‬, َ Berikut penjelasannya. (‫)ربا‬, dan rabba (ّ‫)رب‬. 1. Kata Dasar Rabiya (َ‫َ)ر ِ ِ َب‬ Dalam kamus Almaany kata rabiya (ّ‫ َ)ر ِ ِ َب‬berarti nasya‟a ََ َ - ‫رب‬ (‫ )نشأ‬artinya tumbuh. Berikut derivasinya (ّ‫رب‬ ّ َ ‫ َي‬- ‫ب‬ ّ َ ‫ ْإر‬- ّ‫)رباء‬ ِِ (Almaaniy.com, 2023). Kata ini terdapat dalam Al-Qur‟an dalam bentuk fi‟il mazid biharf (kata kerja tambahan satu huruf) yaitu yurbi ُ ُ ‫َي ْم َح ُق ه‬ ِّ ‫ّإّٰلل‬ (ّ‫)يرب‬ َ ِ ‫ّإلر ٰبوإّ َوي ْر‬ ِ ٰ dalam surat Al-Baqarah yang berbunyi (ّ ‫ب‬ َ ّ ِ ‫)إلصدق‬. Artinya: Allah menghilangkan (keberkahan dari) riba dan ‫ت‬ menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang sangat kufur lagi bergelimang dosa. (Al-Baqarah [2]:276). Ada juga dengan ْ َ ّ dalam surat Al-Isra‟ ayat 24 yang berbunyi (ّ‫ض‬ ْ ‫إخف‬ kata rabba (ّ‫)رب‬ ِ ‫و‬ ُّ َ َ َ َ ُ َ َ َّ ْ ‫ّإلذ ِّل ّم َن ّإلر ْح َمة َّو ُق ْل ّر ِّب‬ ّ‫ن ّ َص ِغ ْْ ًيإ‬ َْ ِ ِ ‫ّإر َح ْم ُه َما ّك َما ّ َرب ٰي‬ ‫)لهما ّجناح‬. Artinya: ِ ِ Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Allahku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua (menyayangiku ketika) mendidik aku pada waktu kecil.” (AlIsrā' [17]:24) (Kemenag, 2023). ّ inilah yang menjadi kata asal tarbiyah yaitu Kata rabba (ّ‫)رب‬ َ rabba yurabbi tarbiyun (ّ‫ رب‬- ‫رب‬ ّ ِ ِّ ‫ ُي‬- ‫رب‬ ّ‫ )ت ِ ي‬lalu berubah jadi tarbiyah َ (ّ‫ )تربية‬dengan mengganti huruf ya menjadi huruf ta, yang semakna dengan kata tahzib (‫ )تهذيب‬artinya perawatan, tansyiah (‫)تنشئة‬ artinya penumbuhan, dan tanmiyah (‫ )تنمية‬artinya pengembangan. َ ُ Contoh dalam sebuah kalimat Ayah mendidik anaknya (‫ّإألبّإبنه‬ ‫)رب‬, maka maksudnya Ayah merawat dan mengembangkan kekuatan fisik, 4 ّ ّ ‫هذبه‬ kecerdasan dan akhlak anaknya sampai sempurna (ّ ‫ّونّم ّقوإه‬ ّ ّ ّ ‫ةّك ّتبلغّكمالها‬ ِ ‫)إلجسميةّوإلعقليةّوإلخلقي‬. Jadi, secara harfiah, tarbiyah dapat diartikan sebagai proses mendidik atau mengasuh seseorang untuk mencapai perkembangan dan pertumbuhan yang baik. 2. Kata Dasar Raba (‫َ)ربا‬ Dalam kamus Almu‟ashir kata raba (‫ َ)ربا‬berarti nasya‟a (‫)نشأ‬ artinya tumbuh. Derivasinya (‫ ربا‬- ‫ َيربو‬- ‫ب‬ ّ َ ‫ ْإر‬- ‫( َ)ربوإ‬Annahlawi, 1983). Kata ini terdapat dalam Al-Qur‟an dalam bentuk fi‟il madhi (kata kerja lampau) yaitu rabat (‫ )ربت‬dalam surat Fussilat yang َ َ َََْْ َٓ َ ْ َ ْ َْ ۤ ْ berbunyi (‫ت‬ َ ‫ّعل ْي َها ّإل َما َء ّإه زيت ّ َو َرب‬ ‫ )ف ِاذإ ّإنزلنا‬Artinya: Maka apabila Kami menurunkan air (hujan) padanya, ia pun hidup dan menjadi subur (Fuṣṣilat [41]:39. Dan juga dalam bentuk fi‟il mudhari yaitu ُ َٰ ٓ yarbu (‫ )يربو‬terdapat dalam surat Arrum, yang berbunyi (ّ‫َو َماّإت ْيت ْم ِّّم ْن‬ ِّ ً ِّ ‫َْ ه‬ ُ َ ََ ُ ْ َ ‫اّل‬ َ ْ َ ْٓ ‫يب َو ۟إ ز‬ ِّ ‫اسّفَلّي ْرب ْواّ ِعند‬ ‫ّإّٰلل‬ ْ ‫ )رب‬Artinya: Riba yang kamu berikan ِ ‫ّفّإمو ِإلّإلن‬ ِِ agar berkembang pada harta orang lain, tidaklah berkembang dalam pandangan Allah (Ar-Rūm [30]:39) ّ 3. Kata Dasar Rabba (َ‫)رب‬ ّ Dalam kamus Alwasit kata rabba (ّ‫)رب‬ berarti menjaga, memelihara, mengusai dan menjamin. Imam Baidhawi menafsirkan kata rabb dengan makna tarbiyah yaitu menuju ke suatu kesempurnaan dengan bertahap (Al-Ajamiy, 2006). ّ -‫ب‬ Derivasinya (ّ‫رب‬ ّ ُّ ‫ َي ُر‬- ‫ ًّربا‬- ‫ أربابا‬- ‫)ربان‬. Kata ini paling banyak ّ frekuensinya di dalam Al-Qur‟an baik dalam bentuk tunggal (ّ‫)رب‬ maupun bentuk jamak/banyak (‫)أربابا‬ dan bentuk ْ َ ُّ mubalagah/melebihkan (‫ )رب ِانيون‬serta bentuk jamak dari kata rabbi (‫ )ربيب‬yaitu raba‟ib. Jika kata ini berdiri sendiri maka kata itu mutlak maksudnya Allah swt. Kata rabb salah satu nama Allah. 5 Dalam albayan.com data rabb yang berdiri sendiri disebutkan dalam Al-Qur‟an sebanyak 130 kali, yang bergandengan dengan kata lain sebanyak 2954, dan yang bentuk jamak sebanyak 4 kali, jadi keseluruhan berjumlah 3088 kali. Berikut rinciannya, kata ‫رب‬ ُ ِّ ُ َّ َ َّ َ َّ َ َّ َّ ُ َّ 130, ‫م‬ َ ْ ‫ ِب َربك‬5, ‫ك‬ َ ‫ َرب‬220, ‫م‬ َُ ‫ َربك‬102, ‫ َربنا‬106, َ‫ َربنا‬106, ‫م‬ َ ْ ‫ َرب ه‬111, َ‫ َربه‬73, ٓ ُ ُّ َ ُّ َ ُّ ُّ ُّ ِّ َ ُّ ُ ُّ َ ‫ َرب‬220, ‫م‬ ‫ك‬ َْ ‫ َربك‬102, ‫ َربنا‬106, ‫ َرب ها‬7, ‫م‬ َ ْ ‫ َرب ه‬111, َ‫ َربه‬73, ‫ َرب َه‬73, ‫ب‬ َ ‫ َر‬130, ُ ِّ َ ِّ ٓ ِّ َ َّ ِّ ِّ َْ ‫ َربك‬102, ‫ َربنا‬106, ‫م‬ ‫م‬ َ ْ ‫ َرب ِه‬111, َ‫ َربه‬73, ‫ َرب َه‬73, ‫ب‬ ََ ِ ِّ ‫ َر‬94, ‫ب‬ َْ ِ ِّ ‫ َر‬94, ‫ك‬ َ ‫ َّرب‬220, ُ ِّ ُ ُّ َ ِّ َ ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ َ ‫ َّرب‬220, ‫م‬ ‫ك‬ َْ ‫ َّربك‬102, ‫م‬ َ ْ ‫ َّرب ِه‬111, َ‫ َّربه‬73, ‫ب‬ َ ‫ ِل َر‬4, ‫ك‬ َ ِ ‫ ِل َرب‬2, ‫م‬ َْ ‫ َو َربك‬10, ‫ك‬ َ ‫َو َرب‬ َ ً َ 11, ‫ ا ْربابا‬3, ‫ ربانيون‬3, dan ‫ ربائب‬1 (Albayan.com, 2023). Semua kata rabb tersebut keseluruhannya berbentuk kata benda tidak ada yang berbentuk kata kerja kecuali dalam sebuah َ َ َ َ َ َ ُّ َ hadis yang berbunyi (‫ )ه ْل ّلك ّعل ْي ِه ِّم ْن ِّن ْع َم ٍة ّت ُرب ها ّ َعل ْي ِّه‬Artinya: Ia bertanya, “Hendak kemana kah kamu? Apakah kamu memelihara (memiliki) hutang budi kepadanya sehingga kamu mengunjunginya?” (HR. Muslim: 2567). Adapun pada surat As-Syuara ayat 18 terdapat kata nurabbikum namun tidak menggunakan kata dasar rabba tapi kata dasar raba atau rabiya yang berbentuk fi‟il mudhari‟ ّ ُ dari kata dasar empat huruf yaitu rabba (ّ‫ رب‬- ّ‫رب‬ ِ ‫ )ي‬yang dibuang huruf akhirnya. Bunyi ayatnya: َ ْ َ َ ً َ َ َ ِّ ُ ْ َ َ َ َ ُ ْ ‫تّف َين‬ َ‫ّع ُمر َكّسن ز‬ (ّ‫ي‬ ْ ِ ِ ِ ‫اّمن‬ ِ ِ ‫)قالّألمّن َربك ِّفيناّو ِليدإّول ِبث‬. Artinya: Firaun menjawab: "Bukankah kami telah memeliharamu (mengasuhmu) di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu. C. Konsep Tarbiyah Dalam Al-Qur’an Dalam konteks Islam, tarbiyah memiliki makna yang lebih luas karena tarbiyah selalu dalam kerangka konsep rabb (Tuhan) sehingga melahirkan konsep tarbiyah yang komprehensif. Tarbiyah mengacu pada proses pendidikan dan pembinaan yang 6 bertujuan untuk membentuk pribadi yang baik dan berakhlak mulia sesuai dengan ajaran agama Islam. Tarbiyah juga mencakup pengembangan spiritual, moral, intelektual, dan sosial individu agar dapat hidup sesuai dengan nilai-nilai Islam dan berkontribusi positif dalam masyarakat. Dalam konsep tarbiyah, pendidikan tidak hanya terbatas pada aspek akademik, tetapi juga melibatkan pembentukan karakter, kepribadian, dan sikap hidup yang Islami. Proses tarbiyah melibatkan berbagai metode dan pendekatan, termasuk pengajaran, pembinaan, teladan, dan pengalaman praktis. Tujuan utama tarbiyah adalah untuk menciptakan individu yang bertakwa kepada Allah, memiliki pengetahuan yang baik, berakhlak mulia, dan mampu berkontribusi dalam membangun masyarakat yang Islami. Konsep tarbiyah dalam Al-Qur'an sesuai dengan tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengembangkan potensi manusia agar mencapai kesempurnaan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Tujuan penciptaan manusia menurut Al-Qur'an adalah untuk beribadah kepada Allah SWT dan menjadi khalifah di bumi. Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman dalam Surah Adz-Dzariyat ayat 56, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku." Ayat ini menunjukkan bahwa tujuan utama penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Selain itu, Allah SWT juga berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 30, "Dan (ingatlah), ketika Allahmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Ayat ini menunjukkan bahwa manusia dijadikan sebagai khalifah di bumi, yaitu sebagai pemimpin yang bertanggung jawab dalam menjaga dan mengelola bumi sesuai dengan kehendak Allah SWT. 7 Dalam konteks tarbiyah, Al-Qur'an juga memberikan petunjuk-petunjuk yang harus diikuti oleh manusia untuk mencapai tujuan penciptaan tersebut. Misalnya, Al-Qur'an mengajarkan tentang pentingnya beribadah kepada Allah SWT, menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan berusaha untuk meningkatkan kualitas diri dalam segala aspek kehidupan. Selain itu, Al-Qur'an juga mengajarkan tentang pentingnya mengembangkan akhlak yang baik, seperti kejujuran, keadilan, kasih sayang, dan kesabaran. Dengan mengembangkan akhlak yang baik, manusia dapat menjadi teladan yang baik bagi orang lain dan dapat menjalankan tugasnya sebagai khalifah di bumi dengan baik. Al-Qur'an juga mengajarkan tentang pentingnya mencari ilmu dan pengetahuan. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Mujadilah ayat 11, "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." Ayat ini menunjukkan bahwa mencari ilmu pengetahuan adalah salah satu cara untuk mencapai kesempurnaan dan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT. Dengan demikian, konsep tarbiyah dalam Al-Qur'an sesuai dengan tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengembangkan potensi manusia agar mencapai kesempurnaan dan ketaqwaan kepada Allah SWT melalui beribadah, menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, mengembangkan akhlak yang baik, dan mencari ilmu pengetahuan. Dengan mengikuti petunjuk-petunjuk ini, manusia dapat mencapai tujuan penciptaan mereka dan menjadi khalifah yang bertanggung jawab di bumi. Jika dikaji lebih mendalam hakekat konsep tarbiyah dalam Al-Qur‟an yang didasari oleh pendalaman tujuan penciptaan mahkhluk oleh rabbnya, maka akan terbentang garis umum 8 konsep tarbiyah dalam dua kategori, yaitu tarbiyaturrabb kepada makhluk langit yaitu malaikat, dan tarbiyaturrabb kepada makhluk bumi, dengan rincian sebagai berikut: 1. Konsep Tarbiyah sebagai Refleksi Hubungan Makhluk dengan Tuhan Untuk mewujudkan tujuan utama tarbiyah yaitu tujuan ubudiyah, Allah telah mengambil persaksian manusia pada zaman azali berkaitan pengakuan mereka untuk menuhankan Allah َ ْ َ َ َ ُ َ ْ ُ ِّ َ ُ ْ َ َ seperti dalam ayat (‫وإّبَل ّش ِهدنا‬ ‫)ألست ِّبربكم ّقال‬, artinya: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi (Al-A‟raf: 172). Maka konsep tarbiyah sesuai ayat ini menanamkan sejak dini kepada anak rasa beketuhanan untuk menyembah Allah sampai akhir hidupnya dengan pendidikan itu sepanjang hayat (long life education). Konsep ini yang selalu dikembangkan dari generasi ke generasi, terlebih banyak teks hadits nabi berkaitan dengan konsep tarbiyah ini. Chapman menjelaskan bahwa istilah long life learning digunakan dalam berbagai bidang yang luas dan memiliki ranah luas, seperti ditrapkan dalam pendidikan keluarga. Penarapan pendidikan sepanjang hayat dalam keluarga sebagai upaya anggota keluarga menanamkan konsep penting pendidikan kepada anggota kelurga yang lain sepanjang hidup. Dan model penerapan pendidikan sepanjang hayat dalam keluarga meliputi: penanaman tujuan hidup, respon terhadap keinginan, mengatasi masalah yang dihadapi dengan logis, merencanakan kegiatan pendidikan dengan matang, serta menjelaskan pentingnya pendidikan untuk kehidupan ini (Yunus & Wedi, 2019). Dalam Surat Al-Insyiqaq ayat 6 yang berbunyi: َ َ ُ َ ْ َ ُّ َ َ ُ َ ً ْ َ َ ِّ َ َ (ّ‫يه‬ ِ ‫الق‬ ِ ‫)ياّأيهاّإإلنسان ِّؤنكّك ِادح ِّؤَلّربكّكدحاّفم‬ 9 Artinya: Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. Bahwa manusia telah berusaha dengan berbuat baik dalam beribadah untuk mendapatkan keridaan Allah, maka tarbiyah dimaknai sebagi usaha sadar dalam mencapai sebuah tujuan sebenarnya, sehingga banyak para ahli mendefinisikan tarbiyah sesuai konsep ayat ini, seperti Ibn Khaldun mengatakan bahwa pendidikan sebagai upaya mengembangkan hakekat manusia sebagai modal penting dalam membentuk keterampilan hidup sesuai perkembangan masyarakat, sehingga dapat memahami tugas dan tanggung jawabnya sebagai bagian dari masyarakat. Mazoor Ahmed mendefisikan pendidikan sebagai usaha seseorang dan masyarakat mentransmisikan nilai, kebiasaan, dan bentuk hidup ideal ke generasi berikutnya untuk melanjutkan hidup dengan efektif dan sukses (Ahmed, 1990). Dalam Nasarudin (2023) menyebutkan, bahwa pendidikan dapat dikatakan sebagai proses yang berusaha menyiapkan lingkungan aman untuk anak didik dalam beradaptasi dan berinterkasi dengan masyarakat sekitarnya (Izzah, 2002). Pendidikan merupakan usaha mengembangkan kualitas diri manusia dalam segala aspeknya. Pendidikan sebagai aktivitas yang disengaja untuk mencapai tujuan tertentu dan melibatkan barbagai faktor yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, sehingga membentuk satu sistem yang saling mempengaruhi (Haidar, 2013). Pendidikan Islam adalah usaha seorang muslim secara sadar membimbing pertumbuhan dan perkembangan fitrah peserta didik berlandaskan ajaran Islam kearah yang lebih maksimal (Arifin, 2003). Pendidikan Islam merupakan sebuah sistem yang sengaja diselenggarakan dengan 10 semangat untuk mengaktualisasikan ajaran dan nilai Islam (Muhaimin, 2012). 2. Konsep Tarbiyah sebagai Refleksi Hubungan Malaikat dengan Tuhan Menurut Al-Qur‟an, malaikat adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah dari cahaya yang tidak terlihat oleh manusia. Malaikat memiliki sifat-sifat khusus seperti kepatuhan, kecerdasan, dan kekuatan yang luar biasa. Malaikat tidak memiliki kemampuan untuk melakukan dosa atau maksiat, mereka selalu taat kepada perintah Allah. Mereka juga tidak memiliki kehendak bebas seperti manusia, sehingga mereka tidak dapat melakukan pilihan atau membuat keputusan sendiri. Dalam Qur‟an, malaikat sebagai makhluk Allah yang senantiasa beribadah dan bertasbih kepada-Nya. Namun ketika dalam Surat Al-Baqarah ayat 30 terjadi dialog, bahwa “Dan (ingatlah), ketika Allahmu berfirman kepada para malaikat: 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.' Mereka berkata: 'Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di dalamnya orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?' Allah berfirman: 'Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Ayat ini menjelaskan ketika Allah berbicara kepada para malaikat tentang rencana-Nya untuk menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Para malaikat merasa heran dan bertanya mengapa Allah akan menjadikan manusia sebagai khalifah, padahal manusia cenderung membuat kerusakan dan menumpahkan darah. Allah memberikan penjelasan bahwa Dia mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh para malaikat. Allah memiliki rencana-Nya sendiri dalam menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi, meskipun 11 manusia memiliki potensi untuk melakukan kejahatan. Ayat ini mengajarkan bahwa Allah memiliki hikmah dan pengetahuan yang lebih luas daripada yang kita ketahui, dan kita harus mempercayai rencana-Nya meskipun kita belum mampu memahami sepenuhnya. Dalam ayat tersebut, konsep tarbiyah (rabbuka) mengguanakan kata ta‟lim (a‟lamu) untuk lebih menambahkah ketaatan dan pengabdian para malaikat. Jika kita melihat dari perspektif agama Islam, ada konsep tarbiyah yang dapat ditarik dari komunikasi Allah dengan malaikat tersebut, yaitu pentingnya komunikasi dengan Allah. Komunikasi antara Allah dengan malaikat menunjukkan betapa pentingnya berkomunikasi dengan Allah dalam kehidupan kita. Melalui doa, ibadah, dan membaca Al-Quran, kita dapat memperkuat hubungan kita dengan Allah dan mendapatkan petunjuk serta bimbingan-Nya. Konsep komunikasi Allah dengan malaikat juga mengajarkan kita tentang keberadaan malaikat sebagai makhluk yang tidak terlihat namun hadir di sekitar kita. Ini dapat meningkatkan kesadaran kita akan keberadaan Allah dan kekuasaan-Nya yang meliputi segala sesuatu. Dan meskipun konsep tarbiyah ini berasal dari Al-Qur‟an, nilai-nilai seperti ketaatan, komunikasi, keteraturan, kesadaran, dan penghormatan dapat diterapkan dalam konteks pendidikan yang lebih luas, tidak hanya terbatas pada agama tertentu. Inilah deretan nilai-nilai universal yang diajarkan melalui ayat-ayat Al-Qur‟an yang dapat menjadi nilai-nilai pendidikan konvensional. 12 3. Konsep Tarbiyah sebagai Refleksi Hubungan Rasul dengan Tuhan Dalam surat Al-A‟raf terdapat tiga ayat yang berbunyi ‫ز‬ (ّ‫)رسولّمنّربّإلعالمي‬ artinya Rasul dari Tuhan semesta alam. Rasul ْ dalam Al-Qur'an adalah utusan Allah yang dipilih dan diutus-Nya untuk menyampaikan wahyu-Nya kepada umat manusia. Mereka memiliki tugas dan tanggung jawab yang besar dalam menyampaikan ajaran-ajaran Allah kepada umat manusia agar mereka dapat hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Hakekat rasul dalam Al-Qur'an adalah mereka adalah manusia yang dipilih oleh Allah untuk menjadi perantara antara-Nya dengan umat manusia. Mereka memiliki sifat-sifat khusus yang membuat mereka layak untuk menjadi rasul, seperti kejujuran, kecerdasan, kesabaran, dan ketekunan dalam berdakwah. Secara umum Rasul diutus untuk umat manusia memiliki urgensi yang sangat penting, yaitu: memberikan petunjuk hidup yang benar, mengingatkan manusia tentang tujuan hidup, menyampaikan pesan kasih sayang Allah, menyebarkan ajaran agama, dan menyelamatkan manusia dari kesesatan. Peranan tersebut menjadi tugas utama Rasul yang mencakup bertugas sebagai pembawa wahyu, bertugas sebagai pendidik, bertugas sebagai teladan, dan bertugas sebagai pembawa perubahan. Tugas tersebut menjadi tugas profetik yang diemban langsung dari yang Mahakuasa kepada manusia-manusia pilihan melalui proses pewahyuan baik langsung dan tidak langsung. Pewahyuan langsung ini tentunya menjadi peristiwa fenomenal dalam penerimaan wahyu profetik seperti yang dialami oleh Nabi Musa pada peristiwa tursina dan Nabi Muhammad pada peristiwa isra‟ mi‟raj. Dalam surat Taha ayat 50: َّ َ ُّ َ َ َ َ َ ُ ُ َْ َ ْ َ ُ َ َْ (‫ّش ٍءّخلقهّثمّهدى‬ ِ ‫)قالّربناّإل ِذيّأعَطّكل‬ 13 Artinya: Musa berkata: "Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk. Dalam ayat ini terkandung konsep tarbiyah bahwa ada jalan hidup yang diterangi petunjuk dalam mencapai titik akhir kebahagiaan. Dalam perspektif Muhaimin (2012) bahwa tarbiyah sebagai upaya menanamkan ajaran Islam termasuk nilai-nilainya agar menjadi pandangan sikap hidup (way of life) sesorang yang mengarahkannya dalam menjalani kehidupan dan mengembangkan potensi sesui dengan fitrahnya. Konsep tarbiyah mengedepankan pendidikan agama sebagai landasan utama, mengembangkan potensi individu, mengajarkan nilai-nilai moral dan etika Islam, serta membentuk masyarakat yang adil dan harmonis. Imam Al-Ghazali menekankan pentingnya pendidikan agama sebagai landasan utama dalam pendidikan. Menurutnya, pendidikan harus mengajarkan nilai-nilai moral dan etika Islam serta mengembangkan akhlak yang baik. Ibnu Khaldun menekankan pentingnya pendidikan dalam membentuk kepribadian yang baik. Menurutnya, pendidikan harus mengembangkan potensi individu dan mengajarkan keterampilan praktis yang berguna dalam kehidupan sehari-hari. Dan Al-Farabi menekankan pentingnya pendidikan dalam membentuk masyarakat yang adil dan harmonis. Menurutnya, pendidikan harus mengajarkan nilai-nilai keadilan, kebijaksanaan, dan kebaikan kepada individu dan masyarakat. Ibnu Sina menekankan pentingnya pendidikan dalam mengembangkan potensi intelektual individu. Menurutnya, pendidikan harus mengajarkan pengetahuan dan keterampilan yang berguna dalam pengembangan diri dan masyarakat 14 4. Konsep Tarbiyah sebagai Refleksi Hubungan Rasul dengan Ummatnya Kehidupan ummat manusia akan terus berlangsung sampai hari kiamat nanti, sedangkan para penyampai wahyu berakhir setelah Nabi Muhammad saw meninggalkan dunia ini. Selama manusia ada maka tarbiyah sangat dibutuhkan untuk melahirkan generasi yang gemilang. Pantaslah saat itu Nabi Ibrahim berdoa untuk memiliki pelanjut misi profetik sebagaimana termaktub dalam surat Al-Baqarah ayt 129 yang berbunyi: ْ ُ ُ ُ ِّ َ ُ َ َ َ ْ ْ َ َ ُ ْ َ ْ ُ ْ ْ َْ َ َ َ َ ‫ّإلك َت‬ ُ َ ْ ‫ث ّف‬ (ّ ‫اب‬ ِ َ ‫يهم ّرسوال ِّمنهم ّيتلو ّعلي ِهم ّآي ِاتك ّويعلمهم‬ ِ ‫ربنا ّوإبع‬ ِ ْ ْ َ ْ َ ِّ َ ُ َ َ َ ْ ْ َ ّ ُ ‫يه ْم ِّؤنكّأنتّإل َع ِز ُيزّإل َح ِك‬ ‫يم‬ ِ ‫)وإل ِحكمةّويزك‬ Aratinya: Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur'an) dan AlHikmah (As-Sunah) serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa proses tarbiyah teraktualisasi dalam pembelajaran dan penyucian jiwa dengan nilai-nilai rabbani tidak bersifat sementara tapi harus berkelanjutan dari tahapan satu ke tahapan yang lain. Hal ini penting untuk diinternalisasikan oleh ummat manusia sehingga semua merasa tanggung jawab dalam nenciptakan masa depan yang berkelanjutan yang cerdas, yang bijaksana, dan yang bersih. Konsep pendidikan berkelanjutan menjiwai setiap kurikulum di era globalisasi saat ini, termasuk kurikulum merdeka yang sedang diterapka di Indonesia. Pendidikan berkelanjutan (continung education) berkaitan dengan pengembangan pribadi dan profesional yang luas. Konsep 15 pendidikan berkelanjutan adalah pendekatan dalam pendidikan yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan untuk hidup berkelanjutan. Konsep pendidikan berkelanjutan juga melibatkan pembelajaran sepanjang hayat, di mana pendidikan tidak hanya terjadi di sekolah tetapi juga di luar sekolah. Ini termasuk pembelajaran di tempat kerja, komunitas, dan melalui pengalaman pribadi. Tujuan utama dari pendidikan berkelanjutan adalah untuk menciptakan individu yang sadar akan isu-isu berkelanjutan dan memiliki keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk mengatasi tantangan yang dihadapi oleh masyarakat saat ini dan di masa depan. Al-Qur‟an memberikan pedoman yang kuat untuk pendidikan berkelanjutan yang mencakup pendidikan religius, pendidikan seumur hidup, pendidikan karakter, pendidikan ilmiah, dan pendidikan sosial. Konsep-konsep ini memberikan landasan yang kokoh bagi umat Muslim dalam mengembangkan diri mereka secara holistik dan berkelanjutan. Al-Qur‟an juga mendorong umat Muslim untuk mencari pengetahuan dan mempelajari ilmu pengetahuan. Al-Qur‟an mengajarkan bahwa pengetahuan adalah anugerah dari Allah yang harus dimanfaatkan dengan baik. Al-Qur‟an juga menekankan pentingnya pemahaman dan penelitian yang mendalam dalam mencari kebenaran, sebagaimana termaktub dalam surat Al-Alaq ayat 1-5. Surah Al-Alaq ayat 1-5 adalah ayat-ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ayat-ayat ini mengandung konsep tarbiyah yang penting dalam Islam. Perintah membaca menjadi perintah pertama dalam agama Islam, dan diulang sampai dua kali yang menandakan membaca adalah kunci utama dalam ber-Islam, karena membaca adalah awal dari proses 16 belajar dan mendapatkan pengetahuan. Ayat kedua dan ketiga menunjukkan bahwa rabb adalah sumber pengetahuan dan pendidikan. Manusia diberikan pengetahuan melalui wahyu-Nya dan melalui kalam-Nya (Al-Quran). Ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT adalah pendidik yang mengajarkan manusia hal-hal yang tidak diketahuinya sebelumnya. Pendidikan adalah proses untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang baru. Ayat ini juga menekankan pentingnya menulis dan mencatat pengetahuan. Menulis adalah cara untuk menyimpan dan menyebarkan pengetahuan (Munir, 2007). 5. Konsep Tarbiyah sebagai Refleksi Hubungan Keluarga Hubunga keluarga yang paling kuat adalah hubungan orangtua dan anak, yang tetuang dalam surat Al-Isra‟ ayat 24 dengan mendoakan orang tua dengan semoga Allah menyayangi kedua orangtuanya karena telah berjasa mendidik anaknya. Konsep tarbiyah dari pendidikan orang tua kepada anaknya mencakup banyak prinsip dianataranya, yaitu: a. Ketauhidan. Al-Qur'an mengajarkan pentingnya mengajarkan anak-anak tentang keesaan Allah dan mengenal-Nya sebagai satu-satunya Tuhan yang patut disembah. Pendidikan anak harus dimulai dengan memperkenalkan konsep tauhid kepada mereka. b. Akhlak Mulia. Al-Qur'an menekankan pentingnya mengajarkan anak-anak untuk memiliki akhlak yang mulia. Anak-anak harus diajarkan nilai-nilai seperti kejujuran, kesabaran, keadilan, dan kasih sayang. c. Pengetahuan. Al-Qur'an mendorong umat Muslim untuk mencari ilmu pengetahuan. Pendidikan anak harus mencakup pengajaran ilmu pengetahuan dunia dan agama. Anak-anak 17 d. e. f. g. h. i. harus diajarkan untuk menjadi orang yang berpengetahuan dan berakhlak. Keadilan dan Kesetaraan. Al-Qur'an menekankan pentingnya keadilan dan kesetaraan dalam pendidikan. Anak-anak harus diajarkan untuk memperlakukan semua orang dengan adil dan setara, tanpa memandang suku, ras, atau status sosial. Tanggung Jawab. Al-Qur'an mengajarkan pentingnya mengajarkan anak-anak untuk bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan mereka. Anak-anak harus diajarkan untuk menghargai tanggung jawab mereka terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan Allah. Kasih Sayang dan Pengasuhan. Al-Qur'an menekankan pentingnya memberikan kasih sayang dan perhatian kepada anak-anak. Orang tua dan pendidik harus memberikan pengasuhan yang penuh kasih sayang dan perhatian kepada anak-anak, serta mendidik mereka dengan penuh cinta. Kemandirian. Al-Qur'an mendorong anak-anak untuk menjadi mandiri dan bertanggung jawab atas diri mereka sendiri. Pendidikan anak harus mencakup pengajaran kemandirian, termasuk mengajarkan mereka keterampilan hidup sehari-hari dan kemampuan mengambil keputusan yang baik. Keseimbangan. Al-Qur'an mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan dalam hidup. Pendidikan anak harus mencakup pengajaran tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara ibadah, studi, pekerjaan, dan waktu bersosialisasi. Kesabaran dan Ketekunan. Al-Qur'an mengajarkan pentingnya kesabaran dan ketekunan dalam mencapai tujuan. Anak-anak harus diajarkan untuk bersabar dan tekun dalam belajar, menghadapi tantangan, dan mencapai tujuan hidup mereka. 18 j. Doa dan Tawakal. Al-Qur'an mengajarkan pentingnya berdoa dan tawakal kepada Allah dalam segala hal. Anak-anak harus diajarkan untuk berdoa dan bergantung pada Allah dalam setiap aspek kehidupan mereka. Konsep pendidikan anak menurut Al-Qur'an ini menekankan pentingnya mengajarkan anak-anak untuk menjadi individu yang beriman, berakhlak mulia, berpengetahuan, bertanggung jawab, dan berkepribadian baik, atau sering disebut dengan pendidikan karakter Rabbaniy yaitu pendidikan yang menekankan fungsionalisasi sifat-sifat ketuhanan dalam pendidikan (Nasarudin et al., 2018). Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 79, sbb: ُ ُ ُّ َ َ ْ ُ ْ َ َ َ ْ ُ َّ ُ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ َ َ ً َ ‫إلن ُبو َة ُّثم َّي ُق‬ ّ‫إَّل‬ ّ ِ ِ ‫وإّع َباد‬ ‫ول ِّللن‬ ‫شّأن ّيؤ ِتيه ّإّٰلل ّإل ِكتاب ّوإلحكم ّو‬ ِ ‫اس ّكون‬ ٍ ‫ماّكان ِّلب‬ ِ َ ُ ُ ْ َ ْ ُ ْ ُ َ َ َ َ ْ َ ُ ِّ َ ُ ْ ُ ْ ُ َ َ‫َّ َ َ ْ ُ ُ َ ِّ ز‬ ُ ْ ّ ‫ّإّٰللّول ِكنّكونوإّرب ِاني ْي ِّبماّكنتمّتعلمونّإل ِكتابّو ِبماّكنتمّتدرس‬ ‫ون‬ ِ ‫ون‬ ِ ‫ِمنّد‬ Artinya: Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. Dalam ayat tersebut terdapat kata rabbani atau tarbiyah, ta‟lim atau pembelajaran, dan darsun atau belajar/mengkaji. Ketiga kata ini menjadi satu kesatuan utuh dalam membentuk karakter rabbani anak. Pendidikan karakter Rabbani adalah konsep pendidikan yang berfokus pada pengembangan karakter yang terpuji yang berlandaskan ajaran agama Islam. Konsep ini mengacu pada pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai moral, etika, dan akhlak yang baik sesuai dengan ajaran Islam (Ahmad, 1972). Pendidikan karakter Rabbani bertujuan untuk membentuk individu yang memiliki kepribadian yang kuat, berakhlak mulia, 19 dan berperilaku yang baik. Konsep ini mengajarkan nilai-nilai seperti kejujuran, keadilan, kesabaran, kerja keras, rasa empati, dan tanggung jawab. Pendidikan karakter Rabbani juga mengajarkan pentingnya beribadah kepada Allah SWT dan menjalankan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari (Azra, 1999). Selain itu, konsep ini juga mengajarkan pentingnya menjaga hubungan yang baik dengan sesama manusia, lingkungan, dan alam semesta (Amrah, 2018). 6. Konsep Tarbiyah sebagai Refleksi Hubungan Sesama Makhluk Manusia adalah makhluk Allah dengan sebaik-baik penciptaan namun paling cepat berkeluh kesah dalam menjalani kehidupan pribadi dan bermasyarakat. Sebagai makhluk terbaik, manusia ditugaskan menjadi khalifah di muka bumi ini untuk mengatur manusia dan ligkungannya. Dalam surat Al-An‟am ayat 165 Allah berfirman. َّ ُ َ ََُْ َ ‫َُْ َ ُْ ز‬ َ ََ َ ‫ّخالئ‬ ْ َ َ ْ َ ْ ُ َ ْ َ َ َ َ َ ِ‫ف ّإأل ْر‬ ّ‫ّف َّما‬ ‫َوه َوّإل ِذيّجعلكم‬ ٍ ‫ض ّدرج‬ ِ ِ ِ ‫ات ِّليبلوُم‬ ٍ ‫ّورفَ ّبعَكم ّفوَ ّبع‬ ِ ُ ََ ُ َ ْ ُ َ َ َ ُْ َ ّ‫اب َّو ِإنهّلغفور َّر ِحيم‬ ِ ‫َّسي َّإل ِعق‬ ِ ‫آتاُم ِّؤنّربك‬ Artinya: Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dari ayat tersebut dapat dipahami dalam menjalani fungsinya sebagai khalifah, manusia dijadikan bermasyarakat dengan berbagai lapisan baik pada aspek social, pendidikan, politik, dll. Nanti secara bersama-sama menjalankan peran kekhalifahannya dalam berbagai posisi. Peran kekhalifahan ini akan teraktualisasikan dengan efektif jika manusia mempertahankan konsep tarbiyah dengan berbagai keahlian. 20 Maka konsep pendidikan dalam konsep manusia sebagai khalifah bertujuan untuk membentuk individu yang bertanggung jawab, peduli terhadap alam dan lingkungan, adil, dan terus belajar. Pendidikan dalam konsep ini diharapkan dapat menciptakan manusia yang mampu menjalankan peran sebagai khalifah dengan baik dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan alam semesta. Selain itu, pendidikan dalam konsep ini juga mengajarkan pentingnya keadilan sosial dan pemberdayaan masyarakat. Individu diajarkan untuk menghormati hak-hak orang lain, menghargai perbedaan, dan berkontribusi dalam membangun masyarakat yang adil dan sejahtera. Dalam konsep ini, pendidikan juga tidak hanya terbatas pada pendidikan formal di sekolah, tetapi juga meliputi pendidikan informal di lingkungan sekitar dan pendidikan non-formal melalui kegiatan-kegiatan di masyarakat, maka jadilah tarbiyah berbasis masyarakat dan ummat. Sedangkan konsep pendidikan berbasis masyarakat (community-based education) adalah pendekatan pendidikan yang melibatkan peran aktif masyarakat dari masyarakat oleh masyarakat untuk masyarakat dalam pengembangan pendidikan. Konsep ini mengakui bahwa pendidikan tidak hanya terjadi dalam suasana formal, tetapi juga melibatkan komunitas dan lingkungan sekitar. Dalam pendidikan berbasis masyarakat, masyarakat dianggap sebagai sumber pengetahuan dan pengalaman yang berharga. Masyarakat memiliki keahlian dan kekayaan budaya yang dapat diintegrasikan ke pengembangan pendidikan. Pendidikan berbasis masyarakat juga mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait pendidikan. Masyarakat diajak untuk terlibat dalam pengembangan kurikulum dan implementasinya. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa 21 pendidikan yang diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat (LAL, 2010). Konsep pendidikan berbasis berbasis masyarakat dalam Al-Qur'an berbeda dengan pendapat John Dewey, Can Cleve Morris dan Ivan Illich yang menganggap bahwa pendidikan berbasis masyarakat bersumber dari manusia dan alam semata dengan tujuan humanis matrialistik. Berbeda dengan Dean Nielsen yang menganggap bahwa pendidikan berbasis masyarakat hanya dilakukan oleh masyarakat, karena memiliki beberapa dimensi, yaitu: dimensi spritual, dimensi relegius humanistik dan dimensi psikologis. Dimensi spritual pada pendidikan berbasis masyarakat bahwa dalam pembinaan pendidikan melibatkan Allah dengannya, baik dalam proses maupun mengikuti regulasi dalam pelaksanaannya. Kemudian dimensi religious humanistik, dimensi ini memberdayakan kekuatan masyarakat berbasis ajaran agama seperti tujuan dakwah, dan pemamfaatan dana ummat. Berikutnya dimensi psikologi, dengan mengoptimalkan fitrah manusia berdasarkan fase perkembangan saat itu (Anwar et al., 2015). Referensi Ahmad, A. H. bin F. I. Z. (1972). Mu‟jam al-Maqayis al-Lughah. Musthafa al-Babi al-Halabiy wa Syarikah. Ahmed, M. (1990). Islamic Education. Qazi Publishers. Al-Ajamiy, M. A. S. (2006). Attarbiyah Al-Islamiyah: Al-Usul wat Tatbiqat. Darun Nasyir Addauliy. Albayan.com. (2023). Mu‟jam Al-Bayan. Albayan.Com. Almaaniy.com. (2023). Mu‟jam Almaaniy. Almaaniy.Com. Amrah, S. (2018). KARAKTER RABBANI SEBAGAI MEDIUM PEMBENTUKAN KECERDASAN SPIRITUAL DALAM PROSES PEMBELAJARAN. El- 22 Tarbawi, 11(1). Annahlawi, A. R. (1983). Usulut Tarbiyail Islamiyati wa Asalibuha. Darul Fikri Al Arabi. Anwar, H., Sarnoto, A. Z., & Habiburrahmanuddin, N. (2015). Pendidikan Berbasis Masyarakat dalam Al-Qur‟an. Jurnal.Staialhidayahbogor.Ac.Id. Arifin, M. (2003). Ilmu Pendidikan Islam. Bumi Aksara. Azra, A. (1999). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (2nd ed.). Logos wacana Ilmu. Haidar. (2013). Pendidikan Islam dalam lintas sejarah. Kanana. ‫ز‬ :‫إليبية‬. hakini.net Izzah, I. (2002). ‫ّماذإّيعنّمفهومّتربية‬ ِ Kemenag. (2023). Aplikasi Qur‟an Kemenag. LAL, A. (2010). Transformasi Pendidikan Islam. Gaung Persada. Muhaimin. (2012). Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi. Rajagrapindo Persada. Munir, A. (2007). Tafsir Tarbawi. STAIN Ponorogo Press. Nasarudin. (2023). Urgensi Pendidikan Islam Dalam Perguruan Tinggi. In Urgensi Pendidikan Islam Dalam Perguruan Tinggi. Gita Lentera. Nasarudin, Muhirdan, Wahab, A., & Husnan. (2018). Pendidikan Karakter Dalam Hadis Nabawi Perspektif Semantik & Pragmatik. Deepublish. Yunus, M., & Wedi, A. (2019). KONSEP DAN PENERAPAN PENDIDIKAN SEPANJANG HAYAT DALAM KELUARGA. JINOTEP (Jurnal Inovasi Dan Teknologi Pembelajaran) Kajian Dan Riset Dalam Teknologi Pembelajaran, 5(1), 31–37. https://doi.org/10.17977/um031v5i12018p031 23 BAB 2 KONSEP TA’LIM DALAM AL QUR’AN Oleh: Amri, S.Th.I, M.Pd.I Abstrak Belajar merupakan salah satu kegiatan yang terus di kembangkan untuk meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan, sehingga bisa menjadikan setiap manusia untuk memahami dan mengetahui berbabagi aspek dan pengetahuan untuk membimbing manusia itu sendiri dalam kehidupanya. Adapun penelitian ini dilatarbelakangi oleh berbagai konsepsikonsepsi tentang pendidikan dalam islam ini ternyata memiliki keunikan makna yang terkandung dalam Al-Qur‟an dan hadist, karena menunjukkan kekayaan makna lafadz-lafadz dalam ayatayatnya maupun setiap kalimatnya. Konsep atau teori pendidikan mengalami sebuah perdebatan hangat bagi para pakar atau ilmuwan. Sehingga tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan dan menganalisis komparasi konsep Ta‟lim dalam Al Qur‟an. Dalam tulisan ini juga, penulis akan membahas Ayat-ayat AlQur‟an yang berkaitan dengan pengetahuan (pengajaran ) sebagai bahan rujukan dan landasan konsep Ta‟lim dalam Al-Qur‟an. A. Pendahuluan Agama Islam merupakan agama yang sempurna, agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW ini diajarkan melalui mukjizat yang berupa teks Al-Qur‟an yang merupakn rujukan dan pedoman bagi ummat-Nya dalam seluruh aspek kehidupan termasuk pendidikan. Sebenarnya agama islam sangat mengutamakan proses pendidikan, hal tersebut dapat dilihat dari lima ayat yang pertama kali di turunkan kepada Nabi Muhammad 24 SAW dalam surat Al-Alaq. Banyak juga hadits yang menjelaskan tentang pentingnya pendidikan bagi manusia. Al-Qur‟an merupakan bacaan yang sempurna dan mulia karena sejak manusia mengenal tulis-baca lima ribu tahun yang lalu tidak ada satu bacaan maupun surat bahkan satu huruf pun yang memiliki kandungan seperti Al-Qur‟an yang diciptakan oleh manusia untuk dapat menandingi Al-Qur‟an. Tiada bacaan melebihi Al-Qur‟an dalam perhatian, pengetahuan dan ilmu maupun sejarahnya secara umum, tetapi juga ayat demi ayat baik segi waktu dan saat turunnya, maupun sampai kepada sebabsebab turunnya itu dijadikan pengetahuan dan hukum. (Ridwan, 2018) Kehadiran Al-Qur‟an memberikan pengaruh yang luar biasa bagi lahirnya berbagai konsep yang diperlukan manusia dalam berbagai bidang kehidupan. Al-Qur‟an bagaikan sumber mata air yang tidak pernah kering ketika manusia mengambil dan mengkaji hikmah isi kandunganya. Sudah tentu tergantung kemampuan dan daya nalar setiap orang dan kapanpun masanya akan selalu hadir secara fungsional memecahkan problem kemanusian. (Widiani, 2018). Kajian terhadap berbagai aspek Ta‟lim yang berdasarkan Perspektif Al-Qur‟an lebih lanjut banyak dilakukan oleh para ulama modern. Dengan bersandar pada ayat-ayat Al-Quran mengkaji bagian-bagian penting dalam Ta‟lim, seperti visi misi Ta‟lim dalam perspektif Al-Qur‟an, tujuan Ta‟lim dalam AlQur‟an dan lainya. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur‟an Sebagai berikut: ًٍََِْٛ ‫غ ِه‬ َ َ‫َََٔ َّض ْنَُب‬ ْ ًُ ‫َٔثُش ْٰشَٖ ِن ْه‬ َ ‫كَ َا ْن ِك ٰح‬ْٛ َ‫عه‬ َّ ً‫ًَٖٔ َسحْ ًَة‬ َّ ‫َٔ ُْذ‬ َّ ٍ‫ء‬َْٙ ‫َبًَبَ ِنّ ُك ِ ّمَش‬ٛ‫تَ ِج ْج‬ 25 Artinya : “ Dan kami turunkan kepadamu Al-Kitab (AlQur‟an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl:89) Hal ini secara tidak langsung menerangkan bahwa basis segala ilmu adalah Al-Qur‟an. Sebab nilai esensi didalamnyua akan selalu abadi dan relevan pada setiap waktu tanpa ada perubahan apapun. Untuk itu kali ini penulis tertarik ingin membahas tentang “Konsep Ta‟lim dalam Al-Qur‟an” untuk menambah wawasan penulis sendiri dan berbagi pengetahuan kepada pembaca. B. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library research), dengan mengkaji beberapa sumber yang mendukung dan relevan terhadap penelitian. Adapun metode analisis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, dimana data yang diperoleh berupa deskripsi kata-kata yang tertuang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Dalam penelitian ini penulis mengambil beberapa hadits sebagai penguat dan mengkaji mengenai judul yang telah penulis tetapkan. C. Hasil Dan Pembahasan 1. Defenisi At-Ta‟lim Kata Ta‟lim ini termasuk kata yang juga popular sebagaimana kata tarbiyah. Banyak kegiatan pendidikan yang menggunakan kata Ta‟lim. Di Indonesia misalnya, kita jumpai kata Ta‟lim seperti majelis ta‟lim yang mengacu kepada tempat untuk melakukan melakukan aktifitas pengajaran. Di kalangan para ahli pendidikan dizaman klasik, pemakaian kata Ta‟lim banyak dijumpai pada saat mebicarakan guru dan murid. Seorang guru 26 mereka sebut Al-Mu‟allim, sedangkan seorang murid mereka sebut Al –Muta‟allim. Ta‟lim secara sederhana didefenisikan sebagai proses Transfer of Knowlegde (Transfer Ilmu Pengetahuan) yang mencakup domain kognisi peserta didik. kata Ta‟lim berasal dari kata „allama, artinya mengetahui. Kata „Allama bermakna menjadikan orang lain yang asalnya tidak tahu menjadi mengetahui. (Mandzur, 1990) Sama halnya dari penjelasan diatas, mengutip dari kamus Indonesia Arab (Mahmud Yunus, 2010: 277) kata Ta‟lim secara bahasa dipetik dari kata dasar „allama-yu‟allimu-ta‟liman. secara rinci mempunyai makna sebagai berikut: mengerti, mengetahui sesuatu atau memberi tanda. Dalam bahasa Indonesia pula istilah ta‟lim adalah Pengajaran. Dari dua pengertian diatas, makna ta‟lim mempunyai pengertian: “usaha untuk menjadikan seorang mengenal tanda–tanda yang membedekan sesuatu dengan lainnya, dan mempunyai pengetahuan serta pemahaman yang benar tentang sesuatu.” Sebagaimana ditunjukkan dalam Q.S al-Baqarah :31, ْ ‫عهَّ َىَ َءا َد َو‬ َ ‫ع ًَب ٓ َءَ ُكهََّٓبَث ُ َّىَع ََش‬ َ‫ع ًَب ِٓء‬ َ َ‫ض ُٓ ْى‬ َ َٔ ْ َ ‫عهََٗٱ ْن ًَ ٰهَٓئِ َك ِةَفَقَبلََأ َ َۢجِـََُِٕٔٗثِؤ‬ ْ َ ‫َٱْل‬ ََ ِٛ‫ص ِذق‬ ٍ َ ٰ َ‫ٰ َْٓؤ ََُل ِٓءَ ِإٌَكُُح ُ ْى‬ Artinya: Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya, kemudian Dia memperlihatkannya kepada para malaikat, seraya berfirman, “sebutkan kepada-Ku nama-nama (benda) ini jika kamu benar!” (Q.S al-Baqarah :31). Menunur Qurais Shihab dalam Tafsir Al Misbah menjelaskan bahwa maksud ayat tersebut adalah pengajaran yang diberikan oleh Allah kepada manusia dengan segala potensinya untuk mengetahui nama atau fungsi dan karakteristik bendabenda. Setelah itu disebutkan benda-benda tersebut sesuai yang ditanyakan. Beliau menambahkan, dalam surat selanjutnya kata “al-„alim” yang berarti menjangkau sesuatu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. (Quraish Shihab : 2002) Selanjutnya dalam Q.S. Yunus : 5 27 ََ‫ع َذد‬ َ َ‫َأَقَذ ََّسََِٗ َيَُ ِبصلََ ِنح َ ْعهَ ًُ ْٕا‬ َّ ‫َٔا ْنقَ ًَ َشََُ ْٕ ًس‬ َّ ‫َ ۤب ًء‬ٛ‫َض‬ ِ ‫ظ‬ َ ًَّْ ‫َِ٘ َجعَمََانش‬ ْ ‫ْ ََُٕانَّز‬ ٰ ٰ ْ ‫صم‬ َۗ ْ ْ َۗ َ َ َ َّ َ‫ك‬ ٌََْٕ ًُ َ‫َّ ْعه‬َٚ‫ثَِ ِنقَ ْٕ ٍو‬ٰٚ ‫َُاَل‬ ‫ف‬ ٚ َ ‫ح‬ ‫ن‬ ‫ب‬ ‫ث‬ َ ‫َِل‬ ‫ا‬ َ ‫ن‬ ‫َر‬ ‫ََّٰللا‬ ‫ق‬ ‫ه‬ ‫خ‬ َ‫ب‬ ‫ي‬ َ ‫بة‬ ‫غ‬ ‫ح‬ ‫ن‬ ‫ا‬ َٔ ّ ِ ُ ِ ّ‫ِ َق‬ ِ ُ‫ه‬ ّ ِ ‫ان‬ َ َ َ ِ َ ٍَْٛ ُِ ‫غ‬ Artinya: Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. ( Q.S. Yunus : 5) Dalam ayat ini, Allah telah mengajari manusia melalui ciptaan-Nya berupa peredaran matahari dan bulan agar mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu dan Allah menjelaskan suatu perkara kepada orang-orang yang terus – menerus berupaya ingin mengetahui. Sebab, manusia itu dikaruniai akal pikiran dan selalu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Jadi kata “lita‟allamu” seakar dengan kata “ya‟lamuun” dari fiil(kata kerja) “allama-ya‟lamu” dengan wazan “fa‟ala-yyafalu”, disini bermakna “mengetahui”. Dalam Kitab Al-Qur‟an kata Ta‟lim disebut 42 kali untuk makna yang pada umumnya berarti mengajarkan. Diantaranya yaitu dalam (Q.S. Almaidah : 110, Q.S. Almaidah : 4, Q.S. Al Baqarah : 32, Q.S. Yusuf : 101, Q.S. An-Nisa‟ : 13, Q.S.Al Baqarah : 239, Q.S.Thaha : 71, Q.S. Yusuf : 68, Q.S.Al Baqarah : 281, Q.S.Ar-Rahman : 4, Q.S. Ali Imran : 16, Q.S. Al Hujurat : 16, Q.S. Yusuf : 21, Q.S.Al Baqarah : 151). (Abudin Nata: 2005). 2. Konsep Ta‟lim dalam Al Qur‟an Sebagai mana penulis jelaskan diatas, bahwa konsep Ta‟lim dalam Al Qur‟an itu sendiri sangat luas, diantaranya digambarkan dalam Al-Qur‟an: Konsep Ta‟lim untuk mengajarkan kitab Al Qur‟an َ َ‫َّذج ُّك‬َٚ‫َٔ ِن َذجِكَ َ ِإ ْرَأ‬ َ َٔ َ َِٗ‫َ َىَٱ ْرك ُْشََِ ْع ًَح‬ٚ‫غَٗٱ ْثٍَ َ َي ْش‬ َ ٛ‫َ ِع‬ٰٚ َُ‫ََٱَّلل‬ َّ ‫ِإ ْرَقَبل‬ َ ٰ ٰٗ َ‫عه‬ َ َ‫ك‬ْٛ َ‫عه‬ ٰ ََ‫َٔٱ ْن ِح ْك ًَة‬ ْ ْ ْ َّ ّ ُ َّ َ َ‫َۖٔإِر‬ َ َ ‫عه ًْح ُكَ َٱن ِكح‬ ِ ‫ثِ ُشٔحَٱ ْنقذ‬ َ ‫ت‬ َ َ‫َِٔ َكٓ ًًْل‬ َ ‫بطَفَِٗٱن ًَ ْٓذ‬ َ ُ‫ُطَج ُ َك ِه ُىَٱن‬ 28 َ‫َٓب‬ِٛ‫ ِْشَثِ ِئ ْرََِٗفَحَُفُ ُخَف‬ٛ‫ْـَٔ ِةَٱن َّط‬َٛٓ ‫ٍَ َك‬ٛ ِ ‫َۖٔإِ ْرََج َ ْخهُق‬ َ َ‫ َم‬ٛ‫َج‬ َ َ‫َٔٱنح َّ ْٕ َس ٰىة‬ ِ ْ َٔ ِ ‫َُيٍَ َٱن ِ ّط‬ ِ ‫ٱْل‬ ْ ْ َ َ ْ ْ ‫ا‬ َٰٗ َ ‫َۖٔإِرَج ُْخ ِشجَُٱ ْن ًَ ْٕج‬ َ ‫َٔ ْٱْلث َْش‬ ُ ‫َۖٔجُج ِْش‬ َ ََِٗ‫صَ ِث ِئر‬ َ ًََّ ‫َٱْل ْك‬ َ ََِٗ‫ ۢ ًْشاَ ِث ِئر‬ٛ‫فَحَكٌَُُٕ َط‬ ٰ ۟ ‫ٍَ َ َكفَ ُش‬ٚ‫َُِّثَِفَقَبلََٱنَّ ِز‬ََٛ‫َجئْح َ ُٓىَثِٲ ْنج‬ َ‫ٔا‬ ْ ِ‫َۖٔإِ ْرَ َكفَ ْفثُ َثَُِ َٓٗإ‬ َ ََِٗ‫ثِ ِئ ْر‬ ِ ‫مََعَُكَ َإِ ْر‬ٚ‫ع ٰ َٓش ِء‬ ٰ َ ٌَ ِٛ‫ِي ُْ ُٓ ْىَإِ ٌَْ َْزآَإِ ََّلَعِحْ ٌشَ ُّيج‬ ٍ Artinya: (Ingatlah), ketika Allah mengatakan: “Hai Isa Putra Maryam, Ingatlah nikmatku kepadamu dan kepada ibumu diwaktu aku menguatkan kamu dengan ruhul kudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia diwaktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa, dan (ingatlah) diwaktu aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan ingatlah pula diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan izin-Ku, kemudian kamu meniup kepadanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah) diwaktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) diwaktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) diwaktu aku menghalai Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) dikala kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka berkata: “ ini tidak lain melainkan sihir yang nyata”. (Q.S. Al-Ma‟idah : 110) a) Konsep Ta‟lim untuk pengetahuan tentang makanan yang halal dan baik َ ٍَْٛ ِ‫حَ ُي َك ِهّج‬ َ َ‫َٔ َيب‬ ْ َٚ َ ُ‫ِّ ٰج ُۙث‬ٛ‫غـَٔهُ ََْٕكَ َ َيبرَآَا ُ ِحمََّنَ ُٓ َۗ ْىَقُمَْا ُ ِحمََّنَ ُك ُىَان َّط‬ ّ ِ ‫عهَّ ًْح ُ ْى‬ ِ ‫َيٍَ َا ْنج ََٕ ِاس‬ ْ َ َ‫ َِّ َۖٔاَج َّقُٕا‬ْٛ َ‫عه‬ َ َِ‫َّٰللا‬ َ َ ٍَْ‫غك‬ َ َ‫َي ًَّب‬ ْ ‫َٔارك ُُشٔاَا‬ ِ ْٕ ُ‫َّٰللاَُف ُكه‬ ِ ٍَُّٓ ََْٕ ًُ ّ‫جُعَ ِه‬ َ ‫اَي ًَّآَا َ ْي‬ َ ‫ ُك ْى‬ْٛ َ‫عه‬ ‫ع َى ه‬ ‫عهَّ ًَ ُك ُى ه‬ ْ َِ ‫غب‬ ‫ة‬ َ ‫ ُعَان ِح‬ْٚ ‫ع ِش‬ َ ََ‫َّٰللا‬ ‫ّٰللاَََۗاٌَِّ ه‬ ‫ه‬ Artinya: mereka bertanya kepadamu (Muhammad), “ Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” katakanlah, “yang dihalalkan bagimu adalah makanan yang baik-baik dan (buruan 29 yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah (waktu melepasnya). Dan bertawakkal lah kepada Allah, sungguh Allah sangat cepat Perhitugan-Nya.” (Q.S. Al-Ma‟idah : 4) b) Konsep Ta‟lim untuk menunjukkan pada suatu dzikir yang pernah diajarkan Allah SWT. ً ‫َخ ْفح ُ ْىَفَ ِشج‬ ٌََْٕ ًُ َ‫عهَّ ًَ ُك ْىَ َّيبَنَ ْىَجَك َُُْٕ ْٕاَجَ َ ْعه‬ َ َ‫ٔاَّٰللاََ َك ًَب‬ ‫َس ْكجَبًَبََۚفَ ِبرَآَا َ ِي ُْح ُ ْىَفَب ْرك ُُش‬ ِ ٌِْ ‫فََب‬ ُ ْٔ َ ‫َبَلَا‬ ‫ه‬ Artinya : “ Jika kamu takut (ada bahaya), Shalatlah sambil berjalan kaki atau berkendara. Kemudian apabila telah aman, maka ingatlah Allah (Shalatlah), sebagaimana dia telah mengajarkan kepadamu apa yang kamu tidak ketahui.(Q.S. AlBaqarah : 239) c) Konsep Ta‟lim Untuk menggambarkan pemberian Pengetahuan yang dimiliki oleh tukang sihir. َ‫َ ُك ْى‬ٚ‫ ِذ‬ْٚ َ ‫غِحْ ۚ َشَفَ ًَلُقَ ِ ّطعٍََّ َا‬ َ َِ٘ ّ ‫عهَّ ًَ ُك ُىَان‬ ْ ‫ ُْش ُك ُىَانَّز‬ِٛ‫قَبل ََٰا َي ُْح ُ ْىَنَََّٗقَ ْجمََا َ ٌْ َٰارٌََ َنَ ُك َۗ ْىَاََََِّّٗنَ َكج‬ ٗ‫بَٔا َ ْث َٰق‬ َ َُّ‫شذ‬ َ َ ‫َُُّب َٓا‬َٚ‫َٔنَح َ ْعهَ ًٍَُّ َا‬ َ ُ‫َٔ ََل‬ ِ ٍْ ‫َٔا َ ْس ُجهَ ُك ْىَ ِ ّي‬ َّ ً‫عزَاث‬ َ ‫عَانَُّ ْخ ۖ ِم‬ َّ ٍ‫َخ ًَلف‬ ِ ْٔ ُ‫َ ُجز‬ْٙ ِ‫ص ِهّجََُّ ُك ْىَف‬ Artinya: Dia (Fir‟aun) berkata, “ Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi izin kepadamu? Sesungguhnya dia itu pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu. Maka Sungguh, akan kupotong tangan dan kakimu secara bersilang, dan sungguh, akan aku salib kamu pada pangkal pohon kurma dan sungguh, kamu pasti akan mengetahui siapa diantara kita akan lebih pedih dan lebih kekal siksaan-Nya. (Q.S. Taha : 71) 30 d) Konsep Ta‟lim untuk menggambarkan pemberian pengetahuan kepada umat manusia ۟ ُ‫َٔنَ ًَّبَ َد َخه‬ ُ ٛ‫َي ٍَْ َح‬ ًَ‫َيٍَش َْٗءٍ َ ِإ ََّلَحَبجَة‬ َ َُِٗ ‫ُ ْغ‬َٚ ٌَ‫ْثَأ َ َي َش ُْ ْىَأَثُُْٕىَ َّيبَكَب‬ ِ ِ‫َٱَّلل‬ ِ ‫ٕا‬ َّ ٍَ‫ع ُْ ُٓىَ ِ ّي‬ ٰ ٰ ًٌََُٕ َ‫َ ْعه‬َٚ‫بط َََل‬ َ َ‫َۚٔإََُِّّۥَنَزَُٔ ِع ْه ٍىَ ِنّ ًَب‬ ِ َُّ‫َٔنَ ِكٍَّ َأ َ ْكث َ َشَٱن‬ َ ُ‫َ ْعق‬َٚ‫فَََِٗ ْف ِظ‬ َ ًَُُّْ َّ‫عه‬ َ َ‫ٕةَقَض َٰىَٓب‬ Artinya : “Dan tatkala mereka masuk menurut yang diperintahkan ayah mereka, maka (cara yang mereka lakukan itu) tiadalah melepaskan mereka sedikitpun dari takdir Allah, akan tetapi itu hanya suatu keinginan pada diri Ya‟kub yang telah ditetapkannya. Dan sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, karena kami telah mengajarkan kepadanya. Akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (Q.S. Yusuf : 68) e) Konsep Ta‟lim untuk menyatakan pengajaran yang diberikan oleh Allah kepada yang dikehendakinya ٌََْٕ ًُ َ‫ُ ْله‬َٚ‫َٔ ُْ ْى َََل‬ َ ‫َّٰٗللاَََِۗث ُ َّىَج َُٕفهَٗ ُكمَََُّ ْف ٍظَ َّيب َك‬ َ ْ‫غجَث‬ ‫ َِّاِنَ ه‬ْٛ ِ‫َ ْٕ ًيبَج ُْش َجعُ ٌَْٕ َف‬َٚ‫َٔاجَّقُ ْٕا‬ Artinya: Dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian setiap diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dilakukanya. Dan mereka tidak didzalimi (dirugikan). (Q.S. Al-Baqarah : 280) f) Konsep Ta‟lim untuk menyatakan bahwa Allah mengajarkan Al Qur‟an ٌََ‫عهَّ َىَٱ ْنقُ ْش َءا‬ َ Artinya: “ yang telah mengajarkan Al-Qur‟an ( Q.S. ArRahman : 2 ) g) Konsep Ta‟lim untuk menyatakan bahwa Allah mengajarkan keterangan ( Al-Bayan) kepada umat manusia ََ ‫َب‬َٛ‫عهَّ ًََُّٱ ْنج‬ ٌ َ Artinya: “ Mengajarnya Berbicara. (Q.S. Ar-Rahman : 4) 31 h) Konsep Ta‟lim untuk menyatakan bahwa tentang Agama yang diajarkan oleh Allah ۡ ‫َِٔ َيبَ ِف‬ َ‫ّٰللاَُ ِث ُك ِ ّم‬ َ َ‫ض‬ َّ ‫َ ۡعهَ ُىَ َيبَ ِفَٗان‬َُٚ‫ّٰللا‬ ِ ‫َٗاَلَ ۡس‬ َ ‫غًٰ ٰٕت‬ ‫َٗ َٔ ه‬ ‫ـ ُِكُىۡ َََٗ َٔ ه‬ِٚۡ ‫َّٰللاََ ِثذ‬ ‫قُ ۡمَاَجُعَ ِهّ ًُ ٌَٕۡ ه‬ ‫ ٌَى‬ٛۡ ‫ع ِه‬ َ َ ٍ‫ش َۡٗء‬ Artinya: Katakanlah (kepada mereka), “Apakah kamu akan memberitahu kepada Allah tentang Agamamu (keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Q.S. Hujarat : 16). i) Konsep Ta‟lim untuk menyatakan tentang pengajaran berupa takwil mimpi ۡ ٓ ٰ ‫ص َش ََِل ۡي َشاَجَِّٗ َۤٗا َ ۡك ِش ِي َۡٗ َي ۡث ٰٕىَُّع‬ ۡ ‫َي ٍَۡ ِ ّي‬ َََِٗ‫َّ ۡـُفَعََُ ۤبَا َ َََۡٔـح َّ ِخز‬ٌَٚۡ َ ‫َغَٗا‬ ‫َٔقَبلََانَّز‬ ِ ُّ‫َِٖاشح َ ٰشى‬ ٰ ۡ ۡ ۡ َ َُ‫ّٰللا‬ َ‫ت‬ ِ ِٚۡ ‫ ِمَاَلَحَبد‬ٚۡ ِٔ ‫َٔ ِنُُعَ ِهّ ًَََّٗ ِي ٍَۡجَب‬ ُ ٕۡ ُٛ‫َٔنَذًاََََٗ َٔكَز ِنكَ َ َي َّكَُّبَ ِن‬ ٌ ‫غب ِن‬ ِ ‫فَفَِٗاَلَ ۡس‬ َ ‫ع‬ َ ‫ض‬ ‫ثَََٗ َٔ ه‬ ٌََٕۡ ًُ َ‫َ ۡعه‬َٚ‫بط َََل‬ ِ َُّ‫ع َٰهَٓٗا َ ۡي ِشََِٗ َٔ ٰنـ ِكٍَّ َا َ ۡكث َ َشَان‬ Artinya: Dan orang dari mesir yang membelinya berkata kepada istrinya, “ Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, mudah-mudahan dia bermanfaat bagi kita atau kita pungut dia sebagai anak.” Dan demikianlah kami memberikan kedudukan kepada Yusuf di negeri (Mesir), dan agar Kami ajarkan kepadanya takwil mimpi. Dan Allah berkuasa terhadap urusanurusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti. (Q.S. Yusuf : 21) j) Konsep Ta‟lim untuk menyatakan pengajaran kandungan AlKitab ۟ ُ‫َحْه‬َٚ‫َٕلَ ِ ّيُ ُك ْى‬ ََ‫َٔٱ ْن ِح ْك ًَة‬ ً ‫ع‬ َ َ‫ٕا‬ َ ‫َك ًَب َٓأ َ ْس‬ ُ ‫َس‬ َ َ ‫ُعَ ِهّ ًُ ُك ُىَٱ ْن ِك ٰح‬َٚٔ َ ‫ت‬ َ ‫ ُك ْى‬ٛ‫ُ َض ِ ّك‬َٚٔ‫ب‬ َ َُِ‫َح‬ٰٚ ‫ ُك ْىَ َءا‬ْٛ َ‫عَه‬ َ ‫ ُك ْى‬ِٛ‫ع ْهَُبَف‬ ۟ َُُٕ‫ُعَ ِهّ ًُكُىَ َّيبَنَ ْىَجَك‬َٚٔ ًٌََُٕ َ‫ٕاَج َ ْعه‬ Artinya: “ Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul 32 diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami telah mengutus kepada Kamu dan mensucikan kami dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Q.S. Al-Baqarah : 151) k) Konsep Ta‟lim tentang pengajaran Ilmu ‫َي ٍَْنَّ ُذََّبَ ِع ْه ًًب‬ َ َٔ‫ب‬ َ َ‫فَ َٕ َجذَا‬ ِ ُُّٰ ًْ َّ‫عه‬ َ ََ‫َسحْ ًَةًَ ِ ّي ٍَْ ِع ُْ ِذ‬ َ ُُّْٰ َٛ‫ع ْجذًاَ ِ ّي ٍَْ ِعجَب ِدََب َٰٓاج‬ Artinya: “ Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba diantara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat Kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami. (Q.S. Al-Kahfi : 65) l) Konsep Ta‟lim yang mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya ‫َ ْعهَ َۗ َْى‬َٚ‫غبٌَ َ َيبَنَ ْى‬ َ َ َْ ‫َاَل‬ ِ ْ ‫عهَّ َى‬ Artinya : “Dia mengajarkan Manusia apa yang tidak diketahuinya. Banyaknya ayat-ayat yang membedah terminologi pendidikan sebagai ta‟lim. Sehingga memberikan kewenangan kepada setiap Muslim yang untuk senantiasa mengkaji, merenung, dan mengamalkan makna-maknanya. Berbicara khusus mengenai pendidikan dalam terminologinya sebagai ta‟lim. Perlu kiranya lembaga-lembaga pendidikan Islam mengembangkan sebuah sistem atau metode pendidikan yang sesuai dengan nafas Islam, berdasarkan kepada Alquran dan As-Sunnah. Dari beberapa gambaran penjelasan konsep Ta‟lim diatas, dapat dipahami bahwa konsep Ta;lim itu sendiri nengandung berbagai pengetahuan dan pengajaran dari semua hal yang ada. Baik dari segi pengetahuan umunya maupun khusus yang tercantum dalam Al-Qur‟an. sehingga konsep Ta‟lim dalam AlQur‟an merupakan bentuk-bentuk pengajaran dan pembelajaran 33 yang merujuk pada Al-Qur‟an dimana sudah jelas bahwa apa yang Allah Gambarkan pada setiap ilmu-illmu yang dibutuhkan oleh setiap ummat-Nya dan para Nabi Sebelumnya. D. Kesimpulan „Allama (akar kata ta‟lim) dalam kamus diartikan sebagai mendidik, mengajar, memberi tanda. Bentuk „allama (atau ta‟lim dalam bentuk ism masdar-nya) inilah yang kemudian sering digunakan sebagai terminology pendidikan islam. Menurut konsep Al Qur‟an, kata Ta‟lim yang memiliki objek manusia adalah mengandung bentuk kegiatan pendidikan, seperti pengenalan / pemberitahuan, pemberdayaan potensi-potensi, dan internalisasi pengetahuan, nilai-nilai kebudayaan dari suatu generasi ke generasi berikutnya dari berbagai macam derivasi lafadz Ta‟lim dalam Al-Qur‟an menggunakan tafsir tematik dengan konsep taksonomi bloom, menghasilkan kesimpulan bahwa kata ta‟lim mencerminkan kompleksitas proses pendidikan. Kompleksitas ini tercermin dalam tiga domain sebagaimana gagasan Benjamin S. Bloom yakni, pertama, domain kognitif, ْ ‫عهَّ َىَ َءا َد َو‬ redaksi ayat yang termasuk didalamnya adalah ‫ع ًَب ٓ َءَ ُكهََّٓب‬ َ َٔ ْ َ ‫َٱْل‬ yang terdapat dalam Surah Al Baqarah Ayat 31 serta َ‫غبٌَ َ َيب‬ َ َ َْ ‫َاَل‬ ِ ْ ‫عهَّ َى‬ ‫َ ْعهَ َۗ َْى‬َٚ ‫ نَ ْى‬yang merupakan potongan Ayat dalam Surah Al-Alaq Ayat 5; domain efektif yang ditunjuk dalam ayat ٌََ‫عهَّ َى َٱ ْنقُ ْش َءا‬ َ yang terdapat dalam Surah Ar-Rahman Ayat 2, Domain Psikomotorok yang ditunjuk oleh redaksi Ayat ٌََ‫َب‬َٛ‫عهَّ ًَُّ َٱ ْنج‬ َ yang terdapat dalam Surah Ar-Rahman Ayat 4 dan sebagaimana contoh-contoh lain yang terdapat diayat Al-Qur‟an diatas. 34 Referensi Aziz, Abdullah, Al-Qur‟anul dan terjemahan, Surah An-Nahl, Ayat : 89, 2021 ____________, Al-Qur‟anul dan terjemahan, Surah al-Baqarah, Ayat : 31, 2021 ____________, Al-Qur‟anul dan terjemahan, Surah Yunus, Ayat : 5, 2021 ____________, Al-Qur‟anul dan terjemahan, Surah Al-Baqarah, Ayat : 280, 2021 ____________, Al-Qur‟anul dan terjemahan, Surah Al-Baqarah, Ayat :151, 2021 ____________, Al-Qur‟anul dan terjemahan, Surah Al-Baqarah, Ayat:239, 2021 ____________, Al-Qur‟anul dan terjemahan, Surah Al-Kahfi, Ayat : 65, 2021 ____________, Al-Qur‟anul dan terjemahan, Surah Al-Ma‟idah, Ayat: 110, 2021 ____________, Al-Qur‟anul dan terjemahan, Surah Ar-Rahman, Ayat : 2, 2021 ____________, Al-Qur‟anul dan terjemahan, Surah Ar-Rahman, Ayat : 4, 2021 ____________, Al-Qur‟anul dan terjemahan, Surah Hujarat, Ayat : 16, 2021 ____________, Al-Qur‟anul dan terjemahan, Surah Taha, Ayat : 71, 2021 ____________, Al-Qur‟anul dan terjemahan, Surah Yusuf, Ayat : 21, 2021 ____________, Al-Qur‟anul dan terjemahan, Surah Yusuf, Ayat:68, 2021 35 Abuddin Nata, Pendidikan Dalam Perspektif Al Qur‟an, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005 M.Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah, (Jakarta: Lentera, 2010) Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2010 Mandzur Ibnu, Lisan Arobi, Kamus Bahasa Arab, 1990 Ridwan Muhammad, Konsep Tarbiyah, Ta‟lim dan Ta‟dib dalam AlQur‟an, Jurnal Pendidikan Islam, Vol.1, No.1, 2018, Hal 38 Widieni Desti, Konsep Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur‟an, Jurnal Pendidikan Islam, Vol.1, No.2, 2018, Hal.185 36 BAB 3 KONSEP TADRIS DALAM AL QUR’AN Oleh: Dr. Ahmad Deski, S.S.I., MA A. Latar belakang Al-Qur‟an merupakan petunjuk bagi manusia dalam mengarungi kehidupan di Dunia. Manusia akan bisa menjadikan al-Qur‟an sebagai petunjuk ketika mampu memahami ayat demi ayat dalam al-Qur‟an tersebut. Al-Qur‟an yang terdiri dari 2636 ayat membahas berbagai persoalan terkait dengan hubungan manusia dengan Rabb, hubungan manusia sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Kehadiran al-Qur‟an memberikan pengaruh yang luar biasa bagi lahirnya berbagai konsep yang diperlukan manusia dalam berbagai bidang kehidupan. Al-Qur‟an bagaikan sumber mata air yang tidak pernah kering ketika manusia mengambil dan mengkaji hikmah isi kandungannya. Sudah tentu tergantung kemampuan dan daya nalar setiap orang dan kapan pun masanya akan selalu hadir secara fungsional memecahkan problem kemanusiaan. (Hamzah Djunaid:2014:139) Dasar ideal pendidikan Islam adalah yang berasal dari alQur‟an dan Sunnah sebagaimana keduanya adalah sebagai petunjuk dan pedoman hidup manusia. Kemudian dasar dari alQur‟an dan Sunnah tersebut dikembangkan dalam ijtihad para ulama dalam bentuk Ijma‟ sehingga melahirkan konsep pendidikan Islam. Konsep pendidikan Islam bersumber dari Al-Qur‟an dan Sunnah melahirkan berbagai teori dan sistem pendidikan yang bersifat komprehensif, integralistik, dan holistik. Pendidikan Islam bersifat komprehensif diartikan melingkupi seluruh ranah 37 pendidikan. Pendidikan Islam integralistik diartikan tidak mengenal dikotomi antara ilmu pengetahuan non agama dan pengetahuan agama. Pendidikan Islam bersifat holistik dalam pengertian meliputi seluruh aspek kehidupan dengan prinsip pendidikan seumur hidup (long life education) yang dimulai sejak hidup dalam kandungan hingga berakhirnya kehidupan.(Rosyadi, 2014) Al Qur‟an merupakan sumber pokok Pendidikan Islam, dapat dipahami dalam firman Allah dalam al Qur‟an, diantaranya surat an Nahl ayat 64: ْ ٓ‫ِّلٓ ِلتُبَ ٌِّنَٓٓلَ ُه ُمٓٓالَذِى‬ ٓ َٓٓ‫اختَلَفُ ْوآفِ ٌْ ِٓهٓ َو ُهدًىٓ َو َرحْ َم ٓةًٓ ِلّمَ ْومٌُّٓٓؤْ ِمنُ ْون‬ َٓ ‫بٓا‬ َٓ ‫علٌَْنَٓٓ ْال ِك ٰت‬ َ ٓ‫َو َمآٓا َ ْنزَ ْلنَا‬ Artinya : tidak menurunkan Kitab (Al-Qur‟an) ini kepadamu (Nabi Muhammad), kecuali agar engkau menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan serta menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. Dan surat Shad ayat 29 : ٓ ٓ‫ب‬ ِٓ ‫ِك ٰتبٓٓا َ ْنزَ ْل ٰن ٓهُٓاِلٌَْنَٓٓ ُم ٰب َرنٓٓ ِلٌَّ َدب َُر ْوآ ٰا ٌٰتِهٓٓ َو ِلٌَت َ َذ َك َٓرٓاُولُوآ ْاّلَ ْلبَا‬ Artinya : Al-Qur‟an ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu (Nabi Muhammad) yang penuh berkah supaya mereka menghayati ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran. Kajian terhadap berbagai aspek pendidikan yang berdasarkan perspektif al-Qur‟an lebih lanjut banyak dilakukan oleh para ulama modern. Dengan bersandar pada ayat-ayat al-Qur‟an, mengkaji bagian-bagian penting dalam pendidikan, seperti visi misi pendidikan dalam perspektif al-Qur‟an, tujuan pendidikan dalam perspektif al-Qur‟an, serta teknik-teknik pendidikan yang 38 meliputi teladan, nasihat, hukuman, cerita, kebiasaan dll. Dalam tulisan ini, penulis akan membahas ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan dengan dunia pendidikan yang meliputi istilah-istilah pendidikan dalam perspektif al Qur‟an. Abudin Nata menyebutkan bahwa istilah yang berkaitan dengan pendidikan diantaranya adalah al tarbiyah, al ta‟lim, al tazkiyah, al tadris, al tafaqquh, al ta‟aqqul, al tadabbur, al tadzkirah, al tafakkur, al mau‟idzah. (Nata, 2005) Dalam tulisan ini, penulis akan membahas terkait dengan konsep tadris dalam al Qur‟an. B. Pembahasan 1. Pengertian Tadris Al tadris merupakan bahasa Arab dalam bentuk mashdar dari kata – ‫دزض‬ ‫ب‬ٛ‫دزض – ردزظ‬ٚ ّ ّ (darrasa-yudarrisu-tadrisan). Secara bahasa, kata darasa dipahami dengan mempelajari. Raghib al Asfahani menyebutkan bahwa kata darasa artinya adalah tersisa bekas atau meninggalkan bekas.(al-Asfahaniy, 1997) Seperti ungkapan kata darasa dalam kalimat ‫ دزض انداز‬yang maknya adalah ِ‫ أصس‬ٙ‫ ثق‬, artinya rumah itu masih ada bekasnya. Jika di idhofah kan dengan kata al ilmu seperti ungkapan ‫دزظذ انؼهى‬, maka maknanya sama dengan ‫ رُبٔنذ أصسِ ثبنحفػ‬yang artinya saya mendapatkan bekasnya dengan menghafal. Berdasarkan makna kata darasa secara harfiyah di atas, maka bisa dipahami bahwa darasa adalah kegiatan mencari ilmu yang berbekas hasilnya dan berpengaruh terhadap orang yang mencarinya. Artinya, belajar itu tidak hanya sekedar sebuah kegiatan, tetapi harus bisa memberikan pengaruh dan perubahan kepada orang yang belajar tersebut. Kemudian, muncul kata mudarris yang merupakan isim fa‟il dari darrasa. Rusiadi berpendapat bahwa dalam kata mudarris 39 merupakan kata yang berasal dari darasa-yadrusu-darsan-durusandirasatan, artinya terhapus, hilang bekasnya, mengahapus, melatih dan mempelajar. Dengan demikian, maka guru adalah orang yang berusaha untuk mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan, serta melatih keterampilan peserta didik sesuai dengan bakat dan minatnya. (Rusiadi, 2012) Mudarris adalah orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbaruhi pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.(Ridwan, 2011) 2. Tadris dalam al-Qur‟an Kata darasa dalam al-Qur‟an ditemukan sebanyak enam ayat, lima dalam bentuk kata kerja dan satu dalam bentuk masdar. Lima yang dalam bentuk kata kerja itu, dua di antaranya menggunakan fi‟il madli dan tiga lainnya menggunakan fi‟il mudlari‟. Kata tersebut terdapat dalam QS. Al-An‟am ayat 105, QS. AlA‟raf ayat 169, QS. Ali Imran ayat 79, QS. Al-Qalam ayat 37, QS. Saba ayat 44 dan QS. Al-An‟am ayat 156. (al Baqi, 1364) Berdasarkan makkiyah dan madaniyah, ayat-ayat tentang tadris di atas terbagi kepada empat surat merupakan ayat makkiyah, yaitu yang turun sebelum Nabi Hijarah ke Madinah dan dua ayat lainnya merupakan ayat madaniyah, yaitu ayat yang turun kepada Nabi setelah Hijrah ke kota Madinah. Empat ayat makkiyah itu adalah surat al An‟am ayat 105, al Qalam ayat 37, surat Saba‟ ayat 44, dan surat al An‟am ayat 156. Sedangkan ayat madaniyah yaitu surat al A‟raf ayat 169 dan surat Ali Imran ayat 79 (al Baqi, 1364). 40 3. Penafsiran ayat-ayat tadris a. Surat al An‟am ayat 105 ْٰ ‫ف‬ ٓ َ‫ٓو ِلنُبَ ٌِّنَهٗ ٓ ِلمَ ْومٌَٓ ْعلَ ُم ْون‬ ُ ‫ص ِ ّر‬ َ ُ‫َوك َٰذلِنَ ٓن‬ َ َ‫ِٓو ِلٌَمُ ْولُ ْوآ َد َرسْت‬ َ ‫ٓاّل ٌٰت‬ Artinya : Demikianlah Kami menjelaskan berulang-ulang ayatayat Kami (agar orang-orang beriman mengambil pelajaran darinya) dan agar mereka (orang-orang musyrik) mengatakan, “Engkau telah mempelajari (ayat-ayat itu dari Ahlulkitab),” dan agar Kami menjelaskannya (Al-Qur‟an) kepada kaum yang mengetahui. Kata darasa dalam ayat di atas merupakan kata kerja (ٓ‫فعل‬ ‫)ماض‬, kata kerja yang menunjukkan peristiwa atau kegiatan yang sudah berlalu. Quraish Shihab menyebutkan bahwa makna Kata ‫ ( درست‬darasta) terambil dari kata ‫( درس‬darasa) yang berarti engkau pelajari, yakni membaca dengan seksama untuk menghafal dan mengerti.(Shihab, 2002) Ada juga yang membaca dengan memanjangkan huruf dal, yakni ‫ دارست‬daarasta dalam arti engkau membaca dan dibacakan. Kemudian ada juga yang membaca ‫( درست‬darasat) dalam arti telah berulang. Bacaan mayoritas adalah yang berarti engkau pelajari. (Shihab, 2002) Ini serupa dengan firman-Nya: ٓ‫سان‬ َ ‫ٓو ٰهذَآ ِل‬ َ ً َ ‫َولَمَ ْد ٓنَ ْٓعلَ ُم ٓاَنَ ُه ْم ٌَٓمُ ْولُ ْونَ ٓاِنَ َمآٌُعَ ِلّ ُمهٗ ٓبَش ٌَۗر ٓ ِل‬ ْ ‫سانُ ٓالَذ‬ ٌّ ‫ِي ٌٓ ُْل ِحد ُْونَ ٓاِلَ ٌْ ِه ٓا َ ْع َج ِم‬ ٓ‫ًٓ ُّمبٌِْن‬ َ ٌّ ِ‫ع َرب‬ Artinya: Sungguh, Kami benar-benar mengetahui bahwa mereka berkata, “Sesungguhnya ia (al-Qur‟an) hanyalah diajarkan kepadanya (Nabi Muhammad) oleh seorang manusia.” Bahasa orang yang mereka tuduh (bahwa Nabi Muhammad belajar kepadanya) adalah bahasa ajam (bukan bahasa Arab). Padahal, ini (al-Qur‟an) adalah bahasa Arab yang jelas. Kemudian, Thabrani sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir menyebutkan bahwa kata darasa dalam ayat ini maknanya adalah kamu membaca dan kamu saling berdebat. (Ibn Kathsīr, 41 tt). Al alusi (al-Alusi, tt) menyebutkan bahwa makna dari kata darasa adalah membaca dan mempelajari. Abu al Hasyim menyebutkan bahwa kata darasa maknanya adalah menguasai sesuatu dengan jalan banyak membaca, sehingga sesuatu itu dengan mudah dan tanpa disadari tersimpan dalam ingatannya. Darasa itu merupakan latihan yang dikerjakan sebanyak mungkin sampai hafal. Berdasarkan uraian di atas, maka hakikat dari kata darasa itu adalah membaca sesuatu sebanyak mungkin dan memperdebatkannya, sehingga bisa dikuasai dengan baik bahkan tanpa disadari sudah terekam di memori manusia dengan sempurna. b. Surat al Qalam ayat 37 ٓ َ‫س ْون‬ ُ ‫ا َ ْمٓلَ ُك ْمٓ ِك ٰتبٓفِ ٌْ ِهٓتَد ُْر‬ Artinya : Atau, apakah kamu mempunyai kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu pelajari? Menurut Ibnu „Asyur (Ibn-ʿĀšūr, 1997), kata ٌَْٕ ‫ظ‬ ُ ‫رَد ُْز‬ maknanya adalah mempelajari secara mendalam dengan penuh perhatian terhadap apa yang terkandung dalam sebuah kitab. Sedangkan Sayyid Thanthawi (Tanthawi, tth) menyebutkan bahwa makna kata darasa dalam ayat ini adalah membaca dan memikirkannya dengan penuh perhatian. Berdasarkan uraian di atas, maka makna kata darasa dalam surat al-Qalam ayat 37 adalah membaca, mempelajari, dan memikirkannya dengan kesungguhan yang tinggi. c. Surat Saba‟ ayat 44 ٓ‫ٓم ْنٓنَ ِذٌ ٌْۗر‬ ِ َ‫س ْلنَآاِلَ ٌْ ِه ْمٓلَ ْبلَن‬ ُ ‫َو َما ٰٓات َ ٌْ ٰن ُه ْمٓ ِ ّم ْنٓ ُكتُبٌَٓد ُْر‬ َ ‫آو َمآا َ ْر‬ َ ‫س ْونَ َه‬ 42 Artinya : Tidaklah Kami berikan kepada mereka kitab apa pun yang mereka pelajari dan tidak (pula) Kami utus seorang pemberi peringatan kepada mereka sebelum engkau (Nabi Muhammad). Quraish Shihab (Shihab, 2002) menjelaskan bahwa maksud kata ‫دزظىُٓب‬ٚ (yadrusunaha) terambil dari kata ‫( دزض‬darasa) yang berarti membaca secara perlahan disertai dengan upaya sungguh-sungguh untuk memahami, yakni mempelajari dengan tekun. Al Alusi menyebutkan bahwa makna kata ٌٕ‫دزظ‬ٚ dalam ayat di atas adalah saling mempelajari dan mempelajari sesuatu secara berulang kali. (al-Alusi, tt) dengan demikian, maka makna darasa dalam ayat ini adalah mempelajari sesuatu dengan tekun, berulang kali dan didiskusikan. Ketika proses ini dilakukan, maka akan sampai pada pemahaman yang sempurna. d. Surat al An‟am ayat 156 ْ ‫ا َ ْنٓتَمُ ْولُ ْوآاِنَ َمآا ُ ْن ِزل‬ َ ٓ‫ع ٰلى‬ ٓ َ‫ستِ ِه ْمٓلَ ٰغ ِفِٓلٌْن‬ ِ ‫ط ۤا ِٕىفَتٌَ ِْن‬ ُ ‫َٓال ِك ٰت‬ َ ٓ‫ٓوا ِْنٓ ُكنَا‬ َ ٓ‫ب‬ َ ‫ع ْنٓد َِرا‬ َ ‫ٓم ْنٓلَ ْب ِلن َۖا‬ Artinya: (Kami turunkan Al-Qur‟an itu) supaya kamu (tidak) mengatakan, “Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan sebelum kami (Yahudi dan Nasrani) dan sesungguhnya kami lengah dari apa yang mereka baca,” Kata dirasah dalam ayat ini merupakan bentuk mashdar dari kata darasa. Quraish Shihab menyebutkan bahwa kata ‫دزاظخ‬ )dirasah) dalam ayat ini berarti mengulang-ulangi membaca dengan penuh perhatian, untuk memahami atau menghafalnya. (Shihab, 2002) al Biqa‟i juga berpendapat bahwa maksud kata dirasah dalam ayat ini adalah membaca berulang kali.(al-Biqa‟i, 2000). Dengan demikian, maka kata tadris dalam ayat ini maknanya adalah membaca sesuatu berulangkali sampai paham, bahkan bisa hafal. 43 e. Surat al A‟raf ayat 169 ْ ُ ‫ٓو ِرث‬ ْ َ‫ٓهذ‬ ٰ ‫ض‬ ٓ‫سٌُ ْغف َُرٓلَن َۚا‬ ِ ‫ف‬ َ ٓ َ‫بٌَٓأ ْ ُخذُ ْون‬ َ ‫وآال ِك ٰت‬ َ ٓ َ‫ىٓوٌَمُ ْولُ ْون‬ َ ‫ٓم ْۢ ْنٓ َب ْع ِد ِه ْمٓخ َْلف‬ َ ‫ع َر‬ َ َ‫فَ َخل‬ َ ‫آاّلَ ْد ٰن‬ ْ ‫اق‬ َ ‫ب ٓا َ ْن‬ ُ َ ‫علَ ٌْ ِه ْم ٓ ِ ّم ٌْث‬ ِٰٓ ٓ ‫علَى‬ ٓ‫ّللا‬ َ ٓ‫ّٓل ٌَٓمُ ْولُ ْوا‬ ِ ‫ٓال ِك ٰت‬ َ ٓ ‫ع َرض ٓ ِ ّمثْلُهٗ ٌَٓأ ْ ُخذُ ْو ٌۗهُ ٓاَلَ ْم ٌُٓؤْ َخ ْذ‬ َ ٓ ‫َوا ِْن ٌَٓأ ْ ِت ِه ْم‬ ٰ ْ ‫َار‬ ْ ‫ا َِّل‬ ٓ َ‫ٓاّل ِخ َرةُٓ َخٌْر ِٓلّلَ ِذٌْنَ ٌَٓتَمُ ْو ٌۗنَ ٓاَفَ ََلٓت َ ْع ِملُ ْون‬ ُ ‫ٓو َد َر‬ ُ ‫ٓوالد‬ َ ‫س ْوآ َمآ ِف ٌْ ٌِۗه‬ َ ‫ٓال َح َك‬ Artinya: Kemudian, setelah mereka, datanglah generasi (yang lebih buruk) yang mewarisi kitab suci (Taurat). Mereka mengambil harta benda (duniawi) yang rendah ini (sebagai ganti dari kebenaran). Lalu, mereka berkata, “Kami akan diampuni.” Jika nanti harta benda (duniawi) datang kepada mereka sebanyak itu, niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah mereka sudah terikat perjanjian dalam kitab suci (Taurat) bahwa mereka tidak akan mengatakan kepada Allah, kecuali yang benar, dan mereka pun telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya? Negeri akhirat itu lebih baik bagi mereka yang bertakwa. Maka, tidakkah kamu mengerti? Kata darasa dalam ayat ini bentuknya adalah fi‟il madhi. Al Baghawi (al Baghawi, 1993) menyebutkan bahwa makna kata darasa dalam ayat ini adalah membaca dan men-tadabburi-nya berkali-kali. f. Surat Ali Imran ayat 79 ْ ُ‫ُّٓللا‬ ٓ‫ٓم ْن‬ ِ ًْ ّ‫اسٓ ُك ْونُ ْوآ ِعبَادًآ ِل‬ ٰ ‫َمآ َكانَ ٓ ِلبَشَرٓا َ ْنٌُّٓؤْ ِتٌَه‬ ِ َ‫ٓوالنُّب َُوة َٓث ُ َمٌَٓمُ ْولَٓ ِللن‬ َ ‫ٓال ِك ٰت‬ َ ‫ٓو ْال ُح ْك َم‬ َ ‫ب‬ ْ َ‫آربَا ِنٌّنَ ٓ ِب َمآ ُك ْنت ُ ْمٓتُعَ ِلّ ُم ْون‬ ٓٓ َ‫س ْون‬ ُ ‫ٓو ِب َمآ ُك ْنت ُ ْمٓتَد ُْر‬ ٰ ‫د ُْو ِن‬ َ ‫ٓال ِك ٰت‬ َ ‫ِٓو ٰل ِك ْنٓ ُك ْٓونُ ْو‬ َ ‫ب‬ َ ‫ّٓللا‬ Artinya: Tidak sepatutnya seseorang diberi Alkitab, hukum, dan kenabian oleh Allah, kemudian dia berkata kepada manusia, “Jadilah kamu para penyembahku, bukan (penyembah) Allah,” tetapi (hendaknya dia berkata), “Jadilah kamu para pengabdi Allah karena kamu selalu mengajarkan kitab dan mempelajarinya!” Menurut Musthafa al-Maraghi (al-Maraghiy, tt), ayat ini menjelaskan bahwa Nabi yang telah diberi al-Kitab dan al-hikmah memerintahkan agar menjadi manusia yang rabbani secara lansung, 44 tidak melalui perantara atau tawasul. Nabi memberikan petunjuk kepada mereka pada wasilah hakiki yang dapat mengantarkan seseorang ke arah rabbani, yaitu mengajarkan al-Kitab dan mempelajarinya. Sebab, dengan ilmu al-kitab, mengajarkan, dan mengamalkannya seorang bisa menjadi rabbani yang diridlai Allah. Ilmu yang tidak bisa membangkitkan amal bukanlah ilmu yang benar. Menurut Ibnu Katsir, dalam ayat ini Allah swt. berfirman: Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. Akan tetapi seseorang Rasul akan berkata kepada manusia, “Jadilah kamu orang-orang rabbani! ”yakni, Ulama‟ yang ahli fiqih, ahli ibadah dan bertaqwa. (Ibn Kathsīr, tt) Dengan demikian manusia rabbani harus menjadi contoh dan teladan bagi umat yang dipimpinnya. Pendapat ini lebih menekankan agar manusia rabbani selalu bertaqwa, beriman kepada Allah dimanapun tempatnya dan selalu mempelajari segala ilmu yang berkaitan dengan pengetahuan sehingga akan menjadi orang yang alim. Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: karena kalian selalu mengajarkan AlKitab dan disebabkan kalian tetap mempelajarinya. (Ali Imran: 79) Bahwa makna yang dimaksud ialah sudah merupakan suatu keharusan bagi orang yang memahami Al-Qur'an menjadi orang yang ahli fiqih. Tu'allimuna di sini menurutnya dibaca ta'lamuna, yang artinya memahami maknanya. Menurut qiraat lain dibaca tu'allimuna yang artinya mempelajarinya, sedangkan makna tadrusuna ialah hafal lafaz-lafaznya. 45 C. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan beberapa makna tadris sebagai berikut: 1. Tadris adalah membaca dengan tekun berulang kali sampai menguasai dan hafal. Membaca tidak bisa sekali untuk mendapatkan pemahaman yang sempurna. Semakin banyak membaca sesuatu itu, maka akan semakin terungkap makna yang tersirat dalam bacaan itu. 2. Kegiatan tadris itu tidak hanya membaca, tapi harus bisa diperdebatkan. Perdebatan atau diskusi yang terjadi antara siswa dan guru atau siswa dengan siswa lainnya akan menambah pemahaman. 3. Tujuan tadris adalah penguasaan terhadap materi yang sedang dipelajari. Banyak membaca merupakan jalan untuk sampai kepada penguasaan itu. 4. Tadris merupakan latihan yang dikerjakan sebanyak mungkin sampai hafal. Dalam kegiatan tadris perlu banyak latihan. Latihan yang banyak akan memberikan pemahaman yang sempurna kepada peserta didik. 5. Tadris itu pada hakikatnya adalah mempelajari sesuatu secara mendalam dengan penuh perhatian. 6. Dalam tadris itu peserta didik bisa sampai hafal materi yang sedang dipelajari, karena dia membaca dan memikirkannya dengan penuh perhatian. 7. Dalam proses tadris, pembelajaran mempunyai dua subjek yaitu pendidik (guru) dan siswa (peserta didik). Namun berbeda dengan ta‟lim, tadris dalam proses pembelajaran menunjukkan bahwa siswa (peserta didik) sekaligus sebagai subjek sekaligus objek aktif dalam proses pembelajaran, sedangkan pendidik (guru) hanya sekedar sebagai orang pendukung, bertanggung 46 jawab atas bimbingan dan bimbingan selama proses pembelajaran. 8. Selama proses pembelajaran, pendidik harus mampu menciptakan kegiatan belajar yang aktif sehingga peserta didik dapat proaktif dalam proses pembelajaran, menyempurnakan potensi kognitif, emosional dan psikomotoriknya, serta ritualritual selama proses pembelajaran ta'lim. yaitu selalu diawali dan diakhiri dengan doa dan dzikir kepada Allah SWT sumber ilmu yang utama. Referensi al-Alusi, M. (tt). Ruh al-Ma‟ani fi Tafsir al-Qur‟an al-Adhim wa al-Sab‟ al-Matsani. Dar al-Ihya‟ al-Turats al-Arabi. al-Asfahaniy, R. (1997). Mu‟jam al-Mufradat li Alfazh al- Qur‟an. Dar al Qalam. al Baghawi, A. M. al H. bin M. al F. (1993). Ma‟alim al Tanzil. Dar Al-Kitab Al-„Ilmiah. al Baqi, M. F. A. (1364). „Al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fazh al-Qur‟an.‟ Dar al Hadis al-Maraghiy, A. M. (tt). Tafsir al-Maraghi. Dar al Turats al Arabi. al-Biqa‟i, I. bin ‟Umar bin H. ar-R. bin A. bin A. B. (2000). Nazm ad-Durar fi Tanasub al-Ayat wa as-Suwar. Maktabah Syamilah. Ibn Kathsīr, I. (tt). Tafsir al-Qur‟an al-Azhim. Muassasah alRayyaān. Ibn-ʿĀšūr, M. aṭ-Ṭāhir. (1997). Tafsīr at-taḥrīr wa-‟t-tanwīr. Dār Sūḥnūn li-n-Našr wa-‟t-Tauzīʿ. Nata, A. (2005). Pendidikan Dalam Perspektif al Qur‟an. Prenadamedia Group. 47 Ridwan, Y. (2011). Ilmu Pendidikan Islam. Sedaun. Rosyadi, R. (2014). Pendidikan Islam dalam Perspektif Kebijakan Pendidikan Nasional. PT Penerbit IPB Press. Rusiadi. (2012). Metodologi Pembelajaran Agama Islam. Sedaun. Shihab, M. Q. (2002). Tafsir al Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al Qur‟an. Lentera Hati. Tanthawi, S. (tth). Tafsir Al-Wasith Li Quran Al Karim. Dar Al-Fikr. 48 BAB 4 HAKIKAT ILMU DALAM AL-QUR’AN Oleh: Zulfahmi Syahri, S.Pd.I, MA A. Pendahuluan Manusia adalah makhluk yang memiliki ilmu merupakan pondasi yang bisa untuk mengetahui hal-hal yang urgen dalam kehidupannya. Ilmu didefenisikan sebagai mengetahui sesuatu sesuai dengan hakikatnya. Karena ilmu itu bisa menjadikan manusia lebih berbudaya, beretika, beradab dan beprilaku dan berhubungan dengan Allah SWT dan makhluknya. Dari masa ke masa ilmu sangat mengalami perkembangan dan kemajuan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan manusia bisa mengembangkan ilmu mereka sesuai dengan potensi yang dimiliki sehingga mengantarkan manusia kepada orangorang yang ditinggikan derajatnya disisi Allah swt dan manusia. Pada sisi historisnya, Ayat al-Quran yang pertama diturunkan ke hati Rasulullah saw, menunjuk pada keutamaan ilmu pengetahuan, yaitu dengan memerintahkannya membaca, sebagai kunci ilmu pengetahuan dan menyebutkan Qalam sebagai alat transformasi ilmu pengetahuan Allah SWT menurunkan al-Qur‟an kepada hamba-Nya guna untuk petunjuk bagi alam semesta, di dalam al-Qur‟an dirangkum dengan kajian hukum-hukum, Aqidah, akhlak, ilmu, mu‟amalah, sosial, politik dan lain-lain, berkenaan dengan ilmu di dalam al-Qur‟an banyak hal yang berkaitan dengan ilmu tersebut. Sesuai dengan yang termaktub di dalam al-Qur‟an surat alAnkabut ayat 43: “dan perumpamaan-perumpamaan ini kami buatkan untuk manusia dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu”, juga dinyatakan dalam surat az-Zumar ayat 9: “…adakah 49 sama orang yang mengetahui dengan yang tidak mengetahui”. Disinilah gambaran bahwa di dalam al-Qur‟an orangyang berilmu mendapatkan kedudukan yang mulia disisi Allah SWT karena orang-orang yang berilmu sangat meyakini akan adanya sang pencipta sehingga mengantarkan mereka kepada ketundukan dan kepatuhan dan menjauhkan diri mereka dari jalan yang tidak lurus. B. Ilmu 1. Hakikat Ilmu Manusia adalah makhluk yang sempurna dari makhluk lainnya seperti hewan dan tumbuhan. Dimensi perbedaan itu terletak pada akal dan hawa nafsu yang melekat pada manusia. “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (at-Tin 95:4) Akal itu terbagi kepada tiga bagian, sebahagian untuk mengenal Allah, sebahagian untuk ta‟at kepada Allah dan sebahagian lagi untuk sabar (dapat menahan hati) dari pada ma‟siat akan Allah (Hamka, 1984: 64). Akal dan hawa Nafsu merupakan dua kekuatan yang bertempur di dalam diri manusia, akal selalu menimbang antara buruk dan baik, sedangkan nafsu yang jahatlah yang dipilihnya (Hamka, 1984: 64). Akal merupakan bagian dari inmateri yang ada pada tubuh manusia, akal yang ada pada manusia bisa untuk mencapai dan mendapatkan berbagai ilmu bahkan Allah SWT menegaskan meninggikan hambanya yang memilki ilmu sesuai dengan firman Allah SWT: … “Allah SWT akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan 50 beberapa derajat, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (Surah al-Mujadalah 58:11). Ilmu dalam Bahasa arabnya adalah bentuk mufrad dari kata “al-‟Ilmu” sedangkan bentuk jama‟nya adalah “‟Ulum” yang berarti al-ma‟rifatu, secara etimologis merupakan bentuk Masdar yang berarti pengetahuan, pemahaman, keyakinan. (Munawwir, 1997: 966), sedangkan secara terminology ahli hukum mendefenisikan pengetahuan terhadap Allah dan hal-hal yang berhubungan dengan keagungan sifat-Nya dan kebijakan-Nya serta pengetahuan tentag kehalalan dan keharaman, juga didefenisikan pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistim menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang pengetahuan itu. (Maskur, 1992). Pendapat lain mengatakan, bahwa ilmu dilihat dari sumbernya terdiri dari dua macam yaitu: a. ilmu yang bersumber dari Tuhan yang sering disebut dengan Ma‟rifah al-Ilahiyah, dan b. ilmu yang bersumber dari manusia yang sering juga disebut dengan Ma‟rifah al-Insaniyah, dalam daripada itu iman adalah asas dari kedunya. (al-Bahi, t.th) Ilmu juga didefenisikan dengan penjelasan tentang sesuatu dengan cara mengetahui sesuatu tersebut atau sampaunya jiwa kepada pemahaman makna sesuatu. (al-Quwasiny, t.th) Dalam kontek ini ilmu dikenal sebagai Ilmu Baru atau “Hadits” sebab ilmu dilihat dari segi waktu terbagi menjadi Ilmu Qadim (Ilmu Allah SWT), dan Ilmu al-Hadits (Ilmu “Baru”) yaitu ilmu yang dimiliki manusia. Sedangkan menurut pendapat Syarif Ali bin Muhammad Al-Jurjani mengemukakan pengertian ilmu sebagai berikut: a) Suatu keyakinan yang pasti sesuai dengan kenyataan 51 b) Perolehan gambaran sesuatu yang terdapat dalam akal c) Hasil pemahaman sesuatu sesuai denga napa adanya (secara objektif) d) Hilangnya kesamaran/keraguan dalam menjelaskan objek yang dijelaskan e) Sifat yang melekat pada jiwa yang dapat mengetahui sesuatu secara global dan parsial f) Sampainya jiwa pada makna sesuatu g) Keterangan mengenai penyandaran yang khusus antara yang memahami dan yang diapahami h) Keterangan mengenai sifat yang mempunyai sifat Al-jurjani menjelaskan bahwa ilmu al-hadits terbagi kepada tiga macam: a) Ilmu al-hadits Badihi yaitu ilmu yang langsung dipahami b) Ilmu al-hadits Dharuri yaitu ilmu yang terpahami melalui indra c) Ilmu al-hadits istidlali yaitu yang terpahami melalui penalaran Sementara Hilal al-Askari menjelaskan pengertian imu dengan rumusan “Ma‟rifa al-Syai.i „ala ma huwa bini wa I‟tiqadihi” artinya mengetahui dan meyakini sesuatu menurut apa adanya (objektif). (al-Asyakri, t.th) Muhammad Nur al-Ibrahim mengemukakan pengertian ilmu menurut ahli mantiq Pencapaian objek yang belum diketahui dengan cara meyakini atau menduga yang keadaannya bisa cocok dengan kenyataan atau sebaliknya: (al-Ibrahim, 7) Selanjutnya ilmu terbagi kepada dua macam: a) Ilmu Tashawur, yaitu mengetahui hakikat-hakikat objek tunggal dengan tidak menyertakan penetapan sesuatu kepadanya atau meniadakan penetapan darinya, contoh: pemahaman terhadap kata Ahmad saja, atau kata Pelajar saja atau makna kata Mahasiswa saja 52 b) Ilmu Tashdiq, yaitu mengetahui hubungan yang sempurna antara dua objek yang tunggal atau menghukumi hakikat objek dengan menetapkan sesuatu kepadanya atau meniadakan penetapan darinya. Contoh: mengerti makna Ahmad Adalah Mahasiswa, Ahmad Adalah Pelajar. Predikat Mahasiswa atau Pelajar ditetapkan kepada Ahmad, Ahmad menerima penetapan itu. Kemudian ilmu Tashawur ini terbagi kepada dua: a) Tasawur Badihi, yaitu pemahaman terhadap satu objek tidak memerlukan pemikiran yang mendalam atau pengertiannya dengan mudah dapat dicapai. b) Tashawur Nazhari, yaitu pemahaman terhadap objek memerlukan pemikiran yang mendalam Ilmu Tashdiq juga terbagi kepada dua macam: a) Tashdiq Badihi, Yaitu Pemahaman terhadap dua objek yang tunggal tidak memerlukan penalaran yang mendalam b) Tashdiq Nazhari Yaitu Pemahaman terhadap dua objek yang tunggal memerlukan penalaran yang mendalam Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa Ilmu Tashawur berarti proses pembentukan pengertian (Konseptualisasi) sedangka Ilmu Tashdiq berarti proses pembentukan keputusan (Proposisi). Imam al-Razi menjelaskan bahwa Tashdiq adalah himpunan dari empat pengertian: Pertama, pengertian subjek (Maudhu‟). Kedua, pengertian predikat (Mahmul). Ketiga, pengertian hubungan antara maudhu‟ dan mahmul. Keempat, pengertian adatidak adanya hubungan antara maudhu‟ dan mahmul dalam realitas objektif. (Sambas, 2009) 53 2. Keutamaan Ilmu Ilmu memiliki keutamaan yang mendasar, diantara keutamaan dari ilmu sebagaimana berikut: a) Ilmu harus lebih dahulu daripada amal, yaitu bekas yang terlukis di dalam otak orang yang berilmu itu di dalam perkara yang telah diketahuinya b) Di dalam al-Qur‟an tersebut bahwasanya ilmu yang diberikan Allah SWT kepada hambanya hanya sedikit. Walaupun telah sampai kemana ilmu manusia. Pada abad ke 20 dinamai orang abad ilmu pengetahuan, kemudian abad atom, kemudian abad apollo namu menurut henry foincare tetap mengatakan bahwa ilmu yang didapat manusia sekarang ini, barulah laksana beberapa butir lokan Mutiara yang dibongkar ombak dari dasar laut lalu diantarkannya ke tepi. Itulah yang diperebutkan Bersama-sama c) Ilmu meninggikan derajat orang alim, sehingga merekalah yang menjadi bintang di dalam masyarakat, 1.000 orang bodoh mati dalam sehari tidak ada yang tahu, tetapi kematian seorang alim menggerkan dunia d) Tidak ada agama selain Islam, tidak ada kitab suci selain alQur‟an demikian tinggi menghargai ilmu pengetahuan, mendorong untuk mencarinya, dan memuji orang-orang yang menguasainya. Termasukd alam menjelaskan ilmu dan pengaruhnya di dunia dan akhirat, mendorong untuk belajar dan mengajar serta meletakkan kaidah-kaidah yang pasti untuk tujuan tersebut dalam sumber-sumber Islam yang asasi: alQur‟an dan As-sunnah 54 C. Al-Qur’an 1. Pengertian Al-Qur‟an secara Etimologi Al-Qur‟an merupakan salah satu kitab suci agama samawi yang menjadi pedoman bagi seluruh manusia dalam perihal kehidupan di dunia dan di akhirat. Al-Qur‟an al-Karim merupakan kitab suci yang dengan kekuasaan Allahlah ia ada dan dimuliakan. Ia merupakan kitab suci yang di dalamnya tidak pernah tercampur dengan kebatilan, dari manapun kedatangannya. Secara Etimlogi, Lafaz al-Qur‟an sama kedudukannya dengan lafaz Qira‟at yang merupakan bentuk mashdar yang berarti membaca, kemudian diberikan makna "bacaan atau yang dibaca" dalam bentuk polah isim maf‟ul (al-Qaththan, t.th: 20). Al-Qur‟an juga disimpulkan memiliki makna dasar “menghimpun dan mengumpulkan”. Didasarkan kepada asumsi bahwa al-Qur‟an merupakan Musytaq dari Qara‟a atau Qara‟na, dengan demikian lafaz al-Qur‟an secara Bahasa berarti menghimpun dan memadukan Sebagian huruf-huruf dan katakata dengan Sebagian lainnya jadi al-Qur‟an berarti “kumpulan” dan “gabungan” (al-Zarqani, 1996). Al-Lihyani berpendapat bahwa kata al-Qur‟an adalah mashdar dari “Qara‟a” yang berarti “Tala/bacaan”. Kemudian pengertian mashdar ini ditransfer menjadi suatu nama untuk ungkapan yang diturunkan kepada nabi kita Muhammad SAW. Hal ini berarti Maqru‟ (sesuatu yang dibaca) sebagaimana firman Allah SWT: “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya, apabila kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu” (al-Qiyamah 75:17-18) 55 Al-Zujaj berpendapat bahwa kata al-qur‟an adalah sifat sebagaimana halnya kata fu‟lan. Ia merupakan derifasi (kata jadi) dari kata “al-Qar‟u” yang berarti al-jam‟u (Kumpulan), kemudian menjadi kalam yang diturunkan kepada nabi Muhammad, karena ia menghimpun berbagai surat dan ayat, kisah, perintah dan larangan atau karena ia menghimpun intisari kitab-kitab sebelumnya. (Muhammad, 2002) 2. Pengertian Al-Qur‟an secara Terminology Al-Qur‟an secara terminology adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan beribadah membacanya (al-Qathan, t.th: 21) Juga didefenisikan Al-qur‟an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk menjadi pedoman bagi hidup manusia (Wahid, 2002). Defenisi lainnya, al-Qur‟an adalah kalamullah yang tiada tandingannya (mu‟jizat) diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, penutup para nabi dan Rasul dengan perantara malaikat Jibril yang dimulai dari surat al-fatihah sampai surat an-Nas dan ditulis dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara Mutawatir, serta mempelajarinya merupakan suatu ibadah (AshShabuny, 1999) Unsur penting untuk menentukan Batasan yang disebut al-Qur‟an dengan kriteria sebagai berikut: a) b) c) d) e) f) Firman Allah SWT Harus berbahasa arab Diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW Dengan perantara malaikat Jibril Diterima secara mutawatir Tertulis dalam bentuk mashaf (usmani) 56 g) Tidak dapat ditiru h) Dimulai dari surat al-fatihah ditutup dengan surat an-nas Jika berlawanan dengan yang disebutkan diatas maka itu bukanlah dinamakan dengan al-Qur‟an, sehingga dengan Batasan tersebut tertutup kemungkinan bahwa al-Qur‟an akan dapat dipalsukan atau dirobah oleh golongan yang tidak bertanggung jawab dan menyesatkan. D. Hakikat Ilmu Dalam Al-Qur’an 1. Etos ilmu dalam Islam Ilmu yang padanannya dalam Bahasa inggris adalah science, sedangkan di dalam Bahasa jerman wissenschaft, dan dalam Bahasa belanda watenschap. Pada umumnya ilmu didefenisikan sebagai sejenis pengetahuan tetapi bukan sembarang pengetahuan, melainkan pengetahuan yang diperoleh dengan cara-cara tertentu, berdasarkan kesepakatan di antara para ilmuan, sehingga ilmu dibagi dalam menjadi tiga bagian: ilmu-ilmu pasti dan alam, ilmuilmu social dan humaniora, diantara ketiganya yang diakui paling ilmiah atau benar-benar science adalah yang pertama. Di dalam tatanan Bahasa Indonesia kata “ilmu” juga berasal dari kata asing yaitu dari Bahasa arab. Ilmu berasal dari kata „ilm, terambilkan dari kata „alima-ya‟lamu menjadi „ilm-un, ma‟lum-um, „alim-un. Tiga kata yang terakhir menjadi kata Indonesia: ilmu, maklum, dan alim ulama. Dalam Bahasa arab „alima sebagai kata kerja berarti tahu atau mengetahui. Ilmu, sebagaimana halnya science atau scientia berarti juga pengetahuan. Ilmu yang sudah menjadi Bahasa Indonesia, bukan hanya sekedar Bahasa arab, tetapi juga tercantum dalam al-Qur‟an. Dalam Bahasa arab sehari-hari sebelum turunnya al-Qur‟an, ilmu hanya bermakna pengetahuan biasa. Tetapi melalui ayat-ayat al- 57 Qur‟an yang turun tahap demi tahap, kata ini berproses dan membentuk makna dan pengertian tersendiri, yang terstruktur. Kata ilmu tidak hanya diartikan sebagai pengetahuan biasa saja tetapi bisa lebih dari itu, tergantung dari pemahaman orang terhadap makna kata tersebut. Jika pemahaman itu dilakukan dengan mempelajari dan mendalami implikasi maknawi yang terkandung dalam berbagai penggunaan kata itu dalam al-Qur‟an maka kata-kata itu bisa berkembang menjadi etos. Hal ini berkembang karena pernyataan Nabi Muhammad SAW yang mengandung anjuran, bahkan perintah seperti kita kenal, “mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim”, “carilah ilmu walaupun samapai ke negeri cina, “carilah ilmu sejak dari buaian sampai ke liang lahat”, “barang siapa mati Ketika sedang mengembangkan ilmu untuk menghidupkan Islam, maka di surga ia sederajat di bawah para Nabi”, “para ilmuwan adalah pewaris (tugas) para nabi”; “ilmu pengetahuan itu adalah milik orang mukmin yang hilang, dimana saja ia mendapatkannya, maka ia lebih berhak memilikinya dan yang lain”. Pernyataan-pernyataan nabi ini diperkuat firman Allah SWT dalam al-Qur‟an surat al-mujadalah: 58: 11: “Allah akan meninggikan derajat orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat”. Juga di dalam al-Qur‟an surat Thaha:20:114: “ya Tuhanku, tambahkanlah padaku ilmu pengetahuan”. 2. Ilmu dalam al-Qur‟an Di dalam al-Qur‟an akan didapati materi ilmu, baik dalam surat makiyah maupun madaniyah secara seimbang dengan semua kata jadiannya, sebagai kata benda, kata kerja, atau kata keterangan beberapa ratus kali. Kata kerja ta‟limun yang berarti “kamu mengetahui” ditunjukkan untuk orang kedua jamak, terulang sebanyak 56 kali dalam al-Qur‟an. Ditambah 3 kali dengan redaksi fasata‟lamun 58 “maka kalian akan mengetahui”, 9 kali dengan redaksi ta‟lamu “kalian mengetahui”, 85 kali dengan redaksi ya‟lamun “mereka mengetahui” dan sekitar 47 kali terulang kata kerja „allama beserta kata kejadiannya (Qardhawi, 1996). Kata sifat „alim, secara nakiah dan ma‟rifah, terulang sebanyak 140 kali. Dan kata „ilm, secara nakirah dan ma‟rifah terulang sebanyak 80 kali. Juga ada beberapa bentuk kata lainnya yang sering terulang. Dalam al-Qur‟an, kata „ilmu ternyata memang banya disebut, yaitu sebanyak 105 kali, lebih banyak dari penyebutan kata al-din yang sebanyak 103 kali. Tetapi dengan kejadinnya, ia disebut tidak kurang dari 744 kali. Untuk menyebutkan secara terinci, kata-kata jadinnya itu disebut dalam bentuk dan frekuensi sebagai berikut (Raharjo, 1996): a) „alima sebanyak 35 kali b) Ya‟lam-u sebanyak 215 kali c) I‟lam sebanyak 31 kali d) Yu‟lam-u sebanyak 1 kali e) „Ilm sebanyak 18 kali f) Ma‟lum sebanyak 13 kali g) „alamin sebanyak 73 kali h) „alam sebanyak 3 kali i) A‟lam sebanyak 49 kali j) „alim atau „ulama sebanyak 163 kali k) „allam sebanyak 4 kali l) „allama sebanyak 12 kali m) Yu‟allim-u sebanyak 16 kali n) „ulima sebanyak 3 kali o) Mu‟allam sebanyak 1 kali p) Ta‟allam sebanyak 2 kali 59 Dari kata jadian tersebut, timbul berbagai pengertian seperti: mengetahui, pengetahuan, orang yang berpengetahuan, yang tahu, terpelajar, paling mengetahui, memahami, mengetahui segala sesuatu, lebih tahu, sangat mengetahui, cerdik, mengajar, belajar, orang yang menerima peajaran atau diajari, mempelajari, juga pengertian-pengertian seperti tanda („alam), Alamat, tanda batas, tanda peringatan, segala kejadian alam, segala yang ada dan segala yang dapat diketahui. Untuk mengetahui dan menemukan pengertian ilmu dalam al-Qur‟an, tidak hanya cukup kalau dicari pengertiannya dari kata-kata yang berasal dari akar kata „a-l-m, sebab kata “tahu” itu tidak hanya diwakili oleh kata tersebut. Paling tidak ada beberapa kata yang mengandung pengertian “tahu” seperti‟arafa, dara, khabara, sya‟ara, ya‟isa, Ankara, bashirah dan hakim. Dalam alQur‟an misalanya kata „arafa disebutkan sebanyak 34 kali dengan hal itu maka menurut Rosenthal, kata „Ilmu adalah sinonim dari kata ma‟rifah. Berikut ini gambaran tentang hakikat ilmu dalam alQur‟an (Raharjo, 1996): 1) Ilmu bermakna „arafa atau „arif Salah satu kata jadian dari „arafa dalam Bahasa Indonesia yang sudah dikenal dengan kata „arif yang diartikan sebagi orang yang memiliki pengetahuan yang tertinggi, jika orang yang telah sampai pada tahap ma‟rifah, walaupun hal ini lebih dikenal di dunia tasawuf. Dalam al-qur‟an terdapat sebuah ayat yang melukiskan hal ini, umpamanya dalam al-Qur‟an surat alMaidah:5:83: ‫ط يٍ انديغ يًب ػسفٕا يٍ انحق‬ٛ‫ُٓى رف‬ٛ‫ٔإذا ظًؼٕا يآ اَصل انٗ انسظٕل رسٖ أػ‬ )5:83:‫(انًبئدح‬ 60 “Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada nabi (wahyu), kamu melihat mereka mencucurkan air mata, disebabkan kebenaran yang telah diketahui” 2) Ilmu bermakna Hikmah Pengertian ilmu pengetahuan terdapat pula dalam kata hikmah yang sudah menjadi kata Indonesia. Biasanya kata hikmah dipakai langsung tanpa terjemahan dan pengertiannya adalah “pelajaran”. Orang yang bisa “memetik hikmah” adalah orang yang bisa “mengambil Pelajaran” dari pengalaman. Tetapi hikmah bisa juga diterjemahkan sebagai “kebijaksanaan” atau pengetahuan tertinggi. Dalam alqur‟an sendiri kata hikmah memang berkaitan dnegan hasil pemikiran seseorang dan sebagai hasil pemikiran, hikmah merupakan sesuatu yang sangat berharga, seperti tercermin dalam al-Qur‟an surat al-baqarah:2:269: ‫ركس إال أٔنٕا‬ٚ ‫سا ٔيب‬ٛ‫سا كض‬ٛ‫ خ‬ٙ‫ؤد انحكًخ فقد أٔر‬ٚ ٍ‫شآء ٔي‬ٚ ٍ‫ؤرٗ انحكًخ ي‬ٚ )2:269:‫األ نجبة (انجقسح‬ “Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang mendapatkan hikmah, sungguh ia telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil Pelajaran (dzikr) kecuali orang yang berakal (ulul albab)” 3) Ilmu bermakna Ulum albab Pengertian ilmu pengetahuan terdapat juga dalam defenisi ulul albab yaitu orang-orang yang melakukan pemikiran secara berulang-ulang dan terus menerus, sehingga akhirnya bisa meraih pengetahuan yang tertinggi atau hikmah. Contoh dalam al-Quran terdapat kata “ayah atau ayat” bentuk jamak “ayaat”/ kata ini disebut sebanyak 392 kali dalam al-Qur‟an. Kata ini sering ditafsirkan dua macam yaitu: pertama, ayat-ayat yang merupakan 61 wahyu Allah yang tersurat dala al-Qur‟an, kedua, juga diartikan sebagai tanda-tanda atau simbol-simbol yang terdapat dalam alam semesta dan diri manusia sebagai makhluk biologis yang merupakan dari alam semesta yang disebut dengan ayat-ayat kauniyah. Serangkaian ayat-ayat yang berkaitan dengan aktivitas mental yang disebut “pikir” dan “dzikr”. Orang yang memiliki aktivitas mental dan menggunankannya untuk menatap ayat-ayat tuhan ini disebut dengan ulul albab sebagaimana dalam al-Qur‟an surat Ali- Imran:3:190: ‫بد ألٔنٗ األنجبة‬ٜٚ ‫م ٔانُٓبز‬ٛ‫إٌ فٗ خهق انعًٕاد ٔاألزض ٔاخزالف انه‬ “sesungguhnya dalam terciptanya langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang, adalah pertanda (ayat) bagi orang yang memiliki akal (ulul albab)” Ulul albab ini disebut dalam al-Qur‟an sebanyak 16 kali dalam konteks yang berbeda-beda. 4) Ilmu bermakna dzikr dan berpikir Muhammad Ali mengatakan bahwa konsekuensi berpikir dan berdzikir adalah menuntut ilmu. Pengetahuan yang berhubungan dengan aktivitas pikir dalam al-Qur‟an disebut sebanyak 18 kali, sedangkan yang berkaitan dengan dzikir yang antara lain dapat juga diartikan sebagai “mengambil Pelajaran” disebut dalam al-Qur‟an sebanyak 285 kali. Dalam al-Qur‟an surat Ali Imran:3:191: ‫زفكسٌٔ فٗ خهق انعًٕاد ٔاالزض‬ٚٔ ‫بيب ٔقؼٕدأػهٗ جُٕثٓى‬ٛ‫ركسٌٔ هللا ق‬ٚ ٍٚ‫انر‬ ‫زثُب يب خهقذ ْرا ثبغال ظجحبَك فقُب ػراة انُبز‬ Artinya: “orang-orang yang melakukan refleksi tentang Allah (dzikir) Ketika mereka itu sedang berdiri, sedang duduk, sedang berbaring di atas lambung mereka, dan mereka memikirkan (tafakkur) tentang kejadian langit dan bumi. (dan merekapun berkata): tuhan kami, engkau 62 tidak menciptakannya tanpa tujuan, maha suci engkau selamatkan kami dari siksa neraka” Di dalam al-Qur‟an terdapat nuansa-nuansa pengertian yang berkaitan dengan metodologi ilmu pengetahuan, sebagaimana yang dapat ditangkap dari arti dan pengertian istilahistilah seperti: fahhama, „aqala, bashir, faqiha, khabara,halama, albab atau nuha. Dari segi metodologi, pengertian keilmuan terkandung dalam istilah-istilah seperti: ikala, kala, qadara, qaddara, wazana, taffafa, istawfa, mikyal, dan miqdar Semua pengulangan materi ini dan kata jadiannya menunjukkan dengan pasti akan keutamaan ilmu pengetahuan, dan keutamaan itu amat jelas dalam pandangan al-Qur‟an. 3. Ilmu dan Agama Dr. Muhammad Hatta menyatakan secara khusus sangat perlu membahas hubungan antara ilmu dan agama, sebab hubungan itu telah terjadi banyak kesalahpahaman, sumbernya terletak pada Sejarah ilmu dan agama itu sendiri. Ada pertalian antara ilmu dan agama yang sangat dominan, ilmu berkaitan dengan ilmu pengetahuan sedangkan agama berkaitan dengan masalah kepercayaan. Hatta juga berpendapat bahwa hubungan antara ilmu dan agama bukanlah dari titik pertentangan melainkan perbedaan bidang Garapan. Misalnya adanya keterbatasan akal dan adanya hal-hal manusia tidak bakal tahu, sebagaimana berikut ini (Raharjo, 1996): a) terbatasnya pegetahuan manusia tentang kapan datangnya hari kiamat. dijelaskan dalam al-Qur‟an surat al-a‟raf:7:187 .ْٕ‫ٓب نٕقزٓب إال‬ٛ‫جؼه‬ٚ ‫ ال‬ٙ‫بٌ يسظٓب قم إًَب ػهًٓب ػُد زث‬ٚ‫عؤنَٕك ػٍ انعبػخ أ‬ٚ “mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: bialakah terjadinya. Katakanlah: seungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu ada pada 63 tuhanku; tidak seorangpun dapat menjelaskan waktu kedatangannya selaian dia” b) terbatasnya pengetahuan manusia tentang Ruh. Di dalam alQur‟an surat al-Isra‟: 17:85 dijelaskan: .‫ال‬ٛ‫زى يٍ انؼهى إال قه‬ٛ‫ ٔيب أٔر‬ٙ‫عؤنَٕك ػٍ انسٔح قم انسٔح يٍ أيس زث‬ٚٔ “mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: ruh itu termasuk urusan tuhanku dan tiadalah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” Referensi Al-Bahi, Muhammad, Wajib al-Ulama dalam Muhadharah Ummah Al-Quwaisiny, Darwisy, Syarah Matn Al-Sulam Fi Al-Mantiq, Surabaya Al-Asykari, Hilal, Al-Luma‟ah Min Al-Furuq, Surabaya Al-Zarqani, Manahil Al-Irfan Fi Ulum Al-Qur‟an, Beirut: Dar AlKitab Al-Ilmiyah, 1996 Ash-Shabuny, Studi Ilmu Al-Qur‟an, Bandung: Pustaka Setia, 1996 Hamka, Falsafah Hidup, Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1994 Munawir, Kamus al-Munawir, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997 Maskur, Pokok-Pokok Ulum Al-Qur‟an, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992 Quthan, Mana‟ul, Pembahasan Ilmu Al-Qur‟an 2, Jakarta: PT Rineka Cipta Qardhawi, Yusuf, Al-qur‟an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gema Insani Press, 1996 Raharjo, M. Dawam, Ensiklopedi Al-Qur‟an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 1996 Rozak, Abdul dan Anwar, Rosihon, Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia Sambas, Syukriadi, Mantik Kaidah Berpikir Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009 Umar Muhammad, Abu, Studi Al-Qur‟an al-Karim, Bandung: Pustaka Setia, 2002 64 Wahid, Abdul, Ulum Al-Qur‟an, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2002 Zaini, Hasan dan Hasnah, Radhiatul, „Ulumul Qur‟an. Batu Sangkar: STAIN Batusangkar Press, 2011 65 BAB 5 KEWAJIBAN BELAJAR DALAM AL-QURAN Oleh: Nurzannah A. Hakikat Belajar Belajar pada hakikatnya merupakan proses evolusi yang dilakukan seseorang untuk memperoleh pengalaman, pengetahuan, pemahaman, kemudian mengaplikasikannya dalam hidup sehari-hari. Belajar menurut banyak pakar pendidikan adalah proses bimbingan yang dilakukan orang dewasa kepada peserta didik untuk mencapai kedewasaan dalam arti luas. Dewasa dalam berfikir, berkomunikasi, maupun bertindak. Selain itu para pakar juga menyebutkan bahwa belajar merupakan upaya untuk mengubah ketidaktahuan seseorang terhadap sesuatu menjadi tahu, mengubah perilaku buruk menjadi baik dan bahkan dapat menjadi lebih baik. Belajar merupakan proses untuk mengetahui sesuatu atau untuk memperbaiki perilaku menjadi postitif. Proses tersebut sangat terkait dengan kemauan dan kemampuan seseorang serta kesadaran jiwa seseorang dalam mengolah akal fikirannya agar mau melakukan sesuatu, baik secara konkrit maupun secara abstrak. Memang tidak semua Manusia dapat dikategorikan mampu mengolah akal fikirannya untuk melakukan pembelajaran secara maksimal. Karena fase-fase hidup Manusia yang membatasi hal tersebut. Akan tetapi, belajar merupakan sesuatu yang menantang bagi seseorang yang memiliki kesadaran yang tinggi untuk belajar. Meskipun demikian, belajar merupakan kebutuhan setiap Manusia, untuk menjadikannya lebih baik dalam konteks yang lebih luas. Secara umum belajar dimaknai sebagai sebuah perubahan yang terjadi pada seseorang melalui pengalaman, bukan karena 66 pertumbuhan dan perkembangan fisik atau karakteristik seseorang sejak lahir. Pada hakikatnya, Manusia belajar sejak usia 0 tahun, bahkan Manusia sudah mulai belajar sejak masih dalam kandungan, (Al-Tabany, 2013). Belajar merupakan upaya sadar untuk meningkatkan kualitas diri dengan memiliki sejumlah pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai, serta sikap, (Prawira, 2013). Belajar adalah proses seseorang untuk mencapai berbagai Kompetensi, keterampilan, dan sikap, (Baharuddin &Wahyuni, 2015). Belajar juga merupakan perubahan tingkah laku sebagai pengaruh dari adanya interaksi antara stimulus dan respons. Pendapat ini disinyalir berasal dari teori belajar behaviorisme (Yaumi, 2014). Lebih lanjut dijelaskan bahwa belajar merupakan sebuah proses, aktivitas, bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan sekedar mengingat, tetap lebih luas dari itu, yakni mengalami. Hasil belajar bukan penguasaan terhadap sebuah latihan, tetapi perubahan perilaku, (Hamalik, 2014). Pengertian belajar yang dikemukakan oleh para pakar dapat disimpulkan bahwa belajar pada hakikatnya merupakan upaya Manusia yang sifatnya berkesimbungan untuk meningkatkan Kompetensi kognitif, afektif (perilaku), dan psikomotorik (amalan/Konasi). Proses yang berkesinambungan tersebut memunculkan konsep belajar tanpa memandang usia. Namun, idealnya bahwa proses belajar itu dimulai sejak usia awal anak, bahkan sejak usia kandunganpun proses belajar dapat terjadi. Karena, menurut ilmu kedokteran bahwa anak dalam Rahim ibu yang masih berusia 6 bulan, sudah dapat mendengarkan aktivitas dan suara yang terjadi di luar kandungan. Hal ini dapat dideteksi melalui sentuhan dan suara si ibu, yang akan direspon oleh si bayi dari dalam perut ibunya (Bela, 2023), (Upahita, 2022). 67 Belajar dalam konteks pendidikan secara umum adalah mempelajari sesuatu ilmu pengetahuan melalui berbagai bentuk. Ada yang berbentuk informal, formal, maupun non-formal. Belajar melalui jalur informal merupakan cara belajar yang umumnya dijalani setiap individu, baik secara sadar maupun tidak sadar. Belajar yang bersifat informal menurut pakar adalah belajar yang dijalani seseorang dalam keluarganya. Artinya, keluargalah yang pertama sekali membentuk seorang anak untuk mengetahui sesuatu. Ketika anak lahir ke dunia, keluarga harus menjadi ّ‫يدزظ‬ ٗ‫ األٔن‬madrasatul uula (sekolah yang pertama) bagi anak untuk belajar hal-hal awal, memberikan pengetahuan-pengetahuan dasar tentang dunia sekitar anak, membentuk akhlak Islami, dan lain sebagainya. Belajar dalam bentuk formal dijalani seseorang secara berjenjang, mulai dari pra sekolah, sekolah dasar, menengah sampai ke perguruan tinggi. Dan belajar dalam bentuk nonformal adalah belajar dalam artian yang cukup luas. Dimana saja, kapan saja, apa saja pun yang dipelajari, namun tidak memiliki jenjang yang berbatas. Semua bentuk atau cara belajar dimaksud tidaklah menjadi masalah, yang terpenting adalah proses yang dijalani, yang mampu menambah atau mengembangkan potensi seseorang kea rah yang lebih baik dari sebelumnya. Islam sendiri sangat mendorong umat manusia untuk terus belajar dan belajar. Memang secara eksplisit, tidak ada perintah dalam al-quran yang menyatakan “belajarlah kamu”. Akan tetapi, sangat banyak kalimat dalam alquran secara implisit mengandung perintah untuk belajar. Hal itu dapat ditemukan dalam al-Quran beberapa istilah yang dapat dikategorikan sebagai signal kepada Manusia agar belajar, diantaranya; ‫افال‬, ٌٔ‫أفأل رزفكس‬ ٌٔ‫ افال رر ّكس‬,ٌٔ‫ افال ردثّس‬,ٌٕ‫( رغقه‬Apakah kamu tak berfikir? Apakah kamu tak berakal?. Apakah kamu tak merenung?, apakah kamu 68 tak mengingat? Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Allah melalui signal-signal istilah di atas, merupakan beberapa indikasi adanya penekanan untuk mengaktifkan akal fikiran yang dapat dikategorikan sebagai proses belajar. B. Kewajiban Belajar dalam Al-Quran Al-Quran adalah sebuah kitab Suci yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Rasulullah Saw, yang mengandung penjelasan tentang berbagai aspek dalam kehidupan, termasuk aspek pendidikan. Pendidikan dalam Islam dimulai sejak seseorang masih berusia sangat dini, bahkan bayi 0 (nol) bulan. Sebagaimana ketika anak baru dilahirkan, harus dilantunkan ditelinganya kalimat tauhid. Artinya, bayi tersebut sudah dituntun untuk belajar, terutama belajar kalimat-kalimat tauhid, (Ulwan, 2015). Batas akhir dari pendidikan Manusia adalah ketika seseorang menjelang ajal atau sakaratul maut. Proses pendidikan ini disebut dengan pendidikan atau belajar sepanjang hayat (long life education). Pertanyaannya adalah mengapa manusia perlu belajar? Jawabannya, karena ketika Manusia lahir, tidak memiliki pengetahuan apapun atau zero knowledge. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya berikut ini. ‫ج ؼ َ َم‬ َ َٔ ‫ ْ ئ ً ب‬ٛ َ ‫ج ك ُ ْى ِي ٍْ ث ُ ط ُ ٕ ٌِ أ ُ هي َٓ ب ر ِ ك ُ ْى َال ر َؼ ْ ه َ ًُ ٕ ٌَ ش‬ َ ‫َٔ َّللاه ُ أ َ ْخ َس‬ ْ َٔ ‫األ َث ْ صَ ب َز‬ ْ َٔ ‫ن َ ك ُ ىُ ان ع ه ًْ َغ‬ ٌَ ٔ ‫األ َف ْ ئ ِ د َ ح َ ن َ ؼ َ ه ه ك ُ ْى ر َ شْ ك ُ ُس‬ Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam kondisi tidak mengetahui sesuatu apapun dan Allah memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur (Q.S. An-Nahl: 78). Ayat tersebut menjelaskan bahwasanya ketika manusia dilahirkan, tidak memiliki pengetahuan sama sekali. Tetapi karena 69 maha kasihnya Allah, Dia menyertakan kelahiran Manusia tersebut dengan indra pendengaran, indra penglihatan, dan hati. Indahnya bahasa Al-Quran, bukan menyebutkan dengan telinga ataupun mata. Karena, bisa saja orang lahir tanpa mata, tetapi dia bisa melihat (tentunya dengan mata batin). Orang bisa juga lahir tanpa telinga, tetapi dia bisa mendengarkan firman-firman Allah. Hal ini dapat kita saksikan banyak orang buta, dan tuli, namun mereka mampu membaca dan menghafal al-Quran, serta memilik perasaan yang halus. Itu membuktikan bahwa ketiga indra yang disertakan Allah bersamaan dengan lahirnya seseorang, merupakan fasilitas untuk belajar. Belajar dalam hal ini adalah sebagai upaya untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan yang dapat menjadikan fungsi manusia sebagai khalifah (atau pengganti Allah, pemimpin di bumi ini) berfungsi secara maksimal dan berkualitas. Caranya adalah dengan membenahi diri melalui pendidikan. Ilmu pengetahuan tidak akan pernah diperoleh oleh seorang Manusia biasa jika tidak melalui pendidikan atau belajar, baik itu melalui pendidikan in-formal, formal, maupun nonformal. Para pakar pendidikan juga menyatakan bahwa dalam proses menuntut ilmu, mata, dan telinga merupakan indra yang sangat penting. Mata diistilahkan dengan “jendela ilmu Pengetahuan”. Itu bermakna bahwa melalui indra penglihatan, mengamati suatu gejala manusia dapat memperoleh ilmu pengetahuan. Selanjutnya dalam proses belajar, indra pendengaran memiliki andil sebesar 40% dalam menyerap informasi, sedangkan mata dapat menerima informasi sebesar 30%. Berarti Allah Swt telah memfasilitasi Manusia dengan fasilitas yang dapat digunakan untuk mencari ilmu atau belajar. 70 Pertanyaannya, apakah ada perintah dalam al-Quran untuk belajar? Sehingga, belajar itu merupakan wajib Islam? Secara eksplisit, memang tidak ada ayat al-Quran yang menyerukan kepada Manusia dengan kalimat yang berarti “belajarlah kalian”, atau “diwajibkan pada kalian (wahai Manusia) untuk belajar”. Pernyataan sejenis ini tidak pernah akan kita temukan secara jelas dalam al-Quran. Akan tetapi, begitu banyak ayat al-Quran yang mengandung sinyalemen agar Manusia belajar. Diantara ayat-ayat al-Quran yang mengindikasikan kewajiban belajar atau menuntut ilmu adalah sebagai berikut. 1. Al-Quran Surah Al-„Alaq ayat 1- 5 َ‫ق‬ َ َ ‫ٱ ق ْ َش أ ْ َ ث ِ ٲ عْ ِى َ َس ث ّ ِ َك َٱ ن َّ ِز َٖ َخ ه‬ ٰ َ ‫َٱْل‬ ٍَ‫غ َ ٍَ َ ِي ٍْ َ ع َ ه َ ق‬ َ َ ‫َخ ه‬ ِْ ‫ق‬ ْ ‫ٱ ق ْ َش أ ْ َ َٔ َس ث ُّ َك‬ َُ‫َٱْل َكْ َش و‬ َ‫ٱ ن َّ ِز َٖ ع َ ه َّ ىَ َ ث ِ ٲ ن ْ ق َ ه َ ِى‬ ٰ َ ‫َٱْل‬ َ‫ َ ع ْ ه َ ْى‬ٚ َ ‫غ َ ٍَ َ َي بَ ن َ ْى‬ ِ ْ َ‫ع َ ه َّ ى‬ Artinya: 1) Bacalah (wahai Muhammad) dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan 2) Dia (Allah) telah menciptakan manusia dari segumpal darah 3) Bacalah dan Tuhanmulah yang maha Pemurah 4) Yang mengajar Manusia dengan perantaraan kalam 5) Dia mengajar Manusia apa yang tidak diketahui Jika kita mentadabburi isi surat al-„Alaq 1-5 di atas, ada dua kata ‫ إقسأ‬yang dapat kita lihat di dalamnya. Keduanya merupakan bentuk kalimat perintah (fi‟il amar). Dimana hukum asal kalimat amar adalah sebuah perintah, dan perintah adalah wajib dilaksanakan. Memang kalimat perintah membaca dalam surah al-„Alaq ayat 1 tersebut ditujukan kepada Nabi Muhammad 71 Saw. Namun, maknanya membias untuk semua kaum muslimin. Perintah membaca bermakna belajarlah wahai kamu sekalian. Dalam tafsir Jalalain, ‫ إقسأ‬pada ayat yang pertama bermakna mulailah membaca dengan menyebut nama Rabb (Tuhanmu) yang menciptakan semua makhluk (Surat-Yasin.com, 2023). Sementara, Qurais Shibah menjelaskan bahwa ayat pertama surat al-„Alaq ini berisi ajakan untuk membaca dan belajar, (Q. Shihab, 2021). Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa wahyu pertama yang diturunkan Allah tersebut merupakan rahmat dan kasih sayang Allah yang besar kepada Manusia, dan merupakan nikmat yang pertama yang diberikan Allah. Karena Allah memuliakan Manusia dengan Ilmu. Dan ilmu jugalah yang membedakan Manusia dengan malaikat, (Katsir, 2015), ilmu itu dicari dengan cara membaca. Surah Al-„Alaq ini mengandung makna kunci bahwa yang dimaksudkan dengan pendidikan adalah kemampuan membaca dan memahami ayat-ayat Allah, baik tersurat maupun yang tersirat. Manusia akan menjadi sempurna bila diberi agama dan pendidikan sekaligus, (Kementerian Agama RI, 2010). ‫( إقسأ‬Iqra‟) pada ayat yang kedua, ulama berbeda pendapat terhadap adanya pengulangan kalimat ‫ إقسأ‬tersebut, diantaranya: 1) perintah pertama ditujukan kepada Nabi Muhammad secara individu, sementara perintah kedua ditujukan kepada pengikutnya, 2) perintah pertama membaca dalam shalat, perintah kedua membaca di luar itu, 3) perintah pertama untuk belajar, perintah kedua untuk mengajar. Namun Shihab menegaskan pendapatnya bahwa perentah ‫ إقسأ‬yang kedua agar Nabi terus membaca, menelaah, baik yang tersurat maupun yang tersirat yang membentang di alam semesta ini untuk membekali diri berdakwah di tenganh-tengah masyarakat, (Q. Shihab, 2021). 72 ‫ إقسأ‬akar katanya bermakna menghimpun. Makna menghimpun ini melahirkan beragam konotasi, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciriciri sesuatu, mengkaji, dan membaca, baik yang tersurat maupun tersirat. Berbagai konotasi makna kata ‫ إقسأ‬tersebut secara hakiki merupakan perintah untuk belajar. Sebab, ketika proses belajar berlangsung, maka upaya membaca, meneliti, menelaah, mendalami, dan lain-lain, secara serentak, pasti terjadi (Irfani, 2017). Penjelasan beberapa pendapat tentang kalimat ‫ إقسأ‬di atas dapat disimpulkan bahwa kalimat perintah membaca dalam surat al-„Alaq di atas adalah perintah untuk belajar bagi setiap Manusia (khususnya umat Islam). Dengan tujuan agar Manusia memiliki ilmu pengetahuan, Sehingga dalam menjalankan kewajibannya sebagai hamba dengan berlandaskan kepada ilmu pengetahuan dan tauhid yang kokoh. 2. Al-Quran Surah al-Mujadalah 122, yang berbunyi: ‫ َ ُ ْ فِ ُس ٔا ك َب ف ه خ ً ۚ ف َ ه َ ْٕ َال َ َ ف َ َس ِي ٍْ ك ُ ّم ِ ف ِ ْس ق َ خٍ ِي ُ ْ ُٓ ْى‬ٛ ِ ‫َٔ َي ب ك َب ٌَ ان ْ ًُ ْؤ ِي ُ ُ ٕ ٌَ ن‬ ‫ ْ ِٓ ْى ن َ ؼ َ ه ه ُٓ ْى‬ٛ َ ‫ج ؼ ُ ٕا إ ِ ن‬ َ ‫ ُ ُ ْ ِر ُز ٔا ق َ ْٕ َي ُٓ ْى إ ِ ذ َ ا َز‬ٛ ِ ‫ ٍِ َٔ ن‬ٚ ّ ِ ‫ ان د‬ٙ ِ ‫ َ ز َف َ ق ه ُٓ ٕا ف‬ٛ ِ ‫غ َ ب ئ ِ ف َ خ ٌ ن‬ ٌَ ٔ ‫ َ ْح ر َ ُز‬ٚ Artinya: tidak sepatutnya mukminin itu semuanya (pergi ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka iti dapat menjaga dirinya, (Q.S. alMujadalah ayat 122). Asbabun nuzul ayat ini adalah disebabkan perginya semua kaum Muslimin ke medan perang, sehingga tak seorangpun lagi ada yang tinggal di kampung halaman mereka. Padahal, 73 sebelumnya Allah yang mencela kaum muslimin yang tidak mau ke medan perang. Qurais shihab menafsirkan bahwa dalam ayat ini ada keterangan atau kaidah urgen, yakni kaum mukminin tidak boleh berangkat semuanya ke medan perang. Akan tetapi, harus ada sebagian orang dari setiap golongan yang tinggal untuk pergi belajar atau menuntut ilmu agama (khususnya). Dengan tujuan, agar orang-orang yang belajar tersebut dapat memberi petunjuk kepada kaumnya. Makna ayat di atas mengindikasikan bahwa menuntut ilmu itu tidak kalah wajibnya dengan berjuang di medan perang. Hal itu juga menunjukkan bahwa menuntut ilmu atau belajar setara dengan jihad fi sabiilillah. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda, yang artinya: “Bepergian ketika pagi dan petang untuk menuntut ilmu, lebih utama dari pada berjihad fi sabilillah,” (H.R. Dailami), (Kitab Hadits Digital). 3. Al-Quran Surat Ali Imran ayat 190-191, yang berbunyi: ْ َٔ ‫ض‬ ٍ ََٰٚ ‫بز َل َءا‬ ‫ت‬ ِ َٕ َٰ ًَ َٰ ‫ع‬ ‫ق ٱن ه‬ ِ َ‫ٱخزِ َٰه‬ ِ ‫د َٔ ْٱأل َ ْز‬ ِ َ‫ذ ِّأل ُ ۟ٔ ِنٗ ْٱأل َ ْن َٰج‬ ِ َٓ ‫ ِم َٔٱنُه‬ْٛ ‫ف ٱنه‬ ِ ‫إِ هٌ فِٗ خ َْه‬ )190( ْ ْ َٰ ُ َ ‫ه‬ ُ َٰ َٰ ُ َ َ ‫َرك ُسٌَٔ ه‬ٚ ٍَِٚ‫ٱنهر‬ ‫د‬ ِ َٕ ًَ ‫ع‬ ‫ق ٱن ه‬ َ َٔ ‫َ ًًب َٔقؼُٕدًا‬ِٛ‫ٱَّللَ ق‬ ِ ‫َزفك ُسٌَٔ فِٗ خَه‬َٚٔ ‫ػه َٰٗ ُجُٕثِ ِٓ ْى‬ )191(‫بز‬ ُ ‫ض َزثهَُب َيب َخهَ ْقذَ َٰ َْرَا َٰثَ ِط ًال‬ ِ ‫َٔ ْٱأل َ ْز‬ َ ‫ظ ْج َٰ َحَُكَ فَ ِقَُب‬ َ َ‫ػر‬ ِ ‫اة ٱنُه‬ Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal” (190). Ayat 190 menjelaskan bahwasanya diciptakannya langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang merupakan ciptaan Allah yang tidak dapat dibiarkan begitu saja keberadaannya, tanpa ada pemikiran pemikiran mendalam. Shihab menjelaskan ayat yang pendek ini dengan detil. Dimana beliau menceritakan tentang penciptaan fakta-fakta kosmis yang menunjukkan 74 kemaha-agungan Allah sebagai Sang Khaliq. Penulis mencoba menukil pendapat beliau bahwa diciptakannya langit dan bumi oleh Allah dengan kesempurnaan dan ketepatan, perbedaan siang dan malam, terangnya siang, gelapnya malam, rentang waktu panjang dan pendek, sebagai tanda yang konkrit bagi mereka yang berakal yang faham tentang kemaha-esaan dan kekuasaan Allah. Semua itu merupakan hikmah Sehingga semua menjadi seimbang dan melahirkan iklim yang cocok untuk kehidupan Manusia di bumi (M. Q. Shihab, 2009). Ayat 190 ini ditutup dengan kalimat ‫ت‬ َ َٰ ‫( ِّأل ُ ۟ٔ ِنٗ ْٱأل َ ْن‬Li-ulil albaab). Istilah ulul al-bab dalam terjemahan umum diartikan dengan orang-orang yang berakal. Ibnu Katsir berpendapat bahwa ulul albab adalah orang-orang yang mempunyai kesempurnaan akal dan kecerdasan. Qutub menyebutkan bahwa ulul albab merupakan seseorang yang mempunyai pemikiran dan pemahaman yang lurus (Muchlisin, n.d.) Seseorang memiliki akal sempurna, kecerdasan, dan pemahaman yang lurus tidak mungkin tanpa belajar. Belajar dalam hal ini bukanlah belajar dalam artian formal, akan tetapi orang yang terus mengasah pemikiran dan pemahamannya dengan terus membaca, menelaah, mengkaji, Sehingga sampai pada titik pemahamannya tentang hikmah sesuatu, diantaranya adalah tentang penciptaan alam semesta ini. Hal ini ditegaskan Allah pada ayat selanjutnya. ‫َ ْر ُك ُسٌَٔ ه‬ٚ ٍَِٚ‫ٱنهر‬ ‫د‬ ِ َٕ َٰ ًَ َٰ ‫ع‬ ‫ق ٱن ه‬ َ َٔ ‫َ ًًب َٔقُؼُٕدًا‬َٰٛ ِ‫ٱَّللَ ق‬ ِ ‫َزَفَ هك ُسٌَٔ فِٗ خ َْه‬َٚٔ ‫ػهَ َٰٗ ُجُُٕثِ ِٓ ْى‬ )191(‫بز‬ ُ ‫ض َزثهَُب َيب َخهَ ْقذَ َٰ َْرَا َٰثَ ِط ًال‬ ِ ‫َٔ ْٱأل َ ْز‬ َ ‫ظ ْج َٰ َحَُكَ فَ ِقَُب‬ َ َ‫ػر‬ ِ ‫اة ٱنُه‬ Artinya: “(Yakni) orang-orang yang mengingat ALlah dikala berdiri atau duduk ataupun dalam kondisi berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “ya 75 Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, pliharalah kami dari siksa neraka”. Di mana, dalam ayat 191 menyebutkan bahwa ulul al-bab adalah orang bukan saja mengingat Allah ketika berdiri, duduk, dan berbaring, tetapi juga sekaligus memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, dan tetap juga berdoa agar mereka terhindar dari siksa neraka. Konotasinya adalah bahwa orang yang disebut dengan ulul al-bab adalah orang yang bukan hanya memiliki ketaatan kepada Allah semata. Akan tetapi, mereka tetap menggunakan akal fikiran mereka, yakni belajar dan terus belajar untuk memaknai penciptaan alam semesta ini sebagai keagungan Allah Swt. Meskipun dalam kedua ayat tersebut, tetap tidak ditemukan unkapan kata kewajiban tentang menuntut ilmu atau belajar. Tetap saja Allah mengungkapkan kewajiban belajar itu dengan makna yang sangat halus dan tersirat. 4. Q.S. Al-Ghasiyah ayat 17-20 yang berbunyi: ُ ُْ َٚ ‫أَفَ َال‬ ْ َ‫ْف ُزفِؼ‬ ْ َ‫ْف ُخ ِهق‬ )18( ‫ذ‬ ‫) َٔإِنَٗ ان ه‬17( ‫ذ‬ ِ ًَ ‫ع‬ َ ٛ‫بء َك‬ َ ٛ‫اْلثِ ِم َك‬ ِ ْ َٗ‫ظ ُسٌَٔ إِن‬ ْ ‫ظ ِط َح‬ ْ َ‫صج‬ )20( ‫ذ‬ ُ ‫ْف‬ ِ ‫) َٔإِنَٗ ْاأل َ ْز‬19( ‫ذ‬ ِ َُ ‫ْف‬ َ ٛ‫ض َك‬ َ ٛ‫َٔإِنَٗ ْان ِججَب ِل َك‬ Artinya: Maka, apakah mereka tidak memperhatikan Unta bagaimana ia diciptakan? (17) Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? (18), Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan? (19) Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan? (20). Keempat ayat di atas mengandung kalimat tanya. Dalam proses belajar, jika seorang guru bertanya kepada siswanya, berarti guru tersebut menyuruh siswa untuk memberikan jawaban dari pertanyaannya. Sementara siswa yang menerima pertanyaan sekuat tenaga memberikan respon untuk menjawab pertanyaan tersebut. Maka dalam hal ini terjadilah proses berfikir dalam otak Si anak didik untuk menemukan jawaban. Dari proses guru 76 bertanya, kemudian Si anak didik mencoba menjawab, ada pengetahuan atau pengalaman yang diperoleh oleh guru dan siswa tersebut. Masing-masing mereka telah menjalani proses belajar. Kalimat tanya sendiri memang memiliki arti sebagai sebuah gagasan atau ide utama yang berbentuk pertanyaan dengan maksud agar mendapatkan jawaban atau respon (Materi, 2023). Respon inilah yang menghatarkan seseorang pada proses belajar. Jika dianalisis secara lebih mendalam. ayat-ayat di atas mengandung makna hikmah dan filosofis. Allah memerintah Manusia untuk memperhatikan bagaimana unta diciptakan. Ternyata, unta sebagai seekor hewan yang sangat berbeda dengan hewan lainnya. Bagi bangsa Arab yang hidup mereka di gurun (pada masa lalu tidak ada kendaraan), mereka memanfaatkan unta menjadi kendaraan, baik untuk mengangkut barang-barang mereka, maupun ditungangi oleh para kafilah, dengan jarak yang sangat jauh. Suasana gurun sangatlah ekstrim, sinar matahar yang terik, malam hari udaranya sangat dingin, susah menemukan air, susah mencari tempat berteduh ketika siang hari, apalagi pemukiman untuk tempat persinggahan. Keekstriman gurun tersebut, tidak membuat unta lemah. Unta dapat menahan haus atau tidak minum selama dua bulan berturut-turut, jika ia telah mengonsumsi makanan yang segar dan berair. Unta juga bisa bertahan hidup dalam musim dingin. Dan tubuhnya seolah-olah tidah pernah merasa lelah. Dagingnyya bisa dikonsumsi, menghasilkan susu yang dapat diminum oleh siapa saja (Hamka, n.d.). Hal ini menunjukkan bahwa unta merupakan hewan yang luar biasa yang telah diciptakan Allah untuk dapat dijadikan sebagai pembelajaran tentang kemaha-kuasaan Allah. Hanya dengan belajarlah Manusia dapat mengetahui dan memahami apa 77 yang dijelaskan Allah tentang keunikan unta sebagai binatang, makhluq ciptaan Allah. Shihab menjelaskan bahwa ayat 17-20 tersebut mengajak Manusia untuk berfikir dan merenung. 1) binatang unta yang dijadikan kendaraan dengan ditunggangi, 2) perjalanan malam di gurun tidak jelas terlihat kecuali langit tinggi yang terbentang luas. 3) Allah menuntun Manusia menemukan gunung yang terpacak di bumi, kukuh berdiri, dan tak sedikitpun oleng (M. . Shihab, 2020). Penjelasan tentang beberapa ayat al-Quran di atas memberikan pencerahan kepada kita bahwasanya tidak ada lagi yang perlu dipertentangkan tentang kewajiban menuntut ilmu dalam Islam. Menuntut ilmu atau belajar dalam Islam adalah sebuah kewajiban (wajib „ain) bagi setiap individu. Karena berbekal ilmu pengetahuanlah, Manusia dapat memilah dan memilih hakikat kehidupan. Mana yang dapat memberi manfaat baginya, mana yang dapat membuatnya bahagia, baik di kehidupan duniawi maupun ukhrowi. Mudah-mudahan Allah memasukkan kita ke dalam golongan mereka (Al-Maraghi, 1992). C. Kesimpulan Beberapa ayat yang telah dijelaskan di atas, tak satupun di dalamnya secara terang-terangan menghimbau atau memerintahkan kita untuk belajar. Namun, begitu banyak ayat alQuran yang mampu mengajak manusia untuk menggunakan akal fikirang (memanfaatkan pendengaran, penglihatan, dan hati) untuk mentadabburi tanda-tanda kebesarn Allah. Sehingga tidak perlu disangkal atau diragukan lagi bahwa kewajiban belajar dalam al-Quran merupakan sebuah perintah yang riil, nyata. Oleh sebab itu, sebagai seorang muslim, marilah kita terus hidupkan semangat 78 belajar, sebagai upaya untuk menjadi muslim yang berkualitas dan tetap hidup berlandaskan kepada ilmu dan iman yang tauhid. Referensi Al-Maraghi, A. (1992). Tafsir Al-Maraghi Juz 3. PT Karya Toha Putra. Al-Tabany, T. I. B. (2013). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan Kontekstual (T. T. T. Trianto (ed.); 3rd ed.). Kencana. Baharuddin &Wahyuni, E. . (2015). Teori Belajar & Pembelajaran (1 (ed.)). Ar-Ruzz Media. Bela, A. (2023). Alodokter. Hamil 6 Bulan, Bayi Dapat Diajak Berinteraksi. https://www.alodokter.com/hamil-6-bulanbayi-dapat-diajak-berinteraksi Hamalik, O. (2014). Kurikulum dan Pembelajaran. PT. Bumi Aksara. Hamka. (n.d.). Tafsir al Al Azhar. PT Pustaka Islam. Irfani, R. (2017). Konsep Teori Belajar dalam Islam Perspektif Al-Quran dan Hadits. 6(1), 212–223. https://doi.org/10.29313/tjpi.v6i1.2319 Katsir, I. (2015). Tafsir Surat al-‟Alaq 1-5. http://www.ibnukatsironline.com/2015/10/tafsir-suratal-alaq-ayat-1-5.html Kementerian Agama RI. (2010). Al-Qur‟an Dan Tafsir (Jakarta : Lentera Abadi, 2010). Lentera Abadi. Materi, A. (2023). Pengertian Kalimat Tanya. https://materibelajar.co.id/pengertian-kalimat-tanya Muchlisin, B. (n.d.). Surat Ali Imran Ayat 190-191: Arab Latin, Arti, Tafsir, Kandungan. Retrieved September 17, 2023, from https://bersamadakwah.net/surat-ali-imran-ayat190-191/ 79 Prawira, P. . (2013). Psikologi Pendidikan Dalam Perspektif Baru. ARRUZZ. Shihab, M. Q. (2020). Tafsir al-Misbah (15th ed.). Lentera Hati. Shihab, M. Q. (2009). Tafsir Al-Mishbah, Al-Imran dan An-Nisa‟. 657. Shihab, Q. (2021). Tafsir Al-Misbah Jilid 15 (Vol. 15). https://archive.org/details/tafsir-al-mishbah-prof-dr.-m.quraish-shihab-/Tafsir Al-Mishbah Jilid 01 -Dr. M. Quraish Shihab-pages-deleted/page/n203/mode/2up Surat-Yasin.com. (2023). Tafsir Jalalain Surat Al Alaq. https://surat-yasin.com/tafsir-jalalain-surat-al-alaq/ Ulwan, A. N. (2015). Pendidikan Anak dalam Islam. Insan Kamil. Upahita, D. (2022). hellosehat. Kapan Janin Bisa Mendengar Di Dalam Kandungan? https://hellosehat.com/kehamilan/kandungan/prenatal/ bayi-bisa-mendengar-di-dalam-kandungan/ Yaumi, M. (2014). Prinsip-Prinsip Desain Pembelajaran Disesuaikan dengan Kurikulum 2013 (D. Ibrahim, N & Sidik (ed.); 3rd ed.). Kencana. 80 BAB 6 KEWAJIBAN MENGAJAR DALAM AL-QUR’AN Oleh: Febri Wardani A. Mengajar Dalam al-Qur’an Al-Qur‟an berasal dari kata qara‟a, qira‟atan, qur‟anan. Qara‟a mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun. Qira‟ah adalah menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam satu ucapan yang tersusun rapih. Qur‟anah adalah bacaan atau cara membacanya Mengajar dalam bahasa Indonesia yaitu memberikan serta menjelaskan kepada orang tentang suatu ilmu; memberi pelajaran (Sugono 2008, 23) sedangkan dalam bahasa Arab Mengajar berasal dari kata‫ؼهّى ػههى‬ٚ . Ibnu Mandzur menjelaskan kata „alima di dalam Lisanul „Arab adalah “pencapaian pengetahuan yang sebenarnya” atau makna lain “menjadikan orang lain dari awalnya tidak mengetahui menjadi tahu” (Mandzur 1119 H, 3084). Jadi mengajar adalah sebuah proses yang dilakukan oleh seorang guru kepada peserta didik supaya ia memahami sebuah keilmuan dan mengamalkan ilmu tersebut. Mengajar merupakan sebuah tugas yang mulia baik dilihat dari tingkatan ilmunya maupun dari segi mengajarkan ilmu tersebut. Manusia tidak hanya dituntut untuk berilmu namun juga diperintahkan menyebarkan ilmu tersebut kepada orang orang lain. Hal ini yang dijelaskan oleh Allah Swt. didalam al-Qur‟an surat an-Nahl ayat 44. ُّ َٔ ‫د‬ )ٗٗ( ٌَٔ‫َزَفَ هك ُس‬ٚ ‫ ِٓ ْى َٔنَؼَهه ُٓ ْى‬ْٛ َ‫بض َيب َُ ِ ّص َل إِن‬ ِ ‫َُّب‬ِٛ َ‫ِث ْبنج‬ ِ ‫ٍَّ ِنهُه‬ِٛ َ‫ْكَ ان ِرّ ْك َس ِنزُج‬َٛ‫انصث ُِس َٔأ َ َْصَ ْنَُب ِإن‬ Artinya: Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,(Qs. An-Nahl:44) 81 Allah memerintahkan untuk menerangkan kepada manusia apa yang di perolehnya dari pengatahuan yang diberikan oleh Allah kepadanya. Allah memakai kata Bayyin (menerangkan) yang mana hal tersebut merupakan bagian dari mengajar. Pertama kali al-Qur‟an diturunkan belum menjelaskan tentang hukum-hukum namun bagaimamna Malaikat Jibril yang diutus oleh Allah untuk mengajarkan al-Qur‟an kepadanya dengan belajar membaca. Perhatian utama dalam al-Qur‟an bagaimana seorang belajar dan mengajarkan ilmu yang diperolehnya. Sehingga terdapat 39 kata ‫( ػههى‬mengajar) dalam al-Qur‟an dan term yang semakna dengan kata tersebut yang termuat dalam 37 surat yang berbeda. Melihat jumlah pengulangan tersebut maka pentinglah bagi seseorang untuk memahami bahwa mengajar tersebut merupakan hal yang utama bagi seseorang yang memiliki ilmu untuk menyampaikan ilmu tersebut. Wajibnya seseorang untuk menyampaikan ilmu yang dimilikinya dan Allah melaknat orangorang yang menyembunyikan ilmu tersebut, hal ini sebagaimana yang firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 159 : ‫ة‬ ِ ‫َُِّب‬َٛ‫َ ْكز ُ ًٌَُٕ َيب أ َ َْصَ ْنَُب ِيٍَ ْانج‬ٚ ٍَِٚ‫إِ هٌ انهر‬ ِ ‫هُهبُِ ِنهُه‬َٛ‫د َٔ ْان ُٓدَٖ ِي ٍْ ثَ ْؼ ِد َيب ث‬ ِ ‫ ْان ِكز َب‬ِٙ‫بض ف‬ ‫َ ْهؼَُُ ُٓ ُى ه‬ٚ َ‫أُٔنَئِك‬ )ٔ٘١( ٌَُُٕ‫َ ْهؼَُُ ُٓ ُى انال ِػ‬َٚٔ ُ‫َّللا‬ Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati, (Qs. Al-baqarah : 159) Ketika menafsirkan ayat di atas Ibnu Katsir mengatakan orang yang menyembunyikan ilmu akan dilaknat oleh Allah, para malaikat, seluruh manusia, dan semua makhluk yang dapat melaknati. Mereka adalah semua makhluk yang dapat berbicara dan yang tidak dapat bicara, baik dengan lisan ataupun dengan perbuatan, jika makhluk itu termasuk yang berakal pada hari kiamat. (Dimasyqi 2000, jild 2, h 137) 82 Rasulullah juga bersabda terkait tentang seseorang menyembunyikan ilmunya, sebagaimana beliau bersabda : ‫كُص انكُص‬ٚ ٘‫حدس ثّ كًضم انر‬ٚ ‫زؼهى انؼهى صى ال‬ٚ ٘‫ يضم انر‬: ‫أٌ زظٕل هللا ملسو هيلع هللا ىلص قبل‬ ُّ‫ُفق ي‬ٚ ‫فال‬ Artinya: Permisalan orang yang mempelajari ilmu kemudian ia tidak menceritakannya kepada orang lain, seperti orang yang menyimpan perbendaharaan lalu tidak menginfakkannya. (Thabrani 1995, Jild 1, nomor. 689, h 213) Mengingat pentingnya mengajar atau menyampaikan ilmu ini, Rasulullah dalam suatu haditsnya memerintahkan agar Orang yang hadir mesti menyampaikan kepada yang tidak hadir akan ilmu yang mereka dapatkan. Ketika seseorang belajar dan mengajarkan ilmu tersebut maka ia menjadi manusia terbaik dipermukaan bumi. Ia akan memperol,eh peringkat tersebut apabila ilmu yang diajarkan tersebut adalah al-Qur‟an atau ilmu agama. Hal tersebut sebgaimana yang sabdakan oleh Rasululah dalam sebuah haditsnya: ٍ‫ ػهقًخ اثٍ يسصد ظًؼذ ظؼد ث‬َٙ‫حدصُب حجبط ثٍ يُٓبل حدصُب شؼجخ قبل أخجس‬ ‫ صهٗ هللا‬ٙ‫ هللا ػُّ ػٍ انُج‬ٙ‫ ػٍ ػضًبٌ زظ‬ًٙ‫ ػجد انسحًٍ انعه‬ٙ‫دح ػٍ أث‬ٛ‫ػج‬ ًّ‫سكى يٍ رؼهى انقسآٌ ٔػه‬ٛ‫خ‬:‫ّ ٔ ظهى قبل‬ٛ‫ػه‬ Artinya : Telah menceritakan kepada kami Hajaj ibn Minhal telah menceritakan kepada kami Syu‟bah ia berkata telah mengabarkan kepadaku „Alqamah ibn Mirtsad aku mendengar Sa‟id bin „Ubaidah dari Abu Abdurrahman Assalami dari „Utsman Ra dari Nabi Shalalalahu‟alaihi wassalam bersabda: sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur‟an dan mengajarkannya. (Hr. al-Bukhari) Orang yang mengajarkan bacaan A1-Qur'an dan orang yang mengajarkan kandungannya adalah sebaik sebaik umat ini. (al-'Utsaimin 2010, Jild. 6 h 125). Ketika yang diajarkan tersebut 83 adalah ilmu umum atau yang mubah dan bermamfaat bagi orang banyak maka ia akan mendapatkan pahala jariyah dari apa yang ia ajarkan. Hal ini berdasarkan keumuman hadits terputusnya amal seseorang ketika ia meninggal dunia kecuali disebabkan tiga hal, diantaranya yaitu ilmu bermamfaat. Kewajiban untuk menyampaikan ilmu juga terdapat dalam surah an-Nahl ayat 125 dan qs. Al Baqarah ayat 129. Allah berfirman dalam surah An Nahl : َ ‫ ِم َزثِّكَ ثِ ْبن ِح ْك ًَ ِخ َٔ ْان ًَ ْٕ ِػ‬ِٛ‫ظج‬ ُ ‫ا ْد‬ َ‫عٍُ إِ هٌ َزثهك‬ َ ْ‫ أَح‬ِٙ َ ‫ظ ِخ ْان َح‬ َ َٗ‫ع إِن‬ َ ْ ِٙ‫عَُ ِخ َٔ َجبد ِْن ُٓ ْى ثِبنهز‬ )ٕٔ٘( ٍَِٚ‫ ِه ِّ َْٔ َُٕ أ َ ْػهَ ُى ثِ ْبن ًُ ْٓزَد‬ِٛ‫ظج‬ َ ‫ظ هم‬ َ ٍْ ًَ ِ‫ْ َُٕ أ َ ْػهَ ُى ث‬ َ ٍْ ‫ػ‬ Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Qs. An Nahl :125) Dan firman Allah dalam surah al Baqarah: ْ َ‫َزثهَُب َٔا ْثؼ‬ ‫ ِٓ ْى‬ٛ‫ُصَ ِ ّك‬َٚٔ َ‫َبة َٔ ْان ِح ْك ًَخ‬ ُ ‫ ِٓ ْى َز‬ِٛ‫ش ف‬ َ ُٕ‫َزْه‬ٚ ‫ظٕال ِي ُْ ُٓ ْى‬ َ ‫ُؼَ ِهّ ًُ ُٓ ُى ْان ِكز‬َٚٔ َ‫َبرِك‬ٚ‫ ِٓ ْى آ‬ْٛ َ‫ػه‬ ُ ‫إَِهكَ أ َ َْذَ ْانؼَ ِص‬ )ٕٔ١( ‫ ُى‬ٛ‫ص ْان َح ِك‬ٚ Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab (Al Quran) dan AlHikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Qs. Al-Baqarah : 129) Mengajar terbagi kepada beberapa aspek di dalam alQur‟an yang mesti di ajarkan yaitu; Mengajarkan berbicara, mengajar membaca dan mengajar menulis. Ketiga hal ini terdapat dalam beberapa ayat al-Qur‟an : 84 No 1. 2. 3. Surat Faidah Qs. Al-Baqarah ayat 31 Qs. Al „Alaq ayat 5 Qs. Al-Baqarah ayat 32 Qs. An Nisa‟ ayat 113 Qs. Al-Baqarah ayat 239 Qs. Yusuf ayat 68 Qs. Al Kahfi ayat 65 Qs. Al Anbiya‟ ayat 80 Qs. Yusuf ayat 37 Qs. Al-Baqarah ayat 251 Qs. Al-Baqarah ayat 282 Qs. Al-Baqarah ayat 151 Qs. Ali Imran ayat 48 Qs. Ar Rahman Ayat 4 Allah Mengajarkan Ilmu Kepada Malaikat, Para Nabi dan rasul serta manusia 1. Qs. Al „Alaq ayat 4 2. Qs. Al-Maidah ayat 110 Mengajarkan Manusia Menulis dan Membaca. 1. Qs. Al Maidah ayat 4 Allah memebrikan skil khusus untuk Mengajar Hewan untuk Berburu 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 1. 4. Allah Mengajarkan Pandai berbicara 5. 1. Qs. An Naml ayat 16 Nabi Sulaiman diberi Ilmu agar mampu berbicara dengan Hewan 6. 1. Qs. Yusuf Ayat 21 2. Qs. Yusuf ayat 6 Allah Mengajarkan ta‟wil Mimpi Kepada nabi Yusuf 7. Fitnah Fir‟un yang 85 1. Qs. Thahah ayat 71 2. Qs. Asy Syu‟ara ayat 49 menyebut Nabi Musa Mengajarkan Sihir 8. 1. Qs. An Najam ayat 5 Malaikat Mengajarkan ilmu Kepada Para Rasul 9. 1. Qs. Al Kahfi ayat 66 Mendaftarkan Sebelum Belajar Diri 10. 1. Qs. Ali Imran ayat 79 Ciri manusia Rabbani adalah mengajarkan Ilmu 11. 1. Qs. Al Baqarah ayat 129 2. Qs. Ali Imran ayat 164 3. Qs. Al Jumu‟ah ayat 2 Mengajarkan Manusia al-Qur‟an dan Hikmah (Sunnah) 12. 1. Qs. Al Baqarah ayat 102 Syaithan Mengajarkan Sihir Kepada Manusia 13. Tuduhan kafir Quraisy al-Qur‟an Yang diajarkan Rasulullah buatan Manusia 1. Qs. An Nahl ayat 16 Berdasarkan tabel di atas maka seluruh ilmu tersebut berasal dari Allah Swt , selagi kebaikan-kebaikan, namun jika ia sebuah keburukan maka berasal dari syaithan. Allah mengajarkan manusia berbicara, Allah mengajarkan manusia Menulis, membaca, mengetahui nama-nama benda, skil untuk melatih hewan dan ta‟wil mimpi. Ketika Allah telah memberikan ilmu tersebut kepada kita sebagai manusia ciptaanya maka wajib untuk mengamalkan dan menyampaikan ilmu tersebut. Jika ia 86 menyembunyikan ilmunya kepada orang lain atau tidak mau mengajarkan, maka Allah akan melaknat orang tersebut.berbeda dengan mereka yang mewakafkan dirinya untuk mengajar ia akan mendapatkan keutamaan-keutaman. B. Keutamaan orang yang mengajarkan ilmu Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap insan apalagi ia sebagai seorang muslim merupakan perintah dari agama itu sendiri. Setiap perintah baik perintah wajib maupun Sunnah yang ditetapkan bagi manusia akan memiliki mamfaat dan keutamaan baik didunia maupun di akhirat. Begitu juga bagi orang-orang yang mengajarkan ilmu tersebut ia akan memperoleh mamfaat dan keutamaan. Diantara keutamaan seorang yang mengajarkan ilmunya yaitu : 1. Menjadi Manusia Terbaik Ketika seorang mengajarkan ilmunya maka ia akan memperoleh peringkat terbaik dikalangan mansia itu sendiri. Hal ini yang dijelaskan oleh Rasulullah dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari : ًّ‫سكى يٍ رؼهى انقسآٌ ٔػه‬ٛ‫خ‬ “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur‟an dan Mengajarkanya” (al-Bukhari 1400 H, Nomor. 4739) Rasulullah juga bersabda dalam hadits lain : ًّ‫إٌ أفعهكى يٍ رؼهى انقسآٌ ٔػه‬ Sesungguhnya orang yang paling utama diantara kalian adalah yang mempelajari dan mengajarkan al-Qur‟an” (al-Bukhari 1400 H, Nomor. 4740). Jadi, untuk menjadi manusia terbaik atau paling utama adalah mepelajari dan mengajar al-Qur‟an. Al-Qur‟an adalah kitab yang mulia diturunkan melalui malaikat yang mulia dan kepada Rasul yang mulia, maka dengan itu orang yang bersama al-Qur‟an menjadikan ia menjadi manusia yang mulia disisi Allah. 87 2. Menjadi Orang yang Istimewa Keutamaan yang akan diperoleh oleh seseorang yang mengajarkan ilmunya yaitu menjadi orang yang istimewa. Rasulullah hanya meperbolehkan dengki kepada dua golongan saja yaitu seseorang yang diberi kelapangan harta oleh Allah kemudian ia belanjakan dijalan Allah, dan golongan kedua mereka yang diberi ilmu kemudian ia mengamalkan dan mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari sahabat Ibnu Mas‟ud Radhiyallahu‟anhu berkata: ٗ‫ زجم آربِ هللا يبال فعههطّ ػه‬:ٍٛ‫ اصُز‬ٙ‫ "ال حعد إال ف‬:‫قٕل‬ٚ ‫ظًؼذ زظٕل هللا ملسو هيلع هللا ىلص‬ "‫ؼهًٓب‬ٚٔ ‫ ثٓب‬ٙ‫قع‬ٚ ٕٓ‫ ٔزجم آربِ هللا حكًخ ف‬،‫ انحق‬ٙ‫َْهَكزّ ف‬ “Aku mendengar Rasulullah Saw. Bersabda : Janganlah kalian hasad kecuali terhadap dua golongan yaitu : seorang yang Allah berikan kepadanya harta, lalu ia mengusainya dan membelanjakanya dijalan yang haq dan seorang yang Allah beri hikmah (ilmu) dan ia melaksanakanya dan mengajarkanya. (al-Bukhari 1400 H, Nomor. 1409) Inilahyang istimewa dihadapan Allah dan Rasulnya, dan diperbolehkan orang lainuntuk hasad kepadanya. Padahal hasad merupakan sifat tercela dan sangat ditekankan dalam agama untuk menjauhinya akan tetapi tidak untuk orang yang mengajarkan ilmunya. 3. Memperoleh pahala Jariah Seseorang yang mengajarkan ilmunya tidak hanya keberuntungan dunia yang didapatkan namun lebih daripada itu, ia akan mendapatkan keberuntungan akhirat dan meraih pahala yang banyak.seorang yang mengajarkan kebaikan maka ia akan memperoleh pahala sebagaimana orang yang mengejrkannya. Sebagaimana Rasulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Ibnu Mas‟ud : ّ‫س فهّ يضم أجس فبػه‬ٛ‫يٍ دل ػهٗ خ‬ 88 Barangsiapa yang menunjukan kebaikan maka ia akan mendapatkan ganjaran sebagaimana pahala orang yang mengerjakannya (Muslim, nomor. 1893) ٍ‫ ي‬،ِ‫ كبٌ نّ أجسْب ٔأجس يٍ ػًم ثٓب يٍ ثؼد‬،‫ اْلظالو ظُخ حعُخ‬ٙ‫" َي ٍْ ظٍ ف‬ ‫ّ ٔشزْب‬ٛ‫ كبٌ ػه‬،‫ئخ‬ٛ‫ اْلظالو ظُخ ظ‬ٙ‫ ٔ َي ٍْ ظٍ ف‬،‫ئًب‬ٛ‫ُقص يٍ أجٕزْى ش‬ٚ ٌ‫س أ‬ٛ‫غ‬ "‫ئًب‬ٛ‫ُقص يٍ أٔشازْى ش‬ٚ ٌ‫س أ‬ٛ‫ يٍ غ‬،ِ‫ٔٔشز َي ٍْ ػًم ثٓب يٍ ثؼد‬ ُ Barangsiapa menjadi pelopor kebaikan dalam Islam lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran sebagaimana orang yang mengikutinya tampa mengurangi sedikitpun pahala yang mereka kerjakan. Dan barangsiapa yang menjadi pelopor keburukan dalam Islam, lalu diamalkan oleh orang sesudahnya maka akan dicatat baginya dosa sebagaimana dosa orang yang mengerjakan tanpa mengurangi dosanya sedikitpun. (Muslim 1991, Nomor. 1017) 4. Pahalanya sama Dengan 70 Orang Shiddiq Seseorang yang mempelajari sebuah keilmuan kemudian ia mengajarkanya kepada orang lain maka ia akan mendaptkan pahala tujuh puluh orang shidiq Sebagaimana Rasulullah bersabda: ‫قب‬ٚ‫ٍ صد‬ٛ‫ؼهى انُبض أػطٗ صٕاة ظجؼ‬ٛ‫يٍ رؼهى ثبثب يٍ انؼهى ن‬ Barangsiapa yang mempelajari satu bab dari ilmu kemudian mengajarkan kepada orang lain maka baginya pahala tujuh puluh orang shiddiq (al-Ghazali 2005, jild. 1 h 17) Namun hadits di atas di dho‟ifkan sanadnya oleh para ulama Muhadditsin, s ebagaimana yang dijelaskan oleh Abi „Abdillah Muhammad bin Muhammad al Haddad dalam kitabnya Takhrij ahaditsu Ihya „Ulumuddin bab Ilmu hadits pertama. (Haddad 1987, h.20) 5. Mendapatkan Kasih Sayang Allah Orang yang menghidupkan sunnah Nabi Saw. Dan mengajarkan ilmu kepada manusia akan memperoleh kasih sayang Allah yang selalu tercurah kepanya. Hal ini dibawakan oleh Ibn 89 Abdil Bar dalam kitab „Ilm. sebagaimana Rasululah pernah berucap kepada para sahabatnya: “Semoga kasih sayang Allah senantiasa tercurah kepada para penerusku. Salah seorang sahabat bertanya. Siapakah para penurusmu itu wahai Rasulullah ? beliau menjawab. Mereka yang menghidupkan sunnahku dan megajarkan kepada hamba-hambaku. Inilah diantara orang-orang yang akan mendapatkan kasih sayang Allah Swt. Inilah lima keutamaan dan ganjaran bagi orang yang memiliki ilmu kemudian ia mengajarkannya kepada orang lain. Keutamaan teraebut akan didapatkan oleh seseorang ketika ia mengamalkan ilmu tersebut penuh dengan keikhlasan dan megharapkan pahala dari Allah Swt., bukan mereka yang memiliki sifat riya di dalam dirinya, karena riya tersebut akan menghapus amal yang dilakukannya. C. Ancaman Allah Terhadap Orang Yang Tidak Mau Menyebarkan Ilmu Allah telah memberikan ilmu kepada seseorang dengan menanamkanya di dalam dada-dada mereka, maka mereka wajib untuk menyampaikan apa yang ia miliki tersebut, sekalipun yang ia dapatkan dan fahami hanya satu ayat maka wajib baginya menyampaikan ilmu tersebut. Alah melaknat ornag yang tidak mau mengajarkan ilmu tersebut padahal ia tgelah mengetahui kebenaranya, hal ini sebagaimana Allah jelaskan di dalam surah al Baqarah ayat 159 : ‫ة‬ ِ ‫َُِّب‬َٛ‫َ ْكز ُ ًٌَُٕ َيب أ َ َْصَ ْنَُب ِيٍَ ْانج‬ٚ ٍَِٚ‫إِ هٌ انهر‬ ِ ‫هُهبُِ ِنهُه‬َٛ‫د َٔ ْان ُٓدَٖ ِي ٍْ ثَ ْؼ ِد َيب ث‬ ِ ‫ ْان ِكز َب‬ِٙ‫بض ف‬ ‫َ ْهؼَُُ ُٓ ُى ه‬ٚ َ‫أُٔنَئِك‬ )ٔ٘١( ٌَُُٕ‫َ ْهؼَُُ ُٓ ُى انال ِػ‬َٚٔ ُ‫َّللا‬ Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati, (Qs. Al-Baqarah:159) Didalam ayat di atas jelas bahwa Allah melaknat orang yang menyembunyikan ilmunya, tidak hanya Allah yang 90 melaknatinya namun semua makhluk. Ini berbanding terbalik dengan penutut ilmu dan orang yang mengajarkan ilmu. Ketika seorang menuntut ilmu dan mengajarkan ilmu tersebut maka para malaikat akan mendo‟akan kebaikan untuknya bahkan sampai kepada ikan di dasar lautpun akan mendo‟akan penuntut ilmu tersebut. Tidak hanya laknat dari Allah dan seluruh makhluk-Nya yang diperoleh oleh seseorang yang tidak mengajarkan ilmunya, namun ia juga diancam dengan dicambuk dari api neraka diakhirat kelak. Hadits tersebut dibawakan olh imam abu daud dalam kitab ilmu bab larangan menyembunyikan Ilmu dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda : ‫بيخ ثهجبو يٍ َبز‬ٛ‫ٕو انق‬ٚ ‫أنج َى‬ ُ ٍ‫ي‬ َ ‫ظئم‬ ِ ،ًّ‫َؼهًُّ فكز‬ٚ ‫ػٍ ػهى‬ Barang siapa yang ditanya mengenai suatu ilmu dan ia menyembunyikanya maka ia akan dicambuk degan cambuk dari api neraka pada hari kiamat. (Abi Daud 1998, Nomor. 3658) Hadits diatas juga diriwayatkan oleh imam Ibnu Majah dalam ktab sunannya dan juga oleh imam at-tirmidzi dalam kitab sunanya dengan sanad yang shahih. D. Kesimpulan Mengajar merupakan hal yang penting didalam syari‟at Islam. Penting mengajarkan ilmu tersebut sehingga kalimat yang bermakna mengajar diulang oleh Allah dalam al-Qur‟an sebanyak tiga puluh kali. Kalimat tersebut di ulang oleh Allah dalam lima belas surat yang berbeda. Ketika seseorang mengajarkan ilmunya maka ia akan memperoleh keutamaan dan ganjaran baik didunia maupun diakhirat. Apbila ilmu tersebut tidak diamalkan dan diajarkan makan Allah dan para makhluknya akan melakanat seseorang tersebut, tidak hanya sampai disana diakhirat mereka diancam dengan decambuk dari api neraka. Referensi 91 Abi Daud, Sulaiman ibn Asy'Ats Azdi Asijistani. Sunan Abi Daud. Makkah: Maktabah Al Makiyah, 1998. al-Bukhari, Abi 'Abdillah Muhammad bin Islamil. Al-Jami' Shahih (Shahih al-Bukhari). Mesir: Mathba'ah Salafiyah, 1400 H. al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya ulumuddin. beirut: Darul Ibn Hazim, 2005. al-'Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Syarah Shahih Bukhari. Jakarta: Darus Sunnah, 2010. Dimasyqi, Abi Fida Ismail ibn Katsir Ad. Tafsir Qur'anul 'Azhim. Mesir: Maktabah Walad Syaikh Litturats, 2000. Haddad, Abi 'Abdillah Muhammad bin Muhammad al. Takhrij Ahadits Ihya Ulumuddin. Riyadh: darul 'Ashimah, 1987. Mandzur, Ibnu. Lisanul 'Arab. Mesir: Darul Ma'arif, 1119 H. Muslim, bin Hajaj al-Qusyairi an Naisaburi. Shahih Muslim. Libanon : Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1991. Sugono, Dendy. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008. Thabrani, Sulaiman Ibn Jarir Ath. Mungjam al Ausath. Mesir: Darul Haramain, 1995. BAB 7 MOTIVASI BELAJAR DALAM AL-QUR’AN 92 Oleh: Haerudin, Lc., MA A. Motivasi 1. Pengertian Motivasi Frederick J. Mc Donald dalam H. Nashar (2004:42) mengatakan motivasi belajar adalah suatu perubahan tenaga di dalam diri seseorang (pribadi) yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Tetapi menurut Clayton Alderfer Motivasi belajar adalah kecenderungan siswa dalam melakukan kegiatan belajar yang didorong oleh hasrat untuk mencapai prestasi atau hasil belajar sebaik mungkin. Menurut Wasty Soemarto, motivasi belajar adalah suatu perubahan tenaga dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan belajar itu demi mencapai tujuan (Wasty Soemarto,1990 : 194. ). Selanjutnya M. Utsman Najati (2005) mengungkapkan motivasi adalah kekuatan penggerak yang membangkitkan aktifitas pada makhluk hidup, dan menimbulkan tingkah laku serta mengarahkan menuju tujuantertentu. Motivasi secara harafiah yaitu sebagai dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar, untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. Sedangkan Sardiman (2007), motivasi adalah serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi kondisi tertentu sehingga, seseorangmau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila ia tidak suka, maka akan berusaha untuk meniadakan atau mengelakkan perasaan tidak suka itu. Adapun Uno (2019), motivasi adalah suatu dorongan yang timbul oleh adanya rangsangan-rangsangan dari dalam maupun dari luar sehingga seseorang berkeinginan untuk mengadakan perubahan tingkah laku atau aktivitas tertentu yang lebih baik dari sebelumnya. 93 Dari pengertian yang dikemukakan para ahli tentang pengertian motivasi diatas, bahwa motivasi adalah kekuatan atau dorongan yang menjadi penggerak bagi individu atau kelompok untuk melakukan sesuatu tindakan yang mengarah pada tujuan tertentu. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa motivasi merupakan faktor yang penting bagi individu atau kelompok untuk dapat melakukan suatu tindakan yang mengarah pada ketercapaian suatu tujuan yangditentukan. Dengan demikian motivasi menjadi faktor penting bagi siswa dalam usaha mencapai tujuan belajar dan tujuan pendidikannya, dimana motivasi tersebut akan menjadi pendorong bagi siswa untuk terus berusaha dan bersemangat meraih prestasi dan cita-cita yang mereka tentukan, maka untuk dapat meraih tujuan tersebut diperlukan motivasi yang tinggi baik dari dalam diri maupun dari luar diri seseorang. 2. Fungsi Motivasi Motivasi belajar pada dasarnya dapat membantu guru dalam memahami dan menjelaskan perilaku siswa dalam kegiatan belajar. Motivasi tidak hanya memberikan arah kegiatan belajar secara benar, tetapi lebih dari itu motivasi dalam diri siswa akan mendapat pertimbangan-pertimbangan positif dalam kegiatannya termasuk kegiatan belajar. Ada beberapa peranan penting dari motivasi belajar dalam proses pembelajaran, yaitu : a. Motivasi memberikan semangat seorang pelajar dalam kegiatan-kegiatan belajarnya. b. Motivasi-motivasi perbuatan sebagai pemilih dari tipe kegiatan dimana seseorang berkeinginan untuk melakukannya. 94 c. Motivasi memberikan petunjuk pada tingkah laku.( Kompri, 2016 : 233) Menurut pendapat lain, motivasi mempunyai beberapa fungsi yaitu sebagai berikut: a. Mendorong berbuat. Motivasi mendorong peserta didik untuk berbuat. Artinya motivasi merupakan penggerak atau motor yang melepaskan energi peserta didik. b. Menentukan arah perbuatan. Motivasi berfungsi sebagai penentu arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai oleh peserta didik. c. Menyeleksi perbuatan. Menentukan berbagai perbuatan yang harus dikerjakan oleh peserta didik guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan berbagai perbuatan yang tidak bermanfaat. d. Pendorong usaha dan pencapaian prestasi. Peserta didik melaksanakan segala sesuatu karena adanya motivasi. Motivasi tersebut merupakan pemicu bagi pencapaian prestasi.( Donni Juni Priansa, 2019:135.) Arti penting motivasi dalam kegiatan belajar siswa semakin diperkuat dengan adanya pendapat yang menyatakan bahwa “motivasi belajar memegang peranan yang penting dalam memberi gairah, semangat dan rasa senang dalam belajar sehingga siswa yang mempunyai motivasi tinggi mempunyai energi yang lebih banyak untuk melaksanakan kegiatan belajar, yang pada akhirnya akan mampu memperoleh hasil belajar yang lebih baik pula..( Donni Juni Priansa, 2019:135). Namun, adakalanya motivasi belajar siswa dapat menjadi lemah. Lemahnya motivasi atau tidak adanya motivasi belajar, akan melemahkan kegiatan belajar. Selanjutnya mutu hasil belajar akan menjadi rendah”. (Dimyati dan Mudjiono, 2009 : 239.). 95 Adapula pendapat lain yang menyatakan bahwa motivasi belajar yang baik akan menunjukkan hasil yang baik pula, yaitu sebagai berikut : “Motivasi dapat berfungsi sebagai pendorong usaha dan pencapaian prestasi. Seseorang melakukan usaha karena adanya motivasi. Adanya motivasi yang baik dalam belajar akan menunjukkan hasil yang baik. Dengan kata lain, dengan adanya usaha yang tekun dan terutama didasari adanya motivasi, maka seseorang yang belajar itu akan dapat melahirkan prestasi yang baik. Intensitas motivasi seorang siswa akan sangat menentukan tingkat pencapaian prestasi belajarnya (Sardiman A.M., 2014 : 85). Sedemikian pentingnya posisi motivasi dalam diri siswa sebagai suatu pendorong dan penggerak bagi siswa untuk belajar. Motivasi dalam hal ini dapat dikatakan sebagai syarat mutlak dalam belajar. Adanya motivasi dapat memicu siswa untuk memperoleh hasil belajar yang baik. Apabila motivasi siswa dapat dikembangkan secara tepat, maka siswa tersebut akan mendapatkan hasil belajar yang baik. Begitupula sebaliknya, apabila motivasi siswa tidak dikembangkan secara tepat, maka siswa tersebut akan sulit untuk mencapai hasil belajar yang baik. 3. Macam Macam Motivasi belajar Pada setiap perilaku kehidupan manusia, termasuk perilaku belajar selalu dipengaruhi oleh motivasi. Motivasi ada yang bersifat bawaan, ada pula yang berasal dari pengaruh lingkungan. Motivasi ada yang timbul dari dalam diri manusia, dan ada pula yang dipelajari dari lingkungan. Oleh karena banyaknya jenis atau macam motivasi tersebut, maka para pakar Psikologi mengelompokkannya menjadi beberapa macam motivasi. Motivasi dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu: 96 a. Physiological drives, yaitu dorongan-dorongan yang bersifat fisiologis/jasmaniah, seperti lapar, haus, seks, dan sebagainya. b. Social motives, yaitu dorongan-dorongan yang ada hubungannya dengan manusia yang lain dalam masyarakat, seperti dorongan estetis, dorongan ingin selalu berbuat baik (etika), dan sebagainya (Ngalim, 2007 : 62.) Berdasarkan pembagian motivasi di atas, golongan motivasi yang kedua itu timbul akibat adanya golongan motivasi yang pertama. Jadi, kedua golongan motivasi di atas berhubungan satu sama lain. Dapat pula dikatakan bahwa golongan yang kedua ini sifatnya lebih tinggi daripada yang pertama, karena hanya terdapat pada manusia saja. Menurut pendapat lain, motivasi dapat digolongkan menjadi tiga golongan yaitu: a. Motivasi organis, yaitu motif-motif yang berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan biologis individu, seperti: makan dan minum, seks, beristirahat, bergerak dan lain-lain. b. Motivasi objektif, yaitu mencakup motif-motif lain yang bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologis, melainkan juga kebutuhan-kebutuhan di atasnya, seperti motifmotif belajar, bekerja, beragama, berlibur, dan lain-lain. c. Motivasi darurat, yaitu motif-motif yang timbul dalam keadaan darurat, genting, kritis, dan semua hal yang menuntut suatu tindakan yang cepat, seperti motif-motif berlari menyelamatkan diri dari bahaya yang mengancam jiwanya, berteriak meminta tolong orang lain, dan lain-lain. (Purwa Atmaja Prawira, 2029 : 322.) Selanjutnya, beberapa ahli yang lain umumnya sependapat bahwa motivasi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu : 97 a. Motivasi primer. Motivasi primer adalah motivasi yang didasarkan pada motif-motif dasar. Motif-motif dasar tersebut umumnya berasal dari segi biologis atau jasmani manusia. b. Motivasi sekunder. Motivasi sekunder adalah motivasi yang dipelajari. Seperti, orang yang lapar akan tertarik pada makanan tanpa belajar. Untuk memperoleh makanan tersebut orang harus bekerja terlebih dahulu. Agar dapat bekerja dengan baik, orang harus belajar bekerja. “Bekerja dengan baik” merupakan motivasi sekunder (Dimyati dan Mudjiono, 2019 : 86-88.) Berdasarkan pendapat tentang jenis motivasi tersebut, motivasi belajar pada dasarnya sama dengan motivasi-motivasi lainnya. Motivasi belajar ada yang timbul karena kesadaran, dan ada pula yang timbul karena pengaruh dari lingkungan, seperti adanya motivasi dari guru atau dari orang tua siswa itu sendiri. Motivasi-motivasi itu dapat disebut juga sebagai motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik. “Motivasi instrinsik adalah hal dan keadaan yang berasal dari dalam diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar. Termasuk dalam motivasi instrinsik adalah perasaan menyenangi materi pelajaran dan kebutuhannya terhadap materi tersebut, misalnya untuk kehidupan masa depan siswa yang bersangkutan. Adapun motivasi ekstrinsik adalah hal atau keadaan yang datang dari luar individu siswa yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar. Pujian dan hadiah, peraturan/tata tertib sekolah, suri teladan orang tua, guru dan seterusnya merupakan contohcontoh konkret motivasi ekstrinsik yang dapat menolong siswa untuk belajar” (Muhibbin Syah, 2018 153.) Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa motivasi belajar secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua 98 macam, yaitu motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi instrinsik adalah motivasi yang berasal dari dalam diri siswa, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang berasal dari luar diri siswa. “Kedua jenis motivasi tersebut sama-sama berdayaguna dalam proses belajar, kendatipun motivasi yang bersumber dari diri siswa dinilai lebih baik daripada motivasi yang datang dari luar diri siswa”.(Oemar Hamalik, 2020 : 86.) Hal ini dikarenakan “motivasi yang datang dari dalam diri siswa dapat memberikan kepuasan kepada siswa sesuai dengan ukuran yang ada dalam diri siswa itu sendiri”.(Oemar Hamalik, 2020 : 114). Misalnya, apabila motivasi itu timbul dari dalam diri siswa, dorongan-dorongan itu tidak akan mengenal lelah, tidak mengenal batasan waktu, dan selalu berusaha hingga kebutuhannya tercapai. Apabila motivasi itu hanya datang dari luar diri siswa, biasanya motivasi itu terbatas, dan tidak terus menerus berlangsung. Setelah habis kekuatan dorongan dari luar diri siswa tersebut, maka kemungkinan besar dorongan yang timbul dari dalam diri siswa itu akan selesai pula. Oleh sebab itu, guru harus selalu berusaha untuk membangkitkan motivasi instrinsik siswa, agar motivasinya dalam belajar tidak cepat habis. Motivasi yang tertanam dalam diri siswa (intrinsik) merupakan modal yang sangat penting dalam melaksanakan kegiatan belajar. Meskipun siswa mempunyai kecakapan yang tinggi dalam belajar, siswa akan kurang berhasil dalam belajar ketika memiliki motivasi yang rendah. Siswa yang memiliki motivasi belajar yang tinggi / baik dapat diamati dari beberapa indikator, yaitu : a. Tekun menghadapi tugas (dapat bekerja terusmenerus dalam waktu yang lama, tidak pernah berhenti sebelum selesai). b. Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa). Tidak memerlukan dorongan dari luar untuk berprestasi sebaik 99 mungkin (tidak cepat puas dengan prestasi yang telah dicapainya). c. Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah untuk orang dewasa (misalnya masalah pembangunan agama, politik, ekonomi, keadilan, pemberantasan korupsi, penentangan terhadap setiap tindak kriminal, amoral, dan sebagainya). d. Lebih senang bekerja mandiri. e. Cepat bosan pada tugas-tugas yang rutin (hal-hal yang bersifat mekanis, berulang-ulang begitu saja, sehingga kurang kreatif). f. Dapat mempertahankan pendapatnya (kalau sudah yakin akan sesuatu). g. Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu. h. Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal.47 (Sardiman A.M., Interaksi & Motivasi., h. 83.) Indikator motivasi belajar tersebut termasuk ke dalam indikator motivasi belajar instrinsik, karena indikator tersebut berasal dari teori psikoanalitik yang dikemukakan oleh Sigmund Freud, dimana dalam teori motivasinya tersebut “lebih ditekankan pada unsur-unsur kejiwaan yang ada pada diri manusia, dan setiap tindakan manusia itu terjadi karena adanya unsur pribadi manusia itu sendiri”. Berdasarkan indikator motivasi belajar instrinsik di atas, indikator yang akan diamati dalam penelitian ini yaitu tekun dalam menghadapi tugas, ulet dalam menghadapi kesulitan belajar, menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah, lebih senang bekerja mandiri, cepat bosan pada tugas-tugas yang rutin (menunjukkan sifat kreatif dalam belajar), dapat mempertahankan pendapatnya, tidak mudah melepaskan hal yang diyakini, dan senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal. B. Belajar 1. Pengertian Belajar Belajar suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru 100 secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Belajar merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan, misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Belajar diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dan individu dengan lingkungannya. (Muhammad Fathurrohman dan Sulistyorini,2020:118). Gagne mendefinisikan belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku yang meliputi perubahan kecenderungan manusia seperti sikap, minat, atau nilai dan perubahan kemampuannya yakni peningkatan kemampuan untuk melakukan berbagai jenis performance (kinerja). Menurut Sunaryo belajar merupakan suatu kegiatan dimana seseorang membuat atau menghasilkan suatu perubahan tingkah laku yang ada pada dirinya dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan.(Kokom komalasari, , 2011 : 2) Menurut Lester D. Crow belajar adalah upaya untuk memperoleh kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan, dan sikap-sikap. Sedangkan Hilgard dan Marquis berpendapat bahwa belajar merupakan proses mencari ilmu yang terjadi dalam diri seseorang melalui latihan, pembelajaran, dan sebagainya sehingga terjadi perubahan dalm diri (Syaiful Sagala, 2012 : 13). Sebagian orang beranggapan bahwa belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi atau materi pelajaran. Orang yang beranggapan demikian biasanya akan segera merasa bangga ketika anakanaknya telah mampu menyebutkan kembali secara lisan sebagian besar informasi yang terdapat dalam buku tes atau yang diajarkan oleh guru. (Muhibbin Syah, 2011 : 87-88) 101 Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas dapat disimpukan bahwa belajar adalah proses perubahan perilaku yang mengakibatkan siswa dapat merespon ilmu pengetahuan yang diberikan sehingga terjadi peningkatan daya pikir, keterampilan, pemahaman, sikap, pengetahuan dan lain-lainnya. Kegiatan proses belajar dapat membuat siswa mengalami perubahan kearah yang lebih baik. Perubahan-perubahan akibat proses belajar adalah perubahan yang relatif tetap atau tidak mudah hilang. Karena ketika siswa menjalani proses belajar siswa akan dilatih dalam segala aspek, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik sehingga akan terjadi peningkatan. Oleh karena itu, perubahan yang terjadi pada siswa tidak mudah hilang, bahkan akan terus berkembang bila siswa sering melakukan kegiatan belajar. 2. Faktor – faktor Belajar Usaha dan keberhasilan belajar dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut dapat bersumber pada dirinya atau di luar dirinya atau lingkungannya. Berikut ini faktor-faktor yang mempengaruhi belajar: (Nana Syaodih Sukmadinata 2009 : 162163) a. Faktor-faktor dalam diri individu Faktor yang terdapat pada diri individu atau peserta didik yang mempengaruhi usaha dan keberhasilan belajarnya. Faktorfaktor tersebut menyangkut aspek jasmani maupun rohaniah diri individu. Hal lain yang ada pada diri individu yang juga berpengaruh terhadap kondisi belajar adalah situasi efektif, selain ketenangan dan ketentraman psikis juga motivasi untuk belajar. Keberhasilan belajar seseorang juga dipengaruhi oleh keterampilan-keterampilan yang dimilikinya, seperti keterampilan membaca, berdiskusi, memecahkan masalah, mengerjakan tugas- 102 tugas dan lain-lain. Keterampilan-keterampilan tersebut merupakan hasil belajar sebelumnya. b. Faktor-faktor lingkungan Keberhasilan belajar juga sangat dipengaruhioleh faktorfaktor di luar diri peserta didik, baik faktor fisik maupun sosialpsikolagis yang berada pada lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. 3. Prinsip – Pronsip Belajar Prinsip belajar adalah petunjuk atau cara yang perlu diikuti untuk melakukan kegiatan. Di dalam tugas melaksanakan proses belajar mengajar, seorang guru perlu memperhatikan beberapa prinsip belajar. Berikut ini beberapa prinsip belajar sebagai berikut : (Nana Syaodih Sukmadinata, 2009 : 165-167). a. Belajar merupkan bagian dari perkembangan. Berkembang dan belajar merupakan dua hal yang berbeda, tetapi berhubungan erat. Dalam perkembangan dituntut belajar, dan dengan belajar ini perkembangan individu lebih pesat. b. Belajar langsung seumur hidup Kegiatan belajar dilakukan sejak lahir sampai menjelang kematian, sedikit demi sedikit dan terus-menerus. Perbuatan belajar dilakukan individu baik secara sadar maupun tidak, disengaja ataupun tidak, direncanakan ataupun tidak. c. Keberhasilan belajar dipengaruhi oleh faktor-faktor bawaan, faktor lingkungan, kematangan serta usaha dari individu sendiri. Dengan berbekalan potensi yang tinggi, dan dukungan faktor lingkungan yang menguntungkan, usaha belajar dari individu yang efisien yang dilaksanakan pada tahap kematangan 103 yang tepat akan memberikan hasil belajar yang maksimal. Kondisi yang sebaliknya akan memberikan hasil yang minim pula. d. Belajar mencakup semua aspek kehidupan, belajar bukan hanya berkenaan dengan aspek intelektual, tetapi juga aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, moral, religi, seni, keterampilan dan lain-lain. e. Kegiatan belajar berlangsung pada setiap tempat dan waktu. Kegiatan belajar tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di rumah, di masyarakat, di tempat rekreasi bahkan dimana saja bisa terjadi perbuatan belajar. Belajar juga terjadi setiap saat, tidak hanya berlangsung pada jam-jam pelajaran atau jam kuliah. Kecuali pada saat tidur, pada saat lainnya dapat berlangsung proses belajar. Pada saat ini juga ada pemikiran, orang belajar sambil tidur, yaitu dengan menggunakan kaset yang dipasang pada waktu orang hendak pergi tidur. f. Belajar berlangsung dengan guru ataupun tanpa guru. Proses belajar dapat berjalan dengan bimbingan seorang guru, tetapi juga tetap berjalan meskipun tanpa guru. Belajar berlangsung dalam situasi formal maupun situasi informal. g. Belajar yang direncana dan disengaja menuntut motivasi yang tinggi. Kegiatan belajar yang diarahkan kepada penguasaan, pemecahan atau pencapaian sesuatu hal yang bernilai tinggi, yang dilakukan secara sadar dan berencana membutuhkan motivasi yang tinggi pula. h. Perbuatan belajar demikian membutuhkan waktu yang panjang dengan usaha yang sungguh-sungguh. Perbuatan belajar bervariasi dari yang paling sederhana sampai dengan yang sangat kompleks. Perbuatan belajar yang sederhana adalah mengenal tanda (Signal Learning dari Gagne), 104 mengenal nama, meniru perbuatan dan lain-lain, sedang perbuatan yang kompleks adalah pemecahan masalah, pelaksanaan suatu rencana dan lain-lain. i. Dalam belajar dapat terjadi hambatan-hambatan. Proses kegiatan belajar tidak selalu lancer, adakalanya terjadi kelambatan atau perhentian. Kelambatan atau perhentian ini dapat terjadi karena belum adanya penyesuaian individu dengan tugasnya, adanya hambatan dari lingkungan, ketidakcocokan potensi yang dimiliki individu, kurangnya motivasi adanya kelelahan atau kejenuhan belajar. C. Motivasi Belajar Dalam Al-Qur’an Al-Qur‟an sebagai petunjuk dan pedoman hidup bagi setiap muslim dalam menghadapi berbagai macam masalah yang timbul dari zaman ke zaman, didalam Al-Qur‟an banyak ayat yang bisa kita petik untuk menghadapi kesulitan kehidupan manusia karna didalamnya memuat begitu banyak nilai serta kandungannya yang luas (Taufik Adnan Amal, 2005 : 100 ). Dalam Al-Qur‟an juga, dapat dijumpai berbagai ungkapan yang menunjukkan dorongan kepada setiap orang muslim dan mukmin untuk selalu rajin belajar. Anjuran menuntut ilmu tersebut dibarengi dengan urgennya faktor-faktor pendukung guna makin meningkatkan semangat belajar bagi setiap orang. Salah satu faktor yang utama adalah motivasi, baik itu motivasi yang datang dari dalam diri sendiri, maupun motivasi yang ditumbuhkan dari peranan lingkungan sosialnya. Motivasi belajar (menuntut ilmu) bagi setiap penuntut ilmu memang amat sangat dibutuhkan. Tentang motivasi belajar didalam al-Qur‟an diantaranya terdapat surat Al An‟am ayat 50, Allah SWT berfirman: 105 ٌَْٔ ‫ ُۗ ُْس اَفَ َال رَزَفَ هك ُس‬ٛ‫ص‬ ِ َ‫َ ْعز َ ِٕٖ ْاالَػًَْٰ ٗ َٔ ْانج‬ٚ ‫قُ ْم ْ َْم‬ Artinya : Katakanlah, “Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat? Apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” Dalam ayat ini Allah swt menegaskan kepada NabiMuhammad saw dan juga kita sebagai hambanya tentang perbedaan orang yang buta (orang yang tidak berilmu) dengan orang yang melihat (orang yang berilmu), orang yang berilmu dia menggunakan ilmunya untuk mendekatkan dirinya kepada Allah swt, untuk membangun karakter baik dalam dirinya sehingga hidupnya akan terarah dan lebih efektif. Berbeda Dengan Orang Yang Tidak Berilmu, Dia akan Hidup Dalam Keadaan Sia Sia, Dia hanya hidup dan berjalan tanpa tahu arah tujuan atau bahkan malah kurang bernilai perbuatan nya. Hubungannya dengan motivasi belajar yaitu jika kita terus belajar maka kita akan mendapatkan ilmu yang apabila kita mendapatkan ilmu maka kita diibaratkan seperti orang yang mempunyai penglihatan, akan tetapi jika kita tidak mau belajar maka kita akan termasuk orang yang bodoh dan di ibaratkan dengan orang yang tidak punya penglihatan. Dalam ayat lain surat Az zumar ayat 9, Allah SWT berfirman: ۟ ُ‫َزَرَ هك ُس أ ُ ۟ٔن‬ٚ ‫َ ْؼهَ ًٌَُٕ ُۗ إَِه ًَب‬ٚ ‫ٍَ َال‬ِٚ‫َ ْؼهَ ًٌَُٕ َٔٱنهر‬ٚ ٍَِٚ‫َ ْعز َ ِٕٖ ٱنهر‬ٚ ‫قُ ْم ْ َْم‬ ‫ت‬ ِ َ‫ٕا ْٱأل َ ْن َٰج‬ Artinya: Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.” 106 Dalam Ayat Ini Allah swt membedakan antara orang yang berilmu dan orang yang bodoh keduanya tidak sama terlepas dari substansi ilmu pengetahuan yang terpenting adalah antara orang yang berilmu dan orang yang bodoh jelas tidak sama seperti halnya antara orang buta dan orang yang melihat, kegelapan dan cahaya, orang yang hidup dan mati, manusia dan hewan, serta antara penghuni surga dan penghuni. Ayat ini juga bisa di kaitkan tidaklah sama orang yang belajar dan orang yang tidak belajar sama sekali. Al Maraghi mengatakan: katakanlah hai Rasul kepada kaummu, adakah sama orang-orang yang mengetahui bahwa Ia mendapatkan pahala karena ketaatan kepada Tuhannya danakan mendapatkan siksa yang di sebabkan kerduhakaannya, dengan orang-orang yang tidak mengetahui hal yang demikian itu ungkapan pertanyaan dalam ayat ini menunjukkan bahwayang pertama orang-orang yang mengetahui akan dapat mencapai derajat kebaikan sedangkanyang kedua orang-orang yang tidak mengetahui akan mendapat kehinaan dan keburukan.(Ahmad Musthafa Al Maraghi,2015: 151) Pada ayat tersebut terlihat adanya hubungan orang yang mengetahui berilmu (ulama) dengan melakukan ibadah waktu malam karena takut terhadap siksaan Allah di akhirat serta mengharapkan Rahmat dari Allah dan juga menerangkan bahwa sikap yang demikian itumerupakan salah satu ciri dari Ulul Albab, yaitu orang yang menggunakan pikiran, akal dan Nalar untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan menggunakan hati untuk menggunakandan mengarahkan ilmu pengetahuan tersebut pada tujuan peningkatan aqidah ketekunan beribadah dan ketinggian Akhlak Yang Mulia. 107 Ayat ini juga bisa dikaitkan dengan motivasi kita untuk belajar bahwa orang yang tahu yang diibaratkan orang yang berilmu yang ilmu tersebut digunakan dalam hal ketaatan beribadah kepada allah swt, untuk menjadi tahu sesuatu kita otomatis harus melalui proses belajar tanpa adanya belajar maka kita tidak akan tahu sesuatu yang ingin kita ketahui seperti yang di ibaratkan dalam ayat tersebut. Dalam ayat lain surat al mujadalah ayat 11, Allah SWT berfirman: ۟ ُ ‫ٍَ أُٔر‬ِٚ‫ٕا ِيُ ُك ْى َٔٱنهر‬ ۟ ُُ‫ٍَ َءا َي‬ِٚ‫ٱَّللُ ٱنهر‬ ‫ذ ۚ َٔ ه‬ ‫َ ْسفَ ِغ ه‬ٚ ٍ ‫ٕا ْٱن ِؼ ْه َى دَ َز َٰ َج‬ ‫س‬ٛ ٌ ‫ٱَّللُ ِث ًَب ر َ ْؼ ًَهٌَُٕ َخ ِج‬ Artinya : … niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Pada ayat ini Allah swt menjelaskan tentang keutamaan nya orang berilmu, pokok dasar kehidupan manusia adalah iman sedangkan ilmu itu adalah penggiringan nya, jika seseorang beriman tapi tidak berilmu maka dia akan terperosok dalam perkara yang diaanggap sebagai cara untuk mendekatkan dirinya kepada Rabb tapi justru malah membuatdirinya semakin jauh. Orang berilmu tapi tidak beriman itu akan membuat dirinya semakin jauh dari Rabbdan bahkan ilmu tersebut akan membahayakan bagi dirinya dan orang lain, seperti contoh ilmu manusia tentang tenaga atom, alangkah penting ilmu itu, itu kalau disertai Iman. Karenadia akan membawa faedah yang besar bagi seluruh perikemanusiaan. Tetapi ilmu itu pundapat dipergunakan orang untuk memusnahkan sesamanya manusia, karena jiwanya 108 tidak dikontrol oleh Iman kepada Allah swt. (Hamka, 1994 : 7229). Di ayat ini juga jelas Allah akan meninggikan derajatnya, menurut Wahbah Azzuhaili bahwasanya derajatnya tidak akan hanya diangkat pada saat diakhirat nanti, melainkan Allah juga mengangkat derajatnya didunia berkat ilmunya, dia akan dimuliakan di majelis-majelis ataupun perkumpulan-perkumpulan manusia. Dengan ilmu yang disertai iman tadi ia mendapatkan pahala yang berlipat dan kemuliaan. (Wahbah Azzuhaili, 2014 : 417). Menurut Quraish Shihab di dalam Tafsir Al-Mishbah beliau menyebutkan bahwasanya; Ayat di atas tidak menyebut secara tegas bahwa Allah akan meninggikan derajatorang berilmu. Tetapi menegaskan bahwa mereka memiliki derajat-derajat yakni yang lebih tinggi dari yang sekadar beriman. Tidak disebutnya kata meninggikan itu, sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang dimilikinya itulah yang berperanan besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari faktor di luar ilmu itu. (Quraish Shihab, 2002) : 79) Tentu saja yang dimaksud dengan alladzina utu al„ilm/yang diberi pengetahuan adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Ini berarti ayatdi atas membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar, yang pertama sekadar berimandan beramal saleh dan yang kedua beriman dan beramal saleh serta memiliki pengetahuan.Derajat kelompok kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yangdisandangnya, tetapi juga amal dan pengajarannya kepada pihak lain baik secara lisan, atau tulisan maupun dengan keteladanan. 109 Ayat ini juga sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang dimilikinya itulah yang berperanan besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari faktor di luar itu. Tentu saja, yang dimaksud (meninggikan derajat orang berilmu) adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Ini berarti ayat di atas membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar, yang pertama sekadar beriman dan beramal saleh dan yang kedua beriman dan beramal saleh serta memiliki pengetahuan. Derajat kelompok kedua ini mejadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal dan pengajarannya kepada pihak lain, baik secara lisan, atau tulisan, maupun dengan keteladanan (M. Quraish Shihab, 2009 : 90) Akhir dari ayat tersebut menerangkan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman, taat dan patuh kepadaNya, berusaha menciptakan suasana damai, aman, dan tenteram dalam masyarakat, demikian pula orang-orang berilmu yang menggunakan ilmunya untuk menegakkan kalimat Allah. Dari ayat ini dipahami bahwa orang-orang yang mempunyai derajat yang paling tinggi di sisi Allah ialah orang yang beriman dan berilmu. Ilmunya itu diamalkan sesuai dengan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Firman Allah di atas merupakan salah satu kabar gembira yang datang dari Allah SWT, mengenai ditinggikan derajat orangorang yang beriman dan berilmu serta mengerjakan amal shaleh (Sayyid Muhammad Bin Muhammad Al-Husaini Al-Zabidi, 209 : 100-101). Telah jelas dalam firman Allah SWT bahwa derajat antara orang yang berilmu dan tidak berilmu itu berbeda. Dari penjelasan tafsir di atas dapat diketahui bahwa seseorang bisa mendapatkan derajat di sisi Allah dengan cara beriman kepada- 110 Nya dan menjadi orang yang berilmu atau berpengetahuan, hal ini bisa menjadi alasan seseorang untuk terdorong menjadi manusia yang beriman kepada Allah ataupun manusia yang berpengetahuan, tentu dalam hal ini ada korelasi dalam keduanya. Kedua hal itu bisa menjadi landasan untuk memotivasi seseorang untuk mendapatkan derajat di sisi Allah dengan dua cara tersebut yaitu menjadi orang yang beriman dan berilmu. Dengan landasan mendapatkan derajat di sisi Allah maka seseorang termotivasi untuk menjadi orang yang berilmu, dengan belajarlah seseorang bisa menjadi orang yang berilmu dan berpengetahuan, dan ilmu sebagai jembatan seseorang untuk menjadi orang yang beriman, dan apabila keduanya sudah tercapai maka seseorang akan mendapatkan derajat di sisi Allah SWT. Motivasi belajar (menuntut ilmu) bagi setiap penuntut ilmu memang dibutuhkan, bahkan begitu banyak ayat-ayat Al-quran dan Hadits yang memberikan pemahaman tentang manfaat menuntut ilmu dan perintah yang menganjurkan untuk belajar. Semua ungkapan dalam Al-quran dan Hadits tersebut merupakan dalil-dalil yang dapat menjadi pedoman sebagai alat untuk memotivasi setiap umat Islam untuk terus menuntut ilmu. Allah SWT juga berfirman dalam Al qur‟an surat Ar ra‟d ayat 11 yang berbunyi : ‫ّ ُس ْٔا َيب ثِب َ َْفُ ِع ِٓ ُۗ ْى‬ِٛ َ‫ُغ‬ٚ ٗ‫ّ ُس َيب ثِقَ ْٕ ٍو َحزه‬ِٛ َ‫ُغ‬ٚ ‫َّللاَ َال‬ ‫ا هٌِ ه‬ Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Ayat ini menjelaskan tentang motivasi bahwa Allah tidak akan mengubah nasib seseorang menjadi lebih baik kecuali 111 dengan usaha dan jerih payahnya sendiri. Tafsiran seperti ini bertentangan dengan realitas lapangan. Berapa banyak orang yang berusaha mengubah nasib mereka dengan membanting tulang, kaki di kepala dan kepala di kaki, demi ingin mengubah nasibnya menjadi lebih baik, tapi berapa persen dari mereka yang berhasil? Ayat Al-Qur‟an merupakan sebuah kepastian. Jika diartikan bahwa perubahan nasib menjadi lebih baik di tangan seseorang, tentu tidak akan ada orang gagal dari usahanya. Buktinya tidak demikian. Selain itu, keyakinan bahwa semua kesuksesan dikembalikan kepada pribadi seseorang baru Allah mengikutinya merupakan bagian dari doktrin Mu‟tazilah. Dalam paham ini, perilaku hamba menentukan segalanya. Surat Al mujadalah ayat 11 dan Ar ra‟d ini juga berkaitan dengan motivasi kita dalam belajar, karna tidak mungkin kita berubah menjadi orang yang berilmu tanpa proses yang dilakukan oleh diri kita sendri dan tidak mungkin juga kita mempunyai ilmu dan mendapatkan derajat yang tinggi seperti yang di jelaskan dalam ayat tersebut tanpa melalui prose belajar yang sungguhsungguh dan mengamalkan ilmu yang kita miliki. Berdasarkan dari ayat - ayat yang telah di sebutkan memang al-Qur‟an tidak menyebutkan secara jelas tentang motivasi belajar, akan tetapi hanya melalui perumpamaan dan petunjuk pada ayat tersebut yang mengisyaratkn akan pentingnya motivasi belajar bagi siswa – siswi. Referensi Al-Qur‟an dan Terjemahnya, 2012, Kementerian Agama RI, Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia. Ahmad Musthafa Al Maraghi, 2015, Tafsir Al Maraghi, Jilid VIII, Beirut : Dar Al-Fikr. 112 Atmaja, Purwa Prawira, 2017, Psikologi Kepribadian dengan Perspektif Baru. Yogjakarta: Ar- Ruzz Media. B. Uno Hamzah, D. (n.d.). 2019, Teori Motivasi & Pengukurannya. Jakarta: Bumi Aksara. Dimyati dan Mudjiono, 2009, Belajar Dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta. Donni Juni Priansa, A. S. 2015, manajemen peserta didik dan model pembelajaran. Fathurrohman, Muhammad dan Sulistyorini, 2012, Belajar dan Pembelajaran : Membantu Meningkatkan Mutu Pembelajaran sesuai Standar Nasional. Yogyakarta: Teras. Hamka, 1994,Tafsir Al Azhar, Juz IX, Singapura : PTE lteid Singapura. Hamalik, Oemar, 2014, Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Kompri, 2016, Motivasi Pembelajaran Perspektif Guru Dan Siswa, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Kokom komalasari, 2011, Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi, Bandung: PT. Refika Aditama. Muhibbin Syah, 2011, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Membangun Pesona Diri dengan Ajaran-ajaran Nabi SAW). terj. Hedi Fajar, Bandung: Pustaka Hidayah. Nashar, H. 2004, Peranan Motivasi dan Kemampuan Awal dalam Kegiatan Pembelajaran. Jakarta: Delia Press. Ngalim Purwanto, 2027, Psikologi Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nana Syaodih Sukmadinata, 2009, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 113 Quraish Shihab, 20002, Tafsir Al-Misbah pesan, kesan dan Keserasian Al Quran, Jilid IXV, Jakarta : Lentera Hati. Syaiful Sagala, 2012, Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta. Sardiman A.M., 2014, Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sayyid Muhammad Bin Muhammad Al-Husaini Al-Zabidi, 2009, Ithafus Saadaatil Muttaqin Syarah Ulumuddin, Beirut; Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah. Taufik Adnan Amal, 2005, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, Jakarta ; Pustaka Alvabet. Utsman Najati, Muhammad, Al-Hadits an-Nabawi wa „Ilm anNafs (Psikoloi Nabi; Wasty Soemarto, 1990, Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. akarta: Rineka Cipta. Wahbah Azzuhaili, 2014,Tafsir Al-Munir, Jilid IXV, Jakarta: Gema Insani. BAB 8 INSTRUMEN PEMBELAJARAN DALAM AL-QUR’AN 114 Oleh: Riyanto A. Pendahuluan Dalam penerapan kegiatan belajar dan mengajar AlQur‟an oleh seseorang atau lembaga supaya memperolah hasil yang baik, berkwalitas dan sesuai dengan tujuannya, maka diperlukan pengelolaan dan manajemen yang baik pula. Manajemen yang dimaksud adalah perencanaan, perorganisasian, pergerakan, pengawasan, dan evaluasi. Evaluasi dalam sebuah pembelajaran apapun terlebih pada pembelajaran Al-Qur‟an adalah sesuatu komponen yang amat perlu untuk dilakukan sehingga dapat diketahui proses pekembangan hasil belajarnya. Untuk mengetahui data-data hasil belajar yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan digunakan alat ukur yang sebut dengan Instrumen. Contohnya adalah instrumen alat ukur untuk pengumpulan data ukuran tentang suatu benda, maka instrumen yang digunakan adalah meteran yang dapat digunakan untuk mengetahui jumlah ukuran atau luas terhadap benda tersebut. (Idrus, 2019) Dalam dunia pendidikan termasuk juga didalamnya adalah pendidikan Islam maka untuk mengumpulan data-data tertentu dari sesorang misalnya terkait dengan kemajuan hasil belajarnya, hasil perolehan ujian, hasil perkembangan belajar maka digunakan instrumen dengan melakukan uji tes dan non tes. Hasil test atau penilaian yang merupakan model pengumpulan data digunakan untuk menilai orang supaya dapat mendorong secara maksimal untuk menghasilkan sesuau yang paling baik. Instrumen non test merupakan alat ukur yang di gunakan untuk memdorong seseorang untuk berusaha secara maksimal menilai penampilan dirinya sendiri secara jujur dan apa adanya sesuai dengan pikiran 115 dan perasaannya. Maka proses yang demikian itu juga berlaku dalam semua kegiatan pembelajaran Al-Qur‟an (Sihombing, 2021) Pada waktu kegiatan belajar dan mengajar Al-Qur‟an semuanya didasarkan kepada nilai-nilai Al-Qur‟an yang menjadi rujukan utama, sumber utama dari ajaran agama Islam serta sebagai pedoman petunjuk bagi manusia yang mencakup segala aspek kehidupan manusia seperti dalam hal akhlaq, ibadah dan muamalah sehingga dengan proses pembelajaran tersebut dapat merubahan tingkah laku seseorang berupa kognitif, efektif, dan psikomotorik ke arah yang lebih baik sesuai dengan ajaran agama Islam. (Rosi & Faliyandra, 2021). Nilai yang terkandung dalam AlQur‟an dapat dijadikan sebagai instrumen pembelajaran adalah meneladani nabi dan rasul Nya sebagaimana dikisahkan di AlQur‟an seperti dari kisah nabi Ibrahim as dan nabi Muhammad saw. (Rahmi, 2023) Sesuai dengan yang telah dijelaskan diatas maka kami akan membahas tentang instrumen pembelajaran dalam Al-Qur‟an berdasarkan penjelasan menurut Tafsir Al Misbah karangan Prof. Dr. Quraish Shihab pada Al-Qur‟an Surat Al-Anam ayat 74-80, Surat Al-Ahzab ayat 21 dan surat At-Taubah ayat 108. B. Instrumen Pembelajaran dalam Al-Qur’an Surat AnAn’am 1. Ayat 74 ٰ ‫َوا ِۡذٓلَالَٓا ِۡب ٰره ٌِۡ ُم ِّٓلَبِ ٌۡ ِه ٰٓازَ َرٓاَتَت َ ِخذُٓاَصۡ نَا ًم‬ ٓ‫َ ٰللٓ ُّمبِ ٌۡن‬ َ ٓ‫ٓولَ ۡو َمنَ ٓفِ ۡى‬ َ َ‫آا ِل َهةًٓٓۚٓاِ ِنّ ۡۤىٓا َ ٰرىن‬ Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya Azar, "Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala itu sebagai tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata." 116 Dalam memahami sebuah ayat yang ada dalam Al-Qur‟an sebagian diharuskan untuk memahami terdahulu ayat-ayat sebelumnya, salah satu contohnya adalah pada Q.S An-An‟am ayat 74 ini. Pada ayat sebelumnya menjelaskan tentang bagaimana cara nabi Muhammad saw dan umat Islam pada waktu itu untuk menyikapi keberadaan orang-orang musyrik dan mempersekutukan Allah swt. Pada Q.S An-An‟am ayat 74 ini menjelaskan tentang persoalaan yang dialami oleh nabi Ibrahim as, yaitu sama dengan persoalan yang dihadapi oleh umatnya nabi Muhammad saw hanya berbeda waktu dan zaman, sehingga dengan kejadi-kejadian tersebut layak untuk dijadikan pedoman dan contoh bagi umat Islam sekarang ini. Menurut Al-Biqa‟i pada masa kenabian Ibrahim as banyak penduduk yang meganut paham politeisme yaitu mempercayai banyak tuhan seperti yang di anut oleh penduduk Persia dan Kaldenia yang mempercayai adanya tuhan dengan istilah tuhan yang gelap dan tuhan yang terang. Ayat ini dan juga ada beberapa ayat selanjutnya menjelaskan tentang pengalaman berproses nabi Ibrahim as menemukan dan mengakui keberadaan Allah swt sebagai zat yang maha tunggal (monoteisme) yang menjadi sesembahan sekalian manusia. Adanya kejadian ini juga dapat digunakan nabi Ibrahim as untuk membantah kepada kaum yahudi, nasrahi dan orang musyrik yang mempertuhankan benda langit yaitu dan membuat puji-pujian untuk benda-benda langit tersebut yang selanjutnya untuk menjadi sesembah. Semua yang terjadi pada nabi Ibrahim as terutama yang menyangkut tentang tentang proses mendapatkan ketauhidannya juga disampaikan kembali oleh nabi Muhamamad saw kepada umat Islam supaya untuk menjadi pelajaran bagi yang mengetahuinya. Dengan penyampaian yang lalu dan Ingatlah atau 117 pula kejadian keterangan “diwaktu Ibrahim berkata kepada Bapaknya yaitu orang tua nabi Ibrahim as yang mempunyai gelar Azar: Pantaskan kamu menentang dan memaksa diri yang menjadi fitrahmu membuat dan menjadikan berhala-berhaka sebagai tuhantuhan yang disembah? Sesungguhnya aku melihat, yaitu sebagai penilai engkau wahai orang tuaku dan melihat juga kaummu yang telah mempunyai kesepakatan bersamamu menyembah berhalberhala dalam kesesatang yang nyata. Ayat sebelumnya, ayat ini dan ayat selanjutnya jika dihubungkan menceritakan tentang kedustaan umat nabi Muhammad saw yang berkaitan dengan ajaran tuhid, yang merupakan aja pokok yang beliau sampaikan kepada umatnya. Ayat ini juga menyampaikan sebuah contoh yang nyata dari apa yang dialami nabi Ibrahim as dalam memberikan bukti kesesatan dan kemusyikannya. Pengalaman yang dihadapi oleh nabi Ibrahim as bukan saja yang terkait dengan nabi yang pertama kali dalam menyampaikan ajaran monoteisme (tauhid) juga berkaitan dengan orang tua nabi Ibrahim as yang bersama Azar menjadi sangat obyektif. Maka dari penjelasan ini juga dapat dipahamai bahwa saat ini orang arab masih mengakui bahwa nabi Ibrahim as itu adalah sebagai leluhurnya, sedangkan orang-orang nasrani dan yahudi sebagai agama lanjutan dari agama nabi Ibrahim as. Pada ayat diatas juga menyatakan bahwa Azar adalah ab/Bapak nya nabi Ibrahim as. Kata tersebut oleh Qurais Shibah dijelaskan maknanya adalah orang tua meskipun banyak ulama berbeda pendapat, apakah Azar itu ayah kandung, pamannya nabi Ibrahim as atau sebuah gelar saja. Salah satu yang menolak bahwa Azar adalah orang tua kandung nabi Ibrahim as adalah jika Azhar itu bapaknya Nabi Ibrahim, konsekuensinya leluhur nabi 118 Muhammad saw yang musyrik, karena beliau adalah keturunan nabi Ibrahim as. 2. Ayat 75 ۡ َ‫ٓمن‬ َٓ‫ٓال ُم ۡولِـنِ ٌۡن‬ ٓ ِ ‫ِٓو ۡاّلَ ۡر‬ ِ َ‫ضٓ َو ِلٌَ ُك ۡون‬ َ ‫َوك َٰذلِنَ ٓنُ ِر ۡۤىٓا ِۡب ٰره ٌِۡ َمٓ َملَـ ُك ۡوتَ ٓالسَمٰ ٰوت‬ Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan agar dia termasuk orangorang yang yakin. Dari ayat ini dapat diketahui bahwa nabi Ibrahim as memiliki jiwa dan alam pikiran yang diberi petunjuk dari Allah swt, sehingga apa yang disampaikannya dapat menimbulkan kenyakinan tauhid bagi umatnya yang dapat menghasilkan keyakinan yang kuat dan kokoh. Oleh karena itu ayat diatas menyamapaikan Dan demikianlah, yaitu semacam arahan itulah ketika nabi Ibrahim as mendapati orang tua dan kaum nabi Ibrahim as Kami perlihatkan dan perkenalkan dengan ilham dan wahyu serta melalui mata yang ada di kepalanya dan juga mata hati dan secara berkelanjutan dari dari satu dengan hari yang lain, sepanjang waktu kepada Ibrahim malakut, yakni kekuasaan Allah swt yang sangat besar di langit dan bumi sehingga semakin tauhidnya semakin mantap dan argumennya semakin kuat dan agar dia termasuk al-Muqinin, yaitu seseorang yang sudah kuat keyakinannya, bahwa tiada yang berhak disembah dan memohon pertolongan di alam semesta raya ini selain Allah swt. Dalam kalimat tersebut terdapat kata malakut, yang akar katanya berasal dari milk/kepemilikan, hal tersebut dapat dipahami bahwa ini menunjukkan kematapan dan kekukuhan yang sangat sempurnal. Kepemilikan Allah swt itu menyangkut seluruh alam raya yaitu semua yang berada di bumi dan langit. Allah swt berkuasa dan mempunyai wewenang untuk mengaturnya dan juga 119 tidak dapat dipindahkan kekuasanNya atau kepemilikanNya itu kepada yang selain-Nya. Contohnya adalah seperti kita yang mempunyai 2 (dua) buah mata, berarti kita sendiri yang menggunakannya dan mengendalikannya secara penuh untuk pemanfaatannya secara penuh. Penjelasan dari ayat diatas memberikan informasi kepada kita bahwa seseorang itu memperoleh iman juga melalui sebuah proses. Prosesnya pada tahap yang pertama adalah dalam hati seseorang selalu diliputi oleh pertanyaan-pertanyaan seputar keyakinannya. Keadaan orang yang beriman pada tahap pertama ini seperti orang yang sedang berlayar dengan menggunakan dayung di lautan lepas. Orang tersebut kemudian melihat ada sebuah palau akan tetapi masih nan jauh disana, kemudian orang itu mempunyai harapan untuk mencapai pulau tersebut dengan bersemangat mendayungnya agar sampai pada pulau tersebut. Dalam benak orang tersebut terbersit dalam pikirannya akan mampukah ia mendayung sampai di pulau tersebut? kemudian bagaimana jika ada ombak yang besar sebelum sampai di pulau itu. Intinya iman pada tahap pertama ini selalu di selimuti banyak pertanyaan baik itu dikarenakan keterbatas pengetahuan atau oleh godaan setan. Maka nabi Ibrahim as dipilih oleh Allah swt masuk dalam kelompok al-muqinin yaitu orang yang imannya kuat dan bersemayam di hatinya. Diantara indikatornya itu terbukanya untuk mereka sebagian dari tabir metafisika sesuai dengan keinginan dari Allah Swt. Sebagaimana firmannya : “Jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yaqin, niscaya kamubenar-benar akan melihat neraka jahim” (QS. at-Takatsur [102]. 3. Ayat 76 120 ۤ َ ‫آر ِبّ ۡىٓٓۚٓفَلَ َم ۤآاَفَلَٓلَال‬ ٰ ۡ ُّ‫َّٓلٓا ُ ِحب‬ ٰ ‫ُٓر ٰآك َۡو َكبًآٓۚٓلَال‬ َٓ‫ٓاّلفِ ِل ٌۡن‬ َ ٓ‫فَلَ َمآ َج َن‬ َ َ‫َٓهذ‬ َ ‫علَ ٌۡ ِهٓالَ ٌۡل‬ Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, "Inilah Tuhanku." Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, "Aku tidak suka kepada yang terbenam." Pada ayat ini banyak ulama berbeda pendapat tentang kandungan yang berisi didalamnya. Apakah dengan cara seperti ini nabi Ibrahim as menemukan tuhannya yaitu Allah swt yang maha pengasih dan penyayang kepada semua makhluqnya. Ataukah dengan cara ini pula yang digunakan oleh nabi Ibrahim as untuk membuktikan kesesatan kaumnya. Proses pemikiran para penyembah benda-benda langit itu bermula ketika malam telah tiba, kemudian menutupi secara totalitas alam raya ini sehingga menjadi sangat gelap. Para penyembah berhala ini kemudian pandangannya ia arahkan ke langit, mereka melihat salah satu bintang yang cahayanya sangat kuat, maka mereka itu berkata: itulah Tuhanku yang selama ini saya cri, akan tetapi tetapi ketika bintang itu tenggelam dan sudah tidak bercahaya lagi maka meraka berkata: Saya tidak menyukai untuk menyembah atau mempertuhan yang tenggelam dan tidak konsisten, sekali datang kemudian pergi lagi. Dalam ayat ini yang dimaksud dengan kaukaban/bintang dalam ayat Allah ra‟d kaukaban/melihat bintang berbentuk kata indefinitif, sehingga boleh jadi bahwa nabi Ibrahim as menujuk salah satu bintang dari sekian juta bintang di langit, tetapi kaumnya nabi Ibrahim as yaitu kaum Shabiah yang sudah terbiasa menyembah bintang venus serta ucapanya yang menyampaikan inilah tuhanku, maka sepetinya nabi Ibrahim as menunjuk bintang yang paling indah dan terang yaitu bintang kejora atau venus yang disembah kaumnya sehingga menarik bagi seseotang yang mengarahkan pandangannya ke langit. Bintang ini biasanya 121 menampakkan sebelum terbitnya matahari, dan tenggelam setelah mataharinya tenggelam. Pada setiap paruh kedua pada malammalam bulan hijriyah, sekitar tanggal 18-19 dan 20 pada saat matahari tenggelam bintang tersebut pasti dapat terlihat sebentar, tetapi dalam hitungan 1 s/d 2 jam bintang tersebut hilang. Maka tenggelamya bintang merupakan salah satu bukti ketidakwajaran untuk apa dipertuhankan. Sebenarnya kalau di cermati lebih dalam fenomena alam yang sudah pasti terjadi salah satunya muncul dan tenggelamnya bintang ini menjadi bukti bahwa bintang-bintang di langit tidak sepantaskan di pertuhankan dan disembah. Kemunculannya mengandung gerak, maka sepertinya tenggelam dan hilangnya dari pandangan yang dijadikan dasar nabi Ibrahim as untuk menunjukkan kepada umatnya bahwa itu merupakan sebuah kelemahan serta ketiadaan kekuasaannya. Berbeda dengan munculnya bintang yang terang, bersifat lebih positif serta menunjukkan adanya manfaat yang bisa dimanfaatkan oleh kaumnya nabi Ibrahim as yaitu orang persia. Nabi Ibrahim as fenomena ini menjadi bahan untuk menyampaikan ayat-ayat ini kepada para penyembah bintang, supaya mereka kembali kepada ajaran tauhid menyembah Allah swt. 4. Ayat 77 ٰ ‫غآلَا َل‬ ً ‫از‬ َ ‫ٓر ِبّ ۡى‬ ِٓ ‫ّٓلَ ٓ ُك ۡون ََن‬ ٓ َ‫ٓمن‬ َ َ‫ٓهذ‬ َ ‫فَلَ َم‬ َ ‫آر ِبّ ۡى ٓۚ ٓفَلَ َم ۤا ٓاَفَ َل ٓلَا َل ٓلَ ِٕى ۡن ٓلَ ۡم ٌَٓهۡ ِد ِن ۡى‬ ِ َ‫آرا َ ۡالمَ َم َر ٓب‬ ۡ َٓ‫المَ ۡو ِمٓالََآ ِلّ ٌۡن‬ Lalu ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, "Inilah Tuhanku." Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, "Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat." 122 Pada ayat ini dijelaskan bahwa setelah terbukti bahwa semua bintang yang ada dilangit, jika dilihat dari pandangan mata dari bumi terlihat sangat kecil sekali, maka ini juga menunjukkan bahwa bintang juga tidak layak untuk di jadikan sesembahan. Setelah itu nabi Ibrahim as mengarahkan pandangan ke cahaya yang terlihat lebih terang. Maka tatkala dia melihat bulan terbit pada permulaan waktu terbitnya, seperti sesuatu yang ketika malam membelah gelapnya malam itu, kemudia dia berkata inilah dia Tuhanku yang kami cari selama ini.” Tetapi setelah bulan itu terbenam, kemudian dia tidak senang dan menilai salah satu bintang yaitu bulan tidak sepantasnya untuk dijadikan tuhan, mereka mempunyai alasan yang sama. Oleh sebab itu mereka berkata, “Sesungguhnya jika Tuhanku yang selama ini telah berbuat sangat baik kepadaku antara lain menganugerahkan fitrah yang menjadikan manusia merasakan kehadiran Tuhan, jika Tuhanku itu tidak memberi petunjuk kepadaku, untuk mengenal dan beribadah kepada-Nya pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat karena yang telah melakukan penyembahan terhadap yang bukan Tuhan serta mengabdi kepada selain Allah swt. Penggunaan kata hadza pada ayat ini dan pada ayat sebelum ini dan setelah ayat ini, tidak hanya berfungsi sebagai kata penunjuk sesuatu. Akan tetapi ini mengandung makna bahwa yang ditunjuk Allah swt itu adalah yang sebelumnya di cari, dan sekarang sudah di temukan. Misalkan kita sedang mencari buku, kemudian beberapa saat kemudian buku tersebut di ketemukan maka biasanya ucapan yang keluar dari mulut kita adalah ini dia buku yang aku cari. Ucapan nabi Ibrahim as Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, ini berhunungan dengan penolakannya terhadap menuhankan bintang di langit, karena pasti semuanya akan tenggelam termasuk juga benda langit 123 lainnya yitu bulan. Dengan tenggelamnya bulan, ini juga membuktikan bahwa jika Nabi Ibrahim as menuhankan bulan, ini pasti perbuatan yang sesat, makanya Nabi Ibrahim berkata pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat. Perkataan nabi Ibrahim as itu juga dapat dijadikan indikator bahwa diantara umat nabi Ibrahim as ada yang mempertuhankan bulan. Selain itu perkataan nabi Ibrahim as tersebut juga menunjukkan bahwa adanya Tuhan Yang Maha Esa yang dapat memberikan petunjuk yang layak untuk disembah. Selain itu juga menggambarkan proses pemikirannya sampai dengan menemukan Allah swt. Dalam Al-Qur‟an Allah swt berfirman yang artinya: Pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat, ucapan penolakan yang lebih tegas terhadap konsep penyembahan bintang dan bulan yang ada dilangit dari ayat-ayat yang di sampaikan yang lalu. Selanjutnya Nabi Ibrahim as menunjukkan ketidaksukaan akan kesesatan dan akan disampaikan yang lebih tegas lagi pada ayat selanjutnya. 5. Ayat 78 - 79 ٰ ‫آر ِبّ ۡى‬ ٰ ‫غةًٓلَال‬ َ ‫آرآَال‬ َ ‫از‬ ٓ‫ٓهذَ ۤآا َ ۡكبَ ُرٓۚٓفَلَ َم ۤآاَفَلَ ۡتٓلَالَٓ ٌٰمَ ۡو ِمٓاِ ِنّ ۡىٓبَ ِر ۡىٌٓ ِ ّم َما‬ َ َ‫َٓهذ‬ َ ‫فَلَ َم‬ ِ َ‫سٓب‬ َ ۡ‫شم‬ َٓٓ‫ت ُ ۡش ِر ُك ۡون‬ ۡ َ‫َآمن‬ َ َ‫ِىٓف‬ َٓۚٓ‫ٓال ُم ۡش ِر ِك ٌۡن‬ ِ ‫ضٓ َحنِ ٌۡفًآٓ َو َم ۤآاَن‬ ۡ ‫ىٓ ِللَذ‬ َ ‫ِٓو ۡاّلَ ۡر‬ َ ‫ط َرٓالسَمٰ ٰوت‬ َ ُ‫ٓوجَهۡ ت‬ َ ‫اِ ِنّ ۡى‬ َ ‫ٓو ۡج ِه‬ Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, "Inilah Tuhanku, ini lebih besar." Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, "Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan." Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. 124 Pada ayat diatas juga dijelaskan bahwa setelah nabi Ibrahim as, mengetahui bahwa bulan memiliki sinar lebih terang di bandingkan dengan bintang-bintang diangkasa lainnya termasuk manfaatnya sinar bulan yang dapat dirasakannya. Selanjutnya ketika sinar bulan juga tidak membuat puas, maka mereka mengarahkan penglihatannya kepada matahari. Selanjutnya tatkala dia melihat dengan matanya matahari terbit di waktu pagi, dia berkata: Inilah dia Tuhanku, yang disebabkan ini yang lebih besar dibandingkan dengan, bintang dan bulan yang telah dilihatnya dengan mata telanjang sebelumnya. Maka akan tetapi, tatkala ia, yaitu matahari itu telah terbenam, yakni sinarnya di kalahkan oleh gelapnya malam, dia menyimpulkan pada waktu melihat bulan dan bintang yang telah tenggelam dan dia berkata: Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari menyembah bintang, bulan, matahari dan apa saja yang kamu persekutukan dengan Tuhan Yang Maha atas segala-galanya, Tuhan Yang paling benar. sungguhnya aku menghadapkan wajahku, yaitu semua jiwa, raga dan totalitasku kepada Yang menciptakan langit dan bumi dengan semua yang ada didalamnya, yaitu semua benda yang ada di alam semesta ini seperti matahari, bintang dan bulan dan lain sebagainya. Nabi Ibrahim as menghadapkan wajahnya dalam keadaan hanifan yang bertujuan untuk kebenaran agama, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, yaitu tidak menganut apa yang telah diikuti oleh kaumnya bahkan oleh siapa pun yang mengakui dalam hati, atau perkataan atau tingkah lakunya bahwa ada yang memberikan kuasa atau pemberi pengaruh terhadap segala sesuatu kecuali yang berasal Allah swt. Terkait dengan kata hadza (ini) pada ayat diatas, para ulama mendeskripsikan digunakan untuk menunjuk sesuatu yang bersifat Mudzakar ( laki-laki) akan tetapi yang ditunjuk adalah 125 matahari yang kalau dalam kaidah bahasa arab dinamakan sebagai muannats (perempuan) sehingga kata yang seharusnya adalah hadzihi. Ada juga yang berbeodapat bahwa pada zaman nabi Ibrahim as secara umum mayarakat pada zaman itu tidak megenal istilah mudzakat dan muannats. Pendapat yang lain juga menyampaikan berbeda dengan pendapat sebelumnya yaitu menyakini bahwa matahari adalah mudzakar (laki-laki) yang berdampingan dengan Anunit yang diidentifikasikan dengan muannats (perempuan). Oleh karena itu nabi Ibrahim as menggunakan pentunjuk yang sesuai dengan kayakinan kaumnya. Diantara kedua pendapat diatas akan sulit diterima, karena jika kata tidak mengenal jenis laki-laki atau perempuan, ataupun bahwa keyakinan mereka tentang matahri seperti itu, akan tetapi pada ayat lain nabi Ibrahim as, menyebut matahari dengan istilah muannats (perempuan) (QS. Al-Baqarah 258). Maka secara umum pendapat ulama yang lain tentang menyatakan bahwa sesungguhnya nabi Ibrahim as tidak menggunakan kata tersebut untuk menunjuk pada laki-laki/perempuan akan tetapi bagaimana menunjukkan kepada umatnya bahwa, sejak mulai awal umat bagi nabi Ibrahim as dipahamkan bahwa segala sesuatu yang dipertuhankan atau disembah harus memiliki keagungan, kekeuatan dan kemuliaan sedangkan perempuan (Muannats) tidak demikinan. Pendapat yang disampaikan oleh Thabathab'ai dilihat datr tinjauan kebahasaan menyatakan bahwa dalam menyebut benda yang diidentifikasikan dengan laki-laki dapat di katakan mendekati kebenaran, maka biasanya jika kita menunjuk sesuai yang tidak jelas sosoknya apakah itu laki-laki atau perempuan, maka biasanya kita meyampaikan man hadza (siapa ini) dengan mengunakan kata yang menunjukan laki-laki. Nabi Ibrahim as tidak memahami 126 secara pasti tentang matahari, seperti pemahaman kita semua yang berkaitan tantang benda-benda di ruang angkasa ini. Semua penjelasan yang di sampaikan pada ayat ini dan sejenisnya merupakan penyampaian nabi Ibrahim as kepada orang tua dan kaumnya, yang berkaitan dengan ketauhidan dan menolah segala bentuk kesyirikan. Hal ini memberitahukan kepada kita bahwa nabi Ibrahim as dalam kehidupannya berbeda antara kaumnya dan dan lingkungan orang tuanya. Nabi Ibrahim as tidak memahami apa yang diketahui oleh kelompok masyarakat yang berkaitan dengan perincian bagian alam jagad ini serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Ketika nabi Ibrahim as diawal masa pertumbuhannya, hidup dalam lingkungan keluarga bersama orang tuanya yang meiliki banyak berhala-berhala. Berawal dari sini selanjutnya nabi Ibrahim as berdialog dengan bapaknya yaitu Azar, selanjutnya bersama kaumnya yang jelaskan komunikasinya pada ayat di atas. Penyebutan matahari oleh nabi Ibrahim as dengan menunjukkan kata lai-laki (Mudzakar), pada hal menurut kaidah yang umum penyebutan matahari dengan menggunakan perempuan (muannats). Sepetinya pendapat ini sangat logis karena sejalan dengan kaidah kebahasaan yang menyatakan bahwa kata hadza yang menunjuk kepada matahari yang dimaksud adalah bagimana bisa berfungsi sebagai tuhan. Maka Allah swt sangat tepat menunjuk kata tersebut adalah bahasa arab yang ada di AlQur‟an menggunakan cara demikian sebagai redaksi-redaksinya. 6. Ayat 80 ِٰ ٓ‫َاف ٓ َمآت ُ ۡش ِر ُك ۡونَ ٓبِ ۤه ٓا َ ِّۤل ٓا َ ۡن‬ ِ‫َو َحا َجهٗ ٓلَ ۡو ُمهٗ ؕٓ ٓلَا َل ٓاَت ُ َحا ُّجونِّ ۡى ٓف‬ ُ ‫ٓو َ ّۤل ٓاَخ‬ ِ ‫ٓولَ ۡد ٓه َٰد‬ َ ‫ىّٓللا‬ َ ٓؕ‫ىن‬ ۡ َ َٓ‫ٓر ِبّ ۡىٓ ُٓكلَٓش َۡىٌٓ ِعل ًماؕٓٓاَفَ ََلٓتَت َ َذك ُر ۡون‬ َ ََ ‫ٓو ِس‬ َ ٌَ ‫ٌَشَا‬ َ ٓؕٓ‫ٓر ِبّ ۡىٓش ٌَۡـًٔـا‬ 127 Dan kaumnya membantahnya. Dia (Ibrahim) berkata, "Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal Dia benar-benar telah memberi petunjuk kepadaku? Aku tidak takut kepada (malapetaka dari) apa yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali Tuhanku menghendaki sesuatu. Ilmu Tuhanku meliputi segala sesuatu. Tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran? Pada ayat ini juga dijelaskan bahwa perkataan nabi Ibrahim as tidak berkenan di hati para kaumnya, yang terkait dengan tidak boleh mempersekutukan Allah swt, sebagiaman yang banyak dilakukan oleh banyak orang pada masa itu. Dan karena segala bentuk penyembahan selain Allah di tolak oleh nabi Ibrahim as, dia dibantah oleh kaumnya, yaitu bahwa “ kesimpulannya apa yang di sampaikan nabi Ibrahim as menurut kaumnya salah. Kaum nabi Ibrahim as akan selalu menuruti jejak leluhurnya, dan apabila nabi Ibrahim tidan menyembah apa yang kaumnya sembah maka akan memperoleh siksa dan bencana” Jawaban penolakan dari kaumnya ini merupakan jawaban dari Nabi Ibrahim as. Dia berkata memberikan jawaban dan sambil mengecam dengan alasan Apakah kamu membantahku tentang Allah, Tuhan yang wajib keberadaan-Nya dan yang telah menciptakan semua alam semesta ini padahal sesungguhnya Dia yang Maha segala galanya itu telah memberi petunjuk kepadaku, yaitu memberikan petunjuk dan mengilhami nabi Ibrahim as berbagai jenis alasan yang berkaitan dengan kekuasaan dan keesaan-Nya. Maka Allah swt sudah sangat memberikan segalanya kepada nabi Ibrahim as sehingga nabi Ibrahim akan terus mengharapkan bantuan Allah swt dan takut kepada Dia yang Maha segala-galanya, dan aku saat ini, dan yang akan datang dan dalam keadaan seperti apapun tidak mengharapkan sedikit 128 pun, tidak juga dalam semua waktu takut kepada apa, yaitu segala bentuk sesembahan yang kamu persekutukan dengan Allah, dikarenakan mereka itu tidak kuasa untuk memberikan manfaat, mendatangkan kejelekan dan atau menampiknya kecuali jika Tuhanku yang telah merawat dan memberikan petunjuk kepada nabi Ibrahim as, didalam waktu-waktu tententu, keadaan menghendaki sesuatu kebian atau bencana kepada nabi Ibrahim as melalui segala bentuk sesembahan mereka itu. Pada waktu itulah nabi Ibrahim as merasa sangat takut, bukan kepada yang mereka sembah itu, tetapi kepada Allah swt. Hal seperti ini tidak aku samapikan kepada kalian karena aku ragu, akan tetapi diakibatkan sangat terbatasnya pengetahuanku, apalagi menyangkut masa depan. Aku mengembalikan hal itu kepada Allah swt Tuhanku, karena pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu baik di waktu kemarin, saat ini ataupun di masa yang akan datang. Maka apakah kamu tidak mengingat sehingga dengan mampu membedakan yang benar dan yang salah itu merupakan pelajaran yang bisa diambil. Selain itu juga kemampuan kita dalam memilah dan memilih sampai mana batas kemampuan makhluq dan pulas batas-batas dalam pengetahuan dan kekuasaan Allah swt? C. Instrumen Pembelajaran dalam Al-Qur’an Surat AlAhzab Ayat 21 ٰ ۡ ‫ٓو ۡالٌَ ۡو َم‬ ٓ‫ّٓللا‬ َٰٓ ‫ٓوذَك ََر‬ ‫سنَة ِٓلّ َم ۡن ٓ َكانَ ٌَٓ ۡر ُج‬ ُ ‫ٓر‬ ٰ ‫س ۡو ِل‬ َ ‫ّٓللآِا ُ ۡس َوة ٓ َح‬ َ ‫لَمَ ۡد ٓ َكانَ ٓلَ ُك ۡم ٓفِ ۡى‬ َ ‫ٓاّل ِخ َر‬ َ ‫وآّللا‬ َٰ ‫َكثِ ٌۡ ًرا‬ Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah. 129 Ayat yang turun sebelum turunnya QS. Al-Ahzab ayat 21 ini menjelaskan tentang kecaman Allah swt kepada kaum munafik yang imannya sangat lemah. Ayat ini ditujukan kepada orang yang beriman, dan selalu memuji kepada sikap nabi Muhammad saw dan berusaha untuk meneladaninya. Kata ‫ لَمَ ۡٓد‬yang mengawali ayat di atas dapat di pahami bahwa pada saat ayat ini turun banyak orang-orang yang mengaku memeluk Islam (munafik) akan tetapi dalam kesehariannya tidak mencermian nilai-nilai ajaran Islam padahal di tengah tengah mereka telah ada nabi Muhammad saw yang seharusnya dapat dijadikan teladan dalam berbagai aspek kehidupan. ٰ ۡ ‫ٓو ۡالٌَ ۡو َم‬ Kalimat ‫ٓاّل ِخ َٓر‬ َ ‫ّٓللا‬ َ ٰ ‫ ِلّ َم ۡن ٓ َكانَ ٌَٓ ۡر ُجوا‬menjelaskan bahwa orang yang selalu mengharap ridho Allah swt, Perlindungan hari kiamata, serta berdzikir kepada Allah swt dengan banyak merupakan indikator orang yang senantiasa meneladani Rosullulah Muhammad saw. Sedangkan kata ٓ‫ ا ُ ۡس َوة‬yang mempunyai arti teladan menurut pakar tafsir az-Zamakhsyari mentafsirkan bahwa ayat tersebut ada 2 (dua) kemungkinan, yang pertama bahwa kepribadian beliau nabi Muhamamd saw secara totalitas dapat dijadikan teladan, sedangkan yang kedua, dalam kepribadian beliau ada hal-hal yang pastas manjadi teladan. Dari kedua pendapat tersebut pilihan kedua merupakan pilihan banyak dari para ulama, dengan perimbangan kata ‫ى‬ ٓۡ ِ‫ ف‬dalam kalimat ٓ ‫فِ ۡى‬ ِٰٓ ‫س ۡو ِل‬ ‫ّٓللا‬ ُ ‫ َر‬dapat difungsikan sebagai mengangkat dari diri Rasullullah yang seharusnya bisa dijadikan teladan. Maka dalam hal ini yang di angkat adalah Muhammad saw maka secara totalitas dapat dijadikan teladan. Salah satu contoh dari sekian banyak teladan dari nabi Muhammad saw dapat dilihat dari pada saat terjadinya perang 130 Khandaq, seperti keterlibatannya beliau langsung dalam perang, menggali parit, membakar para pasukan dengan lagu-lagu perjuangan dan pujian kepada Allah saw dan juga suka-duka haus dahaga dirasakan bersama dengan seluruh pasukan dan para sahabat. D. Instrumen Pembelajaran dalam Al-Qur’an Surat AtTaubah Ayat 108 ٓ‫ٓر َجال‬ ّ ِ ُ ‫َّل ٓتَمُ ۡم ٓ ِف ٌۡ ِه ٓا َ َبدًآؕٓ ٓلَ َم ۡس ِجدٓ ٓا‬ ِ ‫علَىٓالت َ ۡم ٰو‬ َ ٓ‫س‬ ِ ‫ىٓم ۡن ٓا َ َو ِل ٌَٓ ۡوم ٓا َ َح ُّك ٓا َ ۡن ٓتَمُ ۡو َم ٓ ِف ٌۡ ِهؕٓ ٓ ِف ٌۡ ِه‬ َ ‫س‬ ۡ َ ‫ّللآٌ ُِحبُّ ٓال ُم‬ َ َ ‫ٌ ُِّحب ُّۡونَ ٓا َ ۡنٌَٓت‬ َٓ‫ط ِ ّه ِر ٌۡن‬ ُ ٰ ‫ٓو‬ َ ٓؕٓ‫ط َه ُر ۡوا‬ Janganlah engkau melaksanakan shalat dalam masjid itu selamalamanya. Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak hari pertama adalah lebih pantas engkau melaksanakan shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Allah menyukai orang-orang yang bersih. Pada ayat sebelumnya Allah swt mengungkapkan perbuatan orang munafiq (pura-pura masuk agama Islam) salah satunya contoh kongkritnya adalah membuat masjid. Masjid yang mereka buat dengan nama masjid Dhirar itu bukan untuk mendapat ridho Allah swt, akan tetapi difungsikan untuk menyambut kehadiran tokoh romawi yang memeluk agama Kristen yang berjanji akan ditokohkan. Pada Qur‟an Surat AtTaubah 108 ini Allah memuji masjid yang didirikan oleh Rasulnya Nya yaitu nabi Muhammad saw dan memuji orang-orang manjadi jamaahnya, dikarenakan menjadikan masjid itu (masjid Quba‟) sebagai sarana ketaqwaan kepada Allah swt dengan bersungguhsungguh untuk mensucikan diri baik jasmani ataupun rohani. 131 Ayat tersebut diawali dengan kalimat ‫ َّل ٓتَمُ ۡم ٓفِ ٌۡ ِٓه‬yang artinya janganlah engkau berdiri didalamnya yang mempunyai arti bahwa kehadiran nabi Muhammad saw di masjid tersebut oleh orang munafiq tidak dijadikan bukti bahwa masjid tersebit suci dan di restui nabi Muhammad swa. Maka ada 2 (dua) masjid yang dibangun secara berdekatan yaitu masjid Quba‟ dan masjid Dhirar yang saling berdekatan yang dibangun oleh orang orang munafiq, sehingga dampaknya umat yang beriman akan terpecah belah. Umat islam pada waktu itu diperkirakan yang akan sholat di masjid Dhirar akan lebih banyak karena dekat dengan rumahnya, akan tetapi Rasululah Muhmamd saw tidak sholat di masjid tersebut, tetapi sholat di masjid Quba‟. Hal ini membukitkan bahwa masjid Quba‟ tentu memiliki keistimewaan tersendiri di banding manjid Dhirar. Menurut Al Qurthubi bahwa Rasulullah juga tidak pernah jalan melalui jalan dimana masjid Dhirar berada, bahkan disampaikan untuk dijadikannya tempat di masjid tersebut sebagai pembuahan bangkai dan sampah. Sedangkan kalimat ٓ‫ىٓم ۡنٓا َ َو ِلٌَٓ ۡومٓا َ َح ُّكٓا َ ۡن‬ ّ ِ ُ ‫لَ َم ۡس ِجدٓا‬ ِ ‫علَىٓالت َ ۡم ٰو‬ َ ٓ‫س‬ َ ‫س‬ ٓؕ‫ تَمُ ۡو َم ٓفِ ٌۡ ِه‬mempunyai arti “sesugguhnya masjid yang di bangun atas dasar taqwa sejak hari pertama adalah lebuh pautut kamu berbdirididalamnya” ini dapat dipahami bahwa larangan sholat di masjid Dhirar itu bukan berarti dilarang sholat di waktu itu akan tetapi dianjurkan sholat di tempat lainnya yaitu di masjid Quba‟ atau masjid nabawi. Maka dengan demikian tidak ada alasan bagi orang munafiq ketika mereka diajak sholat tapi kemudian enggan untuk melaksanakannya. Selain itu sebenarya juga dipahami bahwa semua masjid itu patut untuk di jadikan sebagai sholat jamaah, akan tetapi salah satunya melebihi yang lain artinya di masjid Dhirar pun juga diperbolehkan tapi yang 132 diutamakan adalah di masjid Quba‟ yang juga di bangun pertama kali pada waktu di awal bulan ketika nabi Muhamamd saw hijrah ke Madinah. Ayat di atas juga menjelaskan bahwa jika menjadi jamaah masjid Quba‟ Rasululah juga bersabda “Siapa yang berwudhu dari rumahnya kemudian mengunjungi masjid Quba‟ dan shalat dua rakaat di masjid itu, maka Allah swt. menganugerahkan kepadanya ganjaran umrah.” Sedangkan pada ayat di atas yang artinya “dan Allah menyukai orang-orang yang menyucikan diri” ini juga dapat dipahami bahwa yang dimaksud suci adalah suci lahir bebas dari segala kotoran dan najis diri pribadi, sedangkan secara umum kebersihan di masjid-masjid sebagai kebersihan secara umum jamaahnya. Sedangkan kesucian batin dapat diartikan sebagai suci dalam pelanggaran hukum-hukum allah swt yang menyebabkan dosa. (Shihab, 2002) Referensi Idrus, L. (2019). Evaluasi dalam Proses Pembelajaran. Adaara : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 920-935. Rahmi, D. (2023). Strategi Dakwah Terhadap Fenomena Fatherless Dalam Rumah Tangga : Studi Terhadap Kisah Nabi Ibrahim Perspektif Al-Qur'an. Jurnal Kajian Pendidikan Islam, 144-167. Rosi, F., & Faliyandra, F. (2021). Urgensi Pembelajaran Al-Qur'an Bagi Siswa Ibtidaiyah . Auladuna : Jurnal Pendidikan Guru Madrasan Ibtdaiyah, 36-53. Shihab, M. (2002). Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian alQur'an. Tangerang: Lentera Hati. Sihombing, Y. Y. (2021). Upaya Peningkatan Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Melalui Penggunaan Media Audio Visual dalam Pembelajaran 133 Daring pada Siswa. JRTI (Jurnal Riset Tindakan Indonesia), 187-211. 134 BAB 9 PESERTA DIDIK DAN PENDIDIK DALAM ALQUR’AN Oleh: Andi Abd. Muis A. Pendahuluan Agama Islam mengajarkan kepada umatnya agar menutut ilmu sebagai bekal dalam menghadapi masalah kehidupan dan juga dengan keberdaan Ajaran Agama Islam untuk membimbing umatnya agar berakhlak mulia serta berilmu pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap manusia kapan dan di mana saja berada, karena ilmu merupakan penyelamat di dunia dan bekal di akhirat kelak. Al-Qur'an dan hadits sebagai pedoman hidup manusia mengatur kehidupan dari berbagai aspek mulai dari aspek sosial, ekonomi, ibadah, pendidikan dan lain sebagainya. Dalam aspek pendidikan Al-Qur'an dan Hadits menegaskan mulai dari pentingnya menuntut ilmu, tujuan pendidikan, metode pengajaran sampai dengan pentingnya seorang peserta didik dan pendidik dalam dunia pendidikan. Karena pendidikan merupakan bimbingan yang dilakukan oleh semua orang kepada terdidik dalam masa pertumbuhan agar ia memiliki keperibadian yang Islami. Jika manusia belum memiliki ilmu, dalam Islam dianjurkan untuk bertanya kepada mereka yang memiliki ilmu tersebut. Allah berfirman dalam surat an-Nahl ayat 43: ۡ َ‫ ِٓ ۡ ۖۡى ف‬ٛۡ َ‫ إِن‬ٙ ‫طَٔٔ نُ ٕٓاْ أ َ ْۡ َم ٱنرّ ِۡك ِس إٌِ ُكُز ُ ۡى َال‬ ِ َُّ ‫ظ ۡهَُب ِيٍ قَ ۡجهِكَ إِ هال ِز َج ابال‬ َ ‫َٔ َيب ٓ أ َ ۡز‬ ٓ ‫ٕح‬ ٖٗ ًٌَُٕ َ‫ر َؼۡ ه‬ Terjemahnya: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orangorang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka 135 bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. Ayat tersebut memberikan gambaran, bahwa tak ada satu orangpun yang berhak menghentikan atau melarang seseorang dalam mencari ilmu. Setiap individu berhak mendapatkan pendidikan dan tak ada kata akhir dari suatu proses belajar. Berdasarkan alasan dan ajaran agama Islam tersebut, para ahli pendidikan Islam sejak dahulu hingga sekarang secara serius melaksanakan proses pendidikan dalam upaya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Menurut Aminuddin Rasyad yang dikutip Ahmad Tafsir, bahwa Islam menginginkan manusia individu (guru dan peserta didik) dan masyarakat menjadi orangorang yang berpendidikan. Berpendidikan berarti berilmu, berketerampilan, berakhlak mulia, berkepribadian luhur, pandai bermasyarakat dan bekerjasama untuk mengelola bumi dan alam beserta isinya untuk kesejahteraan umat di dunia dan akhirat serta dekat dengan Khalik-nya. (Ahmad Tafsir 1996) B. Peserta Didik dalam Perspektif Al-Qur’an Peserta didik adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun psikis untuk mencapai tujuan pendidikan melalui lembaga pendidikan. Ini menunjukan bahwa peserta didik itu anak yang belum dewasa yang memerlukan orang lain (pendidik orang dewasa). Peserta didik adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun psikis untuk mencapai tujuan pendidikan melalui lembaga pendidikan. Ini menunjukan bahwa peserta didik itu anak yang belum dewasa yang memerlukan orang lain (pendidik orang dewasa) untuk menjadi dewasa. peserta didik yang bervariasi tersebut menegaskan bahwa peserta didik itu orang 136 yang sedang mengalami dan menerima proses pendidikan. Dilihat dari segi kedudukannya, peserta didik itu makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya, yang memerlukan bimbingan dan pengarahan kearah titik optimal kemampuan fitrahnya (M. Arifin, 1991: 177). Ayat Al-Qur‟an tentang Peserta Didik a. Dalam Q.S. At-Taubah Ayat 122 bahwa: َ ‫َُ ِف ُسٔاْ َكبٓفه اۚخ فَهَ ٕۡ َال ََف ََس ِيٍ ُك ِّم فِ ۡسقَ ٖخ ِ ّي ُۡ ُٓ ۡى‬ٛ‫۞ٔ َيب َكبٌَ ۡٱن ًُ ۡؤ ِيٌَُُٕ ِن‬ ِٙ‫َزَفَقه ُٕٓاْ ف‬ّٛ‫َخ ِن‬ٞ ‫غبٓئِف‬ َ ‫ه‬ ْ ْ َ َ َ َ ۡ َ ۡ ٕٕٔ ٌَٔ‫َحر ُز‬ٚ ‫ ِٓ ۡى نؼَه ُٓ ۡى‬ٛ‫ُُر ُِزٔا ق ٕۡ َي ُٓ ۡى إِذا َز َجؼُ ٕٓا إِن‬ٛ‫ٍ َٔ ِن‬ِٚ ِ ّ‫ٱند‬ Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang) mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” Ayat ini menggaris bawahi pentingnya memperdalam ilmu dan menyebarluaskan informasi yang benar. Ia tidak kurang penting dari upaya mempertahankan wilayah. Bahkan, pertahanan wilayah berkaitan erat dengan kemampuan informasi serta kehandalan ilmu pengetahuan atau sumber daya manusia. Sementara ulama menggarisbawahi persamaan redaksi anjuran/perintah menyangkut kedua hal tersebut. ketika berbicara tentang perang, redaksi ayat 120 dimulai dengan menggunakan istilah (maa Kana). Demikian juga ayat ini yang berbicara tentang pentingnya memperdalam ilmu dan penyebaran informasi (Quraish Shihab, 2005: 749- 751) Q.S. AlBaqarah Ayat 132. 137 Tanggung jawab keluarga dalam membina keberagamaan anak, baik tanggung jawab pendidikan dan pembinaan akhlak merupakan hal yang sangat penting. Maksud tanggung jawab pendidikan dan pembinaan akidah adalah mengikat anak dengan dasar-dasar keimanan dan keislaman sejak anak mulai memahami sesuatu. Penanaman akidah ini telah dicontohakan oleh para nabi terdahulu. Sebagaimana Allah berfirman SWT dalam surat AlBaqarah ayat 132 yang berbunyi : َ ۡ‫ٱَّللَ ٱص‬ ‫ إِ هٌ ه‬ٙ ‫ٍَ فَ َال ر َ ًُٕر ُ هٍ ِإ هال َٔأََزُى‬ِّٚ‫طف ََٰٗ نَ ُك ُى ٱند‬ ُ ُ‫َؼۡ ق‬َٚٔ ِّ َُِٛ‫ص َٰٗ ثِ َٓب ٓ إِ ۡث َٰ َس ِِٔ ُو ث‬ ‫َٔ َٔ ه‬ ‫َجَُِ ه‬َٰٚ ‫ٕة‬ ٖٕٔ ًٌَُٕ ‫ُّي ۡع ِه‬ Terjemahnya: Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anakanaknya. Demikian pula Ya‟kub. (Ibrahim berkata); Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati, kecuali dalam memeluk agama Islam”. Adapun maksud tanggung jawab pendidikan dan pembinaan akhlak adalah pendidikan dan pembinaan mengenai dasar-dasar moral dan keutamaan tabiat yang harus dimiliki anak sejak anak masih kecil bahkan sejak saat masih di dalam kandungan hingga ia lahir dan tumbuh dewasa atau mukallaf (Mahmud, dkk, 2013: 136). Berkaitan dengan fungsi keagamaan keluarga, Al-Qur‟an berpandangan bahwa keluarga merupakan sarana utama dan pertama dalam mendidik serta menanamkan pemahaman dan pengalaman keagamaan (Amirullah Syabrani, 2014: 30). Bertujuannya tidak sekedar untuk mengetahui kaidah kaagamaan saja, melainkan agar si anak tidak hanya mampu menjadi insan yang beragama tetapi sadar akan kedudukannya sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang dilimpahi nikmat tiada henti sehingga memiliki kesadaran untuk mengisi dan mengarahkan hidupnya untuk mengabdi kepada Allah, menuju 138 ridha Allah SWT. Anak yang baik dan saleh merupakan harapan semua orang tua, anak yang baik dan shaleh terbentuk karena adanya perhatian orang tua terhadap pendidikan akidah dan akhlaknya serta pola asuh yang benar dalam Islam. Karena menjadikan anak didik baik dan saleh tidak ada yang tumbuh secara instan butuh proses dan pembiasan. b. Q.S Al-Kahfi Ayat 60 ٓ َ ُّ‫ظ َٰٗ ِنفَز ََٰى‬ ٙٓ ‫ ُحقُجا ب‬ٙ ِ ‫ ٍِ أ َ ۡٔ أ َ ۡي‬ٚۡ ‫ال أ َ ۡث َس ُح َحز ه َٰ ٓٗ أ َ ۡثهُ َغ َي ۡج ًَ َغ ۡٱنجَ ۡح َس‬ َ ٕ‫َٔإِ ۡذ قَب َل ُي‬ َ ‫ع‬ Terjemahnya: "Dan (ingatlah) ketika musa berkata kepada muridnya : "aku tidak akan berjalan (berhenti) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan, atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun". Nabi Musa pada ayat di atas nampak memiliki semangat yang tinggi untuk terus menerus belajar walaupun dia telah menjadi seorang guru. Ini menunjukkan bahwa salah satu karakteristik yang harus dimiliki akan murid adalah semangat untuk belajar. Al-Qur'an memberikan gambaran dengan beberapa kisahnya tentang karakter murid. Murid yang idela hendaknya memiliki karakter sebagai berikut : 1) Anak didik hendaknya mempunyai niat yang suci dalam hatinya sehingga mudah mencerna dan memahami pelajaran. 2) Seorang anak didik haruslah memiliki motivasi yang tinggi untuk menggali dan memahami suatu ilmu. 3) Anak didik harus tekun, dengan memperhatikan pelajaran secara serius. 4) Patuh dan hormat terhadap guru 5) Hendaklah bermusyawarah dalam menghadapi permasalahan yang sulit ketika menuntut ilmu. Apabila pendidikan tidak ada, maka kemungkinan besar anak-anak akan berkembang kearah yang tidak baik/buruk, seperti tidak 139 mengakui Tuhan, budi pekertinya rendah, bodoh dan malas bekerja. c. Q.S. Annisa ayat 170 dinyatakan sebagi berikut: ْ‫ اسا نه ُك ۡۚى َٔ ِإٌ ر َۡكفُ ُسٔا‬َٛۡ ‫فَٔٔ ِايُُٕاْ خ‬ ُ ‫ٱنس‬ ‫بض قَ ۡد َجب ٓ َء ُك ُى ه‬ ُ ‫ُّ َٓب ٱنُه‬َٚ‫َٓؤ‬َٰٚ َ ‫ق ِيٍ هز ِثّ ُك ۡى‬ ِ ّ ‫ظٕ ُل ِث ۡٱن َح‬ ۚ ِ ‫د َٔ ۡٱأل َ ۡز‬ ‫ض َٔ َكبٌَ ه‬ ٔ٧ٓ ‫ًب‬ٛ‫ ًًب َح ِك ا‬ٛ‫ػ ِه‬ ِ َٕ َٰ ًَ َٰ ‫ع‬ ‫ ٱن ه‬ِٙ‫فَئِ هٌ ِ هَّللِ َيب ف‬ َ ُ‫ٱَّلل‬ Terjemahnya: “Wahai manusia, Sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, Maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Ayat tersebut menyerukan manusia beriman kepada Rasulullah Saw. yang diutus Allah. Mereka membawa kebenaran sebagai misi Allah. Keimanan dan pembangkangan manusia terhadap Rasul Allah dan misi yang dibawanya berdampak pada manusia. Allah tidak membutuhkan iman manusia karena yang ada di dunia ini miliknya. Perbuatan-Nya mengutus rasul dan menyuruh manusia beriman merupakan kebijaksanaan-Nya sebagai rasa kasih sayangNya terhadap manusia. Allah mengutus para nabi dan rasul sebagai pendidik manusia bertugas menyampaikan kabar baik dan buruk (QS. Al-Baqarah ayat 119). Upaya meraih tujuan pendidikan tersebut harus didukung oleh para peserta didik dengan memiliki kepercayaan kepada pendidik. Seorang peserta didik tidak mungkin dapat belajar dengan baik jika tidak meyakini yang disampaikan pendidiknya. Para sahabat Nabi Saw. meyakini denga benar yang disampaikan beliau sehingga mereka berhasil mencapai tujuan pendidikan, baik kognitif, afektif dan psikomotorik. Ini berarti kepercayaan peserta 140 didik terhadap pendidikmerupakan tonggak utama keberhasilan aktivitas pembelajaran dan pendidikan. Kepercayaan ini akan mengukuhkan penghormatan peserta didik kepada pendidiknya dan muncullah cinta kepada pendidik. Dalam konteks membangun kepercayaan ini, pendidik pun perlu menampilkan performa dalam penguasaan materi, kemampuannya dalam menyajikan materi, sikap serta interaksi sosialnya yang baik dengan masyarakat, sekolah dan masyarakat lain nya (M. Karman, 2018: 166-167). ٓ C. Pendidik dalam perspektif Al-Qur’an Menurut Al-Qur‟an ada empat subjek pendidik yaitu 1) Allah Swt; 2) Rasulullah Saw; 3) Orang Tua; 4) Guru. (Nata 1997). Empat subjek pendidik di uraikan sebagi berikut: 1. Allah SWT sebagai Pendidik Al-Quran telah menjelaskan kedudukan Allah Swt sebagai pendidik di dalam banyak ayat, di antaranya pada surah AlFatihah 1:2 yang artinya “segala puji bagi Allah Rabb (pendidik) seluruh alam” sementara dalam surah Al-Nahl [16]: 89 berbunyi “Dan kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. Dan surah AlRahman [55]: 1-4 berbunyi “Tuhan yang maha pemurah, yang telah mengajarkan Al-Quran, dan Dia menciptakan manusia, yang mengajarkannya pandai berbicara”. Berdasarkan ketiga ayat di atas, dapat dipahami bahwa Allah sebagai pendidik bagi manusia dan alam beserta isinya. Sebagai pendidik bagi manusia, Allah memberikan bimbingan kepada manusia secara tidak langsung. Dalam hal ini, Ia mendidik manusia melalui Jibril dengan cara menyampaikan wahyu kepada Nabi Saw untuk disampaikan pula 141 kepada umatnya. Sedangkan sebagai segala puji bagi Allah Rabb (pendidik) seluruh alam pendidik bagi alam semesta, Allah mendidik segala sesuatu yang ada di langit dan bumi yang mencakup seluruh penciptaan dan kekuasaan-Nya. 2. Rasulullah Saw sebagai Pendidik Kedudukan Rasulullah sebagai pendidik ditunjuk secara langsung oleh Allah melalui perantara malaikat Jibril sebagai teladan bagi seluruh umat manusia di muka bumi. Hal itu sangat jelas tergambar dalam sebuah Hadits diriwayatkan oleh Ahmad yang berbunyi “sesungguhnya aku diutus kepada manusia hanyalah untuk menyempurnakan akhlak”. Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah dikenal sebagai manusia yang berakhlak mulia dalam potret kehidupannya. Sebagai pendidik, ia telah sukses dalam membina generasigenerasi Islam. 3. Orang Tua sebagai Pendidik Sebagai pendidik, orang tua adalah pembimbing di lingkungan keluarga. Orang tua merupakan madrasah pertama bagi pendidikan anak, di mana masa awal kehidupan anak berada ditengah-tengah kedua orang tua yaitu ayah dan ibu. Sebagaimana diungkap oleh Drost, orang tualah yang mengajarkan kepada anak pengetahuan tentang Allah, pengalaman tentang pergaulan manusiawi, dan kewajiban mengembangkan tanggung jawab terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain (Drost, 1998). Sebelum Drost seperti itu, Al-Quran telah menceritakan bagaimana sosok orang tua dalam memberikan pendidikan kepada anaknya, antara lain terdapat dalam surah al-Luqman [31]: 13 yang berbunyi: “Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, karena perbuatan itu merupakan kedzaliman yang amat besar”. Ayat ini menurut Quraish Shihab bahwa sosok Luqman yang 142 digambarkan sebagai orang tua mempunyai peran penting dalam mendidik anaknya dengan memberikan nasihat-nasihat yang mencakup pokok agama, yaitu akidah (Shihab, 1994) Dengan demikian, secara tidak langsung proses pendidikan yang diberikan orang tua pertama kali adalah tentang akidah. Dalam Islam, orang tua merupakan orang yang sangat bertanggung jawab terhadap pendidikan bagi seorang anak. Tanggung jawab tersebut dikarenakan kedua orang tua memiliki hubungan darah dan ikatan kuat terhadap anak yang meliputi dua hal, yaitu: pertama karena kodratnya sebagai orang tua telah ditakdirkan oleh Allah untuk mendidik dan membimbing serta bertanggung jawab bagi kelangsungan hidup anak dari kecil hingga menuju kedewasaan. Kedua karena kepentingan orang tua adalah untuk menjamin kemajuan perkembangan anaknya. Kesuksesan yang dicapai oleh anak sangat tergantung dari peran orang tua dalam mengasuh dan memberikan pendidikan yang terbaik dalam lingkungan keluarga (Tafsir, 1992). Oleh karena itu, melihat perannya sangat penting dalam menjadikan anak lebih baik, ditambah lagi tanggung jawab yang begitu YF besar,maka orang tua hendaknya mampu dengan sekuat tenaga dalam mendidik agar kelak anaknya tidak terjerumus ke dalam api neraka, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S Al Tahrim [66]: 6 yang berbunyi “Wahai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. Ayat ini secara eksplisit sangat jelas memberikan perintah kepada orang tua untuk selalu mengingatkan anaknya agar selalu berbuat baik dan menjauhkan dari segala yang menjerumuskan diri ke dalam perbuatan dosa. Ia juga diberikan tanggung jawab besar untuk mendidik anaknya agar tidak tersesat ke jalan sesat yang pada akhirnya menjadikan ia terjerumus ke dalam api neraka. 143 4. Guru sebagai Pendidik Kedudukan seorang guru sebagai pendidik dalam Islam sangat istimewa dan mulia, selain sebagai Transfer of Knowledge. Seorang guru juga tidak bisa dilepaskan dari kewajiban seseorang menuntut ilmu, sebab proses menuntut ilmu tidak lepas dari bimbingan seorang guru. Tanpa guru, seseorang sulit memperoleh ilmu yang baik dan benar. Dalam mengajar dan memberikan bimbingan kepada anak didik, guru dituntut untuk serba bisa dan tahu serta mampu mentransfer pengetahuan kepada anak didiknya sesuai dengan perkembangan potensi yang dimiliki. Sebagaimana tergambar dalam Al-Quran dalam surah AlKahfi [18]: 66-67 yang berbunyi “Musa berkata kepadanya, bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu untuk menjadi petunjuk. Dia menjawab, sungguh engkau (Musa) tidak sanggup bersamaku”. Ayat ini berkenaan tentang sosok Khidir sebagai pendidik bagi nabi Musa dalam mengajar dan memberi pemahaman yang tidak diketahui oleh Musa (al-Maraghi, 1989). Sebelum mengajarkan ilmu kepada muridnya, tentu Nabi Khidir telah dibekali ilmu yang banyak oleh Allah. Bahkan, Khidir menduga bahwa Musa sebagai muridnya tidak akan sanggup dalam mengikutinya untuk bersabar, karena pada awalnya ia tidak memiliki ilmu. D. Predikat Pendidik Menurut Pendidikan Islam Pendidik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai orang yang profesinya sebagai pengajar (Redaksi, 2005). Istilah ini maknanya sangat luas, mengajar apa saja dapat dikatakan sebagai pendidik baik sebagai guru ngaji, guru silat, maupun guru olahraga. Di dunia pendidikan, umumnya sebutan 144 seorang pendidik identik dengan sebuah jabatan yang disandangnya di sebuah lembaga pendidikan. Sehingga banyak yang mengatakan bahwa pendidik sangat identik dengan guru (Muhadjir, 2000). Tetapi, penyebutan gelar pendidik tidak hanya untuk orang yang memberikan pengetahuan di sebuah lembaga secara formal, tetapi di luar itu dapat dikatakan sebagai pendidik, jika ia memberikan sebuah pengetahuan kepada. E. Peran Pendidik Peran merupakan konsep yang tidak bisa dilepaskan dari sebuah status, kedudukan, dan posisi seseorang. Veitzhal Rivai berpendapat bahwa peran adalah suatu bentuk perilaku yang diatur dan diharapkan dari seseorang dalam posisi tertentu (Rivai, 2004) Dalam dunia pendidikan, seorang pendidik tentu memiliki peran sesuai dengan kedudukan atau posisinya. Menurut Syaiful Akhyar, secara garis besar seorang pendidik mempunyai peran sebagai ukuran kognitif, agen moral, inovator, dan kooperatif (Lubis, 2006). Lubis, S. A. (2006). Dasar-Dasar Kependidikan. Bandung: Cita Pustaka Media Peran tersebut sebagaimana dijabarkan berikut: 1. Pendidik sebagai ukuran kognitif, pendidik berperan dalam mewariskan pengetahuan kepada peserta didik yang berupa keterampilan yang sesuai dengan ukuran kemampuan yang dimiliki. 2. Pendidik sebagai agen moral, pendidik berperan dalam upaya mendidik warga masyarakat agar bisa membaca dan menulis, pandai berhitung, dan mampu melakukan keterampilan kognitif lainnya. 3. Pendidik sebagai inovator, pendidik harus mampu berperan dalam melakukan inovasi-inovasi baru di dunia pendidikan. 145 4. Pendidik sebagai kooperatif, pendidik harus melaksanakan tugasnya secara bekerja sama antara para pendidik satu dengan lainnya. Dengan demikian, sebagai pendidik ia harus mampu melaksanakan seluruh tugas yang berkaitan dengan kewajibannya baik dalam mengembangkan kognitif, mendidik masyarakat menjadi terampil, melakukan inovasi baru, maupun melakukan tugas secara bersama-sama. Jika ditinjau dari pendidikan Islam, maka peran pendidik adalah sebagai bapak rohani atau bapak spiritual dalam rangka memberikan santapan jiwa (rohani) dengan ilmu dan pendidikan akhlak kepada peserta didik serta mampu memperbaiki tingkah laku yang ada (Suyudi, 2014).. Peran ini bertujuan agar pendidik menjalankan fungsinya dalam mentransfer ilmu pengetahuan dan mentransformasi nilai-nilai atau norma-norma yang ada sehingga terciptalah pribadi yang baik. F. Syarat dan Sifat Pendidik Mengingat tugas dan tanggung jawabnya yang sangat berat dalam Islam, tentu tidak semua orang bisa menjadi seorang pendidik yang baik. Mereka harus dibekali dan wajib memenuhi persyaratan yang ada. Syarat tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Al-Kanani yaitu: a) pendidik harus insaf dengan peringatan Allah terhadap segala perkataan, perbuatan yang menjadi amanah harus dipegang olehnya. b) pendidik hendaknya memelihara kemuliaan peserta didik. c) pendidik harus bersifat zuhud. d) tidak berorientasi duniawi dengan menjadikan ilmu sebagai alat mencapai kedudukan atas orang lain. e) pendidik harus menjauhi mata pencaharian yang hina dalam pandangan syara‟ dan sesuatu yang mendatangkan fitnah terhadap dirinya. f) pendidik 146 hendaknya memelihara syiar-syiar Islam. g) pendidik hendaknya rajin dalam melakukan kegiatan yang disunahkan oleh agama baik dalam lisan maupun perbuatan. h) pendidik harus memelihara akhlak yang berupa memuliakan pergaulannya dengan orang lain. i) pendidik hendaknya mengisi waktu luangnya dengan hal yang bermanfaat. j) hendaknya sebagai pendidik harus selalu belajar dan tidak merasa malu untuk menerima ilmu dari orang yang rendah darinya. k) pendidik hendaknya rajin meneliti, menyusun, dan mengarang dengan memperhatikan keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan (Ramayulis, 2005). Tugas dan Hak Pendidik Para ahli pendidikan Islam dan Barat sepakat bahwa tugas seorang pendidik adalah mendidik. Mendidik tidak hanya sebatas mengajar, memberi dorongan, memuji, menghukum, memberi teladan, membiasakan dan lain sebagainya. Akan tetapi, mendidik mencakup seluruh tugas yang amat luas (H. H. Ihsan & Ihsan, 2001). Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas menyatakan bahwa tugas pendidik adalah sebagai perencana, pelaksana proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, pelatihan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Depdiknas, 2009). Melalui Undang-Undang tersebut, penulis berupaya menjabarkan bahwa tugas pendidikan antara lain: a) organisator; sebagai pengelola dan perencana seluruh aktivitas pembelajaran seperti penyusunan seperangkat pembelajaran, b) Instruktur; mampu menyampaikan pembelajaran kepada peserta didik di dalam kelas, c) evaluator; melakukan evaluasi hasil pembelajaran yang ada pada peserta didik dalam kesehariannya, dan d) Inspirator; senantiasa memberikan masukan atau ide maupun arahan dalam menyelesaikan problem pembelajaran. 147 Buya Hamka diikuti oleh Dzakiah Drajat mengatakan bahwa tugas pendidik utamanya adalah membantu, mengembangkan kemampuan peserta didik untuk mendapatkan pengetahuan yang luas dilandasi akhlak mulia, dan menjaga komunikasi dengan peserta didik (Ramayulis & Nizar, 2010). Sementara di dalam Al-Quran telah dijelaskan tugas seorang pendidik sebagaimana tergambar dalam surah Ali Imran [3]: 79. Dalam ayat tersebut diisyaratkan bahwa tugas terpenting Rasulullah sebagai pendidik adalah mengajarkan al-Kitab, hikmah dan penyucian diri sebagaimana telah diperintahkan oleh Allah sehingga menjadi tuntunan dan pedoman bagi manusia dalam menjalankan kehidupan di dunia dan akhirat. Tugas pendidik sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran di atas hanya berlaku bagi Rasulullah, karena ia menerima wahyu dalam mengajarkan Al-Kitab kepada umatnya. Sementara itu, jika ditinjau dari pendidikan Islam, maka tugas pendidik yaitu: a) membimbing dan mengenal orang yang dididik tentang pribadi, kebutuhan, kesanggupan, bakat, dan minatnya. b) menciptakan situasi dan keadaan agar tindakan pendidikan dapat berlangsung dengan baik, dan mendapatkan hasil yang memuaskan. c) dan memiliki pengetahuan yang diperlukan, pengetahuan tersebut tidak hanya diketahui, tetapi diamalkan dan diyakini sendiri (Ramayulis & Nizar, 2010). Sehingga seorang pendidik berhasil dalam melaksanakan tugasnya bila telah mampu menjalankan ketiga tugas tersebut secara maksimal. Referensi Al-Maraghi, A. M. 1989. Tafsir Al-Maraghi. Bairut: Dar al-Fiqh. 148 Ahmad Tafsir, Epistemologi Untuk Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 1996. Depdiknas. 2009. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas. Budiman dkk, Karakteristik Peserta Didik Ideal Dalam Perspektif AlQur‟an Dan Hadist, Jurnal Pendidikan Islam Vol. 3 No. 1 Juni 2021. Drost, J.I.G.M. 2008. Sekolah: Mengajar atau Mendidik? Yogyakarta: Kanasius M. Arifin. 1991. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Mamma, A., & Abd Muis, A. (2015). Khianat dalam Al-Qur‟ an. Shihab, M. Quraish. 2005. Tafsir Al-Misbah, Cet. III. Jakarta: Lentera Hati. Nata, Abudin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam I (1st ed.). Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Shihab, M. Q. 1994. Studi Kritis Tafsir Al-Manar. Bandung: Pustaka Hidayah.. Tafsir, A. 1992. Ilmu pendidikan dalam perspektif Islam. Remaja Rosdakarya. Tim Redaksi. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Muhajir, A. 2000. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Ramayulis. 2005. Metodologi Pendidikan Agama. Jakarta: Kalam Mulia. Ihsan, A. H., & Ihsan, F. 2001. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia. Ramayulis, & Nizar. 2010. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia 149 Suyudi, M. 2014. Filsafat Pendidikan Islam: Kajian filosofis dan pemikiran pendidikan Islam. 150 BIOGRAFI PENULIS Dr. Nasarudin, S.Pd.I., M.Pd. (Nasarudin Olah Saun) lahir di Lombok Timur tahun 1977, Dosen Pendidikan Bahasa Arab Universitas Muhammadiyah Mataram semenjak tahun 2010. Pendidikan: S1 di IAIN Mataram tahun 2001-2005 dengan meraih gelar S.Pd.I., S2 di UIN Malang tahun 2006-2008 meraih gelar M.Pd., dan S3 di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang tahun 2015-2018 meraih gelar Doktor dalam bidang pendidikan Bahasa Arab. Pelatihan: Daurah dosen bahasa Arab di Universitas Ummul Qura Mekah Saudi Arabia tahun 2013. Pernah mendapatkan hibah penelitian Kementrian Agama RI tahun 2013. Penulis beberapa buku: 1) Pendidikan Karakter Dalam Hadis Nabawi Perspektif Semantik & Pragmatik tahun 2018, 2) Kurikulum Pembelajaran Bahasa Arab (Implementasi Menuju Mutu) tahun 2022, 3)Manajemen Pembelajaran Bahasa Arab tahun 2023, 4) book chapter Evaluasi Implementasi Kurikulum, 2023. 5) Bookchapter Teknik Pengumpulan Data, 2023. 6) Bookchapter Implementasi Kurikulum, 2023. 7) Bookchapter Evaluasi Pembelajaran, 2023. 8) Bookchapter Pengantar Metode Studi Kasus. Dan Editor Buku Chapter Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab tahun 2023. Publish tiga artikel ilmiah pada jurnal terindeks sinta 2 tahun 2018, 2022, 2023. Dan publis jurnal Scopus Q2 tahun 2022 dengan ID Scopus 58180133100 & ID ORCID 0009-0003-2632-3991 151 BIOGRAFI PENULIS Dr. Ahmad Deski, S.S.I., MA lahir di Seberang Parit Kenagarian Koto Tangah Batu Ampa Kec. Akabiluru Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat pada tanggal 19 Mei 1982. Penulis menempuh Pendidikan Dasar di tanah kelahiran Seberang Parit. Kemudian melanjutkan pendidikan ke Madrasah Tsanawiyah Negeri Payakumbuh dan MAN 2 Payakumbuh. Tahun 2000 penulis melanjutkan studi ke Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Jakarta dan berkesempatan juga menempuh Pendidikan di LIPIA Jakarta pada program persiapan Bahasa Arab (i’dad lughawi). Tahun 2005 penulis melanjutkan studi di program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang pada konsentrasi Tafsir Hadis. Tahun 2020, penulis berkesempatan Kembali melanjutkan studi untuk Program Doktoral di UIN Imam Bonjol Padang pada konsentrasi Hukum Islam, Insya Allah akhir bulan September tahun 2023 ini, akan mengikuti ujian terbuka dan akan dipromosikan sebagai Doktor Hukum Islam. Pada tahun 2010, penulis mengabdi sebagai dosen tetap di Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Qur’an Payakumbuh atau yang lebih dikenal dengan sebutan STAIDA Payakumbuh. Pada tahun 2014 akhir, penulis dipercaya sebagai Ketua STAIDA Payakumbuh sampai sekarang. Korespondensi : Email : ahmaddeski2@gmail.com HP : 085274425057 152 BIOGRAFI PENULIS Zulfahmi Syahri, S.Pd.I, MA, berkarir sebagi dosen tidak tetap pada Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) YPPTI Balai Selasa Kabupaten Pesisir Selatan dari tahun 2015 sampai 2017. Kemudian melanjutkan mengajar sebagai Dosen Tetap pada Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) YPI Al-Ikhlas Painan Kabupaten Pesisir Selatan semenjak tahun 2016 sampai sekarang. Terlahir dari pasangan Ayah bernama Syahruddin dan Ibu Bernama Yusbarni, S.Pd.SD, pada tanggal 11 Juni 1987 di Padang Panjang, Kabupaten Pesisir Selatan Propinsi Sumatera Barat. Riwayat Pendidikan dimulai dari Sekolah Dasar yaitu: Sekolah Dasar Negeri Nomor 25 Padang Panjang, Kecamatan Lengayang Kabupaten Pesisir Selatan Propinsi Sumatera Barat, kemudian melanjutkan ke jenjang setara dengan SMP/Mts dan SMA/MA pada Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung, Ampek Angkek Canduang, Kabupaten Agam. Selanjutnya melanjutkan studi S.1 di IAIN Imam Bonjol Padang, Pada Fakultas Tarbiyah dengan Jurusan Pendidikan Bahasa Arab dan melanjutkan Program Studi S.2 di IAIN Imam Bonjol Padang dengan jurusan Bahasa Arab. Buku yang telah ditulis yaitu Pedoman Qawaid Ilmu Nahwu dan Sharf yang diterbitkan oleh Pustaka Artaz, juga selalu berpartisipasi dalam menulis di berbagai jurnal non-akreditasi baik dari jurnal pada kampus STAI YPI Al-Ikhlas maupun Jurnal Ilmiah di kampus lainnya. 153 Motto: “Hiduplah dengan ilmu jangan hidup dengan harta yang melimpah ruah, karena ilmu akan menjagamu dan memeliharamu di dunia sampai akhirat, sedangkan harta hanyalah sifatnya sementara dan kamulah yang menjaga dan memeliharanya” BIOGRAFI PENULIS Data Pribadi Nama : Febri Wardani, M.Ag Alamat : Jr. Kabun Nagari Halaban Kec. Lareh Sago Halaban Kab. Lima Puluh Kota Sumatera Barat Kode Post : 26262 Nomor Telepon : 085216233632 Email : danifeb95@gmail.com Jenis Kelamin : Laki-Laki Tanggal Kelahiran : 26 Februari 1991 Status Marital : Menikah. Warga Negara : Indonesia Agama : Islam . Riwayat Pendidikan Jenjang Pendidikan : Jurusan Tahun Sekolah / Institusi / Universitas 2010 Indonesia Nihon go Bahasa Jepang Gakuin Jenjang IPK D1 3.50 154 2015 2019 STAI Darul Qur’an Payakumbuh UIN Imam Bonjol Padang Ilmu alQur’an dan Tafsir Ilmu alQur’an dan Tafsir S1 3.53 S2 3.54 Riwayat Pengalaman Kerja 1. Tahun : 2019 s/d Sekarang Instansi / Perusahaan : STAI Darul Qur’an Payakumbuh Posisi : Dosen Tetap Prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir 2. Tahun : 2020 s/d 2026 Instansi / Lembaga : BAMUS Nagari Halaban Posisi : Anggota 3. Tahun : 2016 s/d Sekarang Instansi : Yayasan Perguruan An Nahl Posisi : Guru Hadits dan Tahfizh 4. Tahun : 2020 s/d Sekarang Instansi : Rumah Tahfizh Dar al-Qudwah Posisi : Pendiri dan Pembina BIOGRAFI PENULIS Riyanto, S.Pd.I., M.Pd.I sejak tahun 2020 merupakan Dosen Tetap pada Prodi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam dan Dosen Mata Kuliah Wajib Umum Al-Islam dan Kemuhammadiyahan pada FAI, FH, dan FKIP 155 Universitas Muhammadiyah Ponorogo (UMPO). Pendidikan dasar dan menegah putra pertama pasangan Bapak Katijan dan Ibu Murtiyah yang lahir di Ponorogo 16 Maret 1984 di Desa Banaran Kec. Pulung Ponorogo di SDN Banaran, SMPN 3 Pulung dan MA Muhammadiyah I Ponorogo. Selanjutnya pada jenjang Pendidikan S1 dan S2 di Prodi PAI di UMPO. Sejak tahun 2016 menjadi Kasi Sekretariat Rektor dan Pengarsipan UMPO. tahun 2016 – 2027 mejadi Sekretaris Majelis Pembinaan Kesajahteraan Sosial Pimpinan Daerah Muhammadiyah Ponorogo, 2022-2027 menjadi Wakil Sekretaris Majelis Dikdasmen Pimpinan Cabang Muhammadiyah Ponorogo Kota. (2021-2024), Anggota Divisi Publikasi Asosiasi Dosen Ilmu Perpustakaan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (ASDIP PTKI). (2021-2024)Anggota Riset dan Pengembangan Forum Komunitas masyarakat Sadar Arsip (FKMSA) Jawa Timur. Artikel yang pernah di tulis pada Jurnal Pengabdian : Pendampingan penyususunan kurikulum pesantren berbasis dakwah dan kaderisasi di LKSA panti asuhan Muhammadiyah di Ponorogo (2023), pelatihan menulis seni kaligrafi bagi guru taman pendidikan Al-Qur’an Muhammadiyah Ponorogo (2022). Pada Jurnal Penelitian : upaya guru memanfaatkan perpustakaan sekolah sebagai sumber belajar di SDN Tosanan Ponorogo (2023), memaksimalkan peran perpustakaan sebagai sumber belajar di SMA Muhammadiyah 1 Ponorogo (2022) dan peran arsip sebagai sumber ilmu pengetahuan dan peradaban bangsa (2022). Prosiding : the role of Islamic development and Kemuhammadiyahan in increasing employee values of Muhammadiyah University of Ponorogo (2020), menjaga konsistensi adab: solusi pendidikan islam di era digital 156 Prosiding (2021). Book Chapter : tantangan dan peluang dakwah muhammadiyah di era new normal (2020), memaknai literasi informasi dengan pendekatan psikologi sosial (2021), dan dari wakaf: cara Ranting Muhammadiyah Babadan menjaga sang surya tetap bersinar (2021). BIOGRAFI PENULIS Nama Lengkap Haerudin, Lc., MA. Dosen tetap di Universitas Buana Perjuangan Karawang Sejak tahu 2015 sampai sekarang, Pengampu Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam, Tafsir Tarbawi, dan Ilmu Hadits di Prodi PAI Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan UBP Karawang, Lahir di Karawang 3 Me i 1983, dari orang tua yang bernama Bapak H. Jodi dan Ibu H Inah. Jenjang pendidikan S1 di Universitas Al Azhar Mesir 2005-2009, S2 di Universitas Om durman Sudan 2010-2013, dan sekarang sedang melanjutkan S3 di Universitas Al Qur’an Al Karim Madani Sudan. Buku yang pernah di tulis yaitu : ‫ﺍﻟﺸﻴﺦ‬ ‫ ﻳﺎﺳﻴﻦ ﺍﻟﻔﺎﺩﺍﻧﻲ ﻭﺟﻬﻮﺩﻩ ﻓﻰ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺍﻟﻨﺒﻮﻳﺔ‬buku berbahasa arab. BIOGRAFI PENULIS Andi Abd. Muis Lahir di Tuju Tuju Kajuara Kabupaten Bone pada taggal 12-12-1982. Istri Bernama Imrawati dan dikaruniai dua anak yaitu Andi 157 Kafi El Azam Muis dan Andi Arsyi Maziyah Muis. Penulis menempuh pendidikan sarjana (S1) di PRODI Pendidikan Agama Islam Fakultas Agam Islam Universitas Muhammadiyah Parepare, Program Magister (S2) di PRODI PAI Program Pascasarjana UM Parepare, dan Program Doktor (S3) di PRODI PAI UM Parepare. Penulis pernah mengajar di Pondok Pesantren Pendidikan Islam Darul Abrarar Kahu Palattae Bone, mengajar di SDN 66 Kota Parepare, mengajar di SMP PGRI Kota Parepare, mengajar di SMP Muhammadiyah Parepare, Staf PPs-UMPAR, dan Kini Menjadi Dosen Tetap Yayasan di UM Parepare dan mengajar di PRODI PAI FAI dan PRODI PAI Program Pascasarjana UM Parepare. Adapun karya yang dihasilkan oleh penulis selama menjadi Dosen dapat dilihat pada link (1) Andi Abd. Muis | Universitas Muhammadiyah Parepare-Academia.edu dan Andi Abd. Muis (Orcid.org/0000-0003-0919-3593) Indonesia - Google Cendekia. Penulis juga aktif dalam melaksanakan penelitian pengabdian kepada masyarakat dan mengikuti seminar, pelatihan dan worshop yang berskala lokal, regional, nasional, dan internasional. 158 BIOGRAFI PENULIS Nurzannah, lahir di Kisaran pada tanggal 16 Agustus 1964. Menyelesaikan S1 Fakultas Tarbiyah pada tahun 1992 di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Medan. Studi S2 di Program Studi Pendidikan Islam IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tamat tahun 1999, dan tahun 2019 menyelesaikan studi S3 pada Prodi Pendidikan Islam di Universitas Islam Negeri Medan. Sekarang bekerja sebagai Dosen Tetap di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Aktif mengikuti berbagai seminar, meneliti, dan menulis berbagai artikel dan buku. Pernah aktif di PW Aisyiyah Sumatera Utara sebagai Wakil Sekretaris, selama 3 Periode (1995-2010). Menjadi Wakil Ketua II Majelis Tabligh PWM Sumatera Utara Periode 2000-2005. Sekretaris Umum Lembaga Pemberdayaan Pengajian Perempuan Sumatera Utara (LP3SU) periode 2012-2017. Ada beberapa Karya yang pernah ditorehkan. Buku ajar/referensi berjumlah 3 buah, modul ajar 3 buah, book chapter 7 buah, dan artikel ilmiah berjumlah lebih kurang 30 judul, yang diterbitkan di jurnal dan proceeding Nasional maupun International.