voLUME
37, NO. 3, AGUSTUS 2017
Identifikasi Gen Transgenik pada Produk Susu Bubuk Kedelai dan Susu Formula Soya dengan Metode
PCR
237
-245
246
-
255
256
-
262
263
-
270
271
-
279
(Polymeras e Chain Reaction)
Identification of Transgenic Genes in Soy Milk Powders and Soy Formulas with Polymerase Chain Reaction (PCR) kchnique
Agustin Krisna Wardani*, Annisa Arlisyah, Ana Fauziah, Titik Nur Fa'ida
Aktivitas Antioksidan dan Angiotensin-I Converting Enzyme Inhibitor oleh Yogurt dengan Ekstrak
Daun
Ficus glomerala Roxb
Antioxidant activity and Angiotensin-I Converting Enzyme Inhibitor of Yogurt with Ficus glomerata Roxb Leaf Extract
Baiq Rani Dewi Wulandani*, Endang Sutriswati Rahayu, Yustinus Marsono, Tyas Utami
Karakteristik Beras Analog Berindeks Glisemik Rendah dari Oyek dengan Penambahan
Berbagai
Jenis Kacang-Kacangan
Characteristics of Low Glycemic Index Artificial Rice from Oyek with Addition of Various Legumes
Bayu Kanetro*, Dwiyati Pujimulyani, Sri Luwihana, Alimatus Sahrah
Perbaikan Sifat Laju Transmisi Uap Air dan Antibakteri Edible Film dengan Menggunakan
Minyak Sawit dan Jeruk Kunci
Improvement of Water Vapor Transmission Rate and Antibacteria Properties of Edible Film by Using Palm Oil
and Citrus mitls
Budi Santoso*,Zthara Hilda, Gatot Priyanto, Rindit Pambayun
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Pandan (Pandanus amaryllifolius) dan Fraksi-Fraksinya
Antioxidant Activity of Pandan (Pandanus amaryllifulius) Leaf Ethanol Extract And lt's Fractions
Chatarina Lilis Suryani*, Siti Tamaroh, Agusta Ardiyan, Astuti Setyowati
Pengaruh Pelapis Dapat Dimakan dari Karagenan terhadap Mutu Melon Potong dalam Penyimpanan
Dingin
Effects of Canageenan Edible Coating on Fresh Cut Melon Quality in Cold Storage
Doddy Andy Darmajana*, Nok Afifah, Enny Solihah, Novita Indriyanti
Fungal Population of Nutmeg (Myristica fragrans) Kernels Affected by Water Activity during
Kiki Nurtjahja, Okky Setyawati Dharmaputra*, Winiati Puji Rahayu, Rizal Syarief Sayful Nazli
Storage
Transesterifikasi In Situ Biji Kemiri (Aleurites moluccana L) Menggunakan Metanol Daur Ulang
dengan Bantuan Gelombang Ultrasonik
In Situ Transesterffication of Candle Nut (Aleurites moluccana L) using Recovered Methanol by Sonication
M. Mahlinda, Meuthia Busthan
280 -257
288
-
294
295
-
301
AGRITECH
JURNAL TEKNOLOGI PERTANIAN
DITERBITKAN OLEH
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada
Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia
Perhimpunan Teknik Pertanian Cabang Yogyakarta
KETUA REDAKSI
Atris Suyantohadi
DEWAN REDAKSI
Andriati Ningrum
Kuncoro Harto Widodo
Ngadisih
Rachma Wikandari
Sardjono
Supriyadi
Widiastuti Setyaningsih
Yuli Witono
PRODUKSI DAN DISTRIBUSI
AgustinaAsih Tri Utami
ALAMAT REDAKSI
Kantor Redaksi Agritech
Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada
Jl. Flora No. 1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia
Telp. 085712601130, Faks. (0274) 559797
E-mail : agritech@ugm.ac.id
Website : https://jurnal.ugm.ac.i dl agntech/
PERCETAKAII
Kanisius, Yogyakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan
Harga langganan per tahun (4 nomor) Rp200.000,00. Pembayaran melalui hansfer ke Rekening
Mandiri Cabang UGM No. 137-00-120-9942-6 atas nama Dr. Atris Suyantohadi, S.T.p., M.T;
Agritech. Konfirmasi dengan mengirimkan bukti transfer ke email agritech@ugm.ac.id atau
Whatsapp 085712601130 atau faks.(0274) 589797. Pembelian per nomor ta*p menghubungi
Bagian Produksi dan Distribusi atau mengisi formulir berlangganan di Website: h@s://jurnal.ugm.
ac.id/agitech bagian Order Journal.
Fermentasi Biji Kakao Kering Menggunakan Saccharomyces cerevisiae, Lactobacillus lactis, dlan Acetobacter acai
Cocoa Beans Dry Fermentation Using Saccharomyces cerevisiae, Lactobacillus lactis, and Acetobacter aceti
Mulono Apriyanto*, S. Sutardi, S. Supriyanto, Eni Harmayani
302
- 3rr
Pengaruh Metode Kombinasi Autoklaf 2 Siklus dan Hidrolisis Asam Sitrat terhadap Sifat Kimia
dan Fisika RS-3 Pati Kacang }Iijaa (Wgna radiataL.)
The Effect of Two Cycles Autoclaving and Citric Acid Hydrolysis Combination to Chemical and Physical
Characteristic of Mung Beans (Wgna radiata L.) Starch RS- j
Priyanto Triwitono*, Yustinus Marsono, Agnes Murdiati, Djagal Wiseso Marseno
312
- 3lE
KomposisiAsam Lemak. Angka Peroksida, dan Angka TBAFiltetlkan Kakap (Lutjanus sp) pada Suhu dan
Lama Penyimpanan Berbeda
Fatty Acid Composition, Peroxide Value, and TBA Value of Snapper (Lutjanus sp) fillet at Dffirent Storage
kmperature and Time
319
-326
327
-333
Pengaruh Penambahan Maltodekstrin dan Suhu lnlet Spray Dryer terhadap Karakteristik Fisiko-Kimia Bubuk
Sari Keranda ng (C an av alia vir o s a)
The Effect of Maltodextrin and Spray Dryer Inlet kmperature on Physico-Chemical Characteristic of Kerandang
(Canavalia virosa) Milk Powder
Titiek Farianti Djaafar*, Umar Santoso, Anggara Ariestyanta
334
-342
Pengaruh Pelapisan Kitosan dan Suhu Penyimpanan terhadap Karakter Fisik Buah Sawo
(Manilkara achras (Mill.) Fosberg) Selama Pematangan
Effects of Chitosan Coating and Storage kmperature on Physical Characteristic of Sapodillas
(Manilkara achras (Mill.) Fosberg) during Ripening
Widya Mudyantini*, S. Santosa, Kumala Dewi, Nursigit Bintoro
343
-
Bioavailabilitas a-Tokoferol Minuman Emulsi Minyak Sawit dalam Plasma Darah dan Hati Tikus
352
-361
Rahim Husain*, S. Suparmo, Eni Harmayani, Chusnul Hidayat
Tingkat Kelarutan Peptida Tempe dengan Bobot Molekul Kecil pada Berbagai Jenis Pelarut
The Solubility of Low Molecular Weight Peptides from Tempe in Dffirent Solvents
R. Rusdah*, Maggy Thenawidjaya Suhartono, Nurheni Sri Palupi, Masahiro Ogawa
(Rattus norvegicus)
Bioavailability of a-Tbcopherol in Palm Oil Emulsion Drink on Rats (Rattus norvegicus) Blood Plasma and Liver
Winda Christina Harlen*, Tien Muctadi, Nurheni Sri Palupi
ll||illffiilllltilil
3s1
AGRITECH, Vol. 37, No. 3, Agustus 2017
AGRITECH, Vol. 37, No. 3, Agustus 2017, Hal. 302-311
DOI: http://doi.org/10.22146/agritech.17113
ISSN 0216-0455 (Print), ISSN 2527-3825 (Online)
Tersedia online di https://jurnal.ugm.ac.id/agritech/
)HUPHQWDVL%LML.DNDR.HULQJ0HQJJXQDNDQSaccharomyces cerevisiae
Lactobacillus lactisGDQAcetobacter aceti
&RFRD%HDQV'U\)HUPHQWDWLRQ8VLQJSaccharomyces cerevisiaeLactobacillus lactisDQGAcetobacter aceti
0XORQR$SUL\DQWR1 66XWDUGL266XSUL\DQWR2(QL+DUPD\DQL2
1
Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas Islam Indragiri,
Jl. Propinsi Parit 1 Tembilahan, Indragiri Hilir, Riau, Indonesia 29213
2
Departemen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada,
-O)ORUD1R%XODNVXPXU<RJ\DNDUWD,QGRQHVLD
Email: pandumulono@gmail.com
Submisi: 17 Februari 2016; Penerimaan: 18 Mei 2017
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan sifat kimia pada fermentasi biji kakao kering jemur. Biji kakao
kering jemur yang diperoleh dari petani memiliki kadar air yang tidak seragam. Guna menimalkan kegagalan fermentasi
maka biji kakao kering jemur diperoleh melalui pengeringan biji kakao segar menggunakan kabinet dryer dengan
sebelumnya dikondisikan pada suhu seperti pengeringan dengan sinar matahari, dan masing ditentukan kadar gula
reduksinya. Percobaan fermentasi biji kakao kering dilakukan fermentasi pada wadah fermentasi dengan jumlah biji
150 g setiap wadah. Sebelum difermentasi terlebih dahulu biji kakao kering jemur direhidrasi agar didapat kadar air
mendekati biji segar, kemudian biji kakao kering jemur diinkubasi selama enam hari dan tanpa dibalik selama fermentasi.
Setiap perlakuan diulangi tiga kali dan diamati tiap 24 jam sampai 120 jam. Kadar gula reduksi (kontrol 4,49–11,45%,
inokulum diawal (IA) 4,69–11,55%, inokulum bertahap (IB) 4,64–11,54%), kadar asam tertitrasi (kontrol 4,48–6,45%,
inokulum diawal (IA) 4,64–6,39%, inokulum bertahap (IB) 4,45–6,59%), populasi Saccharomycescerevisiae (kontrol
5,56–7,28 (log CFU/g), inokulum diawal (IA) 6,45–8,75 (logCFU/g), inokulum bertahap (IB) 6.88 – 8.99 (logCFU/g),
Lactobacillus lactis (kontrol 6,66–8,15 (log CFU/g), inokulum diawal (IA) 7,65–8,21(log CFU/g), inokulum bertahap
(IB) 7,66–8,95 (log CFU/g) dan Acetobacter aceti (kontrol 4,26–6,95% (log CFU/g), inokulum diawal (IA) 4,85–7,40
(log CFU/g), inokulum bertahap (IB) 4,35–7,91 (log CFU/g)) dalam pulp fermentasi diamati selama proses fermentasi.
Untuk mengetahui kualitas biji kakao dilakukan pengukuran pH (kontrol 5,67–3,98, inokulum diawal (IA) 5,67–3,55,
inokulum bertahap (IB) 5,67–3,50), kadar etanol (kontrol 0,3–0,5%, inokulum diawal (IA) 0,3–0,52%, inokulum
bertahap (IB) 0,35–0,53%) dan indeks fermentasi selama fermentasi (kontrol 0,31–0,88, inokulum diawal (IA) 0,32–
0,99, inokulum bertahap (IB) 0,33–1,03).
Kata kunci: Acetobacter aceti; biji kakao kering jemur; fermentasi; Lactobacillus lactis; Saccharomyces cerevisiae
ABSTRACT
The aims of the study was to improve quality of cocoa bans by fermentation of sun dried cocoa beans. The fermentation
YDULDWLRQV ZHUH FRQGXFWHG DV IROORZV ¿UVW IHUPHQWDWLRQ ZLWKRXW WKH DGGLWLRQ RI LQRFXOXP FRQWURO WKH VHFRQG
treatment using inoculum of S. cerevisiae (FNCC 3056), L. lactis (FNC 0086) and A. aceti (FNCC 0016), each of 108
cfu/g given simultaneously at the beginning of fermentation.and the third treatment wassequential administration, i.e:
yeast at the initial fermentation, lactic acid bacteria after 24 hours fermentation, and acetic acid bacteria after 48 hr
302
AGRITECH, Vol. 37, No. 3, Agustus 2017
of fermentation third with the same microbial population with the second treatment. The fermentation was conducted
IRUKRXUV7KHIHUPHQWDWLRQWHPSHUDWXUHZHUHFRQWUROOHGGXULQJIHUPHQWDWLRQDVIROORZV&IRUWKH¿UVW
hours, 45 °C for the next second 24- hours, 55 °C the third 24 hours and 35 °C for the last 48 hours of fermentation. The
results showed that after the rehydration, pulp composition of dry beans could be used as a substrate for fermentation.
During fermentation, dry cocoa beans showed reduction of total sugar content, pH and total polyphenols for all the
three treatments. Cut test of dried cocoa beans during the fermentation showed the increasing percentage of brown
color of the three treatments. Reducing sugar and fermentation indexes increasedfor all treatments during fermentation.
Concentration of ethanol, lactic acid and acetic acid reached highest level at 24, 60, and 108 hours of fermentationfor
all treatments. Highest populations of S. cerevisiae, L. lactis and A. aceti of three treatments obtained at 24, 48 and 72
hours of fermentation. After fermentation and roasting, dry beans produced hydrophobic amino acids as precursors of
ÀDYRUDQGYRODWLOHFRPSRXQGV
Keywords: Acetobacter aceti; dry beansdrying; fermentation; Lactobacillus lactis; Saccharomyces cerevisiae
PENDAHULUAN
Ada dua cara penanganan pasca panen biji kakao segar
(basah) ditingkat petani yaitu produksi biji kakao kering
jemur ”dengan fermentasi” dan biji kakao kering jemur tanpa
fermentasi. Menurut Badan Pendataan Statistik (Anonim,
2013), produksi kakao kering pada tahun 2013 mencapai
± 5.450.000 ton tanpa fermentasi sedangkan ± 385.000 ton
merupakan biji kakao kering hasil fermentasi. Biji kakao
kering jemur tanpa fermentasi terdiri atas biji kakao kering
jemur (produksi petani) dan biji kakao kering jemur setengah
fermentasi. Pada umumnya petani kakao hanya merendam
biji kakao segar dalam air dalam upaya untuk membantu
menghilangkan pulp dan dilanjutkan penjemuran (Apriyanto
dkk, 2016a; Anonim, 2013).
Fermentasi adalah proses perombakan gula dan
asam sitrat dalam pulp menjadi asam-asam organik yang
dilakukan oleh mikrobia pelaku fermentasi (Camu, dkk.,
2008., Meersman dkk, 2013). Asam-asam organik tersebut
akan menginduksi reaksi enzimatik yang ada di dalam biji
sehingga terjadi perubahan biokimia yang akan membentuk
senyawa yang memberi aroma, rasa, dan warna pada kakao
(Apriyanto dkk., 2016b; Afoakwa dkk., 2014). Proses
fermentasi terbagi 3 tahapan (Albertini dkk, 2015) yaitu: (1)
Tahap anaerobicWHUMDGLSDGD±MDPSHUWDPD<HDVWDNDQ
mengkonversi gula menjadi alkohol dalam kondisi rendah
oksigen dan pH dibawah 4, (2) Tahap Lactobacillus lactis
yang keberadaannya mulai dari awal fermentasi, tetapi hanya
menjadi dominan antara 48 dan 96 jam. Lactobacillus lactis
mengkonversi gula dan sebagian asam organik menjadi asam
laktat, (3) Tahap bakteri asam asetat, dimana keberadaan
bakteri asam asetat juga terjadi selama fermentasi, tetapi
PHQMDGL VDQJDW VLJQL¿NDQ KLQJJD DNKLU NHWLND WHUMDGL
peningkatan aerasi. Bakteri asam asetat berperan dalam
mengkonversi alkohol menjadi asam asetat. Konversi tersebut
akibat reaksi eksotermik yang sangat kuat yang berperan
dalam peningkatan suhu. Pada tahap ini suhu bisa mencapai
50 °C atau lebih tinggi pada sebagian fermentasi. Proses
ini dilakukan dengan cara memeram biji kakao pada wadah
tertutup selama 5–7 hari dengan disertai pembalikan setiap 2
hari sekali. Tanpa melalui proses fermentasi biji kakao akan
terasa pahit, sepat, dan tidak akan menghasilkan aroma khas
cokelat ketika diolah (Schwan dan Wheals, 2004).
Biji kakao kering telah kehilangan sebagian besar
kandungan air dan substrat. Kandungan air selama fermentasi
digunakan dalam reaksi enzimatik dalam biji dan pertumbuhan
mikrobia di dalam pulp (Schwan dan Wheals, 2004). Air akan
mempertemukan enzim dengan substrat yang ada di dalam
biji sehingga proses hidrolisis dan oksidasi senyawa calon
rasa, warna, dan aroma pada kakao dapat terjadi. Kandungan
air yang dibutuhkan dalam fermentasi kakao adalah lebih dari
35%. Substrat adalah bahan yang dirombak oleh mikrobia
selama proses fermentasi. Substrat dalam fermentasi biji
kakao adalah gula dan asam sitrat yang terkandung dalam
pulp.
Mikrobia akan melakukan perombakan senyawa gula
dalam pulp menjadi asam-asam organil selama fermentasi.
Asam akan berdifusi masuk ke dalam biji dan menginduksi
reaksi enzimatik untuk membentuk senyawa calon rasa,
aroma, dan warna (Afoakwa dkk., 2014). Menurut Shwan
dan Wheals (2004), keberhasilan fermentasi biji kakao
diperngaruhi oleh subtrat dan jumlah mikrobia selama
fermentasi. Berdasarkan hal diatas, maka perlu diupayakan
pengembalian kandungan air biji kakao sebelum fermentasi.
Penelitian fermentasi kakao menggunakan biji kakao kering
jemur telah berhasil dilakukan di laboratorium rekayasa PAU,
UGM. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan
sifat kimia pada fermentasi biji kakao kering jemur.
303
AGRITECH, Vol. 37, No. 3, Agustus 2017
Data dianalisis menggunakan Duncan Multiple Range Test
(DMRT).
METODE PENELITIAN
Biji Kakao Kering
Analisis Pendahuluan
Analisis pendahuluan dilakukan untuk mengetahui
kadar air dan gula reduksi pada pulp dan biji kakao yang hilang
selama proses pengeringan. Kadar air biji kakao ditentukan
dengan menggunakan metode gravimetri, sedangkan kadar
gula reduksi pulp basah, pulp kering menggunkan metoda
Nelson-Somogy (Sudarmadji dkk., 1997).
Fermentasi Biji Kakao Kering
Fermentasi biji kakao kering jemur dilakukan pada
botol sampel ukuran 250 mL dengan jumlah biji kakao kering
jemur sebanyak 150 g/botol sampel. Jumlah biakan murni
khamir dan bakteri asam asetat yang ditambahkan (10 CFU/g)
berdasarkan jumlah biakan murni yang ditambahkan pada
fermentasi kakao biasa (Meersman dkk, 2013), sedangkan
jumlah air yang ditambahkan berdasarkan selisih berat biji
kakao segar dan biji kakao kering jemur jemur.
Fermentasi yang dilakukan dengan tiga cara yaitu: (1)
biji kakao tanpa penambahan biakan murni (kontrol), (2)
biji kakao ditambahkan campuran biakan murni (IA),(3)
biji kakao ditambahkan biakan murni secara bertahap diawal
fermentasi ditambahkan Saccharomyces cerevisiae, setelah
jam ke 24 ditambahkan Lactobacillus lactis kemudian setelah
48 jam ditambahkan Acetobacter aceti (IB) (Apriyanto dkk.,
2016a).
8
Analisis Pemantauan Proses Fermentasi
Kadar asam tertitrasi ditentukan dengan metode
(Nazaruddin dkk., 2006), kadar gula reduksi ditentukan
dengan metode Nelson-Somogy (Sudarmadji dkk., 1997).
pH dankeasaman biji kakao kering selamafermentasi
menggunakan metoda Nasarudin dkk. (2006), dan indeks
fermentasi menggunakan metoda Misnawi dkk. (2002).
304
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan Kandungan Gula Reduksi
Gula reduksi merupakan hasil perombakan pektin,
pati, dan sukrosa yang terkandung dalam pulp dan tetes
tebu oleh mikrobia selama fermentasi. Gula reduksi selain
berfungsi sebagai bahan mentah pembentukan etanol juga
berfungsi sebagai senyawa calon rasa dalam biji kakao.
Kandungan gula reduksi pada fermentasi biji kakao kering
jemur meningkat pada awal fermentasi dan menurun pada
pertengahan fermentasi dan tetap stabil hingga akhir masa
fermentasi (Afoakwa dkk., 2013).
Gula reduksi adalah senyawa karbonil prekursor
aroma dalam biji kakao fermentasi, yang terutama dihasilkan
dari hidrolisis sukrosa oleh enzim invertase (Neilsen dkk.,
2013; Afoakwa, 2010). Hasil uji DMRT menunjukan bahwa
lama fermentasi berpengaruh pada gula reduksi. Gula reduksi
biji kakao kering jemur diawal fermentasi 4,5 ± 0,1 naik
menjadi 11,45 ± 0,1 pada 24 jam fermentasi selanjutnya terus
turun sampai 10,6 ± 0,1 di 120 jam fermentasi. Gula reduksi
pulp biji kakao kering jemur selama fermentasi turun, di
awal fermentasi 4,7 ± 0,1 turun menjadi 2,8 ± 0,1 di 24 jam
fermentasi setelah 24 jam fermentasi terus turun menjadi 1,5
± 0,1 di 120 jam fermentasi. Gula reduksi biji kakao segar
di awal fermentasi 7 ± 0,1 naik menjadi 12,5 ± 0,1 di 24
jam fermentasi, kemudian terus naik sampai 15,5 ± 0,1 di 120
jam fermentasi. Gula reduksi pulp biji kakao segar diawal
fermentasi 3 ± 0,1 sedikit turun di jam ke 24 menjadi 2,8 ±
0,1 dan terus turun sampai 1,5 ± 0,1 di jam ke 120 fermentasi
seperti tersaji pada gambar 1. Gambar 1 terlihat bahwa gula
reduksi pada biji kakao kering jemur di awal fermentasi
meningkat tajam hingga sampai 24 jam fermentasi kemudian
sedikit turun sampai 48 jam fermentasi selanjutnya sedikit
naik sampai 72 jam fermentasi selanjutnya sedikit turun
18
16
Gula dalam bahan (%)
Buah kakao varietas forastero diperoleh dari desa Bunder,
3DWXN *XQXQJ .LGXO <RJ\DNDUWD PHPLOLNL NDUDNWHULVWLN
panjang buah ± 15 cm, diameter ± 8 cm, kulit buah masak
optimal berwarna orange, jumlah biji tiap pod ± 35 keping
biji. Buah tanpa dicuci kemudian dibelah untuk dikeluarkan
bijinya dan dikeringkan pada cabinet dryer dengan suhu 40
°C hingga kadar air biji menjadi 15%. Sebanyak 100 g biji
kakao kering dibasahi dengan air sebanyak 60 mL selanjutnya
difermentasi selama 5 hari (120 jam) secara spontan pada
suhu kamar dan diambil data perubahan gula reduksi,
kandungan etanol, dan suksesi mikrobia selama fermentasi
untuk menentukan kualitas hasil fermentasi diukur pH dan
keasaman biji dan indeks fermentasi.
14
12
gula reduksi pulp biji kakao
kering jemur
10
gula reduksi biji kakao
kering jemur
8
gula reduksi biji kakao segar
6
gula reduksi pulp biji kakao
segar
4
2
0
0
Gambar 1.
24
48
72
Lama fermentasi (jam)
96
120
Perubahan kadar gula reduksi dalam pulp, biji kakao segar dan
pulp, biji kakao kering jemur
AGRITECH, Vol. 37, No. 3, Agustus 2017
Gula di dalam pulp merupakan substrat yang dapat
dirombak menjadi etanol, sedangkan inokulasi khamir
meningkatkan jumlah mikrobia yang bekerja merombak gula
menjadi etanol. Peningkatan proses fermentasi yang terjadi
akibat inokulasi mikroorganisme banyak dilaporkan pada
beberapa penelitian. Penido dkk. (2013) pada penelitiannya
melaporkan penambahan biakan Saccharomyces cerevisiae
dan beberapa biakan bakteri lain dapat meningkatkan kinerja
fermentasi biji kakao.
Populasi sel S. cerevisiae, L. lactis dan A. aceti pada
fermentasi biji kakao segar berturut-turut 102–106 logCFU/g,
103–107 log CFU/g, dan 103–05 log CFU/g (Meersman dkk,
2013; Schwan dan Wheals, 2004; Vuyst dkk., 2010; Lima
dkk., 2011). Dari Gambar 2 terlihat di awal fermentasi
populasi S. cerevisiae sebesar 105 log CFU/g, L. lactis 106
log CFU/g dan A. aceti 104 log CFU/g populasi tersebut
mendekati hasil peneliti terdahulu.
Gambar 2 terlihat bahwa populasi Saccharomyces
cerevisiae naik menjadi107 log CFU/g setelah fermentasi 24
jam kemudian turun menjadi 102 log CFU/g diakhir fermentasi
(120 jam fermentasi). Hal ini menunjukan bahwa aktivtas S.
20
10
8
15
6
10
4
kosentrasi (%)
Pengaruh Populasi S. cerevisiae L. Lactis dan A. aceti
WHUKDGDS .RQVHQWUDVL (WDQRO $VDP /DNWDW GDQ $VDP
Asetat Biji Kakao
cerevisiae turun saat pengeringan dan kembali aktif setelah
dilakukan rehidrasi kadar air pulp. Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian Schwan dan Wheals (2004) dan Afoakwa
dkk. (2010), yaitu populasi khamir naik 24 jam fermentasi
kemudian turun sampai diakhir fermentasi. Mengingat suhu
optimum untuk pertumbuhan S. cerevisiae adalah antara suhu
30–35 °C, sehingga populasi S. cerevisiae dalam penelitian
ini tumbuh cepat dari 105 logCFU/g sampai 107 logCFU/g
setelah 24 fermentasi.
Aktivitas S. cerevisiae juga dapat ditunjukan oleh
kenaikan hasil degradasi gula menjadi etanol. Kandungan
etanol diawal fermentasi sebesar 0,35% dan mencapai
kandungan tertinggi setelah 24 jam fermentasi yaitu sebesar
1,6%. S. cerevisiae mempunyai peran penting dalam
fermentasi kakao terutama untuk menghasilkan alkohol
dengan kondisi oksigen terbatas namun kadar gula relatif
tinggi. Alkohol selanjutnya diubah menjadi asam asetat oleh
A. aceti.
Setelah 24 jam fermentasi populasi S. cerevisiae
mengalami penurunan hal ini disebakan oleh peningkatan
jumlah etanol dan mulai membaiknya aerasi pada tumpukan
massa biji, selanjutnya peran S. cerevisiae dilanjutkan oleh L.
lactis karena kondisi lingkungan fermentasi mulai ideal untuk
pertumbuhan bakteri L. lactis, dan kandungan gula pulp masih
tersedia meskipun dalam jumlah kecil. L. lactis merupakan
salah satu bakteri asam laktat yang berssifat anaerob atau
PLNURDHUR¿OLN &DPDOD GDQ $VWRQ 3HUWXPEXKDQ
optimum bakteri asam laktat terjadi setelah fermentasi 36
jam dengan populasi sel L. lactis berkisar 108-109 log CFU/g
(Meersman dkk, 2013).
Gambar 2 menunjukan bahwa populasi L. lactis diawal
fermentasi sebesar 106 log CFU/g, kemudian naik menjadi
108 log CFU/g setelah 36 jam fermentasi dan terus naik
Populasi (log CFU/g)
sampai 120 jam fermentasi hasil ini sejalan dengan (Apriyanto
dkk., 2016a) pada fermentasi biji kakao kering jemur dengan
penambahn inokulum. Gambar 1 terlihat bahwa gula reduksi
pulp biji kakao kering jemur turun secara perlahan dari
awal fermentasi sampai 120 jam fermentasi. Peningkatan
gula reduksi pada biji dikarenakan perombakan sukrosa
dalam biji menjadi fruktosa dan glukosa. Menurut Penido
dkk. (2013) bahwa peningkatan jumlah gula reduksi selama
fermentasi dilaporkan sebagai hasil dari reaksi enzimatik
oleh enzim invertase ȕ-galaktosidase, Į-arbinosidase, dan
Į-annosidase. Gula yang terdapat dalam keping biji kakao
sebelum fermentasi yang sebagian besar berupa sukrosa dan
akan mulai mengalami hidrolisis pada saat awal fermentasi
secara anaerob sampai selesai proses fermentasi. Gula
reduksi yang terkandung dalam keping biji kakao adalah
glukosa dan fruktosa. Kadar gula reduksi pada biji kakao
kering jemur lebih rendah dari gula reduksi pada biji kakao
segar, hal ini mengindikasikan bahwa proses fermentasi biji
kakao kering dalam penelitian ini berjalan lebih lambat, jika
dibandingkan dengan proses fermentasi biji kakao basah
seperti yang dilaporkan oleh Moreira dkk. (2013) dan proses
fermentasinya dapat dikatakan belum berhenti dalam waktu
120 jam. Pada Gambar 1 terlihat bahwa terjadi penurunan
gula reduksi pulp baik pulp biji kakao kering jemur maupun
pulp biji kakao segar, hal tersebut dapat dikarenakan aktivitas
yeast dan Lactobacillus lactis (Afoakwa dkk., 2014).
5
2
0
0
0
Gambar 2.
12
24
36
48
60
72
84
etanol
Lama fermentasi (jam)
asam laktat
asam asetat
Saccharomyces cerevisiae
Lactobacillus lactis
Acetobacter aceti
96
108
120
Hubungan populasi S. cerevisiae, L. lactis dan A. aceti terhadap
konsentrasi etanol, asam laktat, dan asam asetatbiji kakao pada
kontrol selama fermentasi
305
AGRITECH, Vol. 37, No. 3, Agustus 2017
306
rata-rata produksi etanol, asam laktat dan asam asetat selama
fermentasi tidak berbeda nyata (p VHVXDLGHQJDQKDVLO
penelitian Ardana dan Fleet, (2003) yang telah mempelajari
ekologi mikrobia pada fermentasi biji kakao di Indonesia.
Penambahan
inokulum
diawal
menyebabkan
peningkatan jumlah S. cerevisiae, L. lactis dan A. aceti,
sehingga perubahan proses fermentasi lebih baik. Hal
ini ditandai dengan perubahan suhu selama fermentasi
serta kosentrasi etanol, asam laktat, dan asam asetat yang
dihasilkan.
Hasil analisa DMRT perlakuan penambahan inokulum
diawal menunjukan bahwa populasi S. Cerevisiae (FNCC
305), L. lactis (FNCC 0856) dan A. aceti (FNCC 0016) di
awal fermentasi seluruhnya ditambahkan 108 ± 0,1 log
CFU/g pulp. Populasi S. cerevisiae selanjutnya naik menjadi
1012 ± 0,1 log CFU/g pulp, di 24 jam fermentasi kemudian
turun sampai menjadi 103 ± 0,1 log CFU/g pulp di 120 jam
fermentasi. Populasi L. lactis naik menjadi 1011 ± 0,1 log
CFU/g pulp di 48 jam fermentasi selanjutnya turun menjadi
106 ± 0,1 log CFU/g pulp. Populasi A. aceti mengalami
kenaikan sampai 10 10 ± 0,1 log CFU/g pulp pada 72 jam
fermentasi, selanjutnya di 120 jam fermentasi menjadi 106 ±
0,1 log CFU/g pulp. Kosentarsi etanol tertinggi terjadi pada
24 jam fermentasi yaitu 5,2% ± 0,1 selanjutnya turun menjadi
3,7% ± 0,1 dan terus turun sampai 0,3% ± 0,1.
Jika ditinjau kosentrasi etanol menunjukan bahwa
perlakuan penambahan inokulum diawal dihasilkan
lebih tinggi dari perlakuan kontrol dapat diduga bahwa
penambahan inokulum meningkatkan populasi S. cerevisiae
serta meningkatkan produksi etanol. Setelah 24 jam
fermentasi kondisi pH lingkungan fermentasi disebabkan
oleh naiknya etanol sehingga kondisi tersebut tidak sesuai
untuk S. cerevisiae dan perannya digantikan oleh L. lactis.
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
20
15
10
5
Kosentrasi (%)
Populasi (logCFU/g)
menjadi 109 log CFU/g setelah 72 jam fermentasi turun
sampai 105 log CFU/g, sampai akhir fermentasi menjadi 106
log CFU/g. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ardana
dan Fleet (2003), bahwa pertumbuhan optimum bakteri asam
laktat terjadi setelah jam ke-36 dengan populasi L. lactis 108–
109 log CFU/g (Meersman dkk, 2013) serta hasil penelitian
Kustyawati dan Setyani, (2008) yang menyatakan bahwa
L. lactis naik sampai 72 jam fermentasi. Aktivitas L. lactis
selama fermentasi juga ditunjukan dengan produksi asam
laktat, sedangkan populasi L. lactis diawal fermentasi sebesar
107 logCFU/g dan kandungan asam laktat 0,35%. Populasi L.
lactis naik sampai 109 log CFU/g setelah 72 jam fermentasi
dan kandungan tertinggi asam laktat setelah 60 jam fermentasi
yaitu sebesar 3,01% dan turun sampai ± 2%.
Semakin berkurangnya gula pada pulp serta mulai
membaiknya aerasi juga meningkatnya suhu lingkungan
fermentasi peran A. aceti dimulai. A. aceti adalah bakteri
asam asetat yang merombak etanol menjadi asam asetat.
Populasi A. aceti diawal fermentasi 104 log CFU/g kemudian
meningkat sampai 106 log CFU/g jam ke 24 sampai jam
ke 72 menjadi 107 log CFU/g kemudian turun menjadi 104
log CFU/g. Selain populasinya bertambah A. aceti juga
memproduksi asam asetat. Kosentarsi asam asetat diawal
fermentasi 0,08% seiring populasi A. aceti bertambah
meningkat juga kosentrasi asam asetat. Populasi A. aceti
meningkat di jam 72 yaitu 108 logCFU/g dengan kosentrasi
asam asetat tertinggi terjadi pada jam ke 84 yaitu 20%
selanjutnya kosentrasi turun sampai 18%.
Hasil analisa DMRT ini menunjukan bahwa S. cerevisiae,
pada perlakuan kontrol dari awal fermentasi sampai 24 jam
fermentasi naik dari 105 ± 0,1 log CFU/g pulp menjadi 107 ±
0,1 log CFU/g pulp, selanjutnya turun menjadi 103 ± 0,1 log
CFU/g pulp di120 jam fermentasi. Populasi L. lactis diawal
fermentasi 106 ± 0,2 log CFU/g pulp naik sampai 109 ± 0,1
log CFU/g pulp di 72 jam fermentasi terus turun menjadi
105 ± 0,2 log CFU/g pulp. Populasi A. aceti diperlakuan
kontrol diawal fermentasi yaitu 104 log CFU/g pulp seiring
lama fermentasi naik menjadi 107 log CFU/g pulp di 72 jam
fermentasi, kemudian turun menjadi 105log CFU/g pulp di
120 jam fermentasi. Metabolisme S. cerevisiae, L. lactis dan
A. aceti menghasilkan etanol, asam laktat, dan asam asetat.
Hasil analisa DMRT juga menunjukkan bahwa rata-rata
populasi S. cerevisiae, L. lactis, dan A. aceti perlakuan kontrol
selama fermentasi tidak berbeda nyata (p GDULDZDO
fermentasi sampai 120 jam fermentasi. Perubahan populasi
S. cerevisiae, L. lactis dan A. aceti yang menghasilkan
perlakuan kontrol sesuai dengan hasil penelitian Schwan dan
Wheals (2004), Afoakwa, (2010), dan Apriyanto dkk. (2016a)
yang telah mempelajari pertumbuhan yeast, bakteri asam
laktat, dan bakteri asam asetat selama fermentasi biji kakao
segar. Hasil analisis Anova penelitian ini menunjukan bahwa
0
-5
0
12
24
36 48 60 72 84
Lama fermentasi (jam)
96
108 120
etanol
asam laktat
asam asetat
Saccharomyces cerevisiae
Lactobacillus lactis
Acetobacter aceti
Gambar 3.
Hubungan populasi S. cerevisiae, L. lactis dan A. aceti terhadap
konsentrasi etanol, asam laktat, dan asam asetat biji kakao hasil
penambahan inokulum diawal fermentasi selama fermentasi
12
20.00
10
15.00
8
10.00
6
5.00
4
konsentarsi (%)
Penambahan L. lactis (FNCC 0856) pada awal fermentasi
segera dapat menggantikan peran S. cerevisiae dibuktikan
oleh meningkatnya produksi asam laktat dari 1,3% ± 0,1
di jam 12 jam fermentasi menjadi 4,5% ± 0,1 di 60 jam
fermentasi selanjutnya turun sampai 1,8% ± 0,1 di 120
jam fermentasi. Populasi L. lactis tertinggi terjadi pada 48
jam fermentasi dapat diduga bahwa penambahan L. lactis
diawal dapat diduga terjadi persaingan dengan S. cerevisiae
disebabkan oleh kondisi lingkungan kurang ideal bagi
perkembangan L. lactis maka perkembangan L. lactis sedikit
lambat. Kosentrasi etanol yang relatif tinggi, aerasi yang
membaik dan penambahan A. aceti (FNCC 0016) dapat
diduga menyebabkan semakin dominannya peran A. aceti di
60 jam fermentasi hingga akhir fermentasi serta kosentrasi
asam asetat mulai naik dari 3,5% ± 0,2 sampai 6,3% ± 0,2 di
108 jam fermentasi. Hubungan antara populasi S. cerevisiae,
L. lactis dan A. aceti terhadap kosentrasi etanol, asam laktat
dan asam asetat pada perlakuan penambahan inokulum diawal
tersaji pada Gambar 3.
Hasil analisis DMRT menunjukan bahwa penambahan
S. Cerevisiae (FNCC 305), L. lactis (FNCC 0856) dan A.
aceti (FNCC 0016) di awal berbeda nyata (p WHUKDGDS
perlakuan penambahan inokulum di awal. Pertumbuhan
populasi S. Cerevisiae (FNCC 305), L. lactis (FNCC 0856),
dan A. aceti (FNCC 0016) yang dihasilkan ini sesuai dengan
yang diperoleh Kustyawati dan Setyani (2008), yang telah
mempelajari penambahan S. Cerevisiae (FNCC 305), L.
lactis (FNCC 0856), dan A. aceti (FNCC 0016) pada proses
fermentasi biji kakao segar varietas lindak.
Penambahan inokulum secara bertahap menunjukan
naiknya suhu fermentasi dan naiknya populasi S. cerevisiae, L.
lactis, dan A. aceti. Gambar 4 menunjukan bahwa S. cerevisiae
diawal fermentasi mengalami peningkatan dibandingkan pada
perlakuan yang lain, hal ini dikarena penambahan S. cerevisiae
dilakukan diawal fermentasi sebesar 108 logCFU/g. Populasi
L. lactis pada penambahan inokulum secara bertahap diawal
fermentasi tidak berbeda dengan perlakuan yang lain yaitu
sebesar 108 log CFU/g dan populasi A. aceti pada perlakuan
penambahan inokulum secara bertahap tidak berbeda dengan
perlakuan penambahan inokulum diawal yaitu sebesar 104 log
CFU/g. Hasil ini sejalan dengan penelitian Ardana dan Fleet
(2003) serta Kustyawati dan Setyani (2008), bahwa populasi
A. aceti dipengaruhi oleh populasi S. cerevisiae. Populasi
A. aceti di awal fermentasi yaitu 104 log CFU/g kemudian
perlahan meningkat pada jam ke-48 sampai 108 logCFU/g
kemudian perlahan turun menjadi 105 log CFU/g di akhir
fermentasi.
Hasil analisa DMRT menunjukan bahwa perlakuan
penambahan inokulum secara bertahap populasi S. cerevisiae
ditambahkan di awal ferementasi 108 ± 0,1 log CFU/g pulp,
pada 24 jam fermentasi mengalami kenaikan menjadi 1012
Populasi (log CFU/g)
AGRITECH, Vol. 37, No. 3, Agustus 2017
0.00
2
-5.00
0
0
12
24
36
48
60
72
84
Lama fermentasin (jam)
etanol
asam laktat
asam asetat
Saccharomyces cerevisiae
Lactobacillus lactis
Acetobacter aceti
Gambar 4.
96
108
120
Hubungan populasi S. cerevisiae, L. Lactis,dan A. aceti terhadap
konsentrasi etanol, asam laktat dan asam asetatbiji kakao hasil
penambahan inokulum secara bertahap selama fermentasi
± 0,1 log CFU/g pulp, di 120 jam fermentasi populasi S.
cerevisiae menjadi 102 ± 0,1 log CFU/g pulp. Populasi L.
lactis di awal fermentasi 106 ± 0,1 log CFU/g pulp kemudian
ditambahkan inokulum mikrobia sebanyak 108 log CFU/g
pulp pada 24 jam fermentasi selanjutnya populasi naik menjadi
1012 ± 0,1 log CFU/g pulp di 48 jam fermentasi selanjutnya
turun menjadi 106 ± 0,1 log CFU/g pulp. Populasi A. aceti
di awal ferementasi 104 ± 0,1 log CFU/g pulp selanjutnya
ditambahkan inokulum mikrobia sebanyak 108 log CFU/g
pulp pada 48 jam fermentasi selanjutnya naik sampai 1012
± 0,1 log CFU/g pulp pada 72 jam fermentasi, selanjutnya
di 120 jam fermentasi menjadi 106 ± 0,1 log CFU/g pulp,
selanjutnya tersaji pada Gambar 4.
Penambahan S. cerevisiae di awal fermentasi sebanyak
108 log CFU/g pulp menunjukkan bahwa terjadi proses
fermentasi sesuai dengan suksesi mikrobia yaitu S. cerevisiae
di awal sampai jam ke 24 fermentasi menunjukan perannya
lebih dominan ditunjukan oleh kadar etanol tertinggi yaitu
5,5% ± 0,2. Pada 24 jam fermentasi ditambahkan L. lactis
sebanyak 108 log CFU/g pulp sejalan dengan membaiknya
aerasi serta penurunan pH diduga menyebabkan S. cerevisiae
tidak berperan sehingga perannya digantikan oleh L. lactis.
Peran L. lactis ditunjukan dengan kadar asam laktat tertinggi
4,8% ± 0,1 di 60 jam fermentasi. Pada 48 jam fermentasi
ditambahkan A. aceti (FNCC 0016) sebanyak 108 log
CFU/g pulp. Hasil analisis DMRT menunjukan bahwa pada
perlakuan inokulum secara bertahap rata-rata S. cerevisiae
tidak berbeda nyata terhadap perlakuan kontrol, perlakuan
penambahan inokulum di awal. Rata-rata populasi L. lactis
dan A. aceti tidak berbeda nyata dengan perlakuan inokulum
di awal.
Gambar 4 menunjukan bahwa di awal fermentasi
populasi S. cerevisiae sebesar 107 log CFU/g dengan
kandungan etanol 0,4%, kemudian populasi S. cerevisiae
307
AGRITECH, Vol. 37, No. 3, Agustus 2017
senyawa asam-asam organik, juga terjadi proses oksidasi
polifenol karena panas dan difusi asam kedalam keping biji.
Kualitas Biji Hasil Fermentasi
pH dan keasaman biji kakao
Kualitas biji kakao hasil fermentasi ditentukan terutama
oleh keasaman (pH) dan keasaman biji selama fermentasi.
Perubahan keasaman biji terlihat pada Gambar 5. Selama
fermentasi mikrobia mendegradasi gula pada pulp sehingga
menghasilkan alkohol dan asam organik yang terdifusi
kedalaam biji. Produksi asam dari degradasi pulp sangat
penting dalam fermentasi, dengan terdifusinya asam kedalam
biji menjadi awal reaksi bikimia dalam biji dimulai yang
akan menghasilkan biji kakao fermentasi yang baik.
Diawal fermentasi keasaman biji meningkat hingga
hari ketiga fermentasi kemudian menurun hingga akhir
fermentasai. Hal ini dikarena diawal fermentasi belum
terjadi difusi asam kedalam biji sehingga nilai keasaman
biji rendah dengan pH biji kakao tinggi antara 5–6. Setelah
hari ketiga terjadi difusi asam mengakibatkan nilai keasaman
biji menurun karena beberapa asam yang terdifusi menguap
sehingga keasaman biji rendah.
Antara pH dan keasaman biji saling berhubungan
dimana pH menunjukkan nilai yang rendah maka nilai
keasaman biji meningkat. Pengolahan kakao menghendaki
pH biji antara 5,2–5,8 untuk menghasilkan cocoa butter yang
berkualitas (Wood dan Lass, 2001). Data pengamatan pH biji
selama fermentasi tersaji dalam Gambar 6.
Hasil analisis DMRT menunjukkan bahwa ada
pengaruh lama fermentasi terhadap keasaman biji kakao
kering. Perlakuan penambahan inokulum di awal dan
inokulum secara bertahap menunjukan keasaman biji kakao
kering tidak berbeda nyata, tetapi terhadap perlakuan kontrol
berbeda nyata (p +DVLO SHQHOLWLDQ LQL PHQXQMXNNDQ
bahwa keasaman biji kakao kering seluruh perlakuan adalah
4,5. Keasaman biji kakao kering perlakuan kontrol naik
8
Asam tertitrasi (meq NaOH/g)
naik menjadi 108 log CFU/g setelah 12 jam fermentasi dengan
kenaikan kandungan alkohol mencapai 2%. Setelah 24 jam
maka populasi S. cerevisiae sebesar 109 log CFU/g dan
kandugan etanol 3,3%, kondisi demikian merupakan populasi
dan kandungan etanol tertinggi pada perlakuan penambahan
inokulum secara bertahap. Selanjutnya populasi S. cerevisiae
turun sampai 102 log CFU/g di jam ke-120 dan kandungan
etanol turun menjadi 0,7%, hal ini sejalan dengan penelitian
Schwan dkk. (1995) dan Afoakwa dkk. (2010) bahwa khamir
mampu bertahan sampai 6 hari atau 144 jam populasi S.
cerevisiae sebesar 102 logCFU/g.
Populasi L. lactis hasil perlakuan penambahan inokulum
secara bertahap di awal fermentasi sebesar 108 logCFU/g
dengan kandungan asam laktat 0,2%, kemudian naik menjadi
109 logCFU/g setelah 72 jam fermentasi kandungan asam
laktat sebesar 3%, Selanjutnya turun menjadi 106 log CFU/g,
dengan kandungan asam laktat 2%. Populasi L. lactis pada
penambahan inokulum secara bertahap lebih kecil dibanding
hasil penelitian Kustyawati dan Setyani (2008) yaitu 109 log
CFU/g.
Kosentrasi asam laktat pada penelitian ini sejalan
dengan pernyataan Ardana dan Fleet (2003) bahwa kosentrasi
asam laktat di akhir fermentasi masih 1–3%. Populasi A. aceti
di awal fermentasi 104 log CFU/g dengan kandungan asam
asetat 0,4% selanjutnya populasi naik menjadi 108 log CFU/g
dengan kandungan asam asetat 19% setelah 72 jam fermentasi
dan turun menjadi 106 log CFU/g dengan kandungan asam
asetat 18% di akhir fermentasi (120 jam fermentasi). Pola
pertumbuhan A. aceti pada penelitian ini meningkat di awal
fermentasi sampai jam ke-72 dengan pertumbuhan optimum
pada jam ke-72, hal ini berbeda dengan penelitian Kustyawati
dan Setyani (2008) serta Ardana dan Fleet (2003) dimana
populasi A. aceti 108 log CFU/g di awal fermentasi kemudian
menurun sampai hari ke-1 kemudian menuju kondisi optimum
pada hari ke-3 fermentasi.
Jenis dan populasi bakteri dalam suatu fermentasi
berkaitan erat dengan kondisi ekstrinsik dan intrinsik. Dalam
hal fermentasi kakao, tempat fermentasi, jenis kakao, dan
NRQGLVLJHRJUD¿VWHPSDWWXPEXKNDNDRPHPSXQ\DLSHQJDUXK
terhadap ekologi mikrobia yang terlibat dalam fermentasi.
Dengan alasan tersebut, maka jumlah bakteri asam laktat
pada penelitian ini lebih rendah dibanding sejumlah bakteri
tersebut (109–1010CFU/g pada 36 jam fermentasi) pada
penelitian Kustyawati dan Setyani (2008).
Populasi S. cerevisiae, L. Lactis,dan A. aceti serta jumlah
etanol, asam laktat, dan asam asetat yang dihasilkan serta
didukung oleh perubahan suhu yang terjadi selama fermentasi
maka dapat dikatakan bahwa proses fermentasi yang berjalan
baik terjadi pada perlakuan penamabahan inokulum secara
bertahap. Proses fermentasi selain mendegradasi gula menjadi
7
6
5
4
Kontrol
3
IA
2
IB
1
0
0
12
24
36
48
60
72
84
Lama fermentasi (jam)
96
108
Gambar 5. Perubahan keasaman biji kakao selama fermentasi
308
120
AGRITECH, Vol. 37, No. 3, Agustus 2017
7
6
4
Kontrol
3
IA
2
IB
1
0
0
12
24
36
48
60
72
84
Lama fermentasi (jam)
96
108
120
Gambar 6. Perubahan pH biji selama fermentasi
menjadi 5,98 ± 0,1 di 60 jam fermentasi, kemudian kembali
turun menjadi 4,4 ± 0,1 pada 120 jam fermentasi. Keasaman
biji kakao kering perlakuan penambahan inokulum di awal
fermentasi mengalami kenaikan menjadi 5,8 ± 0,1 pada 60
jam fermentasi, kemudian turun menjadi 4,60 ± 0,1 di 120
jam fermentasi.
Hasil analisis DMRT menunjukan bahwa rata-rata
keasaman biji kakao kering perlakuan inokulum di awal dan
perlakuan inokulum secara bertahap tidak berbeda nyata.
Perubahan keasaman biji kakao kering yang dihasilkan sesuai
dengan yang diperoleh Apriyanto dkk. (2016b).
Biji kakao kering jemur pH awal 5,7 kemudian
mengalami penurunan hingga 3,8 di jam ke-48. Hal ini
disebabkan oleh asam organik hasil fermentasi mengalami
difusi ke dalam biji kemudian meningkat sampai pH 4,4
karena beberapa asam organik mulai menguap dan sebagian
tertinggal dalam biji. Kualitas mutu fermentasi juga diukur
melalui nilai indeks fermentasi.
Hasil analisis DMRT menunjukkan bahwa ada pengaruh
lama fermentasi terhadap pH biji kakao kering. Perlakuan
penambahan inokulum di awal dan inokulum secara bertahap
menunjukan pH biji kakao kering tidak berbeda nyata, tetapi
terhadap perlakuan kontrol berbeda nyata (p +DVLO
penelitian ini menunjukkan bahwa pH biji kakao kering
seluruh perlakuan adalah 5,6. pH biji kakao kering perlakuan
kontrol turun menjadi 3,98 ± 0,1 di 60 jam fermentasi,
kemudian kembali naik menjadi 4,4 ± 0,1 pada 120 jam
fermentasi. pH biji kakao kering perlakuan penambahan
inokulum di awal dari awal fermentasi mengalami penurunan
menjadi 3,55 ± 0,1 pada 60 jam fermentasi, kemudian kembali
naik menjadi 4,30 ± 0,1 di 120 jam fermentasi.
Hasil analisis DMRT menunjukan bahwa rata-rata pH
biji kakao kering perlakuan inokulum di awal dan perlakuan
inokulum secara bertahap tidak berbeda nyata. Perubahan
pH biji kakao kering yang dihasilkan sesuai dengan yang
diperoleh Kustyawati dan Setyani, (2008) dan Afoakwa dkk.
(2014) yang telah mempelajari perubahan pH nib selama
fermentasi dengan perlakuan penambahan S. cerevisiae, L.
lactis, dan A. aceti.
Indeks Fermentasi
Biji kakao hasil fermentasi yang baik menghasilkan biji
NDNDRGHQJDQLQGHNVZDUQDVHGDQJNDQELMLNDNDR\DQJ
tidak melalui fermentasi kurang optimal memiliki indeks
warna < 1 (Schwan dan Wheals, 2004). Misnawi dkk. (2002)
menyatakan bahwa antosianin merupakan komponen utama
penyusun senyawa polifenol biji kakao dan pada kondisi
asam memberikan warna merah ungu dengan absorbansi
maksimum pada 500–550 nm. Dengan demikian warna dapat
digunakan untuk memperkirakan kandungan antosianin
biji kakao, sehingga semakin tinggi kandungan antosianin
biji kakao maka dapat diartikan biji kakao tersebut tidak
mengalami fermentasi.
Hasil analisa DMRT indeks fermentasi menunjukan
diawal fermentasi perlakuan kontrol, perlakuan penambahan
inokulum diawal dan penambahan inokulum secara bertahap
berturut-turut yaitu 0,31 ± 0,1, 0,32 ± 0,1, dan 0,33 ±
0,1. Indeks fermentasi perlakuan kontrol menunjukan
peningkatan menjadi 0,88 ± 0,1 di jam ke-96 fermentasi
selanjutnya tidak berubah sampai 120 jam fermentasi. Pada
perlakuan penambahan inokulum di awal indeks fermentasi
menunjukan peningkatkan menjadi 0,93 ± 0,1 di 96 jam
fermentasi selanjutnya tetap tidak berubah sampai 120 jam
fermentasi. Perlakuan penambahan inokulum secara bertahap
menunjukan indeks fermentasi mencapai 1,03 ± 0,1 pada
96 jam fermentasi selanjutnya menunjukan nilai yang sama
seperti disajikan Gambar 7. Dari Gambar 7 terlihat bahwa
sampai akhir fermentasi indek fermentasi untuk biji kakao
kering jemur tidak terpenuhi, hal ini diduga karena suhu
fermentasi tidak tercapai. Suhu fermentasi tidak tercapai
1.20
Indeks warna (abc 460/abs530 nm)
pH biji kakao
5
Jika ditinjau pH biji kakao kering pH biji kakao kering
seluruh perlakuan terjadi penurunan dari awal sampai 60
jam fermentasi di 120 jam fermentasi ini disebabkan oleh
peningkatan populasi asam asetat yang terdifusi kedalam
kotelidon. Setelah 60 jam fermentasi pH biji kakao kering
terjadi kenaikan sampai di 120 jam fermentasi hal ini
disebabkan terjadinya penguapan asam asetat seiring naiknya
suhu fermentasi.
1.00
0.80
Kontrol
0.60
IA
0.40
IB
0.20
0.00
0
12
24
36
48
60
72
84
Lama fermentasi (jam)
96
108
120
Gambar 7. Indeks fermentasi biji kakao selama fermentasi
309
AGRITECH, Vol. 37, No. 3, Agustus 2017
dikarenakan mikrobia yang membantu fermentasi dalam
jumlah yang kurang. Hasil analisis DMRT menunjukan
bahwa perlakuan kontrol, perlakuan penambahan inokulum di
awal dan penambahan inokulum secara bertahap menunjukan
indeks fermentasi berbeda nyata (p
KESIMPULAN
Biji kakao kering jemur dapat perbaiki mutunya melalui
perendaman selanjutnya difermentasi dengan perlakuan
kontrol, penambahan inokulum diawal fermentasi dan
penambahan inokulum secara bertahap. Perbaikan mutu biji
kakao kering jemur terlihat dari perubahan kimia pada biji
kakao kering jemur pasca fermentasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ardhana, M.M. dan Fleet, G. (2003). The microbial ecology
of cocoa bean fermentations in Indonesia. International
Journal of Food Microbiology 86: 87–99.
Beckett, S.T. (2009). Industrial Chocolate Manufacture and
Use. 4th, Wiley-Blackwell, United Kingdom.
Camalam, S.H. dan Aston J.W. (1993). The effect of the
RUJDQLF DFLG LQ FRFRD RQ WKH ÀDYRXU RI FKRFRODWH
Jounal Science Food Agriculture : 65–71.
Camu, N., Winter, T., De Addo, S.K., Takrama, J.S., Bernaert,
H. dan Vuyst, L. De. (2008). Fermentation of cocoa
EHDQVLQÀXHQFHRIPLFURELDODFWLYLWLHVDQGSRO\SKHQRO
FRQFHQWUDWLRQV RQ WKH ÀDYRXU RI FKRFRODWHJournal of
The Science of Food and Agriculture 88: 2288–2297.
Hansen, C.E., delOlmo, M. dan Burri, C. (1998). Enzyme
activities in cocoa beans during fermentation. Journal
of the Science of Food and Agriculture (2): 273–281.
Afoakwa, E.O., Budu, A.S., Mensah-brown, H., dan Felix, J.
(2014). Changes in biochemical and physico-chemical
qualities during drying of pulp preconditioned and
fermented cocoa (Theobroma cacao) beans.Journal of
Nutritional Health and Food Science 2: 1–8.
Kustyawati, M.E. dan Setyani, S. (2008). Pengaruh
penambahan inokulum campuran terhadap perubahan
kimia dan mikrobiologi selama fermentasi coklat.
Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian 8: 73–
84.
Afoakwa, E.O., Kongor, J.E., Takramadan J. dan Badudu,
$6 &KDQJHV LQ QLE DFLGL¿FDWLRQ DQG
biochemical composition during fermentation of pulp
pre-conditioned cocoa (Theobroma cacao) beans.
Internasional Food Research Journal 20(4): 1843–
1853.
Lima, L.J.R., Kamphuis, H.J. Nout, R.J. dan Zwietering, M.H.
(2011). Microbiota of cocoa powder with particular
reference to aerobic thermoresistant sporeformers.
Food Microbiology 28: 573–582.
Afoakwa, E.O. (2010). Chocolate Science and Technology.
Wiey-Blackwell, United Kingdom.
Albertini, B., Schouben, A., Guarnaccia, D., Pinneli, F.,
Della Vecchia, M., Ricci, M., Di Renzo, G, C. dan
Blasi, P., (2015). Effect of fermentation and drying on
cocoa polyphenol. Journal Agriculture Food Chemistry
63(45): 9948–9953.
Anonim (2013). Produksi Perkebunan Besar Menurut Jenis
Tanaman, Indonesia. http://www.bps.go.id. [29 Maret
2014].
Apriyanto, M., Sutardi, Supriyanto dan Harmayani, E.
(2016a). Study on Effect of Fermentation to quality
parameter of cocoa bean Indonesia. Asian Journal
Diary and Food Reseacrh 35(2): 160–163.
Apriyanto, M., Sutardi, Harmanyani, E. dan Supriyanto
(2016b). Perbaikan proses fermentasi biji kakao
non fermentasi dengan penambahan biakan murni
Saccharomyces cerevisiae, Lactobacillus lactis, dan
Acetobacter aceti. Agritech 36(4): 410–415.
310
Meersman, E., Stensels, J., Mathawan, M., Witcock, P.J.,
Seals, V., Struyf, N., Bernaert, H., Vrancken, G.
dan Verstrepen, K.J. (2013). Detailed analysis of
the microbial population in Malaysian Spontaneous
cocoa pulp fermentations reveals a core and variable
microbiota. Plus One Journal 8(12): 1–10.
Misnawi, Jinab, S., Nazamid, S. dan Jamilah, B. (2002).
Activation of remaining key enzymes in dried underfermented cocoa beans and its effect on aroma precursor
formation. Food Chemistry : 407–417.
Moreira, I.M.D.V., Miguel, M.G.D.C.P., Duarte, W.F., Dias,
D.R. dan Schwan, R.F. (2013). Microbial succession
and the dynamics of metabolites and sugars during the
fermentation of three different cocoa (Theobroma cacao
L.) hybrids. Food Research International 54: 9–17.
Nazaruddin, R., Seng, L.K., Hassan, O. dan Said, M. (2006).
Effect of pulp preconditioning on the content of
polyphenols in cocoa beans (Theobroma cacao) during
fermentation. Industrial Crops and Products 24: 87–94.
Neilsen, D., Crafack, M., Jespersen L dan Jakobsen, M.
(2013) Chocolate in Health and Nutrition. Published by
Humana Press Inc.pp. 39–60.
AGRITECH, Vol. 37, No. 3, Agustus 2017
Penido, A., Mendes, P., Campos, I. dan Mendes, L. (2013).
Effect of various media and supplements on laccase
activity and its application in dyes decolorization.
Malaysian Journal of Microbiology (2): 166–175.
Schwan, R.F. dan Wheals, A.E. (2004). The microbiology
of cocoa fermentation and its role in chocolate quality.
Critical Reviews in Food Science and Nutrition 44:
205–221.
Schwan, R.F., Rose, A.H. dan Board, R.G. (1995). Microbial
fermentation of cocoa beans, with emphasis on
enzymatic degradation of the pulp. Journal of Applied
Bacteriology - Symposium Supplement : 96–107.
Schwan, R.F. (1998). Cocoa fermentations conducted with
D GH¿QHG PLFURELDO FRFNWDLO LQRFXOXP Applied and
Environmental Microbiology 64: 1477–1483.
Sudarmadji, S., Bambang, H. dan Suhardi (1997). Prosedur
Analisa Bahan Pangan/LEHUW\3UHV<RJ\DNDUWD
Vuyst., L. De., Lefeber, T., Papalexandratou, Z. dan Camu,
N. (2010). The functional role of latic acid bacteria.
Dalam: Book Biotechonolgy of Latic Acid Bacteria
Novel Applicaton, Mozzi, F.,Raya, R.R. dan Vignolo,
G.M. eds., Wiley Blackwell.
Wood, G.A.R. dan Lass, R.A. (2001). Cocoa. 4th ed. Longman,
London.
311