Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Filosofi To Sangserekan: Etika Lingkungan Masyarakat Toraja Yang Bertanggung Jawab Terhadap Keseimbangan Alam Sanhedrin Rio Kassang1 Henni Tumba’ Sauna2 Institut Agama Kristen Negeri Toraja1 2 sanhedrinrio34@gmail.com hennienni289@gmail.com Abstract: This article departs from the philosophy held by the Toraja people, namely To Sangserekan, where the author sees this as an opportunity to create environmental ethics in the Torajan people who are responsible for the universe, because in the philosophy held by the Toraja people in the concept of To Sangserekan they consider nature as part of even their brothers. In this research, the author uses a qualitative approach by searching and collecting data through various research books, theological and general journals or research libraries which discuss in more depth the To Sangserahan Philosophy, Environmental Ethics, and Environmental Ethics from the To Sangserahan Philosophy. The results of this research found that understanding the concept of To Sangserekan as a guideline for responsible and sustainable behavior towards nature. Research shows that this philosophy teaches awareness of the close relationship between humans and nature, as well as shared responsibility in maintaining ecosystem balance. The implication is that this research can provide useful insights in designing more effective environmental conservation policies and programs in the Toraja region and similar communities. Keywords: To Sangserekan, Ethics, Environment, Responsibility, Nature Abstrak: Tulisan ini berangkat dari filosofis yang dipegang oleh masyarakat Toraja yakni To Sangserekan, di mana hal ini dilihat penulis sebagai peluang dalam menciptakan etika lingkungan masyarakat Toraja yang bertanggung jawab terhadap alam semesta, karena dalam filosofi yang dipegang oleh masyarakat Toraja dalam konsep To Sangserekan mereka menganggap alam sebagai bagian bahkan saudara mereka. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan mencari dan mengumpulkan data melalui berbagai buku-buku penelitian, jurnal-jurnal theologia dan umum atau library research yang membahas lebih dalam mengenai Filosofi To Sangserekan, Etika Lingkungan, dan Etika Lingkungan dari Filosofi To Sangserekan. Hasil penelitian ini menemukan bahwa pemahaman konsep To Sangserekan sebagai pedoman untuk perilaku yang bertanggung jawab dan berkelanjutan terhadap alam. Penelitian menunjukkan bahwa filosofi ini mengajarkan kesadaran akan hubungan erat antara manusia dan alam, serta tanggung jawab bersama dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Implikasinya adalah bahwa penelitian ini dapat memberikan pandangan yang berguna dalam merancang kebijakan dan program pelestarian lingkungan yang lebih efektif di wilayah Toraja dan masyarakat yang serupa. Kata Kunci: To Sangserekan, Etika, Lingkungan, Tanggung Jawab, Alam Pendahuluan Dalam era globalisasi ini, tantangan terhadap keberlanjutan lingkungan semakin menjadi fokus utama dalam berbagai konteks, termasuk dalam masyarakat lokal yang memiliki tradisi dan nilai-nilai unik. Salah satu contohnya adalah masyarakat Toraja di Sulawesi Selatan, Indonesia. Masyarakat Toraja dikenal dengan kebudayaan dan adat istiadatnya yang kaya serta filosofi hidup yang mendalam, salah satunya adalah Filosofi To Sangserekan. Filosofi tersebut menitikberatkan bahwa Masyarakat Toraja menyadari hakekat ciptaan Tuhan yang lainnya, dan juga memandang kesetaraan sesuai dengan arti sangserekan. Sehingga melalui filosofi ini muncul semangat yang diwujudkan dalam pemeliharaan yang di dasarkan pada tanggung jawab manusia dalam memperhatikan keseimbangan alam semesta. Yenni Patrecia, “Budaya Tallu Lolona Sebagai Dasar Beroikumene Semesta Bagi Masyarakat Toraja,” KAMASEAN: Jurnal Teologi Kristen 3, no. 2 (2022): 88. Robert P. Borrong dalam bukunya mengatakan bahwa alam dengan sendirinya hadir sebagai penopang kehidupan manusia, maka alam pun patut dihargai dan diperlakukan dengan baik layaknya sebagai saudara yang menjadi bagian dalam hidup kita. Itulah bagian penting yang ditentukan oleh etika lingkungan atau yang disebut juga etika lingkungan ekstensionisme dan etika lingkungan preservasi, yang didalamnya menekankan pemeliharaan alam atau lingkungan bukan hanya demi manusia melainkan demi keseimbangan alam itu sendiri. Robert P Borong, Etika Bumi Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000). Tentu hal ini sejalan dengan filosofi orang Toraja dalam konsep To Sangserekan yang menganggap alam sebagai bagian dari manusia bahkan alam adalah saudara dari manusia itu sendiri. Dengan demikian tidak ada alasan bagi manusia Toraja untuk tidak memelihara keseimbangan alam di bumi ini. Filosofi To Sangserekan menjadi landasan penting bagi masyarakat Toraja dalam menjaga keseimbangan alam dan hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan sekitarnya. Dalam konteks ini, etika lingkungan bukanlah sekadar konsep kosong, melainkan suatu pandangan hidup yang tercermin dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil oleh masyarakat Toraja. Dalam filosofi ini manusia Toraja tidak memandang dirinya sebagai pusat dari alam melainkan bagian dari alam itu sendiri sehingga ada relasi antara manusia dan alam, yang bukan hanya hubungan yang berkaitan dengan fungsional tetapi dalam relasi persaudaraan sehingga disebut sangserekan. Kata sangserekan sendiri berasal dari akar kata serek yang mengandung arti mencabikkan atau merobekkan, awalan sang dalam kata ini menunjukkukan arti sesama, dan akhiran an membuat kata kerja sebagai kata benda. Jadi dapat disimpulkan bahwa sangserekan secara harafiah berarti secabikan atau serobekan, yang bermaksud memberi gambaran dari bagian yang sama dari satu kesatuan utuh atau segolongan. F S Wijaya, Retret Ekologi Toraja (Pustaka KSP Kreatif, 2023), 134. Dengan demikian filosofi To Sangserekan dapat menjadi bagian penting dalam pembentukan etika lingkungan. Tugas etika lingkungan secara khusus ialah mengembangkan asas-asas yang berkenan dengan Tindakan manusia terhadap dunia yang bukan manusia dalam hal ini ialah alam. Jadi etika lingkungan ini mempunyai tujuan praktis dan bukan hanya sekadar penjelasan mengenai posisi manusia dalam alam semesta ini atau pembenaran sistem etika yang disepakati di antara manusia. Juga isu-isu praktislah yang memberi pengaruh bagi studi etika. Keluasan, mendesaknya dan kerumitan isu-isu tergambar dalam keluasan, mendesaknya dan kerumitan persoalan-persoalan etis yang berkaitan dengannya. C Deane-Drummond, Teologi Dan Ekologi (BPK Gunung Mulia, 2006), 75. Salah satu persoalan-persoalan etis dalam Masyarakat Toraja ialah kurangnya tanggung jawab dalam merawat keseimbangan alam yang di mana manusia Toraja hidup, sehingga hal ini dapat di kritik melalui falsafah yang dipegang yakni To Sangserekan yang menganggap alam sebagai saudara manusia. Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam tentang filosofi To Sangserekan dan bagaimana hal itu mengarah pada pembentukan etika lingkungan yang bertanggung jawab di kalangan masyarakat Toraja. Melalui pendekatan kualitatif, penelitian ini akan menjelajahi berbagai aspek, seperti tradisi adat, sistem kepercayaan, serta praktik-praktik sosial yang menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja. Diharapkan bahwa hasil penelitian ini tidak hanya akan memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang filosofi To Sangserekan, tetapi juga akan memberikan wawasan yang berharga bagi upaya pelestarian lingkungan tidak hanya di kalangan masyarakat Toraja, tetapi juga di tingkat yang lebih luas. Upaya untuk memahami dan mempertahankan nilai-nilai lokal dalam konteks globalisasi yang terus berkembang menjadi semakin penting, dan penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi yang berarti dalam arah tersebut Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif sendiri pada hakekatnya adalah mengamati orang dalam lingkungan bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitar. Dengan mencari dan mengumpulkan data melalui berbagai buku-buku penelitian, jurnal-jurnal theologia dan umum atau library research yang membahas lebih dalam mengenai keseimbangan ekosistem, krisis ekologi dan konsep keselamatan alam semesta. Beberapa sumber referensi yang bersifat ilmiah umumnya berasal dari hasil riset, yang meliputi jurnal ilmiah ataupun buku-buku yang dijadikan sebagai bahan rujukan yang berhubungan dengan pokok permasalahan. Semua data yang diperoleh akan dipelajari dan kemudian dibandingkan satu dengan yang lain hingga memperoleh satu kesimpulan yang menjadi jawaban atas berbagai pertanyaan dalam tulisan ini. Pendekatan yang digunakan dalam penelitan ini adalah studi pustaka yang merupakan teknik pengumpulan data dengan studi terhadap sumber literatur yang saling berhubungan dengan masalah yang dibahas. Dicky Dominggus, ―Pengabdian Abdi Dalem Keraton Yogyakarta Sebagai Potret Pelayanan Masa Kini, Voice of Hami 2, no. 2 (2020): 89. Hasil dan Pembahasan Filosofi To Sangserekan Umumnya manusia memiliki cara pandang yang antroposentrime yakni pandangan yang menganggap kepentingan manusia paling tinggi dalam menentukan seluruh tatanan ekosistem, yang meliputi kebijakan yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung. Pribadyo Prakosa, Sharon Michelle O Pattiasina, and Winanda Winanda, “Ekoteologi Gereja Terhadap Penanaman Kelapa Sawit Di Lahan Gambut,” Jurnal Ilmiah Religiosity Entity Humanity (JIREH) 5, no. 1 (2023): 74. Namun paham antroposentrisme tidak dikenal dalam falsafah asli orang Toraja yang menganut konsep To Sangserekan. Di mana hubungan manusia dengan makhluk-makhluk lain tidak hanya sakadar berupa hubungan fungsional, yang menganggap makhluk-makhluk lain dalam alam ini semata-mata sebagai sarana atau alat untuk kepentingan manusia. Karena dalam filosofi To Sangserekan hubungan manusia dengan makhluk-makhluk lain justru dipandang sebagai relasi persaudaraan. F S Wijaya, Retret Ekologi Toraja (Pustaka KSP Kreatif, 2023), 135. Filosofi To Sangserekan adalah landasan spiritual dan filosofis yang mendasari pandangan hidup masyarakat Toraja di Sulawesi Selatan, Indonesia. Filosofi ini mencerminkan pemahaman mendalam mereka akan keseimbangan alam, hubungan harmonis antara manusia dengan alam, serta tanggung jawab kolektif mereka dalam menjaga kelestarian lingkungan. Kata "To" dalam bahasa Toraja berarti "tuhan" atau "roh," sementara "Sangserekan" mengacu pada hubungan yang erat antara manusia dan alam. Dalam hal ini kita berbicara mengenai falsafah religious, sehingga terlebih dahulu kita akan melakukan pendekatan dari segi antropologi budaya. Dalam kepercayaan masyarakat Toraja manusia tidak dapat dipisahkan dari alam semesta yang menyangkut kejadian alam semesta, sesatuan harmoni asal mula. Kejadian alam semesta berawal dari perkawinan suci antara langit dan bumi Tema perkawinan ini secara langsung diungkapkan dalam teks Ossoran Tempon Daomai Langi’ atau silsilah yang bermula dari atas langit. Ibid, 128. Langit dan bumi saling mengikat diri dalam perkawinan, dari perkawinan ini melahirkan tiga anak yang membentuk suatu kesatuan yang begitu erat, sehingga disebut titanan tallu, yang didalamnya ada kebersamaan sebagai tiga serangkai begitu erat, bagaikan tiga tungku, bahkan jika salah satu tidak berfungsi maka tidak ada lagi tungku. Dalam kebersamaan itu mereka kemudian membuat laut dalam, matahari, bulan dan bintang-bintang. Ibid, 130. Berbicara mengenai konsep penciptaan manusia dan makhluk-makhluk lainnya hewan juga tumbuh-tumbuhan, semuanya diciptakan dari bahan yang sama yakni butir-butir emas murni, dan dengan perkakas dan cara yang sama. Hal inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya filsofis orang Toraja mengenai To Sangserekan di mana hubungan antara manusia dan makhluk-makhluk lain digambarkan dalam dua hal yang sama yakni sangserekan dan sangpa’duanan. Ibid, 133. Sangpa’duanan hampir memiliki makna yang sama dengan sangserekan, di mana kata ini berasal dari akar kata dua yang merujuk pada kata bilangan yang kemudian dijadikan kata pa’dua yang berarti membagi dua, sehingga sangpa’duanan berarti separuh yang sama dari satu kesatuan yang utuh. Ibid, 135. Ini menekankan bahwa alam menjadi separuh hidup manusia Toraja. Berkaitan dengan hal tersebut falsafah yang dipegang oleh orang Toraja menekankan pentingnya relasi yang baik dengan ciptaan lainnya itulah yang disebut sangserekan bane’. Bahwa relasi yang terjalin antara manusia atau lolo tau, hewan atau lolo patuan dan tumbuhan atau lolo tananan adalah hal yang wajib diwujudkan karena sama sama berasal dari sumber yang sama dalam konsep mitologi dan kosmologi orang Toraja. Teny Manopo, “Pertobatan Ekologis Dalam Bingkai Filosofi “Sangserekan Bane’” Dan Pandemi Covid 19,” Kamasean: Jurnal Teologi Kristen 2, no. 1 (2021): 3. Pada intinya, Filosofi To Sangserekan bagi masyarakat Toraja mengajarkan bahwa alam dan manusia merupakan bagian tak terpisahkan dari kesatuan yang lebih besar. Alam dipandang sebagai entitas yang hidup, memiliki roh, dan harus dihormati dan dijaga dengan penuh tanggung jawab. Manusia dianggap sebagai bagian dari alam yang harus hidup berdampingan secara harmonis dengan unsur-unsur alam lainnya. Di mana Masyarakat Toraja memandang alam sebagai sumber kehidupan dan keberlimpahan, dan oleh karena itu, mereka memiliki kewajiban moral untuk menjaga keseimbangan alam. Konsep ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, mulai dari praktik pertanian hingga upacara adat. Dalam ritus Rambu Solo’ memang Kerbau yang adalah bagian dari alam dipersembahkan sebagai kurban, namun sebelum disembelih, terlebih dahulu akan diucapkan kalimat yang menyatakan bahwa penyembelihan dilakukan bukan didasarkan pada keswenangan manusia tetapi melaksanakan aluk yang sudah menjadi warisan turun temurun. Ascteria Paya Rombe, “Kurban Bagi Orang Toraja Dan Kurban Dalam Alkitab,” KAMASEAN: Jurnal Teologi Kristen 2, no. 2 (2021): 52. Selain itu, Filosofi To Sangserekan juga memiliki dimensi spiritual yang kuat. Masyarakat Toraja percaya bahwa roh nenek moyang mereka terus berinteraksi dengan alam, dan oleh karena itu, mereka mengadakan berbagai ritual dan upacara untuk memuliakan roh-roh tersebut dan meminta restu mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Secara keseluruhan, Filosofi To Sangserekan bukan hanya sekadar seperangkat keyakinan atau nilai-nilai, melainkan merupakan pandangan hidup yang menyeluruh yang memengaruhi setiap aspek kehidupan masyarakat Toraja. Filosofi ini menjadi fondasi untuk pembentukan etika lingkungan yang bertanggung jawab di kalangan mereka, serta menjadi pedoman dalam menjaga keberlanjutan lingkungan bagi generasi-generasi mendatang. Bahkan ketika ada orang yang menimbulkan permusuhan dengan alam, mereka akan diperingatkan bahwa mereka serumpun atau sangserekan yang masing-masing memiliki fungsinya sendiri. Ibid, 52. Etika Lingkungan dari Filosofi To Sangserekan Etika selalu mengukur perilaku manusia dalam tiga kategori: benar-salah, baik-buruk, dan tepat-tidak tepat. Norma dasar seperti norma keadilan dan norma kasih seharusnya juga menjadi panduan dalam interaksi manusia dengan alam. Mengingat alam adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia, krisis ekologis atau kerusakan lingkungan harus menjadi konteks untuk mempertimbangkan apakah perilaku terhadap alam adalah benar atau salah, baik atau buruk, dan tepat atau tidak tepat. Pertanyaan tentang apakah norma yang diikuti manusia merupakan norma yang etis secara benar, baik, dan tepat menjadi penting. Hidup secara etis berarti menjalin hubungan yang benar, baik, dan sesuai dengan yang seharusnya dengan sesama manusia dan lingkungan tempat manusia hidup, serta dengan ciptaan dan makhluk hidup lainnya. Meskipun hubungan dengan sesama manusia dan lingkungan memiliki bobot yang berbeda, keduanya tidak dapat dipisahkan. Perlakuan buruk terhadap alam tidak hanya merugikan alam itu sendiri, tetapi juga sesama manusia dan diri sendiri. Oleh karena itu, ada keterkaitan yang tak terhindarkan antara manusia dan alam, baik dalam hubungan individu dengan alam maupun dalam hubungan sesama manusia dengan alam. Robert P Borrong, Etika Bumi Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009). 140. Etika lingkungan hidup pada dasarnya berawal dari kesadaran manusia dalam menghadapi keadaan hidup dan lingkungannya, misalnya ketika manusia menyadari dampak dari bahaya penggarapan alam semesta. Dalam etika lingkungan hidup kita menyadari adanya kesalahan sikap dasar terhadap lingkungan alam. William Chang, Morael Spesial (Yogyakarta: KANISIUS, 2020), 278. Rannu Sanderan dalam karyanya yang berjudul “To Sangserekan; A Theological Reflection on The Integrity of Creation in the Torajan Context” yang menggambarkan mengenai krisis alam yang terjadi akibat sikap manusia yang kurang memperhatikan etika dalam berelasi dengan alam yang tidak hanya memberi dampak pada ketidakseimbangan alam semesta melainkan menyebabkan terjadinya ketidakadilan sosial, bahkan masyarakat dapat tercabut dan terpisahkan dari identitas budayanya. Rannu Sanderan, “TOSANGSEREKAN, A Theological Reflection on the Integrity of Creation in the Torajan Context” (2021). Eugene P. Ondum, seorang ilmuwan lingkungan dari Universitas Georgia, mengembangkan konsep moral lingkungan hidup yang mengacu pada hubungan filosofis dan biologis antara manusia dan alam. Dalam masyarakat yang berkembang, moral ini mendorong refleksi tentang perilaku manusia terhadap lingkungannya. Kualitas hidup individu dan sosial sangat bergantung pada keadaan lingkungan, sehingga memperluas etika untuk mencakup hubungan manusia dengan lingkungan menjadi penting. Odum menekankan pentingnya mempertimbangkan filosofi dalam pandangan dan tindakan manusia terhadap alam. Ia menyoroti interkoneksi antara semua elemen dalam alam semesta, dengan penekanan pada dimensi sosial dalam pandangan moral tentang lingkungan hidup. Maria A. La Torre, Ecologia e Morale [L’irruzione Dell’occidente] (Assisi: Cittadella editrice, 1990). Moral lingkungan hidup tidak hanya menekankan nilai dan norma moral dalam konteks ekologis, melainkan juga mengubah persepsi masalah lingkungan menjadi masalah moral yang melibatkan semua makhluk dan elemen alam. Tanggung jawab manusia terhadap lingkungan adalah bagian integral dari moral lingkungan hidup, yang bukan hanya sebuah cabang etika, tetapi juga perlu diperluas ke semua bidang etika. Sebagai contoh, dalam etika bisnis, pertimbangan ekologis harus menjadi bagian dari pertimbangan moral, mengakui tanggung jawab manusia terhadap kehidupan lain di planet ini. Oleh karena itu, setiap aspek moral seharusnya mencakup aspek lingkungan hidup, dan hal ini menuntut pergeseran paradigma yang radikal, bahkan dalam tradisi-tradisi keagamaan seperti Kristen. William Chang, Moral Spesial (Yogyakarta: PT Kansius, 2015). 287-288. Etika lingkungan, seperti halnya etika secara umum, bermula dari pertimbangan tentang perilaku manusia. Ini melibatkan refleksi tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan alam atau lingkungannya. Hubungan antara manusia dan alam adalah fokus utama dalam pembahasan etika lingkungan atau etika ekologi. Borrong, Etika Bumi Baru. 138. Etika lingkungan yang dihasilkan dari filosofi To Sangserekan mengacu pada pemahaman bahwa manusia adalah bagian integral dari alam, bukan pemiliknya. Konsep ini mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan alam dan memperlakukan lingkungan dengan penuh hormat dan kehati-hatian. Dalam pemahaman ini, setiap interaksi manusia dengan alam harus dilakukan dengan penuh kesadaran akan dampaknya terhadap ekosistem dan keberlangsungan hidup manusia di masa depan. Filosofi To Sangserekan dari masyarakat Toraja memberikan pandangan khas tentang etika lingkungan yang menekankan harmoni dalam hubungan antara manusia dan alam, di mana keduanya saling berinteraksi secara seimbang dan harmonis. Manopo, “Pertobatan Ekologis Dalam Bingkai Filosofi “Sangserekan Bane’” Dan Pandemi Covid 19.” Ada Beberapa prinsip etika lingkungan yang dapat dipetik dari filosofi To Sangserekan adalah sebagai berikut: Kesetaraan semua bentuk kehidupan: To Sangserekan memandang semua makhluk hidup, termasuk manusia, tumbuhan, dan hewan, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari alam semesta. Mereka meyakini bahwa setiap makhluk memiliki nilai dan haknya sendiri untuk hidup dan berkembang. Menghormati leluhur: To Sangserekan menghargai peran leluhur dalam menjaga alam dan tradisi mereka dalam menjaga lingkungan. Oleh karena itu, mereka meyakini pentingnya menghormati leluhur dan mengikuti tradisi mereka dalam menjaga alam. Tanggung jawab terhadap masa depan: To Sangserekan merasa bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian alam bagi generasi yang akan datang. Mereka mengutamakan penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan dan tidak berlebihan. Mencapai keseimbangan dan harmoni: To Sangserekan mengupayakan keseimbangan dan harmoni antara manusia dan alam. Mereka percaya bahwa hidup sejalan dengan alam adalah kunci untuk menjaga keseimbangan alam. Bersyukur dan menghargai: To Sangserekan bersyukur atas kelimpahan alam dan menghargai segala yang diberikan oleh alam. Mereka mengekspresikan rasa syukur ini melalui ritual dan tradisi yang menghormati alam. Prinsip-prinsip etika lingkungan To Sangserekan menawarkan panduan yang berharga untuk hidup selaras dengan alam. Etika Lingkungan Yang Bertanggung Jawab Terhadap Keseimbangan Alam Etika lingkungan adalah serangkaian prinsip yang membimbing perilaku manusia dalam interaksinya dengan alam. Etika lingkungan yang bertanggung jawab terhadap keseimbangan alam menekankan pentingnya memelihara hubungan yang harmonis antara manusia dan alam. Ini mengimplikasikan penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan dan menghindari tindakan yang dapat merusak lingkungan. Alam adalah habitat bagi manusia, di mana unsur-unsurnya saling terhubung dan hidup berdampingan secara alami. Kemajuan teknologi di wilayah perbatasan memiliki kemampuan untuk mengubah lingkungan dan mengurangi ketergantungan antara unsur-unsur alam yang biasanya mendukung kehidupan manusia, sesuai dengan keinginan manusia yang tak terbatas. Contohnya adalah penggunaan peralatan pemanas, pendingin udara, pasokan air, dan listrik di rumah. Seiring dengan perkembangan teknologi, manusia semakin mampu memodifikasi dan mengelola lingkungan alam. Dampak dari proses ini akan memengaruhi hubungan antara unsur-unsur alam yang saling berinteraksi dan hidup berdampingan. Mutria Farhaeni, Etika Lingkungan, Manusia Dan Kebudayaan (Yogyakarta: Penerbit Deepublish Digital, 2023). 9 Etika berasal dari kata Yunani "Ethos" yang merujuk pada adat istiadat atau kebiasaan. Terdapat tiga teori utama tentang pengertian etika: deontologi, teologi, dan keutamaan. Oleh karena itu, etika lingkungan adalah kebijaksanaan moral manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Etika Deontologi menilai baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan kewajiban. Etika Teologi menilai baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan atau akibatnya. Sedangkan Etika Keutamaan memprioritaskan pengembangan karakter moral pada setiap individu. Lingkungan mencakup segala sesuatu di sekitar manusia yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, etika lingkungan adalah pandangan moral manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya, yang penting untuk memastikan bahwa setiap aktivitas yang memengaruhi lingkungan dipertimbangkan secara cermat agar keseimbangan lingkungan tetap terjaga. M. Yasir Said and Yati Nurhayati, “Paradigma Filsafat Etika Lingkungan Dalam Menentuka Arah Politik Hukum Lingkungan,” AI’Adl 12, no. 1 (2020): 46–47. Etika lingkungan adalah penting untuk memastikan bahwa setiap aktivitas yang melibatkan lingkungan dipertimbangkan dengan hati-hati demi menjaga keseimbangan ekosistem. Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait penerapan etika lingkungan meliputi: Manusia merupakan bagian tak terpisahkan dari lingkungan, sehingga penting untuk menghargai semua bentuk kehidupan dan lingkungan tersebut selain dari diri sendiri. Sebagai bagian dari lingkungan, manusia harus selalu berusaha untuk memelihara keindahan alam serta menjaga keseimbangan ekosistem. Perlunya bijaksana dalam penggunaan sumber daya alam yang terbatas, termasuk dalam hal penggunaan energi, untuk memastikan keberlanjutan dan kelangsungan hidup lingkungan. Lingkungan tidak hanya ada untuk kepentingan manusia, tetapi juga untuk keberlangsungan makhluk hidup lainnya. Ibid. 46-47. Manusia, sebagai bagian tak terpisahkan dari alam semesta, memiliki tanggung jawab untuk merawatnya. Tanggung jawab ini tidak hanya bersifat individu, tetapi juga kolektif. Keseimbangan dan kerusakan alam merupakan tanggung jawab bersama seluruh umat manusia. Oleh karena itu, penulis mengajukan gagasan bahwa manusia yang memiliki dominasi atas lingkungan bumi juga bertanggung jawab atas nasib lingkungan tersebut. Konsep ini telah mulai diadopsi dalam hukum lingkungan, yang mengartikulasikan prinsip-prinsip seperti prinsip pencemar membayar dan prinsip tanggung jawab mutlak. Ibid. 49. Etika pengelolaan sumber daya alam mencerminkan kesadaran manusia akan ketergantungan mereka pada alam dan tanggung jawab moral untuk menjaga keberlanjutan sumber daya. Dengan menerapkan etika ini, manusia dapat memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan mewariskan warisan alam yang utuh kepada generasi mendatang. Hal ini akan menuntut perlindungan terhadap kenanekaragaman hayati, dimana konservasi dan habitat alami menjadi langkah-langkah etis untuk menjaga beragam spesies dan ekosistem, dimana ada pembatasan jumlah tangkapan, pemilihan spesies yang diambil, dan larangan terhadap praktik perburuan yang merusak habitat menjadi bagian dari tanggung jawab moral, sehingga manusia dapat berkontribusi dalam mencegah kepunahan spesies dan mempertahankan keseimbangan ekosistem. Dengan demikian manusia menjadi selektif lagi dalam memilih bahan baku yang dapat diperbaharui dan memiliki dampak lingkungan yang lebih rendah, dengan kata lain manusia lebih selektif dalam mendaur ulang apa yang dipakai sebelumnya atau melakukan penanaman kembali jika itu harus menggunakan sumber daya alam dari tumbuhan. dimana ada pembatasan jumlah tangkapan, pemilihan spesies yang diambil, dan larangan terhadap praktik perburuan yang merusak habitat menjadi bagian dari tanggung jawab moral. 4. Kesimpulan Filosofi To Sangserekan, ditemukan penekanan yang kuat pada tanggung jawab manusia terhadap keseimbangan alam dalam konteks masyarakat Toraja. Filosofi ini menawarkan pandangan yang dalam tentang hubungan harmonis antara manusia dan alam, di mana setiap tindakan manusia memiliki dampak langsung pada lingkungan sekitarnya. Prinsip-prinsip etika lingkungan dalam masyarakat Toraja menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan alam dan menghormati kearifan lokal yang diwariskan oleh leluhur. Dalam konteks ini, etika lingkungan menjadi dasar bagi tindakan manusia dalam menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan alam. Konsep tanggung jawab kolektif terhadap lingkungan sangat ditekankan, menekankan bahwa setiap individu dalam masyarakat memiliki peran penting dalam menjaga kelestarian alam bagi kesejahteraan masa kini dan masa depan. Penghargaan terhadap pengetahuan dan tradisi leluhur juga menjadi aspek yang sangat dihargai, karena dianggap memiliki wawasan yang berharga tentang cara menjaga lingkungan yang seimbang. Dengan demikian, filosofi To Sangserekan memberikan pandangan yang dalam tentang bagaimana manusia seharusnya berinteraksi dengan alam. Ini tidak hanya mencakup tindakan praktis dalam menjaga lingkungan sekitar, tetapi juga melibatkan penghargaan terhadap warisan budaya dan pengetahuan lokal yang dapat membantu dalam memelihara keseimbangan ekologis. Kesadaran akan tanggung jawab kolektif manusia terhadap alam menjadi inti dari filosofi ini, memberikan arahan moral yang kuat bagi masyarakat Toraja dalam menjaga harmoni antara manusia dan alam. Referensi Borong, Robert P. Etika Bumi Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000. Borrong, Robert P. Etika Bumi Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009. Chang, William. Morael Spesial. Yogyakarta: KANISIUS, 2020. Moral Spesial. Yogyakarta: PT Kansius, 2015. Deane-Drummond, C. Teologi Dan Ekologi. BPK Gunung Mulia, 2006. Farhaeni, Mutria. Etika Lingkungan, Manusia Dan Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Deepublish Digital, 2023. Manopo, Teny. “Pertobatan Ekologis Dalam Bingkai Filosofi “Sangserekan Bane’” Dan Pandemi Covid 19.” Kamasean: Jurnal Teologi Kristen 2, no. 1 (2021): 1–15. Patrecia, Yenni. “Budaya Tallu Lolona Sebagai Dasar Beroikumene Semesta Bagi Masyarakat Toraja.” KAMASEAN: Jurnal Teologi Kristen 3, no. 2 (2022): 84–98. Prakosa, Pribadyo, Sharon Michelle O Pattiasina, and Winanda Winanda. “Ekoteologi Gereja Terhadap Penanaman Kelapa Sawit Di Lahan Gambut.” Jurnal Ilmiah Religiosity Entity Humanity (JIREH) 5, no. 1 (2023): 73–82. Rombe, Ascteria Paya. “Kurban Bagi Orang Toraja Dan Kurban Dalam Alkitab.” KAMASEAN: Jurnal Teologi Kristen 2, no. 2 (2021): 39–60. Said, M. Yasir, and Yati Nurhayati. “Paradigma Filsafat Etika Lingkungan Dalam Menentuka Arah Politik Hukum Lingkungan.” AI’Adl 12, no. 1 (2020): 46–47. Sanderan, Rannu. “TOSANGSEREKAN, A Theological Reflection on the Integrity of Creation in the Torajan Context” (2021). Torre, Maria A. La. Ecologia e Morale [L’irruzione Dell’occidente]. Assisi: Cittadella editrice, 1990. Wijaya, F S. Retret Ekologi Toraja. Pustaka KSP Kreatif, 2023.