Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Jurnal Teologi Praktika http://jurnalstttenggarong.ac.id/index.php/JTP Sekolah Tinggi Teologi Tenggarong p-ISSN 2722-8916, e-ISSN 2722-8908 Edisi: Volume 1, Nomor 2, Desember 2020 halaman: 121-136 Pengajaran Mengenai Puasa Menurut Yesaya 58:1-12 Ester Sekolah Tinggi Teologi Tenggarong Email: esterlukas001@gmail.com Florence Farida Sekolah Tinggi Teologi Tenggarong Email: florenfa@yahoo.com Abstract: The purpose of the research is to find out the Bible teaching about fasting, especially in the book of Isaiah 58:1-12, and its implications for the practice of Christian fasting today. The research used was a qualitative research method of literature study by analyzing the texts of the Book of Isaiah chapter 58: 1-12 and using descriptive hermeneutics method. The results of the analysis have implications for the fasting life of Christians today. It was found that Isaiah 58: 1-12 talks about the essence of fasting are seeking God, knowing God's way, doing what is right before God, obeying God, approaching God, humbling before God, and stopping from personal matters. Then it was found about the forms of fasting which are not desired and desired by God, and the right attitudes in doing fasting. Key Words: Teaching, Fasting Abstrak: Penelitian ini berujuan untuk menemukan pengajaran Alkitab, terutama di dalam kitab Yesaya tentang puasa dan implikasinya terhadap praktik puasa kristiani pada masa kini. Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif literatur studi dengan menganalisa teks dari Kitab Yesaya pasal 58:1-12 dan menggunakan prinsip hermeneutik deskriptif. Hasil analisis berimplikasi pada kehidupan puasa orang Kristen pada masa kini. Didapati bahwa Yesaya 58:1-12 membicarakan tentang esensi kesalehan dari tindakan berpuasa adalah mencari Allah, mengenal jalan Allah, melakukan yang benar di hadapan Allah, taat kepada Allah, mendekat kepada Allah, merendahkan diri di hadapan Allah, dan berhenti dari urusan pribadi. Kemudian ditemukan tentang bentuk-bentuk puasa yang tidak dikehendaki dan dikehendaki Allah serta sikap-sikap yang benar dalam melakukan puasa. Didapati bahwa jika umat melakukan puasa sesuai dengan puasa yang Allah kehendaki, maka Allah memberikan berkat-berkatnya bagi umat. Kata Kunci: Pengajaran, Puasa Pendahuluan Puasa adalah satu hal yang memang dianggap penting bagi sebagian besar agama seperti yang dinyatakan oleh Foster (1996) bahwa “berpuasa sudah tentu bukan semata-mata suatu disiplin kristiani; hampir semua agama besar mengakui kegunaannya.” Oleh karena itu pengajaran tentang puasa juga merupakan satu hal yang penting untuk diajarkan bagi setiap agama yang menjalankannya secara khusus setiap orang percaya harus memiliki pemahaman yang benar tentang puasa. Puasa sangat penting dikarenakan sebagai suatu pernyataan dari diri kita kepada Allah dan kepada diri sendiri dalam membangun hubungan dengan Alah yang penuh kesungguhan (Butar-butar, 2017). Melalui puasa seseorang menyatakan akan kebergantungannya kepada Allah untuk memberikan pertolongan dari apa yang disampaikan dan yang diharapkan. Puasa 121 Volume 1, Nomor 2, Desember 2020 merupakan bagian dari disiplin rohani orang percaya yang sangat bersar impaknya bagi kehidupan rohani (Mutak, 2016). Di dalam puasa adanya ibadah sebagai bentuk persekutuan dan hidup berserah atau bergantung kepada Tuhan. Setiap orang percaya memiliki tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan oleh Allah untuk dijalani, oleh sebabnya setiap tanggung jawab tersebut harus benar-benar dilaksanakan dengan penuh kesungguhan hati, itulah sebabnya mengapa orang percaya perlu untuk berpuasa sebagai bentuk kesungguhan dan kebergantungan kepada Allah dalam mengemban misi dan panggilan Allah (Nahaklay, 2020). Dengan berpuasa, orang percaya melibatkan Allah langsung untuk setiap persoalan kompleks yang dihadapi. Puasa merupakan salah satu kegiatan spiritual yang telah dilakukan oleh para Nabi dan Rasul dalam Alkitab. Sebagaimana yang tertulis dalam Kitab Suci, menunjukkan bahwa puasa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh yang ada dalam Alkitab dapat meningkatkan kualitas spiritual dan semangat dalam melayani Tuhan (Wauran, 2012). Sebagai umat Allah, puasa penting dilakukan untuk memelihara kualitas kerohanian dan ketaatan kepada Allah. Puasa sebagai bentuk upaya dalam melatih dan meningkatkan kehidupan rohani. Melalui puasa seseorang menahan akan segala keinginan nafsu, mawas diri, menahan dari segala emosi dan perilaku buruk, dan melatih diri untuk menampilkan perilaku kerendahan hatinya kepada Tuhan (Ariyanto, Mahmud, & Wijayanti, 2012). Munculnya anggapan bagi sebagaian orang Kristen bahwa doa puasa hanya dilakukan oleh para pemimpin umat, yaitu pendeta, penginjil atau para pelayan gereja, sehingga kecenderungannya jemaat hanya beranggapan yang penting datang beribadah saja (Sulfriyanti & Sumule, 2019). Pemikiran bahwa puasa bukan menjadi suatu keharusan menjadikan sebagaian orang Kristen tidak melakukannya. Sebaliknya adapula sebagian kelompok orang Kristen menjadikan puasa hanya sekadar ritual agama dengan tidak makan atau minum namun tidak disertai praktik hidup seperti yang diharapkan Tuhan. Paul Yonggi Cho dan Mimery dalam Huang (2020) menyatakan bahwa puasa memang tidak makan dan minum sebagai bentuk pengendalian diri, namun semuanya itu dilakukan untuk memusatkan pikiran kita kepada Tuhan dan melakukan kebiasaan hidup sesuai dengan kehendakNya. Tidak dapat dipungkiri juga ada anggapan bahwa berpuasa sulit dilakukan sehingga masih ada orang Kristen yang tidak berminat melakukan puasa karena tidak mampu menyanggupi aturan-aturan berpuasa. Rasa berat untuk menahan tidak makan dan minum serta penyangkalan diri untuk tunduk pada kehendak Tuhan. Ada juga Sebagian orang berpuasa hanya kerena keinginan untuk dipenuhi dengan kehendak pribadinya, yaitu hanya ini mendapatkan berkat-berkat jasmani. Berdasarkan fenomena tentang puasa dalam kehidupan orang Kristen, maka permasalah dalam kajian ini dirumuskan sebagai berikut: pertama, bagimana pengajaran tentang puasa menurut Yesaya 58:1-12? Kedua, bagaimana implikasi dari pengajaran tentang puasa menurut Yesaya bagi kehidupan gereja masa kini? Studi ini dikaitkan dengan keadaan gereja masa kini khususnya dengan kurangnya praktik puasa di kalangan gereja serta adanya pemahaman-pemahaman yang keliru dari anggota jemaat masa kini tentang puasa. Ester & F. Farida, Pengajaran Mengenai Puasa Menurut Yesaya 58:1-12 122 Kajian ini bertujuan untuk untuk menemukan pengajaran Alkitab berdasarkan Yesaya 58:1-12, tentang puasa dan implikasinya terhadap praktik puasa umat kristiani pada masa kini. Metode Penelitian Adapun metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan melakukan kajian terhadap teks Yesaya pasal 58:1-12 menggunakan prinsip hermeneutik biblikal secara deskriptif. Prinsip-prinsip hermeneutik biblikal secara deskriptif yang diterapkan dalam mengkaji teks Yesaya 58:1-12 adalah Pertama, eksegesis. Menurut Osborne (2012), “eksegesis artinya “menarik keluar” makna suatu teks, berbeda dengan eisegesis “memasukkan ke dalam” suatu teks makna yang diinginkan seseorang.” Sedangkan menurut Fee and Stuart (1989) eksegesis adalah mempelajari Alkitab secara sistematis dan teliti untuk menemukan arti yang sesungguhnya dari teks yang dimaksud. eksegesis bertujuan menemukan apa yang dimaksud oleh penulis mula-mula.” Prinsip ini dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap perikop yang telah dipilih oleh penulis dengan mengetahui bahasa asli dari teks, yakni bahasa Ibrani dan memahami tata gramatikal serta membaca teks-teks yang berbicara mengenai puasa maupun mengenai kitab Yesaya untuk memperkuat eksegesis tentang pengajaran puasa berdasarkan kitab Yesaya 58:1-12. Kedua, menggunakan pendekatan terhadap konteks budaya. Osborne (2012) mengatakan, “aspek budaya berhubungan dengan latar belakang historis dan sosiologis di balik pernyataan-pernyataan itu.” Pendekatan ini dilakukan dengan menganalisis sejarah dari kitab yang dikaji untuk dapat memahami konteks budaya yang berlaku pada saat itu seperti yang terdapat dalam Yesaya 58:5 dikatakan bahwa bangsa Israel berpuasa dengan “membentangkan kain karung dan abu sebagai lapik tidur.” Ketiga, menggunakan pendekatan prinsip konteks budaya dan politik. Pendekatan ini dilakukan dengan membaca Kitab-Kitab sejarah dan buku-buku serta jurnal-jurnal yang berbicara mengenai Perjanjian Lama. Keempat, menggunakan prinsip alegori. Definisi alegori menurut Webster dalam Farida (2016) ialah “suatu cerita yang didalamnya orang-orang, hal-hal, dan kejadian-kejadian mempunyai arti lain, seperti dalam fable, atau farabel (perumpamaan), alegori digunakan untuk mengajar atau menjelaskan: penyajian ide-ide dengan memakai cerita-cerita atau gambaran simbolis.” Penulis menggunakan prinsip alegoris agar dapat memahami teks dan konteks yang terdapat dalam perikop yang dikaji karena sebagian besar kitab para nabi besar termasuk Kitab Yesaya ditulis dalam bentuk sastra alegoris di mana Allah digambarkan penuh dengan daya khayal contohnya sebagai seorang penggugat, penuntut umum, hakim dan lain sebagainya. Menurut Fee and Stuart (1989) adalah “gaya bahasa kiasan dari alegori ini adalah suatu cara yang dramatis dan efektif untuk memberitahukan kepada bangsa Israel bahwa mereka akan dihukum oleh karena ketidaktaatannya, dan hukuman itu akan sangat hebat.” Kelima, menggunakan prinsip majas. Menurut Masruchin (2017), majas adalah “gaya bahasa yang bisa berupa kiasan, ibarat, perumpamaan yang bertujuan mempercantik makna dan pesan sebuah kalimat.” Dalam penulisan Yesaya 58:1-12 penulis menemukan beberapa jenis majas yang digunakan sebagai bahasa kiasan untuk memperkuat isi dan pesan dari Yesaya 58:112. Hasil dan Pembahasan Latar Belakang Kitab Yesaya Kitab Yesaya merupakan salah satu dari kitab nabi-nabi besar yang terdapat dalam Perjanjian Lama Kitab ini berisi nubuat Allah bagi keselamatan bangsa Israel nama kitab ini diambil dari nama nabi Yesaya yang telah menyerahkan dirinya diutus oleh Allah (Yesaya 6) untuk melayani kerajaan Yehuda pada masa pemerintahan raja Uzia, Yotam, Ahas dan Hizkia seperti yang tercatat di dalam Yesaya 1:1. Nama Yesaya sendiri diambil dari bahasa Ibrani yaitu ‫ יֶׂשה ַעיַהּו‬Yesayahu yang berarti penyelamatan Yahweh atau keselamatan dari Allah. Kitab Yesaya ditulis sekitar sekitar 700-680 SM oleh nabi Yesaya. Kitab Yesaya terdiri dari 66 pasal yang terbagi dalam tiga bagian sebagai berikut: Bagian pertama disebut dengan Proto Yesaya yang terdiri dari pasal 1-39 bagian ini berbicara tentang nubuat Allah kepada bangsa Israel dan kepada bangsa-bangsa yang ada pada zaman kerajaan Yehuda sedang diancam oleh Asyur yaitu sebelum bangsa Israel dibawa ke Babel oleh Asyur yang merupakan Negara tetangga terkuat pada masa itu. Namun pada bagian ini Yesaya menyadari bahwa susungguhnya yang mengancam kehidupan Yehuda tidak hanya kekuatan Asyur melainkan dosa bangsa Yehuda sendiri karena mereka tidak taat kepada Tuhan. Bagian kedua disebut dengan Deutro Yesaya yang terdiri dari pasal 40-55 bagian ini merupakan nubuat kepada Hizkia yang ditujukan kepada orang-orang Yehuda yang akan hidup dalam pembuangan di Babel tetapi Yesaya menubuatkan bahwa Tuhan akan membawa umatNya kembali ke Yerusalem untuk memulai kehidupan yang baru. Bagian ketiga disebut dengan Trito Yesaya yang terdiri dari pasal 56-66 bagian ini merupakan nubuat tentang keselamatan yang sebagian besar ditujukan kepada bangsa Yehuda yang telah kembali ke Yerusalem bahwa Allah pasti akan menggenapi janji-janji-Nya selama bangsa Yehuda hidup dalam kebenaran Allah. Menurut tradisi Yahudi Yesaya mati syahid pada saat ia melarikan diri dan bersembunyi di sebuah pohon berlubang namun dia tertangkap dan pohon itu digergaji menjadi dua bersama dengan dengan Yesaya atas perintah Manasye raja Yehuda pengganti Hizkia ayahnya (Ibrani 11:37). Latar Belakang Yesaya 58:1-2 Yesaya 58:1-12 adalah sebuah kisah tentang teguran Allah bagi bangsa Israel setelah mereka kembali ke Yerusalem dari pembuangan di Babel. Menurut Marie Claire Barth Fromel (2015), “hampir semua penafsir sepakat bahwa inti suara nabi yang sering dinamakan Yesaya III atau Tritoyesaya yang terdapat dalam Yesaya 58:1-12 adalah suara dari seorang murid Ester & F. Farida, Pengajaran Mengenai Puasa Menurut Yesaya 58:1-12 124 Yesaya II (Deutroyesaya) yang meneruskan pelayanan gurunya. nabi tersebut meneruskan pelayanan dan berita Yesaya II (Deutroyesaya) di dalam situasi yang baru dan janji lama diperbaharuinya.” Ini menunjukkan bahwa yang menegur bangsa Israel dalam konteks Yesaya 58:1-12 ini adalah seorang yang hidup diantara bangsa Yehuda pada masa setalah pembuangan di Babel dan yang di sebut dengan Yesaya III (Tritoyesaya). Teguran ini disampaikan untuk mengkritisi keadaan bangsa Yehuda pada masa itu karena mereka tidak lagi hidup sesuai dengan ketetapan Allah. Dalam teguran ini juga ia memperbarui kembali janji-janji yang telah dinubuatkan oleh nabi Yesaya jauh sebelumnya bagi bangsa Israel. Adapun yang melatarbelakangi nabi Yesaya III (Tritoyesaya) ini menegur bangsa Israel dalam konteks ini ialah beberapa hal berikut ini: Pertama, bangsa Israel hanya membanggakan puasa yang mereka lakukan sebagai ibadah terpenting bagi tradisi Yahudi pada masa itu. Menurut Fromel (2007) bahwa: Sesudah Yerusalem jatuh, maka hukuman Allah itu diperingati dengan berpuasa pada saat tertentu (sebagaimana dapat disimpulkan dari Za. 7:3-14 dan 8:19); karena bait suci sudah runtuh maka tidak ada lagi tempat untuk meyembelih binatang korban dan mungkin juga tidak ada lagi harta yang dapat disediakan bagi Tuhan; tetapi biarpun orang-orang tersebar dimana-mana tanpa bait suci; biarpun mereka miskin mereka selalu dapat berpuasa untuk mengingat arti sejarah Allah dengan umat-Nya dan untuk saling menguatkan antara satu sama lain di dalam iman kepada-Nya. Dengan ini puasa menjadi upacara terpenting di antara umat Yahudi. Kedua, bangsa Israel suka mendalami firman Allah tetapi mereka tidak melakukannya mereka suka mengenal jalan Allah seperti bangsa yang melakukan yang benar dan yang tidak meninggalkan hukum Allah tetapi dalam praktik hidup sehari-hari mereka tidak menerapkan hukum-hukum Allah yang telah mereka dalami seperti yang dikatakan dalam Yesaya 58:2-3a. Fromel (2007) juga mengatakan bahwa, “mereka hanya ingin menarik perhatian Tuhan untuk memperoleh berkat-Nya mereka rajin beragama supaya Tuhan mengindahkan usaha mereka dan memuaskan keinginan mereka.” Ketiga, bangsa Israel sering memanfaatkan pertemuan puasa sebagai kesempatan untuk memajukan urusannya dengan mendesak buruh-buruh mereka untuk berkerja keras selagi mereka berpuasa bahkan pada hari puasa yang mereka lakukan juga terjadi tindakan kekerasan di antara mereka seperti yang terungkap dalam Yesaya 58:3b-4. Keempat, bangsa Israel melakukan puasa hanya sebagai sebuah tradisi yang telah berlaku sejak lama dengan mengikuti tata cara berpuasa yang berlaku di antara kaum Yahudi pada masa itu serta mengenakan atribut lahiriah untuk menunjukan bahwa mereka sedang berpuasa seperti yang dikatakan dalam Yesaya 58:5-6. Pengertian Puasa Secara umum, puasa berarti menahan diri terhadap makanan dan minuman. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada latar belakang penulisan skripsi bahwa Setiap agama bahkan setiap orang tentunya memiliki pemahaman yang beragam mengenai puasa sesuai dengan pengajaran yang pernah didengar maupun pengalaman yang dimiliki, misalnya seperti yang didefinisikan oleh Donald Whitley dalam Brake (2014) bahwa puasa ialah “bertarak secara sukarela dari makanan untuk tujuan rohani itulah puasa Kristen.” Sedangkan Foster (1996) mengatakan bahwa “dalam seluruh Alkitab berpuasa menunjuk kepada hal berpantang makanan untuk tujuan-tujuan rohani.” Brake (2014) mengutip penjelasan Foster tentang puasa yakni, “puasa adalah penyengkalan diri secara sukarela dari fungsi normal demi kegiatan rohani yang intens.” Brake (2014) juga menjelaskan bahwa, “Puasa dilakukan secara sukarela tidak dapat dipaksakan. Puasa bersifat rohani, bukan rencana diet baru.” Dalam teks Yesaya 58 kata puasa disebutkan sebanyak enam kali pada empat ayat berturut-turut yakni dalam dalam ayat 3, ayat 4, ayat 5, dan ayat 6. Kata Ibrani untuk puasa adalah ‫( צּום‬tsum) kata ini didefinisikan dalam Strong (1890) dengan kata to abstain from food, fast yang berarti menjauhkan diri dari makanan, puasa.” Esensi Kesalehan dalam Tindakan Berpuasa Menurut Yesaya 58:1-12 Dalam Yesaya 58 :2-3, nabi Yesaya mengungkapkan ekspresi kesalehan hidup dari bangsa Israel yang salah satunya adalah berpuasa. Namun ternyata perbuatan kesalehan mereka, yaitu berpuasa, tidak menyebabkan Allah memperhatikan mereka. Sehingga Allah melalui nabi Yesaya memberitahukan alaan penolakan Allah terhadap ibadah puasa yang mereka lakukan: “Memang setiap hari mereka mencari Aku dan suka untuk mengenal segala jalan-Ku. Seperti bangsa yang melakukan yang benar dan yang tidak meninggalkan hukum Allahnya mereka menanyakan Aku tentang hukum-hukum yang benar, mereka suka mendekat menghadap Allah, tanyanya: Mengapa kami berpuasa dan Engkau tidak memperhatikannya juga? Mengapa kami merendahkan diri dan Engkau tidak mengindahkannya juga? Sesungguhnya, pada hari puasamu engkau masih tetap mengurus urusanmu, dan kamu mendesak-desak semua buruhmu.” Dari dua ayat tersebut, esensi kesalehan dalam tindakan berpuasa yang dilakukan umat Israel adalah: Pertama, “mencari Allah” (Yesaya58:2). Kata mencari yang terdapat pada ayat dua ini dalam bahasa aslinya ditulis dengan kata “‫( יׅ דְ רֹ ׁ֔שּון‬yi-derosh-un) dari kata dasar ‫ש‬ ׁׁ֔֔ ‫( דָ ַר‬darash) definisi dari kata ini dalam Strong (1890) ialah seek yang berarti cari.” Kedua, “mengenal jalan Allah” (58:2b). Esensi kesalehan dalam tindakan puasa umat adalah agar dapat mengenal jalan Allah. Kata mengenal dari kata Ibrani “‫( וְ דַ עַת‬we-da-at) dari kata dasar ‫( דַּ ַּעת‬daath). Definisi dari kata ‫( דַּ ַּעת‬daath) dalam Strong (1890) ialah knowledge yang berarti pengetahuan.” Kata mengenal dalam teks ini tidak hanya sekedar mengenal tetapi kata mengenal dalam ayat ini juga berarti memiliki pegetahuan mengenai jalan Allah yang dalam teks ini ditulis dengan kata “jalan-Ku” Kata jalan dalam teks ini juga merupakan istilah dari sikap, kehidupan karakter dan moral Allah yang harus dipahami oleh umat-Nya. Hal ini berarti bahwa orang yang mengenal dan memiliki pengetahuan tentang Allah juga harus mengenal karakter Allah. Packer (2002) menyatakan bahwa, “minat dalam teologi dan pengetahuan tentang Allah dan kemampuan untuk berpikir dengan jelas tidak dapat disamakan dengan mengenal Dia. Kita bisa tahu tentang Allah sebanyak mungkin jika kita mempelajari Ester & F. Farida, Pengajaran Mengenai Puasa Menurut Yesaya 58:1-12 126 karya-karya-Nya dengan rajin, namun sepanjang waktu kita mungkin tidak mengenal Allah sama sekali.” Ketiga, “melakukan yang benar di hadapan Allah.” (Yesaya 58:2b). Umat Israel ingin TUHAN melihat bahwa mereka melakukan sesuatu yang benar di hadapan-Nya yang diungkapkan dengan kalimat “seperti bangsa yang melakukan yang benar dan tidak meninggalkan hukum Allahnya” Keempat, “Taat kepada Allah.” (Yesaya 58:2b). Taat kepada Allah dalm teks ini memiliki arti yang sama dengan “tidak meninggalkan hukum Allah.” Hal ini adalah salah satu esensi yang harus ada di dalam puasa yang dilakukan oleh bangsa Israel sebagaimana yang tercatat di dalam Yesaya 58:2. Frasa tidak meninggalkan dalam teks ini merupakan kata kerja yang ditulis dalam bentuk perfek, hal ini menunjukkan tindakan tidak meninggalkan adalah sesuatu yang telah dilakukan. Subjek dari kata ini ialah orang Israel yang sedang berpuasa karena ditulis dalam bentuk kata orang ketiga tunggal. Dalam teks ini hal yang tidak di tinggalkan oleh bangsa Israel ialah hukum Allah. Kelima, “mendekat kepada Allah” (Yesaya 58:2). Kata mendekat dalam ayat dari kata Ibrani “‫( ׅק ְר ׅבת‬qirbat) kata dasar ‫( קְ ָרבָ ה‬qerbah). Definisi dari kata ini dalam Strong (1890) ialah an approach, drawing near artinya pendekatan, mendekat. Kata mendekat dalam teks ini yang ditulis dari kata dasar ‫( קְ ָרבָ ה‬qerbah) juga digunakan di dalam Mazmur 73:28: “tetapi aku suka dekat pada Allah; aku menaruh tempat perlindunganku kepada Tuhan Allah, supaya dapat menceritakan segala pekerjaan-Nya.” Hal ini menunjukan bahwa kata ‫( קְ ָרבָ ה‬qerbah) dalam teks ini menyatakan sebuah kehidupan yang dekat dengan Allah. Kata mendekat menghadap Allah dalam konteks ini berarti mendekat kepada Allah dan hidup dekat dengan Allah yang adalah Allah Tritunggal yaitu Allah yang sama sekali tidak dapat disamakan dengan manusia. Keenam, “merendahkan diri di hadapn Allah.” (Yesaya 58:3). Merendahkan diri adalah suatu tujuan yang harus dicapai oleh setiap orang yang berpuasa. Merendahkan diri juga merupakan salah satu tujuan dari puasa yang dilakukan oleh bangsa Israel. Kata merendahkan dalam teks ini dalam bahasa aslinya ialah "‫( עִ ִנִּ֥ינּו‬inni-nu) dari kata dasar ‫( ׇענׇה‬ana). Definisi dari kata ini ialah be busied with to afflict, oppress, humble, be humiliated to afflict to humble. Dalam Strong (1890) berarti penuh dengan penderitaan, menindas, merendahkan, dan menderita kesederhanaan.” Makna dari kata merendahkan dalam teks ini tidak hanya berarti merendahkan tetapi arti dari kata ini ialah merendahkan diri serendah-rendahnya karena ditulis dalam bentuk kata piel kata merendahkan dalam konteks ini tidak hanya dilakukan oleh satu atau dua orang tetapi telah dilakukan oleh seluruh umat Israel yang merupakan orang pertama dalam teks ini. Ketujuh, berhenti dari urusan pribadi (Yesaya 58:3). Berhenti dari urusan pribadi adalah salah satu eseni kesalehan dalam tindakan. Kata mengurus dalam ayat ini ditulis dengan kata “‫( ׅתמצְ אּו‬timtseu) dari kata dasar ‫( מָ צָׁ֔ו‬matsa). Definisi dari kata ini dalam Strong (1890) ialah to attain to, find yang berarti mencapai, temukan.” Kata mengurus dalam teks ini adalah suatu pekerjaan yang belum selesai dan masih terus menerus dilakukan. Sedangkan kata urusanmu sendiri dalam ayat ini ditulis dengan kata “‫( חֵ ֶפׁ֔ץ‬khepets) dari kata dasar ‫( חֵ פֶץ‬khephets). Definisi dari kata ini dalam Strong (1890) ialah delight, pleasure yang berarti kesenangan, dan hal-hal yang diinginkan.” Puasa Yang Tidak Dikehendaki Oleh Allah Puasa merupakan satu hal yang baik dan disukai oleh Allah ketika dilakukan dengan sungguh-sungguh akan tetapi banyak orang yang keliru dalam memahami dan mempraktikkannya sebagaimana yang dilakukan oleh bangsa Israel setelah mereka kembali dari pembuangan di Babel. Allah tidak berkenan atas puasa yang dilakukan oleh bangsa Israel bukan karena puasa mereka salah tapi karena praktik hidup mereka yang tidak sejalan dengan ibadah puasa yang mereka lakukan. Adapun cara hidup yang tidak dikehendaki oleh Allah pada saat mereka berpuasa dijelaskan dalam ayat 3b dan ayat 4. Pertama, “berpuasa sambil mendesak-desak semua buruh.” (Yesaya 58:3). Kata mendesak-desak dalam dalam ayat ini ditulis dengan kata “‫( ׅתנְ גׄ ׂשּו‬tingosu) dari kata dasar ׁ֔‫ָנגַׂש‬ (nagas). Definisi dari kata ini dalam Strong (1890) to press, drive, oppress, hard pressed, yang berarti menekan, mengarahkan, menindas dan ditekan keras.” Arti dari kata ‫( ׅתנְגׄ ׂשּו‬tingosu) ialah “kamu menindas dengan keras.” Kata “kamu” yang disebutkan dalam teks ini menunjuk kepada bangsa Israel sebagai orang kedua jamak dalam konteks ini yaitu mereka mendesak-desak buruh mereka. Kata buruh dalam ayat ini ditulis dengan kata “‫( עַצְ בכֶם‬a-tse-be-kem) dari kata dasar ‫( עׇצֵ ב‬atseb). Definisi dari kata ini dalam Strong (1890) ialah toiler yang berarti pekerja.” Dalam teks ini kata dasar ‫( עׇצֵ ב‬atseb) diakhiri dengan akhiran ‫( כֶם‬kem) yang berarti “‘mu’ dalam bentuk kata jamak maskulin. Kata ini merupakan akhiran ganti orang ke-2 jm. Strong (1890). Jadi kata buruh dalam teks ini berarti “pekerjamu” atau pekerja yang menjadi milik orang-orang Israel. Dari analis teks tersebut disimpulkan bahwa mendesak-desak semua buruh berarti pada saat bangsa Israel berpuasa mereka juga berlaku kasar terhadap para pekerja yang mereka miliki mereka menindas, bahkan menekan dengan keras orang-orang yang bekerja bagi mereka hal ini tentu berbanding terbalik dengan puasa yang seolah-olah mereka lakukan dengan setia. Kedua, “berpuasa sambil berbantah.” (Yesaya 58:4). Kata berbantah dalam teks ini ditulis dengan kata “‫( ְ ְ֤ל ׅריב‬lerib) dari kata dasar ‫( ׅריב‬rib). Definisi dari kata ini dalam Strong (1890) ialah strife, dispute, yang berarti perselisihan.” Dalam teks ini kata dasar dari berbantah mengalami perubahan bentuk kata dimana kata ‫( ׅריב‬rib) ditambah dengan awalan ‫( ְׁ֔ל‬le) yang merupakan “awalan dari k. benda kata ini berarti ke, pada, akan, untuk” Strong (1890). Kata berbantah dalam teks ini menunjukkan sifat hidup bangsa Israel dimana mereka hidup di dalam perselisihan antara satu dengan yang lain sehingga sekalipun mereka beribadah kepada Tuhan ibadah mereka tidak diperhatikan oleh-Nya karena dilakukan dengan hati yang tidak murni. Ketiga, “berpuasa sambil berkelahi.” (Yesaya 58:4). Kata berkelahi dalam teks ini ditulis dengan kata “ׁ֔‫( ּומַ צָ ה‬umatsah) dari kata dasar ‫( מַ צָ ה‬matsah). Definisi dari kata ini dalam Ester & F. Farida, Pengajaran Mengenai Puasa Menurut Yesaya 58:1-12 128 Strong (1890) ialah contentention yang berarti pertikaian.” Ellicott’s Commentary for English Readers (2020) menafsirkan kata ini demikian: “kata-kata itu mungkin menunjuk pada fakta psikologis bahwa puasa yang tidak spiritual menjengkelkan saraf dan membuat marah. Pertemuan ekstrem dan perselisihan para kontroversialis puasa sering kali sama sengitnya dengan pertikaian para pemabuk (konspirasi Kisah Para Rasul 23:21)” Ini menunjukkan bahwa kata berkelahi dalam teks ini merupakan satu hal yang terjadi dalam perkumpulan puasa yang dilakukan oleh bangsa Israel dimana puasa yang mereka lakukan tidak mereka lakukan dengan tertib sehingga memicu terjadinya pertikaian di antara mereka dan pada akhirnya pertikaian itu mencemarkan puasa yang mereka lakukan. Keempat, “berpusa sambil memukul dengan tinju.” (Yesaya 58:4). Kata memukul dalam bahasa aslinya ditulis dengan kata “‫( ּולְ ֚הּכֹות‬ulehakot) dari kata dasar ‫( ָנכָה‬nakah). Definisi dari kata ini dalam Strong (1890) ialah to smite yang berarti memukul.” Kata memukul dalam teks ini merupakan pernyataan Tuhan mengenai kekerasan yang dilakukan oleh bangsa Israel bahwa ketika mereka berpuasa, mereka tetap saja melakukan perbuatan yang jahat dalam pandangan Allah, salah satu diantaranya ialah dengan memukul sesamanya. Kata tinju dalam bahasa aslinya ditulis dengan kata “‫( ְרש ַׁ֔ע‬resa) dari kata dasar yang sama yaitu ׁ֔‫( ֶרש ַע‬resa). Definisi dari kata ini dalam Strong (1890) ialah wickedness, evil, gotten, wicked acts yang berarti kejahatan, pelanggaran, tindakan jahat. Maka pengertian memukul dengan tinju dalam konteks ini merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan betapa kerasnya penindasan yang dilakukan oleh bangsa Israel terhadap semua budak dan sesama mereka yang miskin sehingga sekalipun mereka seolah-olah hidup taat di hadapan Allah dengan aktif melakukan upacara ibadah terpenting bagi umat Israel pada masa itu yakni ibadah puasa, tetapi tindakan sehari-hari yang mereka lakukan tidak sesuai dengan kebenaran Allah. Pfeiffer and Harison (2001) dalam The Wyclife Bible Commentary mengatakan bahwa “ketaatan pada agama tidak ada artinya di hadapan Tuhan jika tidak disertai hidup saleh dan ketaatan pada hukum Allah, serta belas kasihan kepada orang-orang yang membutuhkan.” Hal ini berarti bahwa puasa yang dilakukan di hadapan Allah tidak akan berarti tanpa memiliki hati yang mau mengasihi sesama tanpa memandang rupa. Puasa Yang Dikehendaki Oleh Allah Cara berpuasa yang Allah kehendaki terdapat pada ayat-ayat 6, 7, 9b dan 10, yang diuraikan sebagai berikut. Pertama, “membuka belenggu-belenggu kelaliman.” (Yesaya 58:6). Kata membuka dalam bahasa aslinya ialah “‫( פַתֵ ַׁ֔ח‬patteakh) dari kata dasar ‫( פָתַ ח‬pathakh). Definisi dari kata ini dalam Strong (1890) ialah open artinya buka.” Kata ‫( פָתַ ח‬pathakh) sebagai kata dasar dalam teks ini mengalami perubahan kata yaitu dengan penambahan titik tengah pada huruf ‫( ת‬tav) sehingga menjadi kata ‫( פַתֵ ַׁ֔ח‬patteakh) arti dari titik tengah tersebut ialah bentuk penduakalian kata untuk kata yang dijelaskan sehingga kata tersebut dapat berubah menjadi kata dasar aktif yaitu kata buka berubah menjadi membuka. Hal ini berarti bahwa kata membuka adalah suatu perbuatan nyata yang harus dikerjakan secara aktif oleh siapapun tanpa terkecuali. Sedangkan kata belenggu dalam bahasa aslinya ditulis dengan kata “‫( חַ ְרצֻבׄ ת‬kharsubot) dari kata dasar ‫( חַ ְרצֻבָ ה‬khartsubbah). Definisi dari kata ini dalam Strong (1890) ialah bond, fetter yang berarti ikatan dan belenggu. Kata kelaliman dalam bahasa aslinya ditulis dengan kata “‫( ֶׁ֔רש ַׁ֔ע‬resha) dari kata dasar yang sama yait ‫( ֶ ׁ֔רש ַׁ֔ע‬resha) Definisi dari kata ini ialah wrong, wickedness, guilt, (as violence and crime against civil law, of enemies and in ethical relation)” Strong (1890) yang berarti kesalahan, kejahatan, (seperti kekerasan dan kejahatan terhadap hukum perdata, terhadap musuh, dan dalam hubungan etis). Dengan demikian kata membuka belenggu-belenggu kelaliman merupakan suatu perbuatan yang harus dilakukan oleh siapa saja yang melakukan puasa di antara kaum Israel yaitu seluruh ikatan kejahatan dan kekerasan yang mereka lakukan harus dibuka atau dihentikan sehingga dapat memfokuskan diri kepada puasa yang mereka lakukan. Kedua, “melepaskan tali-tali kuk.” (Yesaya 58:6a). Kata melepaskan dalam teks ini ditulis dengan kata“‫( הַ ת ֵר‬hatter) dari kata dasar ‫( נָתַ ר‬natar). Definisi dari kata ini dalam Strong (1890) ialah to start up to loose, loosen, be free, to unfasten, artinya mulai melepaskan, melonggarkan, membebaskan, dan membuka.” Fungsi awalan ‫ ה‬dalam kata ini ialah untuk menyatakan bahwa kata yang dijelaskan dalam teks ini memiliki arti kausatif (membuat jadi). Sedangkan kata tali-tali dalam bahasa aslinya ditulis dengan kata “‫( אַ גְ ּדוֹ ת‬aguddot) dari kata dasar ‫ְּדה‬ ָׁ֔ ‫( אַ ֻג‬aguddah). Kata ini berarti binding, cords, (metaphorical of slavery) artinya ialah mengikat, tali, (secara metafora berarti perbudakan) Strong (1890). Dalam tafsiran Pulpit Commentary (2020) dikatakan bahwa “melepaskan tali kuk menunjukkan pembebasan budak seseorang, atau orang Yahudi yang ditawan di antara orang-orang kafir (Nehemia 5:8), membiarkan yang tertindas (secara harafiah, memar) bebas. Pengampunan utang dan pemulihan janji (Yehezkiel 18:7) merupakan tindakan yang ditunjukkan.” Ketiga “memerdekakan orang-orang yang teraniaya.” (Yesaya 58:6b). Kata memerdekakan dalam teks ini ditulis dengan kata “‫( וְ שלַח‬wesallah) dari kata dasar ‫( שָ לַח‬shalakh) definisi dari kata ini ialah let out freely, let the go, let them down, let them go, your free Strong (1890) artinya melepaskan, membiarkan mereka pergi, dan membebaskan.” Jadi kata memerdekakan dalam teks ini merupakan suatu kegiatan yang harus dilakukan secara aktif oleh setiap orang yang berpuasa agar seluruh umat Israel dapat hidup dalam kedamaian. Kata teraniaya dalam bahasa aslinya ialah “‫( ְרצּוצ ִים‬retsutsyim) dari kata dasar ‫( ַרצַ ץ‬ratsats). Definisi dari kata ini dalam Strong (1890) ialah to crush, oppressed, struggled yang berarti dihancurkan, tertindas, dan bergumul.” Kata memerdekakan orang yang teraniaya dalam teks ini berarti membebaskan dan mendamaikan orang yang sedang tertindas serta mencukupkan kebutuhan mereka yang kekurangan sehingga mereka dapat menikmati kehidupan yang layak. Keempat, “mematahkan setiap kuk.” (Yesaya 58:6). Kata mematahkan setiap kuk dalam bahasa aslinya ialah “‫( ְתנ ְַתקּו‬tenatequ) dari kata dasarׁׁ֔֔‫( נָתַ ק‬nataq). Definisi dari kata ini dalam Strong (1890) ialah to pull, or tear away, apart, or off yang berarti menarik, atau merobekkan, memisahkan, dan melepaskan.” Sehingga makna “mematahkan setiap kuk” dalam konteks ini Ester & F. Farida, Pengajaran Mengenai Puasa Menurut Yesaya 58:1-12 130 adalah perintah untuk menarik, memisahkan dan melepaskan dari penindasan yang mereka lakukan terhadap sesama mereka. Kelima, “memecah-mecah roti bagi orang yang lapar” (Yesaya 58:7a). Kata memecahmecah dalam teks ini ditulis dengan kata “‫( פְ֤ רֹ ס‬paros) dari kata dasar ‫( פ ַָרס‬paras). Definisi dari kata ini dalam Strong (1890) ialah ialah to break in two, divide, yang berarti membagi dua dan membagi.” Jadi kata memecah-mecah yang berarti membagi dalam konteks ini adalah tindakan yang harus dilakukan oleh bangsa Israel pada saat mereka berpuasa. Tindakan membagi (berbagi) menuntut kerelaan hati untuk mau membagikan sebagian dari milik mereka. Dalam konteks ini objek yang dibagi ialah roti. Kata roti dalam bahasa aslinya ialah “‫( ַלׁ֔חְ ׁ֔ ֶמָך‬lakhmekha) dari kata dasar ‫( לֶחֶ ם‬lekhem). Definisi dari kata ini ialah bread, food artinya roti, makanan” Strong (1890) . Keenam, “membawa kerumah, orang miskin yang tak punya rumah.” (Yes 58:7). Kata membawa ke rumah dalam teks ini ditulis dengan kata “‫( ׇ ׇ֣ת ׅביא‬tabi) dari kata dasar ‫( בו ֹא‬bo). Definisi dari kata ini dalam Strong (1890) ialah to come in, come, yang berarti membawa masuk, datang.” Kata membawa masuk dalam konteks ini merupakan sebuah sikap yang harus dilakukan terhadap orang yang miskin dan tidak punya rumah. Kata orang miskin dalam bahasa aslinya ditulis dengan kata “‫( ַועַנְ ִייִּ֥ ם‬waaniyim) dari kata dasar ‫( ָענִׁ֔י‬ani). Kata ‫( ַו ַע ְניִיִּ֥ ם‬waaniyim) berarti orang miskinmu atau orang miskin yang ada padamu. Kata orang miskin dalam teks ini merupakan sebuah istilah yang disebutkan untuk orang-orang yang menderita, orang yang malang, tertindas bahkan tidak punya rumah. Kata tidak punya rumah dalam bahasa aslinya ialah “‫רּודיִ ם‬ ֛ ‫( ְמ‬merudim) dari kata dasar ‫( מָ רּוד‬marud). Definisi dari kata ini dalam Strong (1890) ialah strayinghomeless, homelessness, wandering yang berarti tersesat tanpa rumah, tunawisma, dan hidup mengembara (tentu karena tidak punya rumah).” kata ‫רּוד ִי ׁ֔ם‬ ֛ ‫( ְמ‬merudim) tidak hanya berarti tidak punya rumah tetapi juga berbicara tentang orang yang tersesat tanpa rumah, tunawisma, orang-orang gelandangan dan hidup mengembara karena tidak punya tempat tinggal. Ketujuh, “memberikan pakaian bagi orang yang telanjang.” (Yesaya 58:7). Kata memberikan pakaian dalam bahasa aslinya ialah “ׁ֔‫( וְ כִ ּסי ִׁ֔ת ֹו‬wekisito) dari kata dasar ‫( ּכָסָ ה‬kasah). Definisi dalam Strong (1890) ialah to cover yang berarti menutupi.” Kata ‫( וְ כִ ּסי ִׁ֔תֹׁ֔ו‬wekisito) memberi pakaian dalam teks ini juga berarti menutupi, secaa figuratif berarti menutupi kekurangan mereka yang tidak mempunyai pakaian. Kedelapan, “tidak menyembunyikan diri terhadap saudara sendiri.” (Yesaya 58:7). Kata menyembunyikan diri dalam bahasa aslinya ialah “‫ָם‬ ׁ֔ ‫( ִת ְת ַעל‬tittalam) dari kata dasar ׁ֔‫ָעלַם‬ (alam). Definisi dari kata ini dalam Strong (1890) ialah to conceal, hide, neglect, pay no attention yang berarti merahasiakan, mengabaikan, tidak memperhatikan.” Kata ‫ָם‬ ׁ֔ ‫( ִת ְת ַעל‬tittalam) berarti menyembunyikan diri (sendiri) yang juga berarti mengabaikan dan tidak memperhatikan. Objek yang diabaikan dan tidak diperhatikan di dalam teks ini ialah orang, yang oleh nabi Yesaya sebutkan dengan kata saudaramu sendiri. Kata Saudaramu sendiri dalam bahasa aslinya ialah “ׁ֔‫ּומבִ ׂשָ ְרָך‬ ִ (umibbesarekha) dari kata dasar ‫( בָ ׂשָ ר‬basar). Definisi dari kata ini ialah anyone, mankind yang berarti siapa saja, umat manusia. Kesembilan, “menyerahkan kepada orang lapar apa yang kau inginkan sendiri.” (Yesaya 58:10). Kata menyerahkan dalam teks ini ditulis dengan kata “‫( וְ תָ פֵק‬wetapeq) dari kata dasar ‫( פּוק‬puq). Definisi dalam Strong (1890) ialah furnishing, give yang berarti memberikan, menyumbangkan, mengorbankan dan memperlengkapi.” Arti dari kata ‫( וְ תָ פֵק‬wetapeq) ialah dan kamu menyerahkan. Kata ini ditulis dalam bentuk perintah yang berarti bahwa menyerahkan juga berarti memberikan, menyumbangkan, mengorbankan dan memperlengkapi. Kata apa yang kau inginkan dalam bahasa aslinya ialah“‫( נַפְ שֶׁ֔ ָך‬napsekha) dari kata dasar ׁ֔‫ֶנפֶש‬ (nephesh). Arti menurut Strong (1890) adalah soul, life, self, person, desire, passion, appetite, emotion, yourself yang berarti jiwa mu, kehidupan mu, dirimu sendiri, hasratmu, dan emosimu.” Kata apa yang kau inginkan dalam teks ini berarti bahwa Allah menghendaki agar umat-Nya mampu memperlakukan orang lain sebagaimana mereka ingin diperlakukan. Sebagaimana sesorang ingin agar kebutuhan jiwa, hidup, hasrat dan emosinya dipenuhi ia juga harus melakukan hal yang sama terhadap orang lain terutama kepada orang-orang yang tidak mampu, seperti kepada orang yang lapar atau orang yang kelaparan. Kata orang lapar dalam bahasa aslinya ialah “ֵׁ֔‫( לָר ָעב‬leraeb) dari kata dasarׁׁ֔֔‫( ָרעֵב‬raeb). Definisi dari kata ini ialah hungry, famished yang berarti lapar, sangat lapar atau kelaparan. Kesepuluh, “memuaskan hati orang yang tertindas.” (Yesaya 58:10). Kata memuaskan dalam bahasa aslinya ialah “ׁ֔‫( תַ ְׂשביׅ ַע‬tasbia) dari kata dasar ‫( ׂשָ בַ ע‬saba). Arti kata tersebut menurut Strong (1890) adalah to be sated, fed them to the full, yang berarti memuaskan, mengenyangkan dan memberi mereka makan sampai penuh. Kata memuaskan dalam teks ini ditulis dalam bentuk perintah. Kata memuaskan dalam teks ini adalah sebuah perintah untuk orang Israel agar dapat memperhatikan sesamanya yang sedang tertindas. Kata hati dalam bahasa aslinya ialah “‫( וְ נ ִֵּ֥פֶש‬wenapesh) dari kata dasar ‫( ֶנפֶש‬nephesh). Arti kata tersebut menurut Strong (1890) adalah a soul, living being, life, self, person, desire, passion, appetite, emotion yang berarti jiwa, makhluk hidup, kehidupan, diri, orang, hasrat, emosi.” Hal ini berarti bahwa yang Allah kehendaki dari puasa yang dilakukan oleh umatnya ialah agar mereka menghibur dan memuaskan jiwa, hati, dan kehidupan orang yang tertindas. Orang yang tertindas dalam bahasa aslinya ialah “‫( ַנ ַענַה‬naanah) dari kata dasar ‫( ָענָה‬anah). Arti kata tersebut menurut Strong (1890) adalah to be bowed down or afflicted yang berarti ditundukkan atau menderita.” Kesebelas, “tidak lagi mengenakan kuk kepada sesama.” (Yesaya 58:9). Kata tidak lagi mengenakan dalam bahasa aslinya ditulis dengan kata “‫( תָ סיׅ ר‬tasir) dari kata dasar ‫( ּסּור‬sur). Definisi dari kata ini (Strong, 1890) ialah to turn aside yang berarti menyingkirkan.” Kata ini ditulis dengan bentuk verb yaitu kata kerja, hifil yaitu kata dasar turunan yang berfungsi memberikan imbuhan “me-kan.” Kata ‫( ּסּור‬sur) dalam teks ini diawali dengan awalan ׁ֔ ָ‫( ת‬ta) yang berarti engkau sedangkan kata ‫( ּסּור‬sur) berarti menyingkirkan. Jadi kata ‫( תָ סיׅ ר‬tasir) berarti engkau menyingkirkan. Jadi kata tidak lagi mengenakan dalam teks ini berarti menyingkirkan. Hal yang harus disingkirkan dalam konteks ini ialah kuk. Kata kuk dalam bahasa aslinya ialah Ester & F. Farida, Pengajaran Mengenai Puasa Menurut Yesaya 58:1-12 132 “‫( מוֹ ׁ֔ ָטה‬motah) dari kata dasar yang sama yaitu ‫( מוֹ ׁ֔ ָטה‬motah). Definisi dari kata ini (Strong, 1890) ialah of oppression yang berarti penindasan.” Mereka harus berhenti menindas agar Tuhan kembali berkenan atas puasa yang mereka lakukan. Kedua belas, “tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari.” (Yesaya 58:9). Kata menunjuk dengan jari dalam bahasa aslinya ialah “ִּׁ֥֔‫( ְשלַח‬shelakh) dari kata dasar ‫( שָ לַח‬shalakh). Definisi dari kata iniׁׁ֔֔(Strong, 1890) ialah the pointing yang berarti menunjuk.” Menurut tafsiran Wycliffe (2001) kata menunjuk-nunjuk dengan jari berarti menuduh orang yang tidak bersalah.” Sedangkan tafsiran Ellicott’s Commentary for English Readers (2020) mengartikan bahwa “menunjuknunjuk dengan jari adalah sebuah gerakan yang telah hampir di semua negara menjadikannya sebagai simbol cemoohan yang alami. Dalam tindakan itulah kata “raca” dan “engkau bodoh” ada dalam Matius 5:22.” Dengan demikian kata menunjuk-nunjuk dengan jari dalam teks ini adalah sebuah tindakan jahat yang dilakukan oleh bangsa Israel pada masa itu karena mempersalahkan atau menuduh orang lain yang tidak bersalah. Ketigabelas, “tidak memfitnah.” (Yesaya 58:9). Kata memfitnah dalam bahasa aslinya yaitu “ׁ֔‫( אׇ וֶן‬awen) - ‫( וְ דַ בֶ ר‬wedabber)” Kata “‫( וְ דַ בֶ ר‬wedabber) berasal dari kata dasar ‫( דֶ בַ ר‬dabar) kata ini diawali dengan kata penghubung ‫( ְׁ֔ו‬we) yang berarti dan, tetapi, maka lalu sedangkan ‫( דֶ בַ ר‬dabar) berarti berbicara atau perkataan. Jadi ‫( וְ דַ בֶ ר‬wedabber) berarti dan perkataan, dan berbicara” ((Strong, 1890). Kata perkataan dalam teks ini ditulis dalam bentuk kalimat aktif yaitu sesuatu yang dilakukan secara aktif atau terus menerus. Sedangkan kata “‫( אׇ וֶן‬awen) diambil dari kata dasar yang sama yaitu ‫( אׇ וֶן‬awen). Definisi dari kata ini (Strong, 1890) ialah trouble, sorrow, wickedness yang berarti masalah, kesedihan dan kejahatan.” Sehingga kata memfitnah dalam teks ini berarti perkataan yang mengakibatkan masalah dan kesedihan atau memperkatakan perkataan jahat dan tidak benar. Perkataan-perkataan seperti inilah yang nabi Yesaya larang untuk diperkatakan lagi oleh bangsa Israel agar cara hidup dan ibadah mereka berkenan seutuhnya di hadapan TUHAN. Sikap-Sikap yang Allah Inginkan Ketika Berpuasa Ada banyak sikap dalam berpuasa yang dapat dilakukan oleh orang percaya sesuai dengan kebutuhan dan tujuan dari puasa yang mereka lakuan. Brake (2014) menulis bahwa, “saya menyerahkan sesuatu yang telah memberi saya banyak kenikmatan. Saya berkorban demi penyerahan diri pada Allah.” Dalam buku yang berjudul Dream Big Start Small Grinnell (2011) juga mengatakan bahwa, “Selain dari makan dan minum kita juga berpuasa dari kesibukan biasa, pergaulan biasa, teknologi dan apa saja yang Roh Kudus minta kita tinggalkan.” Sikap dalam berpuasa dalam Yesaya 58 terdapat pada ayat 5 yang berbunyi demkian: “Sungguh-sungguh inikah berpuasa yang kukehendaki, dan mengadakan hari merendahkan diri, jika engkau menundukkan kepala seperti gelagah dan membentangkan kain karung dan abu sebagai lapik tidur? Sungguh-sungguh itukah yang kau sebutkan dengan berpuasa mengadakan hari yang berkenan kepada TUHAN?” Pertama, “menundukkan kepala seperti gelagah.” (Yesaya 58:5). Kata menundukkan dalam ayat ini ditulis dengan kata “‫( ֲהלָכֹ ף‬ha-la-kop) dari kata dasar ‫( ָּכפַף‬kapap) yang didefinisikan dengan kata to bend, bend down, to bow oneself down yang berarti yang menekuk, membungkuk, untuk membungkukkan diri” ((Strong, 1890). The Brown Driver Briggs Lexicon (2020) menjelaskan arti menunduk dengan kata “to bend down, like a rush his head.” yang berarti menekuk turun kepala seperti gelagah. Jadi kata menunduk dalam ayat ini menjelaskan sebuah perbuatan yang dilakukan dengan menundukkan kepala seperti gelagah sebagai wujud dari sifat merendahkan diri serendah-rendahnya di hadapan Allah. Kata gelagah dalam bahasa aslinya ialah “‫ּכאגְ ׄמן‬ ְ֤ (keagmon) dari kata dasar ‫( אַ גְ מׁׄ֔ן‬agmon). Definisi dari kata ini (Strong, 1890) ialah bulrush, insignificant, sad, drooping, bowing of the head yang berarti rumput gajah, tidak penting, sedih, terkulai, dan membungkuk dari kepala.” Dari analisis kata tersebut terungkap bahwa Allah memilih gelagah sebagai analogi yang tepat untuk menggambarkan cara bangsa Israel merendahkan diri pada masa itu, karena gelagah adalah sebuah tanaman yang tumbuh dengan bentuk terkulai atau menggantung nyaris seperti patah. semakin tinggi gelagah itu tumbuh, maka gelagah akan semakin menunduk. Demikianlah Allah menghendaki kehidupan manusia yaitu agar manusia senantiasa tunduk dan merendahkan diri di hadapan Allah. Kedua, “membentangkan kain karung dan abu sebagai lapik tidur.” (Yesaya 58:5). Kata membentangkan dalam bahasa aslinya ialah “ׁ֔‫( י ִׁ֔צ ִי ַע‬yatsia) dari kata dasar ‫( יַצע‬yatsa) kata ini didefinisikan (Strong, 1890) dengan kata to spread out, make a bed , to lay, spread out, to be laid yang berarti penyebaran, menyebarkan, membuat tempat tidur untuk berbaring, untuk diletakkan.” Kata kain karung dalam ayat ini ditulis dengan kataׁ֔ "‫( וְ ׂשֵ ק‬wesaq) dari kata dasar ‫( ַׂשׁ֔ק‬saq) dalam teks ini kata ‫( ַׂשׁ֔ק‬saq) diawali dengan kata ‫( ְׁ֔ו‬we) yang merupakan awalan kata penghubung yang berarti “dan, tetapi, maka, lalu” Baker (2016). Definisi dari kata (Strong, 1890) ini ialah sackcloth, worn in mourning or humiliation. Artinya ialah kain karung, pakaian yang dipakai dalam kondisi berdukacita atau penghinaan diri. Kain karung merupakan pakaian yang dipakai dalam situasi berduka atau simbol penghinaan. Sehingga saat orang Israel yang melakukan puasa dengan menggunakan kain karung adalah untuk menunjukkan bahwa jiwa mereka sedang dalam keadaan berduka sesuai dengan tradisi bangsa Yahudi bahwa jika ada orang yang meninggal akan ditandai dengan mengenakan kain karung untuk menunjukkan kesedihan dan rasa berduka yang dialami. Implikasi di dalam sikap dukacita adalah kecenderungan orang berduka yang tidak ada selera untuk makan dan minum atau tidak ada keinginan untuk makan atau minum. Kata abu dalam ayat ini ditulis dengan kata “‫( וָאֵ ֶפׁ֔ר‬waeper) dari kata dasar ‫( אֵ ֶפׁ֔ר‬epher). Definisi dari kata ini (Strong, 1890) ialah ashes dan worthlessness yang berarti abu dan tidak berharga.” Abu dalam konteks ini digunakan untuk melambangkan keadaan tidak berharga. Hal ini berarti bahwa setiap orang yang melakukan puasa harus menyadari bahwa dirinya sebagai manusia hanyalah makhluk yang sama sekali tidak berarti dan tidak bernilai tanpa Allah layaknya abu yang merupakan sesuatu yang tidak penting dan tidak berharga. Dari sikap-sikap berpuasa yang dikehendaki Allah tersebut, Allah berjanji akan memberkati umat yang melakukan puasa, sebagaimana yang menjadi harapan para pelaku puasa pada zaman nabi Yesaya (Yesaya 58: 8-12) Ester & F. Farida, Pengajaran Mengenai Puasa Menurut Yesaya 58:1-12 134 Kesimpulan Dari kajian yang dilakukukan terhadap teks Yesaya 58:1-2 bahwa pengertian puasa yang dijelaskan dalam Yesaya 58 tidak hanya berbicara tentang tidak makan atau tidak minum tetapi mengenai hal yang lebih penting dari pada itu, yaitu tentang sikap yang benar yang ditunjukkan saat dilaksanakannya puasa. Sikap yang benar yang ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari adalah satu hal yang jauh lebih penting bagi Allah dari pada ritual-ritual ibadah yang dilakukan tanpa praktik hidup yang benar di hadapan Allah. Nabi Yesaya tidak bermaksud menghilangkan ibadah puasa yang pada umumnya dilakukan dengan menahan diri dari rasa haus dan lapar tetapi ia menekankan bahwa ibadah puasa sebagai ekspresi kesalehan yang dilakukan di hadapan Allah harus sejalan dengan perbuatan benar yang dilakukan dalam kehidupan seharihari yaitu perbuatan yang berkenan di hadapan-Nya. Sehingga esensi kesalehan dari ibadah puasa adalah puasa yang dilakukan dengan hati yang sungguh-sungguh ingin mencari Allah, mendekatkan diri kepada Allah, mengenal kebenaran Allah, taat kepada seluruh perintah Allah, dan merendahkan diri di hadapan Allah. Sejak dahulu umat Allah telah diperintahkan untuk merendahkan diri dengan berpuasa. Pada masa kini pun gereja juga harus senantiasa merendahkan diri di hadapan Allah sebab gereja tidak dapat berbuat apapun tanpa Allah yang adalah kepala dari gereja itu sendiri Kemudian puasa bukanlah sebuah tradisi ibadah yang hanya dimaknai secara lahiriah dan dilakukan secara turun temurun menurut cara yang telah ditetapkan sejak dahulu tetapi puasa adalah sarana yang dapat digunakan untuk terus membangun hubungan dengan Allah yang di dalamnya orang percaya dapat senantiasa menyerahkan diri untuk diperbaharui terus menerus agar dapat menjadi semakin serupa dengan Kristus, dengan melakukan puasa berkenan kepada Allah, secara khusus untuk konteks masa kini dan selaras dengan konteks Yesaya 58:1-12 adalah dilakukan dengan kerendahan hati dan disertai dengan pertobatan yang sungguhsungguh di hadapan Allah, peduli terhadap sesama dan mampu mempraktikkan kasih terhadap semua orang. Daftar Rujukan Ariyanto, M. D., Mahmud, A., & Wijayanti, T. Y. (2012). Konsep Puasa dalam Agama Protestan. Suhuf, 24(1), 99–119. Retrieved from https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/3085/2. DAROJAT ARIYANTO.pdf?sequence=1&isAllowed=y Baker, D. L. (2016). Pengantar Bahasa Ibrani. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Brake, A. (2014). Spiritual Formation. Bandung: Kalam Hidup. Butar-butar, M. (2017). Konsep Puasa Yang Benar Berdasarkan Studi Eksegese Terhadap Yesaya 58 : 1-12. Jurnal Scripta Teologi Dan Pelayanan Kontekstual, 2(2), 144–157. https://doi.org/https://doi.org/10.47154/scripta.v4i2.40 Farida, F. (2016). Diktat Mata Kuliah Hermeneutika. Tenggarong: STT Tenggarong. Fee, G., & Stuart, D. (1989). Hermeneutik. Hermeneutik: Penerbit Gandum Mas. Foster, R. J. (1996). Tertib Rohani. Malang: Penerbit Gandum Mas. Fromel, B. C. M. (2007). Kitab Yesaya 40-55. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Grinnell, A. (2011). Dream Big Start Small. Jakarta: Departemen Pemuda GKII & Departemen Pemuda CMA. Huang, S. E. (2020). Doa Puasa Di Antara Kepemimpinan Penggembalaan, Roh Kudus, dan Pertumbuhan Gereja. Excelsis Deo: Jurnal Teologi, Misiologi Dan Pendidikan, 4(1), 35– 50. Retrieved from http://library1.nida.ac.th/termpaper6/sd/2554/19755.pdf Masruchin, U. N. (2017). Buku Pintar Majas, Pantun dan Puisi. Depok: Huta Publisher. Mutak, A. A. (2016). Disiplin rohani sebagai praktek ibadah pribadi. Jurnal Theologi Aletheia, 18(10), 1–24. Nahaklay, D. (2020). Doa Puasa Dan Manfaatnya Terhadap Kehidupan Orang Percaya. KAPATA : Jurnal Teologi Dan Pendidikan Kristen, 1(1), 31–39. Osborne, G. R. (2012). Spiral Hermeneutika. Surabaya: Penerbit Momentum. Packer, J. I. (2002). Mengenal Allah. Yogyakarta: Yayasan Andi. Pfeiffer, C. F., & Harison, E. F. (2001). The Wyclife Bible Commentary. Malang: Penerbit Gandum Mas. Strong, J. (1890). Strong’s Exhaustive Concordance of The Bible. United States of America: Hendrickson Publisher. Sulfriyanti, A. F., & Sumule, L. (2019). Kajian Doa Puasa Bagi Pertumbuhan Spiritual Di Jemaat GKII Tanjung Belimbing Kalimantan Utara. Repository STT Jaffray, 1(2), 68–74. https://doi.org/10.31219/osf.io/m85rw Wauran, M. H. (2012). Puasa di Kalangan Umat Masehi Advent Hari Ketujuh. Jurnal Fakultas Filsafat (JFF) Universitas Klabat, 1(2), 1018–1019. Ester & F. Farida, Pengajaran Mengenai Puasa Menurut Yesaya 58:1-12 136