Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

ASUMSI EPISTEMOLOGI HERMENEUTIKA HASSAN HANAFI

Two weaknesses in the interpretation of the Qur'an according to Hasan Hanafi: loss of interpretative orientation and weakened epistemological discernment. Because static paradigms cannot handle the dynamics of the times, Hanafi encouraged the Muslims to reinterpret the Qur'an. Considering the discourse of the Qur'an is not something sacred is the basis of Hanafi's epistemology. We can understand the complexity of hermeneutics in the context of contemporary Islam by studying the Hanafi methodology. Hasan Hanafi's liberation hermeneutics are concrete acts with three main terms related to al-Hawamil. To solve the problems of the Muslims, Hassan Hanafi's interpretation takes a practical approach. The responses to Hassan Hanafi's hermeneutics are varied, with many arguments in favour and against. The research is expected to contribute to an understanding of Hassan Hanafi's hermeneutic epistemology and how his concepts shape contemporary Islamic thinking.

ASUMSI EPISTEMOLOGI HERMENEUTIKA HASSAN HANAFI Dewi Rahmawati dewirhmawati1223@gmail.com Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Antasari Banjarmasin Abstract Two weaknesses in the interpretation of the Qur'an according to Hasan Hanafi: loss of interpretative orientation and weakened epistemological discernment. Because static paradigms cannot handle the dynamics of the times, Hanafi encouraged the Muslims to reinterpret the Qur'an. Considering the discourse of the Qur'an is not something sacred is the basis of Hanafi's epistemology. We can understand the complexity of hermeneutics in the context of contemporary Islam by studying the Hanafi methodology. Hasan Hanafi's liberation hermeneutics are concrete acts with three main terms related to al-Hawamil. To solve the problems of the Muslims, Hassan Hanafi's interpretation takes a practical approach. The responses to Hassan Hanafi's hermeneutics are varied, with many arguments in favour and against. The research is expected to contribute to an understanding of Hassan Hanafi's hermeneutic epistemology and how his concepts shape contemporary Islamic thinking. Keywords: Epistemology, Hermeneutics, Hassan Hanafi Abstrak Dua kelemahan dalam penafsiran Al-Qur'an menurut Hasan Hanafi: kehilangan orientasi penafsiran dan melemahnya nalar epistemologis. Karena paradigma statis tidak dapat menangani dinamika zaman, Hanafi mendorong umat Islam untuk menafsirkan ulang Al-Qur'an. Menganggap diskursus Ulumul Qur'an bukan sesuatu yang suci adalah dasar epistemologi Hanafi. Kita dapat memahami kompleksitas hermeneutika dalam konteks keislaman kontemporer dengan mempelajari metodologi Hanafi. Hermeneutika pembebasan Hasan Hanafi adalah tindakan konkret dengan tiga istilah utama yang berkaitan dengan al-Hawamil. Untuk menyelesaikan masalah umat Islam, penafsiran Hassan Hanafi mengambil pendekatan praktis. Respon terhadap hermeneutika Hassan Hanafi beragam, dengan banyak argumen yang mendukung dan menentang. Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pada pemahaman epistemologi hermeneutika Hassan Hanafi dan bagaimana konsep-konsepnya membentuk pemikiran Islam kontemporer. Kata Kunci: Epistemologi, Hermeneutika, Hassan Hanafi Pendahuluan Pada saat ini, kita dihadapkan pada dua kenyataan sulit yaitu dimana al-Qur'an yang diturunkan empat belas abad silam harus dipegang, namun di sisi lain dinamika 1 sejarah yang menuntut perubahan. Dari sini, sebenarnya kita dihadapkan pada paradoks, al-Qur'an yang statis harus diiringi dengan zaman yang selalu berjalan. Apakah al-Qur'an, yang ditulis empat belas abad yang lalu, dapat menawarkan solusi untuk masalah yang dihadapi hari ini? Dari pertentangan ini, maka muncul beberapa pemikir kontemporer yang mencoba menyatukan paradoks tersebut. Salah satunya adalah Hassan Hanafi. Menurut asumsi Hassan Hanafi, pendekatan "hermeneutis terhadap al-Qur'an" adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan paradoks ini. Disebut sebagai pendekatan hermeneutik karena, di satu sisi, tidak mungkin untuk bertolak dari teks saja, dan di sisi lain, tidak mungkin untuk bertolak dari kenyataan saja. Oleh karena itu, gerak dialektis harus ada antara teks dan konteks kita saat ini. Penafsiran inilah yang disebut pembacaan hermeneutis.1 Hasan hanafi adalah tokoh pertama yang memperkenalkan hermeneutika lewat kajiannya terhadap ushul fiqih, lebih lanjut menurut Hasan hanafi, hermeneutika memerlukan pemahaman tentang proses pewahyuan selain teori penafsiran. Dia berpendapat bahwa, selama proses komunikasi antara Allah dan umat Muhammad untuk menyampaikan peasan, terjadi distorsi, sehingga kritik sejarah diperlukan untuk mengetahui keaslian teks dan mempermudah penafsirannya.2 Dalam penelitian sebelumnya Ada beberapa peneliti yang sangat terinspirasi oleh pemikiran Hassan Hanafi dalam penelitian sebelumnya. Salah satunya adalah Ilham B. Saenong, yang menemukan bahwa hermeneutika Hassan Hanafi adalah suatu metodologi yang dapat menjembatani antara teks tertulis dan konteks yang sifatnya aksi; teorinya tidak terbatas pada teks, tetapi juga perlu diterjemahkan ke dalam konteks sosial melalui gerakan. Oleh karena itu, hermeneutika Hassan Hanafi disebut oleh Ilham B. Saenong sebagai "hermeneutika pembebasan".3 Menurut Solahuddin dalam jurnalnya yang berjudul Epistemologi Hermeneutika Hassan Hanafi, beberapa penelitian tentang pemikiran hermeneutika Hassan Hanafi memiliki kelemahan. Kelemahan pertama adalah bahwa penelitian sebelumnya fokus pada pemikiran ushul fiqh Hassan Hanafi daripada hermeneutika alQur'an. Kedua, fokus penelitian sebelumnya adalah pada narasi besar hermeneutika Ahmad Solahuddin, “Epistemologi Hermeneutika Hassan Hanafi,” Living Islam: Journal of Islamic Discourses 1, no. 1 (July 13, 2018): 152. 2 Siti Fahimah, “Kritik Epistemologi Metode Hermeneutika:,” Al Furqan: Jurnal Ilmu Al Quran dan Tafsir 2, no. 2 (December 16, 2019): 114. 3 Solahuddin, “Epistemologi Hermeneutika Hassan Hanafi,” 153. 1 2 Hanafi. Hasilnya, penelitian-penelitian tersebut membahas banyak hal dari Hanafi, tapi tidak secara spesifik pada satu hal.4 Untuk itu, penulis akan melihat secara spesifik pemikiran Hermeneutika Hanafi dari asumsi dasar, epistemologis, dan pendekatan yang dipakai oleh Hassan Hanafi. Pada akhirnya, penulis menyatakan bahwa signifikansi tulisan ini adalah untuk mengkaji secara spesifik epistemologi hermeneutika Hanafi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan pemikiran hermeneutika Hanafi secara spesifik dan pemikiran hermeneutika secara keseluruhan. Metode Penelitian Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif yang menggunakan corak penelitian kepustakaan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi dan memahami pemikiran filosof Muslim Hassan Hanafi tentang cara dia mempelajari hermeneutika al-Qur'an dan bagaimana asumsinya terhadap pemaknaan epistemologi al-Qur’an. Dengan menggunakan bahan dan data yang mendukung, penelitian ini melihat masalah ini dari berbagai sumber primer dan sekunder, seperti buku, jurnal, makalah, skripsi, tesis, dan sebagainya. Hasil temuan kemudian dinarasikan dengan sistematika dalam artikel ini sebagaimana yang ada. Pembahasan A. Biografi Hassan Hanafi Hassan Hanafi dilahirkan di Kairo pada tanggal 13 Februari 1935. Pada tahun 1952, Hanafi yang kecil menyelesaikan pendidikan Tsanawiyah. Setelah itu, Hanafi muda terus belajar di Jurusan Filsafat Universitas Kairo hingga selesai pada 1956 dengan gelar Sarjana Muda. Universitas Kairo sangat terpengaruh oleh pemikiran Abduh, yang mana hal itu berbeda dengan Universitas al-Azhar. Universitas Kairo lebih dekat dengan universitas Barat secara epistemologis. Ini menunjukkan bahwa pemikiran Hanafi banyak dipengaruhi oleh Unversitas Kairo dan Abduh. 5 Namun, seorang peneliti menemukan bahwa kelemahan Abduh sebagai seorang pemikir adalah ia menyadarkan pada mayoritas umat Islam tentang arti penting dari tajdid (pembaharuan). Menurutnya, Tajdid Abduh bukanlah tajdid yang mapan; lebih 4 5 Solahuddin, “Epistemologi Hermeneutika Hassan Hanafi,” 154. Solahuddin, “Epistemologi Hermeneutika Hassan Hanafi,” 155–156. 3 tepatnya, ia merupakan gerakan tajdid yang masih dalam proses penemuan metodologi. Dalam hal ini, Hanafi lebih jauh menutupi titik buta (blind spot) dari tajdid Abduh. Selanjutnya, kita akan melihat bahwa civitas akademika Universitas Sorbone sangat dipengaruhi oleh tajdid yang dikembangkan Hanafi, yang merupakan bentuk lanjutan dari tajdid Abduh.6 Hanafi belajar dari berbagai guru di Universitas Sorbone. Ini termasuk belajar tentang hermeneutika dari Paul Ricouer,7 yang saat itu Hanafi menjadi mahasiswa dan Ricouer menjadi dosen hermeneutika di Sorbone. Pada akhirnya, pemikiran Hanafi tentang penafsiran al-Qur'an dipengaruhi oleh pemikiran Ricouer sebagaiman ia merupakan guru yang mengajarkan hermeneutika kepada Hanafi. Sehingga, pertemuan dengan Ricouer mendorong Hanafi untuk menulis buku al-Turas wa al-Tajdid.8 Dalam menyelesaikan tugas akhir, Hanafi menjalani bimbingan penulisan bersama Prof. Masnion tentang pembaharuan Ushul Fiqh. Dari Prof. Masnion, dia belajar banyak tentang fenomenologi yang diciptakan oleh Husserl. Pada akhirnya, fenomenologi Husserllah yang menginspirasi Hanafi untuk menulis tugas akhir. Hanafi menulis tesis Les Methodes d'Exegeses: Essei sur La Science des Fondaments de La Conprehension Ilmu Ushul Fiqh untuk memperoleh gelar master, dan desertasi berjudul L'Exegese de La Phenomenologie, L'état actuel de la Methode Phenomenologie et sonapplication au Phenomene Religieux untuk memperoleh gelar doktor. Pada akhirnya, ia berhasil menyelesaikan pendidikannya (10 tahun di Perancis) di Universitas ini pada tahun 1966.9 Setelah lulus dari Universitas Sorbone, Hanafi berkomitmen untuk mengajar di berbagai universitas. Dia terbang dari satu negara ke negara lain sebagai dosen tamu di Amerika Serikat, Kuwait, Maroko, Perancis, dan Jepang. Hanafi diangkat sebagai guru besar tamu di Universitas Tokyo dari tahun 1984 hingga 1985, dan dia juga menjadi penasihat program di Universitas PBB di Jepang dari tahun 1985 hingga 1987.10 Hanafi tidak hanya aktif dalam dunia akademik, tetapi juga aktif dalam organisasi ilmiah dan sosial. Ia adalah anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, Gerakan Solidaritas Asia-Afrika, sekretaris umum Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir, dan Solahuddin, “Epistemologi Hermeneutika Hassan Hanafi,” 156. Solahuddin, “Epistemologi Hermeneutika Hassan Hanafi,” 157. 8 Solahuddin, “Epistemologi Hermeneutika Hassan Hanafi,” 158. 9 Solahuddin, “Epistemologi Hermeneutika Hassan Hanafi,” 158. 10 Solahuddin, “Epistemologi Hermeneutika Hassan Hanafi,” 158–159. 6 7 4 wakil presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab. Dia berpengaruh di dunia Arab dan Eropa. Pada tahun 1981, ia mendirikan dan memimpin redaksi jurnal ilmiah al-Yasar al-Islami (Kiri Islam). Reaksi keras dari Presiden Mesir saat itu, Anwar Sadat, terhadap ide-idenya yang terkenal dalam jurnal ini menyebabkan dia dipenjara. Keberangkatannya ke Amerika sebagai dosen tamu sebenarnya tidak lepas dari perselisihannya dengan Anwar Sadat yang memaksanya meninggalkan Mesir.11 Jika tidak berlebihan, Hanafi dapat dianggap sebagai salah seorang yang pertama mendorong penggunaan hermeneutika dalam mempelajari bahasa agama. Ia juga telah meletakkan dasar-dasar apa yang ia sebut sebagai “Hermeneutics as Axiomatics ”(1977).12 Dalam tulisan-tulisan Hanafi, kita akan banyak melihat pengaruh Marx, Foucault, Fenomenologi Husserl, dan lainnya, yang digunakannya untuk memperbaharui metodologi Islam, baik ushul fiqh atau tafsir al-Qur'an. Gaya pemikiran seperti ini merupakan ciri khas Hassan Hanafi, yang merupakan pengembangan dari pemikiran Abduh dalam teologi Islam.13 Selain itu, kita dapat menemukan kontribusi pemikiran Hanafi dalam beberapa karyanya, seperti: 1) al-Dīn wa al-Ṣaurah fī MiṢr: Al-Dīn wa al-Taharrur al-Ṣaqafī; 2) Al-Dīn wa al-Ṣaurah fī MiṢr 1952-1981: Al-Dīn wal Niḍāl al-Waṭāni; 3) AlDīn wa al-Ṣaurah fī MiṢr 1952-1981: Al-Dīn wal alTanmiyyah al-Qaumiyyah, 4) Al-Dīn wa al-Ṣaurah fī MiṢr 1952-1981: AlḤarakāt alDīniyyah al-MuāṢirah; 5) Al-Dīn wa al-Ṣaurah fī MiṢr 1952-1981: al-UṢūliyyah alIslāmiyyah; 6) Al-Dīn wa al-Ṣaurah fī MiṢr 1952-1981: Al-Yamīn wa al-Yasār fī alFīkr al-Dīni; 7) Al-Dīn wa al-Ṣaurah fī MiṢr 1952-1981: Al-Yasār al-Islāmi wa alWaḥdah al-Waṭāniyyah; 8) Qaḍāya al-MuāṢirah, fī al-Fīkr alGharbi al-Muāsir; 9) Dirāsah Falsafiyyah; 10) Al-Muqaddimah fī 'Ilm al-Istighrāb; 11) Al-TurāṢ wa alTajdīd: Mauqifuna min al-TurāṢ al-Qadīm; 12) Al-Yamīn wa al-Yasār fī al-Islam; 13) Min al-'Aqīdah ila al-Ṣaurah: Al-Muqaddimah al-Naẓriyyah; 14) Min al-'Aqīdah ila al-Ṣaurah: Al-Insān al-Kāmil (al-Tauḥid); 15) Min al-'Aqīdah ila al-Ṣaurah: Al-Insān al-Mutaáyyin (al-'Adl); 16) Min al-'Aqīdah ila al-Ṣaurah: Al-Imān wa al-Amāl (alImāmah); 17) Min al-'Aqīdah ila al-Ṣurah: Al-Nubuwwah al-Maād; 18) Min al-Naql ila al-Ibdā': Al-Tarikh, al-Qira'ah, al-Íntiḥal; 19) Min al-Naql ila al-Ibdā': AlMoh Khoirul Fatih, “Metodologi Hermeneutika Hassan Hanafi,” Al Furqan: Jurnal Ilmu Al Quran dan Tafsir 6, no. 2 (December 20, 2023): 268–269. 12 Ilham B. Saenong, “Hermeneutika Al-Qur’an Untuk Pembebasan : Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi,” Millah: Journal of Religious Studies (2004): 263. 13 Solahuddin, “Epistemologi Hermeneutika Hassan Hanafi,” 159. 11 5 Taḥawwul; 20) L'Exegese de la Phenomenologie: l'Etat Actuelle de la Methode Phenomenologie et Son Application Phenomene Religieux; 21) ḤiṢār al-Zamān: AlMufakkir; 22) ḤiṢār al-Zamān: Al-Māḍi wa al-Mustaqbal; 23) ḤiṢār al-Zamān: AlḤāḍir (Isykalat); 24) Min al-NāṢ Ilā al-Wāqi: Takwīn al-NāṢ; 25) Min al-NāṢ Ilā alWāqi: Biáh al-NāṢ; 26) Tarbiyyah al-Jins al-Basyarī; 27) Manhaj Tafsīr wa MaṢāliḥ Ummah; 28) Min al-Fanā' ilā al-Baqā': Al-Wa'y al-Mauḍūí; 29) Min al-Fanā' ilā alBaqā': al-Wa'y al-Żātī; 30) Muhammad Iqbāl: Failasuf alŻatiyyah; 31) Al-Huwiyyah; 32) Min al-Naql ilā al-'Aql: Ulūm al-Qur'ān; 33) Min al-Naql ilā al-'Aql: Ulūm alHadīṢ; dan 34) Min al-Naql ila al-'Aql: Ulum al-Sīrah.14 B. Asumsi Dasar Hermeneutika Hassan Hanafi Sejauh perjalanan penafsiran al-Qur'an, para sarjana tafsir merumuskan banyak sekali metode tafsir. Jauh dari pada itu, secara global, bisa kita tangkap bahwa kelemahan-kelemahan penafsiran tersebut adalah krisisnya orientasi penafsiran dan lemahnya nalar epistemologis penafsiran. Disebut sebagai krisis orientasi karena penafsiran hanya digunakan sebagai alat untuk membenarkan hal-hal yang sudah mapan, seperti masalah teologis, fikih, dll. Dan disebut krisis epistemologis karena penafsiran asli al-Qur'an tidak pernah terjadi; yang terjadi sebenarnya adalah pengulangan tafsir-tafsir terdahulu. Di sini, penafsiran ketika dilihat dari sudut pandang epistemologis benar-benar tidak ada; sebaliknya, yang ada hanyalah justifikasi kebenaran secara sepihak.15 Pada dasarnya, Hanafi resah dengan krisis orientasi dan krisis epistemologi tafsir. Menurut Hanafi, umat Islam harus memiliki orientasi yang jelas dalam menafsirkan al-Qur'an; mereka harus berani menggali makna al-Qur'an secara objektif, bukan secara serta merta menggunakannya untuk menunjukkan kebenaran tertentu. Mereka juga harus memiliki kesadaran epistemologi tafsir, bukan hanya mengulangi tafsir yang sudah ada.16 Dari sini dapat kita lihat bahwasanya Hanafi hanya ingin membuka fikiran seseorang bahwa al-Qur’an tidaklah hanya sebagai alat statis yang tidak bisa bergerak, melainkan kita harus bisa menggali lebih dalam lagi terkait Solahuddin, “Epistemologi Hermeneutika Hassan Hanafi,” 160. Solahuddin, “Epistemologi Hermeneutika Hassan Hanafi,” 161. 16 Solahuddin, “Epistemologi Hermeneutika Hassan Hanafi,” 161. 14 15 6 pemaknaan teks agar lebih berkembang sehingga mempunyai orientasi yang jelas dan tidak kaku terhadap penafsirannya. Setelah krisis ini terjadi, Hassan Hanafi berusaha untuk mendorong umat Islam untuk memiliki arah yang jelas. Umat Islam akan menyadari pentingnya "membangun epistemologi penafsiran." Dengan kata lain, al-Qur'an harus dibuka lagi dan ditafsirkan ulang. Karena zaman berubah, penafsiran ulang harus dilakukan. Sedangkan zaman yang dinamis tidak bisa dihadapi dengan sudut pandang terhadap al-Qur'an yang statis.17 Kondisi ini, mendorong Hanafi untuk mengembangkan epistemology hermeneutika al-Qur'annya. Hanafi berasumsi bahwa: (1) 'ulum al-Qur'an atau studi alQur'an, bukanlah diskursus keilmuan yang suci dan anti kritik; (2) Akan tetapi, 'ulum al-Qur'an adalah sebuah diskursus keilmuan yang menyingkap spirit ma'na yang ingin disampaikan oleh al-Qur'an (al-Maḥmul); (3) Seharusnya, kita tidak terjebak oleh unsur wadah pembawa al-Qur'an' (al-Ḥawamil) dalam bentuk bahasa Arab, kondisi geografis, sosiologis, waktu, maupun peradabannya; (4) Tugas seorang mufassir adalah menyingkap al-Maḥmul dari al-Ḥawamil; karena al-Maḥmul inilah yang merupakan ilmu Ilahi dan suci.18 Dari penjelasan ini, kita bisa menangkap kebaruan pemikiran Hanafi, dari istilah barunya, yaitu: al-Maḥmul dan al-Ḥawamil. Al-Maḥmul adalah spirit al-Qur'an, ilmu Ilahiah, yang suci, belum tercampuri faktor profan makhluk apapun. Sedang al-Ḥawamil adalah segala hal yang membawa spirit itu, baik bahasa Arab, kondisi geografis, sosiologis, waktu, maupun peradabannya.19 Pemikiran Hanafi mencapai dua hal yang tidak dicapai oleh pemikir sebelumnya. Pertama, wahyu al-Qur'an adalah tindakan muslim yang didasarkan pada nilai-nilai Qur'ani. Oleh karena itu, al-Qur'an seharusnya dikaji bukan hanya untuk disucikan atau disembah. Proses pemahaman yang berkelanjutan dalam memahami alQur'an adalah suatu hal yang niscaya demi penerjemahan al-Qur'an dari teks menuju realitas. Selain itu, Hanafi memberi kritik tajam kepada mereka yang hanya melihat kewahyuan al-Qur'an dari teksnya atau bacaannya saja; praktik seperti itu adalah khurafāt yang harus ditinggalkan. Hanafi mengajak kita untuk menyadari arti penting kewahyuan al-Qur'an, yaitu mengamalkan nilai-nilainya. Kedua, Hanafi memberi kita Solahuddin, “Epistemologi Hermeneutika Hassan Hanafi,” 162. Solahuddin, “Epistemologi Hermeneutika Hassan Hanafi,” 162–163. 19 Solahuddin, “Epistemologi Hermeneutika Hassan Hanafi,” 163. 17 18 7 panduan praktis untuk metodologi penafsiran al-Qur'an setelah menyadarkan kita tentang pentingnya beramal pada al-Qur'an dan terus berusaha memahaminya. Buku "Ulum al-Qur'an" Hanafi ini memiliki nilai tambahan karena Hanafi telah membuat berbagai pendekatan dalam pengkajian al-Qur'an yang saling terkait satu sama lain. Usaha seperti ini membutuhkan waktu bertahun-tahun dan membutuhkan dedikasi tinggi. Dengan demikian, Hanafi dianggap sebagai seorang cendekiawan muslim yang cerdas pada abad ini.20 C. Pendekatan Hermeneutika Hassan Hanafi Dari asumsi dasar yang mana Hanafi membedakan antara yang al-Ḥawamil dan al-Maḥmul, Pada akhirnya, Hanafi menjadikan al-Hawamil sebagai pendekatan dalam studi al-Qur'an, dan al-Maḥmul sebagai signifikansi makna yang harus dicapai oleh seorang mufassir.21 Hanafi membagi ragam al-Ḥawamil menjadi tiga kategori berbeda. Yang pertama, al-Hawamil al-Maudhu'iyyah didefinisikan sebagai "segala sesuatu yang berada di luar wahyu, baik itu kondisi geografis, sosiologis, atau waktu penurunan wahyu." Yang kedua, al-Hawamil al-Maudhu'iyyah al-Dzatiyyah didefinisikan sebagai "orang-orang yang terlibat dalam proses penurunan wahyu dan penjagaan wahyu." Dan, ketiga, al-Ḥawamil al-Dzatiyyah (subjective approach) dapat didefinisikan sebagai bentuk eksis al-Qur'an yang kita baca sekarang yang tertulis dalam bahasa Arab.22 Term pertama, Hanafi membagi al-Hawamil al-Maudhu'iyyah ke dalam tiga pendekatan: pendekatan geografis teks, pendekatan sosiologis teks, dan pendekatan periode teks. Pada term kedua, Hanafi membagi al-Hawamil al-Maudhu'iyyah alDzatiyyah ke dalam tiga pendekatan, yaitu pendekatan riwayat yang melibatkan studi kritik sanad, pendekatan qira’at dan pendekatan rasm. Untuk term ketiga, Hanafi membagi al-Ḥawamil al-Dzatiyyah ke dalam tiga pendekatan, yaitu pendekatan leksikologi (al-lughah wa al-ma'na), pendekatan balaghah dan pendekatan intepretatif (tafsir). Dengan demikian, secara akumulatif kita mendapatkan sembilan jenis pendekatan dalam hermeneutika Hanafi.23 Solahuddin, “Epistemologi Hermeneutika Hassan Hanafi,” 270. Solahuddin, “Epistemologi Hermeneutika Hassan Hanafi,” 164. 22 Solahuddin, “Epistemologi Hermeneutika Hassan Hanafi,” 164. 23 Solahuddin, “Epistemologi Hermeneutika Hassan Hanafi,” 164. 20 21 8 D. Epistemologi Hermeneutika Hassan Hanafi Dalam konteks bentuk dan modelnya, terdapat tiga model hermeneutika. Pertama, ada hermeneutika objektif yang dikembangkan oleh Friedrick Schleiermacher dan timnya. Karena teks dianggap sebagai ekspresi jiwa pengarang, mereka berpendapat bahwa penafsiran berarti memahami teks sebagaimana pengarangnya memahaminya. Untuk memahami budaya sekitarnya, seorang penafsir harus keluar dari tradisi mereka sendiri dan memasuki tradisi si pengarang, atau paling tidak membayangkan seolah dirinya hadir pada zaman itu. Dengan demikian penafsir akan mendapatkan makna yang objektif sebagaimana yang dimaksudkan pengarang. Kedua, hermeneutika subjektif yang dikembangkan oleh Hans Georg Gadamer dan timnya. Menurut mereka, hermeneutika tidak bertujuan untuk menemukan makna bebas yang diinginkan oleh penulis atau pengarang; sebaliknya, ia bertujuan untuk memahami isi teks secara independen, tanpa terikat pada gagasan awal penulis.24 Ketiga, hermeneutika pembebasan yang dikembangkan oleh sebagian besar pemikir Muslim kontemporer, termasuk Hasan Hanafi dan Farid Esack, Mereka berpendapat bahwa hermeneutika dalam konteks ini lebih tertuju kepada suatu tindakan yang konkret bukan hanya ilmu interpretasi atau metode pemahaman semata. Dengan kata lain, hermeneutika pembebasan adalah bentuk implementasi dari suatu tindakan untuk memerangi struktur sosial yang dianggap menindas dan tidak rasional.25 Sekurang-kurangnya, epistemologi hermeneutika Hasan Hanafi dapat ditemukan dalam bab Ushul Fiqih dari bukunya Dirasat Islamiyyah dan dalam bukunya Dirasat Falsafiyyah, terutama dalam Qira'ah al-Nash. Dia sengaja menggunakan hermeneutika sebagai alat untuk memahami dan menilai bagaimana fenomenologi berkembang menjadi fenomenologi aplikatif, terutama dalam kaitannya dengan fenomena keagamaan. Dalam bukunya "Dirasat Islamiyyah," Hasan Hanafi memakai metode fenomenologi dan hermeneutika untuk menganalisis objek studi dengan pendekatan sejarah yang kritis, mengamati dengan teliti sebagaimana adanya.26 Ali Ridwan Anshory, Hanna Salsabila, “Epistemologi Dan Pendekatan-Pendekatan Hermeneutika Hasan Hanafi,” Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 4 No. 1 (Januari 2024), 25–26, accessed June 6, 2024, https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jpiu/article/view/32332. 25 Ali Ridwan Anshory, Hanna Salsabila, “Epistemologi Dan Pendekatan-Pendekatan Hermeneutika Hasan Hanafi,” 26. 26 Mubaidi Sulaeman, “Pemikiran Hermeneutika Al-Qur’an Hasan Hanafi Dalam Studi AlQur’an Di Indonesia,” SALIMIYA: Jurnal Studi Ilmu Keagamaan Islam Volume 1, Nomor 2, Juni 2020,78, accessed June 6, 2024, https://ejournal.iaifa.ac.id/index.php/salimiya/article/view/147. 24 9 E. Sumber Metodologis Pemikiran hermeneutis Hanafi terdiri dari empat pilar. Dari khazanah klasik, ia memilih ushul al-fiqh, sementara fenomenologi, Marxisme, dan hermeneutika itu sendiri adalah bagian dari tradisi intelektual Barat. Ini jelas ide yang buruk, karena kebanyakan penafsiran dan metode tafsir al-Qur'an saat ini terbatas pada filologi, hukum, periwayatan atau laporan sejarah, teologi, filsafat, justifikasi sains, dan kajian sosiopolitik hingga pendekatan estetik pada al- Qur’an.27 Hermenutika al-Qur'an Hanafi dengan sengaja mengambil landasan ushul alfiqh dari tradisi ilmu keislaman klasik sebagai titik tolak. Sebab, secara praktis, ia memandang bahwa ada hubungan yang erat antara proses pembentukan hukum dan tindakan penafsiran.28 Maka seharusnya dapat dipahami dari perspektif praktis hermeneutika pembebasan Hanafi mengapa tidak semua pendirian ilmu fiqih dan ushul al-fiq diterima. Paradigma ushul al-fiqh al-Maliki, yang berasal dari tradisi Umar bin Khattab, lebih sesuai dengan Hanafi dan gerakan pemikiran Islam kiri-nya. Karena paradigma ini lebih dekat dengan realitas dan memungkinkan mujtahid untuk membuat keputusan hukum berdasarkan kepentingan umum (mashlahah al-'amm).29 Gagasan Hanafi tentang hermeneutika al-Qur’an juga banyak dipengaruhi oleh hermeneutika filosofis Hans-Georg Gadamer. Hanafi sangat setuju dengan gagasan Gadamer bahwa penafsiran tidak mungkin terlepas dari prapaham atau subjektivitas penafsir. Oleh karena itu, penafsiran selalu melibatkan perspektif tertentu terhadap subjek yang ditafsirkan. Oleh karena itu, penafsiran sebagai upaya mereplikasi makna asli tidak mungkin. Sebaliknya, proses penafsiran sebanding dengan upaya terus-menerus untuk menghasilkan makna kreatif.30 Pemikiran lain yang berpengaruh dalam penyusunan kerangka hermeneutika al-Qur’annya adalah Marxisme. Namun demikian, tanpa Marxisme sekalipun Hanafi cukup memiliki referensi revolusioner dalam gerakan pemikiran Islam, terutama yang diinspirasi oleh al-Afgani dan Sayyid Qutb. Namun, penguasaannya pada pemikiran Marx dan pemahamannya tentang berbagai jenis teologi pembebasan yang berorientasi Ilham B. Saenong, “Hermeneutika Al-Qur’an Untuk Pembebasan,” 262. Ilham B. Saenong, “Hermeneutika Al-Qur’an Untuk Pembebasan,” 262. 29 Ilham B. Saenong, “Hermeneutika Al-Qur’an Untuk Pembebasan,” 263. 30 Ilham B. Saenong, “Hermeneutika Al-Qur’an Untuk Pembebasan,” 263. 27 28 10 kiri sangat membantu Hanafi secara metodologis dalam memeriksa berbagai kontradiksi dalam kehidupan umat Islam modern.31 Sebagai seorang pemikir yang serius komitmennya tdalam pemikiran kondisi aktual umat sehingga sampai menempatkan supremasi realitas sedemikian rupa, ia tidak setuju apabila tafsir hanya dianggap sebagai teori memhami teks. Menafsirkan menurutnya lebih berarti melakukan gerak ganda dari teks menuju realitas dan dari realitas menuju teks. Untuk tujuan ini, al-Manhaj al-Ijtima'i fi al-Tafsir adalah metodologi yang dia tawarkan.32 Untuk mencapai hasil yang diharapkan dari pendekatan ini. Sebelum penafsiran dapat dimulai, Hassan Hanafi menyarankan beberapa prinsip dasar yang harus dipahami. Pertama, tidak perlu mempertanyakan asal-usul atau sifat teks Al-Qur'an saat menafsirkannya. Ini mengingat tafsir tidak terkait dengan masalah kejadian teks melainkan berkait dengan isi. Kedua, Al-Qur'an sebagai teks tidak dibedakan dari teksteks kebahasaan lainnya. ni karena penafsiran Al-Qur'an tidak didasarkan pada keyakinan bahwa Al-Qur'an adalah teks sakral dengan segala keistimewaannya. Ketiga, penafsiran tidak mengenal penilaian normatif akurat atau tidak. Karena perbedaan pendekatan penafsiran tidak lain adalah perbedaan pendekatan terhadap teks sebagai bias perbedaan kepentingan. Tidak dapat dihindari bahwa ada banyak penafsiran, karena setiap penafsiran pada dasarnya merupakan ekspresi komitmen sosial-politik pelakunya.33 Kesimpulan Menurut Hasan Hanafi, terdapat dua kelemahan penafsiran Al-Qur’an: kehilangan orientasi penafsiran dan melemahnya nalar epistemologis. Karena paradigma statis tidak dapat menangani dinamika zaman, Hanafi mendorong umat Islam untuk menafsirkan ulang Al-Qur'an. Menganggap diskursus Ulumul Qur'an bukan sesuatu yang suci adalah dasar epistemologi Hanafi. Diharapkan bahwa penelitian ini akan meningkatkan pemahaman kita tentang hermeneutika Hasan Hanafi dan bagaimana ide-idenya membentuk pemikiran Islam modern. Ilham B. Saenong, “Hermeneutika Al-Qur’an Untuk Pembebasan,” 264. Amir Faishol Fath, “Paradigma Realis Dalam Penafsiran Hassan Hanafi,” Al-Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 7, no. 01 (May 30, 2022): 24. 33 Fath, “Paradigma Realis Dalam Penafsiran Hassan Hanafi,” 24. 31 32 11 Kita dapat memahami kompleksitas hermeneutika dalam konteks keislaman kontemporer dengan mempelajari metodologi Hanafi. Hermeneutika pembebasan Hasan Hanafi adalah tindakan konkret dengan tiga istilah utama yang berkaitan dengan al-Hawamil. Untuk menyelesaikan masalah umat Islam, penafsiran Hasan Hanafi mengambil pendekatan praktis. Ada berbagai tanggapan terhadap hermeneutika Hasan Hanafi, masing-masing dengan argumen yang mendukung dan menentang. Diharapkan bahwa penelitian ini akan meningkatkan pemahaman kita tentang hermeneutika Hasan Hanafi dan bagaimana ide-idenya membentuk pemikiran Islam modern. 12 DAFTAR PUSTAKA Ali Ridwan Anshory, Hanna Salsabila. “Epistemologi Dan Pendekatan-Pendekatan Hermeneutika Hasan Hanafi.” Accessed June 6, 2024. https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jpiu/article/view/32332. Fahimah, Siti. “Kritik Epistemologi Metode Hermeneutika:” Al Furqan: Jurnal Ilmu Al Quran dan Tafsir 2, no. 2 (December 16, 2019): 109–124. Fath, Amir Faishol. “Paradigma Realis Dalam Penafsiran Hassan Hanafi.” AlTadabbur: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 7, no. 01 (May 30, 2022): 19–28. Ilham B. Saenong. “Hermeneutika Al-Qur’an Untuk Pembebasan : Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi.” Millah: Journal of Religious Studies (2004): 255– 275. Moh Khoirul Fatih. “Metodologi Hermeneutika Hassan Hanafi.” Al Furqan: Jurnal Ilmu Al Quran dan Tafsir 6, no. 2 (December 20, 2023): 264–279. Mubaidi Sulaeman. “Pemikiran Hermeneutika Al-Qur’an Hasan Hanafi dalam Studi Al-Qur’an Di Indonesia.” Accessed June 6, 2024. https://ejournal.iaifa.ac.id/index.php/salimiya/article/view/147. Solahuddin, Ahmad. “Epistemologi Hermeneutika Hassan Hanafi.” Living Islam: Journal of Islamic Discourses 1, no. 1 (July 13, 2018): 151–175. 13