Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Al-QURAN DAN KOMUNIKASI(ETIKA KOMUNIKASI DALAM PERSPEKTIFAl-QURAN TAFAUL AZKY Universitas Islam negeri Walisongo Email: tafaulazky21@gmail.com Abstract discusses the principles of communication ethics from the Al-Quran perspective along with communication theory. The special terms that the Koran assumes as an explanation of the principles of communication include; the terms qaulan balîghan, qaulan maisûran, qaulan karîman, qaulan ma'rûfan, qaulan layyinan, qaulan sadîdan, also including qaul al-zûr, and others. So the descriptions of communication contained in the Al-Quran can be used as a basis for implementing good and polite communication patterns, in social, political and other aspects. One proof that the Al-Quran provides guidance is how to behave and communicate properly and correctly with both parents, especially when both or one of them is old. In this case, the Koran uses the term karīm, which linguistically means noble. The message of the command to speak in the Al-Quran and hadith is an indication of the obligation for Muslims to apply the characteristics of honesty and correct speech which in the concept of the Al-Quran is known as qaulan sadidan. Keywords: Al-quran, etika, end comunication Abstrak membahas prinsip etika komunikasi perspektif Al-Quran beserta dengan teori komunikasinya. Adapun term-term khusus yang diasumsikan Al-Quran sebagai penjelasan dari prin-sip-prinsip komunikasi tersebut antara lain; term qaulan balîghan, qaulan maisûran, qaulan karîman, qaulan ma’rûfan, qaulan layyinan, qaulan sadîdan, juga termasuk qaul al-zûr, dan lain-lain. Maka gam-baran komunikasi yang termaktub dalam Al-Quran dapat dijadikan sebuah landasan untuk mengimplementasikan pola komunikasi yang baik dan santun, dalam aspek sosial kemasyarakatan, politik, dan lain sebagainya. Salah satu bukti bahwa Al-Quran memberikan petunjuk ialah bagaimana cara berperilaku dan berkomunikasi secara baik dan benar kepada kedua orang tua, terutama sekali, disaat keduanya atau salah satunya sudah berusia lanjut. Dalam hal ini, Al-Quran meng-gunakan term karīm, yang secara kebahasaan berarti mulia. Messa-ge dari perintah berkata dalam Al-Quran dan hadis menjadi sebuah indikasi wajibnya bagi muslim mengaplikasikan sifat kejujuran dan perkataan benar yang dalam konsep Al-Quran dikenal dengan istilah qaulan sadidan. Kata Kunci: Al-Quran, Etika, dan Komunikasi PENDAHULUAN Ditinjau dari segi bentuknya, komunikasi dapat dibedakan menjadi dua, verbal dan non verbal. Dengan kemampuan komunikasi, seseorang mampu me-mukau pendengar selama berjam-jam, tanpa bergeming. Dengan kemampu-an berkomunikasi secara efektif, ternyata kebenaran pemikiran manusia yang sedemikian relatif dapat mempengaruhi jalan pikiran berjuta anak bang-sa. Islam sebagai Agama yang sempurna tentu akan dapat disosialisasikan dan diinternalisasikan kepada para pemeluknya untuk lebih dihayati dan diamalkan secara murni dan konsekuen, jika disampaikan oleh muballig yang mampu me-lakukan komunikasi secara efektif. Kalau saja para mubalig menguasai metode berkomunikasi dengan efektif, akan dapat menginternalisasikan ajaran Islam dalam benak dan dada semua audiens sehingga dapat bersikap dan berprilaku sebagai muslim sejati. Di samping itu, kalau saja para muballig menguasai cara berkomunikasi dengan audiens, maka masjid akan selalu penuh dengan orang-orang yang me-lakukan shalat berjamaah. Indonesia akan sepi dari koruptor atau pelaku ke-jahatan lainnya. Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna seharus-nya memiliki konsep tentang bagaimana berkomunikasi. Demikian pula halnya dengan Al-Quran sebagai kitab suci yang mengcover berbagai persoalan yang dihadapi manusia, tidak terkecuali tentang konsep komunikasi. Al-Quran me-merintahkan untuk berbicara efektif (Qaulan Baligha). Semua perintah jatuhnya wajib, selama tidak ada keterangan lain yang memperingan. Begitu bunyi kaidah yang dirumuskan Ushul Fiqh. METODE jurnal ini menggunakan metode kualitatif dengan bentuk library research atau penelitian kepustakaan dalam mencari dan memdapatkan datanya. Penelitian dalam jurnal ini menggunakan sumber dari data kepustakaan yang berupa jurnal, artikel dan sumber lainnya yang berkaitan dengan jurnal ini yang kemudian dikumpulkan. Dalam mencari sumber referensi terkait pembahasan judul artikel ini menggunakan teknik pengumpulan data dari berbagai sumber refrensi digital atau online. Apabila sudah didapatkan dan dikumpulkannya sumber referensi kemudian data-data yang terdapat pada berbagai sumber referensi tersebut dianalisis dan di parafrase kemudian disusun sehingga menghasilkan sebuah konsep yang baik, utuh, dan relevan sesuai dengan judul yang sudah ditentukan. HASIL DAN PEMBAHASAN Al-Quran dan Komunikasi Manusia sebagai makhluk sosial menduduki posisi yang sangat penting dan strategis. Sebab, hanya manusialah satu-satunya makhluk yang diberi karu-nia bisa berbicara. Dengan kemampuan bicara itulah, memungkinkan manusia membangun hubungan sosialnya. Sebagaimana bisa dipahami dari firman Allahعَلَّمَهُ ٱلْبَيَانَ “mengajarnya pandai berbicara” (QS ar-Rahmân/55: 4). Banyak penaf-siran yang muncul berkenaan dengan kata al-bayān, namun yang paling kuat adalah berbicara (al-nuthq, al-kalām). Lihat, antara lain, al-Thabari, Jami’ al-Bayān, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), jilid 13, juz 27, h. 114-115, al-Shabuni, Mukhtashar Ibn Katsîr, (Beirut: Dar al-Rasyad, tt.), jilid 3, h. 415.Hanya saja, menurut Ibn ‘Asyur, kata al-bayān juga mencakup isyarah-isyarah lainnya, seperti kerlingan mata, anggukan kepala. Dengan demikian, al-bayān merupakan karunia yang terbesar bagi ma-nusia. Bukan saja ia dapat dikenali jati dirinya, akan tetapi, ia menjadi pembeda dari binatang. Ibn ‘Asyur, al-Tahrīr wa al-Tanwīr, (Tunis, Isa al-Babī al-Halabī, 1384 H), jilid 17, h. 4243. Kemampuan bicara berarti kemampuan berkomunikasi. Berkomunikasi adalah sesuatu yang dihajatkan di hampir setiap kegiatan manusia. Dalam se-buah penelitian telah dibuktikan, hampir 75% sejak bangun dari tidur manusia berada dalam kegiatan komunikasi. Dengan komunikasi kita dapat membentuk saling pengertian dan menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih-sayang, menyebarkan pengetahuan, dan melestarikan peradaban. Akan tetapi, dengan komunikasi, juga kita dapat menumbuh-suburkan perpecahan, menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian, merintangi kemajuan, dan menghambat pemikiran. Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), cet. ke-10, h. Kata Pengantar. Kenyataan ini sekaligus memberi gambaran betapa kegiatan komunika-si bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan oleh setiap manusia. Anggapan ini barangkali didasarkan atas dasar asumsi bahwa komunikasi merupakan suatu yang lumrah dan alamiah yang tidak perlu dipermasalahkan. Sedemikian lum-rahnya, sehingga seseorang cenderung tidak melihat kompleksitasnya atau tidak menyadari bahwa dirinya sebenarnya berkekurangan atau tidak berkompeten dalam kegiatan pribadi yang paling pokok ini. Dengan demikian, berkomunika-si secara efektif sebenarnya merupakan suatu perbuatan yang paling sukar dan kompleks yang pernah dilakukan seseorang. James G. Robbins dan Barbara S. Jones, Komuniasi Yang Efektif, terjemahan Turman Sirait, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1986), h. 3. Dalam sebuah ungkapan Arab disebutkan: الكلام صفة المتكل (ucapan atau perkataan menggambarkan si pembicara). Lihat al-Sakhawi, al-Maqāshid al-Hasanah, (Beirut: Dar al-Hijrah, 1986), h. 31. Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa perkataan/ucapan, atau dengan istilah lain, kemampuan berkomunika-si akan mencerminkan apakah seseorang adalah terpelajar atau tidak. Dengan demikian, berkomunikasi tidaklah identik dengan menyampaikan sebuah in-formasi. Para pakar komunikasi, sebagaimana yang dikutip oleh Jalaluddin Rah-mat, berpendapat bahwa setiap komunikasi mengandung dua aspek, yaitu (1) aspek isi dan (2) aspek kandungan, di mana yang kedua mengklasifikasikan yang pertama dan karena itu merupakan metakomunikasi (di luar komunikasi). Ko-munikasi memang bukan hanya menyampaikan informasi tetapi yang terpen-ting adalah mengatur hubungan sosial di antara dua pihak yang berkomunikasi. Jalaluddin Rahmat, dalam majalah al-Hikmah, diterbitkan oleh Yayasan al-Muthahhari, Bandung, h, 2. Untuk itu, demi terciptanya suasana kehidupan yang harmonis antar anggota masyarakat, maka harus dikembangkan bentuk-bentuk komunikasi yang beradab, yang digambarkan oleh Jalaludin Rahmat, yaitu sebuah bentuk komunikasi di mana ‘sang komunikator’ akan menghargai apa yang mereka hargai; ia berempati dan berusaha memahami realitas dari perspektif mereka. 1. Prinsip-prinsip Komunikasi dalam Al-Quran Ada hal penting yang lebih dulu dijelaskan terkait dengan tema baha-san di atas. Pertama, Al-Quran tidak memberikan uraian secara spesifik ten-tang komunikasi. Kata ‘komunikasi’ berasal dari bahasa Latin, communicatio, dan bersumber dari kata cummunis yang berarti sama, maksudnya sama makna. Artinya, suatu komunikasi dikatakan komunikatif jika antara masing-masing pihak mengerti bahasa yang digunakan, dan paham terhadap apa yang dipercakapkan. Onong Uchyana Effendy, Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), cet XII, h. 1. Dalam proses komunikasi, paling tidak, terdapat tiga unsur, yaitu komu-nikator, media dan komunikan. YS. Gunadi, Himpunan Istilah Komunikasi (Jakarta,GRASINDO, 1998), h. 69 Para pakar komunikasi juga menjelaskan bahwa komunikasi tidak hanya bersifat informatif, yakni agar orang lain mengerti dan paham, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain mau menerima ajaran atau informasi yang disampaikan, melakukan kegiatan atau perbuatan, dan lain-lain. Bahkan menurut Hovland, seperti yang dikutip oleh Onong, bahwa berkomuni-kasi bukan hanya terkait dengan penyampaian informasi, akan tetapi juga ber-tujuan pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude). Onong Uchana Effendy, Ilmu Komunikasi, h. 1. Kedua, meskipun Al-Quran secara spesifik tidak membicarakan masalah komunikasi, namun, jika diteliti (ada) banyak ayat yang memberikan gambaran umum prinsip-prinsip komunikasi. Dalam hal ini, penulis akan merujuk kepada term-term khusus yang diasumsikan sebagai penjelasan dari prinsip-prinsip ko-munikasi tersebut. Antara lain, term qaulan balîghan, qaulan maisûran, qaulan karîman, qaulan ma’rûfan, qaulan layyinan, qaulan sadîdan, juga termasuk qaul al-zûr, dan lain-lain. a. Prinsip Qaul Balighan Di dalam Al-Quran term qaul balîgh hanya disebutkan sekali, yaitu pada QS an-Nisâ’/4: 62-63: فَكَيْفَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۢبِمَا قَدَّمَتْ اَيْدِيْهِمْ ثُمَّ جَاۤءُوْكَ يَحْلِفُوْنَ بِاللّٰهِ ۖاِنْ اَرَدْنَآ اِلَّآ اِحْسَانًا وَّتَوْفِيْقًا ٦٢ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ يَعْلَمُ اللّٰهُ مَا فِيْ قُلُوْبِهِمْ فَاَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَّهُمْ فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ قَوْلًا ۢ بَلِيْغًا ٦٣ “Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang mu-nafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: “Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna”. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpaling-lah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka yang berbekas pada jiwa mereka.” (QS. an-Nisâ’/4: 62-63) Term balīgh, yang berasal dari ba-la-gha, oleh para ahli bahasa dipahami sampainya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Juga bisa dimaknai dengan “cukup” (al-kifāyah). Sehingga perkataan yang balīgh adalah perkataan yang merasuk dan membekas dalam jiwa. ibn ‘Asyur, al-Tahrir, jilid 4, h. 978 Sementara menurut al-Ishfahani, Al-Ishfahani, al-Mufradāt fī Gharīb Al-Quran, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt.), ditahqiq oleh Muhammad Sayyid Kailani,, dalam term balagha, h. 60 bahwa perka-taan tersebut mengandung tiga unsur utama, yaitu bahasanya tepat, sesuai de-ngan yang dikehendaki, dan isi perkataan adalah suatu kebenaran. Sedangkan term balīgh dalam konteks pembicara dan lawan bicara, adalah bahwa si pembi-cara secara sengaja hendak menyampaikan sesuatu dengan cara yang benar agar bisa diterima oleh pihak yang diajak bicara. b. Prinsip Qaul Kariman Term ini ditemukan di dalam Al-Quran hanya sekali, yaitu pada QS al-Isrâ’/17: 23 وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan me-nyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapak-mu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka se-kali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” Ayat di atas menginformasikan bahwa ada dua ketetapan Allah yang menjadi kewajiban setiap manusia, yaitu menyembah Allah dan berbakti kepada kedua orang tua. Ajaran ini sebenarnya ajaran kemanusiaan yang bersifat umum, karena setiap manusia pasti menyandang dua predikat ini sekaligus, yakni seba-gai makhluk ciptaan Allah, yang oleh karenanya harus menghamba kepada-Nya semata; dan anak dari kedua orang tuanya. Sebab, kedua orang tuanyalah yang menjadi perantara kehadirannya di muka bumi ini. Bukan hanya itu, struktur ayat ini, di mana dua pernyataan tersebut dirangkai dengan huruf w aw u ‘at h a f, yang salah satu fungsinya adalah menggabungkan dua pernyataan yang tidak bisa saling dipisahkan, menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua menjadi parameter bagi kualitas penghambaan manusia kepada Allah. Dalam sebuah hadis dinyatakan: Dari Abi Hurairah r.a., dari Nabi s.a.w., beliau bersabda, “Merugilah, merugilah, merugilah (Nabi s.a.w. mengucapkannya tiga kali). Ketika ditanyakan kepada beliau, siapa yang engkau maksud wahai Rasulullah? Beliau pun bersabda: seseorang yang menemukan salah satu atau kedua orang tuanya sudah lanjut usia, maka “ia” tidak bisa masuk surga. (HR Muslim) Berkaitan dengan inilah, Al-Quran memberikan petunjuk bagaimana cara berperilaku dan berkomunikasi secara baik dan benar kepada kedua orang tua, terutama sekali, disaat keduanya atau salah satunya sudah berusia lanjut. Dalam hal ini, Al-Quran menggunakan term karīm, yang secara kebahasaan berarti mulia. Term ini bisa disandarkan kepada Allah, misalnya, Allah Maha Karîm, artinya Allah Maha Pemurah; juga bisa disandarkan kepada manusia, yaitu menyangkut keluhuran akhlak dan kebaikan prilakunya. Artinya, seseorang akan dikatakan karîm, jika kedua hal itu benar-benar terbukti dan terlihat dalam kesehariannya. Al-Ishfahani, al-Mufradāt, pada term karama, h. 428. Namun, jika term karīm dirangkai dengan kata qaul atau perkataan, maka berarti suatu perkataan yang menjadikan pihak lain tetap dalam kemuliaan, atau perkataan yang membawa manfaat bagi pihak lain tanpa bermaksud merendahkan. Al-Ishfahani, al-Mufradāt, h. 429. Di sinilah Sayyid Quthb menyatakan bahwa perkataan yang karīm, dalam konteks hubungan dengan kedua orang tua, pada hakikatnya adalah tingkatan yang tertinggi yang harus dilakukan oleh seorang anak. Yakni, bagaimana ia berkata kepadanya, namun keduanya tetap merasa dimuliakan dan dihormati. Ibn ‘Asyur menyatakan bahwa qaul karīm adalah perkataan yang tidak memojokkan pihak lain yang membuat dirinya merasa seakan terhina. Contoh yang paling jelas adalah ketika seorang anak ingin menasihati orang tuanya yang salah, yakni dengan tetap menjaga sopan santun dan tidak bermaksud menggurui, apalagi sampai menyinggung perasaannya. Yang pasti qaul karîm, adalah setiap perkataan yang dikenal lembut, baik, yang mengandung unsur pemuliaan dan penghormatan c. Prinsip Qaul Maisūran Di dalam Al-Quran hanya ditemukan sekali saja, yaitu surah al-Isra’/17: 28: وَاِمَّا تُعْرِضَنَّ عَنْهُمُ ابْتِغَاۤءَ رَحْمَةٍ مِّنْ رَّبِّكَ تَرْجُوْهَا فَقُلْ لَّهُمْ قَوْلًا مَّيْسُوْرًا “Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas (lemah-lembut).”20 (Q.S. Al-Isra: 28) Ayat ini juga mengajarkan, apabila kita tidak bisa memberi atau mengabulkan permintaan karena memang tidak ada, maka harus disertai dengan perkataan yang baik dan alasan-alasan yang rasional. Pada prinsipnya, qaul maisūr adalah segala bentuk perkataan yang baik, lembut, dan melegakan. Ada juga yang menjelaskan, qaul maisūr adalah menjawab dengan cara yang sangat baik, perkataan yang lembut dan tidak mengada-ada. Ada juga yang mengidentikkan qaul maisūr dengan qaul ma’rūf. Artinya, perkataan yang maisūr adalah ucapan yang wajar dan sudah dikenal sebagai perkataan yang baik bagi masyarakat setempat. Al-Razi, Mafātīh al-Ghaīb, jilid 20, h. 155. d. Prinsip Qaul Ma’rufan Menurut al-Ishfahani, term ma’rûf menyangkut segala bentuk perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan syara’. Dari sinilah kemudian muncul pengertian bahwa ma’rûf adalah kebaikan yang bersifat partikular, kondisional, temporer dan lokal. Sebab, jika akal dijadikan sebagai dasar pertimbangan dari setiap kebaikan yang muncul, maka tidak akan sama dari masing-masing kepentingan ruang dan waktu. Misalnya dalam kasus pembagian warisan, dimana saat itu juga hadir beberapa kerabat yang ternyata tidak memperoleh bagian warisan, juga orangorang miskin dan anak-anak yatim, oleh Al-Quran diperintahkan agar berkata kepada mereka dengan perkataan yang ma’rûf. Hal ini sangatlah tepat, karena perkataan baik tidak bisa diformulasikan secara pasti, karena hanya akan membatasi dari apa yang dikehendaki oleh Al-Quran. Di samping itu, juga akan terkait dengan budaya dan adat-istiadat yang berlaku di masing-masing daerah. Boleh jadi, suatu perkataan dianggap ma’rûf oleh suatu daerah, ternyata tidak ma’rûf bagi daerah lain. Begitu juga, dalam kasus-kasus lain sebagaimana yang diungkapkan oleh Al-Quran, seperti meminang wanita yang sudah habis masa ‘iddahnya, menasihati isteri, memberi pengertian kepada anak yatim menyangkut pengelolaan hartanya. Sementara menurut Ibn ‘Asyur, qaul ma’rûf adalah perkataan baik yang melegakan dan menyenangkan lawan bicaranya. Ibn ‘Asyur, al-Tahrīr, jilid 4, h. 252 dan al-Sya’rawi, Tafsīr al-Sya’rawi, jilid 4: 2016. Dalam beberapa konteks al-Razi menjelaskan, bahwa qaul ma’rûf adalah perkataan yang baik, yang menancap ke dalam jiwa, sehingga yang diajak bicara tidak merasa dianggap bodoh (safîh) perkataan yang mengandung penyesalan ketika tidak bisa memberi atau membantu. Perkataan yang tidak menyakitkan dan yang sudah dikenal sebagai perkataan yang baik. Al-Razi, Mafātīh, jilid 25, h. 180. e. Prinsip Qaul Layyinan Di dalam Al-Quran hanya ditemukan sekali saja, QS. Thâhâ/ 20: 43-44: اِذْهَبَآ اِلٰى فِرْعَوْنَ اِنَّهٗ طَغٰىۚ٤٣فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى ٤٤ “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya Dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia sadar atau takut”. Ayat ini memaparkan kisah Nabi Musa a.s. dan Harun a.s. ketika diperintahkan untuk menghadapi Fir’aun, yaitu agar keduanya berkata kepada Fir’aun dengan perkataan yang layyin. Asal makna layyin adalah lembut atau gemulai, yang pada mulanya digunakan untuk menunjuk gerakan tubuh. Kemudian kata ini dipinjam (isti’ârah) untuk menunjukkan perkataan yang lembut. Sementara yang dimaksud dengan qaul layyin adalah perkataan yang mengandung anjuran, ajakan, pemberian contoh, di mana si pembicara berusaha meyakinkan pihak lain bahwa apa yang disampaikan adalah benar dan rasional, dengan tidak bermaksud merendahkan pendapat atau pandangan orang yang diajak bicara tersebut. Dengan demikian, qaul layyin adalah salah satu metode dakwah, karena tujuan utama dakwah adalah mengajak orang lain kepada kebenaran, bukan untuk memaksa dan unjuk kekuatan. Ada hal yang menarik untuk dikritisi, misalnya, kenapa Musa a.s. harus berkata lembut padahal Fir’aun adalah tokoh yang sangat jahat. Menurut al-Razi, ada dua alasan, pertama, sebab Musa a.s. pernah dididik dan ditanggung kehidupannya semasa bayi sampai dewasa. Hal ini, merupakan pendidikan bagi setiap orang, yakni bagaimana seharusnya bersikap kepada orang yang telah berjasa besar dalam hidupnya; kedua, biasanya seorang penguasa yang zalim itu cenderung bersikap lebih kasar dan kejam jika diperlakukan secara kasar dan dirasa tidak menghormatinya. Al-Razi, Mafātīh, jilid 22, h. 51. f. Prinsip Qaul Sadididan Di dalam Al-Quran qaul sadîd disebutkan dua kali, pertama, QS an-Nisa’/4: 9: وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدً ۝٩ Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”(Q.S. Al-Isra’: 9) Ayat ini turun dalam kasus seseorang yang mau meninggal bermaksud mewasiyatkan seluruh kekayaan kepada orang lain, padahal anak-anaknya masih membutuhkan harta tersebut. Dalam kasus ini, perkataan yang harus disampaikan kepadanya harus tepat dan argumentatif. Inilah makna qaul sadīd. Misalnya, dengan perkatan, “bahwa anak-anakmu adalah yang paling berhak atas hartamu ini. Jika seluruhnya kamu wasiyatkan, bagaimana dengan nasib anak-anakmu kelak.” Melalui ayat ini juga, Allah ingin mengingatkan kepada setiap orang tua hendaknya mempersiapkan masa depan anak-anaknya dengan sebaik-baiknya agar tidak hidup terlantar yang justeru akan menjadi beban orang lain. Dan kedua, QS. al-Ahzâb/33: 70. يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًاۙ ۝٧٠ Ada seruan kepada orang-orang beriman di awal ayat ini. Ini menunjukkan bahwa berkata dengan perkataan yang sadīd adalah salah satu konsekuensi keimanan. Dengan kata lain, qaul sadīd sangat penting dalam hal kualitas keimanan dan ketaqwaan seseorang. Dalam hal qaul sadid, ada banyak penafsiran. Ini termasuk kata-kata yang jujur dan tepat sasaran, kata-kata yang lembut dan memuliakan orang lain, kata-kata yang logis dan tidak menyakitkan orang lain, dan kata-kata yang memiliki korelasi antara apa yang diucapkan dan apa yang ada di dalam hatinya. g. Prinsip Qaul Zûr Dalam Al-Quran, qaul zûr hanya ditemukan sekali, pada QS. al-Hajj/22: 30. ذٰلِكَ وَمَنْ يُّعَظِّمْ حُرُمٰتِ اللّٰهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ عِنْدَ رَبِّهٖۗ وَاُحِلَّتْ لَكُمُ الْاَنْعَامُ اِلَّا مَا يُتْلٰى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْاَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوْا قَوْلَ الزُّوْرِۙ ۝٣٠ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah. Maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.” Ayat ini dapat dipahami, bahwa ketika seseorang mengagungkan masyâ’ir harâm dan memakan binatang yang dihalalkan, akan tetapi tidak menjauhi syirik dan perkataan dusta (zûr), maka pengagungan tersebut tidak memiliki dampak spiritual apapun bagi dirinya. Atau juga bisa dipahami bahwa perkataan dusta (zur) hakikatnya sama dengan menyembah berhala, dalam hal sama-sama mengikuti hawa nafsu. Atau lebih konkretnya, sama-sama “menuhankan hawa nafsu”. Asal makna kata zūr adalah menyimpang/melenceng (mā`il). Perkataan zūr dimaknai kizb (dusta), karena menyimpang/melenceng dari yang semestinya atau yang dituju. Al-Ishfahani, al-Mufradāt, h. 217. Qaul zūr juga ditafsirkan mengharamkan yang halal atau sebaliknya; serta saksi palsu. Rasulullah s.a.w., sebagaimana dikutip oleh al-Razi, bersabda: “saksi palsu itu sebanding syirik. Al-Razi, Mafātīh, jilid 23, h. 17 dan Al-Thabari, Jami’, jilid 10, juz 17, h. 154. Menurut al-Qurthubi, ayat ini mengandung ancaman bagi yang memberikan saksi dan sumpah palsu. Ia termasuk salah satu dosa besar, bahkan termasuk tindak pidana. Al-Qurthubi, al-Jāmi’, jilid12, h. 24. Etika Komunikasi Islam Pengertian Etika Etika dalam bahasa Arab disebut akhlak, merupakan jamak dari kata khuluq yang berarti adat kebiasaan, perangai, tabiat, watak, adab, dan agama. Abdul Rozak, Filsafat Etika Islam, Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2011), h., 17 Adapun menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Adapun dalam buku Etika Dakwah dalam Perspektif Al-Quran karya Safrodin Halimi, menyebutkan pengertian etika secara garis besar yaitu dapat dipahami bahwa pengertian etika berhubungan dengan empat hal. Pertama, dilihat dari segi objeknya etika berusaha membahas alasan-alasan filosofis (rationing) perbuatan yang dilakukan manusia. Kedua, dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber dari akal pikiran dan filsafat. Sebagai hasil pemikiran, etika tidak bersifat mutlak dan tidak pula universal. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yakni apakah perbuatan itu akan dinilai baik, atau buruk, mulia atau hina. Dengan begitu, etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilakukan oleh manusia. Ia merupakan konsep atau pemikiran mengenai nilai-nilai untuk digunakan dalam menentukan posisi atau status perbuatan yang dilakukan manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai yang ada. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yaitu dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu. b. Pengertian Komunikasi Komunikasi secara etimologis atau menurut asal katanya, istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin communicatio, dan perkataan ini bersumber pada kata communis. Arti communis di sini adalah sama, dalam arti kata sama makna, yaitu sama makna mengenai suatu hal. Jadi, komunikasi berlangsung apabila antara orang-orang yang terlibat terdapat kesamaan makna mengenai suatu hal yang dikonsumsikan. Jelasnya, jika seseorang mengerti tentang sesuatu yang dinyatakan orang lain kepadanya, maka komunikasi berlangsung. Dengan kata lain perkataan, hubungan antara mereka itu bersifat komunikatif. Sebaliknya jika ia tidak mengerti, komunikasi tidak berlangsung. Dengan lain perkataan, hubungan antara orang-orang itu tidak komunikatif. Kemudian secara terminologies, komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain sebagai konsekuensi dari hubungan sosial. Definisi lain tentang komunikasi seperti yang dikemukakan Harold D. Lasswell yang dikutip oleh Onong Uchjana dalam bukunya Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek yaitu, Who says What In Which Channel To Whom With What Effect. Makna dari pernyataan tersebut ialah (proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu). . Ibid., hlm. 10 Menurut Everett M. Rogers dalam buku Pengantar Ilmu Komunikasi karya Hafied Cangara mendefinisikan komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Etika Komunikasi Perspektif Q.S. Luqmān: 12-19 Q.S. Luqmān: 12-19 merupakan bentuk pujian Allah SWT terhadap Luqmān yang telah melakukan pendidikan terbaik bagi anaknya.dalam beberapa riwayat bahwa kisah tentang Luqmān banyak menjadi inspirasi dalam kehidupan seseorang, nasihat-nasihat Luqmān yang penuh hikmah dapat menjadi teladan dan peringatan yang baik bagi orang-orang setelahnya. Khususnya dalam pengasuhan dan pendidikan anak, nama dan kisah Luqmān beserta nasihat-nasihatnya diabadikan oleh Allah di dalam Al-Quran. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Luqmān merupakan contoh seorangpengasuh dan pendidik yang sangat baik. d. Etika Komunikator Berdasarkan berbagai penjelasan ahli tafsir49 dapat ditarik kesimpulan bahwa Luqmān al-Hakim adalah seorang yang saleh yang perkataan dan perilakunya penuh hikmah meskipun dia dalam keadaan kurang harta, keluarga, kehormatan, jabatan serta dalam kondisi fisik yang tidaklah rupawan yakni berkulit hitam, berbadan pendek, hidung pesek, bibir dan kakinya tebal. Namun dengan nasihat dan kata hikmah yang keluar darinya dapat mengangkat derajatnya disisi Allah. Dia merupakan contoh teladan bagi umat Islam dalam menjadi seorang ayah yang baik, pendidik atau pengasuh yang profesional. Nasihatnya merupakan pesan terbaik dalam mendidik dan mengasuh anak. Dari berbagai sumber kitab tafsir mengenai siapa Luqmān serta bagaimana konteks dan konten ia menasihati anaknya sebagai komunikator, maka dapat disimpulkan ada 5 etika komunikator yakni: Komunikator telah melakukan isi pesan sebelum menyampaikannya, 1) Percaya diri dan yakin akan isi pesan, 2) Sabar, 3) Menunjukkan rasa kasih sayang pada komunikan, dan 4) Sopan serta menghindari kesombongan. KESIMPULAN Bertolak dari pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan: Al-Quran menyatakan bahwa berbicara yang benar menyam-paikan pesan yang benar-benar adalah prasyarat untuk kebesaran, kebaikan, kemaslahatan dan amal. Apabila ingin sukses dalam karir, ingin memperbaiki masyarakat, maka kita harus menyebarkan pesan yang benar. Dengan perkatan lain, masyarakat menjadi rusak apabila isi pesan komunikasi tidak benar, apabila orang menyembunyikan kebenaran karena takut menghadapi establishmen atau rezim yang menegakkan sistemnya di atas penipuan atau penutupan kebenaran menurut Al-Quran tidak akan bertahan lama. Perintah berkata dalam Al-Quran dan hadis menjadi sebuah indikasi wajibnya bagi muslim mengaplikasikan sifat kejujuran dan perkataan benar yang dalam konsep Al-Quran dikenal dengan istilah qaulan sadidan. Debat di dalam ruang publik harus dilakukan dalam se-buah kondisi yang ideal; yakni komunikasi yang di dalamnya tidak ada satu pihakpun yang diperbolehkan melakukan cara pemaksaan, dan penekanan. REFERENSI Abi Abdillah Muhammad al-Qurtubi, al-Jamī’ li Ahkām Al-Quran, (Beirut: Muassasah al-Risālah, 2006) jilid. 10 Abi Qasim Jarullah Mahmud bin Umar az- Zamakhsyari al-Khawarizmi, Tafsir Al-Kasysyaf, Beirut: Dar al-Marefah, 2009. al-Maraghi , Ahmad Musthofa, Tafsir al-Maraghi Beirut: Darul Fikr, Jilid VII 1974. Muis, Komunikasi Islami, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001 al-Sakhawi, al-Maqāshid al-Hasanah, Beirut: Dar al-Hijrah, 1986. al-Shabuni, Mukhtashar Ibn Katsîr, Beirut: Dar al-Rasyad, jilid 3, 1989. al-Thabari, Jami’ al-Bayān, Beirut: Dar al-Fikr, jilid 13, juz 27, 1988 Al-Razi, Fakhr al-Din, al-Tafsîr al-Kabîr, Beirut: Dar al-Fikr, t. th. Al-Razi, Mafātīh al-Ghaīb, Beirut: Dar al-Fikr, t. th.jilid Effendy, Onong Uchyana, Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, cet XII, 1999. Halimi, Safrodin Etika Dakwah dalam Perspektif Al-Quran (Antara Idealitas Qur’an dan Realitas Sosial), Semarang: Walisongo Press, 2008. Rahmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. ke-10, 1996. Suhandang, Kustadi Ilmu Dakwah Perspektif Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013. Taufik, Tata, Etika Komunikasi Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2012. 2 1