PERKEMBANGAN USHUL FIQH DI ERA MODERN
Angelina Putri H.
230711100125
Universitas Trunojoyo Madura
Email: angelinaputrihariyanti@gmail.com
Abstrak
Pemikiran hukum Islam sudah mengalami perkembangan Sejak
zaman Rasulullah Saw., Namun demikian, corak atau metode
pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan
kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.
Penulis mencoba mengulas tuntas tentang perkembangan Ushul
Fiqh menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Penelitian ini
menggunakan
pendekatan
kualitatif
deskriptif,
dengan
penelaahan dokumen. Hasil dalam penelitian ini yakni dalam
perkembangan ushul fiqih, atau pemikiran Ushul Fiqh yang
membentuk pola penafsiran tertentu terhadap Al-Qur'an terus
berkembang, setidaknya dari generasi shahabat sampai
pertengahan abad ke 4 Hijriyah dimana pemikiran Ushul Fiqh
mencapai kematangannya, dapat diterima pemikiran yang
kompromistis bahwa Al-Qur'an dengan kemukjizatan berbagai
aspek yang terkandung di dalamnya telah mendorong dan
menginspirasi munculnya berbagai corak pemikiran ilmiyah
termasuk pemikiran Ushul Fiqh sekaligus corak pemikiran ushuli
mempengaruhi metode penafsiran.
Kata Kunci: Ushul Fiqh, Modern, Kaidah
Abstract
Since the time of the Prophet Muhammad, Islamic legal thought has
developed. However, the style or method of thinking has not been
recorded in systematic writing. In other words, it has not yet been
established as a separate scientific discipline. The author tries to
thoroughly review the development of ushul fiqh into a separate
scientific discipline. This study uses a descriptive qualitative
approach, with document review. The results in this study are in the
development of ushul fiqh, or ushul fiqh thinking that forms a certain
pattern of interpretation of the Qur'an continues to grow, at least
from the generation of companions until the middle of the 4th
Perkembangan Ushul Fiqh di Era Modern
century H where ushul fiqh thought reaches its maturity, it is
acceptable to accept compromising thinking that Al-Qur'an with
11
SCHOLASTICA: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan
Volume 3, Nomor 1, Mei 2021; e-ISSN: 2686-6234, 11-23
Website: jurnalstitnualhikmah.ac.id
the miracles of various aspects contained in it has encouraged and
inspired the emergence of various styles of scientific thought
including ushul fiqh thinking as well as ushul thinking patterns
influencing the method of interpretation.
Keywords: Usul Fiqh, Modern, Rules
PENDAHULUAN
Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah yang membimbing seorang mujtahid
dalam meng-istinbat, serta sebagai pengambil kesimpulan dan
mengeluarkan hukum syara', dari dalil-dalil yang lebih detail dan terperinci.
Sementara yang dimaksud dengan kaidah itu sendiri adalah rumusan yang
bersifat umum serta mencakup hukum-hukum praktis yang lebih khusus dan
spesifik.1 Seorang mujtahid merupakan orang yang melakukan kerja ilmiyah
dan intelektual secara maksimal dalam mengambil pemahaman dari
sumber hukum Islam yang utama, yaitu Al Qur'an dan Hadits, untuk dapat
menetapkan suatu status hukum atas suatu perkara. Karena itu, seorang
mujtahid mestilah mempunyai persyaratan ilmiah dan integritas. Salah satu
syarat pokok adalah kemampuan dalam menggunakan kaidah-kaidah
Ushul Fiqh secara benar dan tepat.2 Kemudian dari mujtahid sersebut
lahirlah hukum-hukum syara’ sebagai buah dari hasil ijtihadnya. Sebab itu
antara fiqh, ushul fiqh dan mujtahid merupakan tiga hal yang tidak dapat
dipisahkan. Sementara bahan baku yang diolah oleh seorang mujtahid
adalah Al Qur'an dan Hadits. Al-Qur'an dan Al-Hadits adalah “bahan baku”
dari syariat Islam. Sedang mujtahid adalah produsen yang mengelolahnya
dengan perangkat "ushul fiqh" untuk menghasilkan "hukum-hukum praktis".
Wahbah Az Zuhaily, (1999). Al Wajîz fi Ushûl al Fiqh, Beirut: Dar el Fikr, h. 13
Ibid.,
1
12 | SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021
2
Masyhadi
Sebagaimana adanya bahasa Arab yang telah dipraktekan lebih dahulu
daripada penyusunan ilmu Nahwu, bukan berarti bahwa bahasa Arab
sebelum adanya ilmu Nahwu tidak menggunakan kaidah berbahasa yang
benar. Hanya saja ushul fiqh sebagai ilmu memang baru termodifikasikan
dengan sistematis pada abad kedua Hijrah, tegasnya ketika Imam Asy Syafi'i
(hidup antara 150 ±204 H) telah menuangkan rumusan-rumusan ushul
fiqhnya dalam kitabnya yang termasyhur, Ar
Risalah.2
Nisbah ushul fiqh dengan fiqh dapat juga dianalogikan seperti Ilmu Nahwu
dengan bahasa Arab. Dengan Ilmu Nahwu, maka bahasa Arab dapat
dibaca dan difahami secara benar. Seorang yang membaca dan
berbicara bahasa Arab tentu menggunakan kaidah-kaidah ilmu Nahwu
untuk kebenaran struktur bahasanya sehingga dapat difahami. Demikian
pula dengan ushul fiqh-lah maka fiqh dapat difahami dengan benar. Tidak
mungkin seorang fakih akan dapat melakukan ijtihad tanpa berpijak
kepada landasan metodologi yang benar, maka semestinya metodologi
fiqh atau ilmu ushul lebih dulu ada daripada fiqh itu sendiri. Tetapi dalam
kenyataannya produk pemikiran fiqh lebih dulu muncul ke tengah umat
daripada ushul fiqh itu sendiri. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa keberadaan
fiqh mendahului keberadaan ushul nya. Yang terjadi hanyalah masalah
penyusunan dan perumusannya sebagai sebuah disiplin ilmu. Sebab ushul
fiqh sebagai metode berfikir dan merumuskan hukum-fiqh tentu sudah ada
sejak adanya hukum fiqh itu sendiri.
Kemunculan Ar Risalah Imam Syafi'i memang sangat berjasa dalam
merangsang para ahli hukum Islam dari berbagai madzhab untuk juga
menuliskan rumusan metodologi ijtihad madzhab mereka, baik yang
sezaman dengannya maupun para ulama pada generasi berikutnya.
Sehingga ushul fiqh sampai pada masa kematangan dan kemapanannya
di tengah-tengah ilmu-ilmu Islam lainnya. Namun justru kematangan dan
kemapanan ushul fiqh tidak sepenuhnya memberi arti positif bagi
perkembangan Islam dan kaum muslimin secara keseluruhan. Sebab
dengan alasan kematangan dan kemapanan ushul fiqh itu sendiri akhirnya
fiqh Islam jadi stagnan pada periode-periode berikutnya. Oleh sebab itu,
pada masa kebangkitan dunia saat ini pemikiran dan usaha untuk meninjau
dan mengembangkan kembali ushul fiqh terus dilakukan oleh para sarjana
Ahmad Muhammad Syakir dalam Pengantar dan Tahqiqnya terhadap kitab Ar Risalah
Imam Asy Syafi'i, (2018), Beirut: Dar el Kutub al Ilmiyah, tt. h, 5.
2
SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021 | 13
Perkembangan Ushul Fiqh di Era Modern
Islam dalam rangka mendinamisir hukum Islam dalam menjawab berbagai
problema kehidupan yang terus berkembang demikian pesat.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan jenis
penelitian deskriptif analitik. Penelitian kualitatif juga merupakan jenis
penelitian yang mengumpulkan data berupa kata-kata yang digunakan
sebagai sumber data dan bukan menggunakan angka sebagai objek
penelitiannya. Penelitian kualitatif memiliki tujuan untuk memahami
fenomena yang terjadi di dalam kehidupan oleh subjek penelitian di
lapangan.3
Adapun jenis penelitian ini menggunakan deskriptif analitik dimana
peneliti tidak hanya menjelaskan fenomena tertentu, tetapi peneliti turut
serta melakukan analisis terhadap fenomena yang terjadi sesuai dengan
yang terjadi di lapangan. Seperti yang telah dijelaskan di atas, penelitian ini
menggunakan Teknik pengumpulan data berupa studi pustaka untuk
mengumpulkan data-data sebagi sumber utama penelitian ini sehingga
penelitian ini validasi yang tinggi sesuai yang terjadi di lapangan. 4
Kemudian, setelah peneliti mendapatkan studi pustaka yang sesuai dengan
penelitian ini, peneliti melakukan content analysis yang mendalam sehingga
mendapatkan informasi, data, referensi yang sesuai dengan permasalahan
yang diangkat dalam penelitian ini.
PEMBAHASAN
Secara etimologis, kata fiqh memiliki beberapa arti diantaranya adalah
pengetahuan, pengertian dan pemahaman. Di dalam Alquran sendiri, kata
fiqh dalam bentuk kata kerja disebut sebanyak 20 kali dalam 12 surat dan
20 ayat. Kesemuanya berkenaan dengan konteks pembicaraan soal-soal
keagamaan.6
Ditinjau dari perspektif historis, terma fiqh ini pada mulanya sangat luas
sehingga bisa dimaknai sebagai pengetahuan dan pemahaman yang
mendalam (profound) mengenai sesuatu hal. “Sesuatu hal” di sini bisa
mencakup bahasa, keahlian tentang onta, asketisme, teologi, hukum, dan
Nawawi, Hadari. (1991). Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
4 Sugiyono. (2019). Metode Penelitian: Kuantitaif & Kualitatif. Bandung: R&D Publikasi. 6
Muhammad Amin Suma, Ijtihad Ibn Taymiyyah. (2002). Fiqh Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus,
hlm. 141-142
3
14 | SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021
Masyhadi
sebagainya. Lambat laun terma fiqh ini menyempit menjadi
masalahmasalah hukum, bahkan lebih sempit lagi yaitu pada literatur
hukum. 5 Sehingga fiqh didefinisikan secara terminologis sebagai
pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang bersifat furu’ (cabang)
yang digali (secara langsung) dari dalil-dalil syar’i yang terperinci. Atau bisa
juga dipahami sebagai pemeliharaan hukumhukum furu’ secara mutlak,
apakah hukum-hukum tersebut langsung diambil dari dalil-dalilnya atau
tidak.
Persoalannya, di kalangan umat Islam seringkali kemudian terjadi
kerancuan antara makna fiqh dengan syari’ah. Padahal sebenarnya antara
keduanya terdapat perbedaan yang signifikan. Mengenai hal ini Khaled M.
Abou el-Fadhl menjelaskan bahwa syari’ah yang secara etimologis berarti
“jalan”, adalah hukum Tuhan sebagai sesuatu yang abstrak dan ideal.
Sementara fiqh adalah pemahaman dan pelaksanaan konkret Kehendak
Tuhan tersebut. 6 Mencuplik argumen A. Hasan, dalam bahasa yang
berbeda tapi bersubstansi serupa, dia menerangkan bahwa syari’ah
meliputi baik hukum maupun aturan-aturan pokok agama, sedangkan fiqh
semata-mata berurusan dengan hukum saja.
Persoalan lain yang kemudian muncul berikutnya adalah kenyataan
seringnya fiqh dianggap sebagai produk hukum yang instant dan final
daripada sesuatu yang memerlukan penafsiran ulang. Berulangkali
usahausaha pemahaman ulang terhadap produk fiqh masa lampau
mengalami kebuntuan karena begitu kukuhnya posisi fiqh dalam benak
umat Islam. Apa yang dialami oleh almarhum Fazlur Rahman sampai tragedi
Nasr Hamid Abu Zayd adalah sebagian kecil bukti-buktinya. 7 Pada
prinsipnya, di kalangan umat Islam tidak ada yang menolak fiqh sebagai
hasil penafsiran atas teks-teks primer dasar Islam: Alquran dan Hadis. Hanya
saja, sikap terhadap penafsiran ulama seringkali berlebihan bahkan sampai
ke tingkat kultus. Akibatnya, posisi Fiqh meninggi dan menjadi pintu masuk
untuk memahami kandungan teksteks dasar. Fiqh menjadi “korpus tertutup”
yang lain di luar Al Quran dan Hadis.
Selain itu, Fiqh seringkali juga lebih dipahami sebagai ilmu yang membahas
tentang ritual dan tata cara ibadah an sich, yang terlepas dari nilai-nilai
Hassan Ahmad Khatib, (1957), al-Fiqh al-Muqaran, Dar al-Ta’lif, hlm. 11
Amrullah Ahmad, dkk, (1996), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta:
Gema Insani Press, hlm. 86.
7 Harun Nasution, (1998), Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution,
Bandung: Mizan, hlm. 198
5
6
SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021 | 15
Perkembangan Ushul Fiqh di Era Modern
rububiyyah murni dan nilai-nilai kemanusiaan.8 Hal ini terlihat misalnya, umat
Islam lebih asyik dengan menempelkan dahi di atas sajadah daripada
mem-perhatikan tetangganya yang bergelut melawan penyakit yang
menggerogoti tubuhnya yang kurus kering karena kurang gizi. Mereka lebih
merasa berdosa tidak berdzikir setelah shalat atau makan daging anjing dari
pada berbohong, menipu dan korupsi. Paling tidak, kesalahan ini adalah
karena fiqh dipahami hanya dalam kerangka ibadah yang sehingga
semata-mata berkaitan antara manusia dan Tuhan saja.
Periode Pertumbuhan Penafsiran Islam
Periode ini berlangsung selama 90 tahun, yaitu sepeninggal nabi
Muhammad SAW. sampai berakhirnya abad pertama Islam. Yaitu masa
kehidupan para shahabat nabi dan para tabiin senior. Priode ini ditandai
dengan perluasan wilayah Islam dan pertumbuhan pemeluknya yang
sangat pesat. Islam tidak lagi hanya dipeluk oleh penduduk Arab tetapi
telah menjadi agama yang dianut oleh berbagai suku dan kabilah dari
negeri-negeri bekas jajahan imperium Persia dan Rumawi. Sebagai
konsekwensi dari pertumbuhan pemeluk Islam yang beragam latar
belakang suku, bahasa, budaya dan agama, maka banyak persoalan baru
yang muncul dan membutuhkan jawaban hukum dari ajaran Islam. Dari
mulai masalah rumusan keimanan, persyaratan dan rukun pelaksanaan
suatu ibadah ritual, sampai masalah pengelolaan harta rampasan perang,
para budak tawanan perang, dan penataan negeri-negeri yang
dibebaskan.
Untuk menjawab berbagai persoalan baru yang muncul dan memberi
pengajaran kepada bangsa-bangsa yang baru memeluk Islam, tampillah
para ulama shahabat nabi diberbagai kota Islam. Di Madinah fatwa-fatwa
hukum dilakukan teruatma oleh Abu bakar, Umar, Utsman, Abdullah bin
Umar, Ubay Bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Aisyah binti Abu Bakr, dan lain-lain. Di
Mekkah tampil Abdullah bin Abbas. Di Kufah, tokoh pemberi fatwa hukum
adalah Ali bin Abu Thalib dan Abdullah bin Mas'ud. Di Bashrah ada shahabat
Anas bin malik dan Abu Musa Al Asy'ary. Di Syiria tokoh fatwa adalah Muadz
bin Jabal dan Ubadah bin Al Shamit. Di Mesir tampil Abdullah bin Amer bin
Al Ash. Dengan demikian, otoritas hukum dan memberikan fatwa dipegang
oleh para ulama dari kalangan shahabat. Tidak ada satupun mekanisme
yang mengatur siapa dan apa kriteria seseorang shahabat nabi yang
berhak memberi fatwa hukum kepada umat. Sebab mereka saling
8
Ibid.,
16 | SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021
Masyhadi
mengetahui kedudukan masing-masing dari sudut ilmu dan kedekatannya
kepada Rasulullah SAW. Jadi semuanya berdasarkan kepercayaan umat
terhadap integritas moral dan keluasan ilmu mereka.
Pada masa ini sumber rujukan hukum adalah Al-Qur'an dan Hadits nabi
yang sampai kepada mereka masing-masing. Kemudian jika mereka tidak
menemukan dalil Al-Qur'an atau hadits secara langsung, barulah mereka
melakukan ijtihad individual. Ijtihad kolektif juga terkadang ditempuh oleh
para shahabat nabi jika itu menyangkut urusan kolektif kaum muslimin dan
biasanya disponsori dan dipelopori oleh shahabat yang memegang
kekuasaan, seperti khalifah Utsman yang mengajak para shahabat
bermusyawarah untuk menetapkan penulisan Al-Qur'an menjadi satu
mushaf yang baku. Setelah masa shahabat berakhir, dilanjutkan oleh
generasi tabiin senior yang merupakan murid-murid langsung dari para
tokoh shahabat. Di Madinah lahir ulama-ulama besar generasi tabiin seperti
Said bin Musayyib, Urwah bin Az Zubair, Abu Bakar bin Abdulrahman, Al
Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, Kharijah bin Zaid bin Tsabit, Sulaiman
bin Yasar, dan lain-lain. Di Makah ulama genearsi tabi'in adalah Atha' bin
Abi Rabah, Mujahid bin Jabr, Abdullah bin Ubaidillah Abu Mulaikah, Amr bin
Dinar, dan Ikrimah Maula Ibnu Abbas. Di Yaman ada Thawus bin Kaisan,
Syarahil bin Syurahbil, dan Wahab bin Munabbih. Di Syiria; Aidzullah bin
Abdilah, Makhul, Auzai', Maimun bin Mahran, Said bin Abdul Aziz At Tanuhi,
dan Yahya bin Yahya Al Ghasani. Di Mesir; Mursid bin Abdillah Al Yazni, Bukair
bin Abdillah al Asyja', dan Allaits bin Sa'ad. Di Kufah; Al Qomah bin Qais, Al
Aswad bin Yazid, Syuraeh Bin Harits Al Qadhi, Asy Sya'bi. Di Bashrah; Al Hasan
bin Abil Hasan Al Bashry, Qatadah bin Diamah As Sadusi, Muhammad bin
Sirin, Muskim bin Yasar. 9
Ketika otoritas fatwa dipegang oleh para ulama tabi'in, sumber
pengambilan dan rujukan hukum diperluas tidak hanya nash Al-Quran dan
Al hadits nabi tetapi juga ijmak yang telah terjadi dikalangan para shahabat
serta fatwa-fatwa individual shahabat. Mereka sepakat bahwa ijmak para
shahabat adalah hujah tetapi berbeda pendapat mengenai kehujahan
fatwa atau madzhab seorang shahabat. Kalau mereka tidak mendapatkan
dalil eksplisit dari Qur'an ataupun hadits nabi, mereka mencari ijmak,
kemudian merujuk kepada pendapat shahabat nabi, kalau tidak
mendapatkan juga mereka melakukan ijtihad sendiri. Priode ini juga
ditandai dengan munculnya perbedaan-perbedaan pendapat di bidang
Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf As Syaerozi Al Fairuzabady, (1970), Thabaqât al Fuqahâ,
Beirut: Dar el Raid al Araby, Tahqiq Ihsan Abbas, cet I, h. 57
9
SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021 | 17
Perkembangan Ushul Fiqh di Era Modern
hukum dalam kasus-kasus tertentu. Terutama perbedaan yang muncul
karena terjadinya perpecahan politik sejak pasca terbunuhnya khalifah
Utsman yang kemudian digantikan oleh khalifah Ali bin Abu Thalib dengan
suara dukungan yang tidak bulat. Perbedaan interpretasi yang tajam terjadi
antara pengikut Ali bin Abu Thalib dengan pengikut Muawiyah bi Abu
Sufyan dan kaum Khawarij yang memisahkan diri dari Ali dan kemudian
menjadi kelompok radikal memusuhi Ali maupun Muawiyah. Pada masa ini
juga mulai dibicarakan tentang metode pemahaman terhadap nash
AlQur'an dan Hadits nabi. Sebagaimana perdebatan Ali dan Abdullah bin
18 | SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021
Masyhadi
Abbas dengan tokoh-tokoh Khawarij seputar penafsiran ayat-ayat tentang
berhukum dengan selain hukum Allah.10
Periode Masa Tabi’in
Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat
dan belajar kepada sahabat. Patut dicatat bahwa para sahabat ketika
Islam menyebar turut pula menyebar ke berbagai daerah, seperti Ibnu
Mas’ud ada di Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu Abbas di Makkah, Umar bin
Khattab, Aisyah, dan Ibnu Umar, dan Abu Hurairah di Madinah, dan
Abdullah bin Amru bin Ash di Mesir. 11 Para sahabat tersebut. berperan
dalam penyebaran ajaran Islam dan menjadi tempat masyarakat
masingmasing daerah meminta fatwa. Mereka pun memiliki murid-murid di
daerahdaerah tersebut. Murid-murid sahabat itulah yang kemudian
menjadi tokoh hukum di daerahnya masing-masing. Murid-murid para
sahabat tidak hanya dari kalangan orang-orang Arab, melainkan juga dari
kalangan muslim nonArab (mawali).
Kecenderungan berpikir sahabat turut mempengaruhi pola pemikiran ushul
fiqh di masing-masing daerah. Ibnu Mas’ud, misalnya, dikenal sebagai tokoh
yang memiliki kemampuan ra’yu yang baik. Tidak mengherankan apabila
murid-muridnya di Iraq (Kufah) juga dikenal dengan ahl al-ra’yi, meskipun
ada faktor lain yang tentunya berpengaruh. Karena itulah, metode
istimbath tabi’in umumnya tidak berbeda dengan metode istimbath
sahabat. Puncak perkembangan ushul fiqh terjadi sekitar pada abad ke-5
Hijriyah. Pada masa tersebut, lahir para ulama dan karya-karya ushul fiqh
kenamaan yang menjadi rujukan kitab-kitab ushul fiqh di kemudian hari. Di
antara kitab-kitab penting ushul fiqh yang lahir pada abad ke-5 tersebut
antara lain:12
1. Kitab al-Ahd atau al-Amd karya Qadli Abd al-Jabbar al-Mu‘tazili (w.
415H/1024M).
2. Kitab al-Mu‘tamad karya Abu Husayn al-Bashri al-Mu’tazili (w. 436H
1044M).
3. Kitab al-‘Uddah karya Abu Ya’la al-Hanbali (w. 458H/1065M).
Manna'ul Qathan, (1006), Târikh Tasyri' al Islâmy, Riyadh: Maktabah Al ma'arif, cet. II. Ha.
23-25.
11 Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman. (1983). Al-Fikr al-Usuli: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah.
Jeddah: Dar al-Syuruq.
12 Noel James Coulson. (1999). History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press
10
SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021 | 19
Perkembangan Ushul Fiqh di Era Modern
4. Kitab al-Ihkam fi ‘Ushul al-Ahkam karya Ibnu Hazm al-Dzahiri (w.
456H/1062M).
5. Kitab al-Luma’ karya Abu Ishaq al-Syirazi al-Syafi‘i (w. 467H /1083 M)
6. Kitab al-Burhan karya Al-Juwayni al-Syafi‘i (w. 478H /1085M)
7. Kitab
Ushul Al-Sarakhsi karya Imam
al-Sarakahsi
alHanafi (w. 490H/1096M).
Imam Abu Hamid Al-Ghazali wafat pada tahun 505 H atau abad ke6, tetapi
sebagian hidupnya dihabiskan pada abad ke k-5. Karena itu, kitab alMustashfa karya al-Ghazali dapat dimasukkan ke dalam jajaran kitab yang
dilahirkan ulama abad ke-5. Di antara kitab-kitab di atas, ada empat kitab
yang kemudian memperoleh pengakuan sebagai kitab terbaik dan
mempengaruhi perkembangan ushul fiqh selanjutnya di kalangan
mutakallimin, yaitu al- Ahd karya Qadli Abdul Jabbar, al-Mu‘tamad karya
Abu Husayn al-Bashri, al-Burhan karya al-Juwayni, dan al-Musthasfa karya
alGhazali. Kitab-kitab tersebut disebut Ibnu Khaldun sebagai kitab ushul fiqh
terbaik.13 Empat kitab tersebut kemudian diringkas dan dijabarkan kembali
oleh para ulama setelahnya, khususnya para ulama abad ke-7 Hijriyyah,
seperti Fakhruddin al-Razi, al-Amidi, Ibnu Qudamah, Ibnu Hajib dan
sebagainya.
Karena itu, muncullah beberapa kesepakatan dalam berbagai kitab ushul
mengenai sistematikasi bahasan kitab ushul. Bahasan mengenai hukum,
kaidah-kaidah-kaidah kebahasaan, kaidah naskh dan tarjih, dalil hukum,
dan ijtihad hampir ada di semua kitab ushul fiqh mutakallimin yang berakar
dari empat kitab di atas. Perbedaan bahasan terjadi dalam beberapa
aspek, misalnya tentang pengantar logika, pembahasan kalam, dan
tentang huruf, yang ada disebagian kitab ushul dan tidak ada disebagian
kitab ushul yang lain.
Aliran dalam Ushul Fiqh
Sejarah perkembangan ushul fiqh menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak
mandeg, melainkan berkembang secara dinamis. Ada beberapa aliran
metode penulisan ushul fiqh yang saat ini dikenal. Secara umum, para ahli
membagi aliran penulisan ushul fiqh menjadi dua, yaitu mutakallimin
(Syafi’iyyah) dan aliran fukaha (Aliran Hanafiyah). 14 Dari kedua aliran
Muhammad Sa‘id al-Khinn. (1994). Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf
alFuqaha. Beirut: Muassassah al-Risalah.
14 Muhammad al-Khudlary. (1994). Tarikh Tasyri’ al-Islamy. Surabaya: dar Ihya’ al- Kutub al13
20 | SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021
Masyhadi
tersebut lahir aliran gabungan. Tiga aliran utama tersebut diuraikan sebagai
berikut:
1. Aliran Mutakallimin
Aliran mutakallimin disebut juga dengan aliran Syafi’iyyah. Alasan
penamaan tersebut bisa dipahami mengingat karya-karya ushul fiqh aliran
mutakallimin banyak lahir dari kalangan Syafi’iyyah, seperti al-Luma’ karya
al-Syirazi, al-Mustashfa karya al-Ghazali, al-Mahsul karya Fakhruddin al-Razi,
al-Burhan dan al-Waraqat karya al-Juwayni, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam
karya al-Amidi, Minhaj al-Wushul ila Ilm a’-Ushul karya al-Baidlawi dan
sebagainya. Karya al-Ghazali, al-Razi, dan al-Amidi banyak dirujuk oleh para
ahli ushul fiqh dari madzhab non-Syafi’i. Kitab Rawdlah al-Nadzir wa Jannah
al-Munadzir karya tokoh Hanabilah Ibnu Qudamah al-Maqdisi, misalnya,
dipandang sebagai ringkasan dari al- Mustashfa karya al-Ghazali dan kitab
Muntaha al-Wushul (al-Sul)wa al- Amal fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal karya
Ibnu Hajib dipandang sebagai ringkasan kitab al-Ihkam fi ushul al-Ahkam
karya al-Amidi.. Meskipun demikian, penulis-penulis ushul fiqh model
mutakallimin hanya orang Asy’ariyyah. Penulis ushul fiqh aliran mutakallimin
bersifat lintas madzhab. Ada penulis dari kalangan Hanbali, seperti : 15
1) Abu Ya’la (pengarang al-Uddah),
2) Ibnu Qudamah (pengarang Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al- Munadzir),
3) Keluarga Ibnu Taimiyyah: Majduddin, Taqi al-Din, dan Ibnu Taimiyyah
beserta ayah dan kakeknya (karangan ketiganya tercakup dalam kitab
al-Musawwadah),
4) Najm al-Din al-Thufi pengarang Mukhtashar al-Rawdlah dan Syarh
Mukhtashar al-Rawdlah).
Ada beberapa ciri khas penulisan ushul fiqh aliran Mutakallimin, antara lain:
Penggunaan deduksi di dalamnya. Ushul fiqh mutakallimin membahas
kaidah-kaidah, baik disertai contoh maupun tidak. Kaidah- kaidah itulah
yang menjadi pilar untuk pengambilan hukum. Jadi, kaidah dibuat dahulu
sebelum digunakan dalam istimbath. Kaidah-kaidah tersebut utamanya
berisi kaidah kebahasaan. Adanya pembahasan mengenai teori kalam dan
teori pengetahuan, seperti terdapat dalam al-Luma karya alSyirazi dan alIhkam karya al-Amidi.
‘Arabiyyah
15 Najmuddin al-Thufi. (1998). Kitab al-Ta’yin fi Syarh al-Arbain. Beirut: Muassasah al- Rayyan.
SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021 | 21
Perkembangan Ushul Fiqh di Era Modern
Teori kalam yang sering dibahas adalah tentang tahsin dan taqbih.
Sementara itu, dalam pembahasan mengenai teori pengetahuan tersebut,
dimasukkan pengertian ilmu dan terkadang dimasukkan pula muqaddimah
mantiqiyyah (pengantar logika), sebagaimana terdapat dalam alMustashfa
karya al-Ghazali, Rawdlah al-Nadzir karya Ibnu Qudamah, dan Muntaha alWushul (al-Sul) karya Ibnu Hajib. Aliran mutakallimin mengembangkan
gagasan-gagasan yang telah ada dalam kitab alRisalah karya al-Syafi’i
dengan berbagai penjelasan dan materi tambahan. Aliran ini banyak diikuti
oleh para ulama dan menjadi aliran utama dalam ushul fiqh, serta bersifat
lintas madzhab.
2. Aliran Hanafiyah
Aliran Hanafiyah atau aliran Fukaha adalah aliran yang diikuti oleh para
ulama madzhab Hanafi. Madzhab Hanafi adalah madzhab yang sejak
semula memiliki pengembangan metodologis yang baik. Hal itu dibuktikan
dengan pengaruh perkembangan ilmu qawaid fiqh di kalangan Syafi’iyyah
yang dipengaruhi oleh qawaid fiqh Hanafi. Karena itu, mereka
mengembangkan sendiri model penulisan ushul fiqh yang khas madzhab
Hanafi. Ciri khas penulisan madzhab Hanafi adalah berangkat dari
persoalan-persoalan hukum yang furu yang dibahas oleh para imam
mereka, lalu membuat kesimpulan metodologis berdasarkan pemecahan
hukum furu tersebut. Jadi, kaidah-kaidah dibuat secara induktif dari kasuskasus hukum.
Kaidah-kaidah tersebut bisa berubah dengan munculnya kasus-kasus
hukum yang menuntut pemecahan hukum yang lain. Karena itu, ushul fiqh
Hanafi dipenuhi dengan persoalan hukum yang nyata. Karya ushul fiqh di
kalangan Hanafi cukup banyak dikenal dan dirujuk. Kitab-kitab ushul fiqh
yang khas menunjukkan metode Hanafiyah antara lain: al-Fushul fi Ushul Fiqh
karya Imam Abu Bakar al-Jashshash (Ushul al-Jashshash) sebagai pengantar
Ahkam al-Quran. Taqwim al- Adillah karya Imam Abu Zayd al-Dabbusi Kanz
al-Wushul ila Ma’rifat al- Ushul karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi. Ushul Fiqh
karya Imam al- Sarakhsi (Ushul al-Syarakhsi).16
3. Aliran Gabungan
Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul
fiqh aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran
gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke dalam realitas
Wael B. Hallaq. (1998). A History of Islamic Legal Theories, an Introduction to Sunni Ushul
Fiqh. Cambridge: Cambridge University Press.
16
22 | SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021
Masyhadi
persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum yang dibahas imam-imam
madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya.
Karyakarya gabungan lahir dari kalangan Hanafi dan kemudian diikuti
kalangan Syafi’iyyah. Dari kalangan Hanafi lahir kitab Badi’ al- Nidzam aljami‘ bayn Kitabay al-Bazdawi wa al-Ihkam yang merupakan gabungan
antara kitab Ushul karya al-Bazdawi dan al-Ihkam karya al- Amidi. Kitab
tersebut ditulis oleh Mudzaffar al-Din Ahmad bin Ali al- Hanafi. Ada pula kitab
Tanqih Ushul
SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021 | 23
Perkembangan Ushul Fiqh di Era Modern
karya Shadr al-Syariah al-Hanafi. Kitab tersebut adalah ringkasan dari Kitab
al-Mahshul karya Imam al-Razi, Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Imam Ibnu
Hajib, dan Ushul al- Bazdawi. Kitab tersebut ia syarah sendiri dengan judul
karya Shadr al- Syari’ah al-Hanafi. Kemudian lahir kitab Syarh al-Tawdlih
karya Sa’d al- Din al-Taftazani al-Syafii dan Jam’ al-Jawami’ karya Taj al-Din
al-Subki al- Syafi’i.
Tiga aliran di atas adalah aliran utama dalam ushul fiqh. Sebenarnya ada
pula yang memasukkan takhrij al-furu’ ‘ala al-ushul dan aliran khusus
sebagai aliran lain dalam ushul fiqh. Aliran takhrij al-furu’ ‘ala al-ushul
dipandang berwujud berdasarkan dua kitab yang secara jelas menyebut
istilah tersebut, yaitu Kitab Takhrij al-Furu’ ‘Ala al-Ushul karya al-Isnawi alSyafi‘i
dan Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul karya al-Zanjani al- Hanafi. Sementara itu,
aliran khusus adalah aliran yang mengkaji satu pokok bahasan ushul fiqh
tertentu secara panjang lebar, seperti mengenai mashlahah mursalah
sebagaimana dilakukan oleh al-Syatibi dalam al- Muwafaqat atau oleh
Muhammad Thahir ‘Asyur dalam Maqashid al- Syariah.
PENUTUP
Perkembangan ushul fiqh di mulai sejak zaman Rasulullah SAW sumber
hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu kasus
terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum
kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rauslullah SAW
menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian
dikenal dengan hadits atau sunnah. Perkembangan Ushul Fiqh pada masa
sahabat
Memang,
semenjak
masa
sahabat
telah
timbul
persoalanpersoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu
para sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah wafat
Rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat
pada masa ini, tidak lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan
demikian semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum.
Perkembangan Ushul Fiqh pada masa tabi’in, tabi’it-tabi’in dan para imam
mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah
menjadi semakin luas, sampai ke daerah- daerah yang dihuni oleh
orangorang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan
beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya.
24 | SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021
Masyhadi
Saran
Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah tersebut
dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam.
Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari
berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak persoalanpersoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya
dalam Alquran dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di
berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman. (1983). Al-Fikr al-Usuli: Dirasah Tahliliyah
Naqdiyah. Jeddah: Dar al-Syuruq.
Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf As Syaerozi Al Fairuzabady, (1970),
Thabaqât al Fuqahâ, Beirut: Dar el Raid al Araby, Tahqiq Ihsan Abbas,
cet I, h. 57
Ahmad Muhammad Syakir dalam Pengantar dan Tahqiqnya terhadap kita
Ar Risalah Imam Asy Syafi'i, (2018), Beirut: Dar el Kutub al Ilmiyah, tt. h, 5.
Amrullah Ahmad, dkk, (1996), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, hlm. 86.
Harun Nasution, (1998), Islam Rasional; Gagasan dan pemikiran Prof. Dr.
Harun Nasution, Bandung: Mizan, hlm. 198
Hassan Ahmad Khatib, (1957), al-Fiqh al-Muqaran, Dar al-Ta’lif, hlm. 11
Manna'ul Qathan, (1006), Târikh Tasyri' al Islâmy, Riyadh: Maktabah Al
ma'arif, cet. II. Ha. 23-25.
Muhammad al-Khudlary. (1994). Tarikh Tasyri’ al-Islamy. Surabaya: dar Ihya’
al- Kutub al-‘Arabiyyah
Muhammad Amin Suma, Ijtihad Ibn Taymiyyah. (2002). Fiqh Islam, Jakarta:
Pustaka Firdaus, hlm. 141-142
Muhammad Sa‘id al-Khinn. (1994). Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah
fi Ikhtialaf al-Fuqaha. Beirut: Muassassah al-Risalah.
Najmuddin al-Thufi. (1998). Kitab al-Ta’yin fi Syarh al-Arbain. Beirut:
Muassasah al- Rayyan.
Nawawi, Hadari. (1991). Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Noel James Coulson. (1999). History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh
University Press
SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021 | 25
Perkembangan Ushul Fiqh di Era Modern
Sugiyono. (2019). Metode Penelitian: Kuantitaif & Kualitatif. Bandung: R&D
Publikasi.
Wael B. Hallaq. (1998). A History of Islamic Legal Theories, an Introduction to
Sunni Ushul Fiqh. Cambridge: Cambridge University Press.
Wahbah Az Zuhaily, (1999). Al Wajîz fi ushûl al afiqh, Beirut: Dar el Fikr, h. 13
26 | SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021