Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

PERKEMBANGAN USHUL FIQH DI ERA MODERN

PERKEMBANGAN USHUL FIQH DI ERA MODERN Angelina Putri H. 230711100125 Universitas Trunojoyo Madura Email: angelinaputrihariyanti@gmail.com Abstrak Pemikiran hukum Islam sudah mengalami perkembangan Sejak zaman Rasulullah Saw., Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri. Penulis mencoba mengulas tuntas tentang perkembangan Ushul Fiqh menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, dengan penelaahan dokumen. Hasil dalam penelitian ini yakni dalam perkembangan ushul fiqih, atau pemikiran Ushul Fiqh yang membentuk pola penafsiran tertentu terhadap Al-Qur'an terus berkembang, setidaknya dari generasi shahabat sampai pertengahan abad ke 4 Hijriyah dimana pemikiran Ushul Fiqh mencapai kematangannya, dapat diterima pemikiran yang kompromistis bahwa Al-Qur'an dengan kemukjizatan berbagai aspek yang terkandung di dalamnya telah mendorong dan menginspirasi munculnya berbagai corak pemikiran ilmiyah termasuk pemikiran Ushul Fiqh sekaligus corak pemikiran ushuli mempengaruhi metode penafsiran. Kata Kunci: Ushul Fiqh, Modern, Kaidah Abstract Since the time of the Prophet Muhammad, Islamic legal thought has developed. However, the style or method of thinking has not been recorded in systematic writing. In other words, it has not yet been established as a separate scientific discipline. The author tries to thoroughly review the development of ushul fiqh into a separate scientific discipline. This study uses a descriptive qualitative approach, with document review. The results in this study are in the development of ushul fiqh, or ushul fiqh thinking that forms a certain pattern of interpretation of the Qur'an continues to grow, at least from the generation of companions until the middle of the 4th Perkembangan Ushul Fiqh di Era Modern century H where ushul fiqh thought reaches its maturity, it is acceptable to accept compromising thinking that Al-Qur'an with 11 SCHOLASTICA: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Volume 3, Nomor 1, Mei 2021; e-ISSN: 2686-6234, 11-23 Website: jurnalstitnualhikmah.ac.id the miracles of various aspects contained in it has encouraged and inspired the emergence of various styles of scientific thought including ushul fiqh thinking as well as ushul thinking patterns influencing the method of interpretation. Keywords: Usul Fiqh, Modern, Rules PENDAHULUAN Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah yang membimbing seorang mujtahid dalam meng-istinbat, serta sebagai pengambil kesimpulan dan mengeluarkan hukum syara', dari dalil-dalil yang lebih detail dan terperinci. Sementara yang dimaksud dengan kaidah itu sendiri adalah rumusan yang bersifat umum serta mencakup hukum-hukum praktis yang lebih khusus dan spesifik.1 Seorang mujtahid merupakan orang yang melakukan kerja ilmiyah dan intelektual secara maksimal dalam mengambil pemahaman dari sumber hukum Islam yang utama, yaitu Al Qur'an dan Hadits, untuk dapat menetapkan suatu status hukum atas suatu perkara. Karena itu, seorang mujtahid mestilah mempunyai persyaratan ilmiah dan integritas. Salah satu syarat pokok adalah kemampuan dalam menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh secara benar dan tepat.2 Kemudian dari mujtahid sersebut lahirlah hukum-hukum syara’ sebagai buah dari hasil ijtihadnya. Sebab itu antara fiqh, ushul fiqh dan mujtahid merupakan tiga hal yang tidak dapat dipisahkan. Sementara bahan baku yang diolah oleh seorang mujtahid adalah Al Qur'an dan Hadits. Al-Qur'an dan Al-Hadits adalah “bahan baku” dari syariat Islam. Sedang mujtahid adalah produsen yang mengelolahnya dengan perangkat "ushul fiqh" untuk menghasilkan "hukum-hukum praktis". Wahbah Az Zuhaily, (1999). Al Wajîz fi Ushûl al Fiqh, Beirut: Dar el Fikr, h. 13 Ibid., 1 12 | SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021 2 Masyhadi Sebagaimana adanya bahasa Arab yang telah dipraktekan lebih dahulu daripada penyusunan ilmu Nahwu, bukan berarti bahwa bahasa Arab sebelum adanya ilmu Nahwu tidak menggunakan kaidah berbahasa yang benar. Hanya saja ushul fiqh sebagai ilmu memang baru termodifikasikan dengan sistematis pada abad kedua Hijrah, tegasnya ketika Imam Asy Syafi'i (hidup antara 150 ±204 H) telah menuangkan rumusan-rumusan ushul fiqhnya dalam kitabnya yang termasyhur, Ar Risalah.2 Nisbah ushul fiqh dengan fiqh dapat juga dianalogikan seperti Ilmu Nahwu dengan bahasa Arab. Dengan Ilmu Nahwu, maka bahasa Arab dapat dibaca dan difahami secara benar. Seorang yang membaca dan berbicara bahasa Arab tentu menggunakan kaidah-kaidah ilmu Nahwu untuk kebenaran struktur bahasanya sehingga dapat difahami. Demikian pula dengan ushul fiqh-lah maka fiqh dapat difahami dengan benar. Tidak mungkin seorang fakih akan dapat melakukan ijtihad tanpa berpijak kepada landasan metodologi yang benar, maka semestinya metodologi fiqh atau ilmu ushul lebih dulu ada daripada fiqh itu sendiri. Tetapi dalam kenyataannya produk pemikiran fiqh lebih dulu muncul ke tengah umat daripada ushul fiqh itu sendiri. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa keberadaan fiqh mendahului keberadaan ushul nya. Yang terjadi hanyalah masalah penyusunan dan perumusannya sebagai sebuah disiplin ilmu. Sebab ushul fiqh sebagai metode berfikir dan merumuskan hukum-fiqh tentu sudah ada sejak adanya hukum fiqh itu sendiri. Kemunculan Ar Risalah Imam Syafi'i memang sangat berjasa dalam merangsang para ahli hukum Islam dari berbagai madzhab untuk juga menuliskan rumusan metodologi ijtihad madzhab mereka, baik yang sezaman dengannya maupun para ulama pada generasi berikutnya. Sehingga ushul fiqh sampai pada masa kematangan dan kemapanannya di tengah-tengah ilmu-ilmu Islam lainnya. Namun justru kematangan dan kemapanan ushul fiqh tidak sepenuhnya memberi arti positif bagi perkembangan Islam dan kaum muslimin secara keseluruhan. Sebab dengan alasan kematangan dan kemapanan ushul fiqh itu sendiri akhirnya fiqh Islam jadi stagnan pada periode-periode berikutnya. Oleh sebab itu, pada masa kebangkitan dunia saat ini pemikiran dan usaha untuk meninjau dan mengembangkan kembali ushul fiqh terus dilakukan oleh para sarjana Ahmad Muhammad Syakir dalam Pengantar dan Tahqiqnya terhadap kitab Ar Risalah Imam Asy Syafi'i, (2018), Beirut: Dar el Kutub al Ilmiyah, tt. h, 5. 2 SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021 | 13 Perkembangan Ushul Fiqh di Era Modern Islam dalam rangka mendinamisir hukum Islam dalam menjawab berbagai problema kehidupan yang terus berkembang demikian pesat. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif analitik. Penelitian kualitatif juga merupakan jenis penelitian yang mengumpulkan data berupa kata-kata yang digunakan sebagai sumber data dan bukan menggunakan angka sebagai objek penelitiannya. Penelitian kualitatif memiliki tujuan untuk memahami fenomena yang terjadi di dalam kehidupan oleh subjek penelitian di lapangan.3 Adapun jenis penelitian ini menggunakan deskriptif analitik dimana peneliti tidak hanya menjelaskan fenomena tertentu, tetapi peneliti turut serta melakukan analisis terhadap fenomena yang terjadi sesuai dengan yang terjadi di lapangan. Seperti yang telah dijelaskan di atas, penelitian ini menggunakan Teknik pengumpulan data berupa studi pustaka untuk mengumpulkan data-data sebagi sumber utama penelitian ini sehingga penelitian ini validasi yang tinggi sesuai yang terjadi di lapangan. 4 Kemudian, setelah peneliti mendapatkan studi pustaka yang sesuai dengan penelitian ini, peneliti melakukan content analysis yang mendalam sehingga mendapatkan informasi, data, referensi yang sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. PEMBAHASAN Secara etimologis, kata fiqh memiliki beberapa arti diantaranya adalah pengetahuan, pengertian dan pemahaman. Di dalam Alquran sendiri, kata fiqh dalam bentuk kata kerja disebut sebanyak 20 kali dalam 12 surat dan 20 ayat. Kesemuanya berkenaan dengan konteks pembicaraan soal-soal keagamaan.6 Ditinjau dari perspektif historis, terma fiqh ini pada mulanya sangat luas sehingga bisa dimaknai sebagai pengetahuan dan pemahaman yang mendalam (profound) mengenai sesuatu hal. “Sesuatu hal” di sini bisa mencakup bahasa, keahlian tentang onta, asketisme, teologi, hukum, dan Nawawi, Hadari. (1991). Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 4 Sugiyono. (2019). Metode Penelitian: Kuantitaif & Kualitatif. Bandung: R&D Publikasi. 6 Muhammad Amin Suma, Ijtihad Ibn Taymiyyah. (2002). Fiqh Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. 141-142 3 14 | SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021 Masyhadi sebagainya. Lambat laun terma fiqh ini menyempit menjadi masalahmasalah hukum, bahkan lebih sempit lagi yaitu pada literatur hukum. 5 Sehingga fiqh didefinisikan secara terminologis sebagai pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang bersifat furu’ (cabang) yang digali (secara langsung) dari dalil-dalil syar’i yang terperinci. Atau bisa juga dipahami sebagai pemeliharaan hukumhukum furu’ secara mutlak, apakah hukum-hukum tersebut langsung diambil dari dalil-dalilnya atau tidak. Persoalannya, di kalangan umat Islam seringkali kemudian terjadi kerancuan antara makna fiqh dengan syari’ah. Padahal sebenarnya antara keduanya terdapat perbedaan yang signifikan. Mengenai hal ini Khaled M. Abou el-Fadhl menjelaskan bahwa syari’ah yang secara etimologis berarti “jalan”, adalah hukum Tuhan sebagai sesuatu yang abstrak dan ideal. Sementara fiqh adalah pemahaman dan pelaksanaan konkret Kehendak Tuhan tersebut. 6 Mencuplik argumen A. Hasan, dalam bahasa yang berbeda tapi bersubstansi serupa, dia menerangkan bahwa syari’ah meliputi baik hukum maupun aturan-aturan pokok agama, sedangkan fiqh semata-mata berurusan dengan hukum saja. Persoalan lain yang kemudian muncul berikutnya adalah kenyataan seringnya fiqh dianggap sebagai produk hukum yang instant dan final daripada sesuatu yang memerlukan penafsiran ulang. Berulangkali usahausaha pemahaman ulang terhadap produk fiqh masa lampau mengalami kebuntuan karena begitu kukuhnya posisi fiqh dalam benak umat Islam. Apa yang dialami oleh almarhum Fazlur Rahman sampai tragedi Nasr Hamid Abu Zayd adalah sebagian kecil bukti-buktinya. 7 Pada prinsipnya, di kalangan umat Islam tidak ada yang menolak fiqh sebagai hasil penafsiran atas teks-teks primer dasar Islam: Alquran dan Hadis. Hanya saja, sikap terhadap penafsiran ulama seringkali berlebihan bahkan sampai ke tingkat kultus. Akibatnya, posisi Fiqh meninggi dan menjadi pintu masuk untuk memahami kandungan teksteks dasar. Fiqh menjadi “korpus tertutup” yang lain di luar Al Quran dan Hadis. Selain itu, Fiqh seringkali juga lebih dipahami sebagai ilmu yang membahas tentang ritual dan tata cara ibadah an sich, yang terlepas dari nilai-nilai Hassan Ahmad Khatib, (1957), al-Fiqh al-Muqaran, Dar al-Ta’lif, hlm. 11 Amrullah Ahmad, dkk, (1996), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, hlm. 86. 7 Harun Nasution, (1998), Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Bandung: Mizan, hlm. 198 5 6 SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021 | 15 Perkembangan Ushul Fiqh di Era Modern rububiyyah murni dan nilai-nilai kemanusiaan.8 Hal ini terlihat misalnya, umat Islam lebih asyik dengan menempelkan dahi di atas sajadah daripada mem-perhatikan tetangganya yang bergelut melawan penyakit yang menggerogoti tubuhnya yang kurus kering karena kurang gizi. Mereka lebih merasa berdosa tidak berdzikir setelah shalat atau makan daging anjing dari pada berbohong, menipu dan korupsi. Paling tidak, kesalahan ini adalah karena fiqh dipahami hanya dalam kerangka ibadah yang sehingga semata-mata berkaitan antara manusia dan Tuhan saja. Periode Pertumbuhan Penafsiran Islam Periode ini berlangsung selama 90 tahun, yaitu sepeninggal nabi Muhammad SAW. sampai berakhirnya abad pertama Islam. Yaitu masa kehidupan para shahabat nabi dan para tabiin senior. Priode ini ditandai dengan perluasan wilayah Islam dan pertumbuhan pemeluknya yang sangat pesat. Islam tidak lagi hanya dipeluk oleh penduduk Arab tetapi telah menjadi agama yang dianut oleh berbagai suku dan kabilah dari negeri-negeri bekas jajahan imperium Persia dan Rumawi. Sebagai konsekwensi dari pertumbuhan pemeluk Islam yang beragam latar belakang suku, bahasa, budaya dan agama, maka banyak persoalan baru yang muncul dan membutuhkan jawaban hukum dari ajaran Islam. Dari mulai masalah rumusan keimanan, persyaratan dan rukun pelaksanaan suatu ibadah ritual, sampai masalah pengelolaan harta rampasan perang, para budak tawanan perang, dan penataan negeri-negeri yang dibebaskan. Untuk menjawab berbagai persoalan baru yang muncul dan memberi pengajaran kepada bangsa-bangsa yang baru memeluk Islam, tampillah para ulama shahabat nabi diberbagai kota Islam. Di Madinah fatwa-fatwa hukum dilakukan teruatma oleh Abu bakar, Umar, Utsman, Abdullah bin Umar, Ubay Bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Aisyah binti Abu Bakr, dan lain-lain. Di Mekkah tampil Abdullah bin Abbas. Di Kufah, tokoh pemberi fatwa hukum adalah Ali bin Abu Thalib dan Abdullah bin Mas'ud. Di Bashrah ada shahabat Anas bin malik dan Abu Musa Al Asy'ary. Di Syiria tokoh fatwa adalah Muadz bin Jabal dan Ubadah bin Al Shamit. Di Mesir tampil Abdullah bin Amer bin Al Ash. Dengan demikian, otoritas hukum dan memberikan fatwa dipegang oleh para ulama dari kalangan shahabat. Tidak ada satupun mekanisme yang mengatur siapa dan apa kriteria seseorang shahabat nabi yang berhak memberi fatwa hukum kepada umat. Sebab mereka saling 8 Ibid., 16 | SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021 Masyhadi mengetahui kedudukan masing-masing dari sudut ilmu dan kedekatannya kepada Rasulullah SAW. Jadi semuanya berdasarkan kepercayaan umat terhadap integritas moral dan keluasan ilmu mereka. Pada masa ini sumber rujukan hukum adalah Al-Qur'an dan Hadits nabi yang sampai kepada mereka masing-masing. Kemudian jika mereka tidak menemukan dalil Al-Qur'an atau hadits secara langsung, barulah mereka melakukan ijtihad individual. Ijtihad kolektif juga terkadang ditempuh oleh para shahabat nabi jika itu menyangkut urusan kolektif kaum muslimin dan biasanya disponsori dan dipelopori oleh shahabat yang memegang kekuasaan, seperti khalifah Utsman yang mengajak para shahabat bermusyawarah untuk menetapkan penulisan Al-Qur'an menjadi satu mushaf yang baku. Setelah masa shahabat berakhir, dilanjutkan oleh generasi tabiin senior yang merupakan murid-murid langsung dari para tokoh shahabat. Di Madinah lahir ulama-ulama besar generasi tabiin seperti Said bin Musayyib, Urwah bin Az Zubair, Abu Bakar bin Abdulrahman, Al Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, Kharijah bin Zaid bin Tsabit, Sulaiman bin Yasar, dan lain-lain. Di Makah ulama genearsi tabi'in adalah Atha' bin Abi Rabah, Mujahid bin Jabr, Abdullah bin Ubaidillah Abu Mulaikah, Amr bin Dinar, dan Ikrimah Maula Ibnu Abbas. Di Yaman ada Thawus bin Kaisan, Syarahil bin Syurahbil, dan Wahab bin Munabbih. Di Syiria; Aidzullah bin Abdilah, Makhul, Auzai', Maimun bin Mahran, Said bin Abdul Aziz At Tanuhi, dan Yahya bin Yahya Al Ghasani. Di Mesir; Mursid bin Abdillah Al Yazni, Bukair bin Abdillah al Asyja', dan Allaits bin Sa'ad. Di Kufah; Al Qomah bin Qais, Al Aswad bin Yazid, Syuraeh Bin Harits Al Qadhi, Asy Sya'bi. Di Bashrah; Al Hasan bin Abil Hasan Al Bashry, Qatadah bin Diamah As Sadusi, Muhammad bin Sirin, Muskim bin Yasar. 9 Ketika otoritas fatwa dipegang oleh para ulama tabi'in, sumber pengambilan dan rujukan hukum diperluas tidak hanya nash Al-Quran dan Al hadits nabi tetapi juga ijmak yang telah terjadi dikalangan para shahabat serta fatwa-fatwa individual shahabat. Mereka sepakat bahwa ijmak para shahabat adalah hujah tetapi berbeda pendapat mengenai kehujahan fatwa atau madzhab seorang shahabat. Kalau mereka tidak mendapatkan dalil eksplisit dari Qur'an ataupun hadits nabi, mereka mencari ijmak, kemudian merujuk kepada pendapat shahabat nabi, kalau tidak mendapatkan juga mereka melakukan ijtihad sendiri. Priode ini juga ditandai dengan munculnya perbedaan-perbedaan pendapat di bidang Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf As Syaerozi Al Fairuzabady, (1970), Thabaqât al Fuqahâ, Beirut: Dar el Raid al Araby, Tahqiq Ihsan Abbas, cet I, h. 57 9 SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021 | 17 Perkembangan Ushul Fiqh di Era Modern hukum dalam kasus-kasus tertentu. Terutama perbedaan yang muncul karena terjadinya perpecahan politik sejak pasca terbunuhnya khalifah Utsman yang kemudian digantikan oleh khalifah Ali bin Abu Thalib dengan suara dukungan yang tidak bulat. Perbedaan interpretasi yang tajam terjadi antara pengikut Ali bin Abu Thalib dengan pengikut Muawiyah bi Abu Sufyan dan kaum Khawarij yang memisahkan diri dari Ali dan kemudian menjadi kelompok radikal memusuhi Ali maupun Muawiyah. Pada masa ini juga mulai dibicarakan tentang metode pemahaman terhadap nash AlQur'an dan Hadits nabi. Sebagaimana perdebatan Ali dan Abdullah bin 18 | SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021 Masyhadi Abbas dengan tokoh-tokoh Khawarij seputar penafsiran ayat-ayat tentang berhukum dengan selain hukum Allah.10 Periode Masa Tabi’in Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar kepada sahabat. Patut dicatat bahwa para sahabat ketika Islam menyebar turut pula menyebar ke berbagai daerah, seperti Ibnu Mas’ud ada di Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu Abbas di Makkah, Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ibnu Umar, dan Abu Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin Amru bin Ash di Mesir. 11 Para sahabat tersebut. berperan dalam penyebaran ajaran Islam dan menjadi tempat masyarakat masingmasing daerah meminta fatwa. Mereka pun memiliki murid-murid di daerahdaerah tersebut. Murid-murid sahabat itulah yang kemudian menjadi tokoh hukum di daerahnya masing-masing. Murid-murid para sahabat tidak hanya dari kalangan orang-orang Arab, melainkan juga dari kalangan muslim nonArab (mawali). Kecenderungan berpikir sahabat turut mempengaruhi pola pemikiran ushul fiqh di masing-masing daerah. Ibnu Mas’ud, misalnya, dikenal sebagai tokoh yang memiliki kemampuan ra’yu yang baik. Tidak mengherankan apabila murid-muridnya di Iraq (Kufah) juga dikenal dengan ahl al-ra’yi, meskipun ada faktor lain yang tentunya berpengaruh. Karena itulah, metode istimbath tabi’in umumnya tidak berbeda dengan metode istimbath sahabat. Puncak perkembangan ushul fiqh terjadi sekitar pada abad ke-5 Hijriyah. Pada masa tersebut, lahir para ulama dan karya-karya ushul fiqh kenamaan yang menjadi rujukan kitab-kitab ushul fiqh di kemudian hari. Di antara kitab-kitab penting ushul fiqh yang lahir pada abad ke-5 tersebut antara lain:12 1. Kitab al-Ahd atau al-Amd karya Qadli Abd al-Jabbar al-Mu‘tazili (w. 415H/1024M). 2. Kitab al-Mu‘tamad karya Abu Husayn al-Bashri al-Mu’tazili (w. 436H 1044M). 3. Kitab al-‘Uddah karya Abu Ya’la al-Hanbali (w. 458H/1065M). Manna'ul Qathan, (1006), Târikh Tasyri' al Islâmy, Riyadh: Maktabah Al ma'arif, cet. II. Ha. 23-25. 11 Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman. (1983). Al-Fikr al-Usuli: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah. Jeddah: Dar al-Syuruq. 12 Noel James Coulson. (1999). History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press 10 SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021 | 19 Perkembangan Ushul Fiqh di Era Modern 4. Kitab al-Ihkam fi ‘Ushul al-Ahkam karya Ibnu Hazm al-Dzahiri (w. 456H/1062M). 5. Kitab al-Luma’ karya Abu Ishaq al-Syirazi al-Syafi‘i (w. 467H /1083 M) 6. Kitab al-Burhan karya Al-Juwayni al-Syafi‘i (w. 478H /1085M) 7. Kitab Ushul Al-Sarakhsi karya Imam al-Sarakahsi alHanafi (w. 490H/1096M). Imam Abu Hamid Al-Ghazali wafat pada tahun 505 H atau abad ke6, tetapi sebagian hidupnya dihabiskan pada abad ke k-5. Karena itu, kitab alMustashfa karya al-Ghazali dapat dimasukkan ke dalam jajaran kitab yang dilahirkan ulama abad ke-5. Di antara kitab-kitab di atas, ada empat kitab yang kemudian memperoleh pengakuan sebagai kitab terbaik dan mempengaruhi perkembangan ushul fiqh selanjutnya di kalangan mutakallimin, yaitu al- Ahd karya Qadli Abdul Jabbar, al-Mu‘tamad karya Abu Husayn al-Bashri, al-Burhan karya al-Juwayni, dan al-Musthasfa karya alGhazali. Kitab-kitab tersebut disebut Ibnu Khaldun sebagai kitab ushul fiqh terbaik.13 Empat kitab tersebut kemudian diringkas dan dijabarkan kembali oleh para ulama setelahnya, khususnya para ulama abad ke-7 Hijriyyah, seperti Fakhruddin al-Razi, al-Amidi, Ibnu Qudamah, Ibnu Hajib dan sebagainya. Karena itu, muncullah beberapa kesepakatan dalam berbagai kitab ushul mengenai sistematikasi bahasan kitab ushul. Bahasan mengenai hukum, kaidah-kaidah-kaidah kebahasaan, kaidah naskh dan tarjih, dalil hukum, dan ijtihad hampir ada di semua kitab ushul fiqh mutakallimin yang berakar dari empat kitab di atas. Perbedaan bahasan terjadi dalam beberapa aspek, misalnya tentang pengantar logika, pembahasan kalam, dan tentang huruf, yang ada disebagian kitab ushul dan tidak ada disebagian kitab ushul yang lain. Aliran dalam Ushul Fiqh Sejarah perkembangan ushul fiqh menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak mandeg, melainkan berkembang secara dinamis. Ada beberapa aliran metode penulisan ushul fiqh yang saat ini dikenal. Secara umum, para ahli membagi aliran penulisan ushul fiqh menjadi dua, yaitu mutakallimin (Syafi’iyyah) dan aliran fukaha (Aliran Hanafiyah). 14 Dari kedua aliran Muhammad Sa‘id al-Khinn. (1994). Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf alFuqaha. Beirut: Muassassah al-Risalah. 14 Muhammad al-Khudlary. (1994). Tarikh Tasyri’ al-Islamy. Surabaya: dar Ihya’ al- Kutub al13 20 | SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021 Masyhadi tersebut lahir aliran gabungan. Tiga aliran utama tersebut diuraikan sebagai berikut: 1. Aliran Mutakallimin Aliran mutakallimin disebut juga dengan aliran Syafi’iyyah. Alasan penamaan tersebut bisa dipahami mengingat karya-karya ushul fiqh aliran mutakallimin banyak lahir dari kalangan Syafi’iyyah, seperti al-Luma’ karya al-Syirazi, al-Mustashfa karya al-Ghazali, al-Mahsul karya Fakhruddin al-Razi, al-Burhan dan al-Waraqat karya al-Juwayni, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya al-Amidi, Minhaj al-Wushul ila Ilm a’-Ushul karya al-Baidlawi dan sebagainya. Karya al-Ghazali, al-Razi, dan al-Amidi banyak dirujuk oleh para ahli ushul fiqh dari madzhab non-Syafi’i. Kitab Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir karya tokoh Hanabilah Ibnu Qudamah al-Maqdisi, misalnya, dipandang sebagai ringkasan dari al- Mustashfa karya al-Ghazali dan kitab Muntaha al-Wushul (al-Sul)wa al- Amal fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal karya Ibnu Hajib dipandang sebagai ringkasan kitab al-Ihkam fi ushul al-Ahkam karya al-Amidi.. Meskipun demikian, penulis-penulis ushul fiqh model mutakallimin hanya orang Asy’ariyyah. Penulis ushul fiqh aliran mutakallimin bersifat lintas madzhab. Ada penulis dari kalangan Hanbali, seperti : 15 1) Abu Ya’la (pengarang al-Uddah), 2) Ibnu Qudamah (pengarang Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al- Munadzir), 3) Keluarga Ibnu Taimiyyah: Majduddin, Taqi al-Din, dan Ibnu Taimiyyah beserta ayah dan kakeknya (karangan ketiganya tercakup dalam kitab al-Musawwadah), 4) Najm al-Din al-Thufi pengarang Mukhtashar al-Rawdlah dan Syarh Mukhtashar al-Rawdlah). Ada beberapa ciri khas penulisan ushul fiqh aliran Mutakallimin, antara lain: Penggunaan deduksi di dalamnya. Ushul fiqh mutakallimin membahas kaidah-kaidah, baik disertai contoh maupun tidak. Kaidah- kaidah itulah yang menjadi pilar untuk pengambilan hukum. Jadi, kaidah dibuat dahulu sebelum digunakan dalam istimbath. Kaidah-kaidah tersebut utamanya berisi kaidah kebahasaan. Adanya pembahasan mengenai teori kalam dan teori pengetahuan, seperti terdapat dalam al-Luma karya alSyirazi dan alIhkam karya al-Amidi. ‘Arabiyyah 15 Najmuddin al-Thufi. (1998). Kitab al-Ta’yin fi Syarh al-Arbain. Beirut: Muassasah al- Rayyan. SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021 | 21 Perkembangan Ushul Fiqh di Era Modern Teori kalam yang sering dibahas adalah tentang tahsin dan taqbih. Sementara itu, dalam pembahasan mengenai teori pengetahuan tersebut, dimasukkan pengertian ilmu dan terkadang dimasukkan pula muqaddimah mantiqiyyah (pengantar logika), sebagaimana terdapat dalam alMustashfa karya al-Ghazali, Rawdlah al-Nadzir karya Ibnu Qudamah, dan Muntaha alWushul (al-Sul) karya Ibnu Hajib. Aliran mutakallimin mengembangkan gagasan-gagasan yang telah ada dalam kitab alRisalah karya al-Syafi’i dengan berbagai penjelasan dan materi tambahan. Aliran ini banyak diikuti oleh para ulama dan menjadi aliran utama dalam ushul fiqh, serta bersifat lintas madzhab. 2. Aliran Hanafiyah Aliran Hanafiyah atau aliran Fukaha adalah aliran yang diikuti oleh para ulama madzhab Hanafi. Madzhab Hanafi adalah madzhab yang sejak semula memiliki pengembangan metodologis yang baik. Hal itu dibuktikan dengan pengaruh perkembangan ilmu qawaid fiqh di kalangan Syafi’iyyah yang dipengaruhi oleh qawaid fiqh Hanafi. Karena itu, mereka mengembangkan sendiri model penulisan ushul fiqh yang khas madzhab Hanafi. Ciri khas penulisan madzhab Hanafi adalah berangkat dari persoalan-persoalan hukum yang furu yang dibahas oleh para imam mereka, lalu membuat kesimpulan metodologis berdasarkan pemecahan hukum furu tersebut. Jadi, kaidah-kaidah dibuat secara induktif dari kasuskasus hukum. Kaidah-kaidah tersebut bisa berubah dengan munculnya kasus-kasus hukum yang menuntut pemecahan hukum yang lain. Karena itu, ushul fiqh Hanafi dipenuhi dengan persoalan hukum yang nyata. Karya ushul fiqh di kalangan Hanafi cukup banyak dikenal dan dirujuk. Kitab-kitab ushul fiqh yang khas menunjukkan metode Hanafiyah antara lain: al-Fushul fi Ushul Fiqh karya Imam Abu Bakar al-Jashshash (Ushul al-Jashshash) sebagai pengantar Ahkam al-Quran. Taqwim al- Adillah karya Imam Abu Zayd al-Dabbusi Kanz al-Wushul ila Ma’rifat al- Ushul karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi. Ushul Fiqh karya Imam al- Sarakhsi (Ushul al-Syarakhsi).16 3. Aliran Gabungan Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke dalam realitas Wael B. Hallaq. (1998). A History of Islamic Legal Theories, an Introduction to Sunni Ushul Fiqh. Cambridge: Cambridge University Press. 16 22 | SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021 Masyhadi persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya. Karyakarya gabungan lahir dari kalangan Hanafi dan kemudian diikuti kalangan Syafi’iyyah. Dari kalangan Hanafi lahir kitab Badi’ al- Nidzam aljami‘ bayn Kitabay al-Bazdawi wa al-Ihkam yang merupakan gabungan antara kitab Ushul karya al-Bazdawi dan al-Ihkam karya al- Amidi. Kitab tersebut ditulis oleh Mudzaffar al-Din Ahmad bin Ali al- Hanafi. Ada pula kitab Tanqih Ushul SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021 | 23 Perkembangan Ushul Fiqh di Era Modern karya Shadr al-Syariah al-Hanafi. Kitab tersebut adalah ringkasan dari Kitab al-Mahshul karya Imam al-Razi, Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Imam Ibnu Hajib, dan Ushul al- Bazdawi. Kitab tersebut ia syarah sendiri dengan judul karya Shadr al- Syari’ah al-Hanafi. Kemudian lahir kitab Syarh al-Tawdlih karya Sa’d al- Din al-Taftazani al-Syafii dan Jam’ al-Jawami’ karya Taj al-Din al-Subki al- Syafi’i. Tiga aliran di atas adalah aliran utama dalam ushul fiqh. Sebenarnya ada pula yang memasukkan takhrij al-furu’ ‘ala al-ushul dan aliran khusus sebagai aliran lain dalam ushul fiqh. Aliran takhrij al-furu’ ‘ala al-ushul dipandang berwujud berdasarkan dua kitab yang secara jelas menyebut istilah tersebut, yaitu Kitab Takhrij al-Furu’ ‘Ala al-Ushul karya al-Isnawi alSyafi‘i dan Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul karya al-Zanjani al- Hanafi. Sementara itu, aliran khusus adalah aliran yang mengkaji satu pokok bahasan ushul fiqh tertentu secara panjang lebar, seperti mengenai mashlahah mursalah sebagaimana dilakukan oleh al-Syatibi dalam al- Muwafaqat atau oleh Muhammad Thahir ‘Asyur dalam Maqashid al- Syariah. PENUTUP Perkembangan ushul fiqh di mulai sejak zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rauslullah SAW menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau sunnah. Perkembangan Ushul Fiqh pada masa sahabat Memang, semenjak masa sahabat telah timbul persoalanpersoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum. Perkembangan Ushul Fiqh pada masa tabi’in, tabi’it-tabi’in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah- daerah yang dihuni oleh orangorang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. 24 | SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021 Masyhadi Saran Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak persoalanpersoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Alquran dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya. DAFTAR PUSTAKA Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman. (1983). Al-Fikr al-Usuli: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah. Jeddah: Dar al-Syuruq. Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf As Syaerozi Al Fairuzabady, (1970), Thabaqât al Fuqahâ, Beirut: Dar el Raid al Araby, Tahqiq Ihsan Abbas, cet I, h. 57 Ahmad Muhammad Syakir dalam Pengantar dan Tahqiqnya terhadap kita Ar Risalah Imam Asy Syafi'i, (2018), Beirut: Dar el Kutub al Ilmiyah, tt. h, 5. Amrullah Ahmad, dkk, (1996), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, hlm. 86. Harun Nasution, (1998), Islam Rasional; Gagasan dan pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Bandung: Mizan, hlm. 198 Hassan Ahmad Khatib, (1957), al-Fiqh al-Muqaran, Dar al-Ta’lif, hlm. 11 Manna'ul Qathan, (1006), Târikh Tasyri' al Islâmy, Riyadh: Maktabah Al ma'arif, cet. II. Ha. 23-25. Muhammad al-Khudlary. (1994). Tarikh Tasyri’ al-Islamy. Surabaya: dar Ihya’ al- Kutub al-‘Arabiyyah Muhammad Amin Suma, Ijtihad Ibn Taymiyyah. (2002). Fiqh Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. 141-142 Muhammad Sa‘id al-Khinn. (1994). Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-Fuqaha. Beirut: Muassassah al-Risalah. Najmuddin al-Thufi. (1998). Kitab al-Ta’yin fi Syarh al-Arbain. Beirut: Muassasah al- Rayyan. Nawawi, Hadari. (1991). Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Noel James Coulson. (1999). History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021 | 25 Perkembangan Ushul Fiqh di Era Modern Sugiyono. (2019). Metode Penelitian: Kuantitaif & Kualitatif. Bandung: R&D Publikasi. Wael B. Hallaq. (1998). A History of Islamic Legal Theories, an Introduction to Sunni Ushul Fiqh. Cambridge: Cambridge University Press. Wahbah Az Zuhaily, (1999). Al Wajîz fi ushûl al afiqh, Beirut: Dar el Fikr, h. 13 26 | SCHOLASTICA, Volume 3, Nomor 1, Mei 2021