Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Populisme Islam by Nur Hafifah

Muhammad Khusna Amal dalam karyanya "Populisme Islam" menguraikan secara mendalam fenomena populisme yang berkembang sebagai alat politik dalam konteks Islam. Buku ini mengkaji bagaimana populisme muncul dan berkembang dalam berbagai gerakan dan figur politik, terutama di Indonesia, serta dampaknya terhadap struktur sosial. Bab awal buku ini membahas konsep populisme yang sering diidentifikasi sebagai representasi "kehendak rakyat" dalam melawan elit yang dianggap tidak peka terhadap kebutuhan masyarakat. Pemimpin populis memperkuat legitimasi politik mereka dengan menggunakan retorika dan simbol-simbol Islam. Buku ini menawarkan pemahaman mendalam tentang bagaimana populisme dapat berintegrasi ke dalam Islam dan berfungsi sebagai alat politik.

REVIEW BUKU Judul : Populisme Islam Penulis : Prof. Dr. M. Khusna Amal Penerbit : Bildung Halaman : 255 Halaman Nur Hafifah Mahasiswa Program Doktoral Studi Islam UIN KH. Achmad Shiddiq Jember Muhammad Khusna Amal dalam karyanya "Populisme Islam" menguraikan secara mendalam fenomena populisme yang berkembang sebagai alat politik dalam konteks Islam. Buku ini mengkaji bagaimana populisme muncul dan berkembang dalam berbagai gerakan dan figur politik, terutama di Indonesia, serta dampaknya terhadap struktur sosial. Bab awal buku ini membahas konsep populisme yang sering diidentifikasi sebagai representasi "kehendak rakyat" dalam melawan elit yang dianggap tidak peka terhadap kebutuhan masyarakat. Pemimpin populis memperkuat legitimasi politik mereka dengan menggunakan retorika dan simbol-simbol Islam. Buku ini menawarkan pemahaman mendalam tentang bagaimana populisme dapat berintegrasi ke dalam Islam dan berfungsi sebagai alat politik. Amal kemudian mengulas beberapa kasus, seperti tuntutan terhadap Ahok dalam Aksi Bela Islam, untuk menjelaskan bagaimana tokoh populis memanfaatkan sentimen keagamaan guna memperoleh dukungan massa. Populisme Islam, dalam konteks ini, berkembang melalui momentum yang didramatisasi dengan metodologi empiris dan analisis yang tajam. Lebih lanjut, Amal membahas pengaruh populisme Islam terhadap kohesi sosial dan demokrasi, mempertanyakan validitas klaim populis yang menyatakan diri sebagai representasi 'Islam sejati'. Ia mengungkapkan bahwa politisasi agama oleh populisme dapat merusak demokrasi dan memicu konflik sosial, memberikan pandangan kritis tentang ancaman dan tantangan yang dihadapinya. Gaya penulisan yang jelas dan argumen yang kuat membuat topik yang kompleks ini mudah dipahami. Amal berargumen bahwa meskipun populisme Islam dapat meningkatkan partisipasi politik dan memberi suara kepada kelompok yang terpinggirkan, ada risiko bahwa ia dapat merusak institusi demokrasi dengan mengutamakan kepentingan kelompok tertentu di atas prinsip-prinsip demokrasi yang lebih luas. Hal ini menegaskan bahwa populisme Islam memiliki potensi untuk menyebabkan ketidakstabilan jika tidak dikelola dengan baik. Dalam bagian selanjutnya, Amal secara rinci mengeksplorasi bagaimana tokoh-tokoh seperti Rizieq Shihab dan organisasi seperti Front Pembela Islam (FPI) berkontribusi pada mobilisasi dukungan publik antara tahun 2016 hingga 2019. Ia menjelaskan bagaimana aktor-aktor ini menciptakan solidaritas di antara pendukungnya dengan menggunakan retorika agama dan masalah identitas. Faktor pendorong mobilisasi populis selama periode ini diidentifikasi, termasuk ketidakpuasan terhadap pemerintah, ketidakadilan ekonomi, dan masalah identitas. Ketidakpuasan terhadap pemerintahan Jokowi, terutama terkait kebijakan dan masalah ekonomi yang dianggap tidak pro-Islam, menjadi sumber utama gerakan populis. Amal menunjukkan bagaimana aktor populis menggunakan sentimen ini untuk memperoleh dukungan. Mobilisasi populis berpotensi menyebabkan polarisasi dan pembagian sosial di masyarakat Indonesia. Identitas kelompok sering diperkuat oleh gerakan populis, yang dapat mengganggu stabilitas politik dan kohesi sosial. Partai politik Islam dan organisasi masyarakat sipil pro-Islam sering menggunakan gerakan populis untuk mencapai tujuan politik mereka. Misalnya, Nahdlatul Ulama (NU), salah satu lembaga Islam terbesar di Indonesia, sering mengadvokasi nilai-nilai toleransi dan moderasi. NU berusaha menyeimbangkan kekuatan gerakan populis dengan cara yang inklusif dan demokratis, meskipun sering kali mereka berada di bawah tekanan. Pada tahun 2016 hingga 2019, ketegangan politik dan polarisasi masyarakat meningkat. Puncaknya adalah Aksi Bela Islam 212 pada 2 Desember 2016, yang memprotes pernyataan kontroversial gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama. Aksi tersebut berfungsi sebagai representasi kekuatan politik kelompok Islam dalam mobilisasi massa. Kelompok populis Islam memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan pesan, mendorong dukungan, dan mengatur aksi, dengan penggunaan hashtag, video, dan postingan viral. Konsolidasi gerakan populis Islam terlihat kuat pada tahun 2016 dan 2017. Actions following 212 menarik perhatian media dan publik, memperkuat posisi mereka dalam wacana politik nasional. Namun, konflik internal akibat perbedaan pandangan strategis dan kepentingan politik menyebabkan pembagian. Pemerintah kemudian mengurangi kekuatan kelompokkelompok ini, termasuk menghentikan gerakan tokoh penting dan membubarkan organisasi seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sehingga kemampuan kelompok populis untuk melakukan mobilisasi massa terpengaruh. Banyak sarjana Barat melihat munculnya gerakan populis Islam di Indonesia sebagai bagian dari tren global di mana populisme muncul sebagai respons terhadap krisis demokrasi. Gerakan-gerakan seperti Aksi Bela Islam 212 dianggap sebagai bukti ketidakpuasan terhadap pemimpin politik dan kegagalan sistem demokrasi untuk memenuhi keinginan rakyat. Meskipun populisme agama dapat memberikan suara kepada kelompok terpinggirkan, ia juga dapat mengancam prinsip-prinsip demokrasi liberal seperti toleransi dan pluralisme. Mayoritas sarjana Muslim Indonesia melihat gerakan populis Islam sebagai kebangkitan identitas keagamaan yang diakui dalam demokrasi. Mobilisasi ini dianggap sebagai bukti partisipasi politik yang aktif dan kesadaran politik yang meningkat di kalangan umat Islam. Namun, ada kekhawatiran bahwa gerakan ini dapat menyebabkan konflik sosial dan sektarianisme jika tidak dikelola dengan baik. Mobilisasi populisme oleh kelompok Islam politik telah mendorong umat Islam, termasuk mereka yang sebelumnya tidak aktif dalam politik, untuk berpartisipasi dalam politik. Isu-isu moral dan sosial telah dimasukkan ke dalam agenda politik nasional melalui gerakan ini, yang meningkatkan diskusi publik. Namun, mobilisasi juga telah menimbulkan perbedaan pendapat dan ketegangan sosial, terutama antara pendukung gerakan dan kelompok agama yang berbeda. Ada kekhawatiran bahwa dominasi kelompok Islam politik dapat mengancam dasar demokrasi Indonesia, yaitu pluralisme dan toleransi. Banyak ahli berpendapat bahwa meskipun Indonesia telah mengalami transisi demokrasi setelah jatuhnya Orde Baru, ada tanda-tanda bahwa hal itu sedang mengalami regresi. Konsolidasi kekuasaan di tangan elit politik tertentu dan meningkatnya otoritarianisme menjadi fokus utama. Tindakan pemerintah yang membatasi kebebasan sipil dan politik, seperti pelemahan aktivis dan pembubaran organisasi, dianggap sebagai tanda regresi demokrasi. Namun, buku Amal memiliki beberapa kekurangan. Salah satu kekurangan utama adalah kurangnya penelitian teologis yang mendalam. Misalnya, bagaimana teologi dari berbagai mazhab kelompok melihat politik dan kekuasaan, serta bagaimana ide-ide ini diterjemahkan ke dalam populisme kontemporer. Tidak ada analisis mendalam tentang bagaimana kelompok populis Islam menggunakan ayat-ayat Al-Quran dan hadits untuk mendukung tindakan dan keyakinan mereka. Untuk memahami alasan teologis di balik gerakan, sangat penting memiliki pemahaman mendalam tentang interpretasi teks keagamaan. Pendekatan sosiologis dan politis yang digunakan Amal untuk menganalisis fenomena populisme Islam di Indonesia memiliki banyak konten, tetapi pendekatan teologis yang dapat memberikan pemahaman lebih mendalam tentang dasar keagamaan dan ideologis gerakan tersebut kurang ditekankan. Studi tentang bagaimana berbagai teologi menginterpretasikan populisme di berbagai kultur Islam di Indonesia dapat memberikan pemahaman lebih luas tentang bagaimana populisme ditafsirkan dan diterapkan dalam berbagai konteks teologis. Namun, buku Amal memiliki banyak keunggulan, terutama dalam hal keberaniannya untuk menyelidiki aspek materialis, sosialis, dan politik. Amal secara tegas dan mendalam mempelajari dinamika politik yang melibatkan kelompok Islam populis di Indonesia, termasuk metode mobilisasi politik, hubungan dengan partai politik, dan dampak gerakan ini pada pemilihan umum. Mengkaji populisme dari sudut pandang materialis dan sosialis adalah tindakan yang berani dan perlu dalam konteks keanekaragaman masyarakat Indonesia. Untuk memahami bagaimana kebangkitan populisme Islam dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, ketidakadilan sosial, dan dinamika kelas. Amal menggunakan pendekatan interdisipliner yang menggabungkan analisis politik dan sosiologis, memungkinkan pembaca melihat masalah dari berbagai sudut pandang, yang meningkatkan pemahaman mereka. Pembahasan berbagai tindakan populis, seperti Aksi Bela Islam 212, memberikan bukti empiris yang kuat dan membantu pembaca memahami konteks dan efek dari setiap gerakan. Dengan demikian, buku Amal berhasil menghubungkan teori dengan keadaan lapangan, menjadikannya referensi penting bagi akademisi, peneliti, dan pembuat kebijakan untuk memikirkan masa depan demokrasi di Indonesia.