Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
ISSN: 2580-4197 (print) ISSN: 2685-0281 (on line) E-mail: bunayyajurnalpaudumj@gmail.com Volume 7 Issue 1 (2023) Pages 29-40 IMPLEMENTASI PAUD BERBASIS BUDAYA LOKAL DI KB AMONG SIWI DUSUN PANDES, SEWON, BANTUL, YOGYAKARTA Nur Tanfidiyah1)* 1) Pendidikan Islam Anak Usia Dini, Universitas Raden Mas Said Surakarta, Jl. Pandawa, Dusun IV, Pucangan, Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah, 57168 * n.tanfidiyah@gmail.com Diterima: 01 02 2023 Direvisi: 05 03 2023 Disetujui: 25 04 2023 Abstrak Arus globalisasi yang terus berkembang turut mempengaruhi masyarakat Indonesia dari segi pakaian, pola pikir, gaya hidup bahkan menggeser budaya lokal Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan pelestarian budaya lokal melalui lembaga pendidikan terendah yaitu PAUD. Berkaitan dengan hal itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana implementasi PAUD berbasis budaya lokal yang berada di KB Among Siwi Dusun Pandes, Sewon, Bantul, Yogyakarta. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan menggunakan tiga metode yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi. Kemudian peneliti melakukan kategorisasi, penyajian data, dan menyimpulkan data hasil penelitian yang telah terkumpul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, KB Among Siwi menerapkan budaya lokal dalam setiap aktivitas pembelajaran diantaranya berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa, menyanyi lagu bahasa Jawa (tradisional), menyediakan APE berbasis budaya lokal seperti wayang, tanah liat, rumah-rumahan dari kardus, congklak, engklek, dan sebagainya serta beberapa buku yang mengajarkan permainan tradisional berupa cublek-cublek suweng, jamuran, gobak sodor dan sebagainya. Selain itu, pembelajaran dengan mengenalkan alam sekitar, membuat hasil karya dengan barang bekas dan bahan alam, melukis baju sebagai seragam, dan makanan yang disediakan setelah belajar berupa jajan pasar atau desa. KB Among Siwi telah melestarikan budaya lokal sejak dini dengan cukup baik. Namun, perlu mengembangkan kurikulumnya agar lebih tertara, terarah dan menjadi lebih baik Kata Kunci: Pendidikan Anak Usiadini, Budaya Lokal, KB Among Siwi Yaa Bunayya Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini Volume 7, No 1, Mei, 2023 Abstract The growing current of globalization has also influenced Indonesian society in terms of clothing, mindset, lifestyle and even shifting Indonesian local culture. Therefore, it is necessary to preserve local culture through the lowest educational institution, namely PAUD. In this regard, the purpose of this study is to find out how the implementation of local culturebased PAUD in KB Among Siwi Dusun Pandes, Sewon, Bantul, Yogyakarta. The type of research used is qualitative, using three methods, namely observation, interviews, and documentation. Then the researcher categorizes, presents the data, and concludes the research data that has been collected. The results show that KB Among Siwi applies local culture in every learning activity including communicating using Javanese, singing Javanese (traditional) songs, providing APE based on local culture such as wayang, clay, cardboard houses, congklak, engklek, and so on as well as several books that teach traditional games in the form of cubes of suweng, mushrooms, gobak sodor and so on. In addition, learning by introducing the natural surroundings, making works with used goods and natural materials, painting clothes as uniforms, and the food provided after learning is in the form of market or village snacks. KB Among Siwi has preserved local culture from an early age quite well. However, it is necessary to develop the curriculum so that it is more targeted, directed and better. Keywords: Early Childhood Education, Local Culture, Among Siwi Playgroup PENDAHULUAN Arus globalisasi yang terus berkembangan membuat dunia semakin moden dan perubahan dalam suatu negara dapat terlihat jelas, tidak lain bagi masyarakat di negara Indonesia. Keadaan tersebut karena pengaruh masuknya budaya asing dalam lini kehidupan masyarakat Indonesia baik dari gaya hidup, makanan, cara berpakaian, dan musik yang sebagian besar diminati anak-anak muda Indonesia. Padahal Indonesia adalah negara kaya akan budaya hingga ribuan peninggalan dari nenek moyang. Budaya yang unik dan tersebar luas diseluruh wilayah Indonesia. Selain itu, budaya lokal memiliki makna dan memberikan simbol tertentu. Menurut Jackman (2012), budaya adalah tema yang amat bagus dikembangkan dalam pembelajaran (Ika Budi Maryatun, 2017). Oleh karena itu, penting bagi setiap masyarakat Indonesia untuk menjaga dan melestarikannya serta penyaring budaya asing yang masuk Indonesia (Mahartini, 2019). Berbeda dari kenyataan di atas, modernitas membuat budaya Indonesia naik turun akibat tercampurnya budaya asing yang tidak tekontrol. Bahkan sebagian masyarakat menganggap budaya lokal adalah kondisi yang tertinggal oleh zaman. Kondisi demikian nampak terlihat jelas pada generasi milenial bahkan dari usia dini. Di sisi lain, sejatinya mengikuti 30 Nur Tanfidiyah: Implementasi PAUD Berbasis Budaya Lokal di KB Among Siwi, Dusun Pandes, Sewon, Bantul, Yogyakarta berlebihan tanpa melihat dan memperdulikan lingkungan sekitarnya. Permainan seperti mobil-mobilan, rumahrumahan, sluncuran, congklak, petak umpat, bermain wayang, gasing, dan sebagainya dirasa kurang menarik lagi. Sebagaimana diketahui bersama, bermain gadget dalam waktu yang cukup lama dapat menghambat perkembangan sosial-emosi anak karena kurangnya bermain atau berinteraksi dengan lingkungannya. Anak yang sudah terlalu nyaman dan kecanduan, ketika keinginan bermain gadget tidak terpenuhi ia akan menangis, memberontak dan sebagai pelampiasannya dapat melempar bendabenda yang ada didekatnya. Begitu juga ketika anak bermain gadget sendirian dan hanya menikmati apa yang dilihatnya tanpa berkomunikasi dengan orang lain dapat menghambat perkembangan bahasanya. Hasil penelitian oleh Syifa Ameliola, dkk (2010) dikutip New York Times, bahwa terdapat anak yang ketergantungan pada iPad yaitu merengek ketika gadget tidak ditangannya. Bahkan ketika makan, belajar, bermain, dan tidur ia tidak bisa lepas dari gadget. Sementara orangtua tidak dapat melakukan suatu hal, melainkan dengan menuruti keinginannya (Mayenti, 2018). Padahal gadget tidak sepenuhnya berperan positif terhadap perkembangan dan pertumbuhan anak, justru anak memerlukan ekplorasi terhadap berbagai hal yang ada di lingkungan sekitarnya. Anak usia dini merupakan golden age (masa emas) yaitu masa kritis yang terjadi sekali dan tidak akan terulang kembali. Berkaitan dengan hal di atas, terdapat sebagian orangtua yang secara tidak langsung turut serta dalam memberikan dorongan terhadap penggunaan gadget pada anak yaitu ketika budaya asing bukan selalu cerminan perilaku yang buruk selama tidak melupakan budaya aslinya dan peratuanperaturan yang berlaku. Lebih dari itu, mencampurkan budaya lokal dan budaya modern justru menjadi inovasi yang patut untuk diapresiasi karena tidak meninggalkan, namun menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Masalah mulai muncul ketika budaya lokal Indonesia tersingkirkan, bahkan terlupakan oleh masyarakatnya sendiri. Mengutip dari kumparan.com (30/05/2018), bahwa lunturnya budaya bangsa terlihat dari pergeseran cara berbahasa. Saat ini, bahasa Jawa yang telah tertanam di seluruh masyarakat Indonesia tengah mengalami kelunturan. Pasalnya bahasa daerah tersebut sudah jarang terdengar dari masyarakat Indonesia, khususnya pulau Jawa karena banyaknya budaya asing yang masuk di Indonesia dan memberikan kontribusi negatif untuk generasi bangsa yaitu anak-anak muda dengan kemunculan trend, gaya, bahkan bahasa gaul. Trend bagi masyarakat merupakan sesuatu yang muncul sesuai dengan keadaan, kemudian dilihat dan ditiru hingga tidak memperdulikan baikburuk yang akan dirasakan sama halnya dengan mengikuti gaya (style) dari cara berpakaian dan rambut serta bahasa yang dianggap “gaul”. Keadaan demikian tidak hanya terjadi pada anak dewasa, namun sudah merambah luas pada anak-anak di pendidikan terendah yaitu PAUD. Anak usia dini menjadi bagian yang terbawa arus modernitas. Hal yang paling terlihat dengan beralihnya permainan tradisional dengan hadirnya gadget. Anak usia dini terlihat semakin nyaman duduk berlama-lama hanya karena bermain gadget secara 31 Yaa Bunayya Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini Volume 7, No 1, Mei, 2023 anak merupakan hasil pengaruh dari budaya, sehingga dalam menyusun perangkat pembelajaran dianjurkan agar sesuai dengan lingkungan budaya anak tersebut tinggal (Anik Lestaningrum, 2019). Berdasarkan urgensi permasalahan di atas, penulis melakukan penelitian di KB Among Siwi Bantul, Yogyakarta pada tahun 2019 yang menerapkan lembaga pendidikan berbasis budaya lokal. orangtua sering menggunakannya di depan anak dalam waktu cukup lama. Tidak memungkiri anak usia dini sebagai peniru ulung dan orangtua menjadi contohnya dalam berperilaku dan bersikap, secara otomatis menirukan hal sama di kemudian hari. Ditambah aktivitas sehari-hari orangtua dan masyarakat sekitar yang cukup tinggi pada dunia pekerjaan, sehingga jarang mendampingi anak bermain. Akhirnya anak mengisi aktivitas dengan bermain gadget, playstation, dan menonton TV (Widiastuti, 2012). Pengalihan bermain anak tersebut melunturkan rasa nasionalisme dengan perlahan-lahan menggantikan budaya lokal dengan budaya moden. Apabila permasalahan di atas tidak segera diselesaikan, maka kemungkinan besar budaya lokal Indonesia akan hilang. Oleh karena itu, diperlukan solusi alternatif salah satunya dengan menanamkan budaya lokal di lembaga pendidikan paling bawah yaitu pendidikan anak usia dini (PAUD). Guru disebut sebagai salah satu peran penting dalam budaya yaitu mengenalkannya beserta nilai karakter yang terkandung di dalamnya (Banu Setyo Adi, 2020). Oleh karena itu, lembaga PAUD menjadi ruang akternatif bagi guru dalam menyemai budaya lokal karena anak pada usia ini sedang barada difase pesatnya pertumbuhan dan perkembangan, masa meniru, dan eksplorasi dimana ia akan tumbuh sebagaimana pendidikan yang diberikan oleh lingkungannya. Sekolah dinyatakan dapat menjadi perantara social control untuk melestarikan nilai-nilai budaya lokal yang ada di masyarakat. Perlindungan oleh sekolah tersebut sebagai jalan mempertahankan nilai-nilai budaya lokal yang ada dalam masyarakat (Muzakki, 2015). Selain itu, perkembangan Pendidikan Anak Usia Dini dan Budaya Lokal Anak usia dini yang disebut sebagai golden age, merupakan anak yang sedang berada di masa perkembangan dan pertumbuhan yang sangat optimal. Bahkan suksesnya perkembangan anak usia dini tersebut akan menjadi patokan suksesnya perkembangan anak selanjutnya (Farida, 2014). Penyebutan rentan usia yang disebut anak usia dini ini memiliki perbedaan. Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 14 dinyatakan anak usia dini rentang 0-6 tahun (Rosida Nur Syamsyiati, 2019). Sementara, UNESCO menyatakan anak usia dini adalah 0-8 tahun. Perbedaan antara UNESCO dan Undang-Undang tersebut beralasan, bahwa anak usia 7-8 mengacu pada pertumbuhan dan perkembangannya. Usia 7-8 UNESCO menganggap anak masih di masa dependent (bergantung) pada orang lain khususnya orangtua dalam hal fisik maupun psikis dan baru akan menuju masa independent (mandiri) sebagaimana anak usia dini pada umumnya. Namun, di Indonesia sendiri usia 7-8 tahun sebagai masa sekolah dasar (SD). Di sisi lain, mengutip dari (Wiyani, 2014) bahwa terdapat tahap yang akan dilalui masa usia dini, yaitu bayi (0-1 tahun), kanak-kanak (1-3 tahun), dan prasekolah (3-6 tahun). Masing-masing tahapan akan 32 Nur Tanfidiyah: Implementasi PAUD Berbasis Budaya Lokal di KB Among Siwi, Dusun Pandes, Sewon, Bantul, Yogyakarta suku bangsa serta mengandung nilai, pengetahuan, kesenian, moral dan sebagainya (Kurniawati, 2017). Budaya tersebut akan turut mempengaruhi perkembangan anak. Nilai-nilai kebiasaan yang ada di masyarakat akan mempengaruhi berbagai perkembangan anak, misalnya ketika kebiasaan gotong royong, kebiasaan dalam penggunaan permainan tradisional dalam bermain akan mempengaruhi perkembangan sosial, bahasa, dan fisik motorik anak. Ketika bermain permainan tradisional melibatkan banyak anak, mereka saling berinteraksi yang secara tidak sadar dapat membangun jiwa sosial, kemudian saling berkomunikasi mendorong perkembangan bahasa anak, serta perlibatan fisik dalam bermain dapat mengembangkan fisik motorik. Ketika bermain pun terdapat aturan dan cara-cara tersendiri yang mendorong kognitif serta moral-agama anak. Permainan tradisional hanya sebagian kecil dari budaya lokal yang ditanamkan pada anak usia dini. Budaya lokal bukanlah wilayah yang sempit, namun nampak dalam berbagai hal. Oleh karena itu, penanaman budaya lokal sejak usia dini tidak hanya dalam bentuk permainan tradisional namun dari segi bahasa, norma, kebiasaan, dan kegiatan lainnya. menunjukkan perkembangan yang berbeda. Semakin berkembangannya usia, perkembangan anak akan semakin baik dan kompleks. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan anak usia dini yaitu anak yang berada direntan usia 0-6 tahun. Menurut Mulyasa (2012) para pakar pendidikan menyatakan, bahwa pentingnya periode anak usia dini sehingga sangat perlu diberikan penanganan. Bahkan menurut Montessori seorang pakar pendidikan anak usia dini dalam Hurlock (1978), bahwa anak usia dini berada di masa peka atau sensitif, masa adanya fungsi tertentu untuk dirangsang dan mengarahkannya sehingga perkembangannya tidak terhambat (Tanfidiyah, 2021). Perkembangan yang dimaksud berjumlah lima aspek, diantaranya; bahasa, kognitif, sosialemosional, fisik-motorik, dan moral-agama. Berkaitan pernyataan di atas, maka menjadi kesempatan yang besar bagi pendidik atau orangtua untuk menanamkan budaya lokal sejak usia dini. Budaya lokal yang syarat akan nilai-nilai moral, sosial, dan keindahan yang mampu mempengaruhi lima aspek perkembangan anak. Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (2002), adalah culture (budaya atau kebudayaan) dan terdiri dari tradisi, kebiasaan, nilai-nilai, norma, bahasa, keyakinan, dan berpikir yang terbentuk dalam masyarakat kemudian terwariskan dari satu generasi kegenerasi berikutnya serta memberikan identitas bagi komunitas yang mengikutinya atau menjadi cara hidup suatu masyarakat. Adapun tujuan pengenalan kebudayaan agar anak belajar sejalan dengan lingkungan dan sebagai bekal untuk kehidupan sekarang dan masa yang akan datang (Widiastuti, 2012). Kebudayaan memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan dan ciri dari suatu METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah kualitatif. Penelitian yang berusaha untuk melakukan deskripsi dan menganalisis suatu fenomena, peristiwa, akivitas sosial, pemikiran seseorang maupun suatu kelompok (Sukmadinata, 2013). Subjek penelitian adalah seluruh kelas A, objek penelitiannya adalah seluruh aktivitas yang dilakukan oleh KB Among Siwi baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Sementara 33 Yaa Bunayya Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini Volume 7, No 1, Mei, 2023 bahasa Indonesia. Sekolah ini terletak di Dusun Pandes, Sewon, Bantul, Yogyakarta. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di lapangan, masyarakat Sewon, Bantul cukup baik dalam melestarikan budaya lokal terlihat dari rumah beberapa warga yang masih menyimpan wayang, gamelan, dan lesung yang menurut hasil wawancara dengan salah satu guru KB Among Siwi yaitu Siti Maisah, bahwa dahulu lesung digunakan untuk menumbuk padi, namun seiring berjalannya waktu. lesung juga digunakan sebagai tarian tradisional yang menghasilkan musik khas. Dusun Pandes bagian dari daerah yang amat peduli dan cukup bagus dalam melestarikan, dan mengembangkan nilai budaya Jawa serta tradisi lokal. Bahkan, KB Among Siwi berdiri karena masyarakat setempat merasa khawatir dengan perkembangan zaman, di mana anak-anak lebih meniru budaya barat baik dari segi permainan, perilaku, dan cara berpikirnya jauh dari aturan-aturan atau norma yang sudah ada. Jenis permainan tradisional teralihkan pada gadget, play stations, dan games. Hal ini cukup mengkhawatirkan, karena permainan tradisional merupakan warisan khas budaya dan harus dilestarikan agar tidak hilang. Berdasarkan hal tersebut, warga Pandes, Sewon, Bantul Yogyakarta berinisiatif membentuk kampung dolanan. Kampung dolanan tersebut mengenalkan berbagai permainan tradisional seperti dakon, engklek, sluku-sluku batok, gobak sodor, dan sebagainya (Sudrajat, 2015). Siti Maisah juga menambahkan, latar belakang di atas juga menjadi alasan berdirinya KB Among Siwi oleh kepala desa Panggungharjo, Bantul, Yogyakarta. Sekolah KB Among Siwi dari segi bangunan tidak terlalu besar sebagaimana sekolah lainnya, hanya terdiri dari dua kelas pengumpulan data-data penelitian menggunakan tiga metode, diantaranya; pertama, metode observasi (observation) adalah kegiatan pengamatan pada suatu kegiatan yang sedang berproses. Observasi dilakukan secara langsung dan bersifat pasif, maksudnya peneliti hanya melihat secara proses kegiatannya di dalam kelas maupun di luar kelas dan tidak ikut terlibat dalam kegiatan di KB Among Siwi. Kedua, selain melakukan observasi, peneliti juga melakukan wawancara pada salah satu guru kelas yaitu Siti Maisah dan kepala sekolah yaitu Ibu Umi. Metode ketiga, peneliti mendokumentasikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan di KB Among siwi saat proses pembelajaran, alat permainan yang tersedia, dan foto-foto kegiatan di luar kelas. Dokumentasi ini dilakukan untuk memperkuat data-data hasil penelitian. Sejalan dengan (Arikunto, 2010), bahwa teknik untuk mengumpulkan data-data dari catatan, buku, dan data lainnya yang turut mendukung penelitian. Biasanya memperhatikan tiga hal yaitu tempat (place), kertas (paper), dan orang (people). Setelah semua data hasil penelitian terkumpul, selanjutnya peneliti melakukan kategorisasi, penyajian data, kemudian menyimpulkannya. HASIL DAN PEMBAHASAN KB TK Among Siwi Sekolah Berbasis Budaya Lokal Sekolah KB Among Siwi merupakan sekolah yang memang di desain untuk melestarikan budaya lokal yang dikolaborasikan dalam kurikulum. Semua pembelajaran dikaitkan dengan budaya lokal yang terlihat pada awal hingga akhir pembelajaran. Meskipun mengedepankan pelestarian budaya lokal, KB TK Among Siwi tidak melupakan bahasa nasional yaitu 34 Nur Tanfidiyah: Implementasi PAUD Berbasis Budaya Lokal di KB Among Siwi, Dusun Pandes, Sewon, Bantul, Yogyakarta Pembelajaran tersebut memberikan peluang bagi anak untuk berinteraksi, saling komunikasi, melakukan refleksi, dan bereksplorasi dengan anak lain maupun orang dewasa. Sejalan dengan hal tersebut, berdasarkan hasil observasi model pembelajaran yang diterapkan di KB Among Siwi masih menggunakan klasikal. Sementara proses pembelajarannya dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu pendahuluan, inti, dan penutup. Pertama, pendahuluan. Kegiatan pendahuluan di KB Among Siwi dilakukan dengan melingkar secara klasikal. Kegiatan pada tahap pendahuluan meliputi: berdoa sebelum belajar secara bersama-sama, kemudian guru memberikan salam kepada anak-anak dan anak satu kepada anak lainnya. Keunikan yang terlihat dari penanaman budaya lokal terlihat ketika memulai belajar dengan menyanyi salah satu lagu daerah dan lagu Indonesia secara bersama-sama. Bahkan komunikasi yang dilakukan dari awal hingga akhir pembelajaran menggunakan bahasa Jawa (krama dan ngoko) mulai dari menyapa anak-anak dan menanyakan kegiatan mereka di pagi hari, contohnya “Assalamu’alaikum, piye kabare?”, “Sopo sing mangkat sekola salaman karo Bapak lan Ibu?” dan sebagainya. Oleh karena sebagian besar anak KB Among Siwi adalah warga asli desa Bantul, sehingga dapat menggunakan bahasa Jawa (ngoko), walaupun belum semuanya bisa menggunakan bahasa Jawa (krama) dengan benar. Walaupun demikian, ketika anak mengucapkan bahasa Jawa kurang tepat, guru membantu dan mengingatkan. Kegiatan dan intruksi ini dilakukan secara terus-menerus melalui pembiasaan oleh guru dalam setiap pembelajaran, sehingga anak mudah yaitu kelas A dan B. Bangunan sekolah terbuat dari bambu dan tembok yang amat mencerminkan budaya lokal. Selain itu, terdapat fasilitas lain berupa dua toilet, satu kantor, dan satu pendopo sebagai tempat untuk melakukan berbagai aktivitas seperti membuat alat permainan tradisional, belajar menari, menyanyi, dan bermain. Halaman pun tidak terlalu luas, namun sudah terdapat alat permainan outdoor seperti papan seluncuran, ayunan, bak pasir, jungkatjungkit, dan papan untuk memanjat. Oleh karena lembaga PAUD sudah mulai berkembang pesat khususnya di daerah Bantul, hal inilah yang membuat jumlah anak di KB Among Siwi tidak banyak. Bahkan ketika peneliti melakukan observasi, hanya sekitar lima belas anak dan empat guru perempuan. KB Among Siwi telah menerapkan budaya lokal dalam setiap aktivitas pembelajaran yang dapat dilihat dari beberapa hal, sebagai berikut: Proses Pembelajaran di KB Among Siwi, Dusun Pandes, Sewon, Bantul, Yogyakarta Proses belajar mengajar di KB Among Siwi bisa dikatakan sama dengan PAUD pada umumnya yaitu menyanyi, menari, dan melakukan banyak aktivitas melalui bermain. Selain itu, pembelajaran di KB Among Siwi mendorong anak untuk aktif bereksplorasi terhadap lingkungan sekitar baik dengan benda bahan alam seperti daun, batang pohon, dan barang bekas maupun alam nyata seperti kebun, jalan, dan sawah. Sebagaimana Menurut Halimah dalam (Halimah, 2016), bahwa program pembelajaran dikatakan tepat apabila dapat mendorong anak aktif bereksplorasi atau menjelajahi lingkungan di dekitarnya. Anak belajar dengan mencoba meniru benda riil serta ikut terlibat atau merasakan langsung. 35 Yaa Bunayya Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini Volume 7, No 1, Mei, 2023 mengingatnya. Sejalan dengan teori behaviorisme dari seorang pakar aliran psikologi yang memandang, bahwa manusia belajar dipengaruhi oleh lingkungan melalui stimulus dan respon (Hamzah, 2015). Respon baik yang diulang-ulang tersebut akan diingat oleh anak dan berpotensi melakukan hal serupa di kemudian hari. Berkaitan dengan hal di atas, Siti Maisah selaku pengajar di kelas A, mengatakan bahwa pada kegiatan pendahuluan setelah memberikan braindstorming, terkadang terlebih dahulu mengajak anak-anak untuk jalan-jalan mengelilingi pemandangan sekitar seperti sawah, kebun, dan melewati rumah-rumah warga atau biasa disebut outdoor learning. Hal ini dilakukan untuk mengenalkan anak pada ciptaan Tuhan dan agar lebih dekat dengan alam, bahkan kegiatan seperti ini membuat anak lebih senang. Sejalan dengan pendapat Lestari dan Fitri dalam (Rezki Dwi Endah Lestari, 2016), bahwa melalui outdoor learning berupa pengenalan media alam dan benda yang konkret mampu meningkatkan kemampuan kognitif anak. Setelah kegiatan pengenalan lingkungan selesai, guru mengarahkan anak untuk kelas dan beristirahat beberapa saat sambil memberikan afirmasi. Selanjutnya menyampaikan apa yang akan dipelajari pada pertemuan hari itu. Selain keunikan di atas, kekurangan yang perlu untuk diperbaiki dalam pembelajaran di KB Among Siwi terlihat dari segi kurikulum yang masih butuh penataan lebih baik lagi. Gambar 1. Halaman sekolah, ruang kelas, dan proses awal pembelajaran Kedua, kegiatan inti. Oleh karena KB Among Siwi masih menggunakan model pembelajaran klasikal, kegiatan inti ini tidak mendorong anak untuk memilih sendiri aktivitas bermain yang diminatinya. Namun, guru memiliki tema khusus yang dipelajari pada hari itu. Berdasarkan observasi, kegiatan pembelajaran yang dilakukan adalah bernyanyi menghitung angka menggunakan bahasa Jawa, contohnya mengenalkan angka satu sama dengan “siji”, dua sama dengan “loro” hingga angka sepuluh. Kegiatan dilanjutkan dengan membuat gambar kendaraan dan mewarnainya. Selanjutnya anak-anak diarahkan menuju pendopo dan membuat satu kendaraan yaitu kapal laut menggunakan bahan alam yaitu batang pohon pisang, lidi, dan bendera merah putih dari kertas. Awalnya anak diberikan contoh untuk membuatnya, kemudian mempraktikannya secara langsung dengan tetap didamping oleh guru karena usia anak yang masih cukup kecil. Sebagai wujud apresiasi atas usaha mereka, hasil karya masing-masing dibawa pulang untuk 36 Nur Tanfidiyah: Implementasi PAUD Berbasis Budaya Lokal di KB Among Siwi, Dusun Pandes, Sewon, Bantul, Yogyakarta warisan turun-temurun dari orang zaman dahulu dan masih digunakan hingga saat ini oleh sebagian masyarakat. APE tradisional dibuat menggunakan bahan sisa dan bahan alam dari lingkungan sekitar dengan proses manual. Permainan tradisional bukan hanya sebagai alat untuk kesenangan namun memiliki sejarah yang bercorak rekreatif, pendidikan, religi, dan perlombaan (Wulansari, 2017). Berbeda dengan alat permainan edukatif modern yang sudah dipadukan dengan teknologi. Namun, saat ini, alat permainan edukatif tradisional sudah berinovasi lebih modern (Fadillah, 2018). Sebagaimana diketahui bersama, sebagian besar masyarakat Indonesia sudah teralihkan dengan berbagai permainan modern dari teknologi. Namun, ditengah kekhawatiran akan hilangnya warisan nenek moyang tersebut, KB Among Siwi mencoba melestarikannya dengan mengenalkan kepada anak usia dini. Berdasarkan hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi, beberapa APE tradisional yang ada di KB Among Siwi adalah wayang dari kertas, tanah liat, engklek, dakon, rumah-rumahan dari kardus, sebagian alat permainan modern yaitu puzzle, bola plastik, dan huruf dari bahan plastik. Selain itu, dilemari terlihat beberapa koleksi buku yang berisi cara melakukan permainan tradisional seperti gobak sodor, petak umpet, cublek-cublek suweng, jamuran, dan sebagainya. Purwaningsih (2006) menyatakan, bahwa permainan tradisional memiliki unsur nilai budaya dan Dharmamulya (2008) menambahkan tentang unsur nilai budaya tersebut berupa rasa senang dan gembira, kebebasan, tolong-menolong, patuh, melatih kemampuan dalam perhitungan, pola berpikir, jujur, dan keadilan (Hurustyanti, 2016). diperlihatkan kepada orangtuanya. Menurut Sukma Vavilya (2014) dalam Ambarwati (2014) menyatakan, bahwa memanfaatkan alam di sekeliling bisa membantu proses pembelajaran sebagai sumber belajarnya, sebab anak dapat menggunakan bendabenda yang sudah mereka ketahuai dan lihat sebelumnya sehingga mampu merubah perilaku anak sesuai yang diharapkan (Siti Misra Susanti, 2021). Perubahan perilaku tersebut dapat berupa mengahargai alam sekitar dan memanfaatkannya dengan baik. Ketiga, Kegiatan penutup. Tahap ini, anak-anak berkumpul dan duduk melingkar. Anak bersama guru bercakapcakap mengenai hal apa saja yang sudah mereka lakukan serta mengkonfirmasi sikap dan perilaku yang telah ditunjukkan anak selama kegiatan berlangsung. Menguatkan ketika sikap dan perilaku itu benar, dan mengarahkan ketika sikap dan perilaku yang ditunjukkan kurang sesuai, seperti tidak sabar dalam membuat perahu, sikap ketika belajar, dan memberi apresiasi bagi anak yang membuat perahu hingga selesai. Selanjutnya, anak diberikan snak siang dibawa oleh orangtua siswa secara bergiliran setiap hari. Hal unik dari snak yang dibawa orangtua di KB Among Siwi adalah harus berupa jajanan pasar atau desa sebagaimana yang dikatakan oleh Ibu Umi, bahwa ketentuan ini sengaja diberikan selain karena sehat, mengenalkan jajanan pasar atau desa pada anak juga untuk mengurangi konsumsi makanan ringan yang kurang bergizi. Berdasarkan hasil observasi, jajanan yang dibawa saat itu berupa lemper, lumpia, dan lapis. Alat Permainan Edukatif Tradisional Alat permainan edukatif (APE) tradisional adalah permainan yang mengandung nilai-nilai pendidikan hasil 37 Yaa Bunayya Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini Volume 7, No 1, Mei, 2023 adalah PAUD yang melestarikan budaya Lokal. KB Among Siwi menerapkan budaya lokal masyarakat dalam proses pembelajaran baik di dalam maupun di luar. Proses pembelajaran di dalam kelas terlihat ditiga tahap kegiatan yaitu pendahuluan, inti, dan penutup. Pertama, pendahuluan yang terlihat ketika memberi salam, menyanyi lagu bahasa Jawa, melakukan braindstorming, dan bahasa sehari-hari yang digunakan. Kedua, kegiatan inti materi berhitung menggunakan bahasa Jawa, menyanyi lagu Jawa, membuat karya dari barang bekas dan bahan alam. Ketiga, kegaiatan penutup, yang diisi dengan bercakap-cakap bersama tentang kegaiatan yang sudah dilakukan menggunakan bahasa Jawa, memberikan sekaligus mengenalkan snak berupa jajanan pasar atau desa contohnya kue lemper, lumpia, dan lapis. Selain kegiatan di dalam kelas, kegiatan di luar kelas yaitu berkeliling untuk mengenal alam lebih dekat dan menghargai ciptaan Allah. Bahkan KB Among Siwi memberi kesempatan kepada anak untuk melukis baju sendiri sebagai salah satu seragam yang digunakan untuk kegiatan bermain serta menyediakan berbagai alat permainan serta buku-buku yang mengajarkan aneka permainan tradisional. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa KB Among Siwi mencoba mengenalkan kepada anak dan melestarikan dengan baik budaya lokal agar tidak punah meskipun zaman terus berkembang. Di sisi lain, KB ini perlu untuk mengembangkan kurikulumnya agar berjalan lebih baik, tertata, dan terarah, sehingga mampu lebih menarik banyak masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di sini. Gambar 2. Contoh APE tradisional dan bahan sisa Baju yang Digunakan Anak di KB Among Siwi Salah satu hal yang menjadi keunikan KB ini adalah dari seragam yang digunakan, tidak seperti PAUD pada umumnya yang menggunakan seragam sama, KB Among Siwi membebaskan anak-anak untuk sekolah dengan menggunakan baju bebas walaupun seragam olahraganya tetap sama. Hal unik lainnya terlihat ketika anak-anak mengecat baju polos dengan pewarna sesuai keinginannya. Kemudian, baju hasil mewarnai tersebut digunakan sebagai salah satu seragam KB Among Siwi. Menurut Siti Maisah selaku guru KB Among Siwi, aktivitas tersebut sengaja dilakukan agar anak merasa senang dan puas atas karyanya sendiri. Baju inilah yang akan digunakan untuk agenda-agenda tertentu yang diadakan oleh KB Among Siwi, salah satunya adalah bermain permainan. SIMPULAN DAN SARAN KB Among Siwi yang terletak di dukuh Pandes, Sewon, Bantul Yogyakarta 38 Nur Tanfidiyah: Implementasi PAUD Berbasis Budaya Lokal di KB Among Siwi, Dusun Pandes, Sewon, Bantul, Yogyakarta DAFTAR PUSTAKA Artikel Adi, B. S., Sudaryanti, S., & Muthmainah, M. (2020). Implementasi permainan tradisional dalam pembelajaran anak usia dini sebagai pembentuk karakter bangsa. Jurnal Pendidikan Anak, 9(1), 33–39. https://doi.org/10.21831/jpa.v9i1.31375 Adi, B. S., Sudaryanti, S., & Muthmainah, M. (2020). Implementasi permainan tradisional dalam pembelajaran anak usia dini sebagai pembentuk karakter bangsa. Jurnal Pendidikan Anak, 9(1), 33–39. https://doi.org/10.21831/jpa.v9i1.31375 Farida, F. (2018). UPAYA MENGOPTIMALKAN PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI. ThufuLA: Jurnal Inovasi Pendidikan Guru Raudhatul Athfal, 2(1), 1. https://doi.org/10.21043/thufula.v2i1.4263 Hamartini, Komang Trisna. (2019). Pendidikan Berbasis Budaya Lokal Bagi Anak Usia Dini Dalam Mengusung Revolusi Industri 4.0. Prosiding Seminar Nasional Dharma Acarya ke-1 STHN Mpu Kuturan Singaraja, 357-366. Komang Trisna Mahartini. (2019). Pendidikan Berbasis Budaya Lokal Bagi Anak Usia Dini Dalam Mengusung Revolusi Industri 4.0. Prosiding Seminar Nasional Dharma, 357– 366. Kurniawati, Eni. (2017). Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Budaya Lokal untuk Menanamkan Karakter Keagamaan. Sendika: Prosiding Nasional. Yogyakarta, Universitas Ahmad Dahlan, 17. Lestari, Rezki Dwi Endah dan Ruqoyyah Fitri. (2016). Peningkatan Kemampuan Mengenal Warna Melalui Outdoor Learning Bermedia Lingkungan Alam Pada Anak Kelompok A. Jurnal PAUD Teratai, 3(5), 1-5. Lestariningrum, A., & Wijaya, I. P. (2019). Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Budaya Lokal di TK Negeri Pembina Kota Kediri. PAUDIA : Jurnal Penelitian Dalam Bidang Pendidikan Anak Usia Dini, 8(2). https://doi.org/10.26877/paudia.v8i2.4755 Maryatun, I. B., Pamungkas, J., & Christianti, M. (2017). KEMAMPUAN GURU TAMAN KANAK-KANAK DI YOGYAKARTA DALAM MENGEMBANGKAN TEMA PEMBELAJARAN BERBASIS BUDAYA LOKAL. JURNAL PENELITIAN ILMU PENDIDIKAN, 10(1), 1. https://doi.org/10.21831/jpipfip.v10i1.16791 Mayenti, N. F., & Sunita, I. (2018). DAMPAK PENGGUNAAN GADGET TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI DI PAUD DAN TK TARUNA ISLAM 39 Yaa Bunayya Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini Volume 7, No 1, Mei, 2023 PEKANBARU. Photon: Jurnal Sain Dan Kesehatan, 9(1), 208–213. https://doi.org/10.37859/jp.v9i1.1092 Muzakki, M., & Fauziah, P. Y. (2015). Implementasi pembelajaran anak usia dini berbasis budaya lokal di PAUD full day school. Jurnal Pendidikan Dan Pemberdayaan Masyarakat, 2(1), 39. https://doi.org/10.21831/jppm.v2i1.4842 Taat Wulandari, Agustina Tri Wijayanti, S. (2015). MUATAN NILAI-NILAI KARAKTER MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL DI PAUD AMONG SIWI, PANGGUNGHARJO, SEWON, BANTUL. JIPSINDO. https://doi.org/10.21831/jipsindo.v0i0.4524 Widiastuti, S. (2015). Pembelajaran Proyek Berbasis Budaya Lokal untuk Menstimulasi Kecerdasan Majemuk Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Anak, 1(1). https://doi.org/10.21831/jpa.v1i1.2907 Wulandari, R. S., & Hurustyanti, H. (2016). CHARACTER BUILDING ANAK USIA DINI MELALUI OPTIMALISASI FUNGSI PERMAINAN TRADISIONAL BERBASIS BUDAYA LOKAL. Indonesian Language Education and Literature, 2(1), 22. https://doi.org/10.24235/ileal.v2i1.988 Wulansari, B. Y. (2017). PELESTARIAN SENI BUDAYA DAN PERMAINAN TRADISIONAL MELALUI TEMA KEARIFAN LOKAL DALAM KURIKULUM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI. Jurnal INDRIA (Jurnal Ilmiah Pendidikan Prasekolah Dan Sekolah Awal), 2(1), 1–11. https://doi.org/10.24269/jin.v2n1.2017.pp111 Buku Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta Fadillah, M. (2018). Bermain dan Permainan. Jakarta: Prenada Media Group. Halimah, Leli. (2016). Pengembangan Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Refika Aditama. Hamzah, Nur. (2015). Perkembangan Sosial Anak Usia Dini. Pontianak: IAIN Pontianak Press. Sukmadinata, Nana Syaodih. (2013). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Syamsyiati, Rosida Nur, dkk. (2019). Konsep Dasar PAUD. Yogyakarta: Gerbang Media. 40