ISSN: 2580-4197 (print)
ISSN: 2685-0281 (on line)
E-mail: bunayyajurnalpaudumj@gmail.com
Volume 7 Issue 1 (2023) Pages 29-40
IMPLEMENTASI PAUD BERBASIS BUDAYA LOKAL
DI KB AMONG SIWI DUSUN PANDES, SEWON, BANTUL,
YOGYAKARTA
Nur Tanfidiyah1)*
1) Pendidikan Islam Anak Usia Dini, Universitas Raden Mas Said Surakarta, Jl. Pandawa,
Dusun IV, Pucangan, Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah, 57168
* n.tanfidiyah@gmail.com
Diterima: 01 02 2023
Direvisi: 05 03 2023
Disetujui: 25 04 2023
Abstrak
Arus globalisasi yang terus berkembang turut mempengaruhi masyarakat Indonesia dari segi
pakaian, pola pikir, gaya hidup bahkan menggeser budaya lokal Indonesia. Oleh karena itu,
dibutuhkan pelestarian budaya lokal melalui lembaga pendidikan terendah yaitu PAUD.
Berkaitan dengan hal itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
implementasi PAUD berbasis budaya lokal yang berada di KB Among Siwi Dusun Pandes,
Sewon, Bantul, Yogyakarta. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan
menggunakan tiga metode yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi. Kemudian peneliti
melakukan kategorisasi, penyajian data, dan menyimpulkan data hasil penelitian yang telah
terkumpul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, KB Among Siwi menerapkan budaya lokal
dalam setiap aktivitas pembelajaran diantaranya berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa,
menyanyi lagu bahasa Jawa (tradisional), menyediakan APE berbasis budaya lokal seperti
wayang, tanah liat, rumah-rumahan dari kardus, congklak, engklek, dan sebagainya serta
beberapa buku yang mengajarkan permainan tradisional berupa cublek-cublek suweng,
jamuran, gobak sodor dan sebagainya. Selain itu, pembelajaran dengan mengenalkan alam
sekitar, membuat hasil karya dengan barang bekas dan bahan alam, melukis baju sebagai
seragam, dan makanan yang disediakan setelah belajar berupa jajan pasar atau desa. KB
Among Siwi telah melestarikan budaya lokal sejak dini dengan cukup baik. Namun, perlu
mengembangkan kurikulumnya agar lebih tertara, terarah dan menjadi lebih baik
Kata Kunci: Pendidikan Anak Usiadini, Budaya Lokal, KB Among Siwi
Yaa Bunayya Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini
Volume 7, No 1, Mei, 2023
Abstract
The growing current of globalization has also influenced Indonesian society in terms of
clothing, mindset, lifestyle and even shifting Indonesian local culture. Therefore, it is
necessary to preserve local culture through the lowest educational institution, namely PAUD.
In this regard, the purpose of this study is to find out how the implementation of local culturebased PAUD in KB Among Siwi Dusun Pandes, Sewon, Bantul, Yogyakarta. The type of
research used is qualitative, using three methods, namely observation, interviews, and
documentation. Then the researcher categorizes, presents the data, and concludes the
research data that has been collected. The results show that KB Among Siwi applies local
culture in every learning activity including communicating using Javanese, singing Javanese
(traditional) songs, providing APE based on local culture such as wayang, clay, cardboard
houses, congklak, engklek, and so on as well as several books that teach traditional games in
the form of cubes of suweng, mushrooms, gobak sodor and so on. In addition, learning by
introducing the natural surroundings, making works with used goods and natural materials,
painting clothes as uniforms, and the food provided after learning is in the form of market or
village snacks. KB Among Siwi has preserved local culture from an early age quite well.
However, it is necessary to develop the curriculum so that it is more targeted, directed and
better.
Keywords: Early Childhood Education, Local Culture, Among Siwi Playgroup
PENDAHULUAN
Arus
globalisasi
yang
terus
berkembangan membuat dunia semakin
moden dan perubahan dalam suatu negara
dapat terlihat jelas, tidak lain bagi
masyarakat di negara Indonesia. Keadaan
tersebut karena pengaruh masuknya budaya
asing dalam lini kehidupan masyarakat
Indonesia baik dari gaya hidup, makanan,
cara berpakaian, dan musik yang sebagian
besar diminati anak-anak muda Indonesia.
Padahal Indonesia adalah negara kaya akan
budaya hingga ribuan peninggalan dari
nenek moyang. Budaya yang unik dan
tersebar luas diseluruh wilayah Indonesia.
Selain itu, budaya lokal memiliki makna
dan memberikan simbol tertentu. Menurut
Jackman (2012), budaya adalah tema yang
amat
bagus
dikembangkan
dalam
pembelajaran (Ika Budi Maryatun, 2017).
Oleh karena itu, penting bagi setiap
masyarakat Indonesia untuk menjaga dan
melestarikannya serta penyaring budaya
asing yang masuk Indonesia (Mahartini,
2019).
Berbeda dari kenyataan di atas,
modernitas membuat budaya Indonesia naik
turun akibat tercampurnya budaya asing
yang tidak tekontrol. Bahkan sebagian
masyarakat menganggap budaya lokal
adalah kondisi yang tertinggal oleh zaman.
Kondisi demikian nampak terlihat jelas
pada generasi milenial bahkan dari usia
dini. Di sisi lain, sejatinya mengikuti
30
Nur Tanfidiyah: Implementasi PAUD Berbasis Budaya Lokal di KB Among Siwi,
Dusun Pandes, Sewon, Bantul, Yogyakarta
berlebihan
tanpa
melihat
dan
memperdulikan lingkungan sekitarnya.
Permainan seperti mobil-mobilan, rumahrumahan, sluncuran, congklak, petak
umpat, bermain wayang, gasing, dan
sebagainya dirasa kurang menarik lagi.
Sebagaimana diketahui bersama,
bermain gadget dalam waktu yang cukup
lama dapat menghambat perkembangan
sosial-emosi anak karena kurangnya
bermain
atau
berinteraksi
dengan
lingkungannya. Anak yang sudah terlalu
nyaman dan kecanduan, ketika keinginan
bermain gadget tidak terpenuhi ia akan
menangis, memberontak dan sebagai
pelampiasannya dapat melempar bendabenda yang ada didekatnya. Begitu juga
ketika anak bermain gadget sendirian dan
hanya menikmati apa yang dilihatnya tanpa
berkomunikasi dengan orang lain dapat
menghambat perkembangan bahasanya.
Hasil penelitian oleh Syifa Ameliola, dkk
(2010) dikutip New York Times, bahwa
terdapat anak yang ketergantungan pada
iPad yaitu merengek ketika gadget tidak
ditangannya. Bahkan ketika makan, belajar,
bermain, dan tidur ia tidak bisa lepas dari
gadget. Sementara orangtua tidak dapat
melakukan suatu hal, melainkan dengan
menuruti keinginannya (Mayenti, 2018).
Padahal gadget tidak sepenuhnya berperan
positif terhadap perkembangan dan
pertumbuhan anak, justru anak memerlukan
ekplorasi terhadap berbagai hal yang ada di
lingkungan sekitarnya. Anak usia dini
merupakan golden age (masa emas) yaitu
masa kritis yang terjadi sekali dan tidak
akan terulang kembali.
Berkaitan dengan hal di atas,
terdapat sebagian orangtua yang secara
tidak
langsung turut serta dalam
memberikan
dorongan
terhadap
penggunaan gadget pada anak yaitu ketika
budaya asing bukan selalu cerminan
perilaku yang buruk selama tidak
melupakan budaya aslinya dan peratuanperaturan yang berlaku. Lebih dari itu,
mencampurkan budaya lokal dan budaya
modern justru menjadi inovasi yang patut
untuk
diapresiasi
karena
tidak
meninggalkan,
namun
menyesuaikan
dengan perkembangan zaman.
Masalah mulai muncul ketika
budaya lokal Indonesia tersingkirkan,
bahkan terlupakan oleh masyarakatnya
sendiri. Mengutip dari kumparan.com
(30/05/2018), bahwa lunturnya budaya
bangsa terlihat dari pergeseran cara
berbahasa. Saat ini, bahasa Jawa yang telah
tertanam di seluruh masyarakat Indonesia
tengah mengalami kelunturan. Pasalnya
bahasa daerah tersebut sudah jarang
terdengar dari masyarakat Indonesia,
khususnya pulau Jawa karena banyaknya
budaya asing yang masuk di Indonesia dan
memberikan kontribusi negatif untuk
generasi bangsa yaitu anak-anak muda
dengan kemunculan trend, gaya, bahkan
bahasa gaul. Trend bagi masyarakat
merupakan sesuatu yang muncul sesuai
dengan keadaan, kemudian dilihat dan
ditiru hingga tidak memperdulikan baikburuk yang akan dirasakan sama halnya
dengan mengikuti gaya (style) dari cara
berpakaian dan rambut serta bahasa yang
dianggap “gaul”.
Keadaan demikian tidak hanya
terjadi pada anak dewasa, namun sudah
merambah luas pada anak-anak di
pendidikan terendah yaitu PAUD. Anak
usia dini menjadi bagian yang terbawa arus
modernitas. Hal yang paling terlihat dengan
beralihnya permainan tradisional dengan
hadirnya gadget. Anak usia dini terlihat
semakin nyaman duduk berlama-lama
hanya karena bermain gadget secara
31
Yaa Bunayya Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini
Volume 7, No 1, Mei, 2023
anak merupakan hasil pengaruh dari
budaya,
sehingga dalam menyusun
perangkat pembelajaran dianjurkan agar
sesuai dengan lingkungan budaya anak
tersebut tinggal (Anik Lestaningrum, 2019).
Berdasarkan urgensi permasalahan di atas,
penulis melakukan penelitian di KB Among
Siwi Bantul, Yogyakarta pada tahun 2019
yang menerapkan lembaga pendidikan
berbasis budaya lokal.
orangtua sering menggunakannya di depan
anak dalam waktu cukup lama. Tidak
memungkiri anak usia dini sebagai peniru
ulung dan orangtua menjadi contohnya
dalam berperilaku dan bersikap, secara
otomatis menirukan hal sama di kemudian
hari.
Ditambah
aktivitas sehari-hari
orangtua dan masyarakat sekitar yang
cukup tinggi pada dunia pekerjaan,
sehingga jarang
mendampingi anak
bermain. Akhirnya anak mengisi aktivitas
dengan bermain gadget, playstation, dan
menonton
TV
(Widiastuti,
2012).
Pengalihan
bermain
anak
tersebut
melunturkan rasa nasionalisme dengan
perlahan-lahan menggantikan budaya lokal
dengan budaya moden.
Apabila permasalahan di atas tidak
segera diselesaikan, maka kemungkinan
besar budaya lokal Indonesia akan hilang.
Oleh karena itu, diperlukan solusi alternatif
salah satunya dengan menanamkan budaya
lokal di lembaga pendidikan paling bawah
yaitu pendidikan anak usia dini (PAUD).
Guru disebut sebagai salah satu peran
penting
dalam
budaya
yaitu
mengenalkannya beserta nilai karakter yang
terkandung di dalamnya (Banu Setyo Adi,
2020). Oleh karena itu, lembaga PAUD
menjadi ruang akternatif bagi guru dalam
menyemai budaya lokal karena anak pada
usia ini sedang barada difase pesatnya
pertumbuhan dan perkembangan, masa
meniru, dan eksplorasi dimana ia akan
tumbuh sebagaimana pendidikan yang
diberikan oleh lingkungannya. Sekolah
dinyatakan dapat menjadi perantara social
control untuk melestarikan nilai-nilai
budaya lokal yang ada di masyarakat.
Perlindungan oleh sekolah tersebut sebagai
jalan mempertahankan nilai-nilai budaya
lokal yang ada dalam masyarakat
(Muzakki, 2015). Selain itu, perkembangan
Pendidikan Anak Usia Dini dan Budaya
Lokal
Anak usia dini yang disebut sebagai
golden age, merupakan anak yang sedang
berada di masa perkembangan dan
pertumbuhan yang sangat optimal. Bahkan
suksesnya perkembangan anak usia dini
tersebut akan menjadi patokan suksesnya
perkembangan anak selanjutnya (Farida,
2014). Penyebutan rentan usia yang disebut
anak usia dini ini memiliki perbedaan.
Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 1 ayat 14 dinyatakan anak
usia dini rentang 0-6 tahun (Rosida Nur
Syamsyiati, 2019). Sementara, UNESCO
menyatakan anak usia dini adalah 0-8
tahun. Perbedaan antara UNESCO dan
Undang-Undang tersebut beralasan, bahwa
anak usia 7-8 mengacu pada pertumbuhan
dan perkembangannya. Usia 7-8 UNESCO
menganggap anak masih di masa dependent
(bergantung) pada orang lain khususnya
orangtua dalam hal fisik maupun psikis dan
baru akan menuju masa independent
(mandiri) sebagaimana anak usia dini pada
umumnya. Namun, di Indonesia sendiri usia
7-8 tahun sebagai masa sekolah dasar (SD).
Di sisi lain, mengutip dari (Wiyani, 2014)
bahwa terdapat tahap yang akan dilalui
masa usia dini, yaitu bayi (0-1 tahun),
kanak-kanak (1-3 tahun), dan prasekolah
(3-6 tahun). Masing-masing tahapan akan
32
Nur Tanfidiyah: Implementasi PAUD Berbasis Budaya Lokal di KB Among Siwi,
Dusun Pandes, Sewon, Bantul, Yogyakarta
suku bangsa serta mengandung nilai,
pengetahuan,
kesenian,
moral
dan
sebagainya (Kurniawati, 2017). Budaya
tersebut
akan
turut
mempengaruhi
perkembangan anak. Nilai-nilai kebiasaan
yang
ada
di
masyarakat
akan
mempengaruhi berbagai perkembangan
anak, misalnya ketika kebiasaan gotong
royong, kebiasaan dalam penggunaan
permainan tradisional dalam bermain akan
mempengaruhi
perkembangan
sosial,
bahasa, dan fisik motorik anak. Ketika
bermain permainan tradisional melibatkan
banyak anak, mereka saling berinteraksi
yang secara tidak sadar dapat membangun
jiwa sosial, kemudian saling berkomunikasi
mendorong perkembangan bahasa anak,
serta perlibatan fisik dalam bermain dapat
mengembangkan fisik motorik. Ketika
bermain pun terdapat aturan dan cara-cara
tersendiri yang mendorong kognitif serta
moral-agama anak.
Permainan
tradisional
hanya
sebagian kecil dari budaya lokal yang
ditanamkan pada anak usia dini. Budaya
lokal bukanlah wilayah yang sempit, namun
nampak dalam berbagai hal. Oleh karena
itu, penanaman budaya lokal sejak usia dini
tidak hanya dalam bentuk permainan
tradisional namun dari segi bahasa, norma,
kebiasaan, dan kegiatan lainnya.
menunjukkan perkembangan yang berbeda.
Semakin
berkembangannya
usia,
perkembangan anak akan semakin baik dan
kompleks. Oleh karena itu, yang dimaksud
dengan anak usia dini yaitu anak yang
berada direntan usia 0-6 tahun. Menurut
Mulyasa (2012) para pakar pendidikan
menyatakan, bahwa pentingnya periode
anak usia dini sehingga sangat perlu
diberikan penanganan. Bahkan menurut
Montessori seorang pakar pendidikan anak
usia dini dalam Hurlock (1978), bahwa
anak usia dini berada di masa peka atau
sensitif, masa adanya fungsi tertentu untuk
dirangsang dan mengarahkannya sehingga
perkembangannya
tidak
terhambat
(Tanfidiyah, 2021). Perkembangan yang
dimaksud
berjumlah
lima
aspek,
diantaranya; bahasa, kognitif, sosialemosional, fisik-motorik, dan moral-agama.
Berkaitan pernyataan di atas, maka
menjadi kesempatan yang besar bagi
pendidik atau orangtua untuk menanamkan
budaya lokal sejak usia dini. Budaya lokal
yang syarat akan nilai-nilai moral, sosial,
dan keindahan yang mampu mempengaruhi
lima
aspek
perkembangan
anak.
Kebudayaan menurut Koentjaraningrat
(2002), adalah culture (budaya atau
kebudayaan) dan terdiri dari tradisi,
kebiasaan, nilai-nilai, norma, bahasa,
keyakinan, dan berpikir yang terbentuk
dalam masyarakat kemudian terwariskan
dari satu generasi kegenerasi berikutnya
serta memberikan identitas bagi komunitas
yang mengikutinya atau menjadi cara hidup
suatu
masyarakat.
Adapun
tujuan
pengenalan kebudayaan agar anak belajar
sejalan dengan lingkungan dan sebagai
bekal untuk kehidupan sekarang dan masa
yang akan datang (Widiastuti, 2012).
Kebudayaan memiliki arti yang sangat
penting bagi kehidupan dan ciri dari suatu
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan
oleh peneliti adalah kualitatif. Penelitian
yang berusaha untuk melakukan deskripsi
dan
menganalisis
suatu
fenomena,
peristiwa,
akivitas sosial, pemikiran
seseorang
maupun
suatu
kelompok
(Sukmadinata, 2013). Subjek penelitian
adalah seluruh kelas A, objek penelitiannya
adalah seluruh aktivitas yang dilakukan
oleh KB Among Siwi baik di dalam kelas
maupun di luar kelas. Sementara
33
Yaa Bunayya Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini
Volume 7, No 1, Mei, 2023
bahasa Indonesia. Sekolah ini terletak di
Dusun Pandes, Sewon, Bantul, Yogyakarta.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan
di lapangan, masyarakat Sewon, Bantul
cukup baik dalam melestarikan budaya
lokal terlihat dari rumah beberapa warga
yang masih menyimpan wayang, gamelan,
dan lesung yang menurut hasil wawancara
dengan salah satu guru KB Among Siwi
yaitu Siti Maisah, bahwa dahulu lesung
digunakan untuk menumbuk padi, namun
seiring berjalannya waktu. lesung juga
digunakan sebagai tarian tradisional yang
menghasilkan musik khas.
Dusun Pandes bagian dari daerah
yang amat peduli dan cukup bagus dalam
melestarikan, dan mengembangkan nilai
budaya Jawa serta tradisi lokal. Bahkan,
KB Among Siwi berdiri karena masyarakat
setempat
merasa
khawatir
dengan
perkembangan zaman, di mana anak-anak
lebih meniru budaya barat baik dari segi
permainan, perilaku, dan cara berpikirnya
jauh dari aturan-aturan atau norma yang
sudah ada. Jenis permainan tradisional
teralihkan pada gadget, play stations, dan
games. Hal ini cukup mengkhawatirkan,
karena permainan tradisional merupakan
warisan khas budaya dan harus dilestarikan
agar tidak hilang. Berdasarkan hal tersebut,
warga Pandes, Sewon, Bantul Yogyakarta
berinisiatif membentuk kampung dolanan.
Kampung dolanan tersebut mengenalkan
berbagai permainan tradisional seperti
dakon, engklek, sluku-sluku batok, gobak
sodor, dan sebagainya (Sudrajat, 2015). Siti
Maisah juga menambahkan, latar belakang
di atas juga menjadi alasan berdirinya KB
Among
Siwi
oleh
kepala
desa
Panggungharjo, Bantul, Yogyakarta.
Sekolah KB Among Siwi dari segi
bangunan tidak terlalu besar sebagaimana
sekolah lainnya, hanya terdiri dari dua kelas
pengumpulan
data-data
penelitian
menggunakan tiga metode, diantaranya;
pertama, metode observasi (observation)
adalah kegiatan pengamatan pada suatu
kegiatan yang sedang berproses. Observasi
dilakukan secara langsung dan bersifat
pasif, maksudnya peneliti hanya melihat
secara proses kegiatannya di dalam kelas
maupun di luar kelas dan tidak ikut terlibat
dalam kegiatan di KB Among Siwi. Kedua,
selain melakukan observasi, peneliti juga
melakukan wawancara pada salah satu guru
kelas yaitu Siti Maisah dan kepala sekolah
yaitu Ibu Umi. Metode ketiga, peneliti
mendokumentasikan
kegiatan-kegiatan
yang dilakukan di KB Among siwi saat
proses pembelajaran, alat permainan yang
tersedia, dan foto-foto kegiatan di luar
kelas. Dokumentasi ini dilakukan untuk
memperkuat data-data hasil penelitian.
Sejalan dengan (Arikunto, 2010), bahwa
teknik untuk mengumpulkan data-data dari
catatan, buku, dan data lainnya yang turut
mendukung
penelitian.
Biasanya
memperhatikan tiga hal yaitu tempat
(place), kertas (paper), dan orang (people).
Setelah semua data hasil penelitian
terkumpul, selanjutnya peneliti melakukan
kategorisasi, penyajian data, kemudian
menyimpulkannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
KB TK Among Siwi Sekolah Berbasis
Budaya Lokal
Sekolah
KB
Among
Siwi
merupakan sekolah yang memang di desain
untuk melestarikan budaya lokal yang
dikolaborasikan dalam kurikulum. Semua
pembelajaran dikaitkan dengan budaya
lokal yang terlihat pada awal hingga akhir
pembelajaran. Meskipun mengedepankan
pelestarian budaya lokal, KB TK Among
Siwi tidak melupakan bahasa nasional yaitu
34
Nur Tanfidiyah: Implementasi PAUD Berbasis Budaya Lokal di KB Among Siwi,
Dusun Pandes, Sewon, Bantul, Yogyakarta
Pembelajaran tersebut memberikan peluang
bagi anak untuk berinteraksi, saling
komunikasi, melakukan refleksi, dan
bereksplorasi dengan anak lain maupun
orang dewasa.
Sejalan dengan hal tersebut,
berdasarkan
hasil
observasi
model
pembelajaran yang diterapkan di KB
Among Siwi masih menggunakan klasikal.
Sementara
proses
pembelajarannya
dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu
pendahuluan, inti, dan penutup. Pertama,
pendahuluan. Kegiatan pendahuluan di KB
Among Siwi dilakukan dengan melingkar
secara klasikal. Kegiatan pada tahap
pendahuluan meliputi: berdoa sebelum
belajar secara bersama-sama, kemudian
guru memberikan salam kepada anak-anak
dan anak satu kepada anak lainnya.
Keunikan yang terlihat dari penanaman
budaya lokal terlihat ketika memulai belajar
dengan menyanyi salah satu lagu daerah
dan lagu Indonesia secara bersama-sama.
Bahkan komunikasi yang dilakukan dari
awal
hingga
akhir
pembelajaran
menggunakan bahasa Jawa (krama dan
ngoko) mulai dari menyapa anak-anak dan
menanyakan kegiatan mereka di pagi hari,
contohnya
“Assalamu’alaikum,
piye
kabare?”, “Sopo sing mangkat sekola
salaman karo Bapak lan Ibu?” dan
sebagainya. Oleh karena sebagian besar
anak KB Among Siwi adalah warga asli
desa Bantul, sehingga dapat menggunakan
bahasa Jawa (ngoko), walaupun belum
semuanya bisa menggunakan bahasa Jawa
(krama) dengan benar. Walaupun demikian,
ketika anak mengucapkan bahasa Jawa
kurang tepat, guru membantu dan
mengingatkan. Kegiatan dan intruksi ini
dilakukan secara terus-menerus melalui
pembiasaan oleh guru dalam setiap
pembelajaran, sehingga anak mudah
yaitu kelas A dan B. Bangunan sekolah
terbuat dari bambu dan tembok yang amat
mencerminkan budaya lokal. Selain itu,
terdapat fasilitas lain berupa dua toilet, satu
kantor, dan satu pendopo sebagai tempat
untuk melakukan berbagai aktivitas seperti
membuat alat permainan tradisional, belajar
menari, menyanyi, dan bermain. Halaman
pun tidak terlalu luas, namun sudah terdapat
alat permainan outdoor seperti papan
seluncuran, ayunan, bak pasir, jungkatjungkit, dan papan untuk memanjat. Oleh
karena lembaga PAUD sudah mulai
berkembang pesat khususnya di daerah
Bantul, hal inilah yang membuat jumlah
anak di KB Among Siwi tidak banyak.
Bahkan
ketika
peneliti
melakukan
observasi, hanya sekitar lima belas anak
dan empat guru perempuan. KB Among
Siwi telah menerapkan budaya lokal dalam
setiap aktivitas pembelajaran yang dapat
dilihat dari beberapa hal, sebagai berikut:
Proses Pembelajaran di KB Among Siwi,
Dusun
Pandes,
Sewon,
Bantul,
Yogyakarta
Proses belajar mengajar di KB
Among Siwi bisa dikatakan sama dengan
PAUD pada umumnya yaitu menyanyi,
menari, dan melakukan banyak aktivitas
melalui bermain. Selain itu, pembelajaran
di KB Among Siwi mendorong anak untuk
aktif bereksplorasi terhadap lingkungan
sekitar baik dengan benda bahan alam
seperti daun, batang pohon, dan barang
bekas maupun alam nyata seperti kebun,
jalan, dan sawah. Sebagaimana Menurut
Halimah dalam (Halimah, 2016), bahwa
program pembelajaran dikatakan tepat
apabila dapat mendorong anak aktif
bereksplorasi atau menjelajahi lingkungan
di dekitarnya. Anak belajar dengan
mencoba meniru benda riil serta ikut
terlibat
atau
merasakan
langsung.
35
Yaa Bunayya Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini
Volume 7, No 1, Mei, 2023
mengingatnya. Sejalan dengan teori
behaviorisme dari seorang pakar aliran
psikologi yang memandang, bahwa
manusia
belajar
dipengaruhi
oleh
lingkungan melalui stimulus dan respon
(Hamzah, 2015). Respon baik yang
diulang-ulang tersebut akan diingat oleh
anak dan berpotensi melakukan hal serupa
di kemudian hari.
Berkaitan dengan hal di atas, Siti
Maisah selaku pengajar di kelas A,
mengatakan
bahwa
pada
kegiatan
pendahuluan
setelah
memberikan
braindstorming, terkadang terlebih dahulu
mengajak anak-anak untuk jalan-jalan
mengelilingi pemandangan sekitar seperti
sawah, kebun, dan melewati rumah-rumah
warga atau biasa disebut outdoor learning.
Hal ini dilakukan untuk mengenalkan anak
pada ciptaan Tuhan dan agar lebih dekat
dengan alam, bahkan kegiatan seperti ini
membuat anak lebih senang. Sejalan
dengan pendapat Lestari dan Fitri dalam
(Rezki Dwi Endah Lestari, 2016), bahwa
melalui
outdoor
learning
berupa
pengenalan media alam dan benda yang
konkret mampu meningkatkan kemampuan
kognitif anak. Setelah kegiatan pengenalan
lingkungan selesai, guru mengarahkan anak
untuk kelas dan beristirahat beberapa saat
sambil memberikan afirmasi. Selanjutnya
menyampaikan apa yang akan dipelajari
pada pertemuan hari itu. Selain keunikan di
atas, kekurangan yang perlu untuk
diperbaiki dalam pembelajaran di KB
Among Siwi terlihat dari segi kurikulum
yang masih butuh penataan lebih baik lagi.
Gambar 1. Halaman sekolah, ruang kelas, dan
proses awal pembelajaran
Kedua, kegiatan inti. Oleh karena
KB Among Siwi masih menggunakan
model pembelajaran klasikal, kegiatan inti
ini tidak mendorong anak untuk memilih
sendiri aktivitas bermain yang diminatinya.
Namun, guru memiliki tema khusus yang
dipelajari pada hari itu. Berdasarkan
observasi, kegiatan pembelajaran yang
dilakukan adalah bernyanyi menghitung
angka
menggunakan
bahasa
Jawa,
contohnya mengenalkan angka satu sama
dengan “siji”, dua sama dengan “loro”
hingga angka sepuluh. Kegiatan dilanjutkan
dengan membuat gambar kendaraan dan
mewarnainya.
Selanjutnya
anak-anak
diarahkan menuju pendopo dan membuat
satu
kendaraan
yaitu
kapal
laut
menggunakan bahan alam yaitu batang
pohon pisang, lidi, dan bendera merah putih
dari kertas. Awalnya anak diberikan contoh
untuk
membuatnya,
kemudian
mempraktikannya secara langsung dengan
tetap didamping oleh guru karena usia anak
yang masih cukup kecil. Sebagai wujud
apresiasi atas usaha mereka, hasil karya
masing-masing dibawa pulang untuk
36
Nur Tanfidiyah: Implementasi PAUD Berbasis Budaya Lokal di KB Among Siwi,
Dusun Pandes, Sewon, Bantul, Yogyakarta
warisan turun-temurun dari orang zaman
dahulu dan masih digunakan hingga saat ini
oleh sebagian masyarakat. APE tradisional
dibuat menggunakan bahan sisa dan bahan
alam dari lingkungan sekitar dengan proses
manual. Permainan tradisional bukan hanya
sebagai alat untuk kesenangan namun
memiliki sejarah yang bercorak rekreatif,
pendidikan,
religi,
dan
perlombaan
(Wulansari, 2017). Berbeda dengan alat
permainan edukatif modern yang sudah
dipadukan dengan teknologi. Namun, saat
ini, alat permainan edukatif tradisional
sudah berinovasi lebih modern (Fadillah,
2018). Sebagaimana diketahui bersama,
sebagian besar masyarakat Indonesia sudah
teralihkan dengan berbagai permainan
modern dari teknologi. Namun, ditengah
kekhawatiran akan hilangnya warisan
nenek moyang tersebut, KB Among Siwi
mencoba
melestarikannya
dengan
mengenalkan kepada anak usia dini.
Berdasarkan hasil observasi, wawancara,
dan dokumentasi, beberapa APE tradisional
yang ada di KB Among Siwi adalah
wayang dari kertas, tanah liat, engklek,
dakon, rumah-rumahan dari kardus,
sebagian alat permainan modern yaitu
puzzle, bola plastik, dan huruf dari bahan
plastik. Selain itu, dilemari terlihat
beberapa koleksi buku yang berisi cara
melakukan permainan tradisional seperti
gobak sodor, petak umpet, cublek-cublek
suweng,
jamuran,
dan
sebagainya.
Purwaningsih (2006) menyatakan, bahwa
permainan tradisional memiliki unsur nilai
budaya
dan
Dharmamulya
(2008)
menambahkan tentang unsur nilai budaya
tersebut berupa rasa senang dan gembira,
kebebasan,
tolong-menolong,
patuh,
melatih kemampuan dalam perhitungan,
pola berpikir, jujur, dan keadilan
(Hurustyanti, 2016).
diperlihatkan kepada orangtuanya. Menurut
Sukma Vavilya (2014) dalam Ambarwati
(2014) menyatakan, bahwa memanfaatkan
alam di sekeliling bisa membantu proses
pembelajaran sebagai sumber belajarnya,
sebab anak dapat menggunakan bendabenda yang sudah mereka ketahuai dan
lihat sebelumnya sehingga mampu merubah
perilaku anak sesuai yang diharapkan (Siti
Misra Susanti, 2021). Perubahan perilaku
tersebut dapat berupa mengahargai alam
sekitar dan memanfaatkannya dengan baik.
Ketiga, Kegiatan penutup. Tahap
ini, anak-anak berkumpul dan duduk
melingkar. Anak bersama guru bercakapcakap mengenai hal apa saja yang sudah
mereka lakukan serta mengkonfirmasi sikap
dan perilaku yang telah ditunjukkan anak
selama kegiatan berlangsung. Menguatkan
ketika sikap dan perilaku itu benar, dan
mengarahkan ketika sikap dan perilaku
yang ditunjukkan kurang sesuai, seperti
tidak sabar dalam membuat perahu, sikap
ketika belajar, dan memberi apresiasi bagi
anak yang membuat perahu hingga selesai.
Selanjutnya, anak diberikan snak siang
dibawa oleh orangtua siswa secara
bergiliran setiap hari. Hal unik dari snak
yang dibawa orangtua di KB Among Siwi
adalah harus berupa jajanan pasar atau desa
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibu Umi,
bahwa ketentuan ini sengaja diberikan
selain karena sehat, mengenalkan jajanan
pasar atau desa pada anak juga untuk
mengurangi konsumsi makanan ringan
yang kurang bergizi. Berdasarkan hasil
observasi, jajanan yang dibawa saat itu
berupa lemper, lumpia, dan lapis.
Alat Permainan Edukatif Tradisional
Alat permainan edukatif (APE)
tradisional
adalah
permainan
yang
mengandung nilai-nilai pendidikan hasil
37
Yaa Bunayya Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini
Volume 7, No 1, Mei, 2023
adalah PAUD yang melestarikan budaya
Lokal. KB Among Siwi menerapkan
budaya lokal masyarakat dalam proses
pembelajaran baik di dalam maupun di luar.
Proses pembelajaran di dalam kelas terlihat
ditiga tahap kegiatan yaitu pendahuluan,
inti, dan penutup. Pertama, pendahuluan
yang terlihat ketika memberi salam,
menyanyi lagu bahasa Jawa, melakukan
braindstorming, dan bahasa sehari-hari
yang digunakan. Kedua, kegiatan inti
materi berhitung menggunakan bahasa
Jawa, menyanyi lagu Jawa, membuat karya
dari barang bekas dan bahan alam. Ketiga,
kegaiatan penutup, yang diisi dengan
bercakap-cakap bersama tentang kegaiatan
yang sudah dilakukan menggunakan bahasa
Jawa, memberikan sekaligus mengenalkan
snak berupa jajanan pasar atau desa
contohnya kue lemper, lumpia, dan lapis.
Selain kegiatan di dalam kelas, kegiatan di
luar kelas yaitu berkeliling untuk mengenal
alam lebih dekat dan menghargai ciptaan
Allah. Bahkan KB Among Siwi memberi
kesempatan kepada anak untuk melukis
baju sendiri sebagai salah satu seragam
yang digunakan untuk kegiatan bermain
serta menyediakan berbagai alat permainan
serta buku-buku yang mengajarkan aneka
permainan tradisional. Berdasarkan hal
tersebut dapat disimpulkan bahwa KB
Among Siwi mencoba mengenalkan kepada
anak dan melestarikan dengan baik budaya
lokal agar tidak punah meskipun zaman
terus berkembang. Di sisi lain, KB ini
perlu untuk mengembangkan kurikulumnya
agar berjalan lebih baik, tertata, dan terarah,
sehingga mampu lebih menarik banyak
masyarakat untuk menyekolahkan anaknya
di sini.
Gambar 2.
Contoh APE tradisional dan bahan sisa
Baju yang Digunakan Anak di KB
Among Siwi
Salah satu hal yang menjadi
keunikan KB ini adalah dari seragam yang
digunakan, tidak seperti PAUD pada
umumnya yang menggunakan seragam
sama, KB Among Siwi membebaskan
anak-anak
untuk
sekolah
dengan
menggunakan baju bebas walaupun
seragam olahraganya tetap sama. Hal unik
lainnya terlihat ketika anak-anak mengecat
baju polos dengan pewarna sesuai
keinginannya. Kemudian, baju hasil
mewarnai tersebut digunakan sebagai salah
satu seragam KB Among Siwi. Menurut
Siti Maisah selaku guru KB Among Siwi,
aktivitas tersebut sengaja dilakukan agar
anak merasa senang dan puas atas karyanya
sendiri. Baju inilah yang akan digunakan
untuk agenda-agenda tertentu yang
diadakan oleh KB Among Siwi, salah
satunya adalah bermain permainan.
SIMPULAN DAN SARAN
KB Among Siwi yang terletak di
dukuh Pandes, Sewon, Bantul Yogyakarta
38
Nur Tanfidiyah: Implementasi PAUD Berbasis Budaya Lokal di KB Among Siwi,
Dusun Pandes, Sewon, Bantul, Yogyakarta
DAFTAR PUSTAKA
Artikel
Adi, B. S., Sudaryanti, S., & Muthmainah, M. (2020). Implementasi permainan tradisional
dalam pembelajaran anak usia dini sebagai pembentuk karakter bangsa. Jurnal
Pendidikan Anak, 9(1), 33–39. https://doi.org/10.21831/jpa.v9i1.31375
Adi, B. S., Sudaryanti, S., & Muthmainah, M. (2020). Implementasi permainan tradisional
dalam pembelajaran anak usia dini sebagai pembentuk karakter bangsa. Jurnal
Pendidikan Anak, 9(1), 33–39. https://doi.org/10.21831/jpa.v9i1.31375
Farida, F. (2018). UPAYA MENGOPTIMALKAN PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI.
ThufuLA: Jurnal Inovasi Pendidikan Guru Raudhatul Athfal, 2(1), 1.
https://doi.org/10.21043/thufula.v2i1.4263
Hamartini, Komang Trisna. (2019). Pendidikan Berbasis Budaya Lokal Bagi Anak Usia Dini
Dalam Mengusung Revolusi Industri 4.0. Prosiding Seminar Nasional Dharma Acarya
ke-1 STHN Mpu Kuturan Singaraja, 357-366.
Komang Trisna Mahartini. (2019). Pendidikan Berbasis Budaya Lokal Bagi Anak Usia Dini
Dalam Mengusung Revolusi Industri 4.0. Prosiding Seminar Nasional Dharma, 357–
366.
Kurniawati, Eni. (2017). Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis
Budaya Lokal untuk Menanamkan Karakter Keagamaan. Sendika: Prosiding Nasional.
Yogyakarta, Universitas Ahmad Dahlan, 17.
Lestari, Rezki Dwi Endah dan Ruqoyyah Fitri. (2016). Peningkatan Kemampuan Mengenal
Warna Melalui Outdoor Learning Bermedia Lingkungan Alam Pada Anak Kelompok A.
Jurnal PAUD Teratai, 3(5), 1-5.
Lestariningrum, A., & Wijaya, I. P. (2019). Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis
Budaya Lokal di TK Negeri Pembina Kota Kediri. PAUDIA : Jurnal Penelitian Dalam
Bidang Pendidikan Anak Usia Dini, 8(2). https://doi.org/10.26877/paudia.v8i2.4755
Maryatun, I. B., Pamungkas, J., & Christianti, M. (2017). KEMAMPUAN GURU TAMAN
KANAK-KANAK DI YOGYAKARTA DALAM MENGEMBANGKAN TEMA
PEMBELAJARAN BERBASIS BUDAYA LOKAL. JURNAL PENELITIAN ILMU
PENDIDIKAN, 10(1), 1. https://doi.org/10.21831/jpipfip.v10i1.16791
Mayenti, N. F., & Sunita, I. (2018). DAMPAK PENGGUNAAN GADGET TERHADAP
PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI DI PAUD DAN TK TARUNA ISLAM
39
Yaa Bunayya Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini
Volume 7, No 1, Mei, 2023
PEKANBARU. Photon: Jurnal Sain Dan Kesehatan, 9(1), 208–213.
https://doi.org/10.37859/jp.v9i1.1092
Muzakki, M., & Fauziah, P. Y. (2015). Implementasi pembelajaran anak usia dini berbasis
budaya lokal di PAUD full day school. Jurnal Pendidikan Dan Pemberdayaan
Masyarakat, 2(1), 39. https://doi.org/10.21831/jppm.v2i1.4842
Taat Wulandari, Agustina Tri Wijayanti, S. (2015). MUATAN NILAI-NILAI KARAKTER
MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL DI PAUD AMONG SIWI,
PANGGUNGHARJO, SEWON, BANTUL. JIPSINDO.
https://doi.org/10.21831/jipsindo.v0i0.4524
Widiastuti, S. (2015). Pembelajaran Proyek Berbasis Budaya Lokal untuk Menstimulasi
Kecerdasan Majemuk Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Anak, 1(1).
https://doi.org/10.21831/jpa.v1i1.2907
Wulandari, R. S., & Hurustyanti, H. (2016). CHARACTER BUILDING ANAK USIA DINI
MELALUI OPTIMALISASI FUNGSI PERMAINAN TRADISIONAL BERBASIS
BUDAYA LOKAL. Indonesian Language Education and Literature, 2(1), 22.
https://doi.org/10.24235/ileal.v2i1.988
Wulansari, B. Y. (2017). PELESTARIAN SENI BUDAYA DAN PERMAINAN
TRADISIONAL MELALUI TEMA KEARIFAN LOKAL DALAM KURIKULUM
PENDIDIKAN ANAK USIA DINI. Jurnal INDRIA (Jurnal Ilmiah Pendidikan
Prasekolah Dan Sekolah Awal), 2(1), 1–11. https://doi.org/10.24269/jin.v2n1.2017.pp111
Buku
Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta
Fadillah, M. (2018). Bermain dan Permainan. Jakarta: Prenada Media Group.
Halimah, Leli. (2016). Pengembangan Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Refika
Aditama.
Hamzah, Nur. (2015). Perkembangan Sosial Anak Usia Dini. Pontianak: IAIN Pontianak
Press.
Sukmadinata, Nana Syaodih. (2013). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Syamsyiati, Rosida Nur, dkk. (2019). Konsep Dasar PAUD. Yogyakarta: Gerbang Media.
40