MK: EKOLOGI HEWAN
ANALISIS KEANEKARAGAMAN SPESIES DI APPARALANG,
BULUKUMBA SUL-SEL
OLEH:
WISTIANI
1214041023
PENDIDIKAN BIOLOGI
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2015
ANALISIS KEANEKARAGAMAN SPESIES DI APPARALANG,
BULUKUMBA SUL-SEL
WISTIANI
1214041023
Program Studi Pendidikan Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
tyawistyani@gmail.com / wisti_ani@yahoo.com
Abstrak
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif, dimana penelitian ini
mendeskripsikan komposisi hewan di sepanjang area pantai Apparalang. Data
diperoleh dengan memasang transek sepanjang 100 meter dengan plot 2 x 2 meter
dan plot 1 x 1 meter di setiap subtransek 10 meter. Sampel diambil pada 5 titik di
dalam plot 1 x 1 meter. Pada pengamatan ditemukan beberapa spesis hewan
permukaan dan hewan yang hidup di dalam tanah. Seperti semut, laba-laba, kekaki
seribu, cacing dan lain-lain. Spesis yang mendominasi lokasi penelitian adalah semut
sebagai hewan permukaan dan beberapa hidup di dalam tanah.
Kata kunci: Indeks Nilai Penting, Metode Analisis, Serangga, Spesis.
Abstract
This study includes a descriptive study, in which the study describes the
composition of the animal along the coastal area Apparalang. Data obtained by
placing a transect along 100 meters with 2 x 2 meter plot and plot 1 x 1 meter in
every subtransek 10 meters. Samples were taken at 5 points in the plot 1 x 1 meter. In
observation of the surface was found several species of animals and animals that live
in the soil. Such as ants, spiders, kekaki seribu, worms and others. Species that
dominated the study sites are ants as animal surfaces and some live in the soil.
Keywords: Important Value Index, Insects, Methods of Analysis, Species.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara kewilayahan, Kabupaten Bulukumba berada pada kondisi
empat dimensi,
yakni
dataran
tinggi
pada
kaki Gunung
Bawakaraeng–
Lompobattang, dataran rendah, pantai dan laut lepas. Kabupaten Bulukumba
terletak di ujung bagian selatan ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan, terkenal
dengan industri perahu phinisi yang banyak memberikan nilai tambah ekonomi
bagi masyarakat dan Pemerintah Daerah. Luas wilayah Kabupaten Bulukumba
1.154,67 Km2 dengan jarak tempuh dari Kota Makassar sekitar 153 Km. Secara
geografis Kabupaten Bulukumba terletak pada koordinat antara 5°20” sampai
5°40” Lintang Selatan dan 119°50” sampai 120°28” Bujur Timur. Posisi strategis
ini menjadikan Bulukumba Potensial dalam beberapa sektor, dan dalam era otoda
ini Bulukumba banyak ditopang oleh empat sektor andalan masing-masing
Pertanian, Perikanan, Pariwisata, Transportasi Darat dan Laut.
Pantai Apparalang terletak di Desa Ara, Kecamatan Bontobahari
Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Salah satu destinasi wisata yang baru
dikembangkan oleh Dinas Pariwisata dan Pemda setempat di awal Tahun 2015
ini. Untuk menuju ke Pantai Apparalang ini belum dapat di tempuh dengan
kendaraan umum atau public transport karena letaknya yang lumayan jauh dari
ibu kota Kabupaten Bulukumba, dari Kota Makassar ke arah selatan ditempuh
dengan waktu kurang lebih 4.5 jam dan dilanjutkan menuju poros Tanjung Bira
lalu berbelok ke kiri arah Desa Ara kurang lebih 1 jam perjalanan dari poros
Tanjung Bira.
Peran biologi tanah dalam meningkatkan produktivitas lahan menjadi
semakin penting ke depan ini karena makin meluasnya lahan pertanian yang
salah kelola dan makin terbatasnya sumber daya pupuk anorganik. Berbagai jenis
mikroba dan fauna tanah telah diketahui berpotensi sebagai pupuk hayati dan
berbagai atribut biologi tanah mulai banyak digunakan sebagai indikator kualitas
dan kesehatan tanah. Untuk itu, dalam eksplorasi dan telah pemanfaatan biologi
tanah perlu ditunjang oleh suatu penuntun analisis yang memadai agar data yang
dihasilkan dapat diandalkan dalam menyusun teknologi pengelolaan tanah yang
tepat.
Meningkatnya kegiatan yang dilakukan oleh berbagai pihak antara lain
pemerintah dan swasta, mendorong adanya kompetisi di antara para pelaku
pemanfaatan sumber daya lahan tertentu. Kompetisi inilah yang menimbulkan
konflik dan tumpang tindihnya perencanaan dan pengelolaan wilayah lahan
daratan/kota dari berbagai kegiatan sektoral, pemerintah daerah, masyarakat
setempat dan swasta. Pihak-pihak tersebut merasa memiliki hak atas suatu
wilayah dan mereka saling mengutamakan kepentingannya masing-masing
(Dahuri, 2001).
Melihat paradigma itu, perlu dikaji lagi baik peraturan-peraturan yang
ada, dan kebutuhan bisnis dalam melaksanakan usaha pelestarian terhadap
populasi hewan-hewan penyusun suatu ekosistem. Usaha pelestarian terhadap
suatu ekosistem yang sangat kecil sekalipun membutuhkan perhatian yang serius
dari pemerintah maupun masyarakat setempat. Sebab jika ditinjau kembali dari
kondisi suatu ekosistem yang alami sangatlah minim bahkan secara perlahan
menghilangkan beberapa populasi yang ada di area tersebut oleh karena
pembangunan yang terus menerus. Pada area-area yang di tempati sebagai lahan
pembangunan institusi-institusi tertentu pun semakin minim jumlah populasi
yang ditemukan dalam komunitas tersebut. Kumpulan hewan yang biasanya
terdiri dari beberapa spesies yang hidup bersama-sama pada suatu tempat
dinamakan komunitas. Dalam mekanismenya, terdapat interaksi yang erat baik
diantara sesama spesies maupun diantara semua spesies penyusun komunitas
tersebut ataupun dengan organisme lainnya sehingga sistem ini menjadi dinamis.
Untuk mengetahui penyebaran komposisi populasi hewan pada wilayah
ini, maka perlu dilakukan analisi populasi terhadap wilayah tersebut. Analisa
populasi adalah cara mempelajari susunan (komponen jenis) dan bentuk
(struktur) populasi atau masyarakat hewan.
Pengamatan parameter populasi
berdasarkan habitat hidup permukaan maupun di dalam tanah. Suatu ekosistem
alamiah maupun binaan selalu terdiri dari dua komponen utama yaitu komponen
biotik dan abiotik. Populasi atau komunitas hewan merupakan salah satu
komponen biotik yang menempati habitat tertentu seperti hutan, padang ilalang,
semak belukar dan lain-lain. Struktur dan komposisi populasi pada suatu wilayah
dipengaruhi oleh komponen ekosistem lainnya yang saling berinteraksi, sehingga
populasi yang hidup secara alami pada wilayah tersebut sesungguhnya
merupakan pencerminan hasil interaksi berbagai faktor lingkungan dan dapat
mengalami perubahan drastis karena pengaruh anthropogenik. Apparalang
merupakan suatu contoh lokasi wisata yang menerapkan strategi permasalahn
lahan. Namun, dalam penerapan strategi ini pun menemui banyak kendala.
Tantangan bagi perencana untuk lebih menimbang dan melakukan kajian
mendalam dan sistematis untuk penerapan reklamasi terhadap lahan-lahan alami
di sepanjang jalan. Semua aspek kehidupan perlu diperhitungkan agar sebuah
strategi yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah perwisataan tidak menjadi
sebuah masalah baru lagi.
B. Tujuan penelitian
Dilakukannya penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui komposisi
spesies dalam ekosistem di area Appralang Bulukumba, sehingga dapat diketahui
pula indikator kurangnya kelestarian ekosistem yang dijadikan sebagai area
wisata.
C. Manfaat penelitian
Dapat lebih menjaga ekosistem di area tempat wisata, dan dapat
melakukan analisis komposisi populasi hewan dengan metode yang digunakan
dalam penelitian ini.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Letak geografis dan iklim lokasi penelitian
Secara geografis Kabupaten Bulukumba terletak pada koordinat antara
5°20” sampai 5°40” Lintang Selatan dan 119°50” sampai 120°28” Bujur Timur.
Secara kewilayahan, Kabupaten Bulukumba berada pada kondisi empat dimensi,
yakni dataran tinggi pada kaki Gunung Bawakaraeng–Lompobattang, dataran
rendah, pantai dan laut lepas. Kabupaten Bulukumba terletak di ujung bagian
selatan ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan, terkenal dengan industri perahu
phinisi yang banyak memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat dan
Pemerintah Daerah. Luas wilayah Kabupaten Bulukumba 1.154,67 Km2 dengan
jarak tempuh dari Kota Makassar sekitar 153 Km. Bulukumba memiliki tempat
wisata yang begitu menarik, salah satunya yaitu pantai Apparalang. Pantai
Apparalang terletak di Desa Ara, Kecamatan Bontobahari Kabupaten
Bulukumba, Sulawesi Selatan. Kabupaten Bulukumba ini dapat ditempuh dan
diakses dengan menggunakan kendaraan bermotor selama 20 menit dari arah
Pantai Tanjung Bira dan atau 60 menit dari pusat ibukota Kabupaten Bulukumba
(Wikipedia, 2015).
TOPOGRAFI
Berikut adalah bentuk-bentuk topografi daerah kabupaten bulukumba
(Bulukumba, 2015):
1. Morfologi bergelombang. Daerah dataran rendah dengan ketinggian antara 0
s/d 25 meter di atas permukaan laut meliputi tujuh kecamatan pesisir, yaitu:
Kecamatan Gantarang, Kecamatan Ujungbulu, Kecamatan Ujung Loe,
Kecamatan Bontobahari, Kecamatan Bontotiro, Kecamatan Kajang dan
Kecamatan Herlang.
2. Morfologi perbukitan. Daerah bergelombang dengan ketinggian antara 25 s/d
100 meter dari permukaan laut, meliputi bagian dari Kecamatan Gantarang,
Kecamatan Kindang, Kecamatan Bontobahari, Kecamatan Bontotiro,
Kecamatan Kajang, Kecamatan Herlang, Kecamatan Bulukumpa dan
Kecamatan Rilau Ale.
3. Ketinggian. Wilayah Kabupaten Bulukumba lebih didominasi dengan keadaan
topografi dataran rendah sampai bergelombang. Luas dataran rendah sampai
bergelombang dan dataran tinggi hampir berimbang, yaitu jika dataran
rendah sampai bergelombang mencapai sekitar 50,28% maka dataran tinggi
mencapai 49,72%. Daerah perbukitan di Kabupaten Bulukumba terbentang
mulai dari Barat ke utara dengan ketinggian 100 s/d di atas 500 meter dari
permukaan laut meliputi bagian dari Kecamatan Kindang, Kecamatan
Bulukumpa dan Kecamatan Rilau Ale.
4. Klimatologi. Kabupaten Bulukumba mempunyai suhu rata-rata berkisar antara
23,82 °C – 27,68 °C. Suhu pada kisaran ini sangat cocok untuk pertanian
tanaman pangan dan tanaman perkebunan. Berdasarkan analisis Smith –
Ferguson (tipe iklim diukur menurut bulan basah dan bulan kering) maka
klasifikasi iklim di Kabupaten Bulukumba termasuk iklim lembap atau agak
basah. Kabupaten Bulukumba berada di sektor timur, musim gadu antara
Oktober – Maret dan musim rendengan antara April – September. Terdapat 8
buah stasiun penakar hujan yang tersebar di beberapa kecamatan, yakni:
stasiun Bettu, stasiun Bontonyeleng, stasiun Kajang, stasiun Batukaropa,
stasiun Tanah Kongkong, stasiun Bontobahari, stasiun Bulo–bulo dan stasiun
Herlang. Daerah dengan curah hujan tertinggi terdapat pada wilayah barat
laut dan timur sedangkan pada daerah tengah memiliki curah hujan sedang
sedangkan pada bagian selatan curah hujannya rendah.
5. Tanah. Tanah di Kabupaten Bulukumba didominasi jenis tanah latosol dan
mediteran. Secara spesifik terdiri atas tanah alluvial hidromorf coklat kelabu
dengan bahan induk endapan liat pasir terdapat dipesisir pantai dan sebagian
di daratan bagian utara. Sedangkan tanah regosol dan mediteran terdapat pada
daerah-daerah bergelombang sampai berbukit di wilayah bagian barat.
6. Hidrologi. Sungai di kabupaten Bulukumba ada 32 aliran yang terdiri dari
sungai besar dan sungai kecil. Sungai-sungai ini mencapai panjang 603,50
km dan yang terpanjang adalah sungai Sangkala yakni 65,30 km, sedangkan
yang terpendek adalah sungai Biroro yakni 1,50 km. Sungai-sungai ini
mampu mengairi lahan sawah seluas 23.365 Ha.
B. Kerapatan populasi
Populasi didefinisikan sebagai kelompok kolektif organisme-organisme
dari spesies yang sama (atau kelompok-kelompok lain dimana individu-individu
dapat bertukar informasi genetik) yang menduduki ruang atau tempat tertentu.
Untuk mengetahui struktur populasi, antara lain diperlukan informasi mengenai
kerapatan populasi. Kerapatan populasi adalah besarnya populasi dalam satuan
ruang. Umumnya dinyatakan dalam jumlah individu atau biomasa populasi
perasatuan areal atau volume, misalnya 100 pohon per hektar, 5 juta diatome per
kubik air atau 2 kg ikan per meter persegi permukaan air. Biomasa dapat
dinyatakan dalam dinyatakan dalam biomasa basah atau kering. Kerapatan dapat
pula dinyatakan sebagai jumlah individu per waktu, misalnya jumlah burung
yang terlihat per jam. Pengaruh populasi terhadap komunitas dan ekosistem tidak
hanya bergantung pada jenis apa dari organisme yang terlibat, akan tetapi juga
tergantung kepada jumlahnya dengan perkataan lain kerapatan populasinya
(Hendra dkk, 2012).
Dalam penyebarannya individu-individu itu dapat berada dalam
kelompok-kelompok, dan kelompok-kelompok itu terpisah antara satu dengan
yang lain. Pemisahan kelompok-kelompok itu dapat dibatasi oleh kondisi
geografis atau kondisi cuaca yang menyebabkan individu antar kelompok tidak
dapat saling berhubungan untuk melakukan tukar menukar informasi genetik.
Populasi-populasi yang hidup secara terpisah ini disebut deme. Ada dua ciri dasar
populasi, yaitu : ciri biologis, yang merupakan ciri-ciri yang dipunyai oleh
individu-individu pembangun populasi itu, serta ciri-ciri statistik, yang
merupakan ciri uniknya sebagai himpunan atau kelompok individu-individu yang
berinteraksi satu dengan lainnya (kholisabdullah, 2012).
a) ciri- ciri biologi
Seperti halnya suatu individu, suatu populasi pun mempunyai ciri- ciri
biologi, antara lain :
1. Mempunyai struktur dan organisasi tertentu, yang si fatnya ada yang konstan
dan ada pula yang berfluktuasi dengan berjalannya waktu (umur).
2.
Ontogenetik, mempunyai sejarah kehidupan (lahir, tumbuh, berdiferensiasi,
menjadi tua = senessens, dan mati).
3. Dapat dikenai dampak lingkungan dan memberikan respons terhadap
perubahan lingkungan.
4. Mempunyai hereditas.
5. Terintegrasi oleh faktor- faktor hereditaa oleh faktor- fektor herediter
(genetik) dan ekologi (termasuk dalam hal ini adalah kemampuan beradaptasi,
ketegaran reproduktif dan persistensi. Persistensi dalam hal ini adalah adanya
kemungkinan untuk meninggalkan keturunanuntuk waktu yang lama.
b) ciri- ciri statistik
Ciri- ciri statistik merupakan ciri- ciri kelompok yang tidak dapat di
terapkan pada individu, melainkan merupakan hasil perjumpaan dari ciri- ciri
individu itu sendiri, antara lain:
1. Kerapatan (kepadatan) atau ukuran besar populasi berikut parameterparameter utama yang mempengaruhi seperti natalitas, mortalitas, migrasi,
imigrasi, emigrasi.
2. Sebaran (agihan, struktur) umur
3. Komposisi genetik (“gene pool” = ganangan gen)
4. Dispersi(sebaran individu intra populasi
Kerapatan populasi suatu hewan dapat dinyatakan dalam bentuk
kerapatan mutlak(absolut) dan kerapatan nisbi( relatif). Pada penafsiran
kerapatan mutlak diperoleh jumlah hewan per satuan area, sedangkan pada
penafsiran kerapatan nisbi hal itu tidak diperoleh, melainkan hanya akan
menghasilkan suatu indeks kelimpahan (lebih banyak atau sedikit, lebih
berlimpah atau kurang berlimpah). Pengukuran kerapatan populasi kebanyakan
dilakukan dengan sensus atau metode menggunakan sample (sampling).
Misalnya mengukur kerapatan mutlak suatu populasi. Kerapatan mutlak dapat
dihitung dengan cara perhitungan menyeluruh dan metode sampling. metode ini
disebut juga sensus yang digunakan untuk mengetahui jumlah nyata dari individu
yang hidup dari suatu populasi. Metode perhitungan menyeluruh biasanya
diterapkan
kepada
daerah
yang
sempit
pada
hewan
yang
hidupnya
menetap,misalnya porifera dan binatang karang. Metode ini juga dapat digunakan
untuk menentukan populasi hewan yang berjalan lambat, misalnya jenis hewan
dari coelenterata, siput air dan lain- lain (Hendra dkk, 2012).
Kerapatan yang umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu,atau
biomassa populasi persatuan areal atau volume, misalnya 200 pohon per Ha.
Berarta banyaknya (abundance) merupakan Jumlah individu dari satu jenis pohon
dan tumbuhan lain yang besarnya dapat ditaksir atau dihitung. Secara kualitatif
dibedakan menjadi jarang terdapat, kadang-kadang terdapat, sering terdapat dan
banyak sekali terdapat jumlah individu yang dinyatakan dalam persatuan ruang.
Sedangkan frekuensi menunjukan daya penyebaran dan adaptasi terhadap
lingkungannya. Jumlah petak dimana sampel didapat per jumlah total petak. Juga
dapat dikatakna sebagai frekuensi. Berarti frekuensi merupakan ukuran pola
penyebaran suatu jenis pada suatu kawasan atau kelompok (Kershaw, 1979).
Kelimpahan setiap spesies individu atau jenis struktur biasanya
dinyatakan sebagai suatu persen jumlah total spesises yang ada dalam komunitas,
dan dengan demikian merupakan pengukuran yang relatife. Secara bersamasama, kelimpahan dan frekuensi adalah sangat penting dalam menentukan
struktur
komunitas.
Sistem Analisis dengan metode kuadrat:
Kerapatan,
ditentukan berdasarkan jumlah individu suatu populasijenis tumbuhan di dalam
area tersebut. Kerimbunan ditentukan berdasarkan penutupan daerah cuplikan
oleh populasi jenis tumbuhan. Dalam praktikum ini, khusus untuk variabel
kerapatan dan kerimbunan, cara perhitungan yang dipakai dalam metode kuadrat
adalah berdasarkan kelas kerapatan dan kelas kerimbunan. Sedangkan frekuensi
ditentukan berdasarkan kekerapan dari jenis tumbuhan dijumpai dalam sejumlah
area sampel (n) dibandingkan dengan seluruh total area sampel yang dibuat (N),
biasanya dalam persen (%). Keragaman spesies dapat diambil untuk menanadai
jumlah spesies dalam suatu daerah tertentu atau sebagai jumlah spesies diantara
jumlah total individu dari seluruh spesies yang ada. Hubungan ini dapaat
dinyatakan secara numeric sebagai indeks keragaman atau indeks nilai penting.
Jumlah spesies dalam suatu komunitas adalah penting dari segi ekologi karena
keragaman spesies tampaknya bertambah bila komunitas menjadi makin stabil
(Gita, 2011).
Pada metode sampling, pencacahan dilakukan pada suatu cuplikan
(sample), yaitu suatu proporsi kecil dari populasi dan menggunakan hasil
cuplikan tersebut untuk membuat taksiran kerapatan (kelimpahan) populasi.
Pemakaian metode ini bersangkut paut dengan masalah penentuan ukurann dan
jumlah cuplikan, oleh karena itu bersangkut paut pula dengan metode- metode
statistik
.beberapa
metode
pencuplikan
yang
digunakan
antara
lain
(Kholisabdhullah, 2012).
Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan
berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor biotik
antara lain suhu, air, kelembapan, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik
adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba
Indeks Nilai penting atau biasa disingkat dengan INP merupakan para meter
kuantitaif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi spesiesspesies dalam suatu komunitas tumbuhan (Indriyanto, 2006).
Parameter Utama Populasi
1. Natalitas
Merupakan
kemampuan
populasi
untuk
bertambah
atau
untukmeningkatkan jumlahnya, melalui produsi individu baru yang
dilahirkan atau ditetaskan dari teliu melalui aktifitas perkembangan. Laju
natalitas: jumlah individu baru per individu atau per betina per satuan waktu.
Ada dua aspek yang berkaitan dengan natalitas ini antara lain (Mercianto
dkk, 1997):
i. Fertilitas. Tingkat kinerja perkembangbiakan yang direalisasikan dalm
populasi, dan tinggi rendahnya aspek ini diukur dari jumlah telur yang di
ovovivarkan atau jumlah anak yang dilahirkan.
ii. fekunditas
tingkat kinerja potensial populasi itu untuk menghasilkan individu baru.
2. Mortalitas
Menunjukkan kematian individu dalam populasi. Juga dapat
dibedakan dalam dua jenis yakni (Suhardjono, 1997):
i. mortalitas ekologik = mortalitas yang direalisasikan yakni, matinya
individu dibawah kondisi lingkungan tertentu.
ii. mortalitas minimum(teoritis), yakni matinya individu dalam kondisi
lingkungan yang ideal, optimum dan mati semata- mata karena usia tua.
3. Emigrasi, imigrasi dan migrasi.
C. Ekologi hewan
Komunitas dalam ekologi hewan berarti kumpulan suatu populasi yang
terdiri dari spesies hewan yang berlainan dan menempati daerah tertentu.
Komunitas tidak selalu berupa daerah dengan hewan yang biasanya bersifat
rumit. Struktur dan peranan jenis hewan di dalam komunitas hewan merupakan
pencerminan dari faktor ekologi jenis hewan yang berinteraksi dengan masa lalu,
kini dan yang akan datang. Oleh karenanya dalam mempelajari populasi pada
suatu habitat dapat diketahui masa lalu daerah atau habitat tersebut, mengerti
keadaan sekarang yang terjadi dan menduga perkembangannya dimasa
mendatang. Hewan berinteraksi baik dengan lingkungan abiotik maupun dengan
lingkungan. Hadirnya individu lain baik dari jenis yang sama maupun dari jenis
yang berbeda dari suatu hewan pada lokasi yang berdekatan, melahirkan suatu
interaksi baik secara positif maupun negatif. Kompetesisi antara suatu individu
hewan dengan individu lain cenderung merupakan suatu bentuk interaksi yang
negatif, dalam pengertian satu sama lain bersaing untuk memperoleh lebih
banyak nutrisi, air, cahaya, dan faktor-faktor lingkungan lainnya. Hal tersebut
mengakibatkan berkurangnya sumber daya lingkungan bagi hewan tetangganya
(Hadisubroto, 1989).
Lingkungan tanah
Lingkungan tanah merupakan lingkungan yang terdiri dari gabungan
antara lingkungan abiotik dan lingkungan biotik. Gabungan dari kedua
lingkungan ini menghasilkan suatu wilayah yang dapat dijadikan sebagai tempat
tinggal bagi beberapa jenis makhluk hidup, salah satunya adalah mesofauna
tanah. Tanah dapat didefinisikan sebagai medium alami untuk pertumbuhan
tanaman yang tersusun atas mineral, bahan organik, dan organisme hidup.
Kegiatan biologis seperti pertumbuhan akar dan metabolisme mikroba dalam
tanah berperan dalam membentuk tekstur dan kesuburannya (Odum, 1998).
Bagi ekosistem darat, tanah merupakan titik pemasukan sebagian besar
bahan ke dalam tumbuhan. Melalui akar-akarnya tumbuhan menyerap air, nitrat,
fosfat, sulfat, kalium, tembaga, seng dan mineral esensial lainnya. Dengan semua
ini, tumbuhan mengubah karbon dioksida (dimasukkan melalui daun) menjadi
protein, karbohidrat, lemak, asam nukleat dan vitamin yang dari semuanya itu
tumbuhan dan semua heterotrof bergantung. Bersamaan dengan suhu dan air,
tanah merupakan penentu utama dalam produktivitas bumi (Kimball, 1999).
Fauna tanah merupakan salah satu komponen tanah. Kehidupan fauna
tanah sangat tergantung pada habitatnya, karena keberadaan dan kepadatan
populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah sangat ditentukan oleh keadaan
daerah tersebut. Dengan perkataan lain keberadaan dan kepadatan populasi suatu
jenis fauna tanah di suatu daerah sangat tergantung dari faktor lingkungan, yaitu
lingkungan biotik dan lingkungan abiotik. Fauna tanah merupakan bagian dari
ekosistem tanah, oleh karena itu dalam mempelajari ekologi fauna tanah faktor
fisika-kimia tanah selalu diukur (Suin, 1997).
Meskipun fauna tanah khususnya mesofauna tanah sebagai penghasil
senyawa-senyawa organik tanah dalam ekosistem tanah, namun bukan berarti
berfungsi sebagai subsistem produsen. Tetapi, peranan ini merupakan nilai
tambah dari mesofauna sebagai subsistem konsumen dan subsistem dekomposisi.
Sebagai subsistem dekomposisi, mesofauna sebagai organisme perombak awal
bahan makanan, serasah, dan bahan organik lainnya (seperti kayu dan akar)
mengkonsumsi bahan-bahan tersebut dengan cara melumatkan dan mengunyah
bahan-bahan tersebut. Mesofauna tanah akan melumat bahan dan mencampurkan
dengan sisa-sisa bahan organik lainnya, sehingga menjadi fragmen berukuran
kecil yang siap untuk didekomposisi oleh mikrobio tanah (Arief, 2001).
Tarumingkeng (2000), menyebutkan bahwa dalam suatu habitat hutan hujan
tropika diperkirakan, dengan hanya memperhitungkan serangga sosial (jenisjenis semut, lebah dan rayap), peranannya dalam siklus energi adalah 4 kali
peranan jenis-jenis vertebrata.
Organisme-organisme yang berkedudukan di dalam tanah sanggup
mengadakan perubahan-perubahan besar di dalam tanah, terutama dalam lapisan
atas (top soil), di mana terdapat akar-akar tanaman dan perolehan bahan makanan
yang mudah. Akar-akar tanaman yang mati dengan cepat dapat dibusukkan oleh
fungi, bakteria dan golongan-golongan organisme lainnya. Serangga pemakan
bahan organik yang mambusuk, membantu merubah zat-zat yang membusuk
menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Banyak jenis serangga yang meluangkan
sebagian atau seluruh hidup mereka di dalam tanah. Tanah tersebut memberikan
serangga suatu pemukiman atau sarang, pertahanan dan seringkali makanan.
Tanah tersebut diterobos sedemikian rupa sehingga tanah menjadi lebih
mengandung udara, tanah juga dapat diperkaya oleh hasil ekskresi dan tubuhtubuh serangga yang mati (Supardi, 1994).
Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang sangat
menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah., dengan demikian suhu
tanah akan menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah. Fluktuasi
suhu tanah lebih rendah dari suhu udara, dan suhu tanah sangat tergantung dari
suhu udara. Suhu tanah lapisan atas mengalami fluktuasi dalam satu hari satu
malam dan tergantung musim. Fluktuasi itu juga tergantung pada keadaan cuaca,
topografi daerah dan keadaan tanah (Suin, 1997). Menurut Wallwork (1970),
besarnya perubahan gelombang suhu di lapisan yang jauh dari tanah
berhubungan dengan jumlah radiasi sinar matahari yang jatuh pada permukaan
tanah. Besarnya radiasi yang terintersepsi sebelum sampai pada permukaan
tanah, tergantung pada vegetasi yang ada di atas permukaannya.
Pengukuran pH tanah juga sangat diperlukan dalam melakukan penelitian
mengenai fauna tanah. Suin (1997), menyebutkan bahwa ada fauna tanah yang
hidup pada tanah yang pH-nya asam dan ada pula yang senang hidup pada tanah
yang memiliki pH basa. Untuk jenis Collembola yang memilih hidup pada tanah
yang asam disebut dengan Collembola golongan asidofil, yang memilih hidup
pada tanah yang basa disebut dengan Collembola golongan kalsinofil, sedangkan
yang dapat hidup pada tanah asam dan basa disebut Collembola golongan
indifferen. Metode yang digunakan pada pengukuran pH tanah ada dua macam,
yaitu secara kalorimeter dan pH meter. Keadaan iklim daerah dan berbagai
tanaman yang tumbuh pada tanahnya serta berlimpahnya mikroorganisme yang
mendiami suatu daerah sangat mempengaruhi keanekaragaman relatif populasi
mikroorganisme. Faktor-faktor lain yang mempunyai pengaruh terhadap
keanekaragaman relatif populasi mikroorganisme adalah reaksi yang berlangsung
di dalam tanah, kadar kelembaban serta kondisi-kondisi serasi (Suhardjono,
1997).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Hari/Tanggal
: Sabtu/30 Mei 2015
Waktu
: 08.00 – 12.00 WITA
Tempat
: Sekitar Pantai Apparalang Kab. Bulukumba
B. Alat dan Bahan
Alat:
1. Patok bambu 10 buah
2. Parang
3. Sekop semen ukuran kecil 1 buah
Bahan:
1. Tali rapia 100 meter
2. Tali rapia 2 x 2 meter
3. Tali rapia 1 x 1 meter
4. Polibag ukuran kecil
5. Plastik gula secukupnya
6. Hewan hasil penelitian
C. Prosedur Penelitian
1. Mengukur tali rapia sepanjang 100 meter sebagai transek pada lokasi
penelitian
2. Mengukur tiap 10 meter pada transek sebagai subtransek
3. Membuat plot 2 x 2 meter di dalam subtransek
4. Membuat plot 1 x 1 meter di dalam plot 2 x 2 meter
5. Mengambil serasah pada 5 titik berbeda di dalam plot 1 x 1 meter
6. Menggali tanah sedalam 10 cm pada 5 titik berbeda di dalam plot 1 x 1 meter
7. Sampel di masukkan ke dalam plastik gula untuk dianalisis populasi hewannya
8. Mengulangi langkah 1-7 sebanyak 3 transek.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pengamatan
No Transek
1
1
2
1
3
1
4
1
5
1
6
1
7
1
8
1
9
1
10
1
11
1
12
1
13
1
14
1
15
1
16
1
17
1
18
1
19
1
20
1
21
1
22
1
23
1
24
1
25
1
26
1
27
1
28
1
29
1
30
1
31
1
32
1
33
1
34
1
35
1
36
1
Plot
p1
p1
p1
p1
p1
p1
p1
p1
p1
p1
p1
p1
p1
p2
p2
p2
p2
p2
p2
p2
p2
p2
p2
p2
p2
p2
p2
p2
p2
p2
p2
p2
p2
p2
p2
p2
Spesies
G
A
A
A
H
A
A
A
B
B
B
B
B
E
E
E
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
B
B
B
B
B
B
B
B
B
No
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
Transek
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Plot
p2
p2
p2
p2
p2
p2
p2
p2
p2
p2
p3
p3
p3
p3
p3
p3
p3
p3
p4
p4
p4
p5
p5
p6
p6
p6
p6
p6
p6
p6
p6
p6
p6
p6
p6
p6
Spesies
B
D
D
I
G
G
J
C
C
C
A
A
A
A
A
A
E
I
I
A
B
A
A
L
M
H
E
I
G
A
A
A
A
A
C
C
No Transek
73
1
74
1
75
1
76
1
77
1
78
1
79
1
80
1
81
1
82
1
83
1
84
1
85
1
86
1
87
1
88
1
89
1
90
1
91
1
92
1
B. Analisis Data
Plot
p7
p7
p7
p7
p8
p8
p8
p8
p8
p8
p8
p8
p8
p8
p8
p8
p8
p8
p8
p9
Spesies
D
K
H
F
H
H
H
H
D
E
E
E
N
G
G
G
G
I
A
A
No Transek
93
1
94
1
95
1
96
1
97
1
98
1
99
1
100
1
101
1
102
1
103
1
104
1
105
1
106
2
107
2
108
2
109
3
110
3
111
3
112
3
Plot
p9
p9
p9
p9
p9
p9
p10
p10
p10
p10
p10
p10
p10
p1
p1
p1
p1
p1
p3
p3
Spesies
A
A
F
E
H
H
A
A
A
A
C
K
D
E
E
C
E
E
A
A
Perhitungan Indeks Dominansi (D) dan Indeks Shanon-Wiener (H’)
a. Indeks Diversitas Shannon Wiener (H’)
H’ = -∑ pi ln pi
b. Indeks Kemerataan (e)
E =
c. Indeks Kekayaan
R =
atau
2
1. Spesies A (SEMUT)
a. Indeks Diversitas Shannon Wiener (H’)
H’
= -∑ 0.205 ln (0.205)
= -∑ 0.205 (-1.58)
= 0.32
b. Indeks Kemerataan (e)
E =
E =
= 0.16
c. Indeks Kekayaan
2
2
= 0.1369
2. Spesies B (RAYAP)
a. Indeks Diversitas Shannon Wiener (H’)
H’
= -∑ 0.08 ln (0.08)
= -∑ 0.08 (-2.53)
= 0.20
b. Indeks Kemerataan (e)
E =
E =
= 0.10
c. Indeks Kekayaan
2
2
= 0.0196
3. Spesies H (KUTU TANAH)
a. Indeks Diversitas Shannon Wiener (H’)
H’
= -∑ 0.05 ln (0.05)
= -∑ 0.05 (-3.00)
= 0.15
b. Indeks Kemerataan (e)
E =
E =
= 0.07
c. Indeks Kekayaan
2
2
= 0.0064
4. Spesies E (CACING)
a. Indeks Diversitas Shannon Wiener (H’)
H’
= -∑ 0.07 ln (0.07)
= -∑ 0.07 (-2.66)
= 0.19
b. Indeks Kemerataan (e)
E =
E =
= 0.09
c. Indeks Kekayaan
2
2
= 0.016
5. Spesies
I (ULAT TANAH)
a. Indeks Diversitas Shannon Wiener (H’)
H’
= -∑ 0.025 ln (0.025)
= -∑ 0.025 (-3.69)
= 0.09
b. Indeks Kemerataan (e)
E =
E =
= 0.04
c. Indeks Kekayaan
2
2
= 0.0016
6.Spesies G (KUMBANG)
a. Indeks Diversitas Shannon Wiener (H’)
H’
= -∑ 0.04 ln (0.04)
= -∑ 0.04 (-3.22)
= 0.13
b. Indeks Kemerataan (e)
E =
= 0.06
E =
c. Indeks Kekayaan
2
2
= 0.0049
7. Spesies D (KAKI SERIBU)
a. Indeks Diversitas Shannon Wiener (H’)
H’
= -∑ 0.025 ln (0.025)
= -∑ 0.025 (-3.69)
= 0.09
b. Indeks Kemerataan (e)
E =
E =
= 0.04
c. Indeks Kekayaan
2
2
= 0.0016
8. Spesies C (LABA-LABA)
a. Indeks Diversitas Shannon Wiener (H’)
H’
= -∑ 0.035 ln (0.035)
= -∑ 0.035 (-3.35)
= 0.12
b. Indeks Kemerataan (e)
E =
E =
= 0.06
c. Indeks Kekayaan
2
2
= 0.0036
9. Spesies K (Sejenis Kumbang)
a. Indeks Diversitas Shannon Wiener (H’)
H’
= -∑ 0.005 ln (0.005)
= -∑ 0.005 (-5.30)
= 0.03
b. Indeks Kemerataan (e)
E =
= 0.01
E =
c. Indeks Kekayaan
2
2
= 0.0001
10.
Spesies F (LIPAN TANAH)
a. Indeks Diversitas Shannon Wiener (H’)
H’
= -∑ 0.005 ln (0.005)
= -∑ 0.005 (-5.30)
= 0.03
b. Indeks Kemerataan (e)
E =
E =
= 0.01
c. Indeks Kekayaan
2
2
= 0.0001
11.
Spesies N (SIPUT)
a. Indeks Diversitas Shannon Wiener (H’)
H’
= -∑ 0.005 ln (0.005)
= -∑ 0.005 (-5.30)
= 0.03
b. Indeks Kemerataan (e)
E =
E =
= 0.01
c. Indeks Kekayaan
2
2
= 0.0001
12.
Spesies M (Sejenis KECOA)
a. Indeks Diversitas Shannon Wiener (H’)
H’
= -∑ 0.005 ln (0.005)
= -∑ 0.005 (-5.30)
= 0.03
b. Indeks Kemerataan (e)
E =
E =
= 0.01
c. Indeks Kekayaan
2
2
= 0.0001
13.
Spesies L (Sejenis LABA-LABA)
a. Indeks Diversitas Shannon Wiener (H’)
H’
= -∑ 0.005 ln (0.005)
= -∑ 0.005 (-5.30)
= 0.03
b. Indeks Kemerataan (e)
E =
= 0.01
E =
c. Indeks Kekayaan
2
2
= 0.0001
14.
Spesies J (JANGKRIK)
a. Indeks Diversitas Shannon Wiener (H’)
H’
= -∑ 0.005 ln (0.005)
= -∑ 0.005 (-5.30)
= 0.03
b. Indeks Kemerataan (e)
E =
E =
= 0.01
c. Indeks Kekayaan
2
2
= 0.0001
tabel indeks kemerataan
Spesies
Indeks Kemerataan
(e)
A
0.16
Indeks
Diversitas
(H’)
0.32
Indeks
Kekayaan
(D)
0.1369
B
0.10
0.20
0.0196
H
0.07
0.15
0.0064
E
0.09
0.19
0.016
I
0.04
0.09
0.0016
G
0.06
0.30
0.0049
D
0.04
0.09
0.0016
C
0.06
0.30
0.0049
K
0.10
0.03
0.0001
F
0.10
0.03
0.0001
N
0.10
0.03
0.0001
M
0.10
0.03
0.0001
L
0.10
0.03
0.0001
J
0.10
0.03
0.0001
Total
1.22
1.82
0.1925
Tabel INP
Tabel Densitas danFrekuensi
Grafik
C. Pembahasan
Penelitian yang dilakukan di sepanjang perjalanan menuju pantai
Apparalang yang terletak di kabupaten Bulukumba, ditemukan beberapa populasi
hewan baik yang hidup di pohon, permukaan tanah dan yang hidup di dalam tanah.
Analisis populasi hewan-hewan ini dilakukan dengan menggunakan metode
transek. Pada setiap transek dilakukan pengambilan sampel dengan memasang
plot-plot kecil seluas 2 x 2 meter dan 1 x 1 meter pada setiap subtransek sepanjang
10 meter. Berdasarkan hasil penelitian, spesis yang mendominasi daerah ini pada
hewan permukaan tanah adalah dari jenis arthropoda yaitu dari jenis insekta,
myriapoda dan arahnida. Insekta yang paling banyak ditemukan adalah semut,
dimana haampir setiap plot dapat kita jumpai hewan ini. Sarang semut paling
banyak ditemukan di padang rumput dan jarang ditemukan di hutan tropis dataran
rendah, namun lebih banyak ditemukan di hutan dan daerah pertanian terbuka
dengan ketinggian sekitar 600 m. Ia banyak ditemukan menempel pada beberapa
pohon, umumnya di pohon kayu putih, cemara gunung, kaha, dan pohon beech,
tetapi jarang pada pohon-pohon dengan batang halus dan rapuh seperti Eucalyptus.
Sarang semut juga tumbuh pada dataran tanpa pohon dengan nutrisi rendah dan di
atas ketinggian pohon.
Adapun hewan lain yang sering dijumpai adalah kekaki seribu atau kaki
seribu. Hewan ini juga sering ditemukan pada tiap plot pengambilan smpel. Hal ini
karena lokasi penelitian memiliki struktur tanah yang cukup gembur dimana
diketahui bahwa hewan ini menyukai tanah yang gembur atau lembab. Habitat
Kaki seribu biasanya terdapat di tanah-tanah gembur, berhumus dan lembab. Kaki
seribu juga menyukai tanah-tanah yang sedikit mengandung pupuk kimia dan lebih
banyak mengandung kompos maupun pupuk kandang. Lingkungan yang gersang
dan kering tidak disukai oleh Kaki seribu ini, sehingga dari indicator ini akan
kelihatan apakan lingkungan di sekitar rumah kita sudah dipenuhi oleh residu
kimia atau belum. Kebanyakan kaki seribu ditemukan di daerah dingin,
lingkungan yang lembab dan banyak spesies yang umum di bawah batu dan kayu,
di serasah daun dan tanah dan di bawah kulit pohon.
Sedangkan beberapa hewan tanah/ yang hidup di dalam tanah didominasi
oleh cacing tanah. Hewan ini hidup di dalam tanah namun pada saat dilakukan
pengambilan sampel hanya sedikit yang ditemukan karena kondisi tanah pada tiap
substransek berbeda-beda, dan kadang agak kering. Cacing tanah termasuk
binatang yang sangat kompleks karena masing-masing jenis cacing tanah memiliki
habitat yang spesifik. Hal ini menyebabkan setiap jenis cacing tanah akan bertahan
pada habitatnya masing-masing. Cacing tanah dapat hidup dengan baik pada pH 6
s/d 7,2, kelembaban 12,5 s/d 17,5 dan suhu 15 s/d 31 oC.
Grafik menunjukkan bahwa hewan yang memiliki frekuensi terbanyak
ditemukan pada daerah penelitian adalah spesis A (semut). Sedangkan spesis yang
paling jarang ditemukan / frekuensi paling sedikit adalah spesis C dan D. Hal ini
dipengaruhi oleh kondisi ekosistem di lokasi penelitian yang kadang berubah pada
tiap substransek. Nilai INP dari hasil penelitian didapatkan data sebagai berikut:
spesis A memiliki nilai INP yaitu 55,339412; spesis B 21,621074; spesis H dan E
sebesar 19,209726; spesis I 18,480243; spesis G 16,129686; spesis D 13,272543;
spesis C 12,097264; spesis K dan F 6,160081; spesis N; M; L; dan J adalah
3,080041.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, hewan yang mendominasi area penelitian
yaitu dari jenis serangga yaitu semut, sedangkan dari jenis invertebrata yaitu
cacing. Kerapatan populasi pada tiap substransek berbeda-beda dikarenakan
kondisi tanah pada area penelitian yang kadang berubah secara drastis diantara
subtransek satu dan subtransek berikutnya.
B. Saran
Sebaiknya
peneliti
lebih
analitik
dalam
melakukan
penelitian
(pengambilan sampel) agar hasil yang diharapkan dapat tercapai dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Bulukumba
http://www.bulukumbakab.go.id/profil/geografi-topografi-bulukumba.html
Hendra, dkk. 2012. Kerapatan Populasi. Tasikmalaya: Universitas Siliwangi.
Indriyanto. 2006. Dasar-Dasar Ekologi Hewan. Yogyakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Proyek Pembinaan
Dan Peningkatan Mutu Tenaga Pendidikan.
Kershaw, K. A., 1979. Quantitatif and Dynamic Plant Ecology, Edward Arnold
Publishers, London.
Kholisabdullah. 2011. Populasi. http://kholisabdullah %%% .wordpress .com /2011
/10/09/populasi. Makassar: Diunduh tanggal 08 Juni 2015.
Mercianto, Y., Yayuk R. S. dan Dedy D. 1997. Perbandingan Populasi Serangga
Tanah pada Tiga Keanekaragaman Tegakan Dipterocarpaceae. Prosiding
Seminar Biologi XIV dan Kongres Nasional Biologi XI. Depok:
Perhimpunan Biologi Indonesia Cabang Jakarta.
Odum, E. P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Terjemahan Tjahjono
Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Suhardjono, Y. R. 1997. Perbedaan Lima Macam Larutan yang Digunakan dalam
Perangkap Sumuran pada Pengumpulan Serangga Permukaan Tanah.
Prosiding Seminar Biologi XV. Perhimpunan Biologi Indonesia, Cabang
Lampung dan Universitas Lampung.
Suin, N. M. 1997. Ekologi Fauna tanah. Bumi Aksara. Jakarta.
Supardi, I. 1994. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. Alumni. Bandung
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahi rabbil alamin,
Puji syukur atas ridho dan karunia Allah SWT. karena atas izin-Nya lah
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian ini. Salam dan salawat
semoga tetap tercurah kepada Muhammad SAW. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada:
1. Kepada kedua orang tua penulis (Muh. Iskin & ST. Hasnah) yang tak pernah lelah
membimbing dan memberikan dukungan kepada penulis hingga penulis dapat
sampai pada hari ini.
2. Kepada dosen pembimbing Ekologi Hewan Dr. Ir. Muhammad Wiharto, M.Si
yang telah banyak berjasa atas pengetahuan penulis.
3. Kepada teman-teman penulis yang telah memberikan dukungan dan semangat
kepada penulis demi terselesaikannya laporan ini.
Semoga segala lindungan daari Allah SWT. tetap mengiringi langkah-langkah
mereka. Amin.
LAMPIRAN
> #-------------------------APPARALANG----------------------------------------> #---------------Data termite tanah, sarasa dan pohon------------------------------------> rm(list=ls(all=TRUE))
> #-------------------------------------> #----------------- Programmer: WISTIANI/1214041023 --------------------------> #-------------- (1) : Makassar 11 Juni 2015 ------------------> #-----------------------------------------------> setwd('E:/My Document/Kuliah/Semester 6/EKWAN')
>
trans1
<-read.csv('apparalang.ekwan.csv',
header=T,
stringsAsFactors = FALSE)
> head(trans1)
No Transek Plot spesies
1 1
1
p1
G
2 2
1
p1
A
3 3
1
p1
A
4 4
1
p1
A
5 5
1
p1
H
6 6
1
p1
A
> tail(trans1)
No Transek Plot spesies
107 107
2
p1
E
108 108
2
p1
C
109 109
3
p1
E
110 110
3
p1
E
111 111
3
p3
A
112 112
3
p3
A
> #---- mengambil hanya transek 1--------> #---- gantikan nilai 1, dengan 2, 3, dstnya jika sudah ---> #---- ganti nomer tegakan---------------> tran1.termite.tanah<-trans1[trans1$Transek==1,]
> str(tran1.termite.tanah)
'data.frame':
105 obs. of 4 variables:
$ No
: int 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 ...
$ Transek: int 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 ...
$ Plot
: chr "p1" "p1" "p1" "p1" ...
$ spesies: chr "G" "A" "A" "A" ...
> head(tran1.termite.tanah)
No Transek Plot spesies
1 1
1
p1
G
2 2
1
p1
A
3 3
1
p1
A
4 4
1
p1
A
5 5
1
p1
H
6 6
1
p1
A
> tail(tran1.termite.tanah)
No Transek Plot spesies
100 100
1 p10
A
101 101
1 p10
A
102 102
1 p10
A
103 103
1 p10
C
104 104
1 p10
K
105 105
1 p10
D
> #------------------------> #----------Menghitung frekuensi dari lapangan ----------------------------->
frek
<tapply(tran1.termite.tanah$Transek,list(tran1.termite.tanah$Plot,
tran1.termite.tanah$spesies),length)
> frek1 <-data.frame(frek)
> frek1[is.na(frek1)]<-0
> frekuensi <-apply(frek1 > 0,2,sum)
> #----------------------> #---------------- menghitung densitas dari lapangan------------> #------------------------------------------------------->
densitas
<tapply(tran1.termite.tanah$Plot,tran1.termite.tanah$spesies,lengt
h)
> #---- Menggabungkan densitas, frekuensi ----------------> transek1.semak.ap <-data.frame(densitas,frekuensi)
> head(transek1.semak.ap )
densitas frekuensi
A
38
9
B
16
3
C
6
3
D
5
4
E
9
5
F
2
2
>
> #------ Fungsi untuk menghitung frekuensi mutlak -------> frek.mut <-function(x, n = 10)
+ {
+ #-----------------------------------+ #Keterangan:
+ #x = kolum data yang akan ditentukan
+ #
frekuensi mutlaknya
+ #n = jumlah plot
+ #-----------------------------------+ frm <- x/n
+ return (frm)
+ #-----------------------------------+ }
> #------ Menghitung frekuensi mutlak setiap spesies ----> frek.mutlak <-frek.mut(transek1.semak.ap $frekuensi)
>
> #------ Fungsi untuk menghitung densitas mutlak ------> denmut <-function(x, k=2, n=10)
+ {
+ #--------------------+ #x = kolum data yang
+ #
kan ditentukan
+ #
dominansi mutlak
+ #k = ukuran plot
+ #n = jumlah plot
+ #-------------------+ kn <-k * k * n
+ dn <- x/kn
+ return(dn)
+ #--------------------+ }
> #------ Menghitung densitas mutlak setiap spesies ----> den.mutlak <-denmut(transek1.semak.ap $densitas)
> #----------------------------------------------------->
> #------ Menggabungkan frek.mutlak, dan den.mutlak ke dalam
> #------ data.frame transek1 ----------------------> transek1.semak.ap <-data.frame(transek1.semak.ap, den.mutlak,
frek.mutlak)
> #----- Menghitung nilai total frekuensi mutlak --------> TfrekMut <-sum(transek1.semak.ap $frek.mutlak)
> cat('Nilai total frekuensi mutlak = ',TfrekMut,'\n')
Nilai total frekuensi mutlak = 4.7
>
>
> #----- Menghitung nilai total densitas mutlak --------> TdenMut<-sum(transek1.semak.ap $den.mutlak)
> cat('Nilai total dominansi mutlak = ',TdenMut,'\n')
Nilai total dominansi mutlak = 2.625
>
> #----- Menghitung frekuensi relative ------------------> frek.rel <-( transek1.semak.ap $frek.mutlak/TfrekMut)*100
> Tfrek.rel<-sum(frek.rel)
> cat('Nilai total frekuensi relatif = ',Tfrek.rel,'\n')
Nilai total frekuensi relatif = 100
> #----- Menghitung densitas relative ------------------> den.rel <-( transek1.semak.ap $den.mutlak/TdenMut)*100
> Tden.rel<-sum(den.rel)
> cat('Nilai total densitas relatif = ',Tden.rel,'\n')
Nilai total densitas relatif = 100
> #------------------------------------------------------>
> #------------------------------------------------------> #-- Menggabungkan frek. relative dan dominan. relative > #-- ke dalam data frame praktek herba ----------------->
transek1.semak.ap
<-data.frame(transek1.semak.ap,
den.rel,
frek.rel)
> head(transek1.semak.ap)
densitas frekuensi den.mutlak frek.mutlak
A
38
9
0.950
0.9
B
16
3
0.400
0.3
C
6
3
0.150
0.3
D
5
4
0.125
0.4
E
9
5
0.225
0.5
F
2
2
0.050
0.2
den.rel frek.rel
36.190476 19.148936
15.238095 6.382979
5.714286 6.382979
4.761905 8.510638
8.571429 10.638298
1.904762 4.255319
#------ Menghitung nilai indeks nilai penting setiap --#------ spesies ---------------------------------------INP <- transek1.semak.ap $den.rel+ transek1.semak.ap $frek.rel
#-- Menggabungkan indeks nilai penting (INP)-----------#-- ke dalam data frame transek1 ----------------------transek1.semak.ap <-data.frame(transek1.semak.ap, INP)
#------------------------------------------------------head(transek1.semak.ap)
densitas frekuensi den.mutlak frek.mutlak
A
38
9
0.950
0.9
B
16
3
0.400
0.3
C
6
3
0.150
0.3
D
5
4
0.125
0.4
E
9
5
0.225
0.5
F
2
2
0.050
0.2
den.rel frek.rel
INP
A 36.190476 19.148936 55.339412
B 15.238095 6.382979 21.621074
C 5.714286 6.382979 12.097264
D 4.761905 8.510638 13.272543
E 8.571429 10.638298 19.209726
F 1.904762 4.255319 6.160081
> #------------------------------------------------------> tail(transek1.semak.ap)
densitas frekuensi den.mutlak frek.mutlak
I
6
6
0.150
0.6
J
1
1
0.025
0.1
K
2
2
0.050
0.2
L
1
1
0.025
0.1
M
1
1
0.025
0.1
N
1
1
0.025
0.1
den.rel frek.rel
INP
I 5.714286 12.765957 18.480243
J 0.952381 2.127660 3.080041
K 1.904762 4.255319 6.160081
L 0.952381 2.127660 3.080041
M 0.952381 2.127660 3.080041
N 0.952381 2.127660 3.080041
> #------------------------------------------------------> total.INP <-sum(transek1.semak.ap$INP)
> #------------------------------------------------------> Total.INP <-function()cat('Nilai total INP = ',total.INP,'\n')
> #------------------------------------------------------> Total.INP()
Nilai total INP = 200
> #---------------------------------------------------------------A
B
C
D
E
F
>
>
>
>
>
>
>
>
> #---- Fungsi memberi kode nomer transek ------------------------> trans <-function(x){
+ ifelse(x>0, 1,0)}
> #---------------------------------------------------------------> transek <-trans(transek1.semak.ap$INP)
> transek1.semak.ap <-data.frame(transek1.semak.ap,transek)
> #---------------------------------------------------------------> #--- Mengurutkan dari nilai INP terendah ke tertinggi ->
urut_ke_atas_transek1
<transek1.semak.ap
[order(transek1.semak.ap $INP),]
> urut_ke_atas_transek1
densitas frekuensi den.mutlak frek.mutlak
J
1
1
0.025
0.1
L
1
1
0.025
0.1
M
1
1
0.025
0.1
N
1
1
0.025
0.1
F
2
2
0.050
0.2
K
2
2
0.050
0.2
C
6
3
0.150
0.3
D
5
4
0.125
0.4
G
8
4
0.200
0.4
I
6
6
0.150
0.6
E
9
5
0.225
0.5
H
9
5
0.225
0.5
B
16
3
0.400
0.3
A
38
9
0.950
0.9
den.rel frek.rel
INP transek
J 0.952381 2.127660 3.080041
1
L 0.952381 2.127660 3.080041
1
M 0.952381 2.127660 3.080041
1
N 0.952381 2.127660 3.080041
1
F 1.904762 4.255319 6.160081
1
K 1.904762 4.255319 6.160081
1
C 5.714286 6.382979 12.097264
1
D 4.761905 8.510638 13.272543
1
G 7.619048 8.510638 16.129686
1
I 5.714286 12.765957 18.480243
1
E 8.571429 10.638298 19.209726
1
H 8.571429 10.638298 19.209726
1
B 15.238095 6.382979 21.621074
1
A 36.190476 19.148936 55.339412
1
> round(urut_ke_atas_transek1,3)
densitas frekuensi den.mutlak frek.mutlak
J
1
1
0.025
0.1
L
1
1
0.025
0.1
M
1
1
0.025
0.1
N
1
1
0.025
0.1
F
2
2
0.050
0.2
K
2
2
0.050
0.2
C
6
3
0.150
0.3
D
5
4
0.125
0.4
G
I
E
H
B
A
8
4
0.200
0.4
6
6
0.150
0.6
9
5
0.225
0.5
9
5
0.225
0.5
16
3
0.400
0.3
38
9
0.950
0.9
den.rel frek.rel
INP transek
J
0.952
2.128 3.080
1
L
0.952
2.128 3.080
1
M
0.952
2.128 3.080
1
N
0.952
2.128 3.080
1
F
1.905
4.255 6.160
1
K
1.905
4.255 6.160
1
C
5.714
6.383 12.097
1
D
4.762
8.511 13.273
1
G
7.619
8.511 16.130
1
I
5.714
12.766 18.480
1
E
8.571
10.638 19.210
1
H
8.571
10.638 19.210
1
B 15.238
6.383 21.621
1
A 36.190
19.149 55.339
1
> #--- Mengurutkan dari nilai INP tertinggi ke terendah ->
urut_ke_bawah_transek1
<-transek1.semak.ap
[rev(order(transek1.semak.ap $INP)),]
> urut_ke_bawah_transek1
densitas frekuensi den.mutlak frek.mutlak
A
38
9
0.950
0.9
B
16
3
0.400
0.3
H
9
5
0.225
0.5
E
9
5
0.225
0.5
I
6
6
0.150
0.6
G
8
4
0.200
0.4
D
5
4
0.125
0.4
C
6
3
0.150
0.3
K
2
2
0.050
0.2
F
2
2
0.050
0.2
N
1
1
0.025
0.1
M
1
1
0.025
0.1
L
1
1
0.025
0.1
J
1
1
0.025
0.1
den.rel frek.rel
INP transek
A 36.190476 19.148936 55.339412
1
B 15.238095 6.382979 21.621074
1
H 8.571429 10.638298 19.209726
1
E 8.571429 10.638298 19.209726
1
I 5.714286 12.765957 18.480243
1
G 7.619048 8.510638 16.129686
1
D 4.761905 8.510638 13.272543
1
C 5.714286 6.382979 12.097264
1
K 1.904762 4.255319 6.160081
1
F 1.904762 4.255319 6.160081
1
N 0.952381 2.127660 3.080041
1
M 0.952381 2.127660 3.080041
1
L 0.952381 2.127660 3.080041
1
J 0.952381 2.127660 3.080041
1
> round(urut_ke_bawah_transek1,3)
densitas frekuensi den.mutlak frek.mutlak
A
38
9
0.950
0.9
B
16
3
0.400
0.3
H
9
5
0.225
0.5
E
9
5
0.225
0.5
I
6
6
0.150
0.6
G
8
4
0.200
0.4
D
5
4
0.125
0.4
C
6
3
0.150
0.3
K
2
2
0.050
0.2
F
2
2
0.050
0.2
N
1
1
0.025
0.1
M
1
1
0.025
0.1
L
1
1
0.025
0.1
J
1
1
0.025
0.1
den.rel frek.rel
INP transek
A 36.190
19.149 55.339
1
B 15.238
6.383 21.621
1
H
8.571
10.638 19.210
1
E
8.571
10.638 19.210
1
I
5.714
12.766 18.480
1
G
7.619
8.511 16.130
1
D
4.762
8.511 13.273
1
C
5.714
6.383 12.097
1
K
1.905
4.255 6.160
1
F
1.905
4.255 6.160
1
N
0.952
2.128 3.080
1
M
0.952
2.128 3.080
1
L
0.952
2.128 3.080
1
J
0.952
2.128 3.080
1
> write.table(urut_ke_bawah_transek1, "Kelompok 3.csv", sep=",",
quote= FALSE,row.names=TRUE)
> #---------------------------------------------------------------> #---- Keanekaragaman Spesies -----------------------------------> #--(1) Indeks Keanekaragaman Shanon Wienner --------------------> div <-function(x){
+
b = x/sum(x)
+
d = log(b)
+
h = -1 * (b *d)
+
H = sum(h)
+ return(H)
+
}
> Shanon <-div(transek1.semak.ap$INP)
> Shanon
[1] 2.290349
> #--(2) Indeks Simpson -----------------------------------------> D <-function(x,y) {a <- x - 1
+
b <- x * a
+
c <- sum(b)
+
d <- y -1
+
e <- y * d
+
s <- c/e
+
return(s)}
> Simpson <- D(transek1.semak.ap$INP, total.INP)
> Simpson
[1] 0.1282909
> #-- (3) Indeks Keanekaragaman Simpson -------------------------> SID <- function(x)
+
{sid <- 1 - x
+
return(sid)
+
}
> diversitas.simpson <- SID(Simpson)
> diversitas.simpson
[1] 0.8717091
> #-- (4) Indeks Reciprocal Simpson ----------------------------> sri<- function(x)
+ {
+ # --- Simpson Reciprocal Index --+ sid <- 1/x
+
return(sid)
+ }
> SRI <-sri(Simpson)
> SRI
[1] 7.794784
> #-- (5) Jumlah total spesies ---------------------------------> Jumlah.Spesies <- length(transek1.semak.ap$INP)
> Jumlah.Spesies
[1] 14
> #-- (6) Indeks Kekayaan Spesies ------------------------------> ksp <- function(x,y)
+ { a <- x/sum(sqrt(y))
+
b <- sum(a)
+
return (b)
+ }
>
Kekayaan.Spesies
<-ksp(Jumlah.Spesies,
transek1.semak.ap$den.mutlak)
> Kekayaan.Spesies
[1] 2.686701
> #-- (6) Indeks Kemerataan Spesies ------------------------------> kms <-function(x,y)
+
{a <- x/log(sum(y))
+
return(a)
+
}
>
> Kemerataan.spesies <- kms(Shanon,transek1.semak.ap$den.mutlak)
> Kemerataan.spesies
[1] 2.37322
> #--------------------------------------------------------------> Keanekaragaman <-c('Shannon Wienner (H)','Indeks Simpson (D)',
'Diversitas Simpson (1-D)', 'Reciprocal Simpson (1/D)',
+
'Jumlah Spesies (N)', 'Indeks Kekayaan
Spesies (R)', 'Indeks kemerataan Spesies (e)')
>
>
Nilai
<c(Shanon,Simpson,diversitas.simpson,SRI,Jumlah.Spesies,Kekayaan.S
pesies
+ , Kemerataan.spesies
+ )
> Keanekaragaman.tegakan <-data.frame(Keanekaragaman, Nilai)
> #---------------------------------------------------------------> #---------------------------------------------------------------> #---- Fungsi memberi kode nomer transek ------------------------> trans <-function(x){
+ ifelse(x>0, 1,0)}
> #---------------------------------------------------------------> transek <-trans(Keanekaragaman.tegakan$Nilai)
>
Keanekaragaman.tegakan
<data.frame(transek,Keanekaragaman.tegakan)
> Keanekaragaman.tegakan
transek
Keanekaragaman
1
1
Shannon Wienner (H)
2
1
Indeks Simpson (D)
3
1
Diversitas Simpson (1-D)
4
1
Reciprocal Simpson (1/D)
5
1
Jumlah Spesies (N)
6
1
Indeks Kekayaan Spesies (R)
7
1 Indeks kemerataan Spesies (e)
Nilai
1 2.2903492
2 0.1282909
3 0.8717091
4 7.7947837
5 14.0000000
6 2.6867012
7 2.3732199
>
> #---------------------------------------------------------------> #---- Menyimpan data tegakan------------------------------------> write.table(urut_ke_bawah_transek1, "transek1.csv", sep=",",
quote= FALSE,row.names=TRUE)
> #---- Jika sudah transek 2 ke atas gunakan penyimpanan ini ---->
#---write.table(urut_ke_bawah_transek1,
"transek1.csv",
sep=",", append=TRUE,quote= FALSE,row.names=TRUE)
>
>
>
> #---------------------------------------------------------------> #---- Menyimpan data keanekaragaman ---------------------------->
write.table(Keanekaragaman.tegakan,
"Keanekaragaman.tegakan.csv",
sep=",",
quote=
FALSE,row.names=TRUE)
> #--------------------------------------------------------------->
#write.table(Keanekaragaman.tegakan,
"Keanekaragaman.tegakan.csv",
sep=",",
append=TRUE,
quote=
FALSE,row.names=TRUE)
> #--------------------------------------------------------------> rm(list=ls(all=TRUE))
> library(vegan)
> #-------------------------------------------------------------> #-- Membuat dendogram ----------------------------------------> #-----------------------------------------> #--- Membuat dendogram -------------------> #--- data mtcars bawaan dari R -----------> #--- saya pikir data ini perlu di normalisasi (?)
> #--- karena terlalu beragam --------------> #--- harus gunakan package Vegan ---------> #--- program jarak indeks Jaccard -------> b<-read.csv('Kelompok 3.csv',header=TRUE, sep =";", dec = ".",
row.names=1)
> b
data frame with 0 columns and 14 rows
> a <- vegdist(mtcars, method = 'jaccard')
> hca <- hclust(dist(a))
> hca.a <- as.dendrogram(hca)
> #--- Tampilkan plot ----------------------> plot(hca.a)
> #----------------------------------------->
> rm(list=ls(all=TRUE))
> library(vegan)
> #--- Membuat dendogram -------------------> #--- metode yang digunakan adalah: -------> #--- hierarchical, agglomerative clustering -> #--- data mtcars bawaan dari R -----------> #--- saya pikir data ini perlu di standarisasi
> #--- karena terlalu beragam --------------> #--- harus gunakan package Vegan ---------> #--- program jarak indeks Jaccard -------> d<-read.csv("Kelompok 3.csv", header=T, stringsAsFactors =
FALSE)
> d
A
B
H
E
I
G
D
C
K
F
N
M
L
J
A
B
H
E
I
G
D
C
K
F
N
M
L
J
>
>
>
>
>
>
>
>
A
B
H
E
I
G
D
C
K
F
N
M
L
J
>
densitas frekuensi den.mutlak frek.mutlak
38
9
0.950
0.9
16
3
0.400
0.3
9
5
0.225
0.5
9
5
0.225
0.5
6
6
0.150
0.6
8
4
0.200
0.4
5
4
0.125
0.4
6
3
0.150
0.3
2
2
0.050
0.2
2
2
0.050
0.2
1
1
0.025
0.1
1
1
0.025
0.1
1
1
0.025
0.1
1
1
0.025
0.1
den.rel frek.rel
INP transek
36.190476 19.148936 55.339412
1
15.238095 6.382979 21.621074
1
8.571429 10.638298 19.209726
1
8.571429 10.638298 19.209726
1
5.714286 12.765957 18.480243
1
7.619048 8.510638 16.129686
1
4.761905 8.510638 13.272543
1
5.714286 6.382979 12.097264
1
1.904762 4.255319 6.160081
1
1.904762 4.255319 6.160081
1
0.952381 2.127660 3.080041
1
0.952381 2.127660 3.080041
1
0.952381 2.127660 3.080041
1
0.952381 2.127660 3.080041
1
data1 <- vegdist(d, method = 'jaccard')
#--- metode pengelompokan yang dipakai ---#--- adalah metode Ward ------------------kluster_hirarki <- hclust(dist(data1), method = 'average')
#--- Melihat pengelompokan ---------------group <-cutree(kluster_hirarki,4)
kelompok <-cbind(group)
kelompok
group
1
2
2
2
2
2
2
2
3
3
4
4
4
4
#------------------------------------------
> kluster_hirarki.a <- as.dendrogram(kluster_hirarki)
> #--- Kalau mau pakai jarak euclidean ----> #--- kluster_hirarki=hclust(dist(a),method="euclidean")-> #----------------------------------------> #--- membuat warna -----------------------> #--- Warna yang digunakan adalah merah, --> #--- merah,biru,hitam,hijau ---> #--- dan ungu ----------------------------> warna = c("red", "blue", "black", "green")
> #--- menentukan 4 cluster ----------------> jlhkelompok = cutree(kluster_hirarki, 4)
> #--- Fungsi untuk memberi warna ----------> #--- terima kasih untuk: ------------------> #--- http://rpubs.com/gaston/dendrograms --> #--- Gaston Sanches -- Visualizing Dendrograms in R --> #------------------------------------------> warnaklp <- function(n) {
+
if (is.leaf(n)) {
+
a <- attributes(n)
+
warnagbr <- warna[jlhkelompok[which(names(jlhkelompok)
== a$label)]]
+
attr(n, "nodePar") <- c(a$nodePar, lab.col = warnagbr)
+
}
+
n
+ }
> #--------------------------------------------> #------- memanfaatkan fungsi dendrapplym ----> gambar <- dendrapply(kluster_hirarki.a, warnaklp)
> # -- membuat plot dendogram ----------------->
plot(gambar,
col='blue',main='',sub='',xlab='Tegakan',ylab='Indeks Jaccard')
> #-------------------------------------------->
> #--- http://rpubs.com/gaston/dendrograms --> #--- Gaston Sanches -- Visualizing Dendrograms in R -->
>
plot(gambar,
col='blue',main='',sub='',xlab='Tegakan',ylab='Indeks Jaccard')
> save.image("E:\\My Document\\Kuliah\\Semester 6\\EKWAN\\r")
Gambar-gambar dokumentasi penelitian