FP
Tanah Merah
Berkatalah sebatang pohon kepada seorang manusia, "Akarku
menghunjam dalam ke tanah yang merah, dan aku akan memberimu
buah-buahku."
Manusia itu menjawab, "Betapa miripnya kita, akarku juga menghunjam
dalam ketanah yang merah, dan tanah yang merah itu mengajariku untuk
menerima pemberianmu dengan rasa terima kasih."
(Kahlil Gibran)
Untuk Tanah Merah-ku...
sebagai sebuah hadiah ulang tahun ke-60
Daftar Isi
... come what may - viii
Prolog
I... Just Run! - 1
Satu
Me and You Vs the World - 15
Dua
All I Have to Do is Dream - 53
Tiga
Yellow - 69
Empat
Wings to Fly - 86
Lima
Don't Stop Me Now - 104
Enam
Re humanize - 136
Tujuh
You Are the Universe - 206
Delapan
A Letter, A Heart... to Remember - 279
Sembilan
5 cm - 325
Sepuluh
Spectacular... Spectacular... - 364
Biografi Singkat - 380
...come what may
Once again... a dream's come true!
Salah satu keindahan di dunia ini yang akan selalu dikenang adalah ketika
kita bisa melihat atau merasakan sebuah impian menjadi kenyataan. Dan,
bagi penulis, buku ini adalah salah satu keindahan itu.
Terima kasih yang tak terhingga serta rasa syukur, terucapkan kepada Allah
SWT, Sang Mahahati, Sang Maha segalanya, Mahapengasih dan penyayang
yang telah memberikan cinta tak terhingga, nikmat yang tak pernah
berujung; terima kasih atas berjuta kesempatan untuk selalu menengok ke
atas, melihat ke langit demi mensyukuri segala nikmat dan cobaan yang
penuh dengan pelajaran yang sangat berharga; terima kasih atas segala
pejaman dan ketertundukan dalam doa yang telah membuat diriku bangga
dan bahagia hadir sebagai makhluk-Mu di dunia ini. Terima kasih dan
sembah sujud kepada baginda Nabi Muhammad SAW, atas segala
perjuangan dan amanah yang tak pernah padam sampai akhir zaman.
Kepada keluarga tercinta, Papa dan Mama (telapak kaki surgaku), kalau
ada balasan untuk setiap perbuatan baik yang kulakukan saat ini,
semuanya untuk Mama dan Papa dulu.... Terima kasih Ma... Pa.... Untuk
adik-adik tercinta: Rizky, Ditha,
viii
dan Grezika, terima kasih atas segala kasih sayang dan perhatian serta
"pengertian" yang amat berharga dan sangat berarti.
Terima kasih juga buat teman-teman yang terus memberi semangat secara
"nggak keruan dan nggak jelas": Bayu dan keluarga (temen curhat, temen
begadang, temen sok tau, dan temen yang mau direpotin, padahal dia
sendiri juga repot), Yoga, Codet, Bjo, Moniek, Dwi dan Nisa (jangan ge-er
lho Nis! tokoh Riani di sini sama sekali bukan elo... sumpah!). Semua teman
alumni SMU 6 angkatan 1997, kapan kita bikin acara "gila" lagi? Untuk
semua teman di Risalah, Yudi dan Eko yang telah bersama-sama mencapai
Mahameru. Terima kasih juga buat teman-teman alumni STEE Perbanas
dan teman-teman di SLIDE Perbanas.
Terima kasih untuk teman-teman terbaik saya di PPJMASI atas segala
perhatian, kesempatan belajar, dan saran. Kepada eks rekan-rekan kerja di
Bank Niaga yang baiiik sekali sama gue... ("kangen nggak... sama gue?"),
yang sedikit banyak telah memberikan inspirasi. Terima kasih juga kepada
suatu tempat bernama Karoeng yang telah membuatku terus mempunyai
semangat untuk tidak pernah berhenti belajar.
Kepada editor, seorang "pendengar yang baik" Mas Bimo, yang sabar, enak
diajak ngobrol, dan juga teman diskusi yang baik, juga kepada setiap
karyawan PT Gramedia Widiasarana Indonesia yang telah banyak
membantu penerbitan buku ini.
Terima kasih juga kepada seluruh pihak yang telah membantu penerbitan
buku ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak bisa
disebutkan satu per satu di sini. Tentu saja terima kasih tak terhingga
kepada para pembaca yang telah meluangkan mata, hati, dan waktu untuk
membaca karya ini. Semoga buku ini dapat memberikan sesuatu yang
bermanfaat bagi siapa saja dengan berbagai cara
ix
Dan, terima kasih kepada...
- Puncak Mahameru yang telah memberikan sesuatu yang tidak akan
pernah terlupakan seumur hidup.
- Impian, harapan, keinginan, dan cita-cita yang akan selalu ada untuk
sebuah makhluk bernama manusia.
Keep our dreams alive... and we will survive.
-Donny Dhirgantorosetelah melewati cetakan kesepuluh...
Sebuah e-mail dari seorang pembaca mengungkapkan, bagaimana 5 cm
telah mengubah hidupnya dan membuat dia lebih berani melangkah ke
depan mengejar mimpi-mimpinya Bagaimana karena 5 cm dia merasa
bahwa kita harus bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan,
karena masih banyak orang kurang beruntung daripada kita. Beberapa
menyampaikan telah bisa melangkah lebih mantap karena sekarang ada 5
cm di dalam dirinya Beberapa pembaca menyampaikan bahwa dia semakin
dekat dengan sahabatnya karena cm. Sebuah perjuangan muncul kembali,
sebuah tekad muncul kembali.sebuah negara dicinta kembali. Sebuah
mimpi ada dan siap untuk diperjuangkan. Bagi saya, tidak ada hal yang bisa
lebih membahagiakan di dunia ini daripada semua hal di atas.
5 am telah melewati cetakan ke-10, sebuah pencapaian yang kadang saya
sendiri bingung untuk memercayainya. Saya secara pribadi mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak dan para pembaca yang telah
meluangkan hatinya untuk 5 cm. Pembaca yang telah menjadikan 5 cm
seperti sebuah mimpi-sesuotu yang ada dan patut diperjuangkan.
Dengan segala kerendahan hati dari seorang yang baru dan masih berjalan
bertelanjang kaki dalam dunia tulis-menulis saya sedikit menyimpulkan
bahwa totalitas dalam segala hal demi mengejar mimpi dan cita-cita adalah
yang bisa membuat 5 cm sampai ke tahap ini Seperti tertulis dalam 5 cm,
kekuatan mimpi dan cita-cita serta doa adalah segalanya bagi setiap usaha
yang dilakukan setiap manusia. Selalu memberikan yang terbaik kepada
kehidupan dengan apa yang terbaik yang kita miliki setiap hari, dan selalu
punya impian dan cita-cita dalam hidup kita sebagai salah satu cerminan
rasa syukur kita kepada yang Mahakuasa Semoga ALLAH SWT
mengizinkan saya, seorang yang masih banyak sekali kekurangan dan
masih harus belajar lebih banyak lagi ini. Amin
Jakarta, 13 Maret
Setiap hari, yang terbaik...
Donny Dhirgantoro
Prolog
I...Just Run!
Masih suka berantem siapa yang paling bagus antara Joy dan Delon,
Beckham atau Zidane, Mansyur S atau Irfan Mansyur S.
Ada teman yang nanya, "Lo udah nonton Before Sunrise-nya Ethan Hawke
dan Julie Delpy? Sekarang ada Before Sunset lho.... Kalo belum nonton
silakan penasaran dan cari filmnya, tapi kalo udah silakan penasaran juga."
Lalu, kenapa film sebagus itu nggak terlalu terkenal? Ada apa sih dengan
Before Sunrise dan Before Sunset? Yang pasti, di film itu ada mimpi, mimpi
yang membuat hidup ini menjadi lebih indah dan film itu mungkin akan
selalu meninggalkan pertanyaan yang membuat kita terus bermimpi: apa
yang akan terjadi antara mereka berdua? Terus, kenapa film itu masuk ke
jajaran film-film independen? Atau, mungkinkah cuma orang-orang bebas
zaman sekarang yang masih punya mimpi? Tapi, bukankah setiap orang
bebas punya mimpi, bukankah setiap manusia harus punya mimpi? Kalau
manusia nggak punya mimpi namanya apa dong?
"A life without a risk is a life unlived..."
Mungkin sekarang kenyamanan sudah jadi segalanya sehingga tak ada lagi
yang mau mengambil risiko untuk mimpi-mimpinya, tak ada lagi yang
mau mencari keajaiban-keajaiban dan keindahan sebuah hati....
Banyak film bercerita bahwa kita enggak akan pernah tahu kapan, di
mana, siapa, mengapa, dan dari mana keindahan sebuah hati berawal.
Tapi, ada satu yang tak akan pernah hilang dari diri seorang anak
manusia. Kate Winslet dalam Titanic pernah bilang, "A woman's heart is
deeper than the ocean for a secret." (hati wanita lebih dalam daripada
samudra untuk menyimpan rahasia). Begitu indahnya hati wanita, meski
setiap laki-laki hanya bisa bilang, "Yo! Man gotta do what man gotta do."
Cerita ini bicara tentang cinta, mimpi, keyakinan, cita-cita, dan mudahmudahan bisa lebih dari sekadar "She loves me, she loves me not..." atau
"You lived in Beverly Hills, I lived in Nothing Hills." Inilah cerita tentang
mimpi manusia dan keajaiban-keajaiban hatinya. Sebab, cuma makhluk
bernama manusia yang bisa bikin pernyataan-pernyataan indah seperti ini:
- I have a dream... (Luther King, Martin)
- You may say I'm a dreamer but I'm not the only one. (Lennon, John.
Imagine)
- Everyman dies not everyman really lives. (Gibson, Mel, Braveheart)
- I... Just Run! (Hanks, Tom, Forrest Gump.)
- For a revolution, it's one triumph or die. (Ghuevara, Che)
- I'm gonna love you till the heaven steps the rain. (Morrisson, Jim, The
Doors)
- If you lost... you can look and you will find me time after time. (Lauper,
Cindy, Time After Time)
- All my life changing everyday in every possible way. (The Cranberries,
Dreams)
- We are gonna be forever you and me. (Tucker and Baiyeu, Lighthouse
Family)
- To be or not to be! ...that is the question. (Shakespeare, William. Hamlet)
- We are the champion my friend ...and we'll keep on fighting till the end.
(Mercury and May, Queen)
- Tieraa...Tieraa...! (Daratan! Daratan! Kata-kata pertama Christopher
Colombus saat pertama kali melihat tanah Amerika)
- Cogito ergo sum (Aku berpikir maka aku ada. Descartes, Rene)
- Saya tidak akan memakan buah palapa hingga Nusantara bersatu di
bawah bendera kejayaan Majapahit. (Mahapatih Gajah Mada, Majapahit)
- Bila sampai waktuku. (Anwar,Chairil)
- I just brought Indonesia... I fight and work and Sacrifice my self for this
Indonesian people... this Fatherland of mine.
(Sukarno.Gordon Skene Sound Selection)
- Merdeka atau Mati!!!(sumber tidak diketahui... tapi siapa yang nggak
tahu efeknya?)
Semuanya gara-gara mimpi....
(penulis lagi bingung.... Sumpah..!!! "siapa gue? kayaknya sok tahu banget
deh}..." tapi dia cuek aja. Jadinya, ya lanjut terus karena dia sekarang lagi
coba bermimpi)
Ada satu lagi quote yang dibuat oleh "orang besar" untuk "orang besar" lain.
Quote ini berasal dari Albert Einstein dan didekasikan pada saat
pemakaman Mahatma Gandhi. "Gene-ration to come will scarce believe that
such a one as this, ever in flesh and blood walked up on this Earth."
(Generasi mendatang akan
sulit mempercayai bahwa sesuatu yang menakjubkan ini pernah ada dalam
darah dan daging, serta berjalan di atas muka bumi.)
Mahatma Gandhi dengan mimpinya telah membuat hati manusia menjadi
sesuatu yang berharga untuk dikenang.
Akan selalu ada suatu keadaan, kenangan, dan orang-orang tertentu yang
pernah singgah dalam hati kita dan meninggalkan jejak langkah di hati
kita dan kita pun tidak akan pernah sama lagi seperti kita sebelumnya.
***
Cerita berawal dari sebuah tongkrongan lima orang yang mengaku
"manusia- manusia agak pinter dan sedikit tolol yang sangat sok tahu"
yang sudah kehabisan pokok bahasan di saat-saat nongkrong sehingga
akhirnya cuma bisa ketawa-ketawa. Bagi mereka, tak ada lagi yang bisa
diobrolkan tentang Lennon, Sinatra, Che Guevara, Robert Smith, Kurt
Cobain, Konfusius, Julius Sitanggang, Nobi Nobita, Frodo Baggins, ataupun
Whitman. Tak bersisa ruang untuk mendiskusikan hiperseksnya Chairil
Anwar, Marquis de sade, dan Sigmund Freud; tentang Soekarno, Tatang S,
Robert Smith, Siti Nurhaliza. Ethan Hawke, Tony Hawk, Endang Kurnia.
Atau, betapa beruntungnya seorang bernama Tom Hanks yang dalam
kehidupannya bisa jadi orang bego, pahlawan perang yang menginvasi
Normandy, astronot, dan orang yang tinggal sendirian di sebuah pulau.
Betapa menggairahkannya Sarah Michelle Gelar di film Cruel Intentions
yang mereka nobatkan sebagai salah satu film paling menggairahkan
dengan sekuel-sekuel terjelek sepanjang masa, atau juga Malena (Monicca
Belucci) yang mereka nobatkan sebagai The Most Wanted Neighbor in the
World.
Berawal dari pertemanan semasa SMA di sekolahnya "Galih dan Ratna"
takdir telah berbuat "Fubar" (kacau, blunder- istilah militer) dengan
mengumpulkan kelima tokoh ini: satu cewek dan empat cowok. Mereka
yang sangat membenci stereotyping-nya Dian Sastro terhadap para ABG,
meski juga sangat berharap Dian Sastro menjadi nama yang tercetak di
undangan kawinan mereka. Mereka yang pada dasarnya adalah anak baikbaik yang suka film, musik, chating, ngobrol, suka nyela Primus, dan suka
khilaf. Mereka yang penggemar berat Smashing Pumpkins, Blur, Frank
Sinatra, dan grup band underground yang namanya bagus, juga band
Jepang yang ngerilis ulang lagu Goggle dan Voltus, penggemar berat Iwan
Fals dan masih sering bingung dengan lagu-lagunya Slank. Mereka juga
fans berat dari Debbie Gibson, New Kids On the Block, Phil Perry, Earl
Hugh, Spyrogyra, Sade, dan Jamiroquai (walaupun cuma tahu satu atau
dua lagu).
Kelimanya juga masih suka berantem, siapa yang paling bagus antara Joy
dan Delon, Beckham atau Zidane, Mansyur S atau Man Mansyur S, RPUL
(Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap) atau Buku Pintarnya Iwan
Gayo, Album Minggu atau Selekta Pop, Lyra Firna atau Happy S alma, Aa
Gym atau Che Guevara (nah lho?). Satu yang pasti, semuanya adalah
pembenci George Bush, tapi masih belum bisa mengambil sikap tentang
Saddam Hussein, dan mereka percaya bahwa suatu saat nanti Tom Hanks
akan jadi Presiden Amerika Serikat. Mereka juga percaya kalau gado-gado
adalah cikal bakal dari salad, kalau MTV sebenarnya adalah keajaiban
dunia yang tertunda. Kalau tragedi 9/11 adalah buatan Amerika, kalau
Anwar Ibrahim tidak melakukan sodomi, dan satu yang paling mereka
percaya adalah bahwa Lupus sebenarnya tidak terlalu suka sama permen
karet, yang paling suka sama permen karet sebenarnya adalah Hilman.
Tapi, satu yang paling mereka tidak percaya adalah bahwa film-film DonoKasino-Indro untuk 13 tahun ke atas.
Semuanya suka film, mulai dari film Hollywood, film-film Indonesia seperti
filmnya Benyamin, PSP (Pancaran Sinar Petromaks), PMR (Pengantar
Minum Racun), sampai film-film independen yang -perlakuannya sama
seperti grup band underground- cuma mereka suka kalau judulnya bagus
dan agak nyeleneh. Mereka enggak suka sama film India karena mereka
punya prinsip bahwa semua persoalan di dunia pasti ada jalan keluarnya,
hanya jalan keluarnya itu bukan dengan joget Satu lagi film yang enggak
mereka suka adalah film-film silat karena tak satu pun di antara mereka
yang bisa olahraga bela diri. Karena, mereka percaya bahwa pembelaan diri
yang paling ampuh di dunia adalah dengan ngeles dan bilang "maaf saya
lagi khilaf...."
Dunia baca tulis dan matematika mereka pun berbeda-beda. Sewaktu SD
sampai SMA tiga orang percaya bahwa selain terbitan Balai Pustaka, bukubuku lain adalah hasil sampingan guru-guru mereka. Satu orang abstain
karena dulu uang bukunya kalau enggak dibeliin choki-choki ya wafer
superman, kalau enggak mammie atau tayo (taro). Seorang lagi biasa aja.
Selepas SMA mereka kuliah dan sampai sekarang kelimanya percaya kak)
Ilmu Budaya Dasar seharusnya diberi bobot sampai 6 SKS karena gampang
banget untuk dapat nilai A dibanding mata kuliah yang lain, jadi bisa
nambah IPK.
Anyway... here they are....
ARIAL
Arial adalah sosok yang paling ganteng di antara mereka. Arial yang satu
ini pastinya adalah Arial control B alias Arial bold dan Arial black karena
badannya gede dan kulitnya item, ke mana-mana selalu pakai sepatu
basket. Tinggi dan gede, pokoknya sporty deh, Anal yang selalu rapi, baju
kebanggaannya adalah ham, celana kebangsaannya adalah celana
permanent press pants. Anal adalah orang yang simpel-simpel aja, tapi ia
kebanggaan seluruh tongkrongan karena cuma dia yang bisa tenang,
pembawaannya banyak senyum, dan jarang khilaf.
Arial kalo makan harus ada kecap. Mulanya sih dianggap biasa aja, sampai
suatu ketika dia mengejutkan teman-temannya karena makan sayur asem
pake kecap (Wuek...). Arial paling suka bilang "tenang, tenang" kalau
gengnya lagi panik. Pokoknya kalau di kibor komputer dia adalah F5 yang
suka buat ngesave atau ngerefresh.
Arial kuliah di Fakultas Hukum, tapi dia sama sekali nggak ngerti hukum.
Satu hal yang pernah dia obrolin tentang hukum adalah bahwa seharusnya
dia dulu banyak nonton LA LAW (bukannya 2 7 Jump Street atau Airwolf).
Kenapa? Karena banyak yang bisa dijadikan referensi. Itu saja kalimat yang
muncul, sebab yang paling penting buat dia adalah semuanya berjalan
dengan asik dan cool. Selama nggak ada masalah, selama ada kecap dan
gengnya, dia bisa tenang dan bilang "tenang, tenang". Kalau ada yang
pernah baca teori motivasinya McClelland pasti tahu bahwa sesungguhnya
manusia mempunyai tiga kebutuhan yang akan memotivasinya dalam
melakukan sesuatu. Ketiga kebutuhan (Needs) itu adalah Needs of
Achievement (N-ACH), Needs of Affiliation (N-AFF), dan Needs of Power
(N-POW). Penjelasannya begini, orang-orang N-ACH adalah mereka yang
mengutamakan achievement (prestasi) dalam memenuhi kebutuhannnya.
Mereka adalah pengejar prestasi yang akhirnya bermuara ke pengakuan
dari orang di sekitarnya. Orang-orang N-POW adalah mereka yang senang
jika mempunyai kekuasaan atas segala sesuatu, yang dikejarnya adalah
kuasa atas segala sesuatu. Sedangkan,
orang-orang N-AFF adalah mereka yang merasa cukup bila sudah punya
banyak hubungan dengan orang lain (senengnya temenan).
Gerombolan ini setuju menempatkan Arial ke dalam kelompok orang NAFF. Tidak salah, sebab dia memang selalu santai aja, yang penting asik
dan tenang, nggak ada kuasa dan nggak ada yang dikejar. Begitu pula
tanggapan teman-temannya sehingga muncullah teori dadakannya
McClelland N-As [Need of Asikment) dengan definisi "yang penting asikasik aja".
Arial suka lagu apa aja asalkan lagunya asik. Di antaranya adalah lagulagunya Lighthouse Family karena katanya lagunya tenang dan yang paling
Arial suka adalah lagu Lost in Space dengan liriknya "But its alright... I
know you're out there doing what you gotta do..." Arial paling suka filmfilmnya Jim Carrey. Pokoknya yang bisa bikin ketawa.
Ya, Arial itu pokoknya orang yang biasa aja tapi asik.., jarang nyela, jarang
becanda, tapi kalo ketawa paling keras- makanya kalo ada dia jadi ramai.
RIANI
Riani pakai kacamata, cantik, cerdas, dan seorang N-ACH sejati. Mukanya
gabungan antara Lisa Loeb sama Kate Winslet (nah lho?) Bodinya? Persis
Kate Winslet. Riani punya inner beauty, kalo dia sudah ngomong pasti
orang pada dengerin. Dia punya semacam karisma yang bisa bikin orang
menengok. Selalu dominan di mana-mana, cerewet dan nggak mau kalah
sama siapa pun juga Apa aja dia ikutan. Riani seorang aktivis kampus.
Siapa aja dan apa aja bisa didebatnya, soalnya dia banyak baca dan banyak
belajar.
Ke mana-mana Riani paling seneng pakai jins, ham, dan sepatu kets yang
kinclong. Kalau lagi nggak pakai sepatu, dia penggemar berat sandal jepit
nomor satu. Ngobrol sama Riani nggak boleh sok tahu karena dia kayaknya
hampir tahu segalanya, tapi kalo ada yang salah suka ngambek sendirian.
Cita-citanya adalah bekerja di TV. Itu sebabnya, dia kuliah Broadcasting.
Buku favorit Riani adalah Rich Dad Poor Dad-nya Robert T Kiyosaki sama
Seven Habbit-nya Stephen Coffey. Ia suka banget sama Alanis Morisette dan
Norah Jones; Mocca, sama Padi dia juga suka. Film? Dia paling suka With
Honors sama Children of the Lesser Gods. Pacar? Pacarnya adalah
organizernya yang isinya janji-janji yang harus ditepatinya. Begitu banyak
janji yang dibuatnya sehingga cakep-cakep tapi masih jomblo. Susah deh
cewek pinter dapet cowok. Dia maunya yang lebih pinter dari dia, "kalo bisa
kayak Matt Damon di Goodwill Hunting," katanya. Dia suka banget sama
lagunya The Brand New Heavies yang judulnya You Are the Universe dan
lagu itulah yang sering banget dia nyanyikan sendiri.
"You are the universe... You're the driver, not a passenger in life... And when
you're ready, you won't have to try 'cause... You are the universe and there
ain't nothin'you can't do... If you conceive it, you can achieve it... That's why I
believe in you".
Riani suka agak-agak serius di tongkrongan (karena cewek sendirian), tapi
dia kadang-kadang kocak kalo lagi serius, membuat teman-temannya yang
tadinya bengong jadi ketawa.
ZAFRAN
Seorang penyair yang selalu bimbang.
"Oh captain my captain..." Kalau ngeliat Zafran kesan pertama pasti bikin
terkesima orang. Kesan kedua, buat para cowok pasti punya persepsi nih
anak pinter banget; buat para cewek pasti berebut mau jadi ceweknya. Tapi,
kalo udah kenal deket sama dia... mmhh pasti pada mau teriak "tolong
dong jangan bawa gue ke dunia lo yang suram itu...."
Zafran adalah penggemar berat film Dead Poet Society-nya Robin Williams,
yang gara-gara film itu dia percaya kalo bunuh diri adalah akhir dari
semua puisi...(kok begitu?). Ia pernah menjadi penggemar Kahlil Gibran,
tetapi akhirnya melepaskan Kahlil Gibran karena udah mulai populer di
toko buku dan di antara para ABG. Fakta ini didukung oleh sebuah
kejadian, sepupunya yang SMP, yang sering banget ngeluarin kosa kata
"enggak banget sih...", "sumpee... lo", dan "gitu lho" suatu hari
mengiriminya SMS berisi kata-kata Kahlil Gibran yang tadinya menurutnya
merupakan kata-kata paling pribadi yang hanya dimiliki oleh Kahlil Gibran
dan dirinya. Zafran dulu bangga pada namanya yang sama sekali nggak
pasaran, sampai suatu ketika di toko buku dia menemukan buku namanama bayi pilihan. Ternyata nama dia yang paling populer di antara ribuan
nama yang ada. Dia pun rada kesel. Apalagi waktu keponakan Riani juga
dinamai Zafran, begitu juga dua orang tetangganya juga punya anak kecil
bernama Zafran.
Zafran selalu tergila-gila pada "individual post charismatic character" dari
dulu, tapi kadang-kadang semuanya tergantung mood-nya. Nama-nama
yang pernah jadi idola Zafran, antara lain Kurt Cobain, Damon Albarn,
Michael Stipe, Roberth Smith, Jarvis Cocker, Billy Corgan, dan Marilyn
Manson. Enggak heran, soalnya Zafran adalah seorang vokalis dari sebuah
band yang paling sering gonta-ganti personel karena pada nggak kuat kalo
Zafran udah narik mereka ke dunianya yang beda sendiri.
Badan Zafran kurus, sekurus kapur tulis. Kalau ngeliat potongan rambut
yang gondrong samping dan depan aja, pasti langsung ngingetin sama
potongan rambut Liam Galaggher, vokalis Oasis. Baju sehari-harinya
adalah baju modis dari distro terdekat yang bisa dicapai. Di antara
modisnya, Zafran punya kelakuan yang berantakan, yang katanya "standar
seniman". Selain nama-nama vokalis besar tadi, ternyata Zafran adalah
pengagum setia Erie Susan, penyanyi dangdut yang tinggi semampai, tapi
gengnya nggak pernah ngetawain dia terang-terangan karena nggak enaksoalnya dia ngefans banget., (beneran).
Zafran adalah orang yang akan bilang apa aja yang dia mau bilang, agak
saklek tapi kocak karena kalau dia udah ketemu sama Riani, kayaknya bisa
bikin orang bingung apa yang lagi mereka obrolin. Pernah ada yang ajaib
dari Zafran. Sehabis nonton bareng filmnya Brad Pitt dan Eric Bana, Troy,
Zafran percaya bahwa dia sebenarnya mempunyai keturunan Achilles
dalam darahnya. Fakta ini muncul karena menurut dia, "gue itu orangnya
pasti lain dari orang kebanyakan...." Semua teman pun setuju sambil...
nahan muntah.
IAN
Yang ini badannya bengkak.
Ian salah satu penganut sekte 4-4-2 yang sangat fanatik. Kakaknya bilang
karena dulu ari-ari Ian ditanam di lapangan bola maka jadi deh Ian yang
gila bola. Apa aja tentang bola dia tahu dan kebanyakan dia ngabisin
waktunya buat bola, tapi anehnya dia nggak pernah diajak main bola
karena memang nggak bisa main bola. Tetapi, kalo Ian sudah main
Championship Manager (CM) maka hardisk komputernya bisa teriakteriak soalnya bisa sampai tiga hari tuh komputer lembur. Ian sepertinya
adalah orang yang tidak peduli sama siapa aja kecuali bola
Ian juga suka tantangan. Pokoknya, semua permainan yang penuh
tantangan bisa ditongkronginya, tapi karena bisanya cuma main CM atau
Winning Eleven di PS2, ya jadi sukanya bola doang. Ia sering banget adu
mulut sama Zafran karena Zafran nggak tahu bola. Malah, kalo nanya bola
sama Zafran pasti dia jawab "Bola? makanan kering jenis apa tuh?"
Salah satu yang disukai rombongan tongkrongan ini dari Ian adalah
ternyata Ian mempunyai ritual yang sangat didukung oleh kaum Adam.
Ian mempunyai ritual aneh, tapi punya arti banyak bagi kaum laki-laki.
Dua minggu sekali Ian percaya bahwa dia harus pergi ke Dusit, Glodok,
Mangga Dua, dan sekitarnya untuk membeli "Pieces of Lust" katanya, yang
kalo diterjemahkan ke bahasa alamiah adalah "VCD Bokep". Riani adalah
salah satu penentang kebiasaannya itu, tapi setelah dijelasin oleh yang lain
bahwa "Pieces of Lust" akan berguna untuk "menyenangkan suami",
kadang-kadang dia minjem juga Itung punya itung, VCD bokep Ian kalo
disambung-sambung udah bisa memenuhi jarak Jakarta-Bandung, alias
banyak banget.
Baju bergambar kartun, celana jins, sama Adidas gazelle buluk adalah
kostum Ian sehari-hari. Badannya gendut subur, kepalanya botak plontos,
katanya biar gampang kalo keramas soalnya dia hampir tiap hari keramas
melulu (tau kan alasannya). Ke mana-mana Ian selalu bawa tas ransel yang
isinya stik PS2 dan lain-lainnya yang nggak usah ditanya lagi. Film favorit
Ian adalah film bokep semi Emanuelle yang udah ada sekuelnya sampai
delapan. Sementara, kata-kata favorit Ian dalam film adalah "you can put it
anywhere...," dari filmnya Sarah Michelle Gelar dan Ryan Phillipe, Cruel
Intentions. Baru-baru ini Ian lagi coba-coba bikin usaha sablon baju yang
ada foto Happy Salma, Lyra Vima.. atau Paris Hilton.
GENTA
"The Leader". Enggak ada yang tahu kalo Genta adalah fans berat Riani,
bahkan Riani sendiri enggak ngerasa. Genta bisa dibilang adalah orang
yang mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri (lho?). Genta
percaya pepatah yang paling sering ada di film Indonesia zaman dulu: kalo
jodoh nggak akan ke mana. Makanya, dia santai-santai aja, malah kadangkadang nggak peduli. Enggak ada yang bisa diceritain banyak tentang
Genta karena tabiatnya hampir persis sama dengan Riani. Genta suka
sekali dengan berbagai jenis film. Film favoritnya adalah filmnya Sean
Connerry, Finding Forrester. Genta juga tercatat sebagai penggemar berat
Frank Sinatra, aktivis kampus, dan sosok yang paling suka nemenin lan ke
Glodok, paling suka nemenin Riani nonton, paling suka main basket
bareng Arial, paling suka nemenin Zafran bikin lagu-lagu aneh, dan yang
paling suka sendirian. Tapi, Genta juga yang paling sering maju paling
depan dan pasang badan kalo ada yang berantakan gara-gara tabiat
mereka. Genta paling suka berfilosofi sendirian, suka ngutip kata-kata
bagus, suka bagus-bagusan puisi sama Zafran, dan suka ngobrol lamalama sama Riani.
Anehnya, keempat temannya paling nurut sama Genta. Kata Riani, Genta
itu segalanya yang dibutuhkan sebagai seorang teman (Pacar dong...!).
Kalau ngeliat penampilan Genta, yang ada yah gayanya Genta, dengan
badan agak gede dan rambut agak lurus berjambul. Seperti Riani, Genta
juga berkacamata, tapi kacamatanya jarang dipakai. Kostumnya? Yang ada
baju itu yah itu yang dipakai, pokoknya Genta adalah orang yang nggak
macem-macem, tapi pikirannya penuh dengan macem-macem. Genta
adalah seorang asisten dosen favorit di kampus. Jadi sutradara seperu
Steven Spielberg adalah impian Genta. Kalau mau tanya film, tanya sama
Genta; soal pemasaran, tanya sama Genta; mau tanya tentang musik, tanya
sama Genta. Kalau Riani ditanya paling enak nonton sama siapa? Pasti
jawabannya sama Genta. Kalau Arial ditanya, siapa yang paling enak diajak
lari pagi dan main basket di Senayan? Pasti sama Genta, jawabnya. Kalau
Zafran ditanya siapa yang paling enak diajak bikin puisi atau bikin lagu
bareng? Pasti dibilang paling enak sama Genta. Kalau Ian ditanya siapa
yang paling enak diajak ke Glodok bareng atau main bola di PS2? Sama saja,
jawabannya pasti sama Genta. Kalau mau curhat? Keempat temannya
setuju, paling enak curhat sama Genta.
Satu
Me and You Vs the World
...Dan semuanya akan tambah indah kalo lo tetap jadi diri lo
sendiri...bukan orang lain...
I've been looking so long at these pictures of you
That I almost believe that they're real.
I've been living so long with my pictures of you
That I almost believe that the pictures are all I could feel...
Pictures of You-nya The Cure terdengar lembut dari tape mobil Ian di
sepanjang jalan Diponegoro, Menteng. Ditemani lampu jalan kekuningan
yang redup, dan tanpa sengaja berbagi dengan warna-warni lampu mobil
serta hiasan jalan. Aspal yang basah sehabis hujan menimbulkan pantulan
cahaya kuning pendar yang enak dilihat.
Lima orang di dalam mobil itu baru aja makan bubur ayam di Cikini. Tibatiba, seperti biasa Zafran merasa jadi orang yang paling tahu tentang lagu.
"Robert Smith nggak ada matinya deh kalo bikin lagu...."
"Mulai deh..." ujar Riani sambil tetap serius ber-SMS.
"Kenapa sih lo, Ni? Cuma bilang gitu doang."
"Elo ngomong gitu kayak yang paling tau The Cure. Emang lo doang yang
tau? gue juga tau...."
"Wajar dong kan anak ben...," jawab Zafran sambil ngambil remote dan
terus gedein volumenya,
"Kalo lo emang tau, ini lirik dari lagu The Cure yang mana?" Riani
nimpalin.
However far away I will always love you. However words I say I will always
love you. Whenever games I play I will always love you. I will always love you.
Fly me to the moon...
"Basi... itu kan Love Songs..." "Kok ada Fly Me to the Moon?"
"Fly Me to the Moon kan lagunya Sinatra," Genta ikutan nimbrung.
"Apaan sih, Genta? Garing.... Tau deh yang ngefans sama Frank Sinatra."
Riani yang duduk di depan menoleh ke belakang sebentar. "Hehehe..."
Genta ketawa.
Tanpa sadar, tolehan dan gerak tubuh Riani tadi terekam kuat dalam otak
Genta. Riani, Riani. Entah untuk yang keberapa kalinya, Genta yang
kebetulan duduk diagonal di belakang Riani kembali mengagumi rambut
Riani yang digulung membentuk konde cemplon, dipadu tusuk konde
warna kuning gading. Beberapa helai rambutnya dibiarkan jatuh tergerai
di dekat telinganya..., membuat lehernya tampak jenjang. Beberapa anak
rambutnya terlihat liar di sekitar konde kecilnya, pas banget buat leher
Riani yang putih. Riani memakai ham putih dengan garis-garis kecil hitam
putus-putus dan jins warna gelap, pas banget dehl Rekaman di otaknya
berlanjut dari leher turun ke dada, dan selanjutnya adalah khayalan lakilaki wajar, yang kata Sigmund Freud dengan gambarnya "whats on man's
mind", seks adalah salah satu yang paling dipikirin laki-laki setiap saat
setiap waktu.
"Wooi mau ke mana lagi nih?" Makhluk gendut segede badut Dufan yang
sibuk nyetir tiba-tiba ngagetin Gentayang lagi bengong jorok.
"Capek nih gue nyetir...muter-muter nggak karuan," Ian mengeluh.
"Nonton aja yuk!" sambut Riani
"Nonton apa? Lagi nggak ada yang bagus...," Genta males nonton.
"Shrek 2 aja...," Arial tiba-tiba ngomong.
"Udah!!!" keempatnya menjawab bareng.
"Ehm... kepentingan kelompok..," sungut Arial.
"Lo sih kena tipes.. .makanya nggak bisa nonton bareng waktu
itu."
"Udah olahraga tiap pagi, tiap Minggu biar sehat, malah kena tipes... parah
banget lo...,n kata Ian sambil nyalain wiper.
Sepilas gerimis mulai turun lagi.
"Mendingan kayak gue, biar kerjaannya cuma main doang, tapi sehat
walafiat...."
"Ini kan juga gara gara lo...," kata Arial sambil neplak bahu
Ian.
Arial memang baru kena tipes beberapa minggu yang lalu. Gara-garanya,
Arial ikut fitness... di dua tempat (pantes...!). Itu juga gara-gara si Ian yang
ngajak ke tempat fitness baru yang banyak ABG-nya, katanya bisa sekalian
ngambil pesona (di usia mereka yang udah lebih dari nama bioskop,
mereka percaya udah saatnya ngambil pesona, bukan tebar pesona lagi).
Tetapi, seperti biasa Arial yang badannya luar biasa tegaplah yang berhasil
mengambil pesona salah satu ABG di sana-bukannya Ian. Banyak sih yang
ngejar-ngejar Ian, tapi mereka adalah instruktur fitness yang menganggap
Ian sebagai pahlawan kebanggaan karena punya banyak VCD bokep.
Ajaibnya, ternyata cewek yang ngambil pesona Arial adalah salah satu
target operasi satuan buser pelepas dahaga dan nafsu yang dibentuk oleh
otak Ian. Untunglah, cewek itu nggak katarak dan bisa milih mana yang
lebih baik antara Hercules-herculesan dan orangutan bulimia Tanjung
Puting yang lagi kekenyangan. Jadilah cewek itu jalan sama Arial, dan
itulah yang bikin Arial harus fitness di dua tempat, sekaligus yang bikin
Arial tipes.
"Trus mau ngapain dong...?"
"Ke rumah gue lagi?" tanya Arial.
"Setuju!!!" Zafran langsung teriak Zafran dari dulu memang sudah naksir
adiknya Arial. Riani abstain. "Bosen...," jerit Genta.
"Paling sirup ABC lyche lagi., sama singkong keju...," kata Ian datar.
"Lo baru makan bubur...!" satu lagi keplakan Hercules hinggap di bahu Ian.
"Ada nyokap lo nggak?" Zafran sok basa-basi.
"Ada adik gue. Lo mau?" jawab Arial.
"Mau...," desis Zafran datar, lembut, statis seraya menyanggah-kan dagu ke
tangannya yang dikepelin persis seperti seorang pemikir dari Athena. Ia
menarik napas setengah panjang-dalam sambil ngeliat keluar jendela mobil
yang penuh dengan galir-galir air. Kata "mau" tadi dibuat Zafran seperti
punya kesan yang dalem banget, dunia Zafran pun berhenti sejenak dalam
dirinya... "an inner sanction".
Arial langsung nyari kantong plastik dan muntah di tempat. Genta cepatcepat nyari Antimo dan minyak angin cap Kapak biar nggak muntah. Riani
yang baru denger suaranya aja langsung melilitkan seatbelt supaya otaknya
tidak punya refleks yang menyuruhnya 'kabur dari tempat itu sekarang
juga!'
Ian...baik-baik aja, tapi mesin mobilnya langsung mati.
Setelah semua menenangkan diri (kecuali Zafran), akhirnya Riani berhasil
ngebujuk untuk patungan beli pizza dan beli monopoli (yang nyarinya
susah bener). Mereka sepakat, untuk entah keberapa kalinya, pergi ke
rumah Arial... dengan satu tujuan: bermain monopoli. Ian yang males mikir
dan trauma karena setiap main monopoli selalu masuk penjara,
menawarkan diri jadi bank. Semua langsung setuju.
Rumah Arial
Halaman rumah Arial luas dan asri. Kalau diukur-ukur, enam mobil bisa
masuk ke situ. Tapi, yang mereka heran kenapa Ian malah parkir paralel
dengan rem tangan nggak aktif, lalu ngambil batu buat ganjel mobil, persis
kalau lagi parkir di mal yang penuh.
"Rem tangan lo rusak?"
"Kan kosong, Yan? Enggak ada mobil lain, lagian itu ada garis parkirnya...
ada garasi lagi." "Kenapa lo, Yan?"
Semua diem aja dan mengambil kesimpulan: inilah yang terjadi pada orang
yang kebanyakan nonton bokep....
"Adik lo ada nggak?" Zafran nanya lagi. Untung dengan ekspresi yang
biasa aja, jadi nggak perlu ada yang muntah-muntah lagi.
"Tau...," jawab Arial datar.
Semua masuk ke ruang tamu. Mereka ber-haha-hihi dengan mama dari
seorang temen yang selalu mereka panggil "tante". "Malam, Tante...."
"Oh malam anak-anak..: mau main di sini lagi ya? Untung Tante baru beli
singkong keju...." "Iya, Tante...."
Seperti biasa Riani langsung, salaman dan diteruskan dengan cipika cipiki.
Mama Arial masih cantik dan terlihat muda. Mereka sepakat kalo waktu
mudanya dulu si tante ini pasti cantik. Bukan sekali ini mereka bertemu,
udah hampir tiga tahun sang mama terbiasa dengan gerombolan "Power
Rangers" yang penuh dengan keajaiban ini.
"Seneng deh ketemu kalian lagi."
"Semuanya udah kaya anak Tante sendiri...."
Hening. Semua diam..., semuanya putih... blitz, blitz, semuanya slow
motion. Ya, sebab semuanya ngeliat Ian dengan heran karena kalimat
barusan bukan keluar dari mulut mamanya Arial, tapi keluar dari mulut
Ian, kan aneh? Pede banget' Mamanya Arial juga heran karena dia biasabiasa aja sama pasukan ini, bahkan kadang-kadang kesel.
Salah! kalo kata Melly Goeslaw mah, Babi got geblek, gerutu Genta dalam
hati.
Riani tersenyum bikin-bikinan... malu sendiri. Mamanya Arial tersenyum
maniiis sekali.
"O ya... pasti...," Sang Mama membalas pernyataan Ian sambil tersenyum.
Fiuh! Semua lega
Untung aja mamanya Arial baik banget makanya mereka pada suka,
biarpun stok makanannya sering dihabisin, biarpun kucingnya waktu itu
disiram sama Genta, biarpun remote TV-nya pernah diilangin sama Zafran,
biarpun buku masaknya "distempel hak milik" sama Riani alias udah dua
tahun nggak dibalikin.
"Arinda!!!" Mama Arial tiba tiba teriak.
"ini ada temen-temen Mas Ial nih, turun sebentar..."
"Iya, Maa...," suara teriakan renyah keluar dari lantai atas.
Dan, sesosok tubuh dengan paras Andrea Corrs berbodi canggih keluar
dari kamar atas. Otak Zafran langsung mengirim sinyal ke tuannya, sinyal
indah musikal punya Kenny Loggins.
Are those your eyes, is that your smile
I've been lookin' at you forever
But I never saw you before
Are these your hands holding mine
Now I wonder how It could have been so blind
For the first time I am looking in your eyes
For the first time I am Seein' it who you are
I can't believe how much I see. When you're lookin' back at me
Now I understand why love is...
Love is... for the first time...
Zafran bengong.... "Halo semua...."
Arinda tersenyum manis... kembaran Arial ini memang manis banget
"Halo Dinda...," gerombolan "Goggle" langsung membalas, kecuali Goggle
blue... Zafran.
Zafran masih dengan bengongnya sendiri, masih heran kenapa setiap kali
ketemu Dinda pasti ada soundtrack Evergreen Love Songs di otaknya,
padahal kan dia anak band alternatif yang agak-agak anti lagu cengeng.
Masih heran sama senyum Dinda yang menurut dia bisa ngalahin semua
bintang sinetron telenovela. Masih heran kok tiap kali ketemu, baju Dinda
ketat-ketat melulu, bodinya kayaknya dipesen dengan pesenan terbaik yang
pernah dibuat Masih heran dengan... dengan... ya ampun udah ketat, tipis
banget lagi bajunya sehingga bra hitamnya terlihat jelas...
(/©#$%#©%%). Kalo kata Ian sih golongan PKI (Pemakai Kutang Item).
"Halo Bang Zafran...."
Dipanggil Bang lagi... (Zafran bengong. Dia nggak tau aja kalo dari tadi
semua yang laki-laki dipanggil Bang. Riani dipanggil Kak!)
"Halo Dinda...," Zafran membalas seneng.
"Abis dari mana?" tanya Dinda
"Makan bubur di Cikini...," jawab Zafran.
"Kok Dinda nggak diajak?" tanya Dinda manja.
Zafran langsung bersumpah kalo nanti mereka pergi, harus ngajak Dinda
Kalo perlu, dia akan maksasama anggota "Goggle" yang lain.
"Alaaa... udah yuk ke atas...," Arial lagi males sama kembar-annya.
"Yuk!" Riani yang paling semangat, dia males ngeliat Zafran jadi bengong
begitu ketemu Dinda. Arial mengajak teman-temannya ke ruangan atas
depan kamarnya yang selama ini mereka sebut sebagai "The Chambers of
Secret Sorcerer Stone". Kenapa? Enggak lebih karena semuanya penggemar
Harry Potter.
"Udah dulu ya, Dinda juga lagi disuruh bikin paper."
"Paper apa, Din?" Zafran sok nanya.
"Kurva ISLM... ada yang tau nggak?" tanya Dinda.
"Oh... Investment Saving Loan Money yah... di mikro atau makro ekonomi?"
Genta ikutan nyambung.
"Makro...," jawab Dinda senang.
"Bang Genta tau? Bantuin ya...! Mentok nih...!"
"Kalo di makro gue gak tau, kalo di mikro gue tau...," jawab Genta datar.
"Yaa...," Dinda menyesal manja.
"Tapi kan pasti ngerti dikit-dikit," Dinda masih berharap (padahal
sebenarnya Genta tau, dia lagi males aja, lagi pengen main monopoli).
Zafran mentok! Dia bukan anak ekonomi, Zafran adalah anak desain yang
sering bikin puisi daripada ngedesain. Tapi, Zafran tau kalo dia pinter dan
cepet nangkep pelajaran... jadi... tetep....
Usaha...!
"Ada bukunya nggak Din? Kalo ada bukunya, gue bisa bantu...."
"Ada, tapi bahasa Inggris. Ya udah deh nggak usah, nanti Dinda coba
kerjain sendiri aja," ujar Dinda sambil naik lagi ke tangga tanpa ngeliat ke
arah Zafran yang sudah ditinggal oleh keempat temannya ke The
Chambers of Secret Sorcerer Stone.
"Ya udah deh."
Zafran hampa. Bola matanya mengikuti langkah dan bodi Dinda dari
belakang. "Perfect...."
Sementara mata Zafran mengikuti lenggokan Dinda yang sensual kala naik
tangga, malaikat jahat datang ke Zafran dan berbisik, "G string fran... G
string. Lo liat dari belakang... liat lekukannya... abis deh lo... tuh, liat celana
dalemnya nyeplak gitu.
Lo bayangain lo bisa megang dia..., megang dia di daerah yang dia
inginkan...," garpu malaikat jahat seolah menusuk-nusuk kuping Zafran,
"...belom lagi dadanya... fran kutangnya item lagi... lo bayangin lo buka
kutangnya pake gigi..." (@##$%A%@DDR@@#) Malaikat baik datang.
"Oh Zafranku, wanita adalah ciptaan terindahyang akan selalu hadir
dalam setiap embusan napasmu, dalam setiap butir embun di pagi hari.
Dan wanita... ia seperti matahari, kamu akan melihat pantulan sinarnya di
embun pagi yang akan menandai baik dan buruknya kamu diawal hari.
Baik-buruknya kamu di dunia ini Seperti sebuah embun, dia akan
memudar seiring datangnya siang, seiring angin dan daun hijau yang
membawanya jatuh ke tanah. Tapi biarpun dia hilang, kamu akan melihat
lagi embun itu esok pagi., dan seterusnya... dia kan mencintaimu seterusnya
bila kamu mencintainya untuk seterusnya... untuk seterusnya...."
"Wooi Juple... jadi main nggak lo?"
Teriakan Ian memanggil nama preman atau nama pilokan Zafran berhasil
membuyarkan lamunannya
"Jadi!!!" Zafran langsung reply teriakan Ian.
Malaikat jahat dan malaikat baik masih berantem cela-celaan, ledekledekan.
Mata Zafran masih mau ngeliat Dinda.
Kenapa bisa monopoli? Padahal di mobil tadi mereka sepakat di umur yang
sekarang ini mereka harus bisa memainkan sesuatu yang intelek, yang
perlu otak. Sebelumnya mereka dihadapkan pada pilihan ludo, halma, atau
ular tangga Kalau main ludo sama halma, pasti ada satu orang yang
bengong. Kalau main ular tangga, Ian, Zafran, dan Riani dari dulu fobia
sama ular, sedangkan Genta rada-rada takut sama ketinggian. Arial? Dia
sih asik-asik aja, nggak ada yang ditakutin Arial... Jadilah mereka main
monopoli sekaligus nostalagia.
Udah bisa ditebak, yang paling banyak duitnya di monopoli adalah Riani
karena dengan strategi membeli electric company, water company, dan
semua stasiun yang ada, Riani menang dalam segala hal-bahkan bank aja
sampai defisit Ian masih penasaran, kenapa udah jadi bank tapi dia masih
aja kalah dan masih masuk penjara (emangnya bisa?). Setelah takjub dan
lari-larian heran bercampur eneg (soalnya Arial makan pizza pakai kecap),
mereka pun bosen. Mau nonton TV, bosen lagi. Nonton VCD, bosen juga
Cemilan dan pizza udah abis sama Ian, jadi tinggal ngobrol ngobrol, dan
ngobrol... nggak jelas.
Zafran masih aja coba lirak-lirik ke kamar Dinda, berharap Dinda keluar
dan menaburinya dengan sejuta keindahan. Tapi Dinda nggak pernah
muncul. Ian dan Riani yang udah sebel ngeliat Zafran akhirnya nyela.
"Dhee...."
"Ial, pintu kamar adik lo udah punya pacar belum? Ada yang naksir tuh,
dari tadi diliatin mulu...," Riani buka kata.
"Yo'i ada yang seneng sama kayu jati," timpal Ian.
Walaupun dalam diri Ian paling banyak terdapat jin-jin "nafsu.com"
dibanding temen-temennya, Ian nggak pernah bisa suka sama Dinda
karena katanya Dinda mirip banget sama Arial. Kalau ada Arial cewek yah
Dinda orangnya. Dia males aja berfantasi tentang Dinda, bisa-bisa yang
kebayang adalah Arial yang sangat laki-laki. Tetapi, tentu aja kalo dengan
klausula Dindanya yang naksir Ian, pastinya Ian nggak akan nolak. Siapa
sih yang mau naksir badut Dufan berkostum buluk ini?
"Resee...," Zafran cemberut.
"Eh juple, lo mau serius sama adik gue?"
Zafran diem. Dia tau kalo Arial nggak pernah serius mengizinkan dia
mengajukan surat izin memacari saudara. "Kalo lo serius, gue sih setuju
aja," kata Arial lagi. Zafran diem lagi.
"Tuh kakaknya udah setuju, lo kok malah diem?" Genta nyambung.
Zafran males. Salah dia juga sih, dari dulu udah gila bareng Arial. Jadi,
udah saling tahu deh busuk-busuknya dan gila-gilanya Arial sama Zafran.
"Ah Hercules generik mana yang mau gue jadi cowok adiknya...."
"Kalo lo sayang sama adik gue, gue mau gimana lagi? Tapi ada syaratnya."
"Apa?" Zafran penasaran.
"Lo pindah planet dulu...," jawab Arial sambil ngelempar bantal sofa ke
Zafran. Semuanya ngakak.
"Yo'i. Planet para penyair buangan," Genta nimbrung.
Riani ngakak paling keras. Zafran cuma bisa senyum-senyum sendiri.
Temen-temenya emang gila, bodoh, geblek, tapi baik. Sekali lagi Zafran
ngelirik sebentar (takut ketauan) ke pintu kamar Arinda.
Bodo amat ah..., batin Zafran. Tadi ada bisikan dari malaikat baiknya,
"udah juple, nanti malem lo bikin puisi aja." Zafran jadi tenang.
Lho malaikat jahatnya mana? Sebenernya udah dari tadi chating sama
Zafran, ngajak ngebayangin apa yang dilakukan Dinda di balik pintu
kamarnya. Tapi... maaf nggak bisa diceritain di sini karena nggak lulus
sensor.
*
And I'd give up forever to touch you 'cause I know that you feel me
somehow...
Tiba-tiba di MTV ada videoklipnya Goo Goo Dolls, Irish, salah satu
soundtrack film City of Angels. And I don't want the world to see me 'cause I
don't think that they'd understand. When everything's made to be broken....
I just want you to know who I am.
Riani bersenandung sendiri...tanpa sadar Genta bengong ngeliatin Riani.
And I don't want the world to see me....
Kenapa Riani? Kenapa gue nggak ada nyali? Genta membatin, membingkai
dirinya sendiri.
"Siapa ayo yang main di City of Angels?" tiba-tiba Ian nyeletuk.
Pertanyaan yang gampang banget buat sekumpulan "Power Rangers" yang
hobi banget nonton film.
"Nicholas Cage sama Meg Ryan...," Arial ngejawab males-malesan.
"Yang lain... nggak tau?" Ian sok tahu.
"Tau lah... paling lo yang lupa...," reply Genta.
Zafran tiba-tiba mencoba jadi penyair. "Adegan yang paling gue suka,
waktu mereka berdua ada di dermaga kecil di pinggir danau, berdua dalam
suatu pagi yang indah, sementara di depannya terhampar pegunungan
dan pohon cemara yang berbaris, berpadu dengan pantulan awan dan
gunung yang ada di air danau. Mereka berdua dalam satu selimut...dengan
kaki yang terjuntai ke danau, sesekali menikmati dinginnya air danau...."
"Terus Nicholas Cage nanya sama Meg Ryan...," Arial nyambung.
"Enggak! Meg Ryan-nya yang nanya...," sanggah Ian.
"Engak ada yang nanya. Meg Ryan yang ngomong... quotation-nya. gini
kalo nggak salah...," Genta ikutan ngomong, "If someone asked me what was
the greatest moment of my life... I'm gonna said this is the greatest moment
of my life...."
Riani dan Genta hampir berbarengan ngucapin.
"O iya!" teriak Zafran dan Ian.
"Keren banget tuh film," kata Arial sambil terus nonton videoklip.
Riani dan Genta saling bertatapan, entah sudah berapa kali mereka berdua
mengalami deja vu seperti ini. Oh Riani.. suara-suara indah kembali
mengisi hati Genta. Akankah... kamu... jadi., tempat... untuk... segenggam
harapan yang hampir usang tapi masih terlalu indah buat Genta, batin
Genta
Batin Riani pun angkat bicara, Genta... Genta... Genta emong yang paling
Riani buat Riani.
Keduanya pun tersenyum.,, dan seperti biasa mereka langsung ber-"high
five" ria atas deja vu yang terjadi barusan. Riani seneng banget... seneng
banget Genta juga seneng, tapi hati Genta ternyata nggak. Enggak bagi
Genta. Genta selalu benci cara mereka merayakan deja vu yang bagi Genta
sangat berarti, yang bagi Genta adalah sekumpulan chemistry antara dua
orang yang tidak pantas dirayakan hanya dengan dua tangan bertemu di
udara. Gara seperti itu Genta masih anggap sebagai cara teman merayakan
sesuatu. Genta nggak pernah mau Riani cuma jadi teman bagi dirinya.
Genta mau lebih....
"Senin kerja,,Ta...?" pertanyaan Riani mengagetkan Genta yang lagi
bengong.
"Iya, tapi gue males," jawab Genta.
"Kenapa?"
"Temen-temen kantor paling ngajak panik bareng lagi," Genta menatap
Riani sambil menarik setengah napas... enggan.
Di antara kelima "Power Rangers" ini emang Genta yang sudah, sedikitsedikit masuk dunia formal dan semi profesional. Genta dan teman-teman
kampusnya punya Event Organizer (EO) yang namanya udah mulai
dikenal dan mulai sering dipakai oleh perusahaan-perusahaan bonafide.
Sejenak Genta membayangkan hari Seninnya yang pasti akan crowded lagi
karena bakal ada pameran yang gede-gedean- yang menurut Genta
persiapannya baru 50%, sementara temen-temennya merasa sudah siap
120%. Genta emang orang yang sangat perfeksionis kalo udah nyeburnyebur ke wilayah customer intimacy dan service excellent. Genta adalah
orang yang selalu ingin orang lain puas sepuas-puasnya, bukan cuma
untuk rekan-rekan bisnisnya, tapi juga dalam hidupnya sehari-hari, apalagi
sama teman-temannya
Prinsip ingin selalu bikin orang lain puas inilah yang sering mengganggu
pikirannya., hingga suatu saat dia pernah curhat kepada Ian soal ini, tapi
itu hanya berlangsung selama dua menit karena jawaban Ian cuma, "Wah
Ta lo kalo mau nembak cewek, lo tinggal bilang gitu aja tuh."
"Apaan...?" tanya Genta.
"Ya, bilang kalo lo selalu pengen buat orang lain puas...." "Terus?"
Otak Genta nggak usah berpikir jauh-jauh karena dari pertama seharusnya
dia udah tahu bahwa bukan pada tempatnya curhat sama bosnya
komplotan penjahat kelamin, yang otaknya penuh dengan hustler.com,
nudeteen.com, dan ayamkampung. com ini. Yang pasti, kata puas bagi Ian
adalah... LUST....
Genta jadi ketawa sendiri.
Tiba-tiba Genta ingat soal desain yang harus dikerjakan Zafran, desain itu
harus selesai Minggu malam.
"Eh,Juple... desainnya udah jadi belom? Gue bakar rumah lo kalo belum
jadi."
"Tenang aja bos. Udah jadi delapan styrofoam. Yang dua lagi dikerjain
sama temen gue. Besok juga kelar... tinggal bayarannya doang."
"Nyuwun..." kata Zafran dengan wajah dipilu-piluin sambil melebarkan
telapak tangannya menengadah minta duit. "Minta duit sana sama
kapal...," Ian langsung nyahut Zafran pun dilempar bantal.
"Besok Senin lah... lagian masalah duit bukan sama gue" tanggap Genta.
"Lo minta duit kok sama bos. Sama bendahara dong..." sambung Ian sambil
mengais-ngais remah remah singkong keju mencoba sok tahu. Kata
"bendahara" membuat keempat temannya ngakak.
Kata itu membuktikan betapa Ian sangat tidak pernah mengajak otaknya
jalan-jalan keliling dunia zaman sekarang, melihat lihat dunia luar dan
menonton berita serta membaca buku yang bermanfaat.
"Masa di perusahaan masih ada kata bendahara. Emangnya kita pengurus
kelas waktu SD?" Riani ngakak, lalu coba ngelempar tisu ke arah Ian.
Arial ketawa paling keras. Genta hanya bisa geleng-geleng ngeliat keajaiban
dari gajah India yang nggak doyan joget ini. Zafran mau ngelempar TV ke
Ian, tapi nggak boleh sama Arial.
Dengan tenang Ian memasang wajah seperti Pak Haji dalam film horor
Indonesia zaman dulu, yang pasti datang setelah setannya nyekek jagoan
cewek.
"Sudahlah kita ambil hikmahnya saja...," kalimatnya meluncur begitu saja.
Semua ketawa lagi.
"Yan... lo besok kan motret lagi, trus kalo dapet honor dari temen gue, lo
tanya dia jabatannya apa Oke? Pe-er lo tuh!" kata Genta sambil neplak
pundak beruang kutub nyasar ini.
"Okeh...." beruang kutub jadi serius, dan mengacungkan jempolnya.
Genta emang suka minta bantuan teman-temannya kalo ada acara. Selain
jago masalah ginekologis-XXX, Ian juga jago motret. Jadi Ian paling sering
dimintai tolong motret event-event-nya Genta. Arial langsung
menggangguk kalo dia diminta jadi SPH (Sales Promotion Hercules) karena
tampang dan badannya emang pas buat dipajang di pameran. Zafran,
walaupun sebagai desainer yang beraliran nanism, yang cuma tahu warna
merah sama hitam doang pasti diajak karena disainnya bagus-bagus.
Riani? Riani paling sering dimintai bantuan dan dikasih tanggung jawab
paling gede. Genta pun paling seneng kalo tugasnya berduet dengan Riani
yang kayaknya udah tahu apa yang Genta mau. Riani bisa bikin Genta
tenang karena pasti semua kerjaan jadi excellent.
Genta paling suka kalo udah lihat Riani berlari-larian dengan sibuknya,
rambut diikat asal ke belakang, pakai nametag dengan ransel item plus
gantungan kunci boneka Doraemonnya, yang kalo Riani lari akan
mengeluarkan bunyi... bel-bel kecil. Apalagi ngeliat Riani yang betapa pun
berat beban dan tanggung jawabnya, masih bisa tersenyum dengan
manisnya pada semua partnernya atau pun semua orang yang ada di situ.
Riani yang ini... Riani yang itu.
Bel-bel kecil di gantungan kunci Doraemon itu seolah tiba-tiba berbunyi
sendirian di otak Genta. Tiba-tiba Genta sadar kalau besok Senin males,
bisa jadi karena kali ini Riani nggak bisa ikut di event-nya. Iya, kali ini Riani
nggak bisa ikut karena dia lagi magang di salah satu stasiun TV swasta.
"Genta bengong mulu nih...," tiba-tiba Riani nyeletuk sambil memukul
lembut dengkul Genta.
Nggak tau aja lo, kata Genta dalam hati.
"Makanya jangan ngomongin kerjaan kalo malam Minggu. Kan waktu itu
kita udah janji...," Arial nyambung.
"Lo jadi make gue kan Senin, Ta?" tanya Arial sekaligus memberi tip ex
sama yang baru dia omongin.
Semua ketawa.
'Jadi!" kata Genta mantap.
Ian masih bingung sendiri dan bertanya dalam hati, Genta mau pake Arial,
emangnya mereka homo-an? Setelah bengong tanpa ngasih tahu temantemannya, akhirnya otak semutnya bekerja. Oh maksudnya kerjaan...!
"Ke Secret Garden yuk... udah mulai bau asep nih," Arial yang sangat peduli
pada kesehatan dan antirokok-sama seperti Riani-mengajak mereka
pindah tongkrongan, ke bungalow taman rumahnya.
"Susah deh Mr. Healthy," Zafran nyela Arial yang selalu jaga kesehatan,
yang nggak ikut-ikutan ketiga temannya untuk merokok. Arial dulu
ngerokok, tapi dia udah bisa berhenti. Genta selalu dengan Marlboro
merahnya. Zafran, tokoh vokalis segala band ini dengan Sampoerna Mildnya. Ian adalah asbak yang selalu minta.
"Di sini aja deh," Zafran memberikan pernyataan yang langsung nggak
disetujui.
"Pindah suasana dong."
"Ajak aja pintunya...kalo masih kangen," kata Ian kalem.
Iya... Zafran masih berharap Dinda keluar dari kamarnya, walaupun hanya
sebentar.
"Kan banyak nyamuk di taman," Zafran masih keukeuh.
"Kan abis ujan, mana ada nyamuk?" Ian ngasal (soalnya belum ada yang
membuktikan teori itu).
"Udah yuk ah...," keempat temannya bangkit.
Zafran low bat dan nyerah.
Sambil turun tangga Ian meyakinkan Arial bahwa nggak pernah ada satu
pun pembokat di dunia ini yang bisa bikin Indomie seenak pembokatnya.
Arial. Spontan, Arial yang sangat baik itu teriak memberi aba-aba
kepembokat-nya. untuk membuat Indomie. Bagi Ian, momen ini adalah
suatu keberhasilan penting dalam pemasaran perutnya.
"Pake tekornya dua yaa...," Ian teriak lagi.
"Ada yang mau Indomie nggak?" Arial menawari teman-temannya.
Semua menggeleng.
"Ntar gue minta aja sama Ian," celetuk Riani.
Semua sudah maklum, Riani paling suka sama semua kuahnya Indomie,
apalagi yang kari ayam.
"Ya udah Indomienya dua...," Ian teriak lagi.
Ian melihat kesempatan untuk menambah porsi dengan mengambil
keuntungan dari hobinya Riani.
"Satu aja..!" Riani menepuk perut Ian.
"Kan lo minta!"
"Kan kuahnya doang..." Riani membela diri. "Kan lo minta," kata Ian sambil
lari ke dapur, meyakinkan bahwa si pembokat udah dengar permintannya.
Mereka pun beranjak ke Secret Garden.
Daun-daun dengan bulir-bulir air yang melekat sehabis hujan menyambut
mereka. Lampu taman yang kekuningan membuat suasana Secret Garden
semakin merona dan membuat pantulan yang indah di mata mereka.
Sepasukan bintang pun menyambut mereka kala mereka melihat langit
hitam yang jernih di malam sehabis hujan ini. Bau tanah basah hinggap
sesaat di penciuman mereka, entah untuk yang keberapa kali.
Tanpa sadar Zafran mencopot sendalnya dan berjalan nyeker di antara
rerumputan yang basah. Dingin-dingin air rerumputan di kakinya
membuat dia senang dan loncat-loncat. Mata Riani selalu menjadi yang
paling setia mengikuti gerakan-gerakan ajaib tubuh kurus Zafran yang
dibalut jaket biru gelap, rambut gondrong poninya yang kadang-kadang
ikut meloncat-loncat sendiri, dan bagaimana Zafran menarik tangannya
untuk membenahi rambutnya supaya nggak nutupin dan nusuk-nusuk
matanya. Riani paling seneng kalo udah ngeliat Zafran begini.
Zafran emang suka begitu, tipe orang yang "go out there and do it. "Nggak
peduli sama omongan orang. Teman-temannya paling seneng ngeliat
Zafran sedang berekspresi sendiri. Sesekali dia mengambil air bekas hujan
dari tanaman hias dan membenamkan air tersebut ke matanya. Zafran
yang paling cepat sampai di bungalow Secret Garden (karena dia doang
yang lari-larian). Di sana mereka akan mencoba mengutarakan apa lagi
yang akan mereka klik kanan dan explore dari hardisk di otak mereka yang
ukuran byte-nya bukan kilo, mega, ataupun giga lagi, tapi tak terhingga.
Sesuatu tentang dunia dan tentang mereka....
Mereka duduk lesehan di beranda bungalow bambu di Secret Garden.
Nama Secret Garden diambil dari usulan Zafran setelah Ian dengan jujur,
nggak mutu dan menolak kreatif, ia lebih mau menamakan tempat ini The
Chamber of Secret Sorcerer Stone II yang langsung ditolak semuanya.
Nama Secret Garden diambil Zafran dari judul lagu Bruce Springsteen.
Bukan karena Bruce Springsteen-nya, tapi karena di dalam filmnya Tom
Cruise dan Rene Zhalweger, Jerry McGuire, ada adegan first date-nya Tom
dan Rene yang kala keduanya ngeliat satu sama lain langsung terdengar
Secret Gar-den-nya Bruce Springsteen.
She'll let you in her mouth If the words you say are right If you pay the
price...
She's got a secret garden where everything you want where everything you
need
Zafran dan Bruce Springsteen emang ajaib dan romantis... (tapi beda
nasib). Mereka duduk membentuk lingkaran, seperti biasa Riani duduk di
sebelah Genta. Genta menyalakan rokoknya dan memandang ke langit,
chating sama bintang-bintang bahwa dia selalu suka pada Riani yang di
mana pun berada selalu ngambil tempat duduk di sebelahnya.
"Gue seneng banget ngeliat kaki gue...," Zafran berkata lembut sambil
melihat kakinya yang putih basah dan keriput karena air rumput taman
dengan beberapa rumput hjau kecil yang menempel.
"Sepertinya...," Zafran mendesis pelan.
'Jangan bikin puisi lagi dong..." keempat temannya meneriakkan mosi "lagi
nggak mau ada puisi".
Zafran pun nurut.
"Yan, sebelum makan lo harus nyanyi dulu...."
Arial langsung memberikan gitar yang emang udah satu paket sama teh
manis anget dan Indomie-nya Ian kalo mereka mau nongkrong di Secret
Garden.
Ian yang walaupun dari tadi dicela, mempunyai kelebihan dalam bidang
tarik suara, bina vokalia,vokal grup, Selekta Pop, Aneka Ria Safari, dan
Album Minggu Kita Ian emang jago main gitar dan suaranya bagus (yang
ini bener). Genta berpendapat, bagusan suara Ian daripada suara Zafran
sang vokalis.
Kontan saja Zafran "si kapur tulis SD" marah-marah, tapi langsung dibelain
Riani yang mengatakan bahwa Zafran masih satu tingkat lebih bagus
suaranya dibanding Ian. Toh Zafran masih nggak terima, soalnya dia
percaya kalau kualitas suaranya seratus tingkat di atas Ian.
Anyway, Ian memang pernah menjadi anggota bennya Zafran, tetapi
akhirnya terjadi konflik karena Ian nggak mau latihan kalau VCD
bokepnya nggak dikembalikan sama Zafran. Jadilah akhirnya Ian pun
dipecat oleh Zafran dengan royalti pick gitarnya Zafran yang udah
ditandatangani. Ian setuju untuk keluar dari bennya Zafran karena
menurutnya musikalitas dia dengan Zafran nggak nyambung. Ian suka
lagu-lagu acid dan klasik jazz, sementara Zafran suka lagu apa aja asal
vokalisnya terkenal... dan berakhirlah perseteruan antara Achiles dan
Obelix ini.
"Kiss of life-nya Sade, Yan...," Genta mau lagunya Sade.
"Jangan, Always-nya Atlantic Star aja...," imbuh Arial yang mau ngelamun.
"Fake plastic Trees-nya Radiohead aja," Zafran dengan mantap mau
berkelam-kelam ria.
"Yo'i...," Riani setuju karena Fake Plastic Trees nggak pernah lewat dibawain
sama Alanis Morisette kalo lagi konser.
Ian diem aja. Menyenderkan badannya ke dinding bambu, jemari
tangannya pun mulai membentuk barisan kunci A di fred kedua yang
mengawali Fake Plastic Trees-nya Radiohead.
Semuanya setuju aja karena pengaruh selera mereka adalah dari...
semuanya. Jadi lagu ini buat semuanya. Zafran yang nggak disuruh nyanyi
pun mulai nyanyi. Dirinya dalam beberapa detik dan beberapa kilatan
cahaya dan beberapa kejang-kejang tubuhnya menegang. Zafran berubah
menjadi Torn Yorke, vokalis Radiohead.
The green plastic watering can for a fake Chinese rubberplant... In the fake
plastic earth...
Semua mencoba menikmati lagu di antara keindahan Secret Garden
mereka. Lampu kuning remang taman, bulir air dan anggukan daun
sehabis hujan. Mereka terdiam dengan lamunan dalam yang bermuara
pada kenyataan bahwa banyak orang di dunia atau di sekitar mereka yang
masih berpura-pura dan menjadi fake plastic trees (pohon plastik palsu).
Udah pohon dari plastik palsu lagi....
If I could be who you wanted
if I could be who you wanted all the time
All the time...
"Udah pohon plastik, palsu lagi...," Riani menggumam sendiri.
"Yoi... palsunya kuadrat..," kata Genta.
"Mudah-mudahan gue nggak jadi orang kayak gitu," Zafran menyambung.
Ian tiba tiba berujar sendiri. "Lo semua pada tau kan gue pernah kayak
gitu, tapi sekarang gue udah nggak mau lagi... capek jadi orang lain," Ian
memandang kosong ke depan.
Semuanya tersenyum, memandang mahkluk gendut lucu dengan gitar
yang lagi ngomel sendiri.
Tiga menit
Semuanya teringat, tiga tahuan yang lalu ketika mereka baru berempat dan
belum jadi "Power Rangers", Ian adalah ranger terakhir yang masuk ke
dalam dunia mereka. Dunia apa adanya mereka, yang kadang-kadang
geblek, gila, bodoh sok tahu, sok berfilosofi, dan sok-sok lain yang pada
akhirnya cuma membuat mereka sedikit cerdas dibanding sewaktu masih
SD dulu. Ian yang dulu kadang-kadang cuma ikutan nimbrung
nongkrong, bukanlah Ian yang sekarang. Ian yang dulu adalah Ian yang
nggak pede sama dirinya sendiri, yang selalu mencoba jadi orang lain, yang
memandang orang lain selalu lebih hebat dibanding dirinya. Ian yang dulu,
dalam tongkrongan cuma jadi penambah yang banyak omong, bisanya
cuma nambahin omongan teman-temannya. Ian yang kayaknya tahu apa
aja, tapi sebenarnya cuma bisa ikut-ikutan Genta, ikut- ikutan Arial, ikutikutan Zafran, dan ikut-ikutan Riani.
Pokoknya apa yang tongkrongan suka, Ian juga langsung mengklaim
dirinya juga suka. Malah kadang-kadang ia yang paling tahu dan yang
paling hebat dalam omongan itu. Ian yang takut nggak aktual. Ian yang
terlalu sibuk menjadi orang lain.
Kalau Riani ngomongin Alanis yang dia suka, semuanya cuma dengerin dan
menyimak. Genta sebenarnya tidak terlalu suka, tapi Genta senang dengerin
Riani ngobrol tentang idolanya itu. Riani pun tahu Genta tidak terlalu suka
sama Alanis, Genta sukanya sama Sinatra. Genta pernah bilang kalau dia
nggak suka sama Alanis, sebaliknya Riani juga pernah bilang kalau ia
menganggap Sinatra itu nggak terlalu bagus. Tapi adakah hal yang lebih
penting dari Sinatra ataupun Alanis?
Atau, bagaimana Zafran sama Arial sering saling nggak suka sama selera
masing-masing. "Apaan tuh nyanyi pakai tensoplast di pipi," Zafran suka
nyela Arial yang seneng sama Nelly. Arial pun balik nyela idolanya Zafran,
Roberth Smith vokalisnya The Cure. "Laki-laki kok pakai lipstik!" kata Arial,
keherculesannya merasa terganggu. Atau, soal Morissey yang homo.
"Morrrisey kan nggak seneng perempuan."
Dibales sama Zafran, "Black Music kan sebenernya nggak nyanyi, tapi
cuma orang-orang sok kaya, pakai baju kegedean yang lagi senam tangan."
Tapi adakah hal yang lebih penting daripada Black Music ataupun
Morrissey dan Roberth Smith?
Dulu Ian belum mengerti itu. Akhirnya Ian jadi orang yang. suka apa yang
orang lain suka, bukan dirinya sendiri yang hilang suka. Hingga suatu saat
akhirnya mereka berempat mulai melihat kalau ternyata bukan soal selera
saja Ian mulai labil dan bingung sendiri, tapi juga bingung gimana menjadi
seorang Ian. Ian pun mulai nggak ikutan nongkrong lagi, nggak ikutan
jalan lagi. Mereka berempat semuanya kangen sama Ian yang lucu, yang
kadang-kadang bego sendiri.
Tapi Ian entah ke mana
Sampai pada suatu saat mereka baru saja pulang nonton. Dalam
perjalanan pulang mereka kangen sama Ian.
"Si gendut ke mana ya? Tadi gue SMS, gue ajak nonton bareng tapi nggak
dibales," Genta tiba-tiba membuka forum tentang Ian.
"Tau tuh. Gue juga SMS nggak dibales-bales," sambung Zafran sambil
ngutak-utik HP-nya.
"Apa kita sergap aja ke rumahnya?" Arial yang lagi nyetir seolah siap-siap
mau pencet turbo boost, tapi dilarang sama Riani karena emang mobil itu
nggak ada turbo boost-nya,.
"Telpon dulu."
"Gue telpon deh" Genta mencari nama "Iangendutsekalinggakpunyapuser," di Hp-nya.
Coneccting to Iangendutsekalinggakpunyapuser. "Halo... coy, di mane lo?"
"Eh Ta..., gue... di rumah, Ta."
"Yee... malem Minggu di rumah, ngapain lo"
"Lagi bikin Indomie."
"Anak-anak kangen nih ama lo, mau nyobain kasur air yang bisa jalanjalan."
"Bercanda lo...," Ian datar. "Lo di rumah aja kan?" "Iya."
"Ya udah kita mau ke situ." "Tapi, Ta...."
Tuut...! Genta langsung rnutus hubungannya dengan Ian. "Langsung ke
rumah kasur air...," kata Genta sambil menepuk pundak Arial. "Okeh...."
"Tapi kok tadi kayaknya Ian suaranya males gitu, biasanya kan dia
berisik...," Genta bertanya-tanya.
"Lagi ada masalah kali...," Riani coba meraba-raba.
"Emangnya Manchester United kalah lagi?"
"Nggak, kan kemarin menang di Champion,'" Genta menjawab pertanyaan
Arial.
"Emmmhhh," tiba-tiba Zafran menggumam sendiri.
"Kenapa lo?"
"Enggak!" kata Zafran sambil ngeberesin rambut Damon Albarn-nya. "Lo
ada kasus ya sama Ian?" Riani menengok sebentar ke belakang.
"Enggak!" jawab Zafran sambil matanya menjelajah setiap sudut malam
Jalan Radio Dalam... bubur ayam, roti bakar, kwetiauw sapi lada hitam,
bubur ayam lagi, nasi goreng, pecel lele, nasi uduk, bubur ayam lagi. Ada
yang Zafran mau ceritain, Arial juga tahu.
"Kita mau cerita tapi males banget, tapi jangan dianggap ngomongin orang
ya. Kita kan tau, kita tuh paling benci banget ngomongin orang kalo
orangnya nggak ada."
"Mau diomongin nggak?" Arial bertanya ke teman-temannya.
Keempat sahabat ini emang punya kesamaan, nggak mau ngomongin
orang, apalagi teman sendiri, apalagi kalo orangnya nggak ada di situ,
apalagi kejelekan orang yang diomongin. Mereka sangat anti.
"Mau diornongin nggak?" Arial bertanya lagi.
Semuanya diam, semuanya bingung.
"Jangan jelek-jelekin orang ya," kata Genta pelan. Genta saklek sama prinsip
keempat sahabatnya ini.
"Intinya aja deh..." Riani ikutan ngomong aldiirnya.
"Dan jangan lebih dari tiga menit," Genta memperjelas, "Supaya cepet"
"Okeh... Juple... ceritain, Ple...."
"Nggak, lo aja...."
Nggak ada yang mau cerita.
Zafran aldiirnya cerita, "Gini deh intinya. Lo perhatiin nggak sih kalo si Ian
gabung sama kita kadang-kadang dia bingung sendiri sama dirinya sendiri.
Suka berisik sendiri dan kadang omongannya ngelantur. Terus kadangkadang dia juga ada rasa takut nggak diterima sama kita, nggak mau jadi
dirinya sendiri. Gue sih pertamanya biasa aja, tapi lama-lama Ian ngelakuin
sesuatu yang kayaknya ngeganggu banget buat gue."
Riani dan Genta menarik napas panjang. Mereka juga ngerasain hal yang
sama tapi mereka simpan aja.
"Trus... inget tiga menit doang..." Genta cepet respon.
"Waktu itu ganjalan sama Ian nyari film baru, trus... .sambil lalu gue cuma
ngomong ke dia kalo si Arial reseh nih. Udah dua bulan lebih si Arial belum
balikin film Reality Bites gue. Gue ngomong gitu juga gara-gara ngeliat ada
film Reality Bites."
"Trus...," Riani angkat bicara.
"Ian langsung dukung gue, muji-muji gue..., trus ngomongin segala macam
yang jelek-jelek tentang Arial. Arial ini-lah, Arial itu-lah."
Sepi.
"...mudah-mudahan gue salah," Zafran mengambil se-penggal napas
sebelum melanjutkan, "...kayaknya semuanya dicari-cari doang. Dia
kayaknya pengen jadi penting doang di mata gue. Gue kan jadi kaget
sendiri, nggak penting banget."
"Oh begitu... udah?" Genta bertanya sambil ngeliat Zafran.
Zafran masih terus ngeliat ke jalanan malam di Radio Dalam... bubur
ayam, roti bakar, kwetiauw sapi lada hitam, bubur ayam lagi, nasi goreng,
pecel lele, nasi uduk, bubur ayam lagi, nasi roti, kwetiauw lele, bubur
goreng, pecel roti... Zafran bingung dan nggak enak.
"Belom, Ta...," Arial nyambung, "Ian juga ngelakuin yang sama ke gue."
Arial menoleh ke ketiga temannya.
"Maksudnya?" Riani coba memperjelas.
"Iya... Ian waktu itu muji-muji gue yang nggak penting dan jelek-jelekin
Zafran... cerita nggak usah detail. Pokoknya nggak penting banget, jelekjelekin si Juple."
'Jadi...," Riani, Genta, Zafran, Arial saling menatap.
"Ian jadi... u 1 e r... dong. Ngomong di sana lain di sini lain, yang penting
dirinya jadi penting," kata Genta sedih.
Uler adalah kata yang jarang mereka keluarin, kecuali lagi terpaksa main
ular tangga, atau lagi ngeliat uler beneran. Sangat menyakitkan bagi
keempat sahabat ini karena mereka paling nggak suka sama orang yang
selalu mau ngambil untung doang dari orang lain, dengan ngejelek-jelekin
orang lain. Mereka udah nyari kata yang tepat untuk situasi seperti ini, tapi
nggak ketemu gara-gara semuanya takut uler. Akhirnya, untuk mudahnya
mereka sepakat memberi nama uler kepada orang yang kayak gini.
"Trus gimana lo bedua bisa tau kalo Ian jelek-jelekin kalian berdua?" Genta
bertanya ke Arial dan Zafran.
"Gue telpon si Arial. nanya apa Arial punya kasus sama Ian, kok Ian
kayaknya jadi sebel banget sama dia. Eh, si Arial juga punya pertanyaan
yang sama, akhirnya kita berdua ngobrol deh."
"Pakai tiga menit nggak?" tiba tiba Genta nanya lagi. "Pakai lah...."
Tiga menit emang rumus mereka untuk menyelesaikan masalah yang di
dalamnya harus ada substansi, harus dengan sangat terpaksa
menceritakan kejelekan orang lain. Kenapa tiga menit? Karena mereka anti
banget ngomongin kejelekan orang kalo orangnya nggak ada di situ.
"Kita harus ngomong sama si banana boat itu...," Genta ngomong pelan.
"Gue nggak mau kehilangan kasur air gue..." Riani menggumam pelan,
"Kapan ngomongnya?"
"Sekarang aja...," Genta langsung jawab pertanyaan ketiga temannya.
Semuanya langsung setuju, semuanya gampang nurut sama Genta.
Tiga menit yang mudah-mudahan nggak dibilang munafik pada zaman
sekarang ini pun berakhir. Tiga menit yang coba mereka terapkan karena
setiap manusia pasti punya salah dan nggak ada manusia yang sempurna,
termasuk mereka
IAN
Mobil Arial akhirnya sampai dijalan Bumi, Mayestik, daerah rumahnya Ian.
"Tuh Ian...," Riani melihat sosok Ian di jalan.
Sebelum sampai rumah Ian mereka udah ngeliat Ian lagi jalan di daerah
rumahnya yang banyak pohon gede. Lampu mobil Arial membantu
mengenali badan Ian yang subur dan pakai celana tiga perempat. Body Ian
yang khas sudah bisa dikenali dari jauh.
"Halo cowok...," sambil nurunin kaca mobil depan, Riani - menyapa Ian,
"Biar gendut juga Tante mau kok. Lagi kesepian nih. Ada tiga cowok di
mobil tapi nggak bisa dipakai. Yang satu homo, satu impoten, satu lagi
nggak punya kelamin...," Riani menyapa Ian yang lagi jalan sendirian.
Ian tersenyum.
"Eh gila, gue kira siape lo. Gue kira masih lama lo jadi gue beli rokok dulu...
sama snack sama Coca-Cola," ujar Ian sambil nunjukin plastik
belanjaannya dari warung yang agak penuh.
"Gue kan tau, lo lo pada kalo jalan abis nonton pasti terus ngirit, nggak
mau makan di luar, tapi terus nyari rumah temen."
Suatu niat baik dari Ian yang bisa bikin semua di situ agak lega.
"Ayo mau ikut Tante... nggak? Tante udah bawa borgol nih. Nanti Tante
girang, Tante tampar," Riani bercanda lagi.
"Masuk, Yan...," Zafran membuka pintu belakang Kijang Arial dan
menggeser duduknya.
Ian pun duduk bertiga di belakang, sama Genta dan Zafran.
"Tumben lo beli rokok...biasanya minta," Zafran membuka percakapan
yang sepertinya salah.
Ian tersenyum sedikit dan jengah. Ketahuan banget wajah Ian yang nggak
enak dari pertama tadi ketemu, seperti udah pernah punya salah.
"Pa kabar, Ndut?" Riani menoleh ke belakang. "Gimana, banana boat
laku?" Genta menyenggol Ian dengan bahunya.
"Perut tambah tipis tuh dinaekin orang mulu...," Zafran menncolek perut
Ian dengan telunjuknya.
"Tambah melar aja luh ditarik speed boat mulu...," Arial ikutan nyela.
Ian ketawa lepas.
Gerombolan ini emang gila, bodoh, kreatif, bego, dan baik sekali, batin Ian
dalam hati. "Ke mana nih?"
"Katanya ke rumah Ian...," Riani menjawab pertanyaan Arial.
"Males ah, rumah gue lagi banyak saudara, besok ada arisan makanya gue
beli makanan, nanti nongkrongnya dijalan depan rumah gue aja...," jawab
Ian.
"Nongkrong di mana kek," Zafran ikutan bicara.
"Cari tempat yang enak dan sepi, gue mau ngomong penting sama lo
semua," Ian berkata tercekat pelan hampir nggak terdengar. Semuanya
diam.
"Iya, kita juga mau ngomong," Genta ikut bicara, hatinya lega karena tugas
beratnya untuk membuka percakapan yang dalam bakal menjadi ringan.
Ian kaget sendiri.
"Kita ke sekolah aja," usul Riani.
"Beli lampu dulu," imbuh Genta.
Mereka pun ke sekolah tanpa ada yang bisa ngomong lagi. Sementara, di
tape mobilnya Arial, Butterfly-nya Weezerm engarung lembut
I guess you're as real as me... Maybe I can live with that Maybe I need
fantasies A life of chasing butterfly I' m sorry for what I did
I did what my body told me to I didn't mean to do you harm Everytime I pin
down what I think I want It slips away... then it go slips away
I'm sorry...I'm sorry...
SEKOLAH
Setelah membeli lampu lima watt, mobil Arial menuju ke mantan SMA
sakral mereka yang terletak di bilangan Jalan Mahakam. Mereka
sebenarnya sudah alumni, tapi karena saking cintanya sama SMA mereka,
kadang-kadang gerombolan ini suka nyolong-nyolong kalau udah
kehabisan tempat tongkrongan. Sudah biasa buat mereka, malam-malam
melompati pagar besi SMA, minta izin sama penjaga sekolah yang
kebetulan selama tiga tahun udah "diguna-guna" supaya baik sama mereka
sehingga selalu ngasih izin kapan aja gerombolan geblek ini mau masuk ke
sekolah.
Tempat favorit mereka adalah di ujung lapangan basket dekat ring karena
di situ ada sangkar lampu yang udah nggak terpakai, yang selalu dikasih
lampu lima watt. Karena selain lampu itu, semua lampu di sekolah
dimatikan (kecuali lampu depan) sehingga sekolah menjadi sangat gelap
dan cahaya yang ada cuma lampu lima watt yang biasa mereka pasang
sendiri. Tapi mereka suka sekali sama keadaan kayak gitu. Gelap.
Kalau kata Zafran, sebuah cerminan masa masa bahagia yang sudah begitu
gelap karena walau bagaimana pun dengan cara apa pun kita nggak akan
bisa kembali lagi ke masa-masa SMA yang sangat indah bagi mereka Masa
SMA yang nggak akan tergantikan dengan apa pun.... Jadi, biarkan aja
semuanya gelap, yang penting kita pernah sama-sama di gelap bahagia sana.
Pernah sama-sama bego, bahagia, coba-coba, dengan electrie youth masingmasing yang ajaib. Waktu itu semuanya setuju, apa pun yang kita lakuin
enggak pernah salah karena kita semua lagi belajar. Tentang apa aja dan
siapa aja. Semua setuju dengan sonetanya Zafran kali ini.
Sejenak ber-"hahahihi" dan nanya kabar penjaga sekolah yang namanya
masih aja sama kayak dulu, Pak Mangki (iyalah). Pak Mangki selalu
ngulang cerita yang sama, girnana bandelnya mereka dulu, juga gimana
anaknya Pak Mangki yang udah jadi penerbang. Setelah memastikan
nggak ada yang bawa ganja atau mirasantika, mereka pun boleh masuk.
Tapi jangan sampai ketahuan karena seperti mission impossible, Pak
Mangki akan menyangkal semua kegiatan yang terjadi, apabila terjadi
sesuatu di sekolah atau bila mereka tertangkap atau mati.
Mereka berjalan melalui kantin depan dan lorong sekolah, melihat
sekeliling yang gelap, melihat bekas kelas masing-masing yang menyapa
dalam gelap. Merasakan kembali betapa dingin dan sejuknya jam 06.15
pagi kalo mereka dateng pagi-pagi buat nyontek PR atau LKS, atau jam
07.15 pagi yang udah sepi lagi kalo mereka telat gara-gara nggak ada PK
Bau karbol dari ubin yang baru dipel di pagi hari, betapa putih dan abuabunya dunia mereka dulu, berisiknya jam istirahat mereka, pahlawanpahlawan tanpa tanda jasa mereka. Mereka nggak pernah bosan punya
dejavu sekolah kayak gini setiap ada acara kudeta tongkrongan mendadak
di malam hari. Tapi aldiirnya semua sepakat untuk cepat-cepat nyari tali
untuk meminimalisir gerakan-gerakan ajaib Zafran, sebelum dia
melakukan hal-hal berbahaya yang hanya Zafran yang tahu. Bisa saja tibatiba bersoneta, berima, dan berpuisi lagi, padahal sekarang waktunya
nggak tepat untuk nostalgia, nanti ada waktunya.
Sekarang adalah waktunya Ian.
*
"Ayo Rambo... pasang lampunya...," Riani menonjok lembut bahu Arial
yang memang paling tinggi di antara mereka berlima.
Arial mengambil bangku sekolah yang lagi sendirian di situ dan masih ada
nomor serinya dari Depdikbud.
Arial memasang lampu.
Setelah lampu terpasang....
Teq..., suara saklar yang dipencet pun mengawali semuanya.
Cahaya kuning seadanya menerangi mereka berlima, kontras dengan rona
kuningnya, membuat suasana menjadi lain di hati mereka masing-masing.
Semuanya mengambil tempat duduk di bawah ring basket. Genta duduk di
rangka ring basket, Riani di sebelahnya, Ian duduk bersila di depan Genta,
Arial duduk di lantai semen lapangan basket yang membuatnya terkenal
sebagai power forward tim basket sekolah. Zafran sudah mulai dilepas
ikatan talinya dan duduk sekenanya dengan kedua kaki menyelonjor
dibentangkan lepas.
Semuanya diam.
Untuk sementara mereka mengagumi langit malam yang agak mendung
dengan bulan yang mengintip sedikit di balik awan kelabu, mengeluarkan
semburat biru kehitaman.
"Gue sangat takut keriangan lo semua...," Ian angkat bicara pelan sambil
menyalakan rokoknya. Cahaya dari korek gas menerangi mukanya yang
tembem.
"Gue nggak pernah punya temen kayak lo semua. Baik semuanya biarpun
kadang-kadang kalian bego, tolol, dan nggak, ber-perikeoranggendutan.
Tapi kalian baiiiik semua...."
Genta tersenyum kecil... dan lega.
Riani menatap Ian dalam-dalam.
Arial melakukan hal yang sama. Zafran menyalakan rokoknya
"Bukan maksud gue jelek-jelekin lo berdua," Ian bicara pelan lagi sambil
menatap Arial dan Zafran.
Zafran masih tertunduk, memainkan rokok di jarinya. Arial melihat dalam
ke Ian sambil memainkan jarinya membentuk lingkaran kecil di semen
lapangan basket
"Gue minta maaf... Lo pada marah sama gue... ya," Ian berkata pelan. Kali
ini Genta yang nyalain rokok.
"Pertamanya gue heran waktu gabung sama kalian karena kalian ternyata
ajaib-ajaib, pinter-pinter, dan asik-asik. Gue jadi minder, tapi gue suka
banget sama kalian. Ke mana-mana, becanda bego, nonton layar tancep,
nonton The Groove... kan kalian ancur banget..."
Semuanya tertunduk sambil menahan tawa. Memang kombinasi yang
sangat kontras kalau ada tongkrongan yang abis nonton The Groove di
NYC (New York Cafe), pulangnya nonton layar tancep di dekat rumah
Genta sambil makan kerupuk merah asal-asalan, lepet, tahu irit (tahu
kuning Betawi yang gorengnya tanpa minyak, makanya dibilang tahu irit!),
gorengan kebanyakan minyak yang asal anget. Tapi memang mereka
pernah sebego itu... berlima.
Arial ketawa ngakak.
Punggung Riani berguncang menahan tawa, Zafran senyum sambil
bingung karena yang diingat sama Ian cuma makanan di layar tancep
doang, bukannya sorak-sorakan mereka waktu Jaka Sembung akhirnya
mengadu ilmu dengan Si Mata Malaikat Genta ketawa renyah.
"Tapi gue harap kalian percaya sama yang satu ini. Kalo yang gue omongin
itu cuma dari mulut gue, bukan dari hati gue, dan berhenti di mulut gue,
nggak terus ke hati. gue, nggak sampai ke hati gue."
Zafran mengalungkan tangannya ke leher Ian, ternyata ada yang bisa bikin
quotation seindah Ian. Achiles pun takluk. Jari Arial tiba-tiba berhenti
membuat lingkaran di lapangan semen dan menatap Ian dalam.
"Ian nggak salah juga lagi. Ian cuma belum ngerti," Riani berkata pelan dan
lembut., semuanya menatap kelembutan Riani dan setuju dengan Riani. Di
sinilah saatnya wanita dibutuhkan dengan kelembutannya itu, Riani
sepertinya telah menjadi jagoan di antara mereka berlima.
"Iya gue sibuk sendiri, sibuk jadi Genta, sibuk jadi Zafran, sibuk jadi Arial,
sibuk suka semua yang kalian suka padahal kan sebenemya ada yang gue
nggak suka dan ada yang gue suka sendiri, yang elo pada nggak suka."
"Tapi kan ada yang lebih penting dari sekadar selera...," Genta ngomong
pelan dan melanjutkan, "yang penting kan kita bareng-bareng terus
berlima...menghargai pendapat semuanya, selera semuanya, ketawa buat
semuanya, sedih buat semuanya Lagian kita jangan pernah saklek bilang
nggak suka sama sesuatu karena nggak ada yang saklek dan pasti di dunia
ini; semuanya berubah. Satu-satunya yang pasti di dunia ini adalah
ketidakpastian," Genta berfilosofi sendiri mengutip kata-kata Albert
Einstein.
"Contoh yang paling kecil dan remeh. Gue sekarang bisa suka semua jenis
musiknya Riani, Zafran, R en B-nya Arial kadang-kadang juga bagus,
semuanya bagus," Genta menambahkan.
"Gue minta maaf sama kalian semua...," Ian minta maaf
lagi.
"Minta maaf mulu lo kayak pembantu baru," Zafran mengeluarkan
keajaibanya yang bikin Ian tersenyum.
"Gue juga sekarang udah enggak menganggap sepakbola makanan kering
lagi, gue udah mulai nonton bola. Padahal kan gue dulu benci banget sama
sepakbola."
Achilles penyair mencoba masuk ke dunia dramatisir yang sedang
berlangsung, "Makanya...!" Genta, Arial, dan Ian nge-lempar kacang ke
Zafran.
'Jadi lo semua maaf in gue nih?" Ian berkata pelan.
"Ya nggak-lah, Yan...," sambil semuanya memeluk Ian yang emang cukup
besar buat dipeluk empat orang.
Di remangnya sekolah, malam seakan tersenyum buat mereka
"Ini semua bukan tentang selera, tentang musik, tentang bola, atau apa
pun. Itu semua kecil banget dibanding kalo kita bisa menjadi orang yang
membuat orang lain bisa bernapas lebih lega karena keberadaan kita di
situ," Riani berkata bijak.
"Yang penting kita jangan pernah ngomongin kejelekan orang kalo
orangnya nggak ada. Kita nggak akan bantu dia, soalnya dia nggak ada di
situ, dan emang kalo ada kejelekan orang, langsung aja bilang ke orangnya.
Dengan begitu kita bantu dia mengerti akan dirinya...," Genta ikutan
ngomong.
"Dan semuanya akan tambah indah kalo lo tetap jadi diri lo sendiri, bukan
orang lain," Arial nambahin.
Dan, Zafran buru-buru mengambil posisi membelakangi mereka semua,
lari ke tengah lapangan, membentangkan tangannya meniru Torn Cruise
di Vanilla Sky. Di antara gelap malam lapangan sekolah, semuanya
kebingungan nyari tali dan plakban buat ngiket Zafran, supaya si Achilles
itu sadar dan nggak ada puisi yang kepanjangan karena udah malam.
Lagian juga, nggak enak sama Pak Mangki, dikira ada yang kena ganja.
Ian jadi ketawa ngeliat tingkah Zafran, yang sering bertindak semaunya,
sesukanya, apa adanya^ dan ajaib, tapi semuanya terasa indah bagi
mereka.
Zafran yang selalu jadi dirinya sendiri. Ian juga bisa.
Malam itu di sekolah, mereka ngobrol lagi, ketawa-tawa lagi, berfilosofi lagi,
di bawah kuningnya cahaya seadanya di tempat yang pernah
mempertemukan mereka melewati usia tujuh belas. Kala semuanya belum
ada yang hitam, bagi mereka semuanya hanya putih-seputih tingkah polos
mereka yang baru bisa melihat apa saja yang baru. Dunia seabu-abu
seragam mereka yang tidak bisa dibilang hitam karena mereka baru saja
melihat dan mengenal sesuatu yang menentukan akan ke mana mereka
dibawa. Bukan oleh orang lain tapi oleh diri mereka sendiri.
Dua
All I Have to Do is Dream
...Rasi bintangnya Genta, Rasi bintangnya Riani, rasi bintangnya Zafran,
rasi bintangnya Arial, dan Rasi bintangnya Ian.
Masih di Secret Garden.
Kalau ingat kejadian Ian menemukan dirinya sendiri, yang Ian namakan
"Finding Ian", nggak sadar mereka berempat tersenyum dan tengok-tengok
sendiri. Dari kejadian "Finding Ian" Itu bukan cuma Ian yang belajar, tapi
semuanya belajar banyak banget Ngeliat Ian yang sekarang, bukanlah Ian
yang dulu. Ian yang sekarang lebih berisik (tetep..!). Ian yang apa adanya,
yang lucu, jago nyanyi, jago main gitar, dan ngefans sama Indomie,
Manchester United, dan juga Happy Salma.
Ian yang baiiik banget
For one so small, you seem so strong
My arms will hold you, keep you safe and warm
This bond between us can't be broken. I will be here, don't you cry
"Cause you'll be in my heart. Yes, you'll be in my heart From this day on...
now and forever more You'll be in my heart
No matter what they say.... You'll be here in my heart, always
Don't listen to them... cause what do they know,
we need each other to have to hold
They'll see in times... I know
When destiny calls you, you must be strong
I may not be with you, but you got to hold on
They'll see in time, I know
We'll show them together 'cause...
You'll be in my heart (believe me... you'll be in my heart).
You'll Be in My Heart-nya Phil Collins mengisi Secret Garden. Ian bernyanyi
dengan gitarnya, menambah suasana hangat malam yang indah buat
mereka berlima di Secret Garden.
"Yan Indomie lo dateng tuh...," suara Arial jadi kontras di tengah-tengah
lagu. Ian langsung berhenti karena memang perutnya yang selalu lapar
sudah menunggu dari tadi.
"Kuahnya dong..." Riani mengambil satu mangkok kosong yang emang
udah disiapin oleh pembantu Arial, hasil pengajaran Genta tentang service
excellent. Sudah merupakan ritual, kalau Ian minta Indomie, harus ada
satu mangkok kosong lagi buat Riani yang pasti minta kuahnya.
"Hobi banget sih lo sama Indomie," Zafran bingung ngeliat Ian yang makan
Indomie dengan lahap.
"Cowba luw swurvwey adaw nggwwak owrang Indowneswia ywang bewlom
perwnah mawkwan Indowmwie," Ian ngomong sambil makan.
"Jangan makan sambil ngomong!" Riani geli ngeliat Ian.
"Tiap nongkrong di rumah orang pasti minta Indomie," Genta geli banget
ngeliat Ian.
"Kan lo punya rumusnya, Yan. Ya kan?" Zafran mencoba menetralisir.
"Rumus apa?" Riani pengin tahu.
"Rumusnya Ian bikin Indomie... hihihi," Zafran nyahut menahan geli.
Masih sambil ngunyah dan sangat serius dengan satu tangan megang
mangkok, Ian merogoh dompetnya, mengeluarkan kertas kecil putih lecek
dan tanpa ngomong, masih nerusin makannya, ngasih tahu rumus yang
dibanggakannya buat Indomie.
f(i)=P.{RT(g,r,z,a)+Mp(PTSD.KBI)}2-K(r)
keterangan:
f: fungsi
i: Indomie
P: perut
RT: rumah temen
Mp: memuji pembokatnya
PTSD: Pembokat terbaik di seluruh dunia
KBI: kalo bikin Indomie
g: Genta
r: Riani
z: Zafran
a: Arial
K: kuah
Note: Rumus dalam kurva kurung akan selalu dikuadratkan setiap kali
Riani minta kuah, jadi fungsi dari variabel K akan diabaikan kalo nggak
ada Riani Asumsi: Dibuat dengan asumsi satu paket Indomie adalah
dengan dua telor
Mereka semua ngakak sampai sakit perut Ian bingung sendiri kenapa
teman-temannya ketawa. Rumusnya telah diuji secara empiris dan selalu
berhasil, nggak pernah gagal karena telah melewati enam langkah metode
penelitian yang udah diajarkan di SMA (Ancur...!).
Sementara Ian makan, Zafran mengambil gitar dan mulai mencoba
membawa teman-temannya ke dunianya. Dalam khayalan Zafran, one spot
stage lighting hanya terarah padanya. Semuanya gelap hanya dia, gitar,
mike, lampu panggung, dan penggemarnya yang berjuta-juta di depannya.
Hitam, semuanya hitam, cuma Zafran yang terang disorot lampu. "Zafran!
Zafran!" teriak penggemarnya.
Dengan logat British yang dikental-kentalin, "A great song for u all... from
my favorite ben...," kata "band" lupa Zafran fasihkan menjadi logat British
jadinya yaa... "ben"!
Who knows how long I've loved you. You know I love you still.
Will I wait a lonely lifetime If you want me to- I will
For if I ever saw you I didn't catch your name But it never really mattered... I
will always feel the same
Love you forever and forever love you with all my heart Love you whenever
we're together Love you when we're apart...
Semua menikmati I Will dari The Beatles yang dinyanyikan oleh Zafran
penuh penghayatan dengan suara yang agak keras. Maksudnya jelas,
supaya Arinda dengar dan udara bisa mengirimkan sinyal-sinyal dan zatzat ajaib tak terlihat ke kamar Arinda yang akan menimbulkan pikiran
pada Arinda: "gile suara Zafran bagus bangeet, Zafran keren deh."
Semua memang setuju kalo Zafran emang punya bakat jadi vokalis (emang
udah jadi vokalis, bukan?).
"Adik gue jam segini paling udah tidur, Ple...," Arial yang udah bisa
nangkep maksud Zafran melalui lagu tadi gatel untuk nyela.
"Tuh lampu kamarnya udah mati," Riani memperkuat Arial sambil
menunjuk ke kamar Dinda.
"Lampu kamar udah mati kan bukan berarti udah tidur, siapa tau masih
tidur-tiduran sambil ngeliat langit malam, dia juga denger suara gue"
Zafran keukeuh.
" Dia nggak tidur di kamarnya malam ini, dia tidur di kamar nyokap gue.
Kan bokap gue ke Surabaya lagi, sekarang nyokap gue jadi porno karena
banyak acara setan di TV yang nggak jelas. Jadi si Dinda disuruh nemenin
tidur," kata Arial sambil ketawa.
Zafran langsung low batt, mengingat kamar nyokapnya. Arial kan di depan
banget, sementara mereka berada di taman belakang yang kalo kata semut
pasti jauh banget. Apalagi banyak tembok, udah pasti nggak kedengeran.
"Tapi tadi Zafran keren kok... sumpah," Riani memuji Zafran beneran.
Genta langsung mengacungkan jempol tanda setuju. Ian juga Tapi Zafran
nggak peduli. Lagu tadi cuma buat Arinda seorang. Riani ngeliat Zafran
jadi nggak tega.
Malam semakin larut di Secret Garden,
Semuanya diam. Cuma suara sendok dan garpu beradu dengan piring yang
terdengar. Ian masih melahap habis Indomienya. Semua dengan
khayalannya sendiri-sendiri. Arial sibuk bales SMS yang dikirim oleh cewek
yang dikenalnya di tempat fitness, yang bikin dia tipes.
Indy fitness: Arial udah sembuh belom? Arial: udah
Indy fitness: Arial lagi ngapain? (yang selalu dijawab Arial apa adanya)
Arial: lagi duduk
Indy fitness: kok malem minggu nggak ngapel? Arial: nggak ada pacar
(Indy fitness yang mulai paham kalo dalam ber-SMS Arial nggak kenal
yang namanya kalimat, mulai kreatif dengan mengeluarkan combo).
Indy fitness: Arial udah makan? Kalo udah, makannya pake apa? Enak
nggak? Trus abis makan ngapain?
Arial: udah.kecap.manis.minum
(Indy fitness jadi mikir-mikir untuk ngelanjutin PDKT-nya ke Rambo datar
ini).
"Siapa Yal yang SMS?"
"Susah deh... punya muka penting," Genta coba buka pembicaraan.
Kata-kata muka penting berasal dari Ian untuk membedakan antara Genta
dan Arial. Kalau Genta, walaupun banyak yang mau juga, tapi mukanya
ngabisin kalender-kata Ian kocak.
Arial emang yang paling ganteng dibanding cowok-cowok di komplotan
pengeksekusi filosofi ini-Riani pun mengakui. Arial yang apa adanya,
walaupun jadi idola toh ia masih jomblo karena terlalu apa adanya sama
sesuatu.
"Yang kemarin di tempat fitness..." kata Arial datar.
"Indy?" Ian langsung semangat
Arial mengangguk.
"Bego. Kalo lo nggak mau, sini buat gue aja!" Ian teriak-teriak.
"Emangnya dia mau sama lo? Emangnya cewek lo samain sama kue?" Riani
membela kaumnya yang sering dianggap gampang sama cowok-cowok.
"Mulai deh...emansipasi."
"Alaaa lo juga minjem bokep gue," Ian mendebat Riani.
"Jadi lo nyamain cewek sama bokep? Enak aja lo" Riani kesel sendiri.
"Nggak-teh, ini nggak segampang itu," Genta mencoba menengahi dan
memberi tatapan yang udah biasa buat Ian yang berjudul 'makanya jangan
debat Riani' kalau soal gender superiority. Dia suka sensitif sendiri. Tapi
nggak biasanya Riani jadi super sensitif kayak gini, suaranya agak keras
dan kepalanya jadi agak tinggi, Genta menggumam dalam hati.
Genta pun memberi tatapan kepada ketiga teman cowoknya yang berjudul
'tanggal berapa sekarang'. Makanya, semuanya langsung ngeliat ke HP
masing-masing dan sadar kalau sudah pertengahan bulan-tanggal-
tanggalnya Riani mendapat nikmat dari Tuhan sebagai seorang wanita
normal. Keempat cowok itu ketawa sendiri dan geleng-geleng.
"Makanya kalo dapet rezeki bagi-bagi," celetuk Ian.
"Disimpen sendiri sih," Genta ikut-ikutan.
"Kan lo pernah janji kalo tengah bulan nggak mau super-sensitif lagi, eh dia
marah-marah," Zafran juga ngomong.
Riani sadar sendiri dan senyum-senyum.
"Makanya jangan suka ngerendahin wanita... capek tau jadi cewek, kayak
tukang kredit aja, ada tiap bulan," Riani berkata lembut sambil ngeberesin
bekas-bekas pertempuran Ian dengan Indomie.
Genta seneng banget kalo ngeliat Riani lagi beres-beres (apa aja juga bagus
Ta! Lo lagi sayang sama dia.)
"Tapi emang kodratnya wanita kan enggak boleh lebih superior dari pria...."
"Tapi...," Riani mau siap ngomong lagi.
"Tunggu dulu deh... Kayaknya kita udah pernah sharing kayak gini,
tentang pria dan wanita."
"Ya ampun... iya udah pernah...."
"Sering malah."
"Kok ada lagi ya?"
"Ya ampun kita mati gaya...."
"Feel Like Shit Deja vu."
"Kan waktu itu kesimpulannya nggak ada yang lebih baik antara pria dan
wanita. Dua-duanya emang diciptakan untuk saling melengkapi. Karena
keduanya dikasih nikmat yang sama seperti lazimnya manusia, nikmat
kekurangan dan kelebihan. Gue udah sering banget dengar kalimat sok tau
dan sok filosofis itu," Ian mengiyakan.
"Ya udah damai...."
Semua cowok mengacungkan jari kelingkingnya ke Riani. Riani pun
menyambutnya.
"Kentring!!!" teriak mereka bareng, makhluk-makhluk gila ini meyelesaikan
masalah persis anak TK.
Tiba-tiba semuanya diam. Untuk waktu yang cukup lama semuanya
mengkhayal sendiri-sendiri. Secret Garden pun jadi sepi. Angin malam
pelan menyapu wajah mereka.
Sepi
"Eh lo sadar nggak kejadian barusan?" Genta mencoba memecahkan
pengapuran di antara mereka. "Kenapa?" "Shit Deja vu." "Deja vu yang
nggak enak." "Perasaan lo doang kali, Ta." "Udah berapa sering sih shit
Deja vu kita?" "Banyak!" Ian menjawab.
"Kita lagi bosen kali ya, ke mana-mana berlima mulu...," Zafran menatap
teman-teman terbaiknya.
"Gue sih nggak pernah bosen sama kalian," Arial menjawab.
"Bukan sama orang-orangnya, tapi sama 'kita'-hya," Zafran mendesis pelan.
Mereka berlima pun terdiam lagi, cuma terdengar petikan gitar
instrumental Ian, The Long and Winding Road-nya The Beatles.
"Iya nih kita standar standar aja," Arial nyambung lagi.
"Iya, kayak lo yang emang standar-standar aja," Ian berkata pelan sambil
terus membiarkan jari-jarinya berbicara sendiri.
Mereka berlima tersenyum, tetapi ada rasa males di situ.
The long and winding road That leads to your door Will never disappear....
Zafran bernyanyi dalam hati.
Riani membatin dalam hati, kita emang bareng terus dari dulu, emang
pernah ada rasa bosen, tapi pasti nantinya akan cair dengan segala
kegilaan yang cerdas dan kebaikan hati masing-masing.
Satu yang paling Riani banggakan dari teman-temannya ini adalah mereka
tidak pernah berusaha memperburuk keadaan atau masalah yang ada
dalam diri mereka. Tidak pernah memperburuk dunia yang mereka
tinggali.
Sambil membetulkan letak duduknya dan menyelonjorkan kakinya, Genta
menatap langit hitam di atasnya Entah kenapa sepertinya Genta mau
terbang ke atas sana, memegang bintang dengan telunjuknya,
menciumnya. Genta mendendangkan Fly Me to the Moon-nya. Frank
Sinatra dalam hati
Fly me to the moon
And let me play among the stars
Let me see what springs like on Jupiter or Mars
In other words please be true
In other words, I love you!
Genta ingin terbang ke bulan sana, nongkrong di antara bintang dan bulan
sambil membuat rasi bintang mereka masing-masing. Rasi bintangnya
Genta, rasi bintangnya Riani, rasi bintangnya Zafran, rasi bintangnya Arial,
dan rasi bintangnya Ian. Sampai akhirnya mereka akan saling berargumen
bodoh soal rasi bintang siapa yang paling bagus. Genta menarik tiga detik
udara malam ke garba penciumannya dan melepaskannya Genta seneng
banget dikasih oleh Tuhan empat orang teman yang baik.
Zafran tiba-tiba berkata lembut sambil memainkan daun-daun cemara
kecil basah di dekatnya, "Plato, seorang filsuf besar dunia pernah bilang
bahwa nantinya dalam kehidupannya setiap manusia akan terjebak dalam
sebuah gua gelap yang berisi keteraturan kemapanan, dan mereka senang
berada di dalamnya. Karena mereka terbuai dengan segala kesenangan di
sana dengan apa yang telah mereka capai, hingga akhirnya mereka takut
keluar dari gua tersebut. Mereka memang bahagia, tetapi diri mereka
kosong dan mereka nggak pernah menemukan siapa diri mereka
sebenarnya... mereka nggak punya mimpi."
Balade Pour Adeline-nya. Richard Clayderman mengalir sekenanya dari
jari-jari Ian yang mencoba berbicara mengisi bola kosong yang berputarputar tembus pandang di tengah tengah mereka.
Semuanya diam lagi mendengar omongan Zafran yang dengan sensitifnya
bercampur melodinya Balade Pour Adelin tadi. Cipratan-cipratan filsufis
musikal sentimental yang baru saja mengalir menghasilkan beberapa
helaan napas berisi berjuta cerita. Semuanya mencoba berdialog dengan
diri mereka sendiri. Mencoba berdialog dengan bola kosong yang berputarputar tembus pandang di tengah-tengah mereka
"Mungkin sebaiknya kita nggak usah ketemuan dulu," Genta mengalirkan
kalimat pendek.
Semuanya jadi sensitif.
"Maksudnya?" Riani menoleh lembut, jari-jarinya menari sendiri di atas
celana jins gelapnya.
Lama Genta nggak menjawab. Zafran sudah mengerti maksud Genta.
Genta meneruskan sambil menatap keempat-temannya, "Ya enggak ketemu
dulu, nggak nongkrong dulu, nggak ke mana-mana bareng dulu, ilang aja
dulu semuanya, ilang abis-abisan, nggak teleponan, nggak SMS-an...."
"Keluar dari gua kita untuk sementara...," Zafran melanjutkan.
"Gue mau...," Arial menyambut usul Genta mantap.
"Mungkin kita emang harus ngeliat dunia lain di luar tongkrongan kita
dulu, jangan berlima melulu ke mana-mana," kalimat Zafran tentang Plato
barusan menyentakkan ke-apaadaan-nya diri Arial.
Batin Riani pun mengangguk setuju. Ya, walaupun dirinya nggak setuju,
batinnya telah mengangguk.
"Tapi gue nggak mau kehilangan kalian semua," Riani berkata pelan
setengah maksa.
"Ya nggak-lah," Arial dan Zafran menjawab pertanyaan Riani hampir
berbarengan.
"Enggak-lah Riani," Genta menatap Riani dalam-dalam, batinnya pun ikut
berkata, Gue bakalan kangen banget sama lo Riani
"Kita keluar sebentar aja, bermimpi lagi masing-masing tentang kita, nanti
pas ketemu lagi, pasti lain lagi, lain ceritanya, lain lagi orangnya, mungkin
nanti Ian jadi kurus. Jadi kita enggak perlu nyewa banana boat lagi, tapi
getek," kata Genta sambil menyenggol Ian yang masih asik dengan gitarnya.
"Papan ski kali kalo kurus," kata Zafran yang nggak sadar kalo dia juga
kurus persis kapur tulis SD.
"Gue setuju! Gue mau PDKT lagi sama skripsi yang udah gue putusin. Siapa
tau dia mau balik lagi sama gue. Dulu skripsi gue suka cemburu kalo gue
lagi gila bola, sekarang gue mau minta maaf sama dia, mau bilang kalo
dulu gue sering selingkuh sama bola, PS2, dan bokep," semangat Ian.
"Untuk berapa lama?" Pertanyaan yang susah ini bikin bingung semuanya
"Enam bulan?" usul Zafran.
"Enggak mau!" Riani langsung ngambek sambil matanya yang indah
melihat ke teman-temannya. "Kelamaan ah... nggak mau," Riani
memperjelas keinginannya.
"Tiga bulan aja," tiba-tiba Ian nyeletuk.
"Setuju!" Arial langsung setuju.
Genta mengangguk. Zafran pun setuju.
Sebentar mereka semuanya menoleh ke Riani, makhluk terindah bernama
wanita yang semesta berikan kepada mereka.
"Ya udah, kalian jahat," ketegaran wanita seorang Riani yang biasanya kuat
menghadapi segalanya aldiirnya setuju.
"Yee... tadi katanya mau, sekarang bilang jahat, yang jahat di sini kan
nggak ada, kita kan 'Power Rangers'-pembela kebenaran," Zafran mencoba
bercanda sama Riani yang lagi sensitif.
Riani tersenyum manis sekali, membuat keempat temannya tersenyum.
Keajaiban Zafran emang yang paling bisa bikin Riani tersenyum
menghadapi segala hal.
"Tiga bulan dari sekarang itu kapan yah...tanggal berapa?"
"14 Agustus," Arial menjawab pertanyaan Ian.
"Kita ketemu lagi tanggal 14 Agustus yah...," Genta meyakinkan teman
temannya.
"Tapi kan besok Senin kita ketemu. Ada event lo, Ta," Arial tiba-tiba
nyeletuk.
"Oh iya...."
"Yang ketemu kan cuma kalian berempat., cowok-cowok doang," ujar Riani.
"Ya udah, nanti Senin kita ngomong apa adanya aja. Kalo bisa masingasing jangan sampai terlihat, jangan sampai ngomong."
"Ya udah...."
"Tapi nanti 14 Agustus kita ngapain merayakannya? Kan perlu dirayain
tuh, harus yang monumental," usul Ian.
"Kayak tujuh belasan aja, pakai dirayain," sentil Zafran. Yang lain setuju
dengan Ian.
"Gue udah ada rencana...," Genta berkata mantap sekali sambil berbinarbinar. Tiba-tiba otaknya punya ide yang sangat cemerlang. "Pokoknya nanti
gue bikin reminder untuk tanggal 14 Agustus di handphone, tanggal 7
Agustus gue kasih tau planningnya. aja lewat SMS, di mana kita akan
ketemuan."
'Jadi kita nggak boleh tau sekarang?" Riani bingung.
"Enggak!" kata Genta mantap.
"Biar surprise.... Percayain aja ke gue. Dijamin nggak bakal garing. Ini
rencana keren pokoknya," Genta meyakinkan teman-temannya.
"Awas lo kalo garing, Ta," keherculesan Arial mengancam Genta.
"Nggak bakal garing. Pas banget deh pokoknya buat kawula muda," Genta
mengacungkan jempolnya persis iklan. Seperti biasa semuanya pun nurut
sama Genta, Setengah malam telah lewat.
"Ya udah, ini malam terakhir kita ketemuan bareng-bareng berlima," Genta
membuka kalimat.
"Ya udah pulang yuk," Zafran menatap teman-temannya. "Yuk...," sambut
Genta, 'Jadi tiga bulan lagi...."
"14 Agustus... baru kita berlima ke temuan lagi," dada Riani agak sesak,
gejala yang akan membawa sinyal-sinyal maha-sempurna ke pupil dan
konjungtiva-nya untuk meneteskan sedikit cairan.
Zafran yang ngeliat Riani hampir nangis, dengan semangat mengeluarkan
kalimat yang agak keras.
'Jangan pernah ada yang cengeng! Nanti kalo ada monster gimana? Minder
dong kita, masa 'Power Rangers' cengeng."
Zafran menyenggol bahu Riani lembut.
Semuanya tersenyum.
"Yang penting kan nggak berhubungan dan berkomunikasi sama kalian,
nggak ada klausula saudara kandung kan di situ?" mata nakal Zafran
ngelirik Arial, 'Jadi gue masih bisa telpon dan SMS Dinda...hehehe...,"
Zafran ketawa renyah.
Sebuah teplakan Rambo pun hinggap di punggungnya.
"OK"
Genta sekali lagi menarik napas panjang. Tanpa sadar, mereka berlima pun
berkumpul membentuk sebuah lingkaran kecil yang sangat dekat. Genta
ingat rasi-rasi bintang yang mereka buat di langit, tapi yang paling Genta
ingat adalah rasi bintangnya Riani.
Riani bisa merasakan desah napas masing-masing teman terbaiknya di
penciumannya, bau yang sangat khas dari keempat temannya yang akan
sangat dia rindukan. Cuma sepilas bau saja, tetapi kenapa sekarang jadi
begitu berarti? Riani akan sangat kangen sama mereka berempat, terutama
satu orang dari-mereka di situ.
Zafran menyapu langit, membiarkan bintang-bintang sesak memenuhi
penglihatannya dengan khayalan indah bersama. Arial memejamkan
matanya, enggak percaya kalo mereka sudah begitu dekatnya hingga harus
jalanin ini semua.
Ian jadi inget waktu dulu kemah pramuka.
Genta melemparkan tangan kanannya ke tengah lingkaran itu, yang
langsung disambut dengan cara yang sama oleh teman-temannya.
"Winter..."
"Spring...."
"Summer..."
"Or...."
"Fall...."
"All you have to do is call."
"You've... Got... A... Friend," mereka berbarengan mengucapkannya... .
"Sampai ketemu 14 Agustus!"
Terlihat dari langit, udara malam yang hangat di lingkaran kecil itu
perlahan bergerak ke atas menjauhi mereka, terus terbang tinggi ke langit
dan berubah menjadi udara dingin yang berkeliaran bergerak lincah di
antara semburat percik bintang-bintang. Udara itu akhirnya terbang
lemah sekapas jatuh, hinggap di suatu bintang paling terang, menjatuhkan
segala kenangan tentang tawa, persahabatan, cinta, kerinduan, dan mimpi
mereka yang telah mereka bawa ke langit tinggi mahasempurna. Bulan
merekam hangat mereka Semesta pun tersenyum dan bermimpi indah di
malam itu, entah untuk yang keberapa kalinya.
Oh, my life is changing everyday In every possible way
And oh, my dreams... it's never quiet as it seems
never quiet as it seems.
I know I've felt like this before,
but now I'm feeling it even more
Because it came from you
And oh, my dreams It's never quiet as it seems Cos you're a dream to me
dream to me....
(Dreams,The Cranberries)
Tiga
Yellow
...Sama..., gue kalo ngeliat dia juga seneng banget... dia cantiik banget.
Did I tell you how much I miss... your sweet kiss Did I tell you I didn't cry?
Well I lied... I lie lie lied. Over read over
When I nearly hit the face I loved So tired of packaging the anger Always
pushing you away
Did I tell you you're wonderful? I miss you yes I do
Wonderful dari Adam Ant, mantan vokalis Bad English, Zafran putar
berulang-ulang di MP3-nya, mungkin udah yang ketujuh kalinya. Zafran
sedang di kamarnya yang penuh dengan warna merah dan hitam,
menyelesaikan pesanan desain untuk kampanye sebuah partai politik yang
sangat terkenal. Idealisme narcism Zafran sedang tergesek-gesek karena
partai tersebut merupakan salah satu partai yang nggak mau dipilih Zafran.
Tapi karena dompet Zafran lagi nggak ada sinyal, Zafran terima aja. Oleh
karena itu, Zafran mengalihkan perhatiannya ke Arinda. Andrea
Corss-nya jakarta Selatan. Sekali lagi Zafran menggerakkan mousenyz. dan
mengulang lagu Wonderful. Sambil mengerjakan desain, Zafran kangen
Arinda.
Setelah stres dan memberi kacamata Oakley, makeup Marylin Manson serta
rambut ala Jonathan Davisnya Korn, ditambah giginya Fredie Mercury
pada desain "Presiden Masa depan bangsa", Zafran pun mengangkat
telepon. Ia malas kalau hanya berkirim SMS karena hanya dijawab Dinda
dengan datar, sama seperti tingkah Arial kalau membalas SMS (kan
mereka kembar).
"Halo selamat sore... kediaman Bapak Arinto dan Ibu Arini, Arial, dan
Arinda. Ada yang bisa saya bantu?"
"Hal...," belum habis Zafran ngomong, ia sudah mengenali suara Arial dan
pola penjawaban telepon tersebut. Arial yang apa adanya dan diajar oleh
keluarganya untuk selalu menjawab telepon dengan pola tadi-itulah
jawaban Arial sejak masih SD hingga sekarang.
Teq... tuuuut....
"Ehmh... hhh Arial lagi yang ngangkat"
Zafran langsung menutup telepon, walaupun dalam hatinya ia kangen juga
pada Arial. Zafran membenahi rambutnya yang dia biarkan gondrong
depan dan samping aja. Udah satu bulan lebih dia nggak ketemu sama
teman-temannya. Zafran terus usaha dan menelepon HP Dinda.
"Halo... Dinda."
"Iya dengan Arinda di sini, dengan siapa saya bicara?" Dinda menjawab
bingung karena nggak kenal nomor telepon rumah Zafran.
"Ini Zafran...."
"Oh Bang Zafran... ada apa, Bang?" Zafran paling males kalo ada kata-kata
'ada apa', kayaknya buat laki-laki yang lagi PDKT pertanyaan itu
mengganggu banget. "Ah enggak." "Dinda lagi di mana?" "Di rumah."
"Gue telpon ke rumah deh... boleh?" "Telpon aja...."
"Tapi langsung Dinda yang ngangkat ya... kan gue lagi nggak boleh
ngomong sama Arial." "Iya..:"
Tak berapa lama, telepon di rumah Dinda pun berbunyi.
"Halo selamat sore... kediaman Bapak Arinto dan Ibu Arini, Arial, dan
Arinda. Ada yang bisa saya bantu?" Dinda mengangkat telepon.
Zafran mau ketawa tapi ditahan, masih aja polanya sama, bener-bener
sama antara Arial dan Arinda.
"Dinda kan udah tau Bang Zafran yang mau telpon. Nggak usah pake katakata tadi dong."
"Disuruhnya begitu dari dulu," kata Dinda datar.
"Lagi ngapain?" Ups...! Zafran sadar dia salah banget nanya spesies Homo
Datarius Jakarta Selatanensis Tapi Cantik dengan pertanyaan ini.
"Lagi telpon," jawab Dinda (tuh kan!)
Suara Dinda biarpun datar, terdengar sangat menggairahkan bagi Zafran
sehingga mendatangkan malaikat jahat yang dengan semangatnya
langsung memprovokasi Zafran untuk melempar pertanyaan selanjurnya:
"areyou wearing any underwear?"
Zafran berpikir keras supaya nggak nanya gitu.
"Arial lagi ngapain Dinda?"
"Lagi barbelan...."
"Oh lagi ngangkat barbel." "Mau ngomong sama Bang Arial?" "Enggak! Jangan. Kita kan lagi nggak
ngomong." "Emangnya kenapa? Berantem yah? Kok pada jarang ke sini
lagi?"
"Begini ceritanya...."
Akhirnya Zafran punya bahan obrolan untuk bisa berlama-lama ngobrol
dengan Dinda. Sepuluh menit pun berlalu di kabel optik, cerewetnya
Zafran ditimpali dengan dua-tiga huruf dari Dinda..,.
Oh:...
Iya....
Tul....
Ner....
Gak....
Yup....
Cie....
Zafran stres. Otaknya terus berputar supaya bisa ngobrol lebih lama lagi.
"Kalo Arinda di kampus gimana?" "Biasa aja."
"Mmh... salah lagi gue...," Zafran garuk-garuk kepala.
"Kampusnya gimana?"
"Rame!"
"Kalo di kampus nongkrongnya di mana?" "Nggak nongkrong."
"Oh pasti Dinda jarang nongkrong ya, banyak tugas dari dosen atau bikin
makalah kelompok."
"Kalo di kampus Dinda duduk kok, nggak nongkrong."
Zafran hanya bisa menganga sampai gagang telepon kebanjiran iler...
malaikat jahat pun kecipratan iler Zafran. "Ampun deh..."
"Bang Zafran kenapa minta ampun? Lagi dipukulin yah?"
"Udah dulu ya Dinda, Bang Zafran mau bikin puisi dulu."
"Oh lagi ada kerjaan ya?"
Grafik kedataran Dinda sedikit naik.
"Nggak kok, mau bikin puisi...."
"Iya lagi ada tender bikin puisi, kata Mas Ial, Bang Zafran seniman yang
banyak tendernya," grafik kedataran Dinda naik lagi dikit
"Ya ampun Dinda... mana ada orang bikin puisi pakai tender? Pakai
pesanan? Puisi itu adalah keindahan kehidupan, keindahan kata-kata,
pokoknya banyak deh definisinya."
"Bang Zafran mau bikin puisi apa?"
"Puisi buat Dinda," Zafran menjawab setengah kesel. Sekalian aja! batin
Zafran.
"Kan Dinda nggak mesen...," jawab Dinda.
Zafran kacau lalu mengacak-ngacak rambutnya, dunia penyairnya berubah
menjadi papan-papan datar, bidang datar, dataran tinggi, dataran rendah,
datar tak dijemput pulang tak didatar, donat datar, bola datar, datar
bulan, selamat datar para tamu... (aduh ngomong apa sih ini?).
"Mmmhh," embusan napas Zafran terdengar oleh Dinda di telepon."
"Udah dulu ya Dinda udah malem nih," Zafran ingin secukupnya
mengakhiri pembicaraannya dengan Dinda.
"Terima kasih udah telpon," lagi-lagi kebiasaan Arial dan Arinda pada saat
mengakhiri telepon sangat identik.
"Iya sama-sama."
"Daah Dinda...."
"Dah...."
Treq! Zafran menutup telepon. Dinda pun menutup telepon. Sebenarnya
Dinda nggak datar-datar amat. Dinda udah tahu kalo Zafran suka sama
dia. Dinda lagi males sama Zafran dengan SMS-SMS ajaibnya, yang
kadang-kadang Dinda nggak ngerti maksudnya. Dinda sebenarnya
menganggap Zafran sangat menarik, tapi kadang-kadang Dinda bingung
sama Zafran yang kalau diliatin suka loncat-loncat sendiri, kayak monyetmonyetan karet.
Sambil mengambil handuk dan pergi mandi, Dinda membatin sendiri, kan
sebaiknya Dinda diajak ke mana dulu kek sama Zafran, ngobrol kek berdua
yang lama, bercanda bareng, supaya deket dulu baru nanti diliat, cocoknya
jadi pacar atau temen, atau ada nggak kangen-kangennya, baru nanti
ketahuan. Ini belom-belom udah ngasih kata-kata indah di SMS yang
Dinda nggak tau penulisnya. Gibran-lah, Freud-lah, Tagore-lah, Whittmanlah, La Fontaine- lah, enggak ada yang Dinda kenal, kasih tau dong siapamereka, jangan sok tau sendiri" (tuh Juple, Dinda aja dewasa..).
Di depan cermin, rambutnya yang panjang dan lurus dibiarkan tergerai
jatuh dan membelai indah kulit bahunya yang putih. Satu-satu Dinda
melepaskan rangkaian rajutan di tubuhnya. Tubuh Dinda yang putih halus
tanpa cela, tanpa apa pun terpantul di cermin kamar mandi yang sudah
agak berembun karena uap air panas. Pemandangan yang bisa
menimbulkan panas pada laki-laki. Arinda menenggelamkan dirinya di
bathtub. Tubuh putihnya beserta lekukan-lekukan sempurna yang masih
belum terjamah bercengkrama dengan busa-busa putih. Arinda senang
membuat gelembung-gelembung sabun yang berputar rendah di sekitar
kepalanya. Tawa renyahnya yang merdu kadang terdengar tatkala jarinya
yang lembut perlahan memecahkan gelembung- gelembung sabun yang
perlahan jatuh di depannya. Perlahan ia pun memejamkan matanya,
menikmati kehangatan. Alis tebalnya yang ikut turun perlahan saat
matanya terpejam, menimbulkan berbagai keindahan imajinasi tersendiri.
Arinda memang cantik sekali.
Tapi Arinda enggak tahu kalau... ada yang ngintip!
Secara tidak sadar, tidak kasat mata, dan sama sekali tidak terlihat oleh
mata awam, ternyata semua kejadian di kamar mandi Arinda terekam oleh
malaikat jahatnya Zafran. Dengan penuh semangat ia bermaksud
menceritakan ke Zafran apa aja yang terjadi di kamar mandi Arinda
Sayangnya, sebelum cerita itu sampai ke Zafran, malaikat baik sudah
mencegahnya, dibantu oleh... Doraemon!
Tapi karena namanya juga malaikat jahat, meski niatnya udah dicegah oleh
malaikat baik, ia masih juga mencoba mendatangi Zafran yang sedang
sangat galau dan terbenam lautan cinta. Malaikat jahat segera memberikan
pengarahan kepada Zafran agar segera membuka paket "laki-laki galau
usia dua-puluhan lebih" yang terdiri dari Paket Kamar (Majalah Pop,
Popular, Lipstik, Teenage Slut, dan VCD player plesetan dari Glodok
ditambah VCD pinjeman dari Ian); Paket Modem (ayamkampung.com,
nyamuk.com, freenudecelebrities.com, dan hustler.com); Paket Kamar
Mandi (Sabun).
Zafran akhirnya mengambil paket modem dan mulai dial ke Internet dari
kamarnya. Pertarungan pun terjadi antara malaikat jahat dan baik, yang
keduanya udah bikin ring kawat tertutup di otak Zafran, dengan syarat
yang keluar ring dinyatakan kalah.
"Hustler... hustler... hustler," malaikat jahat berteriak di kuping Zafran
bareng-bareng sama Marilyn Manson dan Larry Flint.
"Zafran... ke website gue aja, ada cerita baru," kata Doraemon bijak sambil
duduk tenang bersama malaikat baik di sudut ring. Mereka berdua nggak
mau berantem fisik sama malaikat jahat, Zafran langsung nanya identitas.
Males kalau harus chating sama cowok.
LebihkerendariAndyWarholl)ASL
Miss you_Gal)Langsung nih... sabar dong
LebihkerendariAndyWarholl)ASL
Miss you_Gal)24-an/f/ker/jkt
LebihkerendariAndyWarholl)Asik
Miss you_Gal)Lo dong....
LebihkerendariAndyWarholl)24,5-an/m/vokalis/jkt Miss you_Gal)Kok
vokalis? LebihkerendariAndyWarholl)Anak ben Miss you_Gal)Oh... suka
lagu lagu apa LebihkerendariAndyWarholl)Apa aja asal vokalisnya
keren...kerja apa?
Miss you_Gal)ada deh...
LebihkerendariAndyWarholl)Kenapa namanya miss you...? Miss
you_Gal)Lagi kangen...! LebihkerendariAndyWarholl)Ciee sama siapa...?
Miss you_Gal)Someone...,
Zafran langsung mau curhat, bodo amat baru kenal.
LebihkerendariAndyWarholl)Sama, gue juga... bingung gue deh, dia
orangnya datar, kayaknya sih nggak cocok sama gue tapi gue nggak bisa
melepaskan bayangannya dari penglihatan dan. hati gue.
Zafran mulai bersyair bimbang.
Miss you_Gal)Nggak cocok kan relatif...kejar dong usaha... kenapa tiba-tiba
berpuisi gitu?
LebihkerendariAndyWarholl)Udah... tapi nggak ada kemajuan.
Miss you_Gal)Daripada gue suka banget sama orang dari dulu tapi dianya
cuek cuek aja... susah sih cowok... suka asal... enggak enak jadi ce... nggak
bisa bilang.
LebihkerendariAndyWarholl)Tapt kan nunjukin bisa. Missyou_Gal)Dianya
cuek gitu sih... nggak nangkep sinyal sinyal gue trus kayanya yang suka
sama dia banyak... gue nggak bisa ngelepas dia... udah sayang kali, tapi
feeling gw dia juga suka sama gw tapi kok nggak maju maju... kan cape
nungguinnya.
LebihkerendariAndyWarholl)Oohhh... gawat... udah punya ce belum dia.
Miss you_Gal)Belom....
LebihkerendariAndyWarholl)Yakin lo....
Miss you_Gal)Yakin dia tuh deket banget deh sama gue.
LebihkerendariAndyWarholl)Kalo gw... dia ini ade'nya temen baik gue....
Miss you_Gal)Deketin aja kakaknya....
LebihkerendariAndyWarholl)Kakaknya udah deket banget, kedeketan
malah... jadi tau dia dosa-dosa gue.
Miss youJ3al)Hahaha kocak juga lo...Kalo dia ini orangnya asal tapi kadang
kadang pinter... temen baik gue dari dulu.
LebihkerendariAndyWarholl)Telpon dong... orangnya ajak makan kek....
Miss you_Gal)Masa ce yang ngajak... lagian kita tuh keseringan barengbareng dari dulu enggak usah... jadinya udah kayak temen banget.
LebihkerendariAndyWarholl)Tiap hari ketemu?
Miss you_Gal)Nggak sih... dulu sering banget sekarang lagi nggak
ketemuan. LebihkerendariAndyWarholl) Emangnya kenapa... dia udah
kerja.
Miss you_Gal)udah... tapi gitulah... per proyek dia kerja sendiri.
LebihkerendariAndyWarholl) Kerjanya di luar kota? kenapa nggak
ketemu?
Miss you_Gal)Ya... gitu deh ada alasannya, gue heran kadang gue tuh cuma
mau di sampingnya dengerin dia ngeliat tingkahnya....
LebihkerendariAndyWarholl)Sama, gue kalo ngeliat dia juga seneng
banget...dia cantiik banget.
Miss you_Gal)Just happy to be at his side
LebihkerendarindyWarholl) I'll... be at your side... there's no need to worry.
At Your Sidenya The Corrs mengalir di kibor Zafran.
Miss you_Gal)Together we survive... Hehehe dasar anak band.
LebihkerendariAndyWarholl)Seneng The Corrs?
Miss you_Gal)Maniac...
LebihkerendariAndyWarholl)Pantes....
Miss you_Gal)Eh kita belom kenal deket udah cerita banyak nama asli lo
siapa? boleh kan?
LebihkerendariAndyWarholl)Boleh... tapi lo dulu....
Miss you_Gal)Co dulu dong... oke?
LebihkerendariAndyWarholl)Kenapa co dulu? gender banget sih lo... tapi
ini nama asli gue yah...sumpah gue jarang bo'ong jadi lo harus nama asli
juga..okeh?
Miss you_Gal)Siip...
Zafran dengan semangat mengetik namanya di kibor.
LebihkerendariAndyWarholl)My name is.... LebihkerendariAndyWarholl is
off Gelap.
Tiba-tiba ada yang teriak, "Zafran nyalain komputer yaaa? Mama lagi bikin
kue nih pake microwave. Listriknya nggak kuat. Kulkasnya aja matiin
dulu!"
Zafran... Gelap... Paranoid Android... Zafran High and Dry... Zafran di
dalam akuarium kecil sea world bareng ikan hiu yang baru buka puasa...
Creep... Just... Idioteque... Karma Police... Nobody does it Better... Zafran jadi
Tom Yorke yang lagi kesel....
Aa... taitaitai... F@@#$V21.'!V@#NGT0@£2KTL, Zafran jadi ngomong
jorok, tangan Zafran mencet mencet kibor nggak karuan.
"My name is...."
"My name is...."
"My name is...."
"Slim Shady!"
Zafran mengambil T-Shirt putih, celana gombrong, sama kupluk dan
ngamuk-ngamuk sama mamanya, ngikutin Eminem.
*
"Cowok geblek..! Rese, pengecut banget sih? Udah seneng-seneng ada
temen curhat, eh...," cewek cantik dengan rok dan blazer cokelat muda +
blus putih ketat yang sangat serasi dengan kulitnya yang putih
menggumam kesal nggak karuan.
Lehernya yang putih menengok manja sekelebat sambil melipat tangannya
di dada. Dia memandang hujan dari jendela kantornya yang tinggi, hujan
semakin keras, menurunkan beribu kata yang hinggap di matanya.
Kangen, kangen, kangen, lagi ngapainya dia? Lampu-lampu malam dijalan
utama kotanya seperti memecah bias antara air hujan dan penglihatannya.
Lampu mobil yang banyak sekali berjejer di bawah sana bertumpuk
perlahan bergerak. Sambil berdiri, telapak tangannya beradu dengan
dagunya, melihat malam, melihat hujan yang bertambah deras. Melihat
bias merah, kuning, oranye, kuning, merah, kuning, oranye, biru kuning,
...kangen....
"Heh bengong aja... pulang yuk...," suara temannya yang sudah dia tunggu
dari tadi akhirnya tiba juga
"Yuk!" Tangannya menggamit tas Suede hitam sekalian membawa gelas
kantor ke pantry.
"Dor! Hehehe kaget ya... mau naruh gelas... tolong cuciin ya Mbak jumi."
Petugas pantry pun tertawa renyah mengangguk ramah dan diam-diam
mengagumi kecantikan dan keramahan wanita di depannya yang mungkin
baru dikenalnya satu bulan.
Hmm, ia selalu tersenyum sama siapa saja, selalu akrab sama siapa saja,
dari bos sampai cleaning service seperti saya ini, batin Mbak jumi. Matanya
terus menatap kagum.
"Mau permen Mbak jumi? Ini ada Yupi," katanya ramah sambil
mengeluarkan segenggam Yupi yang menggemaskan dan biasa dia pencetpencet dahulu sebelum mengunyahnya.
"Oh iya.. Mbak jumi, tadi aku ada roti dari rapat nggak aku makan. Ini
buat Mbak aja. Belum dibuka kok... nih ambil aja. Belum aku buka,
bener...!"
"Nggak ah Mbak... itu kan roti mahal."
"Ambil aja..."
"Aku udah kenyang Mbak Riani."
"Buat si kecil di rumah."
Mbak jumi takluk dengan kelembutan Riani.
"Ambil yah...ini Yupinya juga Nanti buat iseng-iseng di bus, macet lho...
hujan deras di Jakarta biasanya macet."
Mbak Jumi takluk lagi untuk kedua kalinya sama Riani ...lagian dia juga
seneng sama permen Yupi.
"Terima kasih ya Mbak Riani."
"Iya... sama-sama...."
"Terima kasih juga udah cuci gelas aku tiap hari...," Riani berkata lembut
sambil memegang bahu Mbak Jumi yang kurus.
"Aku pulang dulu ya Mbak jumi. Nanti hati-hati pulangnya." Sambil
melihat Riani berjalan dari belakang, diterangi remang lampu mewah dan
marmer hitam lantai kantor, Mbak Jumi membatin, Saya sudah kerja di
lantai ini selama tiga tahun dan belum ada orang yang sepenuh Mbak
Riani perhatiannya. Bilang terima kasih karena sudah mencuci gelasnya
setiap hari, baru hari ini ada yang bilang terima kasih ke saya. Apalagi
memanggil sopan dengan sapaan 'Mbak', bukan dengan teriakan keras
"Jumiii... "yang bikin kaget. Atau kayak beberapa orang yang di sini
dipanggil 'bos' itu, yang sama sekali nggak pernah ngomong, meski udah
tiga tahun gelasnya saya cuci setiap hari...
"Yo, nduk... nduk..." Sambil melihat tangan kurusnya yang hampir keriput
karena mencuci riap hari, Mbak Jumi berdoa dalam hari buat Riani.
Di dalam lift turun, pikiran Riani berkelana ke mana-mana
"Bengong meleuleu, Bu...," tiba-tiba Citra, teman tebengan-nya,
membuyarkan lamunan Riani.
Riani tersenyum.
"Udah sebulan lebih lo ya disini...?" tanya Citra.
Riani mengangkat alisnya tanda mengiyakan.
"Hebat lo. Baru magang tapi udah disuruh megang liputan ...gimana
caranya?"
"Apa yang lo mau, lo kejar aja,... taruh di kepala lo terus, jangan sampai
lepas," Riani tersenyum, berkata pelan sambil membetulkan letak
blazernya.
"Oh...."
Riani menonjok lembut bahu temannya. "Jalanin aja, kejar aja"
"Pasti nanti lo diterima., semuanya kagum sama lo" "Mudah-mudahan...,"
kata Riani pelan sambil berjalan keluar dari lift yang sudah sampai di
parkiran basement. ¦ "Mobil lo di mana, Cit?"
"Tuh...," Citra menengadahkan kepalanya sedikit sambil menunjuk sebuah
mobil MPV silver kelas menengah.
"lo apa gue yang nyetir?" Riani bertanya ke Citra.
"...lo aja deh. Gue capek banget, lagian macet. Perut gue juga lagi sakit
banget, biasa...."
Riani pun dengan sangat maklum mengambil kunci mobil dari tangan Citra
Tak lama kemudian, mobil Citra keluar dari gedung megah pusat bisnis
Jakarta dan melaju di antara hujan yang masih terus saja mengguyur di
sekitar mereka. Suara hujan yang sangat deras menghunjam keras di kap
mobil, mengeluarkan suara yang nggak enak... sama nggak enaknya
dengan hati Riani yang lagi kehilangan sesuatu.
Riani menarik napas panjang dan dalam.
"Citra gue mau curhat!"
Dan semuanya pun mengalir deras dari hati Riani, tentang teman-teman
gilanya yang bikin kangen, 14 Agustus, dan yang paling lama dan bikin
Citra terbengong-bengong adalah bagai-mana Riani sangat menyayangi
salah satu dari mereka. Bagaimana selama ini Riani selalu menyimpannya
dengan baik beralaskan harap, berbungkus mimpi ceria dan
kerinduan...nggak berani mengungkapkan semuanya atas nama wanita.
MPV silver itu masih terjebak di antara kemacetan dan hujan deras di jalan
Pangeran Antasari yang penuh dengan pohon-pohon besar. Malam pun
berlanjut di antara derasnya hujan. Lampu-lampu mobil masih berbias
basah air hujan di mata Riani yang kosong, menatap harapan kerinduan
yang dia nggak tahu akan pergi ke mana. Merah, oranye, kuning, merah,
oranye, kuning, merah, garis garis air tetes air... penuh... basah..., kuning,
kuning.
Look at the star; look how they shine for you and everything you do they
were all yellow
I swam across I jumped across for you Oh what a thing to do and it was all
yellow
I drew a line; I drew a line for you Oh what a thing to do and it was all yellow
(Yellow, Coldplay)
Empat
Wings to Fly
...seorang cowok memakaikan jaketnya ke cewek. Cue serins banget liat
adegannya di film dan coba mengartikannya dengan apa aja, tapi sekarang
gue ngerasain sendiri, rasanya lain banget...
Sabtu siang menjelang sore.
Arial terjebak di antara kemacetan pintu tol Cibubur. Lengan kekarnya
yang memegang stir keras merekam kepenatan di dalam dirinya,
"Rumahnya jauh banget sih...," batin Arial dalam hati.
Arial pun bernapas lega ketika akhirnya mobilnya dapat melewati
kepenatan pintu tol, kakinya refleks menginjak gas, mencurahkan segala
kekesalannya yang membuat mobilnya melaju kencang melawan siang
menjelang sore di daerah Cibubur. Matahari sore masih labil di antara
siang menjelang sore.
Tiba-tiba bunyi SMS memenuhi mobil Arial.
Indy_cantik: udah di mana kamu? Arial: 10 menit lagi. kamu langsung
tunggu di depan aja langsung berangkat udah sore nih, macet banget dari
tadi.
SMS Arial menandakan dia udah mulai kenal kalimat dalam membalas
SMS. Makanya, Indy juga seneng. Udah satu bulan ini akhirnya Arial
memutuskan untuk mengenal Indy lebih dekat-wanita inceran Arial yang
dikenalnya di tempat fitness.
Mobil Arial berjalan perlahan di sebuah kompleks perumahan daerah
Cibubur. Dari kejauhan terlihat sosok Indy yang semampai. Wajah Indy
yang banyak dideskripsikan oleh kaum laki-laki sebagai "nggak cantik sih,
tapi enak aja diliatnya,". Tapi, menurut Arial deskripsi itu perlu sedikit
ditambahi kata-kata, "nggak cantik sih, tapi enak aja diliat dan lo nggak
bakalan bosen deh ngeliatnya."
Indy serasi sekali sore itu dengan kaos katun ketat biru dan jins boot cut
hitam. Rambut lurusnya dipinggirkan membelah keningnya, membuat
Arial lupa sama macet.
"Halo," Arial menyambut Indy yang langsung duduk di sebelahnya.
"Kenapa lama?" sambil menyambut senyum Arial, Indy meletakkan tas di
pahanya.
"Macet banget. Rese.... Eh nggak bilang nyokap bokapT jawab Arial sambil
melirik ke rumah Indy yang sederhana tapi asri.
"Lagi pada pergi. Udah langsung cabut aja" "Ok... Ibu Indy... saya siap
mengantarkan Ibu Indy ke mana aja...," Arial bercanda seneng. Udah
sebulan ini Arial dan Indy selalu berdua ke mana-mana. Arial yang
ganteng-kekar-perkasa dan selalu minum suplemen sebenarnya nggak
terlalu banyak punya pengalaman dengan wanita. Jadi, dia merasa waktu
sebulan ini sungguh menakjubkan, selain dililit rasa kangen pada temanteman gilanya-dan itu harus ditunggunya hingga tanggal 14 Agustussudah sebulan ini wajah Indy yang nggak ngebosenin selalu menemaninya
setiap hari.
Tangan Arial yang kekar dan berurat halus memasukkan perseneling ke
gigi satu dan mereka pun meluncur ke Bogor.
"Acaranya jam berapa? Sekarang udah jam lima lho," Arial bertanya ke
Indy sambil melihat kulit muka Indy yang kuning langsat, dengan sedikit
bayangan matahari sore di pipi kanannya. Indy punya tulang pipi yang
sempurna... punya Julia Roberts (Arial lagi jatuh cinta... asik).
"Abis magrib," Indy menjawab sambil mengeluarkan tas makeup-nya.
"Kamu udah asar belum?" tanya Indy pelan sambil menyapukan blast on ke
pipinya
"Belum... hehehe...," sambil tertawa kecil Arial menjawab pertanyaan Indy.
Sekali lagi ini yang Arial suka dari Indy, selalu mengingatkan dirinya untuk
salat-suatu kewajiban yang sering dia tinggalkan.
"Dasar... nggak apa, tapi nanti harus magrib yaa!"
"Iya," Arial menjawab pelan.
"Kamu belum cerita siapa yang ulang tahun?"
"Temen SMA. Dia dulu tetangga di Cibubur, tapi sekarang pindah ke
Bogor," jawab Indy sambil nggak lepas dari kewajiban cantik wanita lewat
makeup.
"Dia masih inget kamu?"
"Kita kan dulu deket banget, temen curhat gitu-lah."
"Oh... kirain tadi acaranya jam 4...."
"Jam 4? Emangnya ulang tahun anak kecil yang pake undangan kartu kecil
gitu sama jam kosong buat kita gambari sendiri jarumnya?"
Arial tertawa mendengar celotehan Indy
"Yo'i yang tulisannya... pasti pakai ch," sambut Arial.
"Apa tuh ce-ha?"
"Datang yach ke ulang tahunku, pasti acaranya rame banget nich," Arial
memperpanjang omongan mereka.
Indy pun tertawa.
"Yang ada permen karet bulet warna-warni sama wafer Superman," sambut
Indy lagi.
"Yang ada kue biskuitnya kecil-kecil bulet sama ada gula-gula aneka warna
di atasnya," kata Arial sambil ngakak.
"Kadang-kadang Indy ambil gula-gulanya aja tuh, abisnya manis,
biskuitnya Indy buang," Indy melanjutkan kalimatnya sambil tertawa
renyah.
Arial terdiam dan membatin, sama... gue juga dulu kayak gitu, ngambil
gula-gulanya doang.
Arial chating sendiri sama suara di hatinya. Apa malem ini ajayague bilang
ke Indy? Tapi gue nggak tau dianya suka apa nggak. Tapi dia kan
perhatian banget sama gue. Ah tau ah, tunggu aja waktu yang tepat, nanti
aja deh... eh nggak deh... nanti aja deh....
Chating Arial dengan hatinya pun selesai karena suara hatinya ngingetin
Arial kalau dia lagi di tol dan enggak boleh bengong. Through the Fire dari
Chaka Khan dari audio CD mobil Arial menemani mereka sepanjang
jagorawi, ditemani matahari sore yang udah mulai nggak panas.
Through the fire Through the limit Through the wall For a chance to be with
you I gladly risk it all Through the fire
Through whatever come what may For a chance of loving you I take it all
away Right down to the wild Even through the fire
Iya harus bilang nih.. Even through the Fire, suara di otaknya
menyemangati Arial. Arial ngayal sendiri.
"Pelan amat sih nyetirnya... ?" Indy yang udah selesai makeup membuka
pembicaraan. Soalnya, ia melihat banyak mobil di sekitar mereka yang
melaju kencang, bahkan ada yang menyusul dari bahu jalan.
"Kalo di tol minimum 40 km per jam, maksimal 80 km per jam. Tuh ada
tulisannya," kata Arial polos tanpa maksud bercanda.
Indy tertawa sendiri sekaligus agak bete. Selama sebulan ini memang dia
udah mulai mengenal Arial yang apa adanya dan "live by the rules". Indy
memang suka sama Arial pada pandangan pertama, tapi kepolosan dan
kedataran Arial dianggapnya nggak "rebel" banget. Laki-laki kan
seharusnya bandel sedikit lah. Faktor inilah yang membuat Indy sedikit
ragu apakah hubungan ini. akan ia bawa ke tahap yang lebih? Sampai
suatu saat Indy membuat keputusan kalau lebih baik Arial jadi temen aja,
abis kalau ngomong nyambung dan bisa nggak abis-abis. Tapi kalo
Arialnya mau lebih gimana? ada suara lagi yang muncul di pikiran Indy.
"Ada uang lima ratus nggak?" Arial tiba-tiba memecah bengongnya Indy.
"Kenapa?"
"Mau bayar tol!"
"Itu ada lima ribuan."
"Kan ada tulisannya tuh kalo bayar tol harus pakai uang pas. Ini ada tiga
ribu, aku nggak ada lima ratusan," kata Arial datar.
"Pakai lima ribuan aja."
"Enggak mau, kan harus uang pas."
"Ya ampun kamu tuh yee...," Indy ngomong agak keras sambil membuka
dompetnya dan memberikan uang lima ratusan logam ke Arial.
"Nih."
Tangan halus Indy menyerahkan lima ratusan logam ke Arial, sedikit
sentuhan di kedua tangan mereka membuat desir-desir tiga detik di hati
mereka berdua. Indy kesel, Arial begitu amat sih. Tapi, kok tadi hatiku
sedikit bergerak sewaktu tangannya menyentuh telapak tangan Arial yang
besar? Indy bingung. Matanya sedikit melirik Arial yang sore itu memakai
kemeja hitam dengan celana permanent press cokelat tua
Arial memang menawan di penglihatan Indy. Rambutnya yang dipotong
tipis, raut muka Arial yang agak persegi dengan dagu yang kasar dan
cambang yang panjang melebihi telinga, bulu-bulu tajam yang kecil sehabis
cukur membentuk garis-garis dengan titik-titik tajam yang bertebaran
sampai dagu. Indy yang pernah pacaran inget banget bagaimana ia dulu
kalau lagi manja suka sekali membelai kasarnya pipi cowok dan merasakan
sedikit tajam-tajam di telapak tangannya, dari cambang ke dagu. Leher
Arial yang kekar dengan jakun yang menonjol, dada Arial yang bidang,
Indy ingin sekali meyandarkan kepalanya di situ. Paha Arial yang besar.
Dan terus ke dalamnya... terus... dan terus, walaupun kewanitaan Indy
menyangkal, sesuatu dalam diri Indy mengkhayal sampai ke hal yang
dapat membangkitkan libido kewanitaannya, sangat normal bagi wanita
usia dua puluhan seperti Indy.
Hati Indy tegas menyangkal, Indy tidak pernah mementingkan fisik
seseorang.
"Heh bengong, udah sampai Bogor nih...," Arial meyenggol bahu Indy.
Indy kaget sendiri, takut ketahuan kalau matanya tadi melirik sedikit ke
daerah di antara kedua paha Arial. Untung aja Arial enggak ngeliat.
Bogor sore menunggu malam pun menyambut mereka.
"Rumahnya di mana?" Arial bertanya sambil menghentikan mobilnya di
lampu merah.
"Aku sih nyebutnya Cisangkuy... deket kok dari tol...," jawab Indy sambil
mencodongkan tubuhnya ke depan.
"Kasih tau ya., kamu tau?"
"Tau... udah pernah ke sana kok."
Di antara keriuhan Bogor menunggu malam dengan angkotnya yang
banyak dan berwarna seperti permen, mereka pergi ke daerah yang
dibilang Cisangkuy itu. Arial sebentar melirik Indy, suara-suara di
kepalanya masih bersahut-sahutan bilang... nggak... bilang... nggak...
bilang... nggak. Arial memang selalu apa adanya dan biasa-biasa aja. Dulu,
sewaktu Arial dan gerombolan Rangers SMA sering pulang naik bus
bareng-bareng, sebelum naik pasti Arial melihat uangnya dahulu-sesuai
tidak dengan ongkos bus. Kalau uangnya nggak pas dia akan tukarkan
dulu ke warung karena patuh pada tulisan di bus: "bayarlah dengan uang
pas".
Arial juga berhenti merokok gara-gara menderita tekanan batin karena di
mana-mana ada tulisan "dilarang merokok". Semua tulisan yang pernah
Arial baca, di mana pun, pasti Arial turuti apa adanya. Larangan "dilarang
mengeluarkan anggota badan", Arial pun turuti, nggak kayak temantemannya yang gembira bergelayut di pintu bus atau mengeluarkan
kepalanya dari jendela. Tulisan "Jagalah kebersihan, buanglah sampah
pada tempatnya", juga dipatuhi Arial dengan mencari tempat sampah.
Malah ia juga pernah mungutin sampah yang sedikit berserakan. Waktu
mereka ke Bandung tengah malam dan di tol membaca tulisan "NYOPIR
JANGAN NGANTUK, NGANTUK JANGAN NYOPIR" secara tiba-tiba Arial
berhenti di jalan tol karena baru aja menguap dan minta digantikan
nyupirnya. Kalo Arial menginap di rumah Genta dan ada tulisan TAMU 1 X
24 JAM HARAP LAPOR, Arial pun lapor ke Pak RT, bikin Genta jadi
senewen.
"Tuh rumahnya." Kijang Arial memasuki daerah perumahan di Cisangkuy
yang rimbun.
"Parkirnya jauh nih, banyak mobil," ujar Indy sambil me lihat ke Arial.
"Yang penting nggak ada tanda P dicoret, berarti kita boleh parkir di mana
aja," kata Arial datar.
Indy pun maklum. Arial parkir agak jauh dan mereka berdua pun berjalan
bareng-serasi sekali. Indy yang memang agak tinggi untuk ukuran cewek,
sebanding dengan Arial yang tegap. Lengangnya Cisangkuy dan datangnya
malam di Bogor menyambut mereka kala mereka berjalan berdua. Udara
yang berada di antara mereka berdua berbicara sendiri, menimbulkan
resah yang menggigit di telapak tangan masing-masing yang ingin
bersentuhan dalam gandengan.
Memasuki rumah Asri yang sedang berulang tahun, keramaian
menyambut mereka.
"Halo Indy... dateng juga lo. Sama siapa? Kenalin dong" Asri yang berulang
tahun memeluk Indy, langsung cipika cipiki.
"Asri ini Arial. Arial ini Asri...."
Arial tersenyum. Kerumunan teman-teman Asri yang sedang bercanda riuh
dan tertawa ramai menyambut mereka. Tiba-tiba Arial kangen banget
sama teman-temannya. Lagi ngapain yaa mereka? batin Arial sambil
menarik napas panjang.
Asri menggamit tangan Indy untuk diculik ke belakang sebentar.
Kebiasaan wanita, kalau udah ketemu teman yang cocok, bawaannya pasti
mau ngobrol berdua sendirian.
"Lucu banget, Dy...siapa tuh?"
Kaum wanita memang senang menyembunyikan rasa ketertarikan mereka
pada lawan jenisnya dengan mengimbuh-kan kata "lucu", yang entah
konotasinya apa.
"Udah jadian belum...?" tanya Asri.
"Tau nih bingung...."
Indy lalu bercerita sedikit tentang Arial.
"Kayaknya jadi temen aja deh..." Indy berkata lembut sambil membasahi
bibir tipisnya dengan segelas air putih.
"Rugi lo, atletis boo...," celetuk Asri sambil melirik Arial yang sedang duduk
di kejauhan.
"Lo kan tau, buat gue fisik nggak pernah penting. Udah ah, kasihan tuh
sendirian, mati gaya dia," jawab Indy sambil menghabiskan air putihnya,
lalu berjalan ke Arial.
Bogor, malam hari
Setelah sekitar satu setengah jam di rumah Asri yang bikin Arial kangen
sama temen-temennya, mereka pun pamit pulang. Di pesta tadi, selain
bayang-bayang teman-temannya, mata Arial tak pernah lepas dari Indy
yang malam itu begitu anggun. Sampai akhirnya Arial udah mantap untuk
bilang ke Indy semuanya malam ini. Suara-suara di pikiran Arial pun
mendukung dengan pernyataan yang sangat laki-laki: "bilang nggak
bilang, laki-laki nggak pernah boleh nyesel".
"Mau ke mana lagi, Bu?" kata Arial sambil menyalakan mobilnya.
"Nggak tau nih. Tapi aku lagi males pulang." "Sama."
Tiba-tiba Arial punya ide cemerlang, sekaligus yang akan melancarkan misi
sucinya. "Ke Puncak aja yuk, kan deket." "Ngapain?" Indy juga rada
tertarik.
"Ada tempat, punya keluarga besar gue di sana, deket-deket puncak pas.
Kayak vila gitu deh. Kita ngobrol-ngorol aja. Di jalan kita beli jagung bakar,
duren, sama bandrek. Gimana?"
"Tapi jangan macem-macem ya, Pak!" mata Indy menatap mata Arial.
"Maksudnya?" Arial yang nggak ngerti maksud Indy, bertanya sambil
mengerutkan keningnya.
Indy akhirnya nyadar, Arial yang emang polos dan baik nggak akan pernah
punya pikiran macem-macem.
"Nggak," Indy menjawab sebentar. "Oke, kita ke Puncak," kata Indy sambil
menoleh dan memberikan senyum manis dari bibirnya yang tipis dan
panjang ke Arial.
Arial kesenengan sendiri. Mereka pun meluncur ke Puncak dan seperti
rencana, membeli bandrek, jagung bakar, dan duren-yang akhirnya
sebagai wanita Indy harus turun tangan untuk tawar-menawar karena
Arial yang apa adanya tidak pernah mau menawar harga yang udah dimark up sama penjualnya. Satu lagi keajaiban kaum wanita yang emang
paling sadis kalo menawar harga. Pada akhirnya mereka mendapatkan apa
yang mereka inginkan dengan jurus terakhir dan paling ampuh dalam
tawar-menawar, yaitu pura-pura pergi sambil pasang kuping... yang kalo
harganya nggak sadis-sadis amat pastinya nanti akan dipanggil
penjualnya.
Lima menit setelah puncak pas. Puncak raya mulai memadat.
"Katanya daerah Puncak pass... ini udah lebih."
"Itu jalan masuknya...," kata Arial sambil menunjuk sebuah jalan masuk
kecil.
Jalan masuk yang hanya pas untuk dua mobil kecil itu pun mereka lalui,
melewati pepohonan besar yang bergandengan dengan cemara di kiri dan
kanan mereka.
"Matiin AC-nya aja yah... di luar pasti udah dingin," Arial mematikan AC
dan memencet power window.
Indy yang juga lagi penat sama jakarta, melakukan hal yang sama. Dia
menyembulkan sedikit wajahnya ke luar, menikmati udara malam di
Puncak yang dingin, membiarkan udara meraba-raba wajahnya yang
bersih. Sebentar Indy memejamkan matanya, merasakan angin dingin.
Arial yang ngeliat Indy jadi ketawa sendiri.
"Kenapa ketawa?" tanya Indy sambil menoleh cepat, memasang tampang
galak dan sedikit senyum yang biasa dipakai wanita kalo mau manja.
"Kamu kayak anak kecil."
"Daripada kamu... sama apa aja nurut."
"Biarin," jawab Arial datar sambil memandang lurus ke depan, lampu
dasbor yang seadanya di antara kegelapan menerangi wajah Arial yang
bikin gemes Indy. Indy pun nggak tahan dan nyubit lengan Arial.
"Mmmhh... Arial jelek."
Pilinan jari-jari Indy di lengan Arial yang kekar tadi membuat Arial
terbang.
"Di keras banget badannya...." "Barbelan terus...," kata Arial datar. "Apa tuh
barbelan?" "Ngangkat barbel."
Indy tertawa mendengar istilah Arial yang menurutnya ajaib. Arial selalu
bisa bikin Indy ketawa melulu, batin Indy dalam hati.
Di depan mereka terbentang bantaran lampu-lampu kota yang indah,
dengan bingkai bukit dan jejeran cemara yang menghitam gelap.
Ninety nine... he been waiting so long
Oh ninety nine... how can we be alone
Oh ninety nine... I love you
I never knew it could happened
I'feel quite the same
I don't want to hurt you any more
I never knew it would work out
No one to blame
You know I love you ninety nine
"Tau nggak lagu siapa nih?" Indy bertanya ke Arial. "Taulah... ini kan CD
gue, lagunya Toto," jawab Arial sambil menoleh ke Indy.
"Gue suka banget sama Toto," kata Indy pelan. "Sama dong..." sahut Arial.
"Udah pernah lihat video klipnya Ninety Nine belum?" tanya Arial.
"Belum."
"Keren deh. Jadi ceritanya di masa depan ada suatu keadaan di mana
seluruh manusia udah nggak pakai nama lagi." "Maksudnya?"
"Manusia udah pakai nomor sebagai identitasnya."
"Kok nggak nyambung?" Indy bertanya lagi.
"Nyambung-lah itu kan ceritanya ada cowok yang jatuh cinta sama cewek
dan nomor cewek itu 99 'he fell in love with number 99'," Arial menjelaskan.
Kata-kata terakhir dalam penjelasan Arial tadi sedikit menyentuh hati Indy.
Ini G.I Joe, bisa romantis juga yah? kata Indy dalam hati.
"Oh... keren juga ya, berarti lagunya juga nyeritain gitu ya? Yang ngarang
lagunya siapa? Steve Lukhater atau David Paich?"
"Nggak tau. Gue lupa, antara mereka berdualah atau bareng kali ya...."
"Eh kita udah sampai," Arial menarik rem tangan mobilnya.
Mobil Arial berhenti di depan gerbang sebuah vila yang berada di atas
bukit kecil.
Setelah bertemu dengan penjaga vila yang udah kenal Arial dari kecil,
mereka berjalan memasuki vila keluarga Arial. Arial
jadi kangen lagi sama temen-temennya. Mereka juga sering ke sini kalo lagi
penat sama Jakarta. Udara dingin dan angin yang bertiup agak rendah
menerpa mereka kala melewati taman. Lampu taman yang bersinar redup
membuat suasana menjadi teduh.
"Di sana aja yuk nongkrongnya," Arial menunjuk suatu tempat paling
tinggi di vilanya-sebuah beranda yang menghadap ke sebuah lembah.
Di beranda bergaya arsitektur Spanish California dengan pencahayaan
yang redup kuning cokelat, mata bening Indy dikagetkan dengan
pemandangan luar biasa membentang di depan mereka.
"Keren ya... gue udah bertahun-tahun ke sini, dari kecil dan nggak pernah
bosen," kata Arial.
Indy masih terdiam memandang beribu-ribu lampu kota yang berkilauan
seakan melambai dan mengelus hatinya, lampu mobil yang berbaris rapi
bermuara ke lautan lampu yang tidak beraturan penuh kilap, kerlap, dan
kelip yang sesak di mata indah Indy. Langit hitam dengan bintangbintangnya, sedikit awan putih yang membentuk garis menipis mengecil
dan memutus, bulan yang hinggap indah di atas sana. Bayangan hitam
pegunungan yang megah di kanan mereka.
"Itu Gede Pangrango kan ya?" tanya Indy sambil menunjuk ke bayangan
gunung megah dan hitam di kejauhan.
"Iya. Udah pernah ke sana?"
Indy menggeleng sambil tangannya dilipatkan di dada. Udara dingin
menerpa tubuhnya sedari tadi. Cahaya lampu kuning kecokelatan
memantul berkilat di rambut Indy yang hitam.
"Kamu pakai jaketku nih," Arial langsung menyodorkan jaket cokelat muda
corduroy yang dibawanya dari tadi. "Kamu nggak perlu?"
"Nggak."
Indy memakai jaket Arial, sepilas bau parfum pria bercampur sedikit bau
keringat khas laki-laki memenuhi penciumannya. Indy tersenyum sendiri
dan membatin, Adegan kayak gini paling sering ada di film-film, seorang
cowok ngasih jaketnya ke sang cewek untuk dipakai. Lambang pelindung,
superioritas, dan ke-essential-an laki-laki yang lebih tegar dari wanita,
sekaligus lambang kelembutan wanita yang akan selalu memancarkan
aura-aura dengan keindahan tak terhingga yang harus laki-laki jaga dan
lindungi. Setiap nonton adegan seperti ini, dulu gue sering banget mencoba
meraba-raba mengartikannya. Tapi sekarang gue ngerasain sendiri...
rasanya lain banget....
"Di sini kalo menjelang pagi kita bisa ngeliat Venus, letaknya di sana, lagi
sendirian pagi-pagi," kata Arial sambil menunjuk ke timur.
"Emang kenapa dia sendirian? Nggak ada yang nemenin? Venus rada-rada
garing ya anaknya?" Indy berkata lembut sambil menjatuhkan pantatnya
ke bangku kayu. Matanya masih memandang keindahan di depannya.
Arial tersenyum memandang Indy. Harus malam ini, batin Arial mantap.
"Aku pernah di sana...," kata Arial sambil menunjuk ke puncak gunung
Gede yang malam ini terlihat samar tertutup awan. "Sama siapa?"
"Sama Genta dan temen-temen yang lain." "Lo geng kamu nggak ikutan?"
"Nggak, gerombolan 'Power Rangers' lagi nggak bisa ikut, cuma Genta aja."
"Kenapa namanya Gede Pangrango ya? Kok bukannya Gede aja atau
Pangrango aja?" Indy bertanya sambil masih memandang Gede Pangrango
dari kejauhan.
"Karena di sana ada dua puncak, puncak Gede sama puncak Pangrango,"
jawab Arial.
Sebentar Arial membayangkan petualangannya dulu sama Genta di
Gunung Gede. Menikmati keindahan alam pegunungan di sana. Pertama
kalinya Arial naik gunung, semuanya masih sangat membekas. Mulai dari
perjalanan naik tengah malam dari Gunung Putri, kelengangan indah, dan
dinginnya padang Surya Kencana, Puncak Gede, bau lembapnya hutan
hujan tropis di Kandang Badak, dan turun lewat Cibodas. Arial jadi kangen
sama hobinya dulu.
Genta lagi ngapain ya? batin Arial lagi.
"Katanya kalo orang udah naik gunung pasti bakal kecanduan. Mau balik
lagi terus," gumam Indy lembut.
"Bener banget."
Sesaat mereka berdua terdiam menikmati malam yang ikut mengisi hati
mereka berdua.
"Indy...," Arial berkata pelan sekali sambil memandang lurus ke depan.
"Arial...," jawab Indy bercanda sambil balik menyebut nama Arial,
tersenyum menoleh ke Arial yang masih melihat ke depan, mengumpulkan
keberanian laki-laki.
"Apaan sih kamu?" Arial tersenyum geli.
Keduanya terdiam lagi. Batin kewanitaan Indy merasa ada yang ingin Arial
sampaikan. Sekarangkah saatnya? Semua perasaan berkecamuk tumpang
tindih berlari-lari kecil di hati Indy. Harus jawab apa? Jawab apa? Jawab
apa?
"Arial...," kata Indy pelan.
"Indy...," Arial tersenyum kecil membalas candaan yang sama seperti Indy
tadi.
"Yee... bales...!" ledek Indy sambil menyenggolkan bahunya ke Arial.
"Arial jelek...," kata Indy sembari mencubit lengan Arial.
Arial pun terbang lagi, membatin lagi.
Ya ampun susah banget ngomongnya... susah, susah, susah. Gue udah
sayang banget kali ya sama makhluk ini.
Batin Arial ricuh, kalau emang buat bener-bener dan udah sayang
susaaaah banget bagi laki-laki untuk mengatakannya (setuju banget!).
Yang bikin senewen dari tadi adalah suara-suara kecil yang sangat
mengganggu di pikiran Arial. Enggak mau...kamu dah kayak kakak
sendiri. Aku belum siap pacaran, kamu udah terlalu deket, aku nggak mau
terikat dulu. Aku ada yang lain... aku masih mau bebas. Temen aja deh, aku
masih suka inget sama dia. Aku jawab nanti kalo aku udah siap sekitar 6
bulan lagi, Arial kacau sendiri.
Tiba-tiba ada suara tegas yang menghapus semua suara kecil pesimis tadi,
"Bilang nggak bilang, laki-laki nggak pernah boleh nyesel"; "Boys don't cry";
"Man gotta do what man gotta do".
Arial menarik napas panjang, mulutnya menyebut pelan nama wanita yang
sudah membuat dia melayang-layang sebulan ini. "Indy...."
Dan semuanya pun mengalir dari Arial dengan penuh kejujuran, ketegasan,
dan kelaki-lakian, dengan segala argumen indah yang mengalir begitu saja,
dengan segala kerinduan laki-laki yang tak terhingga dan bisa
mengalahkan apa pun pada saat begini. Mengalir bersama anugerah serta
kodrat laki-laki dan wanita yang akan selalu belajar mencintai, belajar
dicintai, dan yang ingin selalu dicintai. Partikel-partikel mereka pun
bersahutan saling berebut untuk memasuki dunia baru yang akan mereka
bangun atau akan mereka hancurkan nantinya. Meminta keyakinan untuk
jangan pernah takut mencinta. Chemistry-chemistry keraguan mereka pun
bertarung atas nama cinta, atas nama kerinduan, atas nama mimpi, dan
atas nama bintang di atas sana yang melirik tersenyum simpul, atas nama
bulan yang terdiam bijak mendengarkan mereka berdua. Dan....
Arial pun mencium kening Indy.
Bulan pun tersenyum manis sekali malam itu, bintang memegang dadanya
lega dan pelan memejamkan matanya saat wajah mereka berdekatan.
Semuanya menjadi indah sekali. Malam itu. Apakah jadi malam yang akan
mereka kenang indah atau akan mereka lupakan? Saat ini mereka belum
tahu untuk apa semua keindahan ini. Untuk tangiskah? Untuk tawakah?
Semuanya belum tahu. Semuanya belum terlihat, dan seperti biasa semesta
di sana pun mengangguk bijak membiarkan semuanya belum terlihat jelas.
Semesta hanya bisa berdoa mensyukuri sebuah cinta yang telah datang lagi
dan menjumpai mereka malam itu.
Indy masih rebah di bahu Arial, menikmati keindahan malam di beranda.
Sesekali ia menatap wajah Arial yang memandang lurus ke depan. Arial
masih belum bisa percaya Indy akhirnya menerimanya, mempercayai
genggamannya yang akan menemaninya mengarungi hari-hari mereka ke
depan. Lamunan Arial itu membuat ketidaksadaran dalam tubuhnya
untuk memeluk erat tubuh di sebelahnya. Batin Indy pun ikut menikmati
kehangatan yang Arial berikan. Sedetik Arial membenamkan hidungnya ke
rambut Indy, merasakan penciumannya bercerita tentang semuanya.
Malam itu indah sekali....
Setelah bercanda dan ngetawain diri masing-masing, dua anak manusia
penuh cinta itu beranjak pulang. Mereka lupa, makanan dan minuman
yang tadi dibeli masih terbungkus rapi dan nggak tersentuh sama sekali.
Dengan hati yang penuh sesak oleh segala keindahan dan genggaman yang
nggak pernah lepas, mereka menjauhi daerah Puncak melalui Jagorawi
yang mulai sepi. Semenjak dari beranda vilanya, Arial sedetik pun tidak
mau melepas genggamannya dari tangan lembut Indy. Memberontak dari
segala aturan dan kepatuhannya. Mengendarai mobil pelan dengan saru
tangan. Indy pun membiarkan tangan Arial terus menggenggam
tangannya erat sekali, melupakan segala aturan. Dalam genggaman Arial,
malam itu Indy senang sekali, ada Arial yang akan selalu memberinya
sayap yang akan membawa Indy menikmati masa-masanya. Sayap yang
akan membawanya terbang tinggi dengan angin-angin cinta, kerinduan,
perhatian, dan mimpi-mimpi yang akan selalu menerpa lembut wajahnya,
sayap yang akan selalu menjaganya.
Seandainya mungkin....
ku mampu terbang ke awan
detik ini jua... kuakan melayang ke sana
kan kubawa pula... dirimu... yang selalu kusayang...
bersama... berdua... kita... bahagia
kasih... dengarlah... hatiku berkata aku cinta kepada... dirimu sayang...
kasih percayalah kepada diriku... hidup matiku hanya untukmu...
Alunan lembut Kasih dari Ermy Kulit menemani mereka berulang-ulang di
perjalanan pulang.
Lima
Don't Stop Me Now
...Ian mencium tangan kedua orang tuanya, ada sedikit sedih di hati Ian
karena tangan papa-mamanya sudah tidak sehalus dulu lagi, Ian udah bisa
ngerasain kulit keriput di tangan mereka...
"Jadi... kamu... mau... ganti... lagi... semuanya?"
"Enggak juga sih, Pak. Judulnya doang dikit, sama hubungan
antarvariabelnya, ada juga variable yang ditambah," Ian menjawab
pertanyaan dosen pembimbingnya, sambil membatin, dari dulu dosen
pembimbing ini pasti kalo ngomong ada jeda dua detik per kata, tuh kan
mulai lagi nih....
"Kamu... selama... ini... ke mana... Ian?" Pertanyaan yang tidak pernah Ian
harapkan selama satu semester ini, muncul juga dari mulut dosennya.
"Cuti, Pak," Ian bohong.
"Cuti... apa... Ian?"
"Bantu orang tua di sawah...," Ian bohong lagi. Bohongnya salah lagi, mana
ada sawah di Jakarta. Goblok, dongo, Ian menyesali dalam hati.
"Mana... ada... sawah... di... Jakarta?"
"Ada, Pak!" jawab Ian (cari gara-gara lo Yan!).
"Kamu... bohong... Ian?"
"Mm... iya Pak... saya sebenarnya cuti untuk cari duit, Pak. Jadi model bayi
yang No Problem itu Pak, yang lucu, tapi yang sekarang udah gede bayinya.
Syuting iklannya di Jepang, Pak. Di Satchi and Satchi, kan jauh itu Pak, jadi
saya cuti."
Ian bohong lagi. Tapi bohong yang ini rada-rada pinter karena dosennya
percaya Ian emang sangat mirip sama model bayi No Problem. Ian pun lega
"Oh... begitu... benar?"
"Iya, Pak!"
"Bangga... juga... Bapak... sama... kamu. Jadi... mau... tambah... satu...
variabel... lagi?" "Iya, Pak!"
"Oh... begitu... variabel... apa... lagi... yang... mau... kamu... tambah?" Ian
tambah kesel lagi sama dosen pembimbingya. Buat Ian, ini orang kayaknya
waktu pelajaran tanda baca bahasa Indonesia di SD, dia nggak masuk.
Pelan bener sih ngomongnya... lama lagi Kebanyakan titik. Ian mau cepatcepat pergi dari situ.
"Saya mau tambah variabel kecerdasan emosional, jadi nanti dilihat apa
hubungannya sama Lima Displin Pembelajaran Organisasinya Peter Senge
(baca Senji). Efektif nggak untuk sebuah organisasi. Begitu Pak," Ian
berbicara cepat soalnya dia udah ngantuk.
"Oh... begitu...," gumam dosennya.
Tampang dosen Ian ini mirip penjahat di gamewatch, Western Bar, punya
Ian dulu. Ian ketawa dalam hati. "Iya... Pak... begitu," Ian yang ngocol coba
ngikutin omong pelannya sang dosen-yang sebenernya udah pengen Ian
tonjok.
"Kecerdasan... Emosionalnya..- pakai... buku... siapa... Ian?" "Daniel
Goleman, Pak...."
"Dia., lagi... dia... lagi... ada... yang... lain... nggak... sih... mentang...
mentang... lagi... terkenal."
Ian pun memberi tatapan ke dosennya yang kalau diterjemahin kurang
lebih "siapa lu, mending kenal?"
"Ya., sudah... kalo... kamu... mau."
Asik, dia setuju! kata Ian dalam hati, pipi tembemnya menggembung.
"Kamu... SD... berapa... tahun..., Yan?" tiba-tiba dosennya memberikan
pertanyaan yang nggak jelas maksudnya.
"Enam, Pak. Emangnya kenapa?" Ian bohong. Dulu dia pernah tidak naiksetahun-waktu kelas satu-gara-gara satu caturwulan ngambek nggak mau
masuk.
"Kalo... kamu... menyelesaikan... kuliah., kamu... enam... tahun... juga...
berarti... otak... kamu... otak... anak... SD," Sang Dosen berkata pelan sambil
menurunkan kacamatanya. Urutan kalimat panjang dan pelan barusan
sangat menyakitkan bagi Ian.
Suara-suara di kepala Ian pun memaki-maki sarkasme.
Sang dosen bertanya lagi, "Dua., bulan... lagi... ada... sidang... bisa., dikejar...
empat... bab... dalam... dua... bulan... Ian?"
Ian diem. Hmm, baik juga nih dosen nyuruh sidang cepet-cepet.
"Kalo... kamu... bisa... nanti... saya., bantu... banyak."
"Nggak tau yah Pak Pusing juga, dua bulan empat bab, belum
kuisionernya."
"Cuma... kamu... saja... anak... bimbingan... saya... yang... lama... lainnya.,
cuma... satu... semester... kamu... udah... bikin... rekor... nggak... enak...
buat... saya."
"Iya nih, Pak... Saya nggak enak, saya juga dulu milih Bapak biar selesai
satu semester, tapi kalo dua bulan empat bab pusing juga, Pak," jawab Ian
sambil nunduk.
"Bisa... nggak?" dosen Ian menghardik galak. "Bisa deh, Pak," Ian jadi takut
"Bagus... sekarang... taruh... kata... bisa... itu... di sini," dosen Ian berkata
sambil menunjuk ke jidatnya. Ekspresinya mirip Benecio del Toro di Film 21
grams.
Ian jadi kaget sendiri.
"Iya, Pak. Makasih, Pak."
"Kapan... kamu... nyerahin... bab... duanya?"
"Minggu depan, Pak."
"Enggak... boleh... empat... hari... lagi... kamu... ke sini... bab... dua... kamu...
harus... sudah... selesai... ngerti."
"Hah???" Ian bengong.
"Masa empat hari, Pak?"
"Kamu... SD... berapa... tahun..., Yan?"
"Iya, iya deh, Pak," Ian nggak mau dengar kata-kata nyakitin lagi dari
dosennya, apalagi sebenemya dia SD kan tujuh tahun, bukan enam tahun.
"Ya... udah... sana... selamat... sore... Ian."
"Ssssore pak." Ian pun buru-buru membereskan berkas-berkas skripsinya
dan pergi menjauh dari ruangan dosennya
Pulangnya Ian langsung menuju ke komputernya yang ia namakan "Si
kompibaiksekalitemenIan"-komputer yang sekaligus sahabat dan teman
akrab Ian dari dulu, nemenin Ian main Counter Strike, CM; muter VCD
bokep; main bola; yang udah penuh sama gambar bikini, gambar pemain
bola, lirik lagu, kunci gitar, foto bugil, dan banyak lagi.
Ian yang lagi intelek sedikit gara-gara harus bikin skripsi pun mulai
memperbarui tampilan teman setianya ini. Ia ganti gambar desktop yang
semula bergambar "ayah"-nya Manchester United, Sir Alex Ferguson
dengan gambar wisuda kampus megah milik kakaknya yang kebetulan
udah lulus dan satu kampus sama Ian.
"Bab dua, tiga, empat, lima dalam waktu dua bulan siapa takut?" Ian
menggumam pelan dan masuk ke dalam dunia imajinasinya.
Si kompibaiksekalitemenIan: Hahaha... kenapa teman? Sakit panas ya?
Ian: Gue udah tau lo mau nyela gue dari tadi. Si kompibaiksekalitemenIan:
Emang gue tahan, belum penuh sih loadingaya.
Ian mulai mengetik. BAB II
Si kompibaiksekalitemenIan: Bikin skripsi ni yee. Tumben bikin skripsi,
teman, kamu udah mati yaa... ini cuma arwahnya doang?
Ian: Diem lo!
Ian pun nerusin ngetik.
Si kompibaiksekalitemenIan: Eh ntar dulu, ntar dulu, harus ada yang
diselesaikan secara adat dulu. Udah jadian lagi belum lo sama folder
skripsi? Kasian lho waktu lo cuekin, dia nangis-nangis gitu hampir mau
bunuh diri terjun bebas ke virus. Untung ditolongin sama Mc Afee.
Folder Skripsi: Udah kok waktu itu dia minta maaf.
Tiba-tiba folder skripsi ikut ngomong lembut. Folder skripsi yang emang
temenan baik sama Si Wordngetikmulu dan SiExcelrajatabel ini udah
terima Ian lagi di dalam hatinya setelah Ian janji nggak mau ninggalin dan
mau ngasih nama baru.
Ian: Tuh denger makanya jangan sok tau... gue defrag nih.
Si kompibaiksekalitemenIan: Nggak mau ah CS di defrag geli. CS kan tau
gue orangnya gelian.
Ian: Makanya jangan berisik!
Hardik Ian galak sambil mengambil bukunya Peter Senge, Disiplin Kelima.
Folder skripsi bergaya menari-nari riang di antara kabel-kabel data Si
kompibaiksekalitemenIan.
Folder Skripsi: Nama baru... nama baru. Si kompibaiksekalitemenIan: Lo
dikasih nama baru apa sama si Ian? Apaan namanya?
Folder Skripsi: Lihat aja sendiri.
Kabel-kabel data Si kompibaiksekalitemenIan pun menjelajahi tiap folder
mencari nama baru folder skripsi hingga ketemu. "Skripsiku tercinta."
Si kompibaiksekalitemenIan: Ciee... Romantis juga nih tuan kita yang
gendut.
Ian: Lo ngomong lagi, beneran gue defrag nih, abis itu gue
boot.
Si kompibaiksekalitemenIan: Nggak mau ah. Teman jangan begitu dong.
Ian: Makanya jangan berisik. Jangan sok tau... gue mau ngetik. ok!
Si kompibaiksekalitemenIan: Sok intelek lo ngetik... biasanya juga lihat
gambar bokep.
Jari-jari Ian pun mencari kata-kata computer management dan disk
defragmenter.
Si kompibaiksekalitemenIan: Jangan! Jangan, geli! Iya deh nggak berisik.
Ian: Janji?
Si kompibaiksekalitemenIan: Janji! Pasang lagu, pasang lagu biar
lancar...OK teman, OK Ian: Nggak mau lagi konsen!
Si kompibaiksekalitemenIan: Jangan ngambek dong teman, kita kan CS. ok
CS?!
Ian pun ngeklik winamp. Si kompibaiksekalitemenIan: Winamp siap? Si
kompi memanggil Si Winampnyanyimulu. Winampnyanyimulu: Siap bang
kompi!
Si kompibaiksekalitemenIan: Kalo lagi gini, biar semangat lagunya Queen
dong "Don't stop me now". Ok cs, ok.
Ian: Siip... nah gitu doing semangatin gue, kata Ian sambil memilih lagu
Queen.
Don't stop me now.... I'm having such a good time...
I'm burning to the sky
Two hundred degrees.
that's why they call me Mr. Fahrenheit...
I'm driving to the speed of light..
Don't stop me now...
Jari-jari Ian mengerik lancar tambah semangat dan bahagia. Ditemenin
sama SiWordngetikmulu, si wmampnyanyimulu, Si
kompibaiksekalitemenIan, Freddie Mercury dan raungan gitarnya Bryan
May. File-file folder games pun cemberut, lagi dicuekin sama Ian, juga
folder folder Karang Taruna RW 08 dan Curriculum Vitae yang merupakan
nama samar an dari folder folder bokep Ian.
10 menit berlalu Ian baru dapet setengah halaman...
jari jari Ian berhenti...
Si kompibaiksekalitemenIan: ya bos kok berhenti bos....? Ian: Tau nih...
mampet...!! tiba tiba Ian kangen sama keempat temannya....
Lagi ngapain ya mereka?...Riani... Arial... Zafran... Genta Ian kangen sama
mereka.
Genta! Tiba-tiba mata Ian menangkap sebuah VCD original milik Genta di
antara VCD bersampul Hewan-Hewan Pra-sejarah,Ten Deadliest Shark,
Belajar Macromedia, dan Mengerti Excell dalam sehari yang sekali lagi,
semuanya hanya sampul samar an yang di dalamnya berisi VCD bokep.
Mata Ian menangkap VCD favorit Genta, filmnya Sean Connery, Finding
Forrester.
Ian jadi inget sama adegan di film itu, waktu Jamal Wallace si penulis muda
baru mulai belajar nulis sama William Forrester, pengarang buku terkenal
sepanjang masa Avalon Landing, yang sekaligus sahabat Jamal.
Ian masih ingat kata-kata William Forester, "Kalau kamu mau menulis ya
tulis aja, jangan pernah mikir. Langsung menulis aja jangan pakai mikir."
Ian pun mulai menulis. Satu halaman lebih dilewatkan Ian dengan cepat
sampai kibor Ian kegelian dipencet-pencet melulu kayak permen Yupi. Ian
nggak percaya, hanya dalam waktu sepuluh menit dia sudah dapat dua
lembar... tiga lembar... empat lembar.
Dua jam pun berlalu tanpa terasa.
Bab dua udah hampir selesai, tinggal diedit sedikit dan dikoreksi Ngetik
lagi ntar malam tiga jam-an. Sambil ngedit juga kelar BAB II gue, batin Ian
seneng.
"Ah kalau bisa sekarang... sekarang aja."
Jari Ian pun mulai menari lincah lagi.
Satu jam, dua jam....
Si kompibaiksekalitemenIan: Bos... bos...! Ian: APA!
Ian berteriak agak keras, masih cuek, dan nggak mau diganggu. Si
kompibaiksekalitemenIan jadi takut bosnya bakal marah dan dia bisa didefrag lagi.
Si kompibaiksekalitemenIan: Bos, temenan, cs... dong.
Ian: Apa kompi?
Si kompibaiksekalitemenIan: Ke desktop bentar, klik kanan terus refresh
bos....
Gerah nih bos... udah empat jam lebih, hampir lima jam malah. Ian: Oh iya.
Sori bori kompi....
Si kompibaiksekalitemenIan: Nah gitu dong.... Ah, seger Bos. Enak. Di-save
dulu bos atau di-autosave aja. Nanti kalo ada serangan tiba-tiba gue bisa
mati suri bos. Ntar sih gue idup lagi... tapi nanti file bos ilang. Nanti bos
marah-marah kayak waktu itu, gue dilempar bantal.
Ian: Oh iya. Kompi kamu emang baik sekali.
Si kompibaiksekalitemenIan: ...bos refresh lagi bos, dikit.. aja.
Ian: OK!
Si kompibaiksekalitemenIan: Ah seger.... Bos emang baik .
"Wah udah selesai Bab II Bab III udah bagian depannya," Ian loncat- loncat
seneng, "Hore... besok aja, gue serahkan ke si aneh Sukonto Legowo," (eit
baca namanya jangan disambung, bisa gawat).
Enggak perlu empat hari biar dia kaget sekalian, batin Ian mantap.
Si kompibaiksekalitemenIan: Bos, capek Bos. Time out dulu
ya.
Ian: Alaa elo... kalo bokep sama bola aja, lembur dua hari seneng-seneng
aja.
Si kompibaiksekalitemenIan: Ya udah sekarang bokep...! Ian: Nggak mau...!
Si kompibaiksekalitemenIan: Bola...! Ian: Nggak mau!
Si kompibaiksekalitemenIan: Counter Strike aja Bos, tembak-tembakan!
Ian: Gue mau mandi trus bikin Indomie.
Ian berdiri dan mengambil handuk.
Si kompibaiksekalitemenIan: Es... es... es... matiin dulu dong Bos. Capek nih
kompi mau tidur sore....
Ian: Yang enak sih sebelum dimatiin di-defrag dulu... ada tuh di buku
petunjuk
Si kompibaiksekalitemenIan: Bos... Bos... jangan bercanda Bos. Kan udah
bulan ini di-defrag, Bos. Geli Bos, nggak mau!
Ian: Enggak enggak....
Ian tersenyum dan memilih menekan turn off di desktopnya.
Si kompibaiksekalitemenIan: Nah gitu dong....
Ian: Nanti malam ketemu lagi ya....
Si kompibaiksekalitemenIan: Tapi bokep...!
Ian: Nggak...!
Si kompibaiksekalitemenIan: Bokep! Ian: Nggak!
Ian: Nanti "malam kita ngetik lagi.... Folder Skripsiku tercinta tersenyum
dan menari-nari. Si kompibaiksekalitemenIan: Ok Bos... kompi temen Bos,
siap nemenin Bos sampai kapan pun! Ian: Dah... kompi....
Si kompibaiksekalitemenIan: Da dah... Bos.... Ian: Kamu emang baik
kompi....
Ian menepuk nepuk monitornya., (kamu emang ancur sekali Ian, ngobrol
sama komputer).
Malamnya, sambil tiduran Ian membaca buku-buku referensi yang
nyambung dengan skripsinya. Bosen baca di tempat tidur, Ian pindah ke
balkon rumahnya. Di sana Ian membaca lagi, membaca lagi, dan membaca
lagi, takjub dengan berbagai molekul kompleks yang beterbangan
memenuhi pikirannya. Apa yang selama ini belum pernah diketahuinya,
Ian jadi tahu. Untuk beberapa saat Ian berhenti sebentar dan menuliskan
catatan kecil di kertas HVS, dan membaca lagi... membaca lagi... yang ada
di otak Ian cuma dua bulan lagi dia sidang, abis itu lulus.
Pukul 08.15 Ian udah nongkrong di depan ruangan dosennya Tapi, setelah
melihat jadwal hari ini, ternyata dosen Ian, Bapak Sukonto Legowo, ada
kelas di gedung sebelah. Ian pun langsung lari ke gedung sebelah.
Ini dia kelasnya, desis Ian, Udah jam segini belum dateng tuh orang, batin
Ian.
Otak bandelnya ketawa-tawa sendiri dan bilang, "hihihi gue masuk aja kali
yee..., ikut kelasnya biar dia kaget."
Ian dengan pede-nya langsung masuk kelas, nggak peduli sama tatapan
aneh di kelasnya. Ian langsung duduk di bangku pojok paling belakang.
Mahasiswa yang ada di kelas itu menatap Ian dengan perasaan aneh.
Suara-suara heran dan aneh memenuhi pikiran semua orang di situ,
bercampur aduk, semua yang di situ nggak kenal sama Ian. Semua
ngeliatin Ian dengan berbagai suara takjub di kepala mereka. "Siapa ya?
Perasaaan udah man final-test, tapi kok ada yang baru masuk."; "Gue kenal
dia nih, kalo mau pelihara dia di rumah harus punya surat izin dari
Departemen Kehutanan."; "Perasaan gue kuliah ekonomi deh, bukan
kedokteran hewan. Emang ada pelajaran bedah ikan pesut?" "Pasti ada
yang ulang tahun hari ini, ada yang pesen badut."; "Dufan keren juga ya
marketingnya... sampai ngirim badutnya ke kampus-kampus."
Ian cuek dan bales ngeliatin mereka semua. Galak. SENIOR!!! kata Ian
dalam hati.
Semua yang diliatin Ian menunduk males, takut sama senior. Pukul 08.30
sosok Sukonto Legowo masuk ke kelas.
"Selamat pagi... maaf... Bapak... telat."
Semuanya diem. Dosen pembimbing Ian emang terkenal galak tapi
sekaligus baik. "Hari ini kuliah MSDM (Manajemen Sumber Daya
Manusia), kita masuk ke teori motivasi... nanti ada macam-macam teori
motivasi yang akan kita bahas."
"Ah gue tau ini kan pernah diomongin di tongkrongan," kata Ian dalam
hati girang.
Nanti ada teorinya Abraham Maslow. McGregor. McClelland. Nah tuh dia
namanya disebut, kata Ian dalam hati, senang.
Tapi, sambil mainin pulpen, Ian jadi kaget sendiri karena Pak Sukonto
Legowo di kelas ngomongnya bisa cepet. Kalo ketemu gue aja ngomongnya
pelan banget, batin Ian.
Maslow, McGregor, McClelland diterangkan dengan jelas oleh sang dosen.
Semua bengong karena diterangkan dengan bahasa yang jelas dan Ian jadi
ngerti banget.
Dosennya kok lain banget kalo di kelas, malah kadang-kadang pakai
becanda lagi. Bisa ditambah-tambahin buat referensi skripsi gue nih, desis
Ian sambil mengambil kertas dan mulai mencatat. Dua lembar, tiga lembar,
empat lembar....
Tiba-tiba batin Ian kaget sendiri dan agak menyesal, kan dulu kelas ini
udah pernah gue ambil. Ian masih berbicara dengan hatinya, melihat ke
sekeliling kelas dan bengong.
Kenapa dulu gue nggak pernah merhatiin ya? Rugi banget gue, becanda
mulu sih, mana kalo lagi di kelas pikiran maunya lari ke main komputer,
main bola, sama beli VCD... sekarang baru kerasa. Ian nyesel.
"Oh ada mahasiswa baru ya?" Tiba-tiba sang dosen mengeluarkan suara
agak keras dan menuju ke pojok belakang tempat Ian duduk.
Ian yang lagi bengong kaget sendiri. Ian mengangkat tangannya,
menganggukan sedikit kepalanya sambil tersenyum.
"Halo Pak, lagi nebeng ngasah otak...."
Semua di kelas nengok ke Ian. Kaget! Suara-suara heran pun merasuki
pikiran semua orang di kelas. "Pantesan harus ada izin buat miara,
ternyata hewan langka ini bisa ngomong."; "Oh badut Dufannya bisa
ngomong...hebat juga ya marketing Dufan"; "Gile... lumba-lumba kalah
sama pesut, pesut aja bisa ngomong."; "Tuh bener kan ada yang ulang
tahun."
Ian langsung melotot, males banget diliatin seperti itu. Pelototan galak Ian
membuat semua juniornya langsung takut dan menghadap ke depan lagi.
Pak Sukonto Legowo membuka kacamatanya, matanya tajam melihat Ian.
"Kamu... mau... ketemu... saya., hari... ini... Ian?"
Yah... ngomongnya gitu lagi, kalo sama gue, Ian teriak-teriak sendiri dalam
hati.
Tiba-tiba Pak Sukonto Legowo ngomong lagi, "Saudara-saudara... hari ini
kita kedatangan tamu penting, suatu kehormatan tersendiri. Saudarasaudara pasti ingat, dulu bayi lucu dan gemuk yang ada tulisan 'No
Problem' di bawahnya... sekarang bayi itu udah gede dan dia adalah salah
satu murid bimbingan skripsi yang saya pegang, saya bangga sekali.
Saudara Ian silakan berdiri."
Ian pun kaget dan terpaksa berdiri... semuanya tepuk tangan. Mata Ian
kacau, semuanya berputar dalam slow motion putih biru kuning.
"Iya gila mirip lho... gilee gedenya begini sama aja... gemes! gemes!" pipi Ian
dicubit. Ian difoto pake handphone, blitz! Blitz! Putih. Ian stres. Ian serasa
diseruduk truk, abis itu kecebur got, gotnya ada radioaktif, radioaktifnya
bikin Ian impoten, Ian pergi ke Mak Erot, Mak Erot lagi bete karena
praktiknya di Arab nggak laku, Ian diusir Mak Erot, Ian berobat ke luar
negeri, pesawat Ian jatuh, Ian di bawa ke rumah sakit, Ian sadar, Ian nanya
keadaannya ke dokter, dokternya jawab: "No Problem", Ian pingsan lagi.
Ian nyesel udah bohong.
Setelah kelas dibereskan dari kekacauan yang baru saja terjadi, Pak Sukonto
Legowo dan Ian duduk berhadapan di depan kelas. Ian memberikan Bab IInya. Lima menit berlalu... sang dosen masih membolak- balik Bab II Ian,
sementara Ian menatap keluar sebentar. Matahari pagi menjelang siang
menembus jendela kelas, membentuk garis-garis sinar dengan partikelpartikel kecil yang beterbangan.
Setelah sepuluh menit.
"Cepat... juga... ya... kamu... bagus., bab II... kamu... selesai... saya... setuju...
sekarang."
Asik..., hati Ian bersorak girang. Kata-kata dosen Ian tadi membuat Ian
lupa pada kejadian mengerikan barusan.
"Nggak ada revisi, Pak?"
"Nggak... ada... revisi... bagus... sekali."
"Langsung Bab UI dong, Pak!"
"Iya...langsung... aja."
"Oke, Pak!" jawab Ian mantap.
"Tapi... Ian... lebih... baik... kamu... sebar... kuisioner... dulu... kerjakan...
dulu... yang... agak... susah."
"Begitu ya, Pak...," Ian menjawab sambil mempertemukan kedua jari tangan
kanan dan kirinya di depan hidungnya.
"Iya, mendingan kamu sekarang bertempur dulu, bagi-bagi kuisioner, baru
nanti kamu olah. Yang penting kamu udah punya data dulu, sementara
kamu tunggu kuisioner diisi, kamu bikin Bab III," dosen Ian berujar pelan
tapi lancar sambil masih membuka-buka Bab II.
Hati Ian berbunga-bunga, dosennya udah ngomong biasa sama Ian, nggak
pake jeda dua detik lagi. Berarti dia udah nggak marah sama gue... asik...,
batin Ian ketawa-tawa.
Bapak Sukonto Legowo tiba-tiba berdiri, "Sekarang kamu ikut saya, Ian."
"Ke mana, Pak?"
"Ke ruangan saya!"
"Ngapain, Pak?"
"Saya bantu kamu bikin kuisionernya." Ian tambah seneng, udah lupa sama
kejadian "No Problem" tadi.
Something in my shoes
Dua hari kemudian Ian sudah berada di kantor yang mau diteliti. "Selamat
pagi Mbak...," Ian menyapa resepsionis kantor dengan sopan.
Mbak resepsionis tampak berbinar-binar menatap Ian. "Pagi... oh maaf, Mas,
baru minggu kemarin tuh kantor kita outing ke Taman Teletubbies yang
baru itu. Waduh, Taman Teletubbies baru buka aja promosinya gedegedean sampai ngirim Tinkywinky ke kantor gini. Inget nggak sama saya?...
kan saya ke sana minggu kemarin!"
Kali ini Ian disangka Tinkywinky dari gerombolan Teletubbies yang
kerjaannya main mulu. Tapi Ian udah kebal.
"Maaf Mbak, saya bukan Tinkywinkynya Teletubbies. Tuh di perut saya
nggak ada TV-nya," bela Ian sambil melihat ke baju ungunya. Hmm, salah
gue juga, pakai baju ungu. Dikira Tinkywinky deh....
"Oh maaf...," kata resepsionis masih belum percaya.
"Saya mau ketemu sama Pak Dono... udah janji, tadi udah telepon."
"Oh Pak Dono... sebentar ya."
Sembari menunggu resepsionis menelepon, Ian bengong sendiri. Perutnya
lapar, matanya ngantuk. Semalam dia baca buku sampai pukul dua pagi,
dengan harapan skripsinya lancar dan cepat selesai.
"Eh Mas..., bengong ya?"
"Eh iya, Mbak." Khayalan Ian pun terhenti.
"Tunggu sebentar, Pak Dono masih meeting."
"Oh iya Mbak... saya nunggu di mana, Mbak?"
"Tuh, di belakang Mas banyak kursi."
Ian menengok ke belakang, "Oh iya, makasih, Mbak."
"Mas...."
Treq, tiba-tiba Ian difoto pakai handphone.
"Hah? Buat apa, Mbak?"
"Buat anak saya, dia kan seneng Teletubbies."
Ian pasrah, hingga satu jam kemudian, "Sori banget, Ian. Gue lagi ada rapat
sama direksi, mana kuisionernya?"
"Eh, Mas. Nggak apa-apa Mas. Ini kuesionernya, semua ada dua ratus
lembar, satu orang dua lembar. Ini surat izin penelitian dari kampus." Ian
memang sudah kenal sama Mas Dono yang setiap malam Minggu datang
ke rumah Ian, ngapelin kakaknya.
"Oh iya... kapan mau diambil, Yan?"
"Seminggu lagi...."
"Siip lah. Sukses ya, Ian, Nanti kalo udah diisi semua aku SMS atau telepon.
Oke?"
"Ini data perusahaannya kamu tinggal edit Ini visi-misinya. Sip kan?" "Oke
sip. Makasih banyak ya Mas Dono, makasih banyak." "Ok Ian." Sukses.
Suara-suara dalam pikiran Ian berbunga-bunga, berarti di rumah tinggal
bikin Bab III, selesai deh dua bulan. Ternyata nggak susah ya kalo
udah dijalanin. Ian memencet lift dan turun sendirian. Sendiri di dalam lift,
Ian nggak sadar kalau bayangan teman-temannya muncul di kepalanya.
Genta, Zafran, Arial, Riani... lagi pada ngapain ya? Ian menarik napas
panjang, membetulkan ranselnya. Kangen juga gue, kata Ian dalam hati.
Ting....
Ting....
Sudah hampir lima hari ini Ian berkutat dengan buku, ke perpustakaan
kampus, ngetik, baca lagi, ngetik lagi, menyelesaikan misi skripsi.
"Mas Ian... ada telpon," pembantu rumah teriak begitu saja, membuyarkan
konsentrasi Ian.
"Dari?" Ian ganti teriak dari atas. "Mas Dono...." Asik... baru lima hari udah
ditelepon, berarti udah selesai nih! Batin Ian bersorak. Ian langsung turun
ke bawah. "Mas Dono ya?" "Iya...." .
"Udah selesai ya, Mas? Nanti Ian langsung ambil, biar cepet." "Kayaknya
ada masalah, Yan.... Direksi nggak ngizinin kuisioner kamu, padahal udah
hampir terisi semua. Kuisioner-nya nggak boleh keluar dari kantor. Data
perusahaan yang ada di Ian juga disuruh tarik lagi."
Embusan napas kecewa Mas Dono terdengar di telepon. "Sori banget, Yan."
"Mas Dono udah coba argumen, tapi masih ditolak."
"Mas Dono bingung nih... nggak enak dapat peringatan. Nanti malam data
yang ada di Ian, Mas Dono ambil ya? Ternyata data itu nggak boleh keluar
kantor."
Ian menarik napas panjang, "Udah bener-bener nggak bisa ya, Mas?" Ian
bertanya dengan sisa-sisa harapan yang ada.
"Mas Dono udah coba berbagai cara."
Ian percaya karena tahu bahwa Mas Dono orangnya baik dan memang bisa
dipercaya.
"Ya udah Mas, nggak apa-apa."
"Sori banget ya, Ian."
"Nggak pa-pa Mas, bener. Malah Ian yang makasih udah dibantu."
"Nanti Mas Dono coba cari teman lain yang perusahaannya bisa diteliti."
"Iya Mas, makasih...."
"Nanti malem Mas Dono ke situ ngambil datanya.... Masih adakan?"
"Masih Mas, belum ke mana-mana kok."
"Trims. Udah dulu ya, Ian, lagi banyak kerjaan nih." Teq... tut... tut... tut....
Sambungan telepon sudah terputus, tetapi Ian masih bengong sejenak.
Dengan langkah gontai, ia kembali ke kamarnya. Tapi cuma sebentar
karena ia lalu turun lagi, nyalakan TV, naik lagi ke kamar, turun lagi, naik
lagi, nonton TV, naik ke kamar lagi,... bengong di beranda, bengong di
balkon siang yang panas. Gerah-nya jakarta membuat kecewa Ian makin
bertambah. Gerah. Panas. Bete. Ian hanya bisa menerawang jauh,
menikmati pemandangan kota Jakarta di siang yang panas dengan
gedung-gedung tinggi memeluk udara hitam samar membentuk dinding
asap, seakan hendak bercerita betapa kotor suram dan nggak enaknya....
Ya, betul-betul nggak enak. Ian menelan ludah sendiri, terasa ada yang
menyangkut di tenggorokannya, mengganjal di dadanya.
*
Waktu seminggu untuk kuisioner lewat dalam sekejap. Dengan perasaan
malas, Ian berangkat ke kampus, telanjur janji sama Pak Dosen untuk
mengembalikan data kuisioner yang sekarang entah ke mana. Ian bingung
harus bilang apa nanti.
Metromini yang ditumpanginya sudah sarat penumpang. Sesarat hatinya
yang kacau. Matanya menaiap keluar jendela: pemandangan Jakarta pada
pukul 13.00 yang panas. Pemandangan yang menyapa hati Ian yang masih
terasa nggak enak. Metromini memasuki daerah Mampang yang macet.
Matahari yang panas semakin garang, bau knalpot, bau karat besi
Metromini, bau keringat. Dipandangnya satu-satu penumpang di
sekitarnya. Bapak tua dengan peci lusuh, mahasiswi yang menatap kosong,
anak sekolah yang berdiri di depannya dengan tas penuh corat-coret, ibu
tua dengan makeup berlebihan, kernet yang teriak-teriak nggak jelas, sopir
metromini yang suka ngerem mendadak. Semuanya terekam dan
menambah ganjalan di hati Ian.
Trek... trek... trek.... Kernet mengetuk-ngetukkan uang logam ke kaca
metromini. Sopir mengerem mendadak.
Dengan menggerutu, Ian keluar dari bus yang penuh sesak itu. Gue emang
nggak pernah suka sama Jakarta..., hati Ian kesel, Gara-gara ada kejadian
nggak enak, pikiran gue jadi negatif dan inget sama hal-hal yang negatif.
Sambil berjalan menunduk, Ian berjalan malas memasuki kampusnya.
Panas matahari semakin beringas, menambah panas otaknya. Semua
brengsek! rutuk Ian dalam hati. Segelas air mineral dengan cepat membilas
tenggorokan Ian. Cukuplah untuk membuat sejuk hati Ian sebelum
memasuki ruangan dosennya yang suhu pendinginnya bak di Kutub Utara.
Ian mulai tenang.
"Halo, Bos..." Pak Sukonto Legowo menyapa Ian dengan panggilan yang lain
dari biasanya, tampangnya yang serem terlihat berseri-seri.
"Selamat siang, Pak," Ian menarik napas agak lega. Panggilan akrab dan
senyum tulus dari dosennya membuat Ian sedikit bisa melepas beban yang
terus menumpuk sejak mendapat telepon dari Mas Dono.
"Pasti udah selesai dong. Keren juga bayi kaget kita ini. Bisa sidang nih dua
bulan lagi."
"Mmhhh...," Ian mendesis pelan sambil sedikit mengeluarkan udara malas
di hidungnya,
"Pak... maaf, Pak." Melihat perubahan muka mahasiswanya ini, sang dosen
langsung terdiam.
Dengan lancar dan sedikit kesal, Ian menumpahkan segala masalahnya
kepada dosennya-yang ternyata sangat ahli dalam mendengarkan. Ada
rasa nyaman yang mengalir di kepalanya. Begitu Ian selesai curhat, tanpa
sedikit pun komentar, sang dosen mengambil sebuah company profile.
"Kamu teliti ke sini aja deh..." katanya sambil menyerahkan company profile
itu. "Saya memang nggak ada koneksi di sana, tapi kamu harus usaha lagi ya.
Kantornya deket kok, kamu bikin surat penelitian lagi, besokkamu ke sana.
Yah tinggal nyebrang kok dari sini. Kamu tahu kan gedungnya?"
Ian mengambil berkas yang disodorkan dosennya, melihat-lihatnya
sebentar. Keraguan Ian tertangkap di mata sang dosen.
"Kamu coba dulu, Yan...," senyum sang dosen mengembang bijak.
Dia memang baik, batin Ian.
"Kamu kurang tidur ya? Di bawah mata kamu ada bekas hitam."
"Iya, Pak. Saya baca buku dan ngerjain kerangka bab-bab selanjutnya
supaya nanti bisa cepet Tiap malem saya tidur larut sekali," jawab Ian pelan
dan jujur.
"Begitu dongl Dulu katanya kamu nggak doyan baca."
"Sekarang udah suka, Pak. Seneng nulis juga, Pak."
Bapak Dosen ini menangkap kerut muka Ian yang kelu, mata yang sayu,
dan wajah yang sepertinya terbebani dengan kesedihan. Naluri
kemanusiaannya mengatakan Ian masih terbenam dalam kesedihan garagara kuisioner pertamanya. Pak Legowo tersenyum kecil.
"Emotional Intelligent udah kamu lahap semua?"
"Udah, Pak. Saya ringkas juga yang penting-penting."
"Kalo gitu boleh saya tes?"
Ian bengong, tapi bukan bengong takut ditanya, entah kenapa untuk
pertama kalinya otak Ian memberikan sinyal yang terjemahannya: "Siapa
takut? Tanyain aja."
Ian jadi kaget sendiri, Kok gue jadi semangat gini?
"IQ tahu?"
"Intelectual Quotient..."
"Itu mah kepanjangannya. Artinya apa?"
Ian mencoba menjawab. "Tingkat kecerdasan seseorang yang diukur
memakai derajat kecerdasan intelektual, bisa dites pake tes IQ, pokoknya
kecerdasan yang menyangkut aspek-aspek nyata manusia. Misalnya, dalam
menerima dan menangkap pelajaran. Intinya, kebanyakan orang yang IQjnya tinggi pasti bisa dibilang pinterlah, Pak. Kecerdasan rasional, dua
tambah dua sama dengan empat."
Ian tahu jawaban itu dan udah pernah baca, tapi ribet ngomongnya.
"Hebat juga kamu, meski agak ribet...," komentar sang dosen puas. "Kalo
EQ?"
"Emotional Quotient... adalah tingkat ukur buat Emotional Intellligent atau
kecerdasan emosional, yang udah diakui lebih penting daripada IQ karena
Kecerdasan Emotional mengambil aspek-aspek tidak nyata dari kecerdasan
manusia...," jawab Ian lancar.
"Kenapa EQ lebih penting daripada IQ?"
"Karena EQ memberikan gambaran tentang sikap manusia akan dirinya
yang sudah pasti punya emosi. Emosi inilah yang memegang peranan
penting bagi manusia karena emosi kalau bisa dikendalikan akan sangat
membantu manusia, kalau tidak bisa dikendalikan bisa berbahaya."
"Contohnya apa Ian?"
"Kalo di buku itu sih ada kisah nyata. Seorang mahasiswa yang pinter
banget-pinter fisika, matematika, dan semuanya, yang selalu dapat nilai A,
suatu hari dia dapat nilai B dari profesornya. Emosinya pun meluap dan
langsung ngambil pisau untuk menusuk dosennya...."
"Tapi dia kan cerdas, Yan?"
"Dia emang cerdas, Pak. Kalo nggak cerdas banget gimana bisa dapat nilai
A terus?"
"Tapi... dia... nggak... cerdas... secara emosi... IQ-nya tinggi, tapi EQ-nya
jongkok," Ian berkata perlahan dengan jeda.
"Kamu bener-bener udah baca semua."
"Iya, Pak. Berarti kita harus pintar-pintar jaga emosi," Ian berkata pelan
lagi.
"Emosi bisa ditolak nggak, Yan?"
"Nggak. Emosi nggak kulonuwun Pak. Kalo dateng ya tau-tau dateng aja
dan nggak nyadar kita udah emosi. Emosi nggak bisa ditolak, cuma bisa
dikendalikan makanya kita perlu pirnya EQ juga, bukan hanya IQ."
Sang dosen bertanya lagi, "Otak menurut penelitian terakhir terbagi
menjadi berapa?"
"Dua!"
"Apa aja?"
"Otak rasional namanya Neocortex, delapan puluh persen dari otak adalah
Neocortex." "Satu lagi...?"
"Nah ini dia Pak. Namanya Limbic System, Otak Emosional kita, dari sini
semua emosi berasal.... Limbic System hanya punya tempat dua puluh
persen di otak, tapi megang peranan yang penting. Di Lymbic System emosi
dateng tanpa undangan atau SMS atau telpon dulu. Makanya, kalo mau
ngendaliin sesuatu kita harus tau tempatnya di mana. Jadi, kalo kita emosi
berarti Limbic System kita lagi kerja. Limbic System kecil-kecil cabe rawit
Kalo nggak hati-hati sama dia bisa bahaya."
Jawaban Ian yang disampaikan sambil bercanda itu menambah asik
diskusi mereka.
"Ada dua skills atau keahlian yang diperlukan di kecerdasan emosional.
Apa aja?"
"Intrapersonal Skills sama Interpersonal skills, Pak! Yang suka ada di kolom
lowongan kerja itu lho... good intrapersonal and interpersonal skills."
"Interpersonal Skills itu apa?"
"Keahlian manusia untuk bergaul, mengerti emosi orang lain, membaca
emosi yang terjadi di sekitarnya, kemampuan manusia untuk memahami
orang lain dan mengerti orang lain, kalo bahasa anak mudanya
kemampuan untuk nggak jadi orang yang 'garing'".
Gue juga tua-tua ginitahu arti 'garing', emang lo doang!Batin sang dosen
yang diam-diam bangga sama mahasiswa di depannya ini.
"Kalo Intrapersonal skills?"
"Kemampuan manusia untuk mengerti dan mengendalikan emosi yang lagi
ada dalam dirinya. Kalo tadi interpersonal keluar diri, yang sekarang intra,
ke dalam diri sendiri. Contohnya, nggak langsung down kalo lagi ada
masalah, selalu bersemangat, tekun, kalo lagi ada masalah langsung
bangkit bukannya malah tenggelam dalam pikiran negatif, selalu bangkit
lagi, nggak pernah nyerah kalo ada masalah, nggak pernah nyerah kalo
nemuin hambatan, Pak! Nggak pernah nye...."
"Nggak pernah apa Ian?"
"Nggak pernah nyerah, Pak."
"Apa...?" sang dosen berkata agak keras dan menatap Ian tajam.
"Nggak..,
Pernah...
Nyerah...
Pak..."
Hati Ian terasa lain, semangatnya kembali hadir di dadanya.
"Selamat siang, Ian. Bisa kok semuanya selesai dalam dua bulan." Sang
dosen pun berdiri dan dengan senyum puas mempersilakan Ian keluar dari
ruangannya. "Nanti kamu datang lagi dengan kuisioner yang pastinya
udah selesai. Saya yakin kok sama kamu."
Sekeluarnya dari ruangan, tiba-tiba Ian merasa lega. "Pasti gue bisa, gue
nggak pernah mau nyerah...."
Kaki Ian berputar cepat sekali dan dalam sekejap ia sudah menjadi road
runner. Ian melesat cepat ke ATM, mengantri panjang, miris melihat
uangnya yang lagi low batt gara-gara skripsi. Lari lagi, nabrak bajaj. Don't
Stop Me Now memenuhi otaknya, Ian terus berlari, nabrak tukang rujak,
ngelabrak tukang fotokopi. "200 lembar gue nggak mau tau, selesai dalam
setengah jam. Kalo nggak, gue makan lo." Ian lari lagi, siap-siap bikin surat
penelitian, lari ke wartel, nabrak tukang kue pancong, nabrak anak SD,
diteriakin anak kecil: "Ada monster!!!" ...balik lagi ke fotokopi, nunggu lima
menit, lari lagi, sekarang giliran diteriakin anak kecil dengan: "Mama...
mau yang itu, pake gula!" Ian terus lari hingga ke gedung seberang-ke
kantor tujuan kuisionernya.
Lagi-lagi di sana ia dikira teletubbies oleh sang resepsionis. Ian pasrah aja
sampai akhirnya bertemu dengan salah satu staf HRD yang belum
dikenalnya sama sekali.
Setelah Ian mengambil napas, mereka pun ngobrol.
"Boleh-boleh aja silakan. Tapi saya nggak bisa ngasih data perusahaan ya."
"Nggak papa, Pak!" jawab Ian. Kan ada di Internet, tinggal gue download,
batinnya kemudian.
"Ya dah, taruh aja kuisionernya. Kapan mau diambil?"
"Seminggu lagi, Pak...."
"Ok. Nanti kamu telpon saya ya."
"Maaf, Bapak namanya siapa?"
"Nono Chaniago. Saya manajer di sini."
"Makasih ya Pak Nono."
Ian masih heran sama namanya.... Sambil berjalan keluar kantor diliriknya
tulisan besar yang merupakan visi perusahaan itu: "Menjadi perusahaan
dunia yang melayani masyarakat dan ikut berperan serta dalam
melestarikan ilmu pengetahuan."
Visinya keren, kata Ian dalam hati.
Seminggu kemudian Ian menghubungi Pak Nono, yang ternyata sedang
tugas keluar kota. Ian menerangkan maksudnya ke rekan Pak Nono, yang
menganjurkannya untuk langsung aja datang ke kantor.
"Mbak...!"
"Dari Dufan ya?"
"Bukan Mbak Saya mau ambil kuisioner saya, tadi udah telpon sama Pak
Slamet"
"Oh Pak Slamet Sebentar ya." Resepsionis lalu memencet intercom, "Pak
Slamet ada yang cari, mahasiswa mau ambil kuisioner."
Suara tanpa wajah berteriak dari dalam, "Itu ada di bawah kamu, di lantai
kolong meja, masa nggak ngeliat?"
Ian spontan ikutan melongok ke kolong meja dan menemukan dua ratus
lembar tumpukan kuisionernya yang sudah rapi.
"Oh ini dia. Banyak banget ya?" Mbak resepsionis mengambil setumpuk
kuisioner Ian yang sudah dikemas rapi dalam plastik. Ian menerimanya
dengan gembira.
Tapi....
Tiba-tiba airmuka Ian berubah pilu dan lemes. Ian memejamkan matanya
sebentar, menunduk, mengempaskan napas panjang sekali. Giginya
bergemeletuk, Ian menggigit bibirnya sendiri.
"Mbak... kok... belum... diisi... semua?"
"Wah nggak tahu ya... saya juga baru sadar ini bungkusan udah ada di sini
seminggu kok..."
"Nggak pernah dibawa masuk?"
"Pernah sekali sama Pak Nono, tapi baru lima menit langsung ditaruh sini
lagi," jawab resepsionis agak gugup. "Pak Nono lagi keluar kota?" "...mmm."
"Eh... Slamet, mahasiswa gendut yang tadi telpon nyariin gue udah dateng
belum? Kasih aja kuisionemya langsung, males gue ngurusin begituan
nggak ada duitnya," Tiba-tiba terdengar suara dari dalam kantor.
Ian menatap resepsionis sebentar, yang mendadak menunduk pura-pura
sibuk. "Terima kasih ya, Mbak."
Ian segera membereskan kuisionemya dan langsung pergi tanpa bicara lagi,
tanpa menengok lagi. Sebentar pandangan Ian menangkap tulisan visi
perusahaan yang terbaca dengan jelas.
:"Menjadi perusahaan dunia yang melayani masyarakat dan ikut berperan
serta dalam melestarikan ilmu pengetahuan."
Ingin sekali Ian meludah saat itu juga.
Ian tampak terduduk di bangku tukang teh botol yang sering mangkal di
kolong jembatan penyeberangan. Jalan utama Jakarta menunggu malam,
macet, suara klakson terdengar di mana-mana. Pegawai kantor dengan
tampang lelah mondar-mandir di depan Ian. Langit Jakarta yang mulai
meredup dan agak hitam menemani pikirannya yang sedang nggak di situ.
Pikirannya melayang-layang, segala macam bentuk kemarahan, tipu daya
memenuhi mata Ian.
Sambil menyedot minumannya yang hampir habis, Ian berkata sendiri
dalam hati, Gila... masa dua kali begini., abis deh gue. Bilang kek kalo
nggak mau diteliti., abis waktu gue seminggu sia-sia bener.
Bayangan kampusnya di seberang jalan dengan lampu-lampu yang mulai
dinyalakan menambah dramatis, kelu, dan pilu di hati Ian. Gilaa... tinggal
sebulan lebih seminggu lagi... kalo gue nggak sidang tahun ini gue nunggu
semester depan... enam bulan lagi abis lagi waktu gue..kapan gue lulus?"
Sejenak bayangan teman-temannya melintas di benaknya: Genta... Zafran...
Riani... Arial. Gila... kangen banget gue sama mereka. Coba mereka ada di
sini sekarang....
"Mas... jam berapa?" tiba-tiba Ian dikagetkan oleh pertanyaan seorang lakilaki berpakaian kerja, tampang lelah tampak membebani wajahnya
'Jam enam kurang lima."
"Makasih ya, Mas."
Ian hanya mengangguk.
"Mas ada api?" tanya laki-laki itu lagi.
"Ada...!" jawab Ian sambil merogoh sakunya dan mengeluarkan korek gas.
"Rokok, Mas?" sebungkus Sampoerna Mild tersodor ke hadapan Ian.
Sejenak Ian ragu, tapi kemudian menarik sebatang. "Mm... iya, Mas.
Makasih."
Karena udah ikut menikmati rokok orang yang belum dikenalnya itu, Ian
pun berbasa-basi, "Pulang kerja, Mas?"
"Yo'i...."
"Kerja di mana?"
"Di sana tuh gedungnya...," jawab laki-laki itu sambil menunjuk sebuah
gedung bank swasta terkenal di depan kampus Ian." "Bagian apa, Mas?"
"HRD."
Mata Ian membeliak. Sepancar wajah cerah terpancar. "Wah Mas kebetulan
nih. Saya lagi bikin skripsi tentang HRD, tapi mau bagi kuisionernya nggak
ada yang mau terima. Mas mau nggak?"
"Boleh gue liat?"
Sebelum menyerahkan kuisioner, Ian mengulurkan tangannya dan
tersenyum, "Ian...."
"Fajar...."
"Ini, Mas, kuisionernya."
"Nggak usah panggil Mas. Fajar aja. Lo juga nggak mau dipanggil Mas
kan?" "Oke deh."
Baru membaca sebentar, Fajar berteriak agak keras, "Lho? Ini kan yang lagi
diteliti tim gue di kantor. Wah, bagus-bagus nih pertanyaanya... pas banget
nih... gue sebarin di kantor gue aja ya... oke?" Fajar menatap Ian seneng dan
agak maksa.
Tentu aja Ian mau, malah kesenengan sendiri. "Tapi yang cepet ya, Mas.
Saya cuma punya waktu sebulan lebih dikit lagi... seminggu aja ya, Mas?"
"Seminggu? Tiga hari juga kelar."
Benar. Tiga hari kemudian Ian mendapatkan kuisionemya sudah terisi dua
ratus lembar pas dan lengkap. Setelah kekenyangan ditraktir Fajar di
restoran terkenal sebagai tanda terima kasih karena udah bantuin
kerjaannya, Ian pun menghadap dosennya- yang ternyata bukan sekadar
bimbingan, tapi ajang curhat
Hari-hari selanjutnya Ian mengisi waktunya bersama
SikompibaiksekalitemenIan dengan mengetik, membaca, bikin tabel, belajar
statistik, belajar SPSS, bolak-balik ke kampus hingga mata jadi sayu kurang
tidur. Kangen Genta, kangen Zafran, kangen Arial, kangen Riani.
Carpediem!*(Rebut hari ini...!)
Ian membetulkan dasinya di kamar mandi kampus, mencuci mukanya,
entah udah untuk yang keberapa kali ia bolak-balik ke kamar mandi cuma
buat cuci muka "Kira-kira 10 menit lagi giliran gue."
Ian teringat saat tadi pagi minta restu sama Papa-Mama. Setelah beberapa
tahun nggak cium tangan orang tua sebelum pergi kuliah, pagi itu Ian
mencium tangan orang tuanya. Ada sedikit sedih di hati Ian karena tangan
Papa-Mama sudah tidak sehalus dulu lagi. Ian bisa ngerasain kulit keriput
di tangan mereka. Berbekal doa dari orang tuanya, Ian merasa siap
menghadapi apa aja hari itu.
Ian masih tertunduk berdoa sambil memegang erat skripsinya. Dia
langsung berdiri saat namanya dipanggil untuk masuk ke ruang sidang.
"Assalamualaikum Wr.Wb.... Selamat pagi, Salam Sejahtera. Nama Saya
Adrian Adriano. Hari ini saya akan mempertanggungjawabkan tugas akhir
saya...."
Ian berada di ruangan sidang itu sekitar satu jam lima belas menit. Semua
pertanyaan bisa dijawabnya dengan lancar, semua isi skripsi udah ada di
otaknya, nggak ada yang bisa bikin ia berhenti di hari itu. Ian on fire, Don't
Stop Me Now-nya Queen terus mengalun penuh semangat di otak Ian.
Semua yang keluar dari mulut Ian adalah kejelasan dari berbagai partikel
yang selama ini dia pelajari dan telah memperkaya dirinya dengan berbagai
macam keajaiban alam semesta yang luar biasa Sekali lagi, semesta pada
hari itu telah menurunkan ilmu pengetahuan ke seorang anak manusia
yang tidak punya kewajiban lain selain mengingatnya melestarikannya,
mengamalkannya, demi ilmu pengetahuan.
Jakarta menunggu sore. "Adrian Adriano...." "A!!!"
"Yes!" Ian bersorak gembira ketika nama dan hasil sidangnya diumumkan.
Saat itu juga Ian melesat cepat sekali ke ruangan dosennya. Bayangan
teman-temannya yang sedang tersenyum kepadanya ikut berkejaran,
berlarian. Ian langsung memeluk dosennya sambil menahan cekat di
tenggorokannya dan mata yang hampir berair. Ian berkata lembut, "Saya...
nggak... akan... pernah... lupa... jasa... Bapak... nggak akan pernah."
Sang dosen kaget setengah mati dipeluk Gajah Bledug Dufan dengan
seragam putih hitam berdasi itu.
"Terima kasih, Pak."
"Selamat ya, Bos." Sang dosen pun tersenyum dan mengulurkan tangannya.
Ian menerima jabat tangan itu keras dengan mata masih berair. Ditatapnya
sang dosen penuh arti.
Lulus juga gue, kata Ian dalam hati.
"Saya bangga sekali sama kamu tadi di ruang sidang. Kamu menguasai
semuanya."
"Terima kasih, Pak...."
"Semua ini kerja keras kamu selama dua bulan, nggak ada kata nyerah di
kamus kamu ya," kata sang dosen sambil tersenyum.
"Itu kan bapak juga yang ngajarin."
"Saya cuma perantara. Kamu sendiri dengan izin dari yang Mahakuasa
berhasil membawa diri kamu sendiri ke situ dan mengambil keputusan
yang tepat"
Ian tertunduk. "Untung juga ada Mas Fajar yang bantu saya di kuisioner.
Hoki banget saya, Pak! Coba kalo nggak ada Mas Fajar sore itu, gawat juga.
Mungkin nggak selesai," Ian berkata senang.
"Ian... Bapak... minta... kamu... jangan... percaya., sama... hoki." Sebelum
meneruskan bicaranya, sang dosen menarik napas dan menatap Ian tajam,
"Mas Fajar ada di situ, sore itu, bukan karena kamu hoki, tapi kerja keras
kamu selama ini yang telah kamu tanam dengan teras tekun dan pantang
menyerah dalam menjalankannya Apa yang kamu kerjakan itu akhirnya
menumpuk dan menunggu untuk dibalas. Ketegaran kamu, ketikan kamu
yang berjam-jam, waktu yang kamu habiskan buat baca, waktu yang kamu
habiskan buat bolak- balik ke mana-mana. Mata kamu yang selalu terlihat
lelah karena kurang tidur, keteguhan kamu, semua biaya yang orang tua
kamu keluarkan, restu orang tua kamu, semuanya nggak pernah sia-sia."
"Semua akhirnya menumpuk dalam keranjang dharma kamu, menumpuk
tinggi, menunggu untuk diberikan ke kamu, dan akhirnya Yang
Mahakuasa memberikannya padamu dengan berbagai cara yang DIA mau.
Salah satunya dengan ketemu Mas Fajar di sore itu. Saya, semenjak kamu
cerita, sudah nggak percaya kalo Mas Fajar adalah satu kebetulan. Mas
Fajar adalah perantara yang dikirim untuk membalas dharma kamu.
Semua usaha kamu selama ini, semua yang telah kamu tanam akhirnya
kamu petik."
Ian terdiam... matanya menatap ke dosennya penuh arti. Sekilas bayangbayang perjuangannya yang bisa bikin stres dan jumpalitan selama dua
bulan ini lewat di matanya. Omongan Pak Sukonto Legowo seperti
kelembutan yang mengalir mengisi hatinya Dosennya benar, nggak ada
yang namanya hoki, tapi kerja keras dengan hati yang nggak kenal nyerah,
teguh, dan, tulus.
"Selamat ya, Ian... sekali lagi, Bapak bangga sama kamu...." "Iya, Pak, terima
kasih...," Ian menatap tajam dosennya. Selamat sore Ian... Bapak masih ada
kelas. Nanti kita bisa ketemu lagi"
"Terima kasih, Pak."
Ian menghambur memeluk Pak Sukonto Legowo sekali lagi... dan langsung
ke kamar mandi menelepon mamanya,
"Ma..., Ian... udah... lulus... terima kasih... doanya... Ian... sayang... Mama...
sayang... Papa..., terima kasih... ya... Ma"
"Ian... sayang... Mama..."
Kalimat itu lalu disusul tangis bahagia dan haru yang sudah tak dapat
ditahannya lagi.
Seperti biasa, Bapak Sukonto Legowo siap mengajar lagi. Ia bawa bukubukunya, melewati lorong kelas yang sudah sering dilewatinya hampir
selama dua puluh tahun. Dinding-dinding yang sama tua dengannya,
koyakan dinding tua yang terkelupas seakan menyapa ramah. Matahari
sore yang bersinar lemah di antara daun-daun tinggi taman kampus ikut
tersenyum ramah.
Matahari seakan juga ikut bercerita kepada daun-daun taman kampus,
kepada gedung kampus, juga kepada buku yang dibawa sang dosen, betapa
selama ini sang dosen telah menjadikan seseorang bisa berjalan dalam
dunia ilmu ke tingkat selanjutnya, membuatkan anak tangga pengetahuan
ke setiap anak manusia yang dibimbingnya. Bagaimanapun sang dosen
telah berbuat banyak dalam melestarikan ilmu pengetahuan, betapa sang
dosen telah banyak menyentuh kehidupan di sekitarnya, dan betapa sedikit
manusia yang mengetahuinya dan menghargainya.
Tinta bagi seorang pelajar lebih suci nilainya daripada darah seorang
martir
(Muhammad SAW)
135
Enam
Rehumanize
...Aku berpikir maka aku ada
"Project Officer... ke semuanya...."
"Project officer ke semuanya... copy."
"It's been a month of hard work, sweat, panic, stress, rage,... but... I love you
all. You've done such a nice job."
"Thank you....""
"Ane minta maaf nih, kalo Ane sering marah-marah, makasih udah
nyediain kuping buat gue. I lorn you M. So much... muaaahhhhh... Thank
you. Abis beres-beres kita semua makan makaaaaan. Tolong di-hooking
restorannya."
"Project Officer out....'" Genta meletakkan HT (handy talkie)nya..
Genta paling suka saat begini, duduk sendirian ditemani rokoknya, melihat
ke sekelilingnya, memainkan name tag yang dia putar-putar, lalu
melemparnya ke udara dan menangkapnya. Melihat partisi -partisi mulai
dicopot, spanduk mulai diturunkan, styrofoam mulai diberesin, lihat
orang-orang berseliweran di depannya, klien yang menyalaminya dan
tersenyum puas.
136
"I love when all the plans come together." Seperti biasa, sambil tersenyum
sendirian Genta mengeluarkan kalimat yang biasa dipakai Hanibal Smith,
pentolan The A Team bila semua rencana membekuk penjahat berakhir
sukses.
Genta masih duduk sendirian di panggung utama pameran komputer
gede-gedean yang dia dan Event Organizemya. jalani.
"Ta... selamet yee...," tiba-tiba tepukan di punggungnya bikin Genta kaget.
"Eh, elo man. Yoi, Jek. Sama-sama, ini bukan kerjaan gue doang, tapi
kerjaan kita bareng-bareng, thank you man. Sekali lagi kita sukses." Genta
langsung memeluk temannya, memberikan tepukan di pungggungnya.
Firman, salah satu dari empat pemilik EO itu duduk di depan panggung
utama bareng Genta
"Semuanya puas, Man," kata Genta seneng banget.
"Yoi... nggak nyangka ya, Ta. Padahal awalnya kita pesimis banget."
"Lo kali yang pesimis. Gue nggak pernah."
"Yoi. Lo emang gila Gue kira pertamanya nggak ada yang mau ikut
pameran komputer pakai nuansa Jungle Adventure gini. Gimana sih lo bisa
ada ide kayak gitu."
"Yah, ide sih datang aja kalo lo lagi bengong. Intinya kan sebenarnya kalo
orang pakai komputer, dia tuh. lagi bertualang ke mana aja, entah lagi ke
Internet atau lagi ngerjain sesuatu. Dia tuh lagi bertualang, mencoba
menciptakan sesuatu yang baru, yang lain sendiri."
"Semua kritik yang dulu bertubi-tubi dateng ke elo sekarang udah nggak
punya arti lagi."
"Enak aja lo! Semuanya masih ada di sini," Genta menunjuk dadanya.
"Semuanya nggak akan ilang, malah nambah kaya otak gue," sambung
Genta.
'Jadi lo selalu serius dong nanggapin kritik, Ta?"
"Bukan soal serius atau nggak serius, kalo kita bisa menganggap kritik itu
bukan suatu serangan, tapi saran, kita pasti akan tambah yakin."
"Maksudnya?"
'Jangan pernah menganggap kritik itu suatu proses kemunduran atau
serangan. Kalo lo dikritik, buat cetak biru di pikiran lo. Kalo kritik itu
adalah pengorbanan dari seseorang yang mungkin telah mengorbankan
rasa nggak enaknya sama kita, entah sebagai seorang teman atau rekan
kerja, semata-mata untuk apa?... hanya untuk membuat diri kita lebih baik.
Itu aja."
Firman terdiam sejenak, merenung. Firman melihat ke sekelilingnya lagi.
"Tapi kenapa bisa hutan, Ta?"
"Biar unik aja, berani mikir nggak biasa."
Berpikir out of the box, Firman membatin sendiri.
"Wooy Tarzan gilaaa, thank you, ya," tiba-tiba Genta teriak ke salah satu
teman yang selama pameran bergantungan ke sana kemari bawa-bawa
kibor komputer di antara pohon-pohon buatan.
Sang Tarzan tersenyum dan mengacungkan jempolnya ke Genta dari
kejauhan.
"Lo emang bodoh ya, Ta. Pakai Tarzan gelantungan segala," kata Firman
tertawa geli.
"Tarzan enggak makan ayam. Ayam teman Tarzan," Genta menirukan
dialognya Benyamin S dalam film Tarzan Kota.
"Hahaha," mereka berdua tertawa bareng.
Beberapa orang lewat di depan mereka sambil membawa kandang besar
berisi macan tutul. Firman geleng-geleng, memperhatikan teman di
sebelahnya ini.
"Klien gimana, Ta?" suara Firman pelan dan serius, dengan tetap terus
memandang lurus ke depan.
Genta hanya mengacungkan jempolnya ke arah Firman.
138
"Pasti takjub semuanya ya, Ta?" Genta mengangguk.
"Minggu-minggu depan ada apa lagi, Man?"
"Ada gathering di Puncak, outing, sama dua kegiatan launching. Mingguminggu depan kita hanya ada empat acara."
"Tambah lagi satu..., tapi akhir Agustus."
"Haah? Lo dapat dari mana lagi?" Firman berteriak senang.
"Tadi waktu penutupan tiba-tiba ada yang nawarin pameran persis kayak
gini, tapi di Bandung."
"Nggak ada yang nolak, Ta?
Genta menggeleng.
"Sponsor?" Firman masih ragu.
"Nggak ada yang nolak!"
"Harga?"
"Idem, tapi nanti paling kita nambah sepuluh persen aja buat transpor.
Mereka setuju."
"Orang gila..," Firman menggeleng tertawa senang sambil menonjok bahu
Genta.
"Ta... gimana bisa sih?"
"Apaan?"
"Ini semua. Lo yakin banget bakal sukses. Kan waktu pertama kali lo
presentasi kita udah ketar-ketir. Abisnya nggak masuk akal banget
kayaknya. Kita pikir, mana ada yang mau?"
"Ya gue juga nggak tau. Tiba-tiba idenya datang aja waktu gue lagi
bengong."
"Trus?"
"Kalo... lo... yakin... sama... sesuatu... lo... taruh... itu... di sini," Genta
meletakkan jari telunjuknya di keningnya, "Abis itu lo kerja keras...
semampu lo?
Firman terdiam, memandang lurus sambil melihat convention center yang
masih sibuk membereskan sesuatu yang ajaib- sesuatu yang baru aja
mereka lakukan.
139
"Berani keluar dari zona nyaman lo, hadapi semua yang ada di depan lo,"
lanjut Genta.
Firman diam lagi. Pikirannya ke mana-mana, merenungkan kata-kata
sahabatnya yang udah dia kenal semenjak kuliah, yang dia sendiri
mengakui kalo Genta itu enggak pernah nyerah, berani mendobrak
semuanya, berani dikritik, berani nggak mapan. Genta masih bengong
sendiri, kangen sama Ian, Arial, Zafran, apalagi Riani.
"Eh Ta, gerombolan Voltus nggak diajak? Ke mana aja mereka? Kangen gue
sama temen-temen ajaib lo." Pertanyaan Firman yang nyambung sama
bengongnya Genta bikin dia kaget
"Gue juga lagi kangen sama mereka. Kan gue udah pernah ngomong ke elo
kalo kita lagi nggak ketemuan. Sebentar lagi juga ketemu."
"Sekarang tanggal 6 Agustus kan?" Genta bertanya ke Firman. "Yo'i...." "Eh
Man, minggu-minggu depan gue mau pergi, jadi lo pegang dulu semuanya
ya, nggak ada yang gede-gede banget kayak gini kan? Tanggal 21 gue balik,
baru kita siapin yang di Bandung."
"Mau ke mana lo, Ta?"
"Gue ada urusan penting. Gantian dong, gue pengen refreshing bentar.
Kewajiban gue bikin what to do sama check list tetep gue selesain. Tapi
selanjutnya lo gantiin gue bentar ya, please?
"Oke Bos. Dari tanggal berapa lo pergi?" Firman mengangguk sambil
"mengacungkan jempolnya.
"Dari tanggal 14 Agustus."
Sekarang 6 Agustus, berarti besok gue harus SMS mereka semua biar siapsiap, Genta berkata sendiri dalam hatinya.
"Heh bengong, ayo berangkat! Udah beres nih, tinggal makan-makan kita"
"Oh iya, mari kita kemon," Genta jadi 80's.
140
Hati Genta gembira sekali malam itu. Acaranya sukses berat dan sebentar
lagi dia akan ketemu sama teman-temannya yang udah bikin dia kangen
setengah mati. Apalagi ketemu Riani. Waktu tiga bulan ini buat Genta
semakin meyakinkan dirinya kalo emang udah saatnya dia harus jujur
sama Riani tentang perasaannya,
*
7 Agustus jam 09.00 pagi.
Selamat pagi semuanya gw kangeeeen bgt sm kalian semua,sumpah! Tgl 14
agt nanti qta ktm di stasiun kereta api senen jam 2 siang, trus kl ada acara
dr 14 - 20 Agustus lo batalin dulu yaa. please... ini yg hrs dibw kl gak ada
minjem ya. kan ada wkt seminggu: Carrier, bajuanget yg bnyk.senter dan
batere .makanan dan snack buat 4 hari... kacamata item.betadine,
obat.sendal sepatu.kl bs mulai hari ini olahraga kecil kecilan, apalagi buat
lan.gitu aja ya. sampai ktm distasiun senen jam 2. Genta yg lg kangen.
Send to many
Sending...
*
Hey Jude, don't make it bad Take a sad song and make it better Remember
to let her into your heart Then you can start to make it better And everytime
you feel the pain... hey Jude.
141
Zafran sedang takjub menikmati Hey Jude-nya The Beatles yang dibawain
bagus banget sama pengamen di Patas AC. Tiba-tiba Disco 2000 dari Pulp
memenuhi pendengarannya. Ada SMS.
"Genta? Kok?. Oh iya...7 Agustus, seminggu lagi ketemu," Zafran bingung
tapi seneng mendapat SMS dari Genta.
Asih Pasti mau jalan-jalan nih. olahraga? Jalan-jalan ke mana ya, Zafran
bingung dan membatin sendiri. Tapi bodo amat ah... gue udah kangen
banget, stasiun kereta Senen jam 2 siang...Ndik kereta dong... kok bukannya
di Gambir?
Lagu Hey Jude masih mengalun. Zafran kangen banget sama temantemannya. Bau khas Patas AC memenuhi penciumannya. Zafran
mencongkel-congkel busa bangku di depannya yang udah mulai robek.
Bayang-bayang wajah teman-temannya memenuhi penglihatannya.
Riani sedang menyelesaikan laporan kerja magangnya selama tiga bulan
ini. Terdengar bunyi SMS khas yang udah lama Riani nggak dengar. Bunyi
SMS yang sengaja Riani pilih buat teman-teman tercintanya tiba-tiba
mengagetkannya.
"Hah...?"
"Ada apa ya?"
Riani melihat kalender, "Oh 7 Agustus... oh iya." New mesagges From: Genta
"Hah dari Genta!!!" Riani berteriak kecil senang sekali, "...Genta... Genta."
Riani membaca SMS dan melonjak kegirangan. Mau ke mana nih kita?
Emang deh Genta... oh Genta..., Riani tersenyum sendiri. Seminggu lagi ya...
kangen, kangen, kangen. Bayang-bayang teman-temannya memenuhi otak
Riani. Kangen banget.
142
Tanggal 14 sampai 20 Agustus. Mau ke mana? Stasiun kereta api? Jauh
dong, ke mana ya? Oh iya, gue bikin trip report aja ya buat tugas magang,
tapi mau ke mana? Baju anget? Pasti ke tempat dingin..., Riani hanya bisa
menduga-duga di antara gembiranya, Ok deh tanggal 14 Agustus jam 2
siang di stasiun Senen. Yang penting pergi dari Jakarta deh... otak gue udah
penat, batin Riani, akhirnya ketemu juga sama dia....
Kampus Ian
"Saya memang udah tahu dari awal, sejak pertama kamu daftar kuliah di
sini lima setengah tahun lalu, saya udah nebak kalau orang kayak kamu
pasti wisudanya lebih dari lima tahun," tuturan serius pegawai kampus
yang sedang membagikan toga membuat Ian kaget. 'Hahaha...."
"Emang dulu Bapak inget saya waktu saya daftar?" Ian ketawa geli. "Siapa
pun inget kamu, Yan. Kamu kan sempat masuk majalah kampus gara-gara
calon mahasiswa lain baru ngambil formulir pendaftaran, kamu udah
pakai pakaian ospek dan bawa karung goni. Mentang-mentang kakak
kamu di sini, lantas nyolong start sendiri. Malu kan kamu?"
Semua yang di situ nengok ke Ian.
"Oh jadi ini legenda kampus yang salah kostum itu?" Lagi-lagi Ian difoto
pake handphone. Rese..., kata Ian dalam hati.
Tiba-tiba Virtual Insanity-nya jamiroquai mengalun dari HP
Ian.
"Hah? Genta?"
Ian kegirangan menerima SMS dari Genta.
143
Asik... ke mana nih? Kereta, senter, betadine, nah lo gue disuruh olahraga
lagi Ah bodo, yang penting ketemu mereka semua, udah kangen banget
gue.
"Adrian A..."
"Iya... saya! Ada toganya?"
"Ini bahannya kamu jahit sendiri aja, kita nggak ada ukuran lebar di perut.
Lagian, masa kita harus ke Dufan dulu sih buat tahu ukuran kamu...."
Gue udah nebak kejadian ini, kata Ian dalam hati.
"Ya udah deh sini," jawab Ian sembari menerima bahan toga yang lebarnya
cukup buat terpal kawinan itu.
Dalam perjalanan turun di lift, Ian membaca lagi SMS Genta, 14 sampe 20
Agustus. "Untung nggak bentrok sama wisuda gue?
Ian berlari turun. Hari ini Ian harus pergi ke teater balada kera di Dufan
karena ada satu kingkong di sana yang badannya pas banget sama badan
Ian.
Dering polyponic Boom Shake the Room dari Jazzy Jeff and Fresh Prince
bikin Arial kaget. Genta SMS. Inbox. Genta.
Oh iya, sekarang kan 7 Agustus, teriak Arial dalam hati.
Sambil masih memegang barbel, Arial membaca SMS Genta, "Yes! Pas
banget deh... Yes... yes..." Arial senang banget, "Ok 14 Agustus... yes... gue tau
banget nih mau ke mana... gue tau banget mau ke mana... siap deh gue...."
*
14 Agustus. Satu lebih tiga puluh lima menit.
Siang itu daerah Senen panas sekali. Di Stasiun Senen, Genta dengan
bawaannya yang superbanyak, menikmati makan siang di salah satu
restoran Padang di situ. Sambil menghabiskan es teh manisnya, Genta
membaca SMS lagi.
144
Arial udah deket.
Ian lagi jalan.
Zafran udah di stasiun.
Riani sebentar lagi sampai.
Genta udah bilang ke mereka semua kalo dia lagi makan di Restoran
Padang. Tiba-tiba sosok Zafran terlihat oleh Genta dengan carriernya yang
gede, baju oranye menyala, celana pendek, dan kacamata eighties ala Erik
Estrada di film CHIPs-membuat Zafran terlihat nyentrik.
'Jupleeeee!!!" Genta berteriak, teriakan yang bikin kaget semua orang.
"..." Zafran masih mematung dengan bercanda bergaya sok cuek standar
artis, dengan wajah seakan tidak peduli. Genta tertawa ngakak. Zafran
yang nyentrik berjalan pelan, mendekati Genta Genta yang tadinya teriak,
hampir muntah ngeliat gaya Zafran. Dengan gaya Zafran itu, otak Genta
pun dipenuhi tulisan "harap maklum ketemu artis".
"Halo, Ta," Zafran cekikikan senang, menyalami Genta, dilanjutkan dengan
genggaman bareng keduanya dan sebuah pelukan.
'Juple... gila ancur lo. Kangen gue sama lo, sama anak-anak...." "Genta!!!"
"Zafran!!!" teriakan Ian dan Riani membuat Genta dan Zafran tengaktengok. "Ian...!" "Riani...!"
Sosok Ian dan Riani penuh senyum berlari kecil memasuki Restoran
Padang. Riani yang rambutnya dikuncir sekenanya, hari itu memakai kaos
putih polos dan celana kargo hijau tentara dengan sandal jepit-cantik dan
cuek. Riani langsung memeluk Genta dan Zafran.
145
"Kangen... kangen... jahat... jahat, kangen banget gue... kangen." Pelukan
Riani membuat Genta terbang tinggi.
Riani.. Riani gue juga kangen banget sama lo, kata Genta dalam hati.
Zafran sampe sesak napas dipeluk Riani.
"Apa kabar banana boat-ku yang baik...," Zafran memeluk
Ian.
"Lo gila semua, bisa gila gue tiga bulan ini," kata Ian sambil memesan
makanan.
Genta memeluk Ian, "Men apa kabar lo men."
"Entar gue ceritain ke lo semua," kata Ian mantap.
"Tadi bareng?" tanya Zafran ke Ian dan Riani.
"Ketemu di depan, di parkiran. Abis gue dipeluk Riani, orang-orang pada
ngeliatin."
"Kan kangen, Ndut!" Riani berujar sambil mencubit pipi Ian yang tembem.
"Riani nggak makan?" tanya Genta
"Udah. Minum aja. Panas banget yah...."
"Zafran nggak makan?" kata Riani sambil menoleh lembut.
"Lagi pesen...."
"Wuahh lwo lwo giwla Iwo... guwe kwangwen bwangwet," Ian dengan mulut
penuh nasi ngomong sambil makan.
'Jangan ngomong sambil makan, Ndut," Riani menyenggol
Ian.
"Udah lama banget gue nggak denger kata-kata itu." Zafran cengar-cengir.
"Hercules Gilaaa...!!!" Zafran teriak-teriak.
Sosok Arial memasuki restoran.
"Arial...!" Riani berdiri dan memeluk badan gede itu.
"Genta... wah lo emang gila," kata Arial sambil memeluk Genta.
"Halo men!" jawab Genta.
146
'Juple!"
"Apa kabar lo men?" tanya Zafran.
"Baik, gue mau cerita banyak nanti." kata Arial sambil duduk dan
menjatuhkan carriernya..
"Masa. gue bisa kangen banget sama Rambo gila ini," cetus Ian polos di
pelukan Arial.
"Gede banget bawaan lo," ujar Zafran sambil memegang carrier Arial.
Arial melirik Genta. Genta langsung memberikan jempolnya. "Siip...."
Arial menatap satu-satu temannya dan berujar, "Eh... oh iya, gue ngajak
seseorang buat ikut kita. Abisnya dia pengen banget ikut."
"Lho mana orangnya?" semuanya penasaran.
Sosok Andrea Corrs berbodi canggih pun memasuki ruangan restoran.
"Si Dinda gue ajak..." (Lho kok bukan Indy?)
"Asiik... dong! gue nggak cewek.sendiri," Riani menyambut Arinda dan
langsung cipika cipiki.
"Halo semuanya... udah lama nggak ketemu ya!"
Hari itu Dinda memakai kaos abu-abu sporty dengan celana pendek kargo
hitam dan sandal jepit.
"Halo Dinda apa kabar?" semua menyapa Dinda.
Tiba giliran Zafran. Zafran masih merasa di Stasiun Senen yang panas itu
tiba-tiba turun hujan salju-dingin dan sejuk. Zafran mengambil sebongkah
salju dan memoleskan ke mukanya, berlari-lari di antara rusa kutub
ditemani matahari yang menembus sela-sela hutan cemara, mencairkan
beberapa salju yang ada di wajah Zafran. Tanpa Zafran sadar, Evergreen
Love Songs melantun melalui suara lembut dan macho Lionel Richie, Hello,
memenuhi otaknya.
147
Hello, is it me you're looking for? I can see it in your eyes, I can see it in your
smile You're all I've ever wanted and my arms are open wide 'Cause you
know just what to say and you know just what to do And I want to tell you so
much, I love you....
Dan, di antara padang salju putih dengan mataharinya yang cerah bersinar
di depan Zafran, serasa ada beruang kutub nyasar yang ngelempar tulang
ayam pop.
"Eh juple bengong aja, lo." Setelah melempar tulang ayam pop, Ian tertawa
sendiri ngeliat Zafran bengong bego.
"Halo Bang Zafran."
"Eh Dinda ikut?"
"Iya...."
Zafran pun melonjak-lonjak sendiri kesenengan."Asik, asik, asik."
Riani tiba-tiba mengeluarkan pertanyaan yang dari tadi udah ditunggu
tunggu, "Kita sebenarnya mau ke mana sih?"
*
Pukul setengah tiga lebih, mereka berenam plus barang bawaan yang mirip
rombongan pecinta alam pun menuju ke kereta yang siap berangkat.
Kereta ekonomi MATARMAJA yang entah sudah berapa tahun melayani
trayek Malang-jakarta pulang pergi ini tampak begitu tua dan kumuh,
dengan kaca-kaca yang sudah pecah. Panasnya Jakarta hari itu menimpa
gerbong, menambah tua tampilan kereta.
"Kenapa namanya MATARMAJA...?" tanya Ian.
"Itu singkatan dari Malang Blitar Madiun Jakarta...," jawab Genta, matanya
terus menelusuri Stasiun Senen yang tidak terlalu ramai.
148
"Kenapa nggak JAMATARMA?" "Apa tuh?"
'Jakarta Madiun Blitar Malang. Tinggal di balik doang."
"Nggak atau ya, Ndut," Riani mencubit Ian dengan pertanyaan bego tadi.
"Tanya aja sama petugas peron," Dinda ikut kasih saran.
Ian yang bener-bener nanya, kaget karena sekali lagi ada yang memotret
dirinya pakai handphone. Semua tertawa geli.
"Penuh nggak ya, Ta?" tanya Riani.
"Kayaknya sih nggak, tapi ini kereta kan transit di mana-mana, jadi nggak
ketahuan. Tapi kayaknya sih enggak. Bulan-bulan ini kan nggak ada libur.
Waktu itu gue juga nggak penuh-penuh amat."
"Kenapa sih nggak naik Argo aja?"
"Kita kan udah pernah ngerasain naik kereta bagus, sekarang rasain juga
dong kereta super ekonomi kayak gini. Petualangan dong, apalagi barengbareng, asik banget," Genta menjawab pertanyaan Zafran.
"Setuju...!"
Dinda yang nggak sadar ikutan teriak setuju, membuat yang lain kaget
sendiri. Di antara kecantikannya yang membuat orang-orang di stasiun
harus melihat Dinda lebih lama. Dinda jadi senyum-senyum sendiri.
"Wah Arial, adik lo udah mulai kena virus kita nih," kata Ian sambil bawa
carrier yang keberatan.
"Yo'i, asal jangan kena virus Juple aja," kata Arial sambil melingkarkan
tangannya di leher Zafran yang ceking.
Zafran ketawa sambil membuka kacamatanya sedikit, melihat nakal ke
arah Dinda dan menaik-naikkan alisnya.
"Hahaha," semuanya ngakak ngeliat kelakuan Zafran.
149
Di dalam hati masing-masing tebersit suatu kegembiraan yang tak
terhingga setelah sekian lama nggak ketemu, nggak bercanda seperti ini
lagi. Mereka memasuki kereta Gerbong saat itu panas sekali. Di sekitar
mereka udah banyak penumpang dengan tampang kepanasan. Mereka
berkipas-kipas. Nenek tua dengan kerudung kotor transparan seadanya,
bapak setengah baya dengan anak kecilnya yang menangis, ibu muda yang
sedang menyusui bayinya, bapak tua dengan safari lusuh dan peci... seribu
wajah yang menyentuh hati mereka.
"Ini tempat duduk kita," kata Genta, "Pas enam orang hadap-hadapan tigatiga. Tas taruh di atas atau di bawah aja."
"Sempit-sempitan gini?" protes Ian.
"Alaaa cuek, yang penting akrab," rayu Zafran.
"Sebenemya ini tempat duduk kan emang buat tiga orang. Bang Ian aja
yang kegedean badan," Dinda udah mulai berani nyela Ian.
Semuanya ketawa.
"Gerbongnya masih kosong kok... nanti kalo sempit pindah aja." Riani
mengelus keningnya yang penuh keringat.
Setelah membereskan barang bawaan, mereka duduk berenam, berhadaphadapan. Riani dan Dinda duduk berhadapan di pojok dekat jendela.
Genta di sebelah Riani berhadapan dengan Arial, dan Zafran di sebelah
Arial berhadapan dengan Ian. Lima menit kemudian kereta pun mulai
bergerak meninggalkan Stasiun Senen. Kereta bergerak perlahan dengan
sesekali mengeluarkan angin dari sambungan gerbongnya. Sedikit angin
yang masuk dari jendela kaca yang lusuh mengurangi beban panas mereka.
"Ta, kapan terakhir kali lo ke sana?"
"Tiga tahun yang lalu, Ple. Bulan Agustus juga."
150
"Kalo bulan Agustus rame banget ya di sana?" tanya Dinda. "Rame sih, tapi
nggak rame banget." "Kenapa Agustus?"
"Kan tiap tujuh belasan ada upacara di puncaknya," Arial menjawab
pertanyaan Dinda.
"Mas Ial kan belum pernah ke sana,"
"Diceritain Genta."
"Berapa meter tingginya, Ta?"
"3676 m dari permukaan-laut...."
"Busyet, tinggi juga ya," Zafran kaget sendiri.
"Tinggi banget..." Riani bengong, "Medannya berat nggak, Ta?"
"Ya, lumayanlah."
"Kuat apa kita? Bawa paus lagi?" Zafran bercanda sambil menendang Ian
pelan di dengkulnya.
"Iya Ta, gue kuat nggak, Ta?" tanya Ian pasrah.
"Nggak tau ya, kayaknya sih nggak. Makanya lo gue suruh lari pagi dulu
seminggu sebelumnya. Lari pagi nggak lo?"
"Lari!"
"Setiap hari? Hebat juga lo!" "Enggak! Sehari doang." "Dasar paus!"
"Bisa deh lo, Yan. Pasti bisa. Gue yakin." kata Arial.
"Pemandangannya keren nggak?" tanya Dinda.
"Cuma penyair yang bisa mengungkapkannya," jawab Genta sambil
melihat ke atas dan membayang indah.
Zafran langsung berdiri, tangannya mulai berputar-putar di udara.
"Pegangin Jupleee!!!" semuanya tiba-tiba inget Zafran enggak pernah bisa
dengar kata penyair.
151
Mereka memegangi Zafran. Tangan Arial yang kekar menahan badanya.
"Hahaha, nanti aja juple! Di sana baru lo bikin puisi," cela Ian.
"Dari dulu gue pengen banget ke sana," kata Arial, matanya membayang
sendiri, "Nggak taunya kita ke sana bareng-bareng, tambah seneng deh
gue."
"Cuma di puncak sana aja yang ada upacara tujuh belasannya?" Riani
bertanya lagi.
"Enggak lah. Kalo kita jeli, hampir di tiap puncak di Indonesia, tiap tujuh
belasan pasti ada yang naik untuk upacara. Pers aja jarang merhatiin,
padahal keren kalo dibuat liputan," Genta berkata pelan.
"Wah bagus tuh buat trip report gue? mata Riani tampak berbinar.
"Gimana ngerekamnya?" Genta bingung.
"Gue udah bawa handycam," jawab Riani senang.
"Kan ada Ian. Ndut nanti jadi kameramen gue yaa...."
"Siiip...!"
"Kalo kita nanti sampai di puncaknya, berarti kita berada di tanah paling
tinggi di Pulau Jawa" Genta menatap tajam ke teman-temannya.
"Oh jadi puncak yang paling tinggi di Jawa."
"Ta..."
"Iya, Yan."
"Nama puncaknya apa, Ta? "Mahameru."
Menjelang sore kereta mulai memasuki daerah Cirebon. Mereka berenam
masih saja bercanda ngobrol segala macam, nggak
152
peduli dengan keadaan kereta. Kerinduan pada diri mereka masing-masing
mengalahkan semuanya.
"Sebentar lagi, mungkin magrib, kita sampai di Cirebon," Genta berujar
sambil melihat keluar.
"Kita sampai di Malang jam berapa, Ta?" tanya Riani.
"Besok siang, antara jam dua belas sampai jam tiga."
"Kok bisa begitu? Bisa nggak jelas gitu sampainya," Ian bingung.
"Kan kereta ini, kereta yang dikalahin? Genta menjawab lagi.
"Maksudnya?"
"Kalo di stasiun ada kereta yang level-nya lebih tinggi mau lewat, kereta ini
harus nunggu, biarpun kereta ini sampai duluan." "Kok gitu?"
"Nggak tau, udah dari dulu kok begitu," jawab Genta. "Lama juga ya...."
"Kalo kita sampainya jam tiga, padahal tadi kita berangkat jam tiga...
berarti sehari dong kita di kereta." "Betul sekali Ibu Riani."
Udara sore yang mulai bersahabat mengalir deras berebut masuk dari
jendela kereta. Genta tengak-tengok sendiri, satu per satu teman-temannya
mulai tertidur, kecapekan bercanda. Tinggal Arial yang masih sadar
melihat ke luar sambil mendengarkan Mobile MP3 nya. Zafran lagi baca
buku Manusia Manusia Cermin.
"Juple... ikut gue yuk."
"Ke mana?"
"Ngerokok bentar...."
"Oke bos...," Zafran langsung setuju, mulutnya memang udah asem.
"Eh Rambo, jaga bunker ya...."
"Siip!" Arial memberikan jempolnya ke Genta dan Zafran. Genta
melangkah hati-hati di antara teman-temannya yang sedang tidur.
153
"Mau ke mana kita, Ta?"
"Ke situ doang."
Genta dan Zafran berjalan melewati sambungan gerbong. Mereka duduk di
undakan pintu gerbong yang berbentuk dua anak tangga kecil. Duduk
membelakangi lorong kereta dan menghadap ke pintu gerbong dengan
jendela yang tinggal bingkainya saja, tak berkaca. Suara pekak sambungan
antargerbong sesekali memenuhi telinga mereka. Genta menyalakan
rokoknya, menarik napas panjang, melihat keluar. Zafran melakukan hal
yang sama. Cahaya lighter menerangi wajahnya.
"Enak juga di sini ya, Ple. Anginnya masuk."
'Jendelanya nggak ada kaca."
Zafran melihat keluar. Sawah, sawah, dan sawah. Sesekali Zafran melihat
petani dan kerbau yang beranjak pulang, diterangi sinar matahari sore
yang mulai melemah. Semuanya berjalan sekilas dan cepat sekali, secepat
kereta Angin sore mengelus wajah mereka berdua.
'Jadi enak ngeliat pemandangan baru gini, daripada ngeliat Jakarta
melulu."
"Yo'i...," Genta masih ngelamun melihat keindahan di depannya. Mereka
berdua memandang lurus ke depan dengan wajah penuh arti, melihat sore
yang bergerak cepat di mata mereka. Sesekali mengisap rokok yang terselip
di antara kedua jari. Setiap laki-laki pasti punya saat seperti ini, melamun
berdua dengan laki-laki lain tanpa ada yang diomongin, mencoba mencari
sesuatu di luar sana dengan pandangan tajam ke depan. Rokok mereka
memendek perlahan.
'Ta...."
"Hmm."
"Masih banyak ya orang di luar?"
154
"Maksudnya, Ple?"
"Iya, lo liat nggak tadi? Deretan desa kecil di pinggir sawah. Lampu-lampu
rumahnya yang mulai nyala. Masih banyak ya orang di luar?"
"Makanya kita jangan di Jakarta mulu."
'Jakarta manusianya udah banyak banget, tapi di sini sama di Jakarta
iramanya beda, Ta."
"Irama apa?" Genta bertanya sambil menoleh ke Zafran yang masih melihat
lurus ke depan.
"Di sini nggak secepat dijakarta dan di sini apa yang mereka lihat seharihari mungkin udah bisa bikin mereka dekat sama suatu kekuatan lain yang
uap hari mengisi mereka, menyinari mereka," Zafran mulai bersyair, Genta
mencoba mencerna- tapi nggak berhasil.
"Maksudnya?"
"Lo inget tentang Goa Plato yang pernah gue ceritain?"
"Inget banget, makanya kita begini, mau keluar dari goa yang menawarkan
nyaman itu," Genta mulai tertarik.
"Gue cerita dikit. Dulu di zamannya Socrates, Socrates adalah orang bijak
yang hanya berjalan-jalan di alun-alun Athena, yang kerjaannya cuma
nanya mulu sama orang-orang di sana. Yang unik dari Socrates adalah dia
seorang filsuf yang nggak pernah nulis satu kalimat pun."
"Oh ya?"
"Salah satu kalimatnya yang terkenal adalah 'Orang yang paling bijaksana
adalah orang yang mengetahui bahwa dirinya tidak tahu.'"
"Makanya dia nanya mulu," Genta mencoba menyimpulkan. Genta makin
tertarik.
"Tapi bukan itu, Ta. Socrates bertanya untuk berdiskusi karena dia nggak
pernah mau bersikap menggurui orang lain.
155
Dia selalu berlagak bodoh, berlagak nggak tau, untuk tau semuanya. Tapi
hebatnya lewat diskusi itu orang-orang menjadi tau kehebatan Socrates.
Bahkan kadang-kadang menyadarkan orang tersebut dengan cara halus,
tidak seperti menggurui. Socrates tidak pernah memandang orang lain
lebih rendah dari dirinya, begitupun dia nggak mau dipandang lebih
rendah orang lain."
"Humble...," (rendah hati) Genta menggumam pelan.
"Tul... jadinya waktu itu setiap orang di Athena mengaguminya karena ia
bertanya ke siapa aja, bahkan kepada seorang budak sekalipun karena
Socrates percaya kalo setiap manusia punya yang namanya akal.
Tingkahnya inilah yang membuat Athena terkaget-kaget Seorang ahli
filsafat yang mau bergaul dengan seorang budak, waktu itu budak tidak
dianggap manusia."
"Mungkin gini, Ple..., kayaknya mereka terkagum-kagum sama Socrates
gara-gara dia nggak pernah memandang manusia lain lebih rendah. Pasti
di antara mereka ada yang tersentuh harinya waktu ngeliat Socrates mau
ngobrol dan bertanya-tanya ke budak. Di balik segala tingkatan level
manusia waktu itu, pasti manusia punya hati nurani yang bilang sendiri
'begitulah seharusnya manusia...'" Genta berkesimpulan sendiri. "Betul,
Ta. Socrates selalu bertindak atas nuraninya dia pernah bilang bahwa
orang yang mengetahui apa yang baik akan selalu berbuat baik." "Trus,
trus?" Genta terbawa ke dunianya Zafran.
"Trus ada Plato."
"Kalo nggak salah Plato kan muridnya Socrates ya?"
"Betul sekali Bapak Genta. Nah Plato itulah yang banyak menulis tentang
gurunya karena Socrates emang males nulis kali ya. Kerjaannya kan nanya
mulu, kayak tamu jauh."
"Hehehe...," keduanya tertawa kecil.
156
Nah dalam salah satu tulisannya, Republic, Plato menulis tentang goa tadi.
Kalo lebih jelasnya kayak gini, sebenarnya orang-orang yang berada di
dalam goa itu duduk menghadap ke arah dinding goa dengan cahaya api
unggun di depan mereka- dengan dunia luar berada di belakang mereka.
Sementara di luar goa, segala sesuatu terjadi di belakang mereka dan
sedihnya mereka hanya melihatnya lewat pantulan yang ada di dinding goa
yang ada di depan mereka. Mereka hanya melihat bayang-bayang semesta
aja. Mereka pun tenggelam dalam bayang-bayang itu, mencoba mencari
tahu apa dan membicarakannya sampai mereka menyimpulkan bahwa
hanya bayang-bayang itu aja yang ada."
"Oh...," Genta berkata pelan.
Zafran meneruskan, "Suatu hari ada satu orang yang akhirnya keluar dari
goa itu dan menemukan bahwa ternyata di luar sana banyak keindahan
sejati yang menunggu mereka di dunia nyata, tanah, air, sungai-sungai,
dan kehidupan yang lebih indah. Lalu orang yang sudah keluar goa itu
memberi tahu mereka tentang keindahan di luar sana dan mengajak
mereka keluar. Sedihnya, orang yang masih di dalam goa itu nggak ada
yang percaya. Mereka masih percaya bahwa bayangan yang mereka lihat di
dinding goa adalah yang aslinya."
"Trus, jadinya gimana?" Genta bertanya, tangannya mencoba mematikan
rokoknya.
"Orang yang mengajak keluar dari goa itu akhirnya dibunuh oleh mereka."
"Haaa?" Genta jadi kaget
"Katanya sih mitos yang Plato bikin tentang goa itu merupakan cerminan
dari kekecewaanya." "Kenapa, Ple?"
"Plato menganggap bahwa orang-orang yang di goa itu adalah Athena yang
telah membunuh Socrates, dan orang yang berani keluar dari goa itu
adalah Socrates."
157
"Lho emangnya Socrates matinya dibunuh?"
"Dihukum mati oleh pemerintah Athena karena pemikiran dan gagasangagasan filosofisnya dianggap gila dan membahayakan negara."
"Tragis juga. Trus, apa hubungannya dengan irama-irama tadi? Antara
desa sama Jakarta, juga soal kekuatan yang mengisi mereka tiap hari di
desa?"
"Kita balik lagi ke Socrates, Bapak Genta. Pada zaman Socrates ada
sekumpulan orang bijak yang dinamakan sophis."
"Trus...?"
"Sophis ini sangat berbeda dengan Socrates yang terus mencari tahu
kebenaran dengan kerendahan hatinya, tanpa mengharapkan apa-apa.
Sophis mempunyai arti kata berpengetahuan, pandai, dan bijaksana. Tapi,
kaum sophis mengajarkan kebijaksanaan dengan meminta imbalan atau
uang."
"Oh matre..., Beda banget dong sama Socrates."
"Tul...."
Zafran meneruskan, "Kalo gue sih bisa bilang orang-orang di desa ini
adalah Socrates-Socrates yang masih punya kerendahan hati, mencintai
alamnya, hidup dengan kekuatan mahabesar setiap harinya. Udah bukan
barang baru lagi kalo orang desa lebih ramah daripada orang kota. 'Tul
nggak, Ta?"
"Bener juga lo, dan mungkin orang kota adalah orang yang tinggal di goa
dan hidup dengan bayang-bayang sendiri, yang tiap hari berkutat dengan
itu-itu aja, ngejar materi mulu."
"Kalo gue sih menganggap orang kota adalah para sophis yang tinggal di
goanya Plato."
"Lebih parah lagi lo... hahaha. Tapi nggak semuanya kan?"
"Iyalah... sombong amat gue mandang orang lain lebih nggak tau dari gue.
Ini kan cuma cerita-cerita doang, lagi coba-coba belajar filsafat."
158
"Tapi lo ada benernya juga, Ple!"
"Orang kota yang kita omongin itu siapa ya, Ta?"
"Nggak tau...."
"Orang desanya?"
"Nggak tau juga."
"Tapi kayaknya kalo disimpulin begini, benerin gue kalo salah. Zaman
sekarang banyak orang yang hidup tapi nggak bener-bener 'hidup' kata
Genta sambil mengangkat dua tangannya dan jarinya memberi tanda
kutip pada kata hidup.
"Tapi siapa orang yang nggak bener-bener 'hidup' itu ya?" Zafran bertanya.
Mereka bengong sejenak dan tersenyum sambil memandang satu sama
lain.
"Manusia!"
"Ya kita!"
"Hahaha...," keduanya ngakak. "Orang kotanya siapa, Ple?" "Ya kita...!"
"Orang desanya?" "Kita juga."
"Apa sih yang lagi kita omongin?" Genta menyenggol bahu Zafran.
"Kesimpulannya kan kita jadi tolol sendiri." "Kesimpulannya, kita nggak tau
apa yang barusan kita omongin." "Iya ya, jadi nggak jelas nggak tau, bego
lo, Ple!" "lo juga...."
"Nggak tau ah, dark. Hahaha," Genta tertawa kecil.
"Tapi kan, kata Socrates orang yang paling bijaksana adalah orang yang
mengetahui bahwa dirinya tidak tahu," Zafran berkata pelan.
Mereka berdua terdiam. Keramaian kota kecil dalam bayangan senja
memenuhi pandangan mereka berdua.
159
"Eh udah masuk kota nih, bentar lagi Cirebon. Balik ke tempat duduk yuk,
nanti di stasiun banyak yang naik." Mereka pun kembali ke tempat duduk
semula "Abis dari mana?" Dinda bertanya. "Ngerokok di pintu gerbong,"
jawab Zafran. "Oh...."
"Saya perkenalkan guru filsafat saya, Socrates yang bijak," Genta menunjuk
Zafran yang senyum-senyum.
"Terima kasih Plato, muridku yang baik"
"Tuh kan, makanya jangan kebawa-bawa ke dunianya si Juple," Arial
bingung.
"Abis ngomongin apa?" Riani pengen tau.
"Ngomongin apa tadi, Ple?"
"Nggak tau...!" Zafran langsung ketawa ngakak.
"Ye...pinter jangan sendiri-sendiri dong? Ian sinis.
Kereta berhenti di Stasiun Cirebon. Kesibukan-kesibukan kecil mulai
terjadi.
"Ple ceritain, Ple."
Zafran tak tega untuk tak bercerita tentang obrolan tadi. 'Jadi
kesimpulannya, mulai sekarang gue jadi gurunya Genta dan Genta jadi
murid gue. kayak Socrates sama Plato."
"Tapi dua-duanya kan beda. Gue juga pernah baca kalo secara fisik Socrates
itu orangnya sangat tidak menarik dan buruk rupa, sementara Plato
ganteng abiss," kata Ian.
"Haa...??!!" Zafran yang merasa ganteng, mulai terganggu ego
keartisannya.
"Ya udah gue jadi Plato aja...biar si Genta jadi Socrates."
"Terlalu naif kalo kita menganggap semua orang kota itu terlalu rutin,
terlalu biasa-biasa aja, hidup di dalam goa sendiri, hidup dalam bayang-
bayang aja. Kan mereka bekerja keras tiap hari buat keluarganya," Riani
berkata pelan.
160
"Betul sekali...," Dinda mendukung Riani.
"Ada juga kan orang kota yang males," Genta angkat bicara.
"Ada," sahut Riani cepat.
"Orang desa juga kan kerja keras," Arial ikutan ngomong.
"Ada juga orang desa yang males."
"Betul juga," Ian setuju dengan Arial.
"Tapi kita nggak boleh ngomongin karakter individu. Kalo udah begitu
masalahnya selesai. Jadi apa-apa tergantung orangnya," Arial menekankan.
"Betul juga ya," Zafran bengong sendiri.
"Tapi emang kehidupan orang desa sama orang kota beda kali ya?" Genta
bingung.
"Bisa jadi. Trus gimana dong kesimpulannya?" Zafran bertanya sambil
memandang lurus ke depan.
"Nggak tau...."
"Nggak tau...."
Teman-temannya menggeleng.
"Rese lo, bikin kita jadi nggak mikir, Ple." Arial tersenyum kecil.
Teman-teman lain, kecuali Zafran, setuju sama Arial.
"Socrates juga pernah ngomong, sebenarnya manusia itu adalah hewan
yang berpikir. Kalo kita nggak mau mikir, kita namanya apa?" Zafran
tertawa kecil.
"Cukup! Rese...!" berbarengan semua ngelempar kacang ke Zafran.
"Ah nggak tau ah...."
"Nggak tau...."
"Nggak tau, terserah lo lah, Ple."
"Tapi dari nggak tau kan tadi kata Socrates?" Arial berkata pelan.
Zafran langsung menjawab, "Orang yang paling bijaksana adalah orang
yang mengetahui bahwa dirinya tidak tahu."
161
Temen-temannya walaupun nggak mau, masih aja bercokol di dunia Zafran.
Tiba-tiba Zafran meletakkan telunjuk di keningnya... dan mendesis pelan.
"Cogito Ergo Sum."
"Apa tuh, Ple?" Riani mengerenyitkan keningnya. "Aku berpikir maka aku
ada."
Semua terdiam dan bengong, walaupun mereka beneran nggak mau, toh
kenyatannya tak beranjak juga dari dunia Zafran.
Tiba-tiba Zafran teriak, "Yess... emang gue guru yang baik."
Semuanya senyum-senyum sendiri. Zafran berargumen lagi, "Satu yang
pasti, Socrates itu berbuat segalanya tulus demi kebaikan manusia. Kalo di
dalam hatinya, dia percaya bahwa manusia itu punya nurani yang nggak
pernah bohong. Ini warisan terbesarnya. Socrates sangat percaya kalo hati
nurani yang selalu tau mana yang benar dan mana yang salah. Simpelnya,
pencuri, perampok, dan orang jahat ngerasa dalam hatinya kalo yang dia
lakukan itu salah. Socrates pun mati dalam menegakkan hati nuraninya.
Sewaktu dia disuruh memilih antara minum racun sampai mati atau
mengakui bahwa pemikirannya salah dan diusir dari Athena, dia memilih
minum racun demi Athena dan demi hati nuraninya."
"Hebat juga dia," Riani berujar sendiri.
"Kayak Mel Gibson di Braveheart," Ian tiba-tiba ngomong.
"Yo'i, The Great William Wallace," Genta menambahkan.
"Joan of Arc," Dinda menambahkan.
"Jean van Jean... Les Miserable," Arial pun ikutan.
"Kalo hati kita bersih dan selalu melakukan hal yang baik, kita akan
bahagia," Arial mencoba menyimpulkan."
"Maksudnya?" Ian masih bingung.
Zafran menjelaskan, "Socrates itu percaya pada kebenaran dan kebaikan,
dan di lubuk hati seseorang pasti kebaikan itu ada, walaupun dia berbuat
salah dengan segala macam alasan duniawi
162
yang bisa membenarkan dia... jauh di dalam lubuk hatinya dia tau kalau
dia salah dan orang yang nggak baik pasti nggak bahagia."
Arial mencoba menambahkan, 'Jadi, jangan terus-terusan ngelakuin
sesuatu yang salah karena kita nggak akan bisa bahagia. Diri kita sendiri
secara alami akan menolak kebahagiaan itu karena hati nurani kita akan
selalu tau kalo kita salah."
"Orang yang bener-bener hidup untuk kebaikan memang hidupnya akan
selalu dikenang oleh orang lain," Ian mendesis pelan.
Arial ngomong sendiri lagi, "Every man dies. Not every man really lives.
Siapa tuh? "
"Mel Gibson, Braveheart."
Kereta berjalan perlahan meninggalkan Cirebon. Zafran memandang
keluar jendela kereta. Di hari yang hampir malam itu langit membiru
hitam, bulan terlalu cepat muncul. Di hamparan sawah yang mulai
menghitam, Zafran melihat surau kecil, beberapa orang memakai sarung,
peci, dan kemeja putih berjalan di antara pematang remang-remang
menuju surau kecil itu. Lampu di surau itu memberi cahaya seadanya,
membuat surau terlihat bersinar sendirian di antara hamparan sawah yang
mulai menggelap. Suara adzan magrib pun terdengar sayup-sayup di
telinga Zafran-tanpa disadarinya, ia menarik napas panjang. Matanya
langsung terpejam. Ada sesuatu mengelus hatinya.
*
Kereta mulai melaju cepat meninggalkan Cirebon. Sawah dan Gunung
Ciremai di kejauhan melambai lembut Malam itu sama seperti malam dan
tahun-tahun sebelumnya, masih di atas rel yang sama, setia menemani
sang kereta.
Di antara mereka berenam, ada dua makhluk besar yang dari tadi
menahan segala luapan emosinya untuk bercerita,
163
sesuatu yang fantastis, yang ingin mereka bagi, kedua makhluk itu Ian dan
Arial. Belum ada yang tau kalo Ian udah lulus. Semula, di antara mereka
berenam memang cuma Ian dan Arinda yang belum lulus. Juga tentang
Indy. Hanya Arinda yang tahu.
"Aduh... jatuh deh!" Ian membuka dompet, dengan sengaja dan bandel
menjatuhkan selembar kertas yang terlipat kecil.
'Juple, tolong ambilin!" Ian coba bersandiwara.
"Apaan nih? Rumus Indomie lagi ya?" Zafran cepat mengambil kertas yang
jatuh dari dompet Ian.
'Jangan dibuka!" Ian bersandiwara, pura-pura panik.
Zafran tambah penasaran dan membuka kertas itu cepet-cepet
'Jangan dibaca!" Ian menambah porsi aktingnya. Dalam hati dia seneng
banget bakal ngasih tahu kabar ini ke temen-temennya.
Zafran membaca isi kertas itu dalam hati.
Formulir pendaftaran Wisuda Sarjana LXXIV
Nama: Adrian Adriano
Zafran membacanya tanpa ekspresi, "Oh, bon belanja VCD bokep... nih gue
kembaliin."
Zafran melipat kertas itu dan menyerahkannnya kembali ke Ian.
"Eh... babi got... lo masih belanja VCD aja, kapan lo mau lulus?" Arial
menyenggol Ian yang kebingungan.
Ian kacau! Ia buka kertasnya dan memeriksa lagi.
Gue nggak pernah beli VCD bokep pake bon! Bener kok formulir
pendaftaran wisuda gue, Ian membatin dalam hati.
Temen-temennya merasa ada yang aneh sama kapur tulis SD dan kapal
tanker ini. Mereka tengak-tengok bingung. Sebelum mereka tahu lebih
lanjut, Zafran udah meloncat dari tempat duduknya dan memeluk Ian.
164
"Brengsek-bangsat lo... selamet yee... gila lo... lulus juga."
Zafran merebut kertas dari tangan Ian dan melemparkannya ke temantemannya. Semua membaca formulir pendaftaran wisuda Ian."
"Ian! Ian udah lulus...!"
"Sebentar lagi wisuda!"
"Ian!!! Selamat ya gendut sayang."
Semua memberi selamat ke Ian. Gerbong pun jadi rame gara-gara teriakan
makhluk-makhkluk ajaib ini.
Seorang penumpang bertanya ke Zafran, "Mas ada yang ulang tahun ya?"
"Nggak, Pak! Itu ada yang baru diterima kerja jadi pesut di Ancol," kata
Zafran sambil menunjuk Ian.
Penumpang itu pun percaya. Petugas kereta yang lagi lewat geleng-geleng
kepala.
"Teletubbies emang bikin heboh di mana-mana."
"Eh, gila hebat lo, Yan! Ditinggal tiga bulan, dateng-dateng udah lulus aja."
Ian masih lemes bercampur bahagia. Badannya abis dicubit, dipeluk, juga
disiram aqua gelas, dilempari kacang dan biskuit, diolesi mentega, dikasih
meses, dibolak-balik, pipinya digambar-gambarin, dibungkus kertas gadogado dan dikasih karet dua karena Ian nggak pedes. Ian lalu diarak keliling
gerbong bolak-balik, semua penumpang di gerbong itu pun ngasih selamat,
sekalian meriksa perut Ian... bener nggak Teletubbies ada TV di perutnya.
Banyak yang nggak percaya kalo Teletubies yang bisanya cuma main sama
tidur, ternyata bisa juga jadi. sarjana.
"Thank you... thank you,... harusnya gue ngasih tau lewat SMS aja ya kalo
begini jadinya," Ian lemes.
"Empat bab lo babat abis dalam dua bulan... hebat lo, Yan!" Genta kagum.
165
"Cerita dong, Yan," mata Riani berbinar-binar.
Ian lalu lancar bercerita tentang jumpalitannya selama dua bulan. Ian yang
pantang menyerah, dua kali penolakan kuisioner-nya, menakjubkannya
Sukonto Legowo, Mas Fajar, keriputnya i tangan Papa-Mama, sidangnya....
Pokoknya semua Ian ceritakan. Bukan hanya temen-temennya, semua
orang di gerbong juga mendengarkan Ian. Ian jadi seperti seorang
selebritas di acara TV yang sedang konferensi pers menggugat cerai istrinya
yang selingkuh. Ian pun menutup konferensi persnya, "Saya nggak pernah
menyangka akan begini jadinya..."
Semua penumpang gerbong terharu dan kembali ke tempat duduk masingmasing. Kereta masih berjalan cepat menembus malam.
"Sekarang giliran gue? Arial tiba-tiba ngomong.
Semua penumpang berdiri dan berlarian berebutan mau dengerin lagi! Arial
langsung membuka bajunya, berdiri tegap membelakangi seluruh
penumpang satu gerbong, mengikat kepalanya pakai ikat kepala merah,
mengambil cat hitam, dan mencorat-coret pipinya, persis Rambo yang, mau
balas dendam. Semua penumpang pun kembali ke tempat duduk, takut
sama Rambo. Mereka nggak jadi nguping.
"Ada apa nih Hercules generik?" teman yang lain bertanya-tanya sendiri.
Arinda tersenyum. Dia udah tahu apa yang hendak disampaikan
abangnya. Arial menarik napas sebentar. Dan....
Arial mulai bercerita tentang Indy, wanita yang telah merebut hatinya, Indy
yang tampangnya biasa aja tapi enak dilihat, dan nggak bikin bosen. Indy
yang selalu mengisi hari-hari Arial selama ini. Lalu tentang perjalanan ke
vilanya di Puncak yang penuh kehangatan serta bagaimana Arial nggak
mau ngelepasin genggaman di tangan lembut Indy. Ya, semua tentang Indy
166
yang selalu bikin Arial tertawa. Juga, soal Kasih-nya Ermy Kulit yang
mereka putar berulang-ulang selama perjalanan pulang. Pokoknya Indy
udah bikin Arial mendobrak semua peraturan. Indy yang ini..., yang itu...,
yang selama tiga bulan terakhir sangat berarti bagi Arial. Arial pun
mencurahkan harinya kepada teman-temannya sehingga menjadikan
mereka bengong dan terharu, serta sesekali mengeluarkan kata kata
"Oh...."
"Ciee... Arial."
"Yes!"
"Gile...."
"Cinta."
"Emang deh perempuan...." "Love,"
Arial mengakhiri ceritanya dengan menarik napas panjang penuh arti dan
berkata pelan, "Sampai hari ini, gue dan dia akhirnya sepakat untuk nggak
ngelanjutin hubungan kita dulu. Coba sendiri lagi dulu, kita udah coba
berbagai cara, tapi ujung-ujungnya pasti berantem dan gue selalu bikin dia
nangis. Gue nggak mau bikin orang yang gue sayang nangis melulu.
Akhirnya, kita sepakat untuk sendirian dulu."
"Tapi nggak putus kan?" Riani bertanya sedih, matanya menatap Arial
dalam.
"Gue nggak tau apa namanya."
"Lo pergi sekarang, lo bilang ke dia?" Genta bertanya ke Arial.
"Tadi siang kan Indy-nya nganterin ke Stasiun Senen, tapi dia langsung
pulang lagi. Dia sebenernya masih sayang kamu tuh Mas. Aku kan tau dari
tingkahnya, aku kan cewek," Arinda tiba-tiba ngomong.
"Mudah-mudahan...," Arial berharap kosong.
"Baru dua bulan, wajarlah berantem," Ian yang jarang pacaran sok tau.
167
"Salah banget lo, Yan. Cinta nggak kenal waktu," Zafran nyambung.
"Trus?" Riani masih bertanya lembut.
"Gue nya salah ya ke dia?" tanya Arial sambil melihat ke teman-temannya.
"Kalo denger dari cerita lo tadi sih iya, menurut gue lo berlebihan.
Seharusnya lo nggak terlalu ngekang dia. Biar aja dia bebas," Riani
menjawab pertanyaan Arial.
Arinda tiba-tiba menyandarkan kepalanya ke bahu abangnya, menatap
Arial penuh arti. Arial melihat Dinda.
"Dinda juga bilang gitu sama kayak yang Riani omongin. Gue terlalu
menjaganya, terlalu takut kehilangan dia."
"Posesif ya namanya?" Ian mendesis pelan.
"Sok tau lo," Zafran nyenggol Ian.
"Sekarang gue takut banget kehilangan dia. Gue sayang banget sama Indy."
Ian heran sama Arial yang perkasa dan cocok buat jadi GI JOE ini, akhirnya
takluk juga di tangan wanita.
"Kalo menurut gue sih lo sama dia lagi coba kenal satu sama lain aja, lagi
saling belajar. Kalo emang dua-duanya sayang, pasti balik lagi," Genta
mencoba netral.
"Tapi dia nggak suka banget sama gue yang terlalu protektif. Padahal gue
nggak bermaksud begitu."
"Lo harusnya ngomong begitu ke dia," Riani menyarankan
lagi.
"Udah..., tapi dianya malah nangis."
'Jangan pernah ngomong jernih sama wanita kalo dia lagi nangis," Riani
berujar.
"Kalo cewek lagi nangis, biarin aja dulu karena dia nggak akan pernah
dengerin lo, kalo lagi nangis. Kalo lagi nangis, cewek sebenarnya mau
nyatain sesuatu, tapi dia nggak tau gimana,
168
jadinya nangis. Maka, jangan ngomong sama dia, diemin aja dulu. Lo mau
bilang dia juga mau bilang, nanti nggak ketemu."
"Tul...," Arinda setuju sama Riani.
Zafran bengong dan membatin, Oh Arinda pernah nangis? Siapa yang
pernah bikin Arinda nangis? Tega banget tuh orang... mahkluk secantik ini
dibikin nangis.
"Udah Rambo, tahan dulu aja. Kalo emang jodoh nggak akan ke mana
Terus aja usaha. Oke?" Genta menepuk bahu Arial.
"Kalo dari cerita lo sih dia masih sayang sama lo," Ian tambah
menyemangati.
"Tadi barusan sih dia SMS...," wajah Arial berubah seneng.
"Nah tuh kan. Semakin jauh, semakin cinta," Ian melempar kacang ke Arial.
Zafran berubah serius, berkata pelan sambil telapak tangannya dia
renggangkan, jari-jarinya mengepal. "Love is like a sand in the hand... the
more you keep it, the more you loose it."
Semua tersenyum melihat Zafran. Zafran tambah semangat. "Nih Rambo
ada lagi nih... makhluk bernama pria dan wanita itu emang harus dicintai
dan saling mencintai.
Woman was created from the ribs of a man Not from his head to be above
him Nor from his feet to be walk upon him But from his side to be equal
Near to his arm to be protected and close to his heart to be loved
"tul nggak?"
Zafran menaik-naikan alisnya sok tahu. Semuanya tersenyum lagi ke
Zafran.
"Ah udah ah... cinta mulu," Ian berkata agak keras sambil menyenggol
Zafran.
169
"Mendingan sekarang kita main gaple!" "SETUJU!"
Kesedihan sesaat Arial pun hilang, kembali mereka mengarungi canda dan
tawa, kerinduan yang menumpuk selama tiga bulan ditumpahkan semua
malam itu.
Setengah malam telah lewat. Kereta tua yang tak kenal lelah itu mulai
menyapa kota-kota di Jawa Tengah, melaju cepat di atas tanah Jawa di
malam hari. Jalan desa dan jalan kota-kota tua yang damai dan sepi.
Penerangan neon yang seadanya di antara lintasan kereta yang mereka
lewati, memenuhi pandangan mereka. Lengangnya tanah Jawa dan rumahrumah bergaya Jawa lama di tengah malam menyentuh hati mereka. Satu
per satu mata mereka pun lelah terpejam.
Ian sudah tertidur pulas, bermimpi tentang wisudanya. Arial memejamkan
matanya, The Moment dari Kenny G mengalun lembut dari MP3-nya.
Pikirannya menerawang jauh ke Indy.
Mata Genta terpejam, tapi pikirannya terbang ke langit malam, berkhayal
melihat Riani di pelukannya, mengagumi rasi bintang Riani yang bersinar
terang indah.
Riani terpejam lelah. Hari itu dia bahagia sekali karena semua kangennya
terobati. Hari itu dia senang sekali bisa kembali bercanda dengan teman-
temannya, bisa bertemu dan bercanda lagi sama seseorang yang selama ini
telah membuatnya bermimpi indah membawanya ke langit malam, melihat
rasi bintang.
Arinda, biarpun terpejam, sesuatu mengusik hatinya. Ada seseorang yang
selama ini ternyata telah memberikan perasaan lain di hatinya. Ia pun ingin
sekali mengenalnya lebih dekat di hari-hari selanjutnya. Perasaanya
mengatakan sesuatu yang lain, melukis sesuatu di hatinya.
170
Zafran mengeluarkan sebuah buku tua dan larut dalam kata-kata indah.
Sambil sesekali melihat Arinda yang tertidur di bahu Arial, Zafran senang
sekali malam itu bisa mengarungi kata-kata indah Walt Whitman.
Wanita memang paling cantik kalau sedang tertidur, terpejam, batin Zafran.
Zafran pun mulai berlayar dengan kata-kata puitis dalam Leaves of Grass.
Bayangan dan senyum Arinda memenuhi kalimat-kalimat indah dalam
molekul-molekul luar biasa kata per kata, yang didendangkan puitis dalam
rangkaian kata-kata Leaves of Grass. Berima dengan indah dengan suara
angin malam dan kereta.
...I bequeath myself to the dirt to grow from the grass I love,
If you want me again, look for me under your boot-soles,
You will hardly know who I am or what I mean,
But I shall be good health to you nevertheless,
And filter and fibre your blood
Failing to fetch me at first, keep encouraged,
Missing me one place search another,
I stop somewhere waiting f or you.
(Song of Myself, Walt Whitman)
Stasiun Lempuyangan, Jogjakarta. Setengah tiga malam
Suara-suara penjual nasi pecel, telur asin, dan minuman membangunkan
mereka. Ian mengucek-ngucek matanya, mengambil botol air minumnya
dan tidur lagi. Arial terbangun sebentar dan bengong.
"Udah sampai mana, Ta?" tanya Riani lembut sambil membereskan
rambutnya dan mengikatnya.
"Jogja," jawab Genta yang lalu membereskan duduknya.
171
"Pegel juga ya duduk melulu." Dinda berdiri sebentar, matanya memicing
silau kena cahaya lampu neon kereta di atasnya.
"Ada toilet nggak di sini?" Riani bertanya ke Genta.
"Di stasiun aja deh. Lo tau kan toilet di kereta kayak gini paling buat lakilaki doang"
"Oh, lama nggak keretanya berhenti? Kita turun aja, kebelet nih," Riani
meringis.
"Kayaknya sih lama, dari tadi belum ada kereta lain yang lewat, kereta ini
kan nunggu yang lain lewat dulu."
"Ya udah turun yuk," Riani beranjak berdiri, melewati sela-sela kaki
temannya.
"Yuk...," Genta dan Dinda ikutan berdiri.
Zafran terbangun, matanya melihat sekilas bayangan temannya yang mau
turun ke stasiun.
"Bang Zafran mau ikut ke toilet?" Dinda tersenyum manis sekali ke Zafran.
Zafran langsung berdiri, semangat, ngantuknya ilang.
"Rambo mau ikut?" tanya Riani.
"Nanti yang jagain tas siapa? Lagian tadi gue udah kencing. Beliin pennen
pedes dong kalo ada," Arial yang lagi bengong berkata males.
"Oke Bos."
Genta, Riani, Zafran, dan Dinda turun dari kereta, menginjakkan kaki di
ubin putih yang mulai kekuningan di stasiun Lempuyangan Jogjakarta.
Mereka berjalan ke toilet stasiun yang ada di antara para pedagang yang
masih mencari rezeki di malam yang terasa lain di hati mereka berempat.
Malam dingin di suatu tempat yang jauh sekali dari rumah. Langkahlangkah pun bercerita tentang hati mereka yang sedang tersentuh
kerinduan.
Selepas dari toilet, mereka berempat duduk di bangku stasiun-hawa agak
dingin menimpa wajah mereka. Di kejauhan,
172
Lampu-lampu kota Jogjakarta, jalan utama di depan stasiun yang lenganghanya ditunggui oleh satu-dua becak yang diam kosong berbaris di bawah
pohon besar-diterangi lampu jalan yang kuning temaram.
"Kayaknya gue dulu pernah ke Jogja, tapi nggak kaya gini stasiunnya, lebih
bagus, lebih gede," Riani tiba-tiba ngomong.
"Emang bukan," jawab Genta.
"Matarmaja nggak lewat stasiun utama Jogja."
"Stasiun ini namanya Lempuyangan, stasiun kecilnya Jogja. Kalo di Jakarta
kayak Stasiun Senen atau Jatinegara" Genta menjelaskan.
"Oh pantes...."
"Hawanya lain ya kalo jauh dari rumah," Zafran berkata pelan sambil
memandang jam tua di tembok stasiun yang mulai pudar termakan usia.
"Iya, kayaknya jauh banget," Dinda membenarkan Zafran. "Bang Zafran
mau permen pedes?"
Zafran tersenyum dan mengambil permen dari tangan Dinda, walau cuma
dua detik, saat itu pertama kalinya Zafran menyentuh tangan Dinda
"Nak, nasi pecel, ayam telur, Nak. Endok asin, ndok asin, hangat hangat."
Seorang ibu tua dengan pakaian khas Jawa dan kain batik lusuh,
mengusung gendongan makanannya, menawarkan dagangannya ke Riani.
"Ada yang mau nasi?" tawar Riani.
"Boleh, gue mau. Laper juga sih," Zafran mengiyakan.
"Semuanya mau?"
Genta dan Dinda mengangguk.
"Berapaan Bu, kalo pake ayam?" tanya Dinda.
"Dua setengah," jawab ibu itu dengan logat jawa yang kental.
"Hangat?" tanya Dinda lagi.
173
"Iya masih hangat"
"Ya udah, dibuat enam ya Bu'e," Riani berkata lembut
"Alhamdulillah, terima kasih Gusti Pangeran."
Pendengaran mereka bergerak dalam diam. Keempat anak manusia itu
serasa ditusuk hatinya Rambut si ibu yang mulai memutih tampak
berjatuhan di sela-sela keringatnya Usianya mungkin sudah enam puluhan,
baju kebaya ungunya tampak lusuh sekali, kulitnya kering hitam legam
pekerja. Kain batiknya tampak kotor. Di malam sedingin itu, si ibu hanya
bertelanjang kaki.
Sambil melihat sang ibu yang sedang menyiapkan nasi, Dinda bertanyatanya dengan hatinya, Ya ampun... ibu setua ini, malam-malam masih
mencari rezeki, ke mana anaknya? Dinda tambah tercekat melihat tangan
hitam dan kurus itu menyiapkan nasi.
Riani berdiri terdiam, kakinya terasa kaku, hatinya yang lembut bergejolak,
tangannya merinding. Kalimat sang ibu tadi membuat hatinya menggigil.
"Bu'e... kok malam-malam masih jualan?" Riani bertanya sambil memegang
bahu sang ibu.
"Cari makan, Nak. Kalau ndak jual nasi, Mbok ndak punya uang."
"Suaminya ke mana, Mbok?" "Sudah meninggal."
Riani merasa menyesal menanyakan suami si mbok. Mendengar jawaban itu,
hati Genta terasa ada yang menusuk-nusuk. Ia hanya bisa tertunduk dan
menyalakan rokoknya. Di antara bayangan asap rokok dilihatnya air muka
tua yang penuh guratan usia-dalam dan menghitam-sesekali rambut ibu
yang putih jatuh di keningnya. Hati Genta terlempar ke sana kemari. Dia
udah terlalu tua untuk semua ini, batin Genta berjalan pelan sekali, bingung
dan nggak tega. Matanya menatap lampu lampu kota Jogja di ujung rel
kereta.
174
"Anak Mbok mana?"
"Sudah sama istrinya... kalo siang mbecak di situ," jawab si mbok jujur,
menunjuk pintu keluar stasiun.
Sambil membungkus nasi, si Mbok berkata lagi, "Anak Mbok juga susah.
Jadi Mbok harus jual nasi, kalo siang ke pasar nyari kardus bekas buat
Mbok jual lagi." Sesekali sikut keriputnya menyeka peluh yang jatuh di
keningnya.
"Kalo malam jualan nasi?" tanya Zafran.
Si Mbok menoleh ke Zafran dengan wajah lelah, Zafran serasa di tampar.
"Mbok sudah jualan dari sore, tapi lagi sepi, belum sampai lima lakunya,"
tutur si mbok sedih.
Zafran memainkan ujung retsleting jaketnya, berdiri menatap penjual nasi
itu dengan pandangan beribu makna. Ada yang mengganjal di hatinya
sesaat setelah mendengar jawaban itu. Matanya berpindah memandang
ubin stasiun yang menguning dengan lampu stasiun yang memantul
pendar tidak jelas di mata Zafran. Ia edarkan pandanganya. Jam tua di
stasiun menunjukkan hampir pukul tiga malam. Tembok tua di stasiun
dengan cat yang mulai terkelupas, atap stasiun yang menghitam di
sudutnya, seorang tukang becak tua yang membawa kardus, ibu muda
dengan wajah lelah dan mengantuk sedang menggendong anaknya yang
terdongak tertidur lelap. Zafran mengusap mukanya dengan kedua
tangannya, menghela napas panjang sekali, dan melepaskannya sesak.
"Untung anak beli banyak Habis ini Mbok mau pulang, badan sudah sakit
semua, takut besok masuk angin."
Keempat anak manusia itu terdiam mematung, hati mereka bergerak pelan
sekali seperti detik jam tua di tembok stasiun.
"Ini Nak, enam nasinya." Mbok penjual itu menyerahkan enam bungkus
nasi yang diwadahi kantong plastik merah bekas seadanya.
175
Dinda langsung jongkok di depan si Mbok lalu mengulurkan selembar lima
puluh ribuan yang dilipat rapi. Dinda me-ngenggam tangan si Mbok.
"Mbok ini aku kasih lebih ya, buat Mbok. Tapi besok pagi Mbok janji nggak
usah ke pasar minta kardus, Mbok tidur aja di rumah. Janji ya, Mbok!" kata
Dinda pelan.
Si Mbok melihat uang lima puluh ribu di tangannya, matanya membesar
dan mendekatkan genggaman tangannya ke hidungnya. "Allhamdullilah
Gusti Pangeran... Allhamdulillah."
Riani mencoba untuk tidak menangis. Zafran dan Genta terdiam
mendengar rasa syukur si Mbok. Dinda masih berjongkok mematung
memandang si Mbok.
"Terima kasih ya Mbok.... Terima kasih banyak," Genta memegang bahu si
Mbok.
Mereka berempat segera berjalan masuk ke kereta. Dinda dan Riani
menyeka mata dengan tisu. Di antara malam yang jauh, dingin, dan asing,
mereka masih bisa mendengar doa lelah si Mbok di telinga mereka.
Perlahan tapi pasti, kereta mulai berjalan meninggalkan Stasiun
Lempuyangan. Suara peluit dari stasiun dan doa si mbok masih mengisi
telinga mereka berempat. Riani melihat keluar jendela kereta, matanya
terkejut, dadanya sesak. Di sepanjang Stasiun Lempuyangan dilihatnya
banyak sekali sosok perempuan tua seperti si mbok penjual nasi tadi. Di
antara lambatnya kereta, mata Riani memperhatikan muka lelah mereka
satu per satu, membayangkan nasib mereka yang mungkin nggak jauh
berbeda dengan si Mbok. Matanya terpejam, hatinya nggak kuat lagi,
pemandangan di luar seperti memasuki hatinya, tenggorok-kannya seperti
menelan sesuatu yang tidak enak, yang disangkal hatinya.
176
Pukul lima pagi.
Zafran menutup Leaves of Grass-nya, melempar pandangan ke luar kereta.
Perlahan, langit hitam malam mulai memudar, udara malam pun mulai
menjauh. Zafran bisa merasakan udara di luar kereta yang berubah sejuk.
Langit subuh mulai terlihat di antara rimbun pepohonan hutan jati kecil
yang melewati matanya. Dihirupnya pelan udara subuh yang masuk
melalui jendela yang terbuka seadanya. Sejak dari Lempuyangan memang
hanya Zafran yang belum bisa memejamkan matanya. Ia tenggelam
bersama Leaves of Grass. Teman-teman yang lain masih terlelap. Zafran
tersenyum kecil melihat Dinda yang terpejam lelap di bahu abangnya.
"Juple, lo belum tidur?" Ian yang baru bangun bengong melihat mata
Zafran masih melek di subuh yang gelap.
"Tau, nggak ngantuk-ngantuk."
"Ada makanan enggak?" Ian mengucek-ucek matanya. "Ada tuh di plastik
merah, udah dingin kali. Belinya tadi malem di Jogja. Lo tidur mulu sih."
"Gue tidur enggak ada yang ngebangunin."
"Gajah Lampung kan kulitnya keras, gimana ngebangunin-nya?
Ian mengambil nasi bungkus si Mbok yang mulai dingin.
"Cuci muka dulu kek, Yan!"
"Bodo! Laper."
"Eh Yan, jaga markas dulu ya. Gue mau ke kamar mandi."
Zafran beranjak berdiri dan pergi ke kamar mandi kereta. Sehabis
melaksanakan panggilan alamnya, Zafran duduk di pintu gerbong tempat
dia kemarin ngobrol sama Genta.
"Ah... fuh...." Zafran melepas napasnya lega. Udara dingin subuh masuk
melalui jendela kaca di depannya. Zafran menyalakan rokoknya.
Sekelebat, pemandangan indah lewat di matanya. Hatinya yang merasa
jauh dari rumah menikmati pemandangan tidak
177
biasa di depannya. Zafran pun berdiri dan menyembulkan kepalanya ke
luar jendela yang sudah tidak berkaca. Angin subuh dengan berbagai cara
ingin menceritakan sesuatu kepadanya. Rambut gondrongnya tertariktarik oleh udara yang bergerak bersama, melawan laju kereta. Matanya
melihat baris gerbong kereta di depannya berbelok di antara sawah
berseling hutan jati kecil yang sedang meranggas. Bau udara yang sangat
lain merasuki penciumannya, bau tanah pagi yang khas, hari Zafran jadi
takjub sendiri. Di antara kabut pagi pedesaan yang masih enggan menarik
selimut putihnya dari alam pagi, di antara para petani dan kerbaunya yang
sedang berjalan pelan di pematang sawah berkabut pagi, ibu dengan
caping lebar menaiki sepeda ontanya. Di jalan desa yang masih lengang,
pabrik gula tua peninggalan Belanda dengan bangunannya yang bergaya
Eropa dan tembok tua bertuliskan 1899, lori-lori kecil pengangkut tebu,
pohon-pohon besar di atas jalan desa yang masih diselimuti kabut, kebun
tebu yang seperti tembok hidup. Zafran memejamkan matanya, keindahan
seperti ini jarang sekali dilihatnya.
Zafran membuka lagi matanya perlahan. Serombongan penduduk desa
sedang menunggu kereta lewat di perlintasan, wajah-wajah penuh senyum
melihat kereta, petani dengan cangkul dan bakul selempang kain, ibu
muda yang tertawa lepas dengan caping tani di tangannya. Bapak tua
berpeci dengan seragam guru tersenyum ramah ke para petani, anak kecil
berseragam SD penuh tawa berlarian dan langsung mencium tangan sang
guru. Mulut Zafran mendesis pelan, "Negeri ini indah sekali...."
Pukul 06.30 Stasiun kereta Madiun.
"Kita di mana, Ta?" Riani yang baru bangun bertanya ke Genta.
"Di Madiun." Arial menjawab pertanyaan Riani.
178
"Pegel semua badan gue." Arinda menguap kecil dan melihat kesibukan
pagi di Stasiun kereta Madiun.
Genta yang baru bangun masih belum menyatu dengan keadaan
sekelilingnya. Sekilas dia melihat keluar, sinar hangat matahari pagi di
antara tembok penyangga tua stasiun, menyapa matanya yang memicing
silau.
Genta menggumam sendiri, tangannya mengambil air mineral, Jam
setengah tujuh pagi. Kereta ini nggak telat, emang biasa kalo masuk
Madiun jam enam pagi... atau jam tujuh."
"Bang Zafran mana?"
"Tau, tadi katanya mau kencing doang, tapi lama banget. Sejak subuh tadi,"
Ian menjawab pertanyaan Dinda.
"Jangan-jangan loncat dari kereta... mau pulang," Riani tersenyum. "Eh
lagi ngomongin gue ya...." Sosok penyair sejuta bingung bermuka ngantuk
datang dengan plastik penuh nasi bungkus. "Dari mana lo, Ple?" tanya
Arial. "Dari tanah air gue yang indah." "Mulai deh pagi-pagi mau opera."
"Apaan tuh, Ple?"
"Nasi pecel... tadi gue turun sebentar, beli nasi pecel. Kata bokap gue nasi
pecel Madiun itu enak banget, apalagi pake peyek kedelai. Ini masih anget
lagi... masih ngebul."
"Oh...."
Zafran mulai membuka bungkus daun pisang yang berair hangat "bon
appetit...."
Asap kepulan uap nasi hangat memenuhi penciuman mereka. Pagi di
Madiun semuanya pun sarapan nasi pecel. Akhirnya, semuanya setuju ini
makanan nggak ada tandingannya, semua fast food internasional yang
pernah mereka jelajah di Jakarta kalah deh.
"Ple, beli lagi, Ple." Ian memandangi bungkus daun pisang yang udah licin
tapi masih dihiasi bekas-bekas bumbu pecel.
179
"Keretanya udah mau berangkat belum?" Zafran ten tengok.
"Nasi lontong, pecel Madiun, lempeng. Lempeng, Mas. pecel, Mas... hangat...
peyek, peyek...," ibu penjual pecel deng bakul rajutan bambu di lorong
kereta menawarkan dagangannya.
Sekilas Riani teringat ibu penjual nasi di Stasiun Lempuyangan. "Nah... ini
dia, panjang umur." Ian tertawa senang. "Ada yang mau lagi?"
Semua mengangguk setuju karena memang laper berat. "Mas lempeng
gapitnya mau?" si ibu penjual pecel menawarkan lempeng gapit.
"Apaan tuh, Bu?" Arial tertarik.
"Lempeng gapit? Makanan apa lagi nih?" Dinda bertanya ke Ibu penjual
pecel.
"Iki lho lempeng gapit," si ibu tertawa kecil sambil membuat lempeng gapitsebentuk kerupuk cokelat muda seukuran telapak tangan diambil si ibu.
Lalu, ia mengisi kerupuk itu dengan sayuran, bumbu pecel, dan
menutupnya dengan satu lembar kerupuk lempeng lagi, jadilah lempeng
gapit
"Haa?" semuanya bengong ngeliat lempeng gapit.
"Bener kan, nggak cuma salad yang ngikutin gado-gado, hamburger sama
hotdog juga ngikutin kita, mereka taunya dari lempeng gapit," Ian nyerocos
begitu saja, disambut tawa teman-temannya.
Renyahnya lempeng dan pedas-manisnya bumbu pecel serta segarnya
sayuran memenuhi indera perasa mereka. Zafran bengong,
somasensory*(Sensor rasa di otak manusia.) di otaknya setuju banget ini
makanan nggak ada tandingannya. Ian langsung pesan banyak.
180
Perlahan kereta meninggalkan Madiun.
Kereta mulai melaju cepat melewati hutan jati antara Madiun dan Nganjuk.
Keenam anak manusia ini pun sudah lepas dari kantuknya, mulai bercanda
lagi di kereta. Pagi di luar sangat cerah, seakan berdatangan menyambut
rombongan yang jauh dari rumah ini.
Kereta memasuki daerah hutan jati yang lebat.
"Eh... eh... lihat ke luar deh." Zafran menengok ke jendela luar.
Hamparan dedaunan kuning kecokelatan tampak bertebaran di depan
mereka, berpadu dengan tonggak-tonggak besar menghitam pohon jati.
"Ya ampun, keren banget...," Dinda mendesis kagum.
Riani geleng-geleng kepala. Di antara sinar matahari pagi, di mata mereka
semuanya jadi kuning sekali.
"Hutan jati ini ya...?" Genta bertanya ke Zafran.
"Iya...lo inget nggak dulu waktu di SD kita sering banget ditanya kenapa
pada saat musim panas hutan jati meranggas?"
"Meranggas... hehehe udah lama gue nggak denger kata meranggas," Ian
tertawa kecil.
"Buat mengurangi penguapan, gue inget banget tuh." Arial menjawab
pertanyaan Zafran.
"Dengan cara apa hutan jati meranggas?" Zafran bertanya
lagi.
"Menggugurkan daunnya...," Dinda menjawab pertanyaan Zafran sambil
tersenyum-senyum yang bikin Zafran terbang.
"Oh jadi sekarang hutan jati ini lagi meranggas?" Riani menoleh ke Zafran.
Helai-helai daun kuning pohon jati yang jatuh ke tanah membuat
tumpukan yang meninggi seperti menutupi tanah dengan warna kuning
kecokelatan. Tumpukan yang agak tinggi
181
itu membuat pohon jati seperti tidak menyentuh tanah dan mengambang.
Cabang dan rangka pohon hitam yang berbelok tajam tanpa daun seperti
tangan yang ingin menyentuh langit pagi. Awan yang masih sedikit tampak
bergaris memutus. Jejeran pohon di kejauhan dalam hutan jati selaksa
bayangan tidak jelas yang diselimuti kuning daun.
"Gile, keren bener!" Ian langsung mengeluarkan kameranya dan memotret.
"Jadi begini to kalo hutan jati meranggas?"
Arial masih takjub melihat pemandangan di depannya, ditambah lagi
earphone di MP3-nya mengalun lembut Souvenir D'Enfance-nya Richard
Clayderman. Arial mencopot earphone-nya... jari telunjuknya memilih
Switch to Speaker dari display LCD... tak ayal Souvenir D'Enfance dengan
denting piano lembut tinggi mengalun di udara, di antara hutan jati,
mengisi pendengaran mereka.
Teman-teman Arial memandangnya dan tersenyum. Arial hanya
menaikkan alisnya dan ikut tersenyum. Ada sesuatu mengelus hati mereka
semua. Zafran tiba-tiba menggamit tangan Dinda dan beranjak berdiri.
"Ke mana?" Dinda menaikkan alisnya bingung.
"Ikut aja...," Zafran berkata kalem.
Dinda nurut. Zafran setengah berlari membawa Dinda ke jendela pintu
gerbong tak berkaca, tempat dia ngelamun subuh tadi.
"Ngapain?" Dinda masih bingung sama tingkah Zafran. "Liat gue ya."
Zafran menyembulkan kepalanya dari jendela pintu gerbong tak berkaca,
memejamkan matanya, menikmati embusan angin kencang dengan
pemandangan hutan jati meranggas di depannya. Dinda tertawa kecil
ngeliat tingkah Zafran.
182
"Coba deh, Din... keren banget," Zafran berkata antusias, matanya melebar
meyakinkan Dinda.
Perlahan dan sedikit ragu Dinda menyembulkan kepalanya ke luar jendela.
Indah sekali semua yang ada di depannya. Bau tanah basah pagi, panas
cahaya hangat matahari yang mulai meninggalkan pagi menerpa muka
Dinda, kuningnya hutan jati menyentuh hati Dinda Dinda tersenyum
senang, menoleh sebentar ke Zafran dan tersenyum manis sekali. Dinda
melepaskan ikatan rambutnya, membuat rambut Dinda yang hitam
panjang terbawa bercanda dengan angin pagi yang tak bosan mengagumi
kecantikannya. Dinda tidak tahan lagi untuk membawa segala keindahan
tersebut ke hatinya. Alis matanya perlahan menurun, matanya perlahan
terpejam.
Zafran kehilangan kata-kata melihat keindahan alam berpadu dengan
keindahan seorang anak manusia.... Semua kata-kata indah yang pernah
dibuatnya nggak bisa melawan semua yang ada di penglihatannya saat ini.
lirik-lirik kerinduan pun memenuhi otaknya.
I'm gonna love you
Till the heavens stop the rain
I'm gonna love you
till the stars falls from the sky for you and I... (Touch me, The Doors)
Selepas stasiun kereta api Blitar, pukul satu siang
Panasnya siang menghantam kereta yang mulai penuh sesak dengan
berbagai macam manusia dan barang bawaannya. Ian melihat lorong
kereta yang sudah penuh terisi, pemandangannya hampir seperti bus kota
di Jakarta. Bermacam wajah dengan keringat yang menetes di leher
membuat gerah suasana.
183
"Emh... Jakarta pindah ke sini." "Kok tiba-tiba jadi penuh gini ya?" Arial
bertanya pada Genta.
"Kan kereta ini berhenti di setiap stasiun, jadi banyak yang transit kecilkecilan jarak pendek," jawab Genta serius.
"Mau pergi dari Jakarta malah ketemu Jakarta lagi," Ian berujar dan
tersenyum kecut.
"Mulai deh, Ian," gerutu Riani.
"Hehehe...."
"Aqua, aqua... ngombe, ngombe... ngombe es." "Nasi... nasi."
"Rokok, permen, permen Mas... Mas." "Kopi, kopi...."
"Kipas... kipas, handuk... handuk, sewu... sewu."
"Mas, kasihan Mas..." Seorang pengemis tua bersama anaknya dengan baju
penuh robek dan bekas ingus mendekati Zafran.
Arial langsung memberi lima ratusan logam.
"Yah recehan gue hampir abis," Arial berkata sambil merogoh-rogoh
kantongnya.
"Perhatiin deh, dari kemarin banyaaak banget tukang jualan macemmacem di sini." Dinda bertanya ke yang lain.
Para pedagang yang tidak peduli dengan keadaan kereta yang hampir
penuh terus menawarkan dagangannya.
"Recehan gue hampir habis dibagi-bagi buat pengemis sama pengamen.
Gue udah nggak bisa ngasih lagi." Arial berkata pelan.
Arial yang emang diajari orang tuanya untuk selalu memberi sedekah pada
pengemis, sebenarnya sudah menyiapkan cukup banyak uang receh.
Namun, rupanya itu nggak cukup juga.
Wajah-wajah penuh pasrah dan keluh masih menumpuk dalam kereta
yang mulai terasa sempit. Para pedagang berimpit
184
mencari rezeki di antara desakan punggung dada dan penumpang.
"Gue jadi inget waktu zaman kita demo nurunin Orde Baru...," Riani tibatiba menggumam sendiri.
"Lho apa hubungannya, Ni?" Ian bingung.
"Dulu kita teriak-teriak atas nama rakyat di seluruh penjuru Indonesia.
Trus yang di sekeliling lo ini emangnya siapa?"
Semua mengedarkan pandangan ke sekeliling. Diam. Kilatan peristiwa
masa-masa kuliah, demo, long march ke Gedung DPR/ MPR, memakai
jaket almamater kebanggaan kampus, dan nggak ada yang ditakutin. Saat
berduka atas tewasnya empat pahlawan reformasi, pita hitam pun
diikatkan di lengan sebagai tanda berduka, mengiringi upacara
pemakaman penuh haru dan semangat yang membara di Tanah Kusir.
Kilasan beralih ke ruas Jalan Sudirman dan Gatot Subroto yang jadi lautan
jaket almamater mahasiswa, gedung DPR/MPR yang berubah menjadi base
camp kebanggaan mahasiswa, kepalan tangan dan pekik reformasi, hingga
memuncak pada pendudukan atap gedung rakyat dan berbasah basah ria
di kolam depan DPR/MPR. Nasi bungkus gratis dari rakyat yang dibagikan
oleh ibu-ibu di pinggir jalan dan Indonesia Raya yang dikumandangkan
penuh haru setelah reformasi tercapai, semuanya sepilas terlintas.
"Bener juga lo," Arial memecah kekosongan.
"Mereka ini juga sebagian dari yang dulu kita perjuangkan," sambut Riani.
Arial mengedarkan pandangan berkeliling. Dia ingat saat di Salemba Raya
ada tukang rokok miskin dengan gerobak kecilnya membagikan seluruh
minuman yang ada di warungnya untuk mahasiswa yang sedang berjalan
menuju Gedung Rakyat serta dukungan ibu-ibu rumah tangga di jalan
yang terus menyemangati mereka.
185
"Karcis... karcis... karcis!" Petugas kereta melangkah di antara sempitnya
tumpukan penumpang. "Karcisnya, Mas."
Arial menyerahkan enam tiket kereta. Sementara, rombongan empat pria
setengah baya yang berdiri berdesakan di dekat situ, pura-pura
kebingungan waktu diminta karcis oleh petugas.
"Karcis, Mas... tiket!" Petugas akhirnya bicara agak galak dan keras yang
membuat keenam sahabat ini makin tertarik melihat kejadian ini.
"Ore nduwe, Pak..." (nggak punya, Pak) kata salah satu dari mereka.
Petugas kereta diam.
"Pira, Pak? Papat!" (Berapa, Pak? Empat) lanjut si pemuda, memasukkan
tangannya ke saku belakang siap mengambil dompet.
"Rong puluh." (dua puluh)
"Larang tenan, Pak... ning stasiun telung ewu lima ngatus sak wong."
(mahal banget, Pak... di stasiun aja tiga ribu lima ratus seorang).
"Rong puluh...! Salahe ora tuku neng stasiun!" (Dua puluh...! salah sendiri
tidak beli di stasiun). Si petugas berkata galak dengan mata melotot.
"Yo wis." (ya udah) Si pemuda mengeluarkan dua puluh ribuan dari
dompetnya dan menyerahkan ke petugas.
Petugas kereta cepat-cepat memasukkan uang tersebut ke kantong baju di
dadanya yang tampak menggelembung penuh lembaran uang, laki segera
pergi meninggalkan gerbong.
"J**cuk!" rutuk si pemuda, mukanya terlihat kesal.
Mereka berenam termenung melihat tingkah anak pemuda itu, yang belum
selesai juga memaki dengan bahasa Jawa-timuran.
186
Arial memberanikan diri bertanya, "Napa Mas?" (ada apa mas?).
"Iku... wong papat mosok rong puluh." (itu... empat orang masa dua puluh)
Lehernya bergerak pelan menunjuk ke arah petugas di kejauhan.
"Kenapa nggak beli di stasiun, Mas?"
"Yo... biasane yo ora ana petugase. Iki lagi sial wae." (ya... biasanya ya nggak
ada petugas. Ini sedang sial saja)
"Tapi bukannya kalo naik kereta emang harus beli karcis, Mas?"
"Ya... benar, tapi kalo ndak ketahuan ya ndak usah bayar." "Oh jadinya mau
naik kereta ndak bayar... bukannya mau beli karcis."
Si pemuda itu diam dan melihat Arial beserta keenam temannya yang
masih menyimak.
"Yah ribut nih...," Zafran bergumam dalam hati, membetulkan letak
duduknya.
Untungnya si pemuda itu diam lagi dan mulai ngeluh sendiri. "Banyak Mas
yang ndak beli karcis, bukan aku aja. Mas lihat kan, uangnya banyak sekali
di kantongnya, itu uang dari yang bayar di kereta. Nanti juga uangnya
dipangan dewe..., ora kanggo stasiun." (dipakai sendiri, nggak untuk
stasiun)
Arial mau ngomong lagi, tapi ditahan oleh tangan lembut adiknya. "Bukan
salah dia juga lagi...," Riani berujar pelan mencoba menetralisir. "Salah
siapa?" Ian bertanya ke teman-temannya. Semuanya terdiam. "Ngerasain
sendiri kan?" Ian menggumam kecil. Semua tetap terdiam, tahu kalau Ian
punya pengalaman nggak enak yang membuat dia masih kesel sama tanah
airnya.
187
Di antara mereka, Ian satu-satunya yang punya pandangan paling sinis
tentang tanah yang mereka diami dari dulu. Ian bahkan terang-terangan
menyatakan kalo dia nggak suka sama semua elemen brengsek negara ini
yang udah bikin kacau keadaan dari segala tingkat. Ian muak dengan
semua kelakuan orang yang bilang anti korupsi, sampai ke koruptornya.
Kejadian itu sungguh membekas di hati Ian, yakni ketika suatu hari ia naik
angkot. Di suatu tempat, angkot itu berhenti menurunkan penumpangnya.
Cekcok mulut pun terjadi antara si sopir dan penumpang itu lantaran sopir
meminta tambahan ongkos, alasannya si penumpang membayar di bawah
tarif yang ditentukan. Sementara, si penumpang bersikeras kalo dia udah
nggak punya uang lagi, bahkan menurutnya itu udah lebih dari cukup. Ian
yang duduk di depan, berada di tengah-tengah kedua orang yang sedang
bertikai itu. Keduanya sama-sama berpenampilan lusuh. Si penumpang
yang membawa karung beras kotor dengan berbagai cara berusaha
bercerita pada Ian tentang segala macam perasaan yang berlebihan tentang
kesusahan. Sedangkan sopir angkot itu, ngotot dengan muka penuh
keringat dan handuk putih kotor yang terikat di kepalanya.
Mata Ian lurus menatap ke depan. Telinganya panas mendengar cekcok itu.
Tiba-tiba matanya menangkap sesosok anak berseragam SD dengan muka
menahan terik membawa minuman dingin dalam plastik berwarna terang
sekali. Di antara pertengkaran dan pemandangan di depannya, batin Ian
berteriak sendiri, salah... siapa... semua... ini?
Setelah angkot berjalan kembali, sopir angkot itu bercerita tentang
susahnya hidup sebagai sopir angkot, yang selalu dihantui oleh setoran
yang selalu kurang, mahalnya biaya sekolah swasta anaknya yang
menurutnya sangat mencekik, partai pilihannya yang ternyata isinya
koruptor semua. Gerutu si sopir
188
berlanjut pada rasa susahnya hidup di negara yang menurutnya brengsek,
karena setiap orang bertindak semaunya sendiri, suka makan uang rakyat,
nggak peduli sama orang kecil, rakus kayak tikus, nggak pernah peduli
sama orang miskin, nggak pernah mau membantu sesama, nggak ada rasa
peduli sama orang lain.
Ian mendengarkan semuanya dengan simpati yang dalam dan sesekali
bersyukur atas dirinya yang masih berlebih, masih bisa kuliah. Tidak
berapa lama angkot mulai mendekati terminal dan berjalan perlahan,
mengambil arah memutar di antara tumpukan angkot yang ngetem.
Angkot yang ditumpangi Ian pun memutar dengan seenaknya di pinggir
jalan, nggak peduli dengan berbagai kendaraan lain yang mengantri dan
membunyikan klakson menahan kekesalan ke tumpukan angkot.
Tumpukan antrian panjang angkot itu setiap hari bikin kemacetan yang
hampir dua kilo panjangnya. Belum lagi perlakuan semena-mena para
sopir terhadap penumpang, termasuk si sopir di dalam angkot yang
sekarang ditumpanginya, yang dengan seenaknya menurunkan
penumpang di situ, bukan di terminal tujuan yang jaraknya tinggal
setengah kilometer lagi. Hati Ian panas mendengar rasa kecewa, keluhan,
dan gerutu dari para penumpang angkot. Ian melemparkan uang
ongkosnya ke dasbor angkot dan pergi tanpa melihat si sopir lagi.
"Kalo inget cerita lo sama kejadian tadi, nggak tau ya sekarang itu salahnya
siapa?" Genta berujar sendirian.
Ian hanya mengangguk.
"Tapi, Yan... ada satu yang pasti, Yan," Genta berbicara tegas.
"Di tempat gue kerja sekarang kan isinya seumuran kita, angkatan
eksponen reformasi dulu. Jadinya, kita janji untuk mencoba sama sekali
nggak pernah dan nggak akan ngelakuin KKN. Mudah-mudahan yang
kayak gitu bisa kita jaga entah sampai kapan."
-
189
"Tapi itu susah kan, Ta?" Arial bertanya pelan ke Genta.
"Apalagi di dunia bisnis yang serba sikat sana-sini, masih banyak yang
kayak gitu," Dinda berkata lirih.
"Iya susaaah banget... sumpah!" mata Genta menatap ke depan kosong. "Ya,
tapi seenggaknya kita mencoba jangan sampe sedikit pun kita KKN."
"Kenapa?" Zafran bertanya serius.
Ian menjawab pertanyaan Zafran, "Karena kita dulu yang teriak-teriak anti
KKN bukan? Masa kalo saatnya kita jadi orang kantor atau punya bisnis
sendiri, jadi manajer atau bahkan CEO kita juga KKN? Nah teriakanteriakan kita waktu zaman reformasi itu buat apa? Betul nggak, Ta?"
"Betul Bapak Ian...," sahut Genta. Pinter juga si bebek sepeda air Taman
Mini ini, pikir Genta kemudian.
"Eh... tapi Taman Mini lo tinggalin dulu dong..." canda Genta ke Ian.
"Apa sih maksudnya?" Riani bingung dengan candaan yang tiba-tiba itu.
"Iya kan bebek sepeda air Taman Mini ini dulu katanya mau belajar di luar,
jadi apa nggak? Kalo dia jadi pergi, berarti bebek sepeda air Taman Mini
berkurang satu."
Semua ngakak. Ian ketawa seneng melihat kebegoan temen-temennya.
"Iya, pasti pentas pesut Ancol juga tutup deh....'" "Omset Indomie
menurun!" "Banana boat juga nggak ada lagi." Mereka tambah ngakak.
"Bokap udah ngizinin gue sekolah di luar, jadi ya gue coba cari data dulu."
Suasana mendadak sepi.
"Yaa... lo bakalan pergi dong sebentar lagi,"
190
"Ke mana, Yan?" Riani bertanya ingin tahu.
"Ada kampus bisnis bagus di Manchester... Britania Raya I'm coming," kata
Ian mantap.
"Ahhh... gue tau, lo mau ke Manchester biar tiap minggu bisa nonton
Manchester United di Old Trafford."
"Nah lo tau gue kan? Sambil menyelam kita minum air sirop pake nata de
coco, pake eskrim bareng Paul Scholes," Ian bercanda lucu.
"Hahaha,... bego lo...."
Zafran mengalungkan tangannya ke leher Ian, 'Yan nanti salam buat Tom
Yorke, Damon Albarn, Jarvis Cocker, David Bowie, Roberth Smith, nanti
kalo ada waktu gue ke England, kita beli bunga dan lempar ke Abbey Road,
foto-foto di sana. Naik Yellow submarine di England Channel, main larilarian di Long and Winding Road yang menuju ke Strawbeerry Field, nanti
kita metik Strawberry bareng the Beatles, kita ke Liverpool, ke museumnya
The Beatles. Kita ke tempat john Lennon nyiptain lagu pertama kali, kita ke
klub pertama kali The Beades manggung,..., trus, trus...."
Belum selesai bicara, Zafran sudah dilempar tisu, rokok, permen, aqua,
tahu, kacang, antimo, minyak angin, jeruk... pokoknya banyak deh.
"Lo pasti mau pergi, Yan?" Riani bertanya serius, menatap Ian dalamdalam.
Tasti, tapi masih lama lah, belum preparationnya...pokoknya pergi dari
sini," kata Ian mantap.
Kereta terus berjalan di antara pegunungan daerah Batu yang sejuk. Tibatiba mereka merasa kereta seperti menanjak.
"Gilee baru sekarang ada kereta nanjak."
"Kalo udah jalannya kayak gini berarti kita udah mau sampe Malang.
Sebentar lagi kita lewat terowongan tua buatan Belanda
191
yang menembus bukit," Genta menerangkan ke teman-temannya.
Lihat keluar deh, pemandangannya indah banget...," Genta menatap
teman-temannya. Mereka pun melihat ke jendela. Hamparan hijau
pegunungan dan lembah menyambut mata, membuat teduh dan
menghilangkan penat selama hampir seharian. Di ketinggian, kereta seperti
berjalan di atas titian kecil yang rapuh jatuh, dengan mangkok lembah dan
jurang menganga di bawah mereka.
"Keren...," semuanya berdesis kagum.
Zafran mengambil buku kecil dan mulai menulis segala keindahan tadi,
melihat sekeliling dan menulis segala pasrah dan derita rakyat kecil yang
berdesakan. Mulai dari penuhnya kereta, seribu wajah keluh, hingga seribu
wajah yang lelah dan susah. Seorang pengemis tua tertatih mendatangi
Zafran dan menengadahkan tangannya. Topinya yang kusam menutupi
urat-urat kelelahan di keningnya, bajunya penuh tambal dan kakinya yang
telanjang tampak kotor penuh debu lantai kereta. Zafran terdiam
memandangnya. Tangan kekar Arial mendadak mengulurkan selembar
seribu rupiah ke pengemis itu yang disambut syukur dan senyum.
Zafran serasa tertampar keras sekali hari itu, hatinya seperti ditusuk,
kayaknya dari kemarin gue belum pernah ngasih sedikit pun kalo ada
pengemis. Gue cuma bisa ngomong bagus tentang derita, tapi nggak
pernah bertindak, sedangkan Arial yang nggak pernah ngomong selalu
langsung ngasih. Parah banget sih gue, parah banget gue!
Zafran tertunduk, melihat kulit jeruk yang terserak di lantai kereta,
diinjaknya hingga mengeluarkan percik air. Hati Zafran terlempar di
antara himpitan kulit jeruk dan sandalnya, hati Zafran diinjak-injak
sendiri olehnya.
192
Gue nggak boleh kayak gitu lagi, Zafran mengangkat kepalanya cepat,
matanya tampak memburam, tapi menatap tajam ke depan mantap.
Gue nggak boleh kayak gitu lagi, gue nggak boleh kaya gitu lagi!
*
Pukul setengah tiga lebih mereka tiba di Stasiun Malang. Matahari sore
yang sudah enggan mengeluarkan panasnya datang menyambut Sebelum
meninggalkan kereta, sekali lagi mereka pandangi kereta yang terdiam
lelah setelah berlari seharian penuh; kereta yang dalam diamnya telah
banyak bercerita tentang beragam manusia.
Di stasiun Malang, rombongan pencinta alam itu menarik perhatian
banyak orang. Rasa pegal-pegal belum hilang benar dari badan mereka
sehingga mereka putuskan untuk duduk sebentar di bangku stasiun yang
panjang-meluruskan kaki dan menghilangkan penat
"Huaaaah...," Ian menguap lebar, kedua tangannya dianyamkan ke udara
"Bang Ian kalo nguap ditutup dong jangan kayak kuda nil gitu."
Ian tersenyum senyum bego, Zafran tertawa terpingkal-pingkal. Si Dinda
ini asik juga anaknya, batin Riani.
"Abis ini kita ke mana, Ta?" Arial bertanya ke Genta.
"Gue lagi bingung nih... harusnya kita ke stasiun bus Arjosari dulu, terus
naik angkutan ke Tumpang."
"Tumpang itu daerah mana?"
"Tumpang itu kalo dari Malang gerbang masuknya TNBTS."
193
"Apa tuh? Singkatan?" Zafran bertanya sembari mengacung-acungkan HPnya ke udara-mencari sinyal.
"Oh iya sori.... Taman Nasional Bromo Tengger Semeru."
"Oh... terus kenapa kita nggak langsung ke sana?" tanya Zafran lagi.
"Entar ah... masih capek nih...," Ian duduk selonjor di lantai Stasiun.
"Terminal Arjosari itu agak jauh dari sini, di tengah kota...gue lagi mikir
apa kita carter angkot aja ya dari sini langsung."
"Kalo lebih murah dan lebih cepet, kenapa nggak?'" Riani menyarankan.
"Gimana?"
Genta masih memandang bengong ke depan, mencoba menghitung-hitung
waktu dan biaya. "Kayaknya lebih enak carter angkot aja deh. Arial..., ikut
gue cari angkot dulu. Lo kan bisa bahasa Jawa dikit-dikit, jadi enak
nawarnya."
"Yang lain tunggu sini dulu ya," pesan Arial.
Genta dan Arial langsung pergi keluar stasiun. Zafran masih sibuk mencari
sinyal, Ian lagi jajan popmie, Arinda tampak lelah dan menyandarkan
badannya ke bangku stasiun.
Sepuluh menit kemudian Genta dan Arial datang.
"Dapet?" Arinda langsung berdiri dan bertanya.
"Dapet! Siip, murah lagi."
"Ayo... berangkat!"
"Ian mana?"
"Tuh lagi makan popmie." "Yuk...."
Ian panik. Popmienya belum habis, sudah harus memanggul carriernya
yang hampir segede badannya lagi.
Angkot carteran perlahan meninggalkan stasiun kereta Malang. Jalan-jalan
kota Malang yang tidak terlalu lebar menyambut mereka sore itu, suatu
tempat yang lain dan asing.
194
Sejenak mereka melihat kedaaan sekeliling kota kecil yang sejuk. Deretan
rumah khas Jawa yang berpadu dengan banyaknya papan iklan modern
membuat pemandangan yang kontras.
"Mas-mas sama Mbak-mbak dari mana?" sopir angkot yang bertampang
Jawa dan mengenakan blangkon memecahkan bengong mereka.
"Dari Jakarta, Mas," jawab Genta.
"Oh dari Jakarta The Jak... The Jak... The Jak mania?" sopir itu tersenyum
dan bertanya antusias. "Apaan tuh?"
Semuanya bengong kecuali Ian dan Arial yang ngerti. "The Jak itu nama
suporternya Persija tau." "Oooo...."
Tiba-tiba si sopir nyanyi sendiri, "Dua lima jigo... dua lima jigo... jadi seratus,
Persija... jago Persija jago... lawannya putus." Sebuah lagu yang sering
dibawakan oleh The Jak mania kalo Persija lagi bertanding. Nyanyian si sopir
tampak aneh sekaligus lucu karena bahasa Betawi mentok dari lagu tersebut
bercampur logat Jawa timur yang mentok juga. Jadi, dua-duanya nabrak
jalan buntu, yang bikin semuanya di angkot terpingkal-pingkal. "Mas kok
tau-taunya lagu Persija? Kan Mas orang Malang?" Arial bertanya, menahan
tawa, dan menepuk pundak si sopir.
"Malang itu Aremania kan?" tanya Ian.
"Oh pasti aku Aremania sejati... mana ada orang Malang yang tidak
Aremania," sang sopir tampak sibuk mencari sesuatu di dasbornya.
"Nah ini dia," katanya senang... si sopir mengeluarkan sebuah syal rajutan
berlambang Aremania dengan warna khas Merah dan Biru, mengalungkan
syal tersebut di lehernya
"Aremania! Ongis Nade!, aku Aremania Si Kera Ngalam!"
Si sopir mengacungkan tinjunya ke angkasa sambil berteriak-teriak sendiri.
Semuanya tertawa, bingung, dan nggak
195
ngerti istilah dan tingkah si sopir yang kocak ini, dengan blangkon dan
badannnya yang gempal pendek, pipi tembem, memakai baju lurik cokelat
bergaris hitam,
"Mas pecandu sepakbolaya? Sama dong, saya juga," celetuk
Ian.
"Oh iya aku suka bal-balan dari kecil." "Klub favoritnya apa, Mas?" "Kalo di
Indonesia jelas aku Aremania, wong dari Malang." "Kalo di Italia aku suka
AC Milan, strikernya (baca: setrikher) itu lho sing jago... sapa jenenge?.... Oh
Chen-ko." "Shevchenko kali, Mas," Ian menahan geli. _ "Iya itu."
"Kalo di Inggris?" Ian bertanya lagi. "Wah di Inggris aku suka Men-yu."
"Apa tuh Men-yu?" "Itu... yunaytit...."
"Oh Manchester United ya, Mas? Sama dong... sama saya."
Si sopir tersenyum menoleh ke belakang, sambil mengemudi ia meneruskan
obrolan dengan Ian.
"Oh Mas juga suka yunaytit? Saya kira badannya saja kita sama, ternyata
pengemar yunaytit juga. Men-yu baru beli pemain baru tuh, Mas...
namanya Krisno."
"Hah?"
Ian terkaget-kaget, sepanjang pengetahuannya nggak ada satu pun nama
pemain Manchester United bernama Jawa. Ian coba mengingat-ingat
"Nggak ada, nggak ada Krisno... nggak ada." Mas, setahu saya nggak ada
yang namanya Krisno di MU."
"Ono' sing dari Portugal iku lho. Temannya pigo (Luis Figo)."
"Siapa ya? Oh!" Ian tertawa terpingkal-pingkal.
"Oalahh... Christiano Ronaldo," Ian berteriak geli.
196
"Iya itu dia kan kalo disingkat jadi Krisno..."
"Ongis nade itu apa, Mas?" Riani bertanya bingung.
"Ongis nade itu mbak artinya Singo Edan. Kita memang Aremania,
khasnya sering membolak-balik huruf dalam kata kata supaya bagus. Kalo
kata anak Jakarta sekarang fungki (baca Fungki, bukan Fankeeehh...!!)."
"Berarti Kera Ngalam tadi, kalo dibalik jadinya Arek Malang?" Dinda
bertanya lagi ke si sopir.
"Bagus... bagus... udah ngerti, wong iku ana tulisanne kok di kaca
belakangku." Semuanya menoleh ke kaca belakang angkot dan menemukan
stiker singa yang sedang mengaum di atas tulisan besar Ongis nade dan
Kera Ngalam.
"Lho ini yang di bawah apa artinya?" Zafran melihat tulisan kecil di sudut
kaca belakang angkot dan membacanya. "www.Suhartono-Gembul.com"
"Iku namaku, Mas..., Suhartono, Gembul iku panggilanku di sini."
"Oh namanya Mas Suhartono, kenalan dulu dong, Mas... saya Genta, itu
yang badannya gede Arial, yang satu spesies sama Mas namanya Ian, yang
kurus gondrong itu namanya Zafran, yang Mbak-mbak itu yang pakai
kacamata Riani, yang satu lagi namanya Dinda."
"Halo Mas Suhartono...," mereka melambaikan tangan ke kaca spion dalam.
Mas Suhartono tertawa kecil ramah. 'Jangan pangil Suhartono, panggil aku
Mas Gembul aja, wong dari kecil dipanggil Gembul atau gudel."
"Gudel tu apa, Mas?" Genta bertanya lagi.
"Anak sapi! Hehehe...," Mas Gembul teriak sambil tertawa keras. "Nanti
dulu yang... yang di depan ini namanya Mas Genta, sing mirip artis
sinetron iku Ari...."
197
"Arial," Genta membenarkan.
"Iya Arial... yang gudel iku Ian."
"Sialan gue dibilang anak sapi," Ian tertawa kecil.
Mas Gembul meneruskan, "...yang pakai kacamata ini Mbak Riani, sing ayu,
sing ayu satu lagi Mbak Dinda."
"Mmh... kalo cewek aja hapal, pake ayu segala," Zafran berujar dan
menyenggol pundak Mas Gembul.
"Oh tentu dong. Piye kabare Mbak Riani, Mbak Dinda... ghuwee Mas
Gembul."
Mas Gembul menoleh ke belakang sebentar. Tampang kocak dan polos
serta logat Betawi bercampur Jawa Timur, mentok Mas Gembul membuat
Riani dan Dinda tertawa.
"Arial iku mirip Dinda...," Mas Gembul berkata lagi."
"Kan mereka kembar."
"Oh...," Mas Gembul menoleh lagi ke belakang dan melihat keduanya
sekilas.
"Woooh iya lho rek, serupa... ganteng... ayu."
Kata "serupa" dari Mas Gembul tadi membuat mereka ter senyum. Orang
daerah kalo diajak ngomong bahasa Indonesia memang sering memakai
kata-kata baku yang sering ada di buku bahasa Indonesia dan jarang
dipakai.
"Ini namanya pake dot.com segala, emangnya Mas Gembul punya
homepage?" Zafran bertanya lagi ke Mas Gembul kocak ini.
"Hompej iku opo? Dompet?" "Ini, yang wewewe dotkom."
"Oh... wewewe dotkom" (mas Gembul baca: dwot chom). "Aku nggak ngerti
itu opo artinya, cuma buat bergaya saja karena di TV sering dengar ada
yang ngomong www dwot chom... iku berarti angkot ini punya Suhartono
Gembul."
Semuanya ngakak lagi.
198
"Aku salah ya...," Mas Gembul ikut ketawa. "Enggak, enggak, Mas Gembul
emang keren...," Genta menepuk-nepuk pundak Mas Gembul.
"Fungki dong ghuweek...," Mas Gembul teriak sendiri. "Eh, Mas tadi belum
dijawab...," Ian bertanya lagi. "Opo?"
"Gimana bisa tau lagu supporternya Persija?"
"Oh iku. Waktu aku ke Jakarta, kebetulan Arema sedang bertanding juga
melawan Persija di stadion dekat terminal bus iku lho, Mas?" Mas Gembul
masih memakai bahasa Indonesia yang baik dan benar.
"Lebak Bulus."
"Betul... Lebak bus."
"Lebak Bulus...," Arial membenarkan.
"Oh bukannya lebak bus... tak kira Lebak bus... kan di situ terminal bus."
"Hahaha...," mereka ketawa lagi. Mas Gembul ini kocak banget.
"hehehe...," Mas Gembul juga ikut tertawa senang. "Trus, trus...."
"Lalu aku nonton Arema, Mas."
"Oh... jadi langsung hapal lagu supporter Persija?" Ian terus melihat Mas
Gembul dari kaca Spion dalam. "Iya... wong The Jak nya nyanyi terus." "Mas
Gembul juga nyanyi?" "Pasti... lagunya Aremania, tapi tak terdengar."
"Kenapa?"
"Wong mainnya di Lebak bus (salah lagi...!) kandang Persija Semua jadi
warna oranye, suporter Arema cuma sedikit. Saya ketemu orang-orang
Malang di sana karena kita sesama Aremania. Dan katanya saya lucu,
ngguyu terus, saya diajak pulang bareng
199
sama Arema, sama pemainnya. Wah waktu itu aku seneng sekali Mas...,
ketemu idola...," Mas Gembul bercerita dengan mata berbinar-binar."
"Wah hebat juga Mas Gembul" puji Arial.
"Tapi ada satu lagi Mas yang berkesan."
"Apa?"
"Aku salaman sama suporter Persija, rasanya senang sekali."
"Lho kok senang?" kali ini Riani yang bertanya.
"Saya nggak nyangka kok mereka ramah sama saya, mungkin karena saya
lucu."
"Tapi kan biasanya suporter bola berantem terus," Riani berkata pelan.
"Wah, Mbak jangan salah sangka, tiap suporter itu sebenarnya nggak mau
berantem, apalagi sekarang udah rapi. Tapi kadang-kadang ada orang
yang jadi protor iku lho."
"Protor?" semua bingung.
"Provokator kali, Mas Gembul," Dinda tiba-tiba menjawab membenarkan.
"Uh iya provokator. Provokator dwot chom." "Kok pake dwot-chom?"
Arinda geli. "Kan biar fungki... hehe...."
Angkot Mas Gembul mulai berjalan mendaki berbelok-belok, menuju
Tumpang.
"Terus akhirnya aku ngobrol sama yang namanya Mas Jupri, supoternya
The Jak."
"Aku minta dituliskan lagu tadi sama dia, wong lagunya lucu," lanjut Mas
Gembul, "makanya aku hapal di luar kepala."
"Lalu aku dikasih banyak barang Persija-saputangan sama ikat kepala, bros
juga."
"Aku sama dia tukaran, dia aku kasih topi Arema sama bros ongis nade.
Waktu tukaran itu aku jadi ingat kalau pemain
200
bola juga suka tukaran baju meski di lapangan habis pada kelahi. Kan
sportip gitu."
"Aku juga tukaran macem-macem. Aku Arema, Mas jupri Persija, kami
berjabat tangan."
Matahari sore menimpa setengah wajah Mas Gembul yang tersenyum
lembut Jalan berkelok naik diapit lembah dan bukit-bukit tinggi bersama
angin pegunungan dingin yang mulai menyapa masuk, seakan menghiasi
indahnya cerita Mas Gembul.
Angkot makin mendaki tinggi, matahari sore yang mulai menghangat
memasuki angkot Alam pegunungan membuat udara mulai lembap.
"Oh iya, Mas-mas sama Mbak-mbak ini mau ke mana? Bromo atau
Mahameru?" . .
"Ke Mahameru, Mas.,.," jawab Genta.
"Oh ke Mahameru. Mau ikutan upacara Agustusan di sana
ya?"
"Ya begitulah...."
"Aku juga udah pernah ke Mahameru. Waduh, saya senang sekali Mas
waktu itu."
"Oh... Mas Gembul sudah pernah?"
"Waktu SMA, arek Malang pasti kebanyakan pernah ke Mahameru. Kalo
dihitung akil sudah... sebentar... delapan kali ke sana, sampai puncak lima
kali Hanya di Ranu Kumbolo tiga kak. Siapa yang sudah pernah ke sana?"
"Baru Genta aja, Mas...," Arial menjawab.
"Oh yang lain belum pernah? Jadi ini yang pertama kali? Waduh waktu
saya pertama kali, berat sekali Mas. Lelah aku, mana badanku gembul
waktu itu, jadi aku nggak sampai puncak, tenagaku habis. Aku kemah aja
di Ranu Kumbolo... nggak kuat ke puncak."
Ian tercekat. "Yah Genta... ntar gue nggak kuat lagi...," Ian bergumam pelan.
201
Riani dan Dinda pun membatin, semuanya harus sampai ke puncak
bagaimanapun caranya.
"Kalian udah bilang sama orang tua kalian kan?" Mas Gembul bertanya
lagi.
"Udah, Mas." Bagai koor, semua menjawab dengan tatapan kosong, sekilas
bayangan-bayangan lewat di depan mereka- bayangan keluarga dan
rumah yang kayaknya jauh banget.
"Bagus. Kalo mau naik gunung harus bilang sama orang tua dulu, jangan
main-main sama alam."
Zafran terdiam sebentar. Tiba-tiba bayangan orang tuanya muncul. Zafran
memang satu-satunya yang nggak pamit karena kalo bilang mau ke
gunung pasti nggak boleh pergi. Zafran jengah.
Zafran mencoba mengalihkan pembicaraan, "Banyak sekali, Mas... sampai
delapan kali."
"Wooo, iya jelas,... wong Mahameru itu...," Mas Gembul menarik napas
panjang dan melepaskannya, "aku nggak bisa ngomongnya, Mas. Nanti aja
Mas sendiri yang merasakan."
Tapi tak lama Mas Gembul meneruskan, "Mahameru itu akan artinya raja
dari gunung atau gunung yang besar. Maha artinya besar atau megah dan
meru dalam bahasa Jawa artinya gunung. Banyak sekali legenda tanah
Jawa sampai Bali yang memakai Mahameru sebagai mitos abadi, sebagai
puncak para dewa karena tempatnya yang paling tinggi di Pulau Jawa. Nah
waktu naik yang kedua kali, aku sampai puncak. Sehabis itu aku
kecanduan naik gunung, kangen terus sama Mahameru."
"Kok yang kedua bisa sampai puncak? Emangnya?" Ian bertanya lagi.
"Enggak aku nggak diet kok," kata Mas Gembul seakan mengerti
pertanyaan Ian, "Entah kenapa aku bisa, aku nggak tau, padahal
perjuangannya berat sekali."
"Tapi suara-suara di sini, Mas," Mas Gembul menunjuk keningnya,
202
"Suara itu bilang bahwa aku bisa, aku pasti bisa. Dan entah kenapa aku
bisa... dengan badan sebesar gentong begini."
"Trus...," Mas Gembul berhenti bercerita.
Mas Gembul geleng-geleng kepala sendiri... tidak meneruskan ucapannya.
"Kenapa, Mas?"
"Waktu sampai puncak.... Ah aku ndak mau cerita ah... biar nanti kalian
merasakan sendiri."
Genta yang sudah pernah sampai puncak mengangguk lega, Jangan dulu
cerita, kata batin Genta.
"Tapi yang pasti, sehabis naik yang kedua kali sampai puncak itu aku
langsung berhenti."
"Berhenti apa, Mas?" Dinda penasaran.
"Berhenti bandel. Aku dulu kan mabok-mabokan kerjanya, jadi preman
pasar gitu, kelahi trus, pokoknya aku bandel lah. Setelah berhenti bandel
aku langsung nikah, sekarang aku udah punya anak satu, umurnya
setahun, gembul kayak bapake."
"Oh...."
"Waduh, mungkin kalo dulu aku nggak ke Mahameru, aku masih jadi
preman, Mas. Mabok-mabokan, luntang-lantung, dulu aku juga jadi
pengedar iku lho Mas, Marley Marley."
"Apaan tuh?"
"Daun ganja. Waktu ke Mahameru aku juga bawa ganja, tapi habis dari
puncak langsung aku buang semuanya, aku juga nggak minum lagi.
Tobat."
"Oh."
"Untung waktu itu aku ke Mahameru, kalo ndak mana bisa punya istri,
punya anak, punya angkot sendiri." Mas Gembul berujar sambil menyeka
keringatnya dengan syal Arema yang masih melingkar di lehernya. Terlihat
di tangannya yang gempal bekas luka panjang jarahan tato yang coba dia
hilangkan dengan berbagi cara tapi tetap saja meninggalkan bekas.
203
"Sudah mau sampai Tumpang."
Mas Gembul memperlambat angkotnya dan berhenti di sebuah terminal
kecil yang dipenuhi jip-jip besar Land Rover model lama, tanpa atap.
"yo wis... sudah sampai. Tinggal naik jip."
Mereka pun turun dari angkot, mengeluarkan segala barang bawaan. Genta
menyelesaikan pembayaran dengan Mas Gembul, dengan sedikit adegan
lucu. Genta dan Mas Gembul berkejaran. Genta mau memberi lebih untuk
tips, sementara Mas Gembul menolak.
" Yo wis. Hati-hati ya... Mas Gembul doakan supaya selamat., semuanya
sampai di puncak." Mas Gembul menyalami mereka satu per satu.
"Yunaytit...," kata Mas Gembul sambil mengepalkan tinjunya ke Ian.
"Aremania...," Ian membalas lantang.
"Oh ya, ini aku ada kartu nama kalo mau mampir ke rumahku di Malang."
Mas Gembul memberikan kartu nama Aremania ke Ian.
"Suhartono, koordinator wilayah Aremania'.
"Oh...," Ian kaget membaca kartu nama itu.
"Kalo mau mampir, telepon saya dulu di rumah atau di handphone, beginibegini aku punya handphone," kata Mas Gembul tersenyum. "Atau kalo
tidak, nyemes dulu."
"Haa?" semuanya bengong.
"Nyemes itu apa?"
"Lho kalian dari Jakarta masa nggak tau nyemes? Nyemes itu kata-kata
dari Mas Jupri, suporter Persija yang tadi saya ceritain. Nyemes itu artinya
saling ber-SMS. Kata Masjupri itu bahasa Betawi modern yang udah punya
handphone dan mendengarkan Bens Radio, radio favoritnye Masjupri.
Ghuwe ini hanak Betawi phunye
204
Ghayeee." Mas Gembul berkata polos. Sekali lagi logat Jawa yang mentok
ketemu dengan logat Betawi yang mentok juga. Jadinya, semua berantakan
jungkir balik nggak karuan kelempar-lempar.
Semua masih bengong. Mas Gembul dan angkotnya pun beranjak pergi.
"Jangan lupaaaa shama Ghuwee yaa!!! Enchang-enching enyak babeh
Jangan lupa nyemeeees!" Mas Gembul berteriak kencang sekali sambil
melambaikan tangannya. Angkot makin menjauh.
"Beda banget nggak, Yan?"
"Apa?" Ian menoleh ke Zafran.
"Mas Gembul sama cerita lo. Sopir angkot yang nurunin lo di jalan," Zafran
berkata pelan sambil meremas pudak Ian. "Beda banget."
Matahari bersinar hangat bercengkrama dengan udara yang mulai
mengembus dingin sore itu.
Rehumanize
Dalam perjalanan mereka satu hari ini, banyak yang sudah didapatkan di
antara sekumpulan makhluk Tuhan bernama manusia dan banyak juga
yang sudah mereka lepaskan. Manusia mendapatkan sesuatu dari manusia
lain. Manusia melepaskan sesuatu dari manusia lain. Manusia menjadi
manusia karena manusia lain, atau mungkin ada juga manusia yang
menjadi manusia kembali karena manusia lain. (Bagi umat manusia,
manusia itu suci.)
* Slogan Humanisme dunia sampai sekarang,dari Filsuf Stoik Athena,
Seneca (4 SM-65 M)
Humanisme: Suatu pandangan hidup yang menempatkan individu sebagai
fokus utama.
Pencetus Humanisme: Filsuf Stoik Negarawan Athena,Cicero(106 SM-43
SM),
205
Tujuh
You Are the Universe
...sesungguhnya setiap manusia memang diberi kebebasan
untuk memilih. Memilih di persimpangan persimpangan kecil atau besar
dalam sebuah "Big Master Plan" yang telah diberikan Tuhan kepada kita
semenjak kita lahir....
Matahari sore masih tersisa sedikit, menembus pepohonan dijalan desa
kecil. Sore itu di Tumpang banyak sekali kesibukan, jip-jip menunggu
pendaki yang mulai berdatangan dengan berbagai macam tas carrier besar.
Penampilan mereka mirip semua karena memang mempunyai tujuan yang
sama: MAHAMERU.
"Harus naik jip ya, Ta?" Ian bertanya ke Genta yang sedang nanya-nanya ke
salah satu sopir jip.
Ian dicuekin Genta yang lagi serius. Ian mencoba bertanya ke yang lain.
Sama saja. Semuanya menggeleng karena mereka kan juga baru pertama
kali ke sini.
Genta mendadak menoleh ke Ian, "Eh Ian sori ya, betul harus naik jip
karena jalannya bukan jalan biasa lagi, tapi udah mulai naik gunung,
harus pakai mobil yang four wheel drive... mobil biasa nggak mungkin kuat
sampai ke atas."
206
"Four Wheel Drive itu apa?" Dinda yang berdiri di samping Zafran ganti
bertanya.
Arial menjelaskan ke adiknya. "Four Wheel drive itu penggerak empat roda.
Jadinya, roda depan juga ikut bantu dorong mobil. Kalo mobil yang biasa
berkeliaran di kota-kota kan cuma ban belakangnya doang yang jadi
penggerak."
"Oh... gitu to."
"Buat jalan nanjak banget ya...?" tanya Riani. "Enggak juga, buat di pasir
juga," Ian menjawab pertanyaan Riani.
"Oh...."
Sopir jip yang tadi berbicara dengan Genta memberi tanda dengan
melambaikan tangan dari kejauhan.
"Oke sip beres. Itu jip kita, ke sana yuk."
Rombongan berjalan ke arah jip yang ditunjuk Genta. Beberapa pasang
mata pendaki dan penduduk di situ melihat heran ke arah rombongan
"Power Ranger" + Dinda ini. Beberapa laki-laki berbisik-bisik dan
tersenyum melihat Riani dan Dinda. Memang nggak terlalu banyak kaum
wanita yang pergi mendaki.
Mereka menaikkan barang-barang ke dalam jip Land Rover lama yang
disulap seperti bak terbuka. Semua tas carrier yang besar ditumpuk
berdesakan dengan para pendaki lain yang juga ikut dalam jip. Hampir
sekitar sepuluh sampai lima belas orang bisa muat berdiri berdesakan
dalam jip, bahkan kadang-kadang ada yang harus duduk di atas atap
depan jip. Keenam sahabat itu juga berdiri berdesakan, di antara para
pendaki lain.
"Buk, buk...," badan jip tiba-tiba dipukul keras.
"Wis berangkat...."
Jip mulai berjalan perlahan, penumpang dan barang tampak berguncangguncang. Angin sore di Tumpang menerpa wajah para penumpangnya. Jip
terus berjalan menanjak melewati jalan
207
desa. Rumah-rumah sederhana berbaur dengan wajah penduduk desa
yang selalu terbengong-bengong melihat jip.
"Eh, itu kebun apel ya?" Dinda berteriak agak keras sambil menunjuk
sebuah kebun berukuran agak luas di samping mereka.
"Oh iya kebun apel. Apel Malang itu mungkin dari sini ya?" Riani
tersenyum, baru sekarang ia melihat pohon apel dengan ukuran pohon
yang tidak terlalu tinggi dan buah apel yang bergantung ranum. Baru
sekarang gue lihat apel ada di pohon," Ian menambahkan.
"Biasanya udah yang pakai stiker ya, Yan?" Zafran menoleh ke Ian.
"Itu juga bukan apel dari sini," sahut Ian lagi.
Semua pendaki yang menumpang di jip itu juga tampak terpana melihat
kebun apel. Ian masih sibuk memotret kebun apel.
"Dapet gambarnya, Yan? Mobilnya goyang-goyang gini."
"Speed tinggi, bukaan (diafragma)*(Pengukur Intensitas cahaya dan
ketajaman gambar di lensa kamera.) lebar...," jawab Ian dengan tetap
memutar-mutar Lensa Nikor 75 - 300-nya.
"Oh...," Zafran mengangguk-angguk sok ngerti.
" Mas maaf Mas, saya mau bilang aja, nanti kalo bisa kameranya dibungkus
rapat biar tetap hangat supaya light meter-nya nggak rusak. Apalagi Nikon
F4 itu rada-rada sensitif." Tiba-tiba salah satu penumpang jip
berpenampilan mahasiswa, berwajah persegi berjanggut tipis, dengan
slayer oranye dan kacamata hitam menegur Ian.
"Oh gitu ya, Mas? Kenapa?"
"Di atas nanti dingin sekali. Tahun lalu light meter saya rusak, kedinginan,"
jawab si slayer oranye tadi sambil memperlihatkan kamera yang
digantungkan di lehernya.
208
Ian melihat Canon EOS hitam tergantung,
"Oh gitu... makasih ya, Mas... nasihatnya"
Si slayer oranye tersenyum ramah, "Sama-sama, Mas."
"Mas dari mana?" tanya Ian.
"Saya dari Surabaya...," jawabnya lalu menyebutkan salah satu kampus
teknologi terkenal di Surabaya. "Saya Ian, Mas. Dari Jakarta." "Deniek."
"Hah? Ada hubungan sama Deniek G Sukarya?" Ian menyebutkan nama
salah satu fotografer alam terkenal di Indonesia
"Bukan Mas, namaku sebenarnya Denie Kurnianto. Biar keren aja Mas, saya
sih pengagum Mas Deniek G Sukarya," Deniek menjawab pertanyaan Ian
sambil tersenyum.
"Hahaha.. saya kira Deniek beneran...."
"Mas bawa Black & White (hitam putih) nggak? tanya Deniek.
'Jangan panggil Mas, Ian aja Bawa! Gue bawa BW kok."
Deniek mengacungkan jempolnya ke Ian.
"Keren ya, Niek pakai BW di Semeru. Semuanya jadi dramatis hitam putih."
Deniek mengacungkan jempolnya lagi. Ian heran, nih orang dulunya
bintang iklan penyedap masakan apa? Ngasih jempol melulu. Belum tau ya
kalo gue juga bintang iklan No Problem?
"Pakai asa rendah BW-nya?" Deniek bertanya lagi.
"Gue bawa Bford asa 100."
"Gue bawa asa 50, Hford juga."
"Dobel?"
"Yup," kata Deniek sambil mengeluarkan satu lagi Nikon FM 10.
"Sama dong." Ian mengeluarkan satu lagi kameranya, Nikon FG 20, sebuah
kamera tua
209
"Wah itu kamera hebat Yan. Bandel banget tuh. Udah pake apperture
(pengatur cahaya otomatis di kamera) kan?"
"Yo'i ini punya babe gue? kata Ian tersenyum. "Lensa?" "Wide, lensa
cembung (fish eyes), zoom? "Sama... dong? Ian tersenyum. "Filter?"
"Polarisasi." Ian dan Deniek bersamaan menyebutkan filter kamera yang
bisa bikin langit bertambah biru itu berbarengan.
"Filter koreksi?" (filter yang berfungsi untuk mengoreksi warna) tanya
Deniek lagi.
"Lengkap!"
"Hahaha... kita sealiran," Ian dan Deniek tertawa bareng.
"Eh Deniek, ini teman-teman gue dari Jakarta. Kenalin. Itu Genta, Arial,
Zafran, Riani, dan Dinda." Ian memperkenalkan teman-temannya satu per
satu.
"Hei... semuanya! Ini Deniek, dia juga seneng motret"
Kelima sahabat itu tersenyum pada Deniek.
"Ini juga teman-temanku satu kampus. Ini Darwis, Peter, Oskar." "Hah?
Kok nama fotografer terkenal semua?" Ian takjub dan bingung.
"Kebetulan," kata teman-teman Deniek berbarengan. Jip mulai
meninggalkan daerah pedesaaan, mendaki bibir lembah dengan pohon
pinus tinggi di kiri-kanannya.
"Sekarang udah yang kelima. Nggak bisa bosen sama Mahameru.
Mahameru itu indah sekali," terang Deniek, menjawab pertanyaan temanteman barunya.
"Oh... sering juga ya?" Dinda ikut bertanya.
"Iya., kita sekalian mau ziarah."
"Hah?" Keenam sahabat itu mendadak terdiam dan menatap Deniek tajam.
210
Deniek menarik napas panjang, membuka kacamatanya lalu menatap
keempat teman kampusnya. "Lima tahun lalu tepat tanggal 17 Agustus,
teman baik kita satu kampus...."
"Saudara... bukan temen," salah satu teman Deniek menyela kalimat Deniek
pelan.
"Saudara kita...."
Deniek menarik napas panjang lagi. "Harus meninggal di Mahameru."
Deniek seperti bergumam pelan, matanya menatap ke arah lain. "Waktu itu
rombongannya ya kita ini, tambah dia satu...." "Kenapa?" Genta ingin tahu.
Deniek menarik napas lagi. Menatap Genta, mencoba mengumpulkan
keberanian untuk bercerita. Wajahnya menyimpan kesedihan yang
mendalam, membuat Genta menyesal telah bertanya.
"Almarhum sahabat terbaik kita, sering nongkrong sama-sama, kita udah
jadi teman sejak SMA."
Keenam sahabat itu merasa ada rasa lain yang nggak enak di hati.
"Nggak ada yang tau dia meninggal kenapa, tiba-tiba seperti hilang begitu
saja ditelan bumi. Jasadnya nggak pernah ditemukan. Sudah dicari hampir
satu bulan, tapi akhirnya kita dan tim SAR nyerah," Deniek menghela
napas panjang. Ada yang mengganjal di hatinya, "Cuma carriernya yang
ditemukan di Arcopodo, tergeletak begitu saja. Dia entah di mana.
Akhirnya, di tempat carriernya itulah kita buat bata nisan."
"Oh... maaf," keenam sahabat tercekat. Terdiam dan saling memandang
satu sama lain.
Ian masih menatap Deniek. Deniek yang seakan tahu apa pertanyaan Ian,
meneruskan. "Di Mahameru memang begitu, Yan. Banyak yang hilang
begitu saja seperti ditelan bumi. Yang
211
ditemukan cuma tas atau barang apa aja yang pernah melekat, tapi
jasadnya entah ke mana nggak pernah ketemu. Sampai rangka
tengkoraknya pun nggak pernah ada. Di mana ada barangnya ditemukan,
di situ kita buat nisan buat menandakan keberadaanya terakhir."
Genta yang mendengar penjelasan Deniek jadi terdiam, menatap matahari
sore yang menghangat. Perlahan dia melirik wajah temannya satu per satuyang sepertinya masih menatap kosong ke jurang dalam di samping mereka.
Batin Genta pun berdoa, "Ya, Allah... selamatkanlah mereka sahabatsahabatku. Semua yang terjadi adalah kehedak-Mu, semua yang hidup akan
kembali kepada-Mu, kuserahkan semua ke keagungan-Mu." Ada rasa
sedikit menyesal dalam diri Genta. Akibat terlalu semangat, dia lupa
memperhitungkan risiko dari semua ini. Sekali lagi Genta menatap
temannya satu per satu. Bayangan orang tua dan saudara mereka-yang juga
sudah kenal dekat dengan dirinya-terlintas sekilas di matanya. Genta
menarik napas panjang. Kepala Genta mendongak ke atas, menatap langit,
meminta yang di atas sana mendengar doanya.
"Tapi memang perjalanan ke Mahameru itu nggak ada duanya, selalu
penuh kejutan," Deniek mencoba mengalihkan pembicaraan begitu melihat
teman-teman barunya seperti terlihat sedih.
"Maksudnya?" Riani bertanya ke Deniek.
"Ya seperti sekarang ini. Pakai naik jip. Seperti petualang sejati di alam
terbuka pegunungan, bebas dari segala tekanan. Anginnya lain, hawanya
lain, kanan-kiri jurang tanpa pembatas jalan. Pokoknya, lengah sedikit
goodbye..." jawab Deniek.
Jip masih mendaki dan berguncang-guncang. Udara dingin yang menusuk
perlahan menyatu bersama angin sore, membuat sebagian penumpang
mulai memakai jaket
212
"Ini juga salah satu petualangannya...," Deniek dan teman-temannya
tampak tersenyum dan mengangkat tangannya ke atas.
"Kayu putih!" tiba-tiba Deniek meloncat, mengambil segenggam daun dari
pohon yang terjuntai rendah di atas jip yang masih merangkak mendaki.
"Apaan tuh?" Zafran tertarik.
"Tau minyak kayu putih? Cajuput oil?"
Zafran mengangguk.
"Ini daunnya," kata Deniek sambil membuka telapak tangannya. Daun
hijau halus agak berserat terlihat di genggaman tangannya. "Cium deh."
Zafran menerima daun yang diulurkan Denik. Bau minyak kayu putih
yang khas memenuhi penciumannya, "Gilee, persis banget baunya sama
minyak kayu putih." Zafran yang masih terkesima memberikan daun itu ke
teman-temannya.
"Udah mulai kedinginan belum?" Oskar angkat bicara.
"Masukkan aja ke sini." Oskar memasukan daun kayu putih tadi ke dalam
sweaternya sehingga sweater itu seperti menonjol penuh daun. "Hangat...
jadinya," kata Oskar sambil tersenyum.
Keenam sahabat itu terbengong-bengong?
"Itu di depan ada lagi... siap-siap!" Deniek berteriak melihat juntaian
batang rendah di depannya.
Hup!
Semuanya meloncat meraih daun yang terjuntai rendah. Arial yang paling
tinggi mengangkat tangannya, memetik segenggam daun kayu putih dan
menciumnya. Kehangatan sesaat membuat Arial terpejam.
"Hangat kan? Alam memang baik sama kita. Di tempat dingin begini kita
dikasih daun hangat, bukannya kaktus atau nanas... hehehe...," Deniek
berujar, tersenyum ramah.
213
Tiba-tiba gerakan tubuh Deniek terlihat panik, Deniek menyiapkan
kameranya "Ian!" Deniek menepuk punggung Ian yang sedang memasukan
daun kayu putih ke jaketnya.
"Ada apa?"
"Bromo."
Hampir semua penumpang jip menoleh ke kiri. Bromo seperti muncul
pelan di antara guncangan jip yang menanjak tertatih-tatih. "Wow."
"Gile...."
"Kereeennn...," keenam sahabat berdesis kagum, penumpang lain terkesima
dan geleng-geleng.
Zafran sampai bengong. Gunung Bromo dengan asap yang membubung
tipis dari kawahnya terbentang di hadapan mereka, padang pasir
memeluknya tenang, kabut-kabut kecil bawaan angin padang seperti
melambai mencoba naik ke langit. Matahari sore menerangi setengah
punggung gunung dari barat, membuat Bromo seperti terbagi antara
terang dan gelap, menimbulkan sedikit getaran di tengkuk mereka. Riani
mengeluarkan handy cam dan mulai merekam.
"Itu Arjuna." Salah satu penumpang menunjuk sebuah gunung di kejauhan
yang terselimut kabut putih dan matahari yang mengintip di punggungya.
Arjuna berdiri dalam diam.
"Dan... itu...
Mahameru."
Keenam sahabat itu dan seluruh penumpang jip terkesima dengan
pemandangan di depan, sesaat jip berbelok menanjak perlahan. Suara
tarikan napas takjub terdengar jelas di antara bunyi mesin jip. Mahameru
berdiri megah dan agung seperti tertegun bijak menyambut mereka
Asapnya merengkuh langit sore dengan awan putih bergumpal yang
melingkar seperti syal
214
raksasa. Serombongan kecil awan Jingga yang beriring lebih rendah seakan
menunduk memuja sang tanah tertinggi di Jawa. Udara dingin yang mulai
menusuk mulai memberi tahu pada siapa mereka akan menuju, di mana
mereka akan berdiri nantinya. Hutan hijau yang mengapit jalan desa kecil
itu seperti berbaris memberi salam selamat datang. Keenam sahabat itu
menarik napas panjang sekali.
"Fiuh," gelengan kepala mereka seakan pertanda kehilangan kata-kata
yang harus diucapkan.
Riani memejamkan matanya, membawa keindahan itu ke hatinya. Genta
tersenyum ke semua temannya yang masih kagum. Sebuah suara berat
menyadarkan mereka dari lamunan.
"Gilee... masa masih begini juga ya?! Heran gue. Udah puluhan kali lebih
gue ke Mahameru, tapi kalo ngeliat puncaknya begitu, gue masih
merinding."
"Fiuhh... wahh... Subhanalllah... Allah Mahabesar."
Semua penumpang jip menengok ke sosok laki-laki berumur yang
berkumis putih, dengan topi hutan-yang masih saja geleng-geleng kepala.
Dari logatnya, bisa ditebak kalo bapak ini pasti dari Jakarta. Si Bapak
sepertinya tahu kalau sedang jadi perhatian, ia menoleh ke semua
penumpang lalu menyunggingkan senyum kebapakan.
"Maaf bukannya Bapak mau sok tahu. "Di sini...," ia menunjuk dadanya,
"Mahameru itu bukan cuma perjalanan alam, tapi perjalanan sebuah hati,"
katanya tersenyum. "Dan, yang bikin saya masih merinding sampai
sekarang adalah kalo ternyata pemandangan ini baru sebagian kecil dari
apa yang akan kita temukan di sana. Keindahan ini belum seberapa...belum
seberapa. Sudah seindah ini, tapi belum seberapa." Si Bapak kembali
geleng-geleng kepala, menaikkan alis matanya sedetik, lalu tersenyum lagi
ke semua penumpang.
215
"Tanah ini indah sekali," desisnya kemudian.
Keenam sahabat masih mendongak mengagumi Mahameru.
"Ta..."
"Iya, Yan."
"Nanti kita akan ke sana? Berdiri di puncak itu? Berdiri di sana?"
"Iya...."
"Tinggi banget, Ta..."
"Iya." "Bisa apa kita, Ta?"
Genta terdiam, matanya masih lekat di puncak Mahameru yang masih
terlihat kecil. Mata Genta terpejam.
"Yakin kita bisa?" tiba-tiba Genta menoleh ke teman-temannya dan
menatap tajam satu per satu.
"Gue udah taruh puncak itu dan kita semua di sini." Arial berkata pelan
sambil membawa jari telunjuk ke keningnya.
Genta tersenyum. "Kalo begitu... yang kita perlu sekarang cuma kaki yang
akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih
banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya,
leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali
lebih keras dari baja."
"Dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya," sambung Zafran.
"Serta mulut yang akan selalu berdoa," Dinda tersenyum manis.
Setuju!!!
Jalan aspal berbatu sudah menemui ujungnya. Mereka mulai memasuki
desa kecil dengan beberapa rumah yang masih berpenerangan lampu
minyak. Malam pun menunggu mereka di
216
antara lembah, bukit kecil dengan pepohonan besar, dan beningnya danau
berkabut di akhir senja. Jip semakin berguncang keras.
"Di sini ada danau? Di ketinggian ini?" Dinda terkesima dengan
pemandangan di depannya.
"Itu bukannya awan?" Riani menyenggol bahu Genta.
"Bukan Riani, itu danau!"
Sepilas kabut malam turun seperti kapas di atas permukaan bening
menggelap di depan mereka, diterangi cahaya-cahaya lampu minyak kecil
di kejauhan. Jip mulai melambat melewati pinggir danau dengan pohon
pinus sebagai pagar alaminya Malam menyambut mereka di Ranu Pane.
Lampu jip seadanya yang menerangi jalan desa di pinggir danau, seakan
memberi sesuatu di mata mereka. Bayangan Puncak Mahameru yang mulai
menghitam masih terlihat di kejauhan.
Genta berujar mantap, "Kita sampai Di Ranu Pane, Desa terakhir: Dari
sini,semuanya dimulai dengan melangkah."
Ranu Pane
Malam sudah datang menyapa. Mereka menjejakkan kaki di tanah Ranu
Pane. Udara di bawah lima belas derajat Celcius menyambut mereka di
Ranu Pane. Bagi orang kota seperti mereka, mungkin inilah pertama
kalinya mereka merasakan udara sedingin ini. Ranu Pane malam itu
tampak ramai, jip-jip yang menurunkan pendaki tampak berdatangan.
Para pendaki tampak bergerombol mengelilingi api unggun seadanya,
sekadar untuk melawan udara dingin di awal malam. Lampu-lampu jip
bersahutan dengan nyala api unggun, menerangi tanah datar di atas bukit
kecil yang merupakan base camp awal pendakian Mahameru.
Pemandangan yang nggak biasa dan udara yang sangat dingin membuat
mereka merasa seperti berada di di alam lain, alam para petualang.
217
"Ggg... iii... lllaa... dii... dii... ngin ba... ngg... eet...," Riani tampak menggigil.
Dinda menunduk, tangannya sedekap... bergetar. "Ini malam masih baru
mulai, baru jam tujuh lebih, gimana nanti tengah malam sama dini hari?
Kayak apa dinginnya?"
"Bisa di bawah sepuluh," sahut Genta sambil menyalakan rokoknya.
"Fiuh!"
"Iii... ni bb... bee... lllu... m se... bbe... ra... pa?" Zafran bertanya dengan terus
menggigil. "Belum," jawab Genta.
"Jangan dirasain, malah terasa dinginnya, kita harus banyak gerak." Arial
melihat ke sekeliling.
Zafran menyalakan rokoknya..badannya yang ceking mencoba menahan
dingin.
"Enak nih kalo ada kuah Indomie hangat," Riani tersenyum.
"Makan yuk...," Genta mulai melangkah.
"Ah ada?" Mata Ian berbinar-binar.
"Itu banyak warung kecil di situ, ada soto ayam hangat, ada Indomie, juga
ada nasi sama ada air jahe."
"Teh manis anget top banget nih," Zafran berujar senang. "Hehehe... yuk."
Mereka pun makan malam di sebuah rumah penduduk yang disulap
menjadi warung makan. Ada kehangatan saat mereka masuk ke ruangan.
Warung makan kecil itu penuh sekali, beberapa pendaki terlihat sedang
menikmati makan malamnya
Keenam sahabat duduk di sebuah meja kecil, berdesakan. Bau aroma
masakan dan hangatnya lampu petromaks membuat mereka nyaman.
Mereka pun memesan makanan.
Dinda melihat sekeliling Cowok semua, batin Dinda. Tiba-tiba Riani
menyenggol bahu Dinda
218
"Dinda, sebelah kiri lo, arah jam sembilan."
Dinda pun menoleh, serombongan cewek berjilbab tampak bergerombol
bersama dalam satu meja.
"Ada juga cucu hawa di sini," Dinda tersenyum senang.
"Arah jam enam," Riani berkata lagi.
Riani dan Dinda melihat lagi tiga orang wanita dan empat orang laki-laki
sedang menikmati makan malamnya.
"Lumayan banyak juga ya cewek yang mau naik ke Mahameru."
Keempat cowok yang ada di situ tersenyum, Dinda sama Riani ada 'temen'nya, kata mereka dalam hati.
Pesanan makan malam mereka pun datang. Soto ayam dan nasi, Indomie,
teh manis hangat, air jeruk hangat, air jahe.
"Wuhh... Allhamdullilah ketemu makanan hangat. Gue udah laper banget,"
Arial berujar senang.
"Puas-puasin sekarang kalo mau makan, mulai besok kita harus masak
sendiri," kata Zafran sambil menyeruput teh manis hangatnya.
"Ah... hangatnya...." Teh manis hangat seakan bertemu dengan
tenggorokan Zafran yang mulai mendingin.
Mereka menikmati makan malam spesial di Ranu Pane.
"Deniek!!!" Arial berteriak agak keras dan melambaikan tangannya.
Tiba-tiba sosok Deniek dan ketiga temannya berjalan di depan warung
makan. Deniek dan ketiga temannya mendekat, "Halo semuanya."
Keempat pendaki itu terlihat sudah siap mendaki dengan segala peralatan
yang menempel di tubuh masing-masing.
"Aku naik malam ini... ya," Deniek tersenyum.
"Lo mau langsung?" Genta bertanya sambil melepaskan asap rokok dari
mulutnya.
219
"Iya...."
Genta tiba-tiba menerima tatapan dari teman-temannya yang kurang lebih
mau bilang, "Kita mau naik malam ini juga, Ta?"
"Kalian mau naik malam ini? Kalau mau kita bisa bareng." Deniek
mencoba membetulkan letak gantungan tasnya.
Semuanya menatap Genta. Genta menggeleng.
"Sepertinya nggak, Niek. Dari pertama memang rencananya besok pagipagi sekali kami baru berangkat."
Deniek tersenyum, "Kalo aku jadi kalian, aku juga nggak akan jalan malam
ini. Baru tadi sore kan kalian sampai Malang? Pasti capek."
"Iyalah istirahat dulu, kita ngecamp dulu di sini malam ini," kata Genta
yang tampak nikmat menyeruput habis teh manisnya.
"Kalau aku kan deket, dari Surabaya, tenaganya masih banyak." Deniek
menyalakan rokoknya, "Lagian juga kita nggak akan ketinggalan upacara."
"Iya, Niek. Tapi emang lebih enak jalan malam, nggak panas."
"Tapi harus lebih hati-hati."
"Yo wis, aku berangkat., ya."
"Siip...!" Zafran mengacungkan jempol tangannya. Keenam sahabat itu
tersenyum pada Deniek. "Yuk sekalian kita antar."
Mereka berdiri dan keluar dari warung makan mengikuti rombongan
Deniek. Hawa dingin pun kembali menyapa mereka di luar. Dua
rombongan itu berjalan berbarengan.
"Kalian ngecamp di sana aja," kata Deniek sambil menunjuk sebuah tanah
datar kecil dengan beberapa tenda.
"Iya kayaknya banyak pohon tuh di situ, bisa ngurangin dingin," sambung
Arial.
220
Sejenak kedua rombongan itu terdiam dalam dingin, menatap jalan
berbatu desa yang gelap dan sepi, cahaya senter dari kejauhan tampak
berlarian ke sana kemari. Genta menoleh ke Deniek.
"Itu, ada juga yang baru naik."
"Iya,..." Deniek menatap sebentar ke cahaya cahaya kecil di kejauhan.
"Fiuh...," Deniek menarik napas panjang lalu mengeluarkannya. Hidungnya
tampak mengeluarkan asap dingin.
Angin malam tiba-tiba berembus agak keras, membuat rambut gondrong
Deniek bersiap terbang. Deniek dan keempat temannya menunduk dan
berdoa.
"Yo wiss, kita duluan." Deniek dan teman-temannya menyalami mereka. Ian
memberikan pelukan laki-laki.
"Sampai jumpa di puncak." Ian menepuk punggung Deniek.
"Di sini... kita... nggak... akan., pernah... tau," desis Deniek pelan.
Deniek memberikan senyum sedikit sekali, yang membuat bibirnya tidak
dapat terbuka lebar. Treq.
Deniek menyalakan senternya, sepilas cahaya senter menerangi tanah
merah dan sedikit rumput basah di bawah mereka. Tatapannya tajam,
setengah wajahnya tampak menggelap, ingatannya kembali ke almarhum
temannya.
"Kita turut berdoa- untuk temanmu...," Arial memegang bahu Deniek.
"Oke... terima kasih."
Rombongan kecil mulai melangkah dijalan berbatu kecil. "Temanmu itu
namanya siapa, Niek?" Ian tiba-tiba berteriak agak keras ke rombongan
kecil yang mulai agak menjauh. "Namanya Adrian!"
221
Teriakan Deniek membuat Ian tercekat Keenam sahabat itu kaget setengah
mati, mata mereka mengikuti rombongan kecil -yang lama-lama
menghilang di antara kerimbunan bukit kecil.
"Namanya... Adrian... juga? Sama dong sama gue," Ian mendesah pelan,
hampir tak terdengar.
Teman-temannya terdiam melirik sedikit ke Ian, hati mereka malas untuk
berpikir lebih jauh lagi.
"Ok... time to work!"
"Kita harus buat tenda. Kalo nggak, malam ini kita nggak tidur!" Genta
tiba-tiba berbalik dan berjalan menuju ke tanah kecil datar yang tadi di
tunjuk Deniek. Suara lantangnya mengagetkan teman-temannya yang
masih bengong. Genta mencoba memecahkan bola-bola kecil penuh warna
gelap yang merasuki otaknya.
"0k Let's go..!" Arial mulai melangkah.
Semuanya berjalan mengikuti Genta. Ian menoleh ke kiri jalan, ke sebuah
tanah kecil. Dalam gelap Ian melihat pohon kamboja yang gelap
menghitam. Ian mencoba memperjelas pandangannya. Batinnya bertanyatanya, Iya kamboja? Kok-banyak batu nisan? Kuburan?
Deg! Ian lemas. Ian mencoba melihat lebih jelas, batu nisan, batu nisan,
batu nisan, pohon kamboja, batu nisan, kuburan? Ada kompleks kuburan?
Ian melepaskan hawa nggak enak yang tiba-tiba masuk. Ian mencoba
melihat lebih jelas lagi. Kok gelap lagi, bukan ah, tanak kosong... ah... ah... ah.
halusinasi gue kayaknya. Nggak ada kuburannya, tapi kok gelap? Ian
geleng-geleng kepala sendiri. Tadi beneran kuburan atau halusinasi gue?
"Fiuhh, kalo halusinasi berarti tandanya apa?" Ian tiba-tiba merasakan
tengkuknya merinding, benjolan-benjolan pori-porinya mengembang.
Ian menarik napasnya dan mengeluarkannya lagi, napasnya memburu,
dadanya naik turun.
222
"Wooy, Ndut Bengong aja, ayo sini!" teriakan Riani menyadarkan Ian.
Tanpa sadar, Ian sudah agak jauh tertinggal dari teman-temannya. Ian
menoleh ke kiri lagi, Gelap kok... nggak ada apa-apa, tapi tadi ada
kuburan?
Angin malam berembus agak kencang. Ian menatap langit malam,
mencoba meminta jawaban. Ian merinding lagi.
"Oke mulai bagi tugas. Gue sama Arial bikin tenda. Ian sama Juple coba cari
sesuatu yang bisa dibakar, ranting-ranting kecil atau sampah kering. Riani
sama Dinda masak air panas, bikin kopi sama teh."
"Setuju?" Genta menatap ke teman-temannya
"Oke Boss!"
Di antara dingin malam Ranu Pane mereka semua bergerak cepat mencoba
melawan hawa dingin yang sangat menusuk.
"Fiuh, jadi juga," Arial mengencangkan pasak terakhir yang ditanam ke
tanah merah lembek. Tenda besar berukuran delapan orang itu berdiri
tegak.
"Malam ini kita tidur di sini...," ujar Genta sambil memasukkan barangbarang mereka ke dalam tenda.
Ian dan Zafran tampak sedang melempar ranting-ranting kecil ke dalam
api unggun yang mereka buat seadanya. Bunyi kletak-kletek kayu dimakan
api terdengar satu-satu. Bau haram teh dan air panas tiba-tiba memenuhi
penciuman mereka.
"Riani... Riani."
"Ian... Ian," balas Riani.
"Udah jadi ya?" Ian bertanya ke Dinda dan Riani.
223
"Udah! Mau apa, Ndut ? Kopi atau teh?" "Dua-duanya...." "Oke."
Mereka duduk mengitari api unggun, yang sedikit membantu
menghangatkan udara sekitar.
"Taa... taa... mm... bah di... ngin...," Zafran menggigil. Ia mengambil teh
panasnya lagi, panasnya air yang baru mendidih seperti tidak terasa oleh
Zafran.
"Udah di bawah lima belas kali ya?" Riani bertanya ke Genta.
"Apalagi nanti di puncak, kayak apa?" Dinda menambahkan.
"Yang enak nanti si Teletubbies ini, lemaknya kan banyak banget kayak
beruang kutub," Genta menyenggol kaki Ian. "Hahaha...."
"Acara TV apa ya malam ini?" Arial menatap kosong ke depan.
"Gue sih nggak mau nonton TV malam ini. Ngapain malam begini nonton
TV? Malam ini terlalu indah buat nonton TV," Zafran menoleh ke Arial.
"Tapi kalo mau nonton TV sih ada," kata Ian sambil tersenyum.
"Di mana?" Zafran mengerutkan keningnya.
"Di sini," kata Ian dengan menunjuk perutnya "kan gue Teletubbies, jadi
perut gue bisa ada TV."
"Iya, pinggang lo juga bisa jadi DVD nya." Zafran ngakak.
"Bukan! Dispenser lagi," Dinda menambahkan.
"Hahaha..." Tawa renyah memenuhi malam mereka.
"Kalo lagi begini, kalo ada film enaknya nonton apa?" Ian mencoba
membawa topik baru.
"Karena baru terkesima sama Bromo dan padang pasirnya,
224
gue mau nonton Pasir Berbisik-nya. Christine Hakim dan Dian Sastro. Kan
pengambilan gambarnya banyak di padang pasir Bromo," Riani menjawab
pertanyaan Ian.
"Oh iya... ya...," Zafran mengangguk lemah.
"Yang lucu sekaligus berkesan puitis, Christine selalu memanggil Dian
Sastro dengan kata 'nak'."
"Anak, bukan nak," Zafran menyambung.
"Sama adegan waktu si Dik Doank pake topeng di belakang kepala," Arial
ikut ngomong, "Udah melihat ke depan kok masih pake topeng?"
"Itu keren tuh, apalagi di alang-alang gitu latar belakangnya padang pasir
dan Bromo," tambah Genta. Hatinya tiba-tiba memberi perintah untuk
melihat ke Riani.
Malam itu di kacamata Riani, Genta bisa melihat bayangan api unggun.
Dagu Riani tampak terang disapu nyala api unggun. Cantik sekali kamu
Riani, batin Genta.
"Udah melihat ke depan kok masih pakai topeng?" Zafran berkata lagi,
"Banyak artinya tuh."
"Banyak," kata Genta sambil menatap lurus ke depan.
"Main tebak-tebakan jadul (jaman dulu) yuk. Ada yang masih inget
nggak?"
"Maksudnya?" Zafran nggak ngerti omongan Ian.
"Tebak-tebakan garing, siapa yang paling garing dia yang menang."
"Apa sih Ian?" Riani masih nggak ngerti. Tapi Ian saklek. "Lemari apa yang
bisa masuk kantong?" tanya Ian.
"Lemari lipet."
"Lemari kecil segede kertas."
"Salah!"
"Lemari ajaib."
225
"Lemari yang udah diklik minimize.''
"Salah." Ian tertawa senang karena nggak ada yang bisa
"Apa?"
"Lema ribuan...," Ian tersenyum menang. "Beggooo... hahaha..."
"Sekarang giliran gue," Zafran melihat ke teman-temannya. "Kenapa... eng...
patung yang di deket bunderan Ratu Plaza, tau kan? Yang lagi megang api
itu.... Yang katanya kalo malam dia duduk kecapekan...."
"Hehehe... tau...," Dinda tersenyum manis sekali. Matanya condong melirik
ke atas, bibir atasnya dikatupkan ke dalam. Berpikir. Rambutnya yang
hitam panjang tampak berkilat memantulkan cahaya api. Dinda
memandang Zafran dengan tatapan lembut Zafran serasa terbang.
"Hehe bengong! Terusin." Ian melempar Zafran dengan ranting kecil.
"Oh... sori," Zafran kaget, dia sedang menikmati keindahan Arinda.
"Kenapa... mmm... kenapa patung itu mukanya kayak lagi teriak keras
begitu?"
"Kalo arti yang sebenarnya sih itu melambangkan semangat," Arial coba
menjawab.
"Orang lagi tebak-tebakan!" Riani menyenggol bahu Arial.
"Karena kepanasan megang api... hehehe... ketebak," Genta menjawab
pertanyaan Zafran.
"Bisa! Tapi bukan itu jawabannya!" kata Zafran.
"Apa dong?"
"Karena dia malu nggak pake baju, kainnya robek-robek lagi, tiap hari
diliatin orang dari pagi sampai malam." Sambil tersenyum Zafran
menjawab garing.
"Haha.. bego... garing banget... sumpah."
226
"Kan yang paling garing yang menang," Ian membela Zafran.
"Kenapa patung Tugu Tani adanya di tengah kota, nggak dipindah ke
desa?" Ian punya lagi.
"Tau... garing nih... pasti," Riani tersenyum kecil.
"Karena patung itu sebenarnya mau pergi ke desa tapi nggak bisa, di
bawahnya ada tulisan 'dilarang menginjak rumput'," jawab Ian.
"Hahahaha...."
"Kenapa Doraemon punya pintu ke mana saja?" tanya Ian
lagi.
"Biar nggak susah ke mana-mana," Arial menjawab lagi. "Nggak kartun
lo..." kata Ian. "Nggak tau." Semua menggeleng.
"Karena kalo jendela ke mana aja susah, harus lompat dulu," jawab Ian.
"Ian bego... garing... garing!"
Angin malam Ranu Pane pun seperti menyapa muka mereka lagi.
Kerinduan dari lelah mereka seakan terobati, sudah dua hari ini mereka
bersama lagi setelah tiga bulan terpisah. Sejenak mereka terdiam
menikmati angin malam menyapu wajah mereka.
"Kita harus tidur nih, badan masih capek, besok kita perlu tenaga ekstra,"
Arial tiba-tiba ngomong.
"Tommorow is a big day!" Zafran menepuk-nepuk celananya "Besok kita
berangkat jam berapa, Ta?" Riani bertanya ke Genta. "Sekarang jam
sebelas, besok jam lima pagi kita bangun trus berangkat."
"Kita harus tidur?" Dinda mendesis pelan sambil melihat ke depan kosong.
Ia menarik napas panjang, batinnya berkata sendiri, kok bayang-bayang
dia dari tadi ada melulu ya?... tingkahnya... sikapnya..., ada perasaan lain
tumbuh di hatinya.
227
"Ntar dulu dong, jarang-jarang malam kayak gini nih," Zafran protes
belum mau tidur.
"Lihat ke atas deh," Zafran mendongak ke atas.
Semuanya melihat ke langit malam.
"Perhatiin deh, bintangnya kayaknya lama-lama tambah banyak. Tadi
nggak sebanyak ini. Gue kayak di ruangan kecil penuh bintang. Di sini kok
kayaknya bintang jadi deket."
Mata Dinda nggak lepas melihat langit malam. Sebentar ia menoleh lembut
ke Zafran.
Zafran berujar pelan, "Pick a shape...."
Zafran mendongak lama, melihat langit sambil menunjuk ke salah satu
bintang dan membentuk putaran milky way, menirukan adegan film
Russel Crowe dan Jeniffer Connelly, A Beautiful Mind. Semuanya ikutan
mendongak ke atas lagi.
Langit hitam berkilauan bintang yang tak terhitung, dengan bulan yang
seperti membiru di antara tipis awan, membuat rasa lain di hati mereka.
Bunyi kletek-kletek api yang membakar ranting kecil menambah lain
suasana.
Semua menarik napas panjang, merasa kecil sekali, merasa ada yang
mendatangi mereka Langit malam di Ranu Pane indah sekali.
Arial mengutak-atik MP 3-nya Select... Speaker... Speaker selected....
Open file... Songs... Indonesiaku Indah... Padi... Song 7... Selected... Play....
Hamparan langit maha sempurna bertahta bintang bintang angkasa,
namun satu bintang yang berpijar, teruntai turun menyapa aku ada tutur
kata terucap. Ada damai yang kurasakan... bila sinarnya sentuh wajahku...
kerinduan ku pun terhapuskan...
228
Alam raya pun semua tersenyum Menyambut dan memuja hadirnya...
Terpukau aku menatap wajahnya aku merasa mengenal dia... tapi ada
entah di mana... hanya hatiku mampu menjawabnya mahadewi resapkan
nilainya penantian ku pun usai sudah... Mahadewi resapkan nilanya
Mahadewi tercipta untukku... Ada tutur kata terucap ada damai yang
kurasakan
(Piyu, Mahadewi, Padi)
Mahadewi mengalun lembut di antara hamparan langit maha-sempurna di
atas mereka. Mereka terpesona, mengingat filosofi yang pernah diceritakan
Ryu tentang Mahadewi, yang bukan sekadar lagu cinta antara seorang lakilaki dan wanita, tapi mahadewi bisa berarti banyak, bisa berarti cinta
seorang ibu pada anaknya, dan banyak lagi. Genta tertegun menatap
langit, badannya pun merendah bertumpu pada dengkulnya. Genta
mencongkel tanah merah dan mendekatkan ke penciumannya, tanah
merah itu memberikan bau tanah merah lembap yang khas. Genta melihat
ke depan, permukaan air Ranu Pane tampak berkilap cahaya kecil bintangbintang yang memantul di permukaannya. Genta biarkan matanya
terpejam menikmati penciumannya, membiarkan angin dingin malam
Ranu Pane menyatu ke tubuhnya. Perlahan Genta membuka matanya,
membuka genggamannya, melihat tanah merah di genggamannya yang
menyisakan kotor di telapaknya, Genta menarik napas panjang
229
dan membatin, Salah satu Mahadewi itu bisa juga berarti tanah ini. Salah
satu ibu itu...tanah ini.
Genta memejamkan matanya, membawa semua keindahan di luar sana ke
hatinya. Malam itu Genta tertidur bersama sang mahadewi, ibu yang telah
memberikan tanah dan airnya setiap hari semenjak Genta lahir, ibu yang
hilang dan baru saja ditemukannya malam ini. Di kaki tumit gagah
Mahameru, di pelukan dingin malam, sang ibu pun memberikan udara
hangat penuh cinta melalui pelukannnya sambil tersenyum ke salah satu
anaknya yang tidak pernah sedikit pun hilang di matanya. Air mata
bahagia sang ibu sedikit menetes, sebagian hinggap di dedaunan
menunggu pagi, sebagian jatuh membasahi tanah Ranu Pane.
04.30. Ranu Pane
Sepuluh menit yang lalu Ian terbangun sendirian dan duduk di depan api
unggun yang mulai menjadi abu dan mengeluarkan percik-percik kecil
beterbangan sedikit-sedikit ke udara. Ian menatap dalam ke api unggun,
melihat sekitarnya yang masih sepi, tenda-tenda yang terdiam dalam
dingin. Beberapa orang mulai terbangun dan mondar-mandir. Di bukit
kecil jalur masuk track Mahameru tampak cahaya-cahaya senter kecil,
beberapa pendaki terlihat mulai berangkat...
"Eh gendut., udah bangun lo?" Zafran dengan mata sayu keluar dari tenda
dan duduk di samping Ian.
"Ssuu... ssumm... ppa... h... di... ngin ba... nget," Zafran menggigil.
"Gue udah bikin air panas tuh... kalo mau bikin minum." Ian
menggerakkan lehernya menunjuk ke termos kecil.
230
Zafran pun membuka kopi sachet dan mulai menyeduh kopi.
"Ple...."
"Iya, Yan."
"Inget nggak tadi malem waktu kita ngelepas Deniek, masa gue liat
kuburan."
"Hah!?" Zafran mengucek-ucek matanya dan memandang Ian tajam.
Ian menyalakan rokoknya.
"Wah lo gila lo, Yan. Kan kayaknya tadi malem di situ nggak ada kuburan
deh."
Ian tercekat. Berarti cuma gue yang ngeliat. "Lo enggak liat, Ple?"
Zafran menggeleng dan terus menatap Ian. "Lo berhalusinasi kali, Yan.
"Kalo gue bener berhalusinasi berarti tandanya apa?"
Zafran tercekat, tenggorokannya seperti tersedak.
"Tapi bener ada kuburan? Mata lo ngeliat kuburan?" Zafran mencoba
meyakinkan.
Ian menoleh ke Zafran sambil menganggguk, mukanya tampak sayu
diterangi api unggun yang mulai mengecil.
"Eh udah pada bangun!" Riani berteriak agak keras di depan tenda,
tersenyum sambil mengikat rambutnya.
"Brrr... dingin banget ya." Tangannya mencengkeram halus pundak Ian.
"Ayo, Ndut kita bikin Indomie."
"Siip!" Ian berdiri dan mulai menyalakan kompor paraffin. Hatinya
mencoba menyibukkan diri.
Arinda, Genta, dan Arial keluar dari terida. Dinda langsung membantu
Riani dan Ian membuat sarapan. Zafran mencoba melupakan obrolannya
dengan Ian tadi, lalu membantu Arial dan Genta mencabuti pasak tenda.
Langit hitam perlahan membiru. Keramaian para pendaki yang mulai
bangun dan bersiap-siap terlihat di sekitar mereka.
231
"Ranu Panenya keliatan jelas." Riani berteriak kecil melihat Ranu Pane
membiru muda dengan kabut dingin putih seperti kapas di atas
permukaanya.
Semua menarik napas panjang, menggelengkan kepala berulang-ulang.
"Mahameru memang penuh kejutan. Nggak bosen-bosen nih mata dari
kemarin sore." Arial terpana.
"Mistis...," Zafran mendesis.
Suasana sarapan jadi begitu indah. Genta tiba-tiba memanggil Ian yang
masih menghabiskan Indomienya. "Ian!" "Iya, Ta."
"Ranu Pane keren ya?" "Iya."
"Mistis ya, Yan?" "Betul!"
"Jangan buka bisnis sepeda air atau banana boat di sini ya, nanti Ranu
Pane jadi rame, jadi nggak mistis lagi." "Hahaha...."
Genta lari menghindar dari kejaran Ian yang hendak menyiramnya dengan
teh manis.
"Siap semua?" Genta memegang kedua tali carrier di pundaknya, menatap
tajam ke teman-temannya. "Berangkat!"
Langkah mulai diayun, meninggalkan tanah kecil tempat mereka menginap
semalam. Mahameru perlahan seperti muncul di antara kabut pagi dan
langit biru. Angin dingin pagi dan sejuk, menerpa mereka sampai ke dalam
dada. Tanpa sadar
232
mereka berhenti sebentar di tempat tadi malam melepas Deniek. Serentak
mereka memandang ke atas puncak Mahameru dan memincingkan mata,
lalu membentuk lingkaran-tertunduk dan berdoa.
Ian membuka matanya pelan.
Deg! Di matanya, Ian kembali melihat batu nisan pohon kamboja, batu
nisan yang berjejer, kompleks kuburan kecil.., muncul perlahan bersama
kabut pagi di depannya. Ian tercekat lagi, Ya ampun gue berhalusinasi lagi,
kenapa ya? Ian panik lagi, dadanya naik turun, napasnya berat.
Tiba-tiba suara berat kebapakan yang sudah pernah mereka dengar
berteriak agak keras memecah pagi. "Ini lagi yang paling keren dari
petualangan di Mahameru. Sebelum kita berangkat, pasti kita melewati
kompleks kuburan kecil, seperti sebuah peringatan antara hidup dan mati,
dengan puncaknya yang agung di sana. Setiap akan mulai berjalan saya
pasti tertegun dulu di sini, melihat kompleks perkuburan, seperti
mengingatkan kita semua kalau kita ini adalah manusia yang pasti mati
nantinya. Mahameru benar-benar sebuah perjalanan hati."
Si Bapak yang kemarin satu jip dengan mereka tampak berjalan sambil
ngobrol dengan rombongannya Ia dan rombongannya berhenti sebentar,
melihat Mahameru di atas sana, sesekali melihat kompleks kuburan di
sampingnya.
"Oh jadi tadi malam di samping kita ini kuburan, gelap banget sampe
nggak keliatan." Arial melihat sekeliling, batu nisan dan pohon kamboja di
serangkaian kabut pagi membuatnya agak merinding.
"Hihihi... serem juga, tadi malam di samping kita ternyata kompleks
kuburan," Riani tersenyum kecil.
Zafran langsung menoleh ke Ian. Ian sudah terduduk lemas dan lega, lalu
tertawa-tawa kecil dan geleng-geleng kepala.
233
"Ahhh... Ian bego, Ian bego," katanya sembari memukul-mukul jidatnya
sendiri.
Ian berdiri dan tersenyum mantap. "Kenapa lo, Ndut?" "Tadi udah sarapan
kan?" "Ian kenapa, Yan?"
"Nanti gue ceritain," kata Ian tersenyum. Matanya melirik ke Zafran yang
badannya masih berguncang menahan tawa. "Ya udah yuk berangkat,"
Genta menatap teman-temannya. Mereka masih bergeming.
"Yuk." Genta heran melihat teman-temannya yang belum mau melangkah.
"Itu."
"Itu lihat... dulu."
Mahameru tiba-tiba mengeluarkan asap putih lebih tebal dari biasanya.
Langit pagi yang bersih membuat gumpalan asap jelas terlihat, bergerak
membubung tinggi, menyambut awal perjalanan mereka. Rombongan si
Bapak juga belum bergerak, masih mengagumi Mahameru yang gejolaknya
sekarang terlihat jelas, tidak tertutup awan.
Riani memecah kesunyian, "Gue jadi inget..."
"Apa, Ni?"
"Kenal Sir Henry Dunant?"
"Iya tau, dia kan Bapak Palang Merah sedunia."
"Bener... dia pernah bilang...," Riani berhenti sebentar, "Sebuah negara
tidak akan pernah kekurangan seorang pemimpin apabila anak mudanya
sering bertualang di hutan, gunung, dan lautan."
Mendengar quotation yang bersemangat itu, refleks semua langsung
melihat Riani yang masih tersenyum manis ke Mahameru.
"Kita berangkat!" Riani berteriak kecil sambil mengepalkan tangannya ke
atas.
234
Mereka mulai melangkah, menyusuri jalan berbatu desa yang akhirnya
berbelok ke jalan setapak kecil menuju ke punggung Mahameru. Dalam
dingin pagi, langkah-langkah kecil mereka menyusuri tanah lembap dan
dedaunan rimbun yang masih bermandikan embun pagi. Mahameru
masih tertegun bijak bernaung biru muda langit pagi di kejauhan.
Keenam sahabat itu menembus rimbunnya hutan, dengan pohon-pohon
besar dan ranting dedaunan yang sesekali harus mereka singkirkan dari
wajah mereka. Berjalan semakin mendaki di antara sulur-sulur pohon yang
menggantung. Goa-goa buatan pohon bambu bak gerbang menuju alam
lain di depan mereka. Ranting pohon yang terkadang merintang harus
mereka singkirkan. Genta dan kawan-kawan berjalan menyusur
rimbunnya hutan dalam diam. Masing-masing sibuk dengan
pemandangan yang masih baru di mata mereka.
Genta sedikit tersenyum, hatinya bertanya-tanya sendiri, Kenapa dari dulu
kalau baru mulai mendaki, orang pasti banyak diamnya?
Sudah satu jam lebih mereka berjalan tanpa berhenti. Carrier yang hampir
berukuran setengah badan dan mempunyai berat sekitar tiga puluh kilo
lebih, mulai memperlambat pendakian.
"Genta..break, Ta. Hehh... hehh...," napas Riani memacu satu-satu, Riani
terlihat kelelahan.
"Iya Bang Genta, break dulu." Keringat meluncur deras di kening Arinda.
"Oke sip. Itu di depan ada akar pohon. Kita break di situ."
Rombongan berhenti sebentar. Di hadapan mereka terlihat lembah dalam
penuh alang-alang.
"Fiuh...lumayan juga...," Dinda yang masih terengah-engah mengambil air
mineral dan meneguknya.
"Udah jalan berapa lama kita?"
235
"Satu jam, kurang lebih." Ian tampak lelah. "Lama-lama carriernya jadi
berat... ya?"
"Bukan, tapi lo-nya yang tambah capek," Arial menepuk-nepeuk pundak
Ian.
"Kita nanjak terus ya, Ta?"
"Iya."
"Track-nya. begini terus, Ta?"
"Yup! Kalo digambar pake es krim kita tuh lagi muterin bulatan-bulatan es
krim, lama-lama naik... putarannya makin kecil, makanya jadi jauh."
"Oh nggak kayak kalo kita ke Gunung Gede, lewat Putri terus mendaki
tegak lurus?" Arial bertanya dengan sesekali meregangkan badannya.
Genta menggeleng. "Untung track-nya. nggak terlalu berat, Ta."
"Belum...," jawab Genta datar. "Track di sini emang belum terlalu berat.
Cuma jalan setapak di pinggiran lereng, tapi jauh karena kita nggak tegak
lurus, tapi memutar agak lebar lagi. Hanya hati-hati aja, jangan hilang
keseimbangan." Genta melirik ke lembah yang dalam di depan mereka.
"Ada yang tegak lurus, Ta?" tanya Arial lagi.
"Pasti ada. Tapi harus buka jalur. Jalur yang ada kadang udah ketutup
sama tanaman, jadi cari sendiri jalurnya. Cuma, kebanyakan yang mau ke
atas lewat sini, biar jauh tapi santai dan nggak terlalu berat."
"Jam berapa sekarang?"
"Setengah tujuhan...."
"Santai aja, jangan buru-buru. Tengah hari nanti kita sampai di Ranu
Kumbolo, kita istirahat dan makan siang di sana."
"Tengah hari?" Dinda mencoba meyakinkan apa yang dia dengar dari
Genta.
236
"Yup."
"Masih jauh banget dong? Dinda menatap jalan setapak di depannya.
"Banget."
"Tapi kita santai aja, sambil ngobrol kek biar nggak capek. Kalo ada yang
capek bilang ya, jangan ada yang gengsi. Satu orang capek, semuanya
berhenti. Kebanyakan orang gagal ke puncak karena kecapekan dan gengsi
nggak mau bilang. Yang ada cuma maksa sehingga akibatnya nggak bisa
ngelanjutin?
"Udah?" Arial menatap teman-temannya
"Udah!"
"Berangkat!"
"Rambo, lo di depan... ya, kita tukeran. Lo ikuti track-nya. aja, pokoknya
jangan sampai masuk ke kedalaman hutan, kita sekarang ada di pinggir
punggung gunung. Lihat aja arah matahari, jelas kok. Gue di paling
belakang."
"Siiip." Arial mengacungkan jempolnya. Sekarang ia memimpin rombongan
itu.
Perjalanan berlanjut menembus-mendaki pinggir hutan punggung
Mahameru. Beberapa kali mereka berpapasan dengan rombongan kecil lain
yang sedang istirahat. Saling menyapa, saling tersenyum ramah. Keajaiban
yang sering ditemukan para pendaki. Di gunung, semua seperti satu nasib
satu tujuan.
Satu setengah jam telah lewat, kali ini mereka mendaki agak lama
"Genta, Genta," Ian memanggil Genta yang berjalan di sampingnya.
"Ian, Ian," balas Genta. "Hehehe...," keduanya tersenyum. "Udah saatnya
deh, Ta..." Ian tiba-tiba nyeletuk. "Apaan?"
237
"Itu di depan lo." "Apaan?" "Muna...." "Apaan, Ndut?" "Riani...."
Genta kaget sendiri, matanya melihat Riani di depan agak jauh, "Emangnya
gue anak kecil apa nggak tau?!!" Ian tersenyum sok tahu.
Genta masih diem, ingin melanjutkan obrolannya. "Gue males curhat ama
lo... bokep mulu, Yan."
"Lo mau cari apa lagi sih, Ta? Udah jelas gitu di depan mata."
Genta menarik napas panjang.
"Lo berdua tuh pas banget deh, Ta, Pas abiss."
"Itu dia, Yan!"
"Kita cocok banget dalam segala hal, nanti kalo jadi pacar garing deh."
"Kata siapa, Ta?"
"Gue," Genta menatap Riani lagi di kejauhan. "Lo udah sayang sama dia
belum?" Banget, batin Genta tapi dia males ngomong ke Ian. "Tunjukin
dong kayak si Juple tuh." "Dia mah emang ajaib. Dia kan dari planet lain."
"Eh lo liat Dindanya nggak, Ta? Kayaknya dia juga mulai kena sihir syair Al
Ajnihah Al mutakassirah." "Hah? Apaan tuh, Yan?" "Sayap-sayap Patah....
The Great Kahlil Gibran." "Oh... kalo dia jadinya Kahlil Zafran dong!" "Iya,
judulnya Sayap-sayap Ayam." "Hahahaha...."
"Ta, kalo track-nya. begini mulu sampai puncak Mahameru, gue sih bisa
sampai."
238
"Heh jangan sombong, pantangan tuh di gunung." Ian langsung diam
melihat langit. Maap ya, kata Ian dalam hati.
"Gue mau tunjukkin ke Riani, gimana? Kayaknya udah saling ngerti satu
sama lain, udah terlalu deket, Yan." "Iya ya... lo sih."
"Gue sih gimana? Gue sama dia emang udah apa adanya." "Sukur lo..." Ian
menyenggol bahu Genta. "Hehehe... rese!"
"Kaki gue kayak ada barbelnya. Udah lama nih kita jalan, break dulu yaa,"
Ian memelas. "Ya udah."
"Break? Ian berteriak ke teman-temannya.
"FlUH."
Mereka berenam duduk di sebatang pohon yang telah tumbang.
"Fiuh.... Bener-bener olahraga." Zafran mengambil handuk kecil di
kantongnya.
Riani dan Dinda menurunkan carriernya. Genta mengeluarkan sebungkus
gula jawa.
"Penambah tenaga...," ujar Arial sembari mengambil sebongkah.
"Kenapa bisa gula jawa ya?"
"Nggak tau tuh. Manis kali, jadinya nambah tenaga." "Berarti yang manismanis bisa nambah tenaga dong kayak gue," Zafran bergaya gila.
"Hahaha... tolol." "Selain gula jawa apalagi, Ta?"
"Irex juga bisa," imbuh Genta menyebutkan obat penambah tenaga khusus
pria.
239
"Hah?" "Bener!" "Oh...."
"Tapi kan biasanya sugesti doang."
"Eh ada bule..." tiba-tiba mereka melihat rombongan sekitar sepuluh orang,
ditemani oleh beberapa porter.
"Mau naik ke Mahameru juga ya mereka?" Ian bertanya ke Zafran.
"Ya nggak-lah. Mereka mau ke Carrefour. Tuh di depan. Kalo udah sampe
sini ya pasti mau ke ataslah, pagimane sih ente?" Zafran melempar rumput
liar ke Ian.
Rombongan bule itu lewat di depan mereka dan tersenyum ramah.
"Francois...," Zafran berbisik ke teman-temannya. "Sok tau!"
"Dengerin aja ngomongnya pake idung."
Ian kepancing untuk iseng-iseng negur. "Comment allez-vous?" (apa kabar)
Ian menegur salah satu bule perempuan di rombongan itu.
Benar. Rombongan bule Prancis. Buktinya, ia langsung menengok dan
membalas, "Je vais bien." (baik)
"Tuh kan bener." Ian tampak senang.
"Zidane, Thierry Henry, Barthez, Silvestre, Napoleon, Carrefour," Ian teriakteriak.
"Oui.. oui..."
"Zidane, Henry, Barthez... oui! Napoleon oui... Carrefour? Oui. oui?" Bule
Prancis itu tertawa bingung melihat Ian yang ngasal menyebutkan sebuah
franchise hypermarket punya Prancis.
"Olimpic Marseille, Paris Saint German?" Ian sok tahu lagi.
"Nantes," jawab si bule.
"Oh... I see. I see," Ian salah bahasa.
240
"Hehehe...," Zafran dan yang lain ketawa ngeliat Ian yang sok tahu.
"Indonesia so beautiful," kata si bule lagi. Ian mengangguk-angguk lagi.
"See you up there..." kata si bule lagi. "Oui, oui..."
Ian mengangguk-angguk. Rombongan itu pun berjalan meninggalkan
mereka.
"Sok tau lo, Yan," Zafran menyenggol Ian.
"Bahasa Prancis gue taunya cuma 'croissant de France' beli di Kemang.
Enak tenank, nendank-nendank," Zafran nyeletuk.
"Hahaha...."
"Gue cuma tau tadi doang... hehehe... sama Napoleon. Pokoknya apa aja
yang bisa gue sebut."
"Nggak biasa nih jalan jauh banget, kaki gue udah pegel banget," Riani
memijit-mijit kakinya.
"Wajarlah, baru pertama kali." Genta melihat aksi Riani.
"Iya., sama Kaki pegel sih biasa, asal jangan tekad yang pegel."
"Betul sekali...."
"Eh tau nggak Napoleon Bonaparte aja waktu masih SD sebelum berangkat
sekolah, dia pasti mampir dulu ke barak tentara," Arial membuka obrolan.
"Hah ngapain?"
Arial meneruskan, "Cita-cita Napoleon kan jadi tentara, jadi mulai dari
kecil dia udah punya tekad kalo gue mau jadi tentara, berarti mulai
sekarang gue harus biasa sama apa pun yang berbau tentara'."
"Oh, hebat juga. Jadi, dia main-main ke barak tentara dulu sebelum
berangkat sekolah," Zafran coba menyimpulkan. "Bukan!"
"Lho? Trus ngapain dia tiap pagi ke barak tentara?" Dinda penasaran
dengan cerita abangnya
241
"Tukeran makanan." "Maksudnya?"
"Dia tukar bekal sekolahnya yang enak dengan ransum tentara. Karena
tentara itu makanannya ransum, maka menurut Napoleon kalo dia mau
jadi tentara, dia harus biasa makan ransum dari sekarang."
"Keajaiban tekad," Riani memandang lurus jalan setapak di depannya.
"Udah sejak SD dia bertekad jadi tentara."
"Yup, hebat ya? Kebanyakan orang-orang besar emang punya tekad tinggi
buat cita-citanya," Arial meneruskan.
"Bethoven biarpun udah mulai tuli, tetap bikin lagu sampai kupingnya dia
tempel di kayu piano."
"Kalo di Indonesia Jenderal Sudirman kali ya. Walaupun sakit parah, dia
tetap perang gerilya, mimpin pasukannya pake tandu."
"Berarti kalo kita mau sampai ke puncak Mahameru, kita harus mulai biasa
pegel, mulai biasa capek." Ian tiba-tiba berdiri dan menepuk-nepuk
pantatnya.
"Tul!"
"Jalan lagi?"
"Pastinye...."
"Mari kita kemon!"
"Rambo, lo depan lagi."
"Berangkat'!!"
Rombongan itu mulai berjalan lagi. Matahari mulai agak meninggi,
menyambut datangnya siang di antara hutan tropis. Jalan setapak menuju
Mahameru mulai menanjak lebih tinggi. Lembah-lembah ilalang makin
terlihat dalam.
"Siapa, Dik?"
"Apa?"
242
'Jangan bohong deh, enggak bakalan bisa." "Mmh... ketahuan juga. Susah
deh punya kembaran, ada inner-nya."
"Hehehe... ketahuan." .
"Siapa lagi ya temen Mas itu?" kata Dinda sambil menengok ke belakang
sekilas.
"Lama-lama jadi kepikiran terus nih. Mas Ial setuju nggak?" "Kalo duaduanya sayang, gue mau apa lagi?" Arinda tersenyum senang.
"Arinda jatuh cinta... hehehe." Arial melingkarkan tangannya ke leher
adiknya.
"Jelek!" Dinda tersenyum dan mencubit bahu abangnya yang kekar. Zafran
berjalan sendirian. Pikirannya ke mana-mana, sosok Arinda di depannya
membuat dia berpuisi makin dalam ke hatinya. Keindahan alam berpadu
dengan keindahan seorang anak manusia di depannya, Zafran jadi pengen
nyanyi. Zafran pun mulai bernyanyi-nyanyi, suaranya jelas terdengar di
antara kerimbunan hutan lereng Semeru.
Sometimes
I wonder... if I'd ever make it through Through this world without having
you I just wouldn't have clue
Sometimes I wanna give up, wanna give in, I wanna quit the fight Then one
look at you baby and everything's alright Everything's alright So alright
When I see you smile...I can face the world... oh. You know I can do anything
243
When I see you smile
I see a ray of light...
I see it shinnin' right through the rain
When I see you smile baby
Baby when I see you smile at me
"Gitu dong juple... ada hiburan nih," Genta berteriak keras, yang lain
tersenyum melihat Zafran mendendangkan When I See You Smile-nya Bad
English.
"Ian... Ian."
"Riani... Riani."
"Hahaha...," Riani dan Ian tertawa renyah. "Eh gendut," Riani mencubit
bahu Ian. "Enak aja ngatain! Badan lo juga gendut" "Tapi kan gendutnya
Kate Winslet.. seksi." "Hehehe...."
"Nggak enak ya jadi cewek." "Lo lagi dapet ya?" "Sialan lo."
"Kenapa nggak enak jadi cewek?"
"Kalo suka sama orang nggak bisa bilang, bisanya nunggu doang? Riani
menatap wajah makhluk gendut di sebelahnya "Ah kuno lo. Bilang aja!"
"Abisnya udah temen sendiri sih, udah terlalu deket." "Bukannya enak, kan
malah udah ngerti satu sama lain, udah nyambung?"
"Eh betul juga lo, Yan."
Ian tersenyum dan berkata dalam hati, Tadi spesies jantannya yang curhat,
sekarang betinanya.
Zafran pindah lagu. Sekarang Desire dari Pure Saturday.
244
Yesterday I found myself alone... in the dark and no one else Then to gain to
me it might... "I said don't worry its alright" I want you to hold me in your
soul... it makes me easy, makes me fine But how the dream will be come true...
look at tomorrow I'm in love.
"I can't say anything...," tiba-tiba Genta menimpali dari belakang. "Or bring
you something... I hope you can feel this...."
"My desire...," Zafran pun meneruskan.
"Everything I want to say to you... its look around and find my world.
Commin' to my door don't be afraid... I got you back around your head...,"
keduanya bernyanyi, keduanya lagi jatuh cinta.
I cant say anything... or bring you something I hope you can feel this... My
desire..
.
Mereka terus berjalan melewati sulur-sulur pohon yang tinggi di lereng
Mahameru. Zafran pindah lagu lagi. Sekarang Just The Way You Are dari
Billy Joel. Matanya terus mengagumi Arinda yang berjalan di depannya.
Don't go changing to try and please me You never let me down before...
mmm
Don't imagine you're too familiar... and I don't see you anymore f would not
leave you... in times of trouble... we never could have come this far... mmmm.
f took the good times, I'll take the bad times.
I'll take you just the way you are.
245
Genta, ikut menimpali sambil matanya tak lepas melihat Riani.
Don't go trying some new fashion Don't change the colour of your hair You
always have my unspoken passion although I might not seem to care I...
don't want clever... conversation I never want to work that hard I just want
someone that I can talk to...
I want you just the way you are.
Semua jadi ikut-ikutan nyanyi sendiri, mencoba melawan lelah yang terus
menghinggapi mereka. Just The way You Are terus berdendang.
Need to know... that you will always be Same old someone that I knew Ooo...
what will it take till you believe in me The way that I believe in you
I... said I love you... that's forever Guess J promise from the heart I couldn't
love you any better
I Love you just the way you are.
Perjalanan yang setiap langkahnya terasa semakin berat itu menjadi agak
ringan. Zafran masih bingung kok akhirnya balik-balik lagi ke Evergreen
Love Songs sih?
246
"Fiuh."
"Ini break kita terakhir yah, udah hampir jam sebelas lebih."
"Jam dua belas, paling lambat jam satu kita harus udah di Ranu Kumbolo,
kita makan siang di sana."
Genta melihat ke teman-temannya, wajah mereka kelihatan memendam
kelelahan yang tidak biasa. "Tapi kalo emang harus break, ya kita break,"
ujar genta lagi.
"Ini sepatu kayak ada barbelnya," Riani memijit-mijit sepatunya.
"Fiuh, fiuh, fiuh, fiuh...," Ian masih mengatur napasnya. "Tambah lama
tambah naik ya, Ta?"
"Nggak sampe sampe sih." Zafran melihat kosong ke jalan setapak.
"Sebentar lagi, kita udah.tinggi banget nih." Genta melihat sekitar,
punggungnya mulai terasa pegal sekali. "Ada yang udah capek banget?"
Semua menggeleng. Muka Riani yang putih tampak memerah, menahan
lelah dan panas.
"Masih bisa kok kita... sebentar lagi kan?" Arial bertanya ke Genta.
"Dengan ketinggian seperti ini? Sebentar lagi?" "Sebentar lagi udah
puncak?" Dinda menatap Genta. "Bukan... Ranu Kumbolo. Puncaknya sih
masih setengah hari lagi."
"Maksudnya setengah hari beneran?" Ian mencoba meyakinkan.
Genta mengangguk.
Zafran membuka sepatunya, kulit tumitnya terlihat mengelupas lebar,
mengeluarkan warna merah kontras. Kulit arinya tampak melipat terbuka.
"Lecet..."
247
Semua meringis melihat tumit Zafran. "Gara-gara nyanyi mulu nih...,"
Zafran bercanda. "Betadine di siapa?"
"Gue." Riani membuka tas pinggangnya dan mengeluarkan Betadine.
Di antara hawa siang yang panas, Zafran meringis menahan perih.
"Sshhh...."
Dinda meringis iba. "Sepatu Bang Zafran sempit ya?" "Nggak."
"Bukan, itu lecet karena terlalu banyak gesekan, bukan gara-gara sepatu.
Kulit manusia kan ada yang sensitif-termasuk kulitnya si Juple tuh. Kalo
yang nggak sensitif jadinya malah mengeras, apa ya namanya?" Arial
mencoba menjelaskan.
"Kapalan!" Ian menjawab pertanyaan Arial.
"Iya kapalan."
"Gue pake sandal aja deh." Zafran mengeluarkan sandal gunungnya.
"Kita udah jalan lama banget makanya banyak gesekan." "Udah nyaman,
Ple?"
"Siip...," Zafran menggerak-gerakan kakinya. "Nggak nyangka juga, udah
secapek ini tapi masih jauh banget" "Belum biasa aja," Genta membantu
Zafran berdiri. "Yuk, nanti kita istirahat yang lama di Ranu Kumbolo.
Sekarang jangan lama-lama," ajak Genta "Oke?"
"Oke Jek, siap berangkat lagi!" "Juple sekarang lo di depan bisa?"
"Bisa., udah agak baikan kok lecetnya, tinggal ikut jalannya aja kan?"
"Baikan? Emangnya tadi lecet marahan sama siapa?" Riani bercanda
dengan Zafran.
248
"Hehehe...." "Yuk." "Ian siap?"
"Siap Bang Genta...," sambut Ian sambil memejamkan satu matanya,
menirukan gaya Jaja Miharja di kuis dangdut.
Sedikit canda tadi mencairkan kelelahan mereka.
Rombongan yang lelah itu mulai berjalan lagi. Keringat mengucur deras,
langkah serasa berat sekali, jalan setapak makin menanjak membuat
telapak kaki semakin tertusuk-tusuk.
Udah satu setengah jam lebih jalan, Zafran berkata dalam hati sambil
melihat jamnya. Zafran mendongak ke atas, jalan setapak seperti makin
meninggi. Zafran menggelengkan kepalanya, napasnya coba dia atur satusatu.
Bodo amat pokoknya jalan terus jangan dirasain, Zafran mengambil
handuk kecilnya, membiarkan handuk itu menelusuri mukanya. Ia
meringis sedikit melihat tumitnya yang kembali perih, lecetnya bertambah
lebar.
Zafran menoleh ke belakang. Dijalan menanjak itu dia melihat muka lelah
teman-temannya, kaos Ian tampak basah oleh keringat, muka Dinda dan
Riani tampak memerah, Genta meringis melihat matahari, dan hanya Arial
yang tampak belum terlalu terkena lelah. Zafran terus berjalan sambil
menunduk, matanya malas melihat jalan setapak yang terus mendaki
tanpa ujung.
Tak terasa permukaan tanah mulai mendatar. Di depan, Zafran melongok
ke bawah, melihat jurang dalam yang hanya berjarak satu meter di
depannya dengan pohon-pohon tinggi yang sekarang terlihat lebih rendah.
Jalan setapak di depannya tampak mulai menurun. Zafran menoleh ke
belakang lagi. Dengan interval hampir lima meter, tampak kelima
temannya masih mencoba mendaki jalan menanjak yang sudah dilaluinya.
Zafran memutuskan untuk menunggu, sekalian memeriksa tumitnya yang
mulai
249
mengeluarkan darah. Ia colek sedikit darah dari tumitnya dan
menciumnya-bau amis hinggap di penciumannya "Kenapa berhenti, Ple?"
Tanpa menjawab pertanyaan Ian, Zafran memperlihatkan tumitnya yang
mulai mengeluarkan darah. Ian menggelengkan kepalanya dan menarik
napas panjang.
"Perih, Ple?"
"Abbisss!"
Rombongan berhenti sebentar, Riani memberikan Betadine
lagi.
"Fiuh... sumpah perih." Zafran terduduk meringis, ia tiup-tiup tumitnya.
"Oh kayaknya tadi itu tanjakan terakhir," Genta tiba-tiba berteriak dan
tersenyum. Ia menunjuk ke jalan setapak menurun yang kemudian
berbelok ke kanan di depan.
"Jadi selanjutnya turun semua?"
"Nggak semuanya, kebanyakan, tapi lumayanlah nggak terlalu capek."
"Udah deket dong."
Genta mengangguk. "Yuk terusin sebentar lagi."
Perjalanan yang berat pun mulai terasa sedikit ringan karena jalan setapak
mulai menurun. Pemandangan di depan mereka bertambah terang.
Tampak pohon pinus tua dan tinggi berjejer di pinggiran jalan setapak,
cemara-cemara pun mulai terlihat di kejauhan. Angin siang yang berhawa
lain menerpa wajah mereka, memberi sedikit kesejukan.
"Kita mulai keluar dari hutan ya, Ta?"
Genta hanya mengangguk.
"Kayaknya terang," Arial melihat sekelilingnya.
Zafran masih berjalan di depan, disusul Ian di belakangnya. Mereka
menelusuri kembali jalan menurun yang terlihat berbelok ke arah kanan di
depannya.
250
"Ple...." "Iya Yan." "Masih sakit?" "Masih."
"Masih ada minum, Ple? Punya gue udah abis... gile haus banget."
"Ada nih tinggal dikit ambil aja, Yan." "Lo enggak mau?" "Gue baru
minum... abisin aja." "Yah udah, nggak ada air lagi lho." "Emangnya
semuanya abis?"
Ian mengangguk. Zafran berhenti sebentar, wajahnya tampak panik,
tenggorokan keringnya menelan ludah.
"Gawat nih, kita nggak ngitung persediaan air, masa baru sampai sini udah
habis." Zafran melihat botol air mineralnya yang seperempat penuh.
"Minum aja sedikit, Yan. Sisain yang lain."
"Enggak deh, Ple. Gue masih bisa tahan."
"Kalo nggak ada air lagi gawat," Zafran meringis melihat matahari.
"Puncak masih jauh banget. Si Genta gimana sih, dia kan pernah ke sini,
harusnya tadi kita bawa air yang banyak dari Ranu Pane. Kok bisa abis
gini." Zafran meringis sambil menoleh ke teman-temannya. Matahari panas
seperti sedang memukul: mukul wajah mereka.
Fiuh...nggak ada air, gimana sih si Genta? Batin Ian yang masih berjalan
menunduk di belakang Zafran.. Tenggorokannya kering sekali, sesekali ia
melihat botol air mineral ukuran satu liter yang menggantung di carrier
Zafran. Gejolak air dalam botol tampak bergoyang-goyang menuruti irama
langkah. Tinggal segitu air kita? Gawat!
251
Kelelahan yang sangat, membuat langkah Zafran dan Ian tanpa sadar
melambat Di depan mereka jalan setapak kembali berbelok ke kanan,
pohon pinus tinggi terlihat seperti berdebu, matahari makin terasa panas.
Genta harus punya penjelasan yang bagus soal air ini, batin Ian.
Jalan setapak menurun itu pun menemui ujungnya dan mulai berbelok ke
kanan.
Bleg!
Ian tiba-tiba dikagetkan oleh Zafran yang langsung terduduk lemas
menatap kosong ke lembah di depannya. Hampir saja Ian menabrak
Zafran.
"Ple, lo kenapa?" Ian menguncang guncang bahu Zafran. "Gawat
kecapekan nih dia."
Ian memberi lambaian ke teman-temannya yang berjarak hampir lima
meter di belakang. Ian melambai sambil menunjuk-nunjuk Zafran yang
masih terduduk.
"Genta! Arial! Sini cepet!"
Di kejauhan Arial dan Genta bergegas berlari menuruni jalan setapak.
Genta tercekat melihat Zafran yang terduduk lemas membelakangi mereka.
Ia makin mempercepat larinya.
Tiba-tiba sambil masih menatap ke depan Zafran memegang erat tangan
Ian... dan berujar pelan, "Yan, kayaknya masalah air selesai deh."
Ian yang terkejut langsung menengok ke Zafran yang rupanya sedang
mengembangkan senyum penuh arti. Zafran menunjuk ke depan, mata Ian
pun mengikuti arah tangan Zafran. Ian mengucek-ngucek matanya, tidak
percaya pada pemandangan di depannya.
"Hah?"
"Ki... ki... ta.. la., gi... di... alam... lain ya?" Ian berkata pelan sekali.
252
Ian merasakan kuduknya berdiri, pemandangan di depannya membuat
paniknya hilang. Ian ikut terduduk lemas di samping Zafran. Keduanya
menengok satu sama lain, tersenyum dan menggeleng-gelengkan
kepalanya.
Genta, Arial, Dinda, dan Riani yang baru datang sampai jadi lega melihat
kedua temannya tersenyum.
"Kenapa lo?"
Pertanyaan itu hanya dijawab dengan gerakan lembut leher Zafran, seolah
ingin menunjukkan sesuatu. Keempat temannya seperti merasakan sesuatu
yang sangat luar biasa menyapa penglihatan mereka. Suara tarikan napas
keenam sahabat itu terdengar jelas di antara suara angin yang menerpa
dedaunan.
"Ta, kita di surga ya?"
Genta menganggukkan kepala dan berujar pelan. "Itu... Ranu... Kumbolo....
Surganya Mahameru."
Dari ketinggian pinggiran lereng hutan Mahameru, Ranu Kumbolo
perlahan muncul seperti tetesan air raksasa yang jatuh dari langit dan
membesar di depan mereka. Sebuah danau di ketinggian dengan pohon
pinus dan cemara yang berbaris rapi di sekelilingnya. Air danau tampak
mengilap diterpa matahari, menimbulkan percahan-percahan cahaya kecil
yang mengambang di atas permukaan. Di kejauhan tampak bukit pinus
dan barisan cemara layaknya permukaan pinggiran mangkok hijau raksasa
yang menjaga danau dengan tenang. Pantulan bayangan pohon cemara
tampak terlihat jelas di permukaan air. Awan putih dan langit biru
bercermin di permukaan danau, membuat langit seperti pindah dan
menyatu dengan permukaan air. Awan putih menjadi sangat dekat dan
bisa tersentuh. Riak-riak air yang bergerak lembut, terbawa angin di
permukaan danau seperti seulas senyum lembut yang menyambut
kedatangan mereka.
253
Semua masih terdiam melihat pemandangan luar bisa itu. "Kita harus bikin
kosa kata baru buat Ranu Kumbolo," ujar Riani sambil mengeluarkan
handycamnya,. "Setuju..."
"Iya gue sampai nggak bisa ngomong."
"Apa ya ini namanya?" Ian mengeluarkan kameranya.
Mereka saling berpandangan, tersenyum, menarik napas lagi. Pantulan
semesta di permukaan Ranu Kumbolo membuat mata mereka seperti tidak
mau terpejam. Rombongan kecil itu masih terdiam di ketinggian menatap
Ranu Kumbolo. Mata mereka seakan tidak kenal lelah mengagumi
keindahan semesta yang saat itu terasa dekat sekali. Udara dari Ranu
Kumbolo seakan naik menjangkau penciuman mereka, memenuhi
penciuman dengan bau air danau segar. Angin lembap dan dingin seolah
ditiupkan ke wajah mereka untuk melawan panas terik matahari. Kelelahan
pun hilang dalam sekejap, berganti rasa tak terhingga yang ibarat kabut
putih sejuk berputar-putar lembut di tubuh mereka
Ranu Kumbolo
Hanya belasan menit kemudian mereka tiba di tanah lapang dengan danau
biru kehijauan di depan mereka. Lembah yang menyerupai sebuah
mangkok besar itu ibarat tembok hijau yang mengelilingi mereka.
Semua layaknya anak kecil, langsung menghambur ke pinggir danau yang
menyambut mereka dengan ombak-ombak kecilnya. Rombongan itu
terduduk lelah melepaskan seluruh barang bawaan berikut alas kaki di
pinggir danau-sesekali mereka menceburkan kaki menikmati air danau
yang dingin sekali. Lelah seperti hilang dalam sekejap, terpaan angin
lembah menghantam wajah mereka. Rambut-rambut kecil beriapan
terbang melambai-lambai.
254
"Ah...," Zafran menarik napasnya lama, matanya terpejam, perih di
tumitnya seakan hilang dalam sekejap. "Ta...." "Iya, Yan."
"Tadi kita udah panik nggak ada air, lo nggak bilang di atas sini ada
danau. Rese juga lo."
"Surprise dong. Kalo dikasih tau nanti lo bisa nebak. Kaget kan lo?" Ian
tersenyum.
"Berarti ranu itu artinya danau ya, Ta?" Riani bertanya ke Genta.
"Iya...."
"Tadi di bawah Ranu Pane sekarang Ranu Kumbolo. Oh gitu." Riani
menggumam sendiri sambil terus mengarahkan handycam-nya. ke seluruh
lembah. Di sekitar mereka tampak banyak rombongan pendaki yang baru
datang ataupun sedang beristirahat membuat makan siang.
"Bikin makan siang yuk."
"Sip...."
Arial membongkar carrier dan mengeluarkan kompor parafin. Genta
menggelar sebuah terpal tebal dari tendanya, mereka semua duduk lesehan
di pinggir Ranu Kumbolo.
"Hari ini kita makan siang Indomie telur kornet, di pinggir Ranu Kumbolo
bukan di Wiwid," celetuk Riani menyebutkan salah satu tongkrongan
mereka, warung roti bakar di daerah Fatmawati, Selatan Jakarta.
Udara Ranu Kumbolo tiba-tiba berubah dingin, menemani mereka makan
siang di sekeliling danau dengan beberapa batang pohon terjulur di atas
permukaan danau. Beberapa pendaki tampak bercengkerama di atas
batang pohon itu dengan kaki terjuntai menyentuh-nyentuh permukaan
air.
Zafran sudah menghabiskan makan siangnya. Matanya tak henti-hentinya
memandang sekeliling.
255
"Ian."
"Iwya Pwle."
"Negara kita keren ya punya pemandangan segini hebat."
"Sewtuwjuw," Ian membenarkan pendapat Zafran, masih dengan mulut
penuh Indomie.
"Ah enaknya, nggak ada yang ngalahin nih suasana seperti ini," Arial
berujar lembut sambil menyeruput teh manis hangatnya, kakinya terendam
setinggi mata kaki di pinggir Ranu Kumbolo.
Riani melihat sekeliling dengan terus merekam lewat handy cam "Suasana
kayak gini yang nantinya akan kita kenang seumur hidup. Halo ini Riani,
kita sekarang ada di Ranu Kumbolo, lagi makan siang," Riani tersenyum
manis merekam dirinya sendiri. Kamera berputar mengarah ke temantemannya.
"Dan ini Genta."
"Halo," Genta tersenyum ramah ke kamera.
"Ini Dinda..."
"Halo."
"Dan yang ini Arial...."
"Haloo...." Arial berlari ke depan dan menjulurkan wajahnya dekat sekali
dengan lensa. "Terus ada Zafran."
Cuma Zafran yang tidak tersenyum, pandangannya lurus ke depan seperti
pemikir. Ia melihat tenang dan datar ke handycam seperti artis sinetron
yang baru ditampar selingkuhannya. Teman-teman lain sudah siap-siap
menyiramkan kuah Indomie ke kepalanya. Zafran tertawa keras sambil larilari an.
"Dan yang terakhir Ian...."
"Alo, di sini Ian!" Ian berteriak keras. Ia membelakangi lensa, tapi tiba- tiba
berbalik. Ups! Ian mulai berdansa-dansa sendiri dengan gaya fasih gemulai
bak Ari Tulang-disambung dengan nyanyi-nyanyi.
256
Don't you worry, Don't be angry... Temanmu di sini.
Kamu sangat berarti, istimewa di hati
Slamanya rasa ini... bila nanti kita tua dan hidup masing-masing ingatlah
hari ini...
Semuanya tertawa renyah melihat Ian menyanyi sambil menari-nari ajaib,
perut gendutnya tampak bergoyang ndul-ndulan. Tapi Ian cuek, dia tetap
menari, membuat cipratan-cipratan kecil di pinggiran Ranu Kumbolo.
Mereka tertawa dan tersenyum melihat Ian, Zafran mengambil piring bekas
makannya dan mencoba membuat ketukan irama dengan sendok Tanpa
sadar mereka mulai bersenandung sambil terus tersenyum menatap satu
sama lain.
Kamu sangat berarti, istimewa di hati
Slamanya rasa ini... bila nanti kita tua dan hidup masing-masing ingatlah
hari ini...
(Ingatlah hari ini, Project P)
Senandung lagu dan alam lain di Ranu Kumbolo seakan ikut tersenyum
melihat kegembiraan mereka.
"Bang Genta... thanks ya buat ini semua." Sambil mengikat rambut
indahnya, Dinda berujar pelan.
"Gue yang terima kasih banget sama kalian semua"
Satu jam lebih telah berlalu di Ranu Kumbolo. Mereka masih duduk
lesehan di beranda Ranu Kumbolo dan mengagumi keindahan yang telah
semesta berikan pada mereka.
"Ta, kapan kita berangkat lagi?" Zafran menyeruput teh manis hangatnya.
257
Genta melihat jamnya. Pukul dua kurang sepuluh menit.
"Nanti aja jam tiga tepat..."
"Asik."
"Tapi jangan becanda aja, mendingan tidur-tiduran ngilangin capek dulu,
perjalanan masih jauh banget, masih berat."
"Lo jangan loncat-loncat mulu kayak monyet-monyetan karet," Genta
menegur Zafran.
"Enggak." Zafran yang mau lari-larian lagi langsung nurut.
Zafran langsung tiduran tengkurap menghadap Ranu Kumbolo. Rumputrumput liar tampak besar di depan matanya, membingkai Ranu Kumbolo.
Arial bersandar ke carriernya matanya terpejam.
Ian ikutan tidur tengkurap. Riani dan Arinda rebahan berdua
berbantalkan punggung Ian.
"Asik ada kasur air...."
"Yah mulai deh."
"Pinjem punggung bentar Yan, kan empuk." "Emangnya gue permen Yupi,
empuk." "Hehehe...."
Genta mencoba memejamkan matanya duduk bersandar ke carrier-nya.
Angin sepilas mengembus ke wajah mereka, membuat perasaan teduh
dalam pejaman. Tiba tiba Zafran bersyair datar memecahkan keheningan.
And I don't even care to shake these zipper blues, and we don't know just
where our bones will rest to dust, I guess
forgotten and absorbed into the earth below.
Ian menjawab syair Zafran, "1979, Corgan en' Dia, Smashing Pumpkins..."
Zafran bersyair lagi.
258
Woman I can hardly express My mixed emotions at my thoughtlessness.
Woman I know you understand The little child inside of a man.
Please remember my life is in your hands. And woman hold me close to your
heart
However distance don't keep us apart After all it is written in the stars
"Woman, John Lennon," kali ini Genta yang menjawab. "Yah ketebak mulu,"
Zafran menelungkupkan mukanya. "Kalo ini siapa ayo," kali ini giliran
Genta.
Come up to meet ya, tellyou I'm sorry
You don't know how lovely you are,
I had to find you, tell you I needya
And tellyou I set you apart,
nobody said it was easy
Oh it's such a shame for us to part
nobody said it was easy
no one ever said it would be so hard
I'm going back to the start.
Semuanya terdiam sejenak.
"Ah... gue pernah denger nih... sumpah." Zafran langsung terbangun dan
menatap Genta yang masih sayup terpejam. "Ah... siapa ya?"
"Chris Martin, The Scientist, Coldplay." Riani menjawab sambil tersenyum
dan mengangkat-angkat alisnya. "Gimana sih katanya vokalis... kok nggak
tau." "Lupa, Yan."
259
"Juple sih, ingetnya Chris Martin yang cuma nyanyi doang bisa dapet
Gwyneth Patrol."
"Kalo ini siapa?" Arial ikut-ikutan.
Menelusuri angin malam hari harimu terlewatkan kau hanya bicara
berteman khayalan kau tak mendapat jawaban, bukan akhir segalanya
bumi masih akan berputar senyummu masih menawan cerita cinta masih
akan datang.
"Hah siapa tuh?" Genta berteriak kecil. "Gue pernah denger, sumpah!" "Tau
nggak?" Arial menatap teman-temannya. "'Ntar dulu, ntar dulu...."
uGue tambahin lagi nih, kalo nggak tau keterlaluan." Dan senyumlah
seperti mentari tiada satu pun yang abadi biarkanlah kenangan itu
menghias hatimu.
"Dan senyumlah, Sinikini!" Genta, Dinda, dan Ian berteriak berbarengan.
"Ketebak juga," Arial tersenyum. "Kalo ini...," Ian ambil giliran.
Apalah artinya sebuah derita bila kau yakin itu pasti akan berlalu hai nona
manis... biarkanlah bumi berputar menurut kehendakyang kuasa Tuhan
pun tahu hidup ini sangat berat tapi takdirpun tak mungkin selalu sama.
"Nah lho."
"Gue tau, itu lagunya Utha Likumahua tapi gue lupa judulnya." Ian pun
bersenandung, "Coba cobalah tinggalkan sejenak khayal mu esok kan
masih ada...."
260
"Oh iya."
"Esok kan masih ada, Utha Iikumahua, zamannya Album Minggu sama
Selekta Pop."
"Kalo ini siapa?" sekarang giliran Riani.
Tautan waktu berjalan,iring langkah kita bersama mendewasakan semua
rasa perasaan jiwa, tak akan mungkin mengingkari melawan arti cinta,
perlahan kita mulai belajar melaraskan batin menyatukan ruang tingkap
pengertian tak pernah ku merasakan penat menjadi beban meski peluh
mengalir dan mesti terluka....
"Gilee...," Zafran langsung bangun dari selonjorannya "Keren tuh." "Siapa
ya?" "Lagi, lagi...."
"Nggak mau," Riani menggeleng.
"Lagi... please? Zafran memelas-melaskan wajahnya.
Menyangsingkan cinta dalam keras kehidupan naif terlahir kewajaran
kodrati lelapkan semua.
"Keren...." "Gue tau." "Gue juga tau."
Semuanya spontan bersenandung.
Demi cinta bersandinglah... dalam sisi hidupku ini... demi cinta
berjanjilah... melangkah kita bersama.
261
"Piyu dan Fadli, Demi Cinta, Padi." Dinda berteriak keras.
"Sumpah keren banget liriknya.... Demi Cinta."
Pucuk cemara di kejauhan bergoyang sekenanya mengangguk-angguk
bercengkerama dengan awan putih dan langit biru, semuanya seakan
setuju dengan kata-kata Demi Cinta.
"Kalo ini siapa?" wajah Riani tampak berseri-seri.
You're the future, so do what you come here for...
The hidden treasure
locked behind the hidden doors
and the promise of a day that's shiny new,
only a dreamer could afford this point of view
But you're a driver not a passenger in life, and if you're ready, you
won't have to try cause
you are the universe,
and there ain't nothin' you can't do
if you conceive it, you can achieve it
that's why I believe in you...
Semuanya langsung teriak," You are the Universe, The Brand New Heavies!"
"Ketebak...."
"Lagu itu kan Riani banget"
"Keren lagi..., You are the universe and there ain't nothin' you can't do, if you
conceive it you can achieve it... And the promise of a day that shiny new....
Keren kan?" Riani tersenyum puas.
"Kalo kita mau, sebenarnya kita bisa raih apa aja yang jadi mimpi-mimpi
kita."
"Gue setuju itu," Genta menatap teman-temannya dan melihat langit biru
di atasnya.
262
"Sebenarnya kita nggak usah cari harta karun kebahagiaan karena
semuanya udah ada di di diri kita sendiri: 'Tul nggak?" Ian bergumam
sendiri.
"Setuju!"
"Kebahagiaan sejati itu sebenarnya di sini," ujar Zafran pelan sambil
menunjuk hatinya.
"Gue jadi inget, gue pernah baca buku. Di buku itu ditulis bahwa
sebenarnya manusia terbagi atas dua jenis," Ian membuka pembicaraan.
"Apa aja?"
"Manusia internal dan Manusia eksternal."
"Maksudnya?" Zafran melihat ke Ian sambil mengerenyit-kan keningnya.
Ian meneruskan, "Manusia eksternal adalah manusia yang selalu
memandang sesuatu yang terjadi padanya sebagai akibat keadaan yang
terjadi di luar dirinya. Manusia eksternal beranggapan bahwa semua
keadaaan atau segala kejadian yang menimpa dirinya itu disebabkan oleh
keadaan eksternal di luar kendalinya Kalo gampangnya, manusia yang
selalu menyalahkan keadaan."
"Jadi manusia eksternal selalu berpikir keadaan yang selalu mengontrol
dirinya, bukan dirinya yang mengontrol keadaan." Arial mencoba
menyimpulkan.
"Betul Bapak Rambo."
Zafran ikutan nyambung, "Contoh kecilnya kalo dia kalah main sepakbola
yang disalahkan adalah lapangannya atau wasitnya.
Genta juga ikutan, "Oh gue ada contoh lagi tuh. Ada atlet kita yang kalah di
kejuaraan apa gitu gue lupa, tapi yang paling-inget, dia bilang kalau
kekalahannya itu gara-gara ibunya nggak ikut nonton pertandingan. Kalo
gue bilang sih alasannya nggak masuk akal."
263
"Gue setuju alasannya nggak masuk akal sama sekali. Kalah menang kan
tergantung dia," Ian mengacungkan jempolnya.
"Dia yang harus ngontrol keadaan, jangan mau kalah sama keadaan,"
Dinda berujar pelan.
"Nah itu definisi manusia internal," Ian melanjutkan penjelasannya.
"Oh jadi...."
"Iya manusia internal adalah manusia yang beranggapan bahwa dirinyalah
yang harus mengatur keadaan, bukan dirinya yang diatur oleh keadaaan."
"Manusia internal adalah manusia yang akan selalu melihat dahulu apa
yang salah dalam dirinya, bukan lantas menyalahkan kedaaan."
"Mmm... gue ngerti. Kalo kata lirik tadi, You're the driver not a passenger in
life" sambut Zafran.
Riani tersenyum senang. Iya, kita jangan sampai mau diatur oleh keadaan,
kalo bisa kita yang mengatur, kita harus selalu jadi kalimat aktif selalu
pakai awalan me- bukan kalimat pasif dengan awalan di-."
"Berarti, kalo kita mau sampai ke puncak Mahameru jangan sampai kita
jadi manusia eksternal, kita harus jadi manusia internal, ya kan? Zafran
menaikkan alisnya.
"Bukan di Mahameru aja, kayaknya setiap hari kita harus begitu deh,
jangan pernah mau jadi manusia yang diatur oleh keadaan." Arial
berargumen.
"Iya jangan pernah kalah sama keadaan."
"Yang bilang kita kalah itu siapa?"
"Ya kita sendiri."
"Kalo kita nggak bilang kalah, kita nggak akan pernah kalah."
"Enggak pernah ada manusia yang kalah, cuma pelajarannya aja mungkin
agak berat dibanding yang lain." Ian menatap permukaan Ranu Kumbolo.
264
"tul...."
"Atau mungkin dia sendiri yang berat-beratin?
"Tapi bukannya dia malah, beruntung mendapatkan pelajaran yang lebih
berat dari yang lain?" Dinda memandang teman-temannya.
"Betul juga, kalo dia memandangnya seperti itu berarti jadinya ke masalah
sikap." Genta coba menyimpulkan.
Riani berteriak kecil, 'Jadi, apa pun itu, cobaan, kekalahan, kegagalan, tidak
akan menjadi sesuatu yang buruk. Tapi tergantung bagaimana kita
bersikap, tergantung bagaimana kita menyikapinya."
"Betul lagi...," Ian mengacungkan jempolnya.
"Tapi sikap kan ada yang positif dan ada yang negatif, Ni?" tanya Zafran ke
Riani.
"Iya, jadi mungkin contohnya begini. Misalnya kita lagi dapet cobaan,
kegagalanlah yang gampang contohnya, kalo kita memilih bersikap negatif
sama kegagalan kita akan meng-aggapnya sebagai sesuatu yang buruk,
sesuatu yang menghalangi jalan kita. Kita seolah bikin tembok. Tapi, kalo
kita bersikap positif sama kegagalan kita, kita akan menganggapnya
sebagai suatu pelajaran yang amat berharga yang telah Tuhan berikan
untuk kita. Kita ibarat bikin pintu ke jalan baru, bukannya tembok."
Zafran mengagguk-angguk.
"Ada yang pernah bilang...," Genta coba memperjelas, "Kehidupan adalah
10% yang terjadi pada dirimu dan 90% sisanya adalah bagaimana kamu
menghadapinya."
"Keren...."
"Kalo begitu, sebenarnya Tuhan telah memberi kebebasan kepada setiap
manusia untuk memilih apakah akan bersikap negatif atau positif terhadap
suatu keadaan." Arial berbicara sambil melihat sekitarnya, langit biru di
atas Ranu Kumbolo terlihat indah.
265
"Iya, sesungguhnya setiap manusia memang diberi kebebasan memilih.
Memilih di persimpangan-persimpangan kecil atau besar dalam sebuah
'Big Master Plan' yang telah diberikan Tuhan kepada kita semenjak lahir.
Jadi, semuanya ke masalah pilihan.'' Mata Ian berbinar-binar.
"Gue setuju."
"Sepertinya begitu."
Riani menatap teman-temannya lagi, "Kalo begitu bagaimana kita bisa
ngejelasin soal masih banyaknya kekacauan di alam semesta ini, masih ada
aja perang, masih banyak manusia serakah, yang maunya cuma mengambil
untung dari prang lain. Apakah itu sebuah pilihan yang salah? Trus
bagaimana sikap kita? Banyak argumen yang mengatasnamakan sikap
positif dalam pengambilan keputusan yang ternyata salah."
"Contohnya?" Mata Genta menatap Riani.
"Yang paling gampang ya perang. Masa di peradaban modern ini
keputusan perang masih diambil."
"Iya juga ya,..," Genta mengangguk-angguk.
"Mungkin juga atas semua kejadian ini, Tuhan mencoba menyadarkan lagi
dunia, menyadarkan lagi manusia," ujar Zafran.
"Memelihara tingkat kesadaran manusia," tambah Ian.
Arial menghela napas panjang, "Tapi kan emang dari dulu pasti ada yang
baik dan buruk, ada yin ada yang, ada hitam ada putih, ada Hitler ada
Gandhi, ada Power Rangers ada monster jahat, dan mungkin semuanya itu
membuat manusia berpikir."
"Iya, kejahatan dan kebaikan akan selalu ada untuk mempertahankan
tingkat pemikiran kita sebagai manusia bahwa ada lho orang yang jahat,
ada lho orang yang baik...," Genta mencoba memperjelas.
Dan ada orang yang di tengahnya," Zafran bergumam pelan.
"Maksudnya?"
266
"Orang yang selalu bertanya-tanya, masih bingung antara baik atau jahat,"
jawab Zafran, "Mungkin di belahan lain sana ada orang yang bingung
seperti gue, seperti kita yang kerjanya nanya mulu, nyari jawaban."
"Gue pikir orang yang selalu bertanya itu harus juga ada..," Ian menatap
Zafran.
"Iya juga, kadang orang itu bingung dia ada di mana dan di antara
bingungnya itu, dia juga memelihara tingkat pertanyaan yang dari dulu
sama dan akan selalu ada sepanjang masa," Zafran tersenyum dan
menatap kosong. "Jadi, kalo menurut gue, iseng-iseng doang nih, golongan
manusia bisa dibagi jadi tiga."
Zafran jeda sejenak, "Yang pertama, lo mungkin lihat orang baik itu seperti
apa? Kadang dia cuma melakukan hal-hal yang baik aja tanpa dia sadari,
tanpa pamrih, jadi teladan dan mungkin nggak perlu bertanya untuk apa
dia lakukan itu."
"Enak tuh jadi orang kayak gitu," Ian nyeletuk.
Zafran meneruskan, "Yang kedua, ada orang jahat yang menghalalkan
segala cara untuk melakukan kejahatannya. Pasti kita pernah nemu deh,
semua yang dia lakukan salah banget. Iri, dengki, selalu merasa penting,
selalu berpikiran jahat, selalu merendahkan orang lain."
"Gue nggak mau jadi orang kayak gitu," Ian nyeletuk lagi.
Zafran tersenyum ke Ian dan meneruskan, "Yang ketiga, orang yang akan
selalu buat pernyataan-pernyataan... seperti Ian tadi, 'Enak tuh jadi orang
kayak gitu...', 'Gue nggak mau jadi orang kayak gitu...'. Gue juga sama
persis, orang yang selalu mencari jawab atas baik dan buruk, yang tahu
sesuatu itu baik dan mau menjadi baik; yang tahu sesuatu itu buruk dan
nggak pernah mau jadi orang yang buruk."
Zafran menghela napas panjang dan berujar pelan, "Tapi dia sendiri nggak
tau, termasuk orang baik atau orang buruk karena
267
kadang dia melakukan sesuatu yang baik, tapi juga pernah khilaf hingga
melakukan hal yang buruk."
"Ada yang bilang, The man with the greatest soul will always face the
greatest war with the low minded persons...," sambung Genta.
"Artinya?"
"Orang orang berjiwa besar akan selalu menghadapi perang besar dengan
orang-orang berpikiran rendah dan pendek." "Gilee...."
"Siapa tuh yang bilang, Ta?" "Albert Einstein."
"Tapi nggak ada yang pernah tau kan siapa yang menang di perang itu?"
"Makanya ada orang yang selalu bertanya karena nggak ada yang tau, yang
menang siapa?" Zafran berujar pelan.
"Tapi orang jenis ketiga itu emang ada kan? Lo liat di sekitar lo deh," Arial
bertanya.
"Banyak, kadang-kadang dia melakukan hal yang baik, kadang-kadang dia
melakukan hal yang buruk."
"Dan orang seperti itu harus ada."
"Bukannya semua manusia begitu?"
Semuanya bertanya-tanya dan menggumam sendiri, "Enggak tau
juga...enggak juga..enggak juga."
"Bingung."
"Bingung? Nggak jelas. Ngerti tapi bingung? Nggak ada jawabnya,"
"Gue ngerti tapi bingung." "Sama!"
Riani coba menyimpulkan pelan, "Itulah mengapa Tuhan memberi
kebebasan kepada setiap manusia untuk memilih. Selanjutnya tinggal
masalah pilihan. Itulah mengapa Tuhan sayang sama makhluknya. Ia
menjaga tingkat ketidakjelasan-Nya,
268
ketidakjelasan alam semesta ini dengan ketidakjelasan dan ketidakpastian,
supaya kita terus belajar tentang apa aja hingga akhirnya kita bermuara
pada-Nya. Kalau kita perhatikan, enggak pernah ada satu yang pasti
banget di dunia ini, kecuali ketidakpastian itu sendiri. Jodoh, rezeki, dan
maut, semuanya nggak pasti."
Riani diam sebentar, lalu meneruskan, "Maut atau kematian bisa kapan aja
datangnya...contohnya udah banyak banget. "Rezeki? Rezeki katanya ada
tiga macam, rezeki yang ada semenjak kita lahir, rezeki yang kita punya
sekarang, dan rezeki yang ditangguhkan. Jadi, sebenarnya kita punya
rezeki yang ditangguhkan, yang kalo kita mau, bisa kita kejar." "Nabi
Muhammad SAW pernah bilang, kalo kamu punya unta, serahkanlah
unta itu pada Allah. Tapi jangan lupa, unta itu juga harus
diikat "Intinya, jangan pernah nyerah sama keadaan, harus ada usaha,"
Genta coba memperjelas.
"Tul...."
Arial menatap teman-temannya, "Kalo soal jodoh, ada temen gue yang udah
pacaran bertahun-tahun, tiba-tiba putus gitu aja, trus dia ketemu cowok,
baru tiga bulan langsung nikah. Sekarang bahagia dan udah punya anak."
Zafran coba berargumen, "Tapi ada ada juga lho temen gue yang udah
bertahun-tahun pacaran hingga akhirnya menikah, sekarang udah punya
anak juga."
"Untuk sekarang mereka bahagia, kita harus bilang begitu sebab kita
nggak tau pelajaran apa lagi yang akan Tuhan berikan sama manusia.
Tuhan kan sayang banget sama kita, Dia akan terus memberikan hikmahhikmahnya pada manusia setiap hari. Membuat kita terus belajar agar
tidak menjadi sepotong daging yang punya nama yang hanya bisa jalanjalan doang!!!"
"Betul, gue setuju."
"Iya ya, bingung ya, nggak ada yang pasti."
269
"Mimpi juga sesuatu yang nggak pasti. Tapi, kita harus punya mimpi. Apa
jadinya kalo orang nggak punya mimpi. Kosong."
"Sama aja dengan manusia yang nggak percaya adanya Tuhan... kosong."
Semua mendongak melihat langit biru yang megah menaungi mereka
dalam tanda tanya besar.
"Orang jahat dan orang baik juga ciptaan Tuhan, mungkin bagian dari
rencana besar-Nya pada manusia."
"Pada setiap manusia, bukan pada manusia."
"Makanya kita punya agama."
"tul...."
"Berarti rugi banget dong orang atheis yang nggak percaya atas
keberadaaan Tuhan. Rugi banget! Sumpah! Ngebayanginnya. aja males."
"Sesuatu yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian...."
"Dan Tuhan memelihara ketidakpastian itu pada seluruh umat manusia
agar manusia terus belajar, terus bermimpi, dan ujung-ujungnya kita akan
kembali pada-Nya."
"Kayak obrolan sok tau kita barusan," Zafran tertawa sendiri.
"Sesuatu yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian... semuanya relatif."
"Itu kan Einstein juga ya?" Ian menatap Genta.
Genta mengangguk, "E=mc2"
"E=mc2 kan sebenernya tentang bagaimana membuat energi baru?" Ian
bertanya lagi ke Genta.
"Energi yang paling dahsyat yang pernah ditemukan manusia," Riani
mendesis pelan.
"Energi atom."
"Tul...."
"Kayak gimana tuh?"
"E=mc2 penjelasannya tuh gini.... Kalo nggak salah ya...," jabar Riani. "Kita
bisa bikin energi dengan adanya massa dikali270
kan dengan kuadrat kecepatan cahaya. E nya energi, yang mau dibikin, mnya, massa dalam gram, c-nya kecepatan cahaya"
"Kecepatan cahaya itu berapa?" tanya Dinda ke Riani.
Riani menjelaskan lagi, "Sekitar 344.997 kilometer per detik atau
344.997.000 meter per detik. Itu batas pengetahuan matematis manusia."
"Gilee, cepat banget," Ian geleng-geleng kepala. "Jakarta-Bandung berapa
kilo?" tanya Ian. "180 km."
"Berarti...," Ian mengutak-atik kalkulator di handphone-nya.
"1916 kali bolak-balik Jakarta Bandung. Atau, kalo satu mobil kita anggap 4
meter; berarti 86.249.250 mobil dibarisin panjang dan jarak segitu bisa
ditempuh cahaya dalam satu detik saja." Ian kaget sendiri.
"Cepet banget." Arial berujar pelan.
Riani meneruskan, "Einstein bisa membuktikan kalo makin cepat gerak
benda, semakin besar massanya, jadinya sebuah energi.
"Semakin cepat gerak benda, semakin besar massanya"
"Bingung..."
Riani menjelaskan lagi, "Kalo kita lempar bola basket lemah ke tembok...
temboknya bisa bolong nggak?" "Nggak!" Zafran menjawab cepat
"Tapi, kalo misalnya kita punya pistol terus kita tembakin ke tembok,
temboknya bisa bolong nggak?" "Bisa," Arial mengangguk. "Kenapa?"
"Karena gerak peluru sama gerak bola lebih cepat peluru," Ian mencoba
menyimpulkan.
"Betul..." Riani menatap teman-temannya yang tampak serius.
"Dan, waktu peluru itu tabrakan dengan tembok, energi yang dihasilkan di
tabrakan itu akhirnya bisa bikin tembok bolong."
271
"Energi yang timbul gara-gara kecepatan peluru aja bisa bolongin
tembok...."
"Dengan kata lain, peluru yang membentur tembok sebagai massanya..
.dan kecepatan peluru adalah geraknya. Semakin cepat gerak benda akan
semakin besar massanya, kekuatannya...."
"Gue ngerti." Mata Ian berbinar-binar. "Jadinya...E=mc2, kecepatan kuadrat
344.997.000 meter per detik itu berapa? Itung, itung."
Ian mengutak-atik handphonenya lagi. "119.022.930.009.000.000 meter per
detik... Gilee...."
"E=mc2 itu dalam satuan apa, Ni?"
"Massanya, m dalam gram. Kecepatan cahayanya c dalam sentimeter per
detik,"
" 1 meter berapa sentimeter?" Ian bertanya ke teman-temannya "Seratus,"
jawab Dinda cepat. "1 gram?"
"Satu per seribu kilogram," jawab Dinda lagi.
"Satu Indomie itu beratnya 70 gram...," Ian tampak berpikir serius. "Satu
per tujuh puluh berat Indomie.... Indomie dibagi menjadi tujuh puluh. Kecil
banget"
Riani mengutak-atik kesimpulan. 'Jadi, dengan hanya satu gram benda
atau satu per tujuh puluh kali berat Indomie, bila benda itu bergerak
dengan kecepatan 119.022.930.009.000.000.000 atau seratus sembilan belas
bilyun dua puluh dua trilyun sembilan ratus tiga puluh trilyun sembilan
milyar cm per detik...."
"Bayangin aja cepetnya," Arial geleng-geleng kepala.
"Peluru aja, yang nggak keliatan, bisa bolongin tembok," Genta
menambahkan. "Apalagi kecepatan segitu...."
Riani tersenyum bangga, "Itulah energi atom!"
"Kenapa bisa dibilang energi atom?" tanya Dinda.
"Satuan terkecil dari benda namanya apa?"
272
"Atom." "Sifat atom?"
"Selalu mengisi tempat kosong."
"Dinda bayangin deh, ada suatu benda lewat dengan kecepatan tadi. Udah
berapa atom yang dilewatin dan diacak-acak dan berpendar ke segala
arah? Berapa banyak atom yang bergerak mengisi tempat kosong yang
dibuat oleh benda yang lewat tadi? Riani meneruskan.
"Yang akhirnya jadi satu energi, seperti peluru yang nembus tembok tadi,"
Dinda tersenyum ke Riani.
"Kalo contoh yang gue baca, keajaiban dari energi atom itu adalah
peledakan energi satu gram zat aja bisa memberikan listrik buat satu
provinsi selama satu tahun. Atau...," Riani diam sejenak
"Membuat provinsi itu hancur berkeping-keping rata dengan tanah hanya
dalam hitungan menit! Einstein telah membuka pintu kematian sekaligus
pintu kehidupan."
The Conversation
Percakapan terus berlanjut, mencoba mengagumi keindahan dan keajaiban
yang telah dibuat oleh makhluk bernama manusia.
"Energi atom berarti dahsyat sekali ya... Kalo dibuat bom terus bomnya
buat membunuh umat manusia, salah apa bener ya?" "Salah...."
"Kalo dibuat energi untuk jadi listrik yang disalurkan ke rumah-rumah,
bener nggak?" "Bener."
"Tapi kan misalnya bom atom yang di Hiroshima, gara-gara itu perang
berhenti... jutaan nyawa bisa selamat" "Iya juga, ya..." "Relatif lagi."
273
"Berarti, balik lagi ke manusianya." "Bukan! Balik lagi ke pilihan manusia."
"Iya...."
"Dengan waktu dan kekuatan yang telah diberikan, manusia mau memilih
apa? Kebebasan pilihan sudah diberikan...."
"Einstein dengan teori relativitasnya bisa membuktikan bahwa massa atau
benda-benda adalah sesuatu yang relatif."
"Jadi semuanya relatif."
"Materi adalah sesuatu yang relatif karena materi selalu bergerak... nggak
pernah diem." "Kasih contoh dong..."
"Contohnya kalo lo dari kamar pindah ke ruang tamu. Ada materi baru
yang mengisi tempat di kamar yang lo tinggalin. Dan, saat lo masuk ruang
tamu ada materi yang pindah lagi karena ada lo yang masuk mengisi
tempat di ruang tamu."
"Berarti materi selalu bergerak seperti atom yang sifatnya selalu mengisi
tempat kosong...."
"Betul, materi kan terdiri dari atom-atom. Kata Einstein, nggak pernah ada
suatu benda yang tidak bergerak. Semuanya bergerak."
"Tapi...."
"Untuk tahu bergeraknya sebuah materi, harus ada perbandingan dengan
benda lain yang bergerak juga." "Bingung...."
"Nggak boleh ada kamar lo doang, harus ada ruang tamunya." "Nggak
boleh ada ruang tamunya doang, harus ada kamar lo juga."
"Tapi kan gue bergerak sedikit aja di kamar gue, udah banyak materi yang
berpindah tempat Dan waktu juga terus berjalan kan? Karena waktu terus
bergerak."
"Itu dia. Maka timbullah Teori Relativitas Einstein. Dia bilang nggak pernah
ada sesuatu yang pasti, dia menolak segala
274
hal yang bersifat mutlak. Sesuatu itu selalu berubah, terus ber ubah, materi
berubah karena gerak."
"The man with the greatest soul will always face the greatest war with the low
minded persons?
"Kalo diliat dari kesimpulan sih pernyataan itu mungkin bisa berarti bahwa
kebaikan akan selalu berperang dengan kejahatan. Betul nggak?"
"Nggak tau."
"Sekarang gue kayaknya kalo ngeliat sesuatu nggak mau langsung bilang
bener atau salah. Harus dilihat dari sudut pandang mana ngeliatnya."
"Betul juga sih."
"Nggak juga sih."
"Tapi nggak juga deh. Pernyataan itu ada benernya, ada salahnya juga
sewaktu-waktu. Belum pasti bener, belum pasti salah juga. Relatif lah."
"Iya relatif."
"Tuh kan balik ke relativitas lagi. Pada akhirnya semuanya emang begitu.
Einstein sendiri tadi bilang satu-satunya yang pasti di dunia ini adalah
ketidakpastian."
"Tapi tadi lo bilang pernyataan itu bisa bener juga sewaktu-waktu. Berarti
ada lagi dimensi waktu yang bisa menimbulkan ketidakpastian tadi."
"Waktu...."
"Iya, relativitas itu sesuatu menjadi relatif karena ada dimensi waktu,
seperti di kamar lo tadi, lo bergerak sedikit aja udah banyak yang bergerak,
tapi kan waktu juga terus bergerak"
"Apa pun, menjadi relatif kalo ada dimensi waktu."
"Contohnya tadi, sesuatu bisa jadi salah atau bisa jadi bener tergantung
kapan waktunya sesuatu itu diterapkan."
"Setuju nggak?"
275
"Waktu juga...."
"Waktu terus berjalan, ada lagi yang juga terus berubah, namanya waktu."
"Berarti seluruh relativitas Einstein bisa dikalahkan oleh waktu?"
"Bukan dikalahkan."
"Teori Relativitas itu terjadi karena ada waktu. Mungkin kalimatnya bisa
dilanjutin jadi satu-satunya yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian
dan ketidakpastian itu adalah sifat utama dari sebuah waktu."
"Dan, karena waktu adalah sesuatu yang berjalan sangat cepat maka waktu
adalah suatu ketidakpastian yang sangat besar."
"Bingung?" "Contoh...
dong" "Sekarang jam
berapa?" "Jam tiga
kurang." "Kurang
berapa?" "Tujuh belas
menit."
"Tujuh belas menit kurang berapa?"
"Tujuh belas menit kurang- sebelas detik."
"Sebelas detik kurang berapa?"
"Hah?"
"Mana gue tau?" "Kenapa?"
"Karena waktu terus berjalan."
"Berarti waktu adalah sesuatu yang bergerak terus...." "Iya."
"Jadinya harus ada seperseratus atau seperseribunya. Baru sampai segitu
kan manusia bisa ngitung?"
"Kecepatan gerak paling tinggi baru bisa dihitung manusia melalui
kecepatan cahaya."
276
"Manusia baru sampai ke kecepatan cahaya, yaitu 344.997.000 meter per
detik. Itu batas pengetahuan matematis manusia." "Fiuh...."
"Jadi, kalo setiap ada yang tanya sekarang jam berapa?"
"Berarti dia bohong."
"tul...."
"Bohong tak terhingga berapa juta juta juta... multi mikro... detik."
"Karena waktu selalu berjalan, cepat sekali." "Dan karena waktu adalah
sesuatu yang berjalan sangat cepat maka waktu adalah suatu
ketidakpastian yang sangat besar." "Kalo waktu berhenti?" -"Bukan
berhenti kali yee..." "Kalo waktu nggak ada?" "Nah lho?"
"Iya, kalo nggak ada waktu?" "Hahaha...."
"Kayaknya nggak ada yang relatif, semuanya jadi pasti." "Lo pasti mati
tanggal segini, rezeki lo tuh segini, jodoh lo tuh si ini."
"Berarti kita jadi nggak punya pilihan, nggak punya kebebasan memilih."
"Bukan nggak punya kebebasan memilih."
"Lo bahkan nggak akan pernah punya kebebasan sama sekali."
"Dan?"
"Dan manusia nggak akan pernah punya yang namanya iman, cita-cita,
keinginan, keyakinan, dan mimpi." "Karena semuanya udah pasti."
"Lo nggak akan punya mimpi karena semuanya udah pasti." "Apa
jadinya..?"
277
"Seonggok daging yang punya nama, bisa jalan-jalan dan berbicara, bukan
sebuah kehidupan."
"Berarti... karena semuanya udah tau, masa depan lo, siapa lo nantinya, apa
yang bakal lo dapet, nggak ada yang namanya belajar dari pengalaman."
"Demi waktu...."
"Demi waktu...."
"Tapi gue yakin, pasti ada sesuatu yang pasti...yang nggak bisa ditawar,
yang bahkan Albert Einstein nggak bisa jelasin."
Semua anak manusia itu melihat ke langit biru di atas Ranu Kumbolo.
Tersenyum satu sama lain.
"Iya, yang di atas sana itu satu yang pasti."
"Tuh kan balik-baliknya pasti ke yang di atas sana."
Angin yang membelai wajah mereka lembut menemani hati mereka yang
berdoa mengucap syukur.
"Manusia yang nggak percaya sama Tuhan sama saja dengan manusia
yang nggak punya mimpi. Cuma seonggok daging yang punya nama."
I am enough of an artist to draw freely upon my imagination. Imagination is
more important than knowledge. Knowledge is limited. Imagination
encircles the world. (Albert Einstein)
278
Delapan
A Letter, A Heart... to Remember
...Tapi aku bilang sekarang sama kamu bahwa cita-cita kamu itu tercapai...
kamu adalah orang yang paling baik di hati kita, titik... cita-cita kamu
tercapai. Dan kamu akan selalu kita kenang di hati ke mana pun kita
pergi...
Pukul tiga kurang lima.
"Beres-beres dan berangkat."
Zafran dan Genta melipat terpal Arial dan Ian membereskan kompor
parafin, Riani dan Dinda tampak membereskan sisa-sisa makan siang.
Keheningan menyelimuti mereka berenam, baru saja mereka merasa dekat
sekali dengan Mahapencipta.
Genta berujar ke teman-temannya, "Sampah kita mana? Masukin di
plastik, jangan dibuang di sini, kita bawa aja, gantung di luar carrier.
Jangan pernah ninggalin sampah di gunung."
"Ta...."
"Iya, Yan."
"Berapa lama lagi kita jalan?"
279
"Kalo sampai puncak ya masih setengah hari lagi.. .tapi nanti malam kita
ngecamp dulu di Arcopodo."
"Masih jauh banget ya?"
"Masih... jauh, nggak pakai banget."
Mereka sudah siap berjalan lagi. Treg... srrt! Arial mengencangkan
carriernya.
"Siap?"
Sebentar mereka menatap Ranu Kumbolo yang tenang selepas siang, hanya
dalam hitungan jam semuanya telah meninggalkan sepotong keajaiban hati
mereka di sana.
"Berdoa dulu."
Semuanya tertunduk, memejamkan mata. "Yuk...."
"Mahameru Ian datang." "Hehehe...."
"Mahameru mudah-mudahan Ian kuat."
"Mahameru... mudah-mudahan punya tempat buat Ian yang gendut.
Mahameru, terima kasih Ranu Kumbolo-nya ya."
Mereka mulai melangkah lagi, mulai berjalan meninggalkan Ranu
Kumbolo. Rombongan itu langsung disambut oleh sebuah bukit tinggi
dengan jalan setapak yang menanjak curam membelah kumpulan ilalang
liar yang tumbuh di badan bukit. Tampak beberapa pendaki terengahengah membawa barang bawaan yang berat. Sebagian yang lain memilih
berhenti sebentar di pinggir jalan setapak, melepaskan lelah.
"Gilee tinggi juga ya...."
"Agak curam."
"Tanjakan cinta."
"Apaan, Ta?"
"Banyak yang menyebut bukit ini tanjakan cinta." "Hahaha... kenapa, Ta?"
280
"Itu, liat aja, Ple. Kalo dari jauh bentuknya kayak lambang cinta."
"Iya juga sih."
Genta meneruskan, "Ada lagi mitos satu yang mengatakan kalo kita terus
mendaki tanpa melihat ke bawah lagi maka segala mimpi tentang cinta kita
akan terwujud."
"Hah yang bener?" mata Ian dan Zafran berbinar-binar.
"Iya, tapi ada satu lagi syaratnya. Selama kita mendaki harus terus mikirin
orang yang kita mau itu."
"Hahaha...."
"Serius lo, Ta?"
"Iya nggak tau ya. Itu udah jadi bahan obrolan para pendaki Mahameru
dari dulu, gue nggak tau bener apa enggak." "Asik...," Zafran mulai gila lagi.
Ian loncat-loncat, "Hore... kalo gue terus mikirin Happy Salma bisa jadian
dong sama dia."
"Happy Salma.... Happy Salma..." Genta jadi geleng-geleng, tersenyum kecil,
nyesel sendiri udah bikin dua temannya jadi ngaco dan berlarian ke bawah
bukit, menuju awal jalan setapak tanjakan cinta.
Semua tertawa melihat kapur tulis SD yang ceking dan gajah Lampung dari
Way Kambas loncat-loncat kegirangan.
Ian dan Zafran sudah berada di awal jalan setapak. Mereka melambai ke
belakang, keempat temannya masih berjalan santai. Keduanya saling
pandang sebelum naik.
"Gile, Ple, tinggi juga"
"Iya, Yan...." Zafran mengencangkan tali carrier-nya, buat gaya sedikit.
Ian mencoba menirukan Zafran, walaupun sebenarnya dia nggak tau apa
maksud Zafran. "Siap, Ple?"
281
"Siap!!!"
Tapi nggak jadi. "Nanti kalo si Genta bohong gimana? Masa sih?"
"Ah bodo amat, namanya juga mitos." "Kalo bener gimana hayo?"
"Iya juga ya... Happy Salma, Ple. Gile, mimpi aja nggak."
"Yuk."
"Sip."
Tapi nggak jadi lagi. "Iya ya, kalo Genta bohong gimana ya, Yan?"
"Happy Salma juga cuma seksi aja, gue nggak tau orangnya gimana, gue
kan maunya yang keibuan." "Iya juga ya, Yan."
"Tapi Yan, apa pun harus kita coba. Kita kan laki-laki." "Man gotta do what
man gotta do!" "Iya, apa salahnya nyoba?"
"Nggak ada salahnya, Ple. Yang penting kita usaha." "tul...."
"Jadi siap nih?" "Siap." "Yuk."
Keduanya masih terdiam, "Yuk."
"Ya udah, tinggal ngelangkah doang, nggak ada susahnya. Lo sih pake
didramatisir."
"Eh iya ya, tinggal ngelangkah doang, kayak ngadepin apa aja." Zafran
mulai melangkahkan kakinya.
Mereka melangkah mendaki jalan setapak.
"Heh, dipikirin orangnya, jangan bengong."
"Oh iya lupa...," Ian masih bengong.
Mereka terus melangkah sambil berpikir keras. Ian memikirkan Happy
Salma hingga keningnya berkerut, Zafran melakukan
282
hal yang sama, siapa lagi yang dipikirin kalo bukan Dinda. Ber dua terus
mendaki dan mendaki, barang bawaan terasa semakin bertambah berat,
kaki seperti digantungi pemberat. Setengah bukit tinggi itu telah mereka
lalui, napas kembali terengah-engah, satu-satu dada mereka tampak naikturun.
"Fiuh, fiuh, fiuh." Atur napas satu-satu.
"Capek juga ya, Ple."
"Iya, makanya jangan cepet-cepet. Santai aja." "Gilaa... berat juga mencari
cinta." "Juplee!!!... Ndut!!!. Wooy!!!" "Iya, Taa...."
Ian dan Zafran refleks menengok ke bawah, melihat Genta yang
memanggil-manggil mereka. Genta, Arial, Riani, dan Dinda melambaikan
tangan. Keempatnya baru mulai mendaki.
"Apa, Ta?"
"Sampai ketemu di atas bukit ya..," Genta berteriak lantang.
Ian dan Zafran menengok ke bawah, tersenyum dan mengacungkan
jempol. "Hati-hati ya, Ta."
"Ha... ha... ti ha... ti... ya.., Ta...," suara Ian dan Zafran melemah seperti
walkman kehabisan baterai.
Di mata Zafran, lukisan indah Arinda tiba-tiba lumer cat nya, berganti jadi
wanita berbikini ngejreng di stiker hadiah TTS bertuliskan "menanti
kejujuran". Lalu Arinda berubah jadi gadis kalender pompa air yang
biasanya pake bikini warna norak, berpose di depan motor dengan bulu
ketek yang lupa dicukur.
Dalam bayangan Ian, Happy Salma tiba-tiba berubah menjadi bencong
taman lawang dengan betis gede, trus jadi Mpok Nori, trus jadi paranormal
wanita menor di tabloid hantu, trus jadi kambing pake bedak, jadi bebek,
jadi kucing, jadi
283
mangga, jadi nanas, jadi Mpok Ati... Ya Allah towlowng.... Keduanya
terduduk lemas saat itu juga, melihat iba ke bawah.
"Udah jauh banget lagi," kata mereka sambil bertatapan.
Keempat teman lain yang masih di bawah terbengong-bengong melihat
mereka berdua.
"Kenapa tuh berdua? Kecapekan?"
Arial, Riani, dan Dinda saling berpandangan dan tersenyum. Tiba-tiba
tawa ketiganya meledak keras sekali... "Hahaha...."
"Bodoh."
"Bego, hahaha...."
"Bodoh, kagak sekolah...."
"Ancur."
"Kenapa sih?"
Genta yang masih bingung ikut tertawa kecil melihat teman-temannya
tertawa gembira sekali. Air mata Arial dan Riani sampai keluar, bahu
Dinda berguncang.
"Wooy kenapa?"
Arial masih tertawa, coba memberi tahu Genta.
"Hahaha... gara-gara lo panggil, mereka berdua nengok ke bawah kan?
Padahal kalo mau keinginannya tercapai kan nggak boleh nengok ke
bawah... hahaha...."
"HAHAHA...," tawa Genta meledak keras sekali sampai ia terduduk lemas di
pinggiran jalan setapak.
"Gue... gue... enggak sengaja. Sumpah! Hahaha... ancur.,.. Gue emang mau
manggil mereka berdua, sumpah nggak sengaja."
Ian dan Zafran di ketinggian melihat keempat teman mereka di bawah
sedang terpingkal-pingkal. Tak kuasa, keduanya ikut tersenyum dan
tertawa keras, menertawai kebodohan mereka sendiri.
"Hahaha... mana udah jauh lagi ya , Ple. Mau ngulang lagi udah capek."
284
"Lo aja hahaha... gue mah nggak mau." "Bego lo, Yan... hahaha." "Lo juga...
hahaha."
"Wooi bego, gue nggak sengaja. Pengen manggil aja... hahaha...," Genta jadi
geli sendiri.
"Rese!!!" Ian dan Zafran teriak-teriak dari atas.
Mereka meneruskan pendakian. Napas mereka memburu satu-satu,
melawan tanah tinggi dan beban berat di punggung. Ian dan Zafran
sampai paling duluan di puncak bukit.
"Wooi semua! Cepet, cepet!" Zafran dan Ian melambaikan tangan dari
puncak bukit.
"Wooi... cepet!"
"Kenapa sih mereka, Mas Ial?" Arinda bertanya heran pada abangnya.
"Nggak tau, biasa... dua mahkluk itu emang kadang-kadang suka ajaib."
Teriakan-teriakan itu terdengar lagi. Kali ini makin jelas karena jarak
mereka makin dekat. "Cepet!!! Cepet, keren nih!!"
Riani mendongak ke atas. Bayangan Ian dan Zafran tampak meloncatloncat di atas bukit.
"Ada apa sih, Ta? Mereka kok excited banget."
"Keren, keren... sumpah keren banget." Teriakan Ian dan Zafran makin jelas
di telinga.
Genta tersenyum penuh arti, tau apa yang dimaksud oleh kedua temannya
itu.
"Iya sih emang ada sesuatu yang keren di atas sana," ujar Genta pelan.
Arial, Dinda, dan Riani berhenti sebentar-menengok ke Genta. Genta
menaikkan alisnya, tersenyum penuh arti. "Ada apa sih?"
285
Genta lagi-lagi hanya tersenyum.
Begitu keempat teman tiba, Zafran dan Ian langsung mengulurkan tangan,
membantu Dinda dan Riani yang sudah sampai di puncak bukit. Genta
dan Arial menyusul.
"Hup... ayo sampe juga."
Muka Riani dan Dinda tampak merah menahan lelah. "Fiuh." Arial dan
Genta menginjakkan kaki di puncak bukit
itu.
Semua langsung bengong melihat pemandangan di depan.
"Keren kan?"
"Savanna ya?"
"Bukan! Stepa."
"Savanna!"
"Stepa! Ya udah savanna dan stepa deh." Debat kusir dihentikan. Di bawah
terhampar padang ilalang luas sekali, dengan beberapa bukit kecil
memagarinya. "Gilee... gue kayak di Afrika."
"Fiuh... Mahameru, Mahameru... banyak banget kejutannya. Nggak ada
yang biasa lagi." Dinda menggeleng-gelengkan kepalanya.
Angin padang yang kencang tiba-tiba bertiup, membuat ilalang di padang
melambai-lambai bagaikan jutaan rajutan yang menyatu indah. Waktu
seakan berjalan pelan, sepelan lambaian ilalang di bawah mereka.
"Tinggal ada T-rex aja nih sama Raptor... lengkap deh."
Padang ilalang luas dan bukit-bukit itu membuat Ian jadi ingat filmnya
Steven Spielberg, Jurassic Park. Arial memandang ke belakang. Ranu
Kumbolo masih terlihat dari ketinggian. Arial melihat ke depannya, padang
ilalang yang luas masih melambai-lambai tertiup angin padang. Arial
merasa sedang berada di dua alam yang berbeda.
286
Riani mengeluarkan handycam dan mulai merekam. Arial mencolek
pundak Riani dan memberikan tanda ke Riani dengan jempolnya, yang
artinya "lihat ke belakang". Ranu Kumbolo pun terekam dalam ketinggian.
Arial mengarahkan bahu Riani ke depan, padang ilalang itu pun terekam
juga. Riani tersenyum ke Arial penuh kagum.
"Yuk... jangan kelamaan di sini, kita harus terus jalan," Genta mengomando
teman-temannya.
"Ok Bos!"
"Nah kita lewat mana?" "Ya turun." "Ke mana?" "Itu jalannya..."
"Kita ngelewatin padang?" mata Zafran berbinar-binar.
"Atau, kita bisa lewat sana:..," Genta menunjuk ke sebelah kiri jalan setapak.
Pinggiran bukit terlihat memutar. Di pinggiran padang, beberapa pendaki
terlihat sedang melewati jalan itu.
"Apa bedanya lewat pinggir bukit sama lewat padang?"
"Sama aja sih."
"Lewat padang!" semuanya tiba-tiba teriak. "Tapi mana jalan setapaknya?"
"Itu, jelas...."
Jalan setapak kecil terlihat jelas dari ketinggian, seperti sebuah garis
membelah padang luas dan bermuara ke hutan di seberangnya yang
menyerupai tembok hidup, menyambut jalan itu.
"Gila, Indonesia punya Afrika kecil."
"Ada T-rex nggak, Ta?"
"Ada Raptor...," kata Genta tersenyum.
"Ada T-rex tapi doyannya Teletubbies dikecapin. Krupuknya banyak,
karetnya dua, nggak pedes."
Arial membuat gerakan seperti mau memakan Ian.
287
"Hahaha...." "Yuk...."
Rombongan itu menuruni jalan setapak yang mengakhiri bukit itu. Mereka
seperti memasuki dunia lain kala tiba di awal jalan setapak yang membelah
padang ilalang.
"Gilee... gue di alam lain."
Zafran melihat sekelilingnya, merasa seperti berada di antara benangbenang ilalang raksasa setinggi pinggang. Mereka menelusuri jalan setapak
yang membelah padang. Leher mereka terus berputar menikmati
pemandangan sekitar. Dari atas mereka mirip enam titik kecil berjalan
beriringan di antara keindahan alam Mahameru, membelah semesta
dengan segala keindahan di sekeliling mereka.
Tak ada yang percaya keindahan telah mendatangi mereka lagi. Tak
hentinya mereka melihat ke langit sambil mengucap syukur. Angin padang
yang keras menghantam wajah mereka, jiwa petualang seperti merasuki
hati mereka tatkala Puncak Mahameru kembali terlihat megah.
"Now this is something that you didn't see everyday...," Zafran berkata ke
teman-temannya.
"Titanic, James Cameron, Di caprio en' Winslet," jawab Riani, langsung
melempar senyum ke arah Zafran.
"Gilee... emang quote itu ada di film Titanic, Ni?"
"Iya, waktu semuanya di sekoci. Titanic tinggal setengah di atas laut,
setengah lagi tenggelam di tengah samudra."
"Padahal gue nggak pernah inget ada quote itu di Titanic."
"Jadi lo tadi cuma ngomong sekenanya aja?"
"Iya...."
"Bo'ong lo, Ple!"
"Sumpah! Wah berarti gue ada bakat jadi sutradara nih." "Hahaha... itu
kan cuma deja vu aja." Ian ngakak ngeliat Zafran sok tau.
288
"Bukan dong! Itu berarti Serendipity," Zafran keukeuh sekaligus ngasal.
"Lagian kan yang nulis itu ya penulisnya, bukan sutradara, He!"
"Tapi yang paling terkenal di mana-mana kan sutradaranya, gue kan ada
bakat terkenal."
"Gile, keren juga yaa... vokalis sekaligus sutradara, jarang-jarang ada kayak
gitu tuh. Wah keren... iya ah gue mau jadi sutradara."
Zafran meneruskan, "Film pertama yang man gue buat..." "Film iklan kasur
air..." Genta nggak kuat lagi mau nyela. Ian menambahkan, "Film iklan
barang-barang fitness yang bo'ong mulu."
"Bukan... film iklan yang buat gedein itu tuh...," Genta melirik ke perut Ian.
Arial tersenyum geli, lalu menepuk perut Ian. "Iya, yang produknya Ian
salah pake, harusnya dipake di dada tapi dia pake di perut, jadi perutnya
deh yang tambah gede."
"Hahaha...."
"Rese...." Ian tersenyum bego.
Zafran menatap serius temen-temennya, dan berkata agak keras, "Sialan
lo... nggak! Gue mau bikin film judulnya....
"Achilles di Mahameru."
"Jangan ada yang muntah semuanya!"
Mereka tertawa. Tawa mereka terdengar sayup-sayup terbawa angin
padang. Dari atas, canda mereka seolah mengisi keluasan hati padang
ilalang, mengisi keluasan hati mereka yang pastinya jauh lebih luas dari
padang ilalang atau tempat apa pun di dunia ini. Tanpa terasa, di ujung
jalan setapak, hutan lebat terbentang di depan.
"Fiuh... ada apa lagi di dalam sana? Break?
289
"Fiuh," Ian berdiri di akhir jalan setapak yang membelah padang. Lehernya
agak mendongak, pohon-pohon besar bak sebuah benteng hijau megah.
Dari kejauhan, kedalaman hutan seperti menolak sinar matahari untuk
masuk. Dua pohon besar mengapit jalan setapak. Sebuah gapura ke alam
lain. Dinda menengok ke belakang, ke jalan setapak yang membelah gurun.
"Kita masuk ke hutan Bang Genta?"
Genta mengangguk pelan.
"Ada apa di sana, Ta?" Zafran mengeluarkan air mineralnya. Genta terdiam
dan menggeleng, matanya menatap kosong
ke kedalaman hutan. Menyaksikan sikap Genta, semua jadi
merasa getir di hati. "Fiuh."
Genta mencoba melihat ke jalan setapak padang ilalang, matanya
mengarah ke jalur di atas bukit. Di kejauhan tampak beberapa pendaki.
Mata Genta kembali mengarah ke dalam hutan di depannya... tatapannya
kosong. Sesaat pandangannya beradu dengan pandangan Arial yang sejak
tadi nggak pernah lepas memperhatikan Genta. Arial memberikan
pandangan yang seperti pertanyaan.
"Waktu itu di hutan ini, Ta?"
Genta yang sepertinya bisa membaca pikiran Arial mengangguk pelan.
Memang cuma Arial yang baru diceritain Genta. Sewaktu pertama kali ke
Mahameru, Genta pernah tersesat sendirian hampir satu hari penuh di
hutan ini karena salah jalur. Di hutan ini semua jalur seperti sama sehingga
membuat Genta bingung harus melangkah ke mana. Kejadian tadi
membuat dia sedikit trauma, ingatannya kembali ke tiga tahun yang lalu.
Hutan yang masih persis sama. Waktu itu, entah kenapa ia tiba-tiba
merasa sendirian dan teman sependakiannya yang hanya berjarak lima
meter di depannya, tiba-tiba menghilang
290
seperti di telan bumi. Ia sudah coba berteriak, tapi tak ada jawaban. Hanya
desir angin dan gelapnya hutan yang menjawab teriakannya. Ia coba
mengikuti arah matahari, tapi tetap aja berputar-putar karena semuanya
hampir sama. Genta nggak habis pikir, keanehan-keanehan yang sering
dialami sesama pendaki gunung ternyata terjadi juga pada dirinya. Ia terus
mencoba mengikuti jalan setapak dan memberi tanda kecil pada tiap
persimpangan-tetap saja ia berputar dan kembali ke tempat semula.
Genta mencoba tidak panik, terus berteriak memanggil, dan tetap berdoa
hingga malam datang. Malam itu dingin dan sepi sekali, suara-suara
makhluk malam dan desir angin membuat tengkuknya terus merinding.
Untuk satu malam Genta mencoba bertahan di hutan yang dingin dan
gelap, hanya dengan deeping bag. Makanan dan airnya yang sudah
menipis akhirnya habis sehingga ia terpaksa menelan pasta gigi dan daundaunan guna menghilangkan rasa lapar yang mencengkeram perutnya. Di
malam itu Genta merasakan takut yang amat sangat, hingga akhirnya di
antara gelapnya hutan dan pohon-pohon raksasa Genta tertidur. Belum
pernah ia merasakan takut yang amat sangat seperti malam itu.
Genta melihat ke kedalaman hutan. Tengkuknya merinding, mengingat
kejadian yang pernah dia alami. Hanya Arial yang sudah tahu, temantemannya-bahkan kedua orang tuanya- tidak ada yang tahu.
"Ta, eh bengong. Lanjut nggak?" Zafran berteriak, membuyarkan lamunan
Genta.
"Oh iya, sori,"
"Kenapa, Ta?" tanya Riani lembut. "Enggak." Genta mencoba menepis
keraguan teman-temannya.
291
Matanya kembali beradu dengan pandangan Arial yang langsung
menggeleng, yang artinya Genta tangkap sebagai "jangan diceritain
sekarang, Ta".
"Oh iya kita lanjut." Matanya masih tak lepas menatap Arial.
Arial tersenyum, senyum yang membuat Genta seperti tersadar.
"Yuk kita lanjut...!"
"Lo di depan ya, Ta."
Arial menepuk bahu Genta, sambil berbisik lirih, sangat lirih, "Di antara
kita semua, nggak ada yang udah ngabisin 24 jam di hutan ini sendirian
kecuali elo?
Genta tersenyum kecil.
"Ok...kita masuk hutan. Interval jarak kita masing-masing jangan sampai
lebih dari dua meter ya, jangan ada yang bengong, jangan ada yang
sombong, inget... sekali lagi jangan ada yang bengong. Pokoknya ngobrol
aja, tentang apa aja."
"Nyanyi boleh?"
Genta tersenyum mendengar pertanyaan Zafran. "Boleh, tapi jangan keraskeras."
"Iya kan di hutan lindung ada nenek sihir yang terus bertanya '...di mana
anakku, di mana anakku...."
Ian menirukan nenek sihir yang suka ada di hutan lindung dalam film
Boneka Si Unyil.
"Eh, jangan bercanda yang enggak-enggak di gunung."
Riani menepuk pundak Ian, "Tau lo, Yan."
Tampang Genta tampak serius melihat Ian. Ian langsung diem, lehernya
mendongak ke langit, batinnya berucap lagi, Maap ya.
Sebelum berjalan, Genta melihat lagi ke Arial yang hanya menanggapinya
dengan mengangkat alisnya. Telunjuknya tampak menyentuh keningnya
berulang-ulang.
292
Iya, apa yang gue takutin kalo gue bilang bisa, gue pasti bisa, Genta berkata
dalam hati.
"Yuk... mari kita kemon, gue di depan, abis itu Riani, Dinda, Ian, Zafran,
dan terakhir Rambo... oke?"
"Siip!" Arial memberikan senyum mantapnya ke Genta yang sedikit
membuat semangat dalam diri Genta.
"Yuk berangkat."
"Inget.. jangan bengong, jangan sombong, interval masing-masing dua
meter, jangan lebih," Genta kembali mengingatkan, dilanjutkan dengan
mengayun melangkah tanpa menengok ke belakang lagi.
Riani sedikit bertatapan dengan Zafran. Mata Riani memberikan lirikan
dan tolehan yang menunjuk ke Genta, yang ditangkap sebagai "kenapa
dia?"
"Iya, nggak biasanya..!," jawab Zafran pendek dan pelan.
Rombongan itu memasuki hutan yang mulai menggelap, sinar matahari
selepas siang seperti enggan menembus dedaunan lebat. Genta terus
berjalan di depan, terus mencoba fokus ke jalan setapak dan kompas yang
di pegangnya. Sesekali ia menengok ke belakang, melihat apakah temantemannya masih lengkap. Riani, Dinda, Ian, Zafran, Arial. Dicermatinya
mereka berulang-ulang.
Genta terus melangkah melewati jalan setapak yang semakin dalam ke
hutan, semakin dalam, semakin dalam. Genta tercekat dalam hati,
sepertinya ini jalan udah kita lewatin tadi? Genta melihat ke belakang lagi,
semua di hutan itu tampak sama. Genta mencoba tetap fokus ke
kompasnya, tapi puncak arah sana bener kok, jalan aja terus, jalan terus
fokus... fokus... fokus....
Sama lagi jalannya...
Pohonnya sama....
293
Sama lagi jalannya, Genta merasakan hal yang nggak enak di hatinya. Ia
nggak peduli pada keadaan, mata dan hatinya hanya percaya ke kompas,
sesekali dia menengok ke belakang, menghitung teman-temannya.
"Lengkap! Ruh...."
Dia nggak mau sesuatu yang enggak enak, yang pernah dialaminya
menimpa ke teman-temannya. Sudah hampir satu jam lebih mereka
berjalan, Genta menengok ke belakang, tampak Ian dan Zafran bercanda.
Muka lelah Riani dan Dinda tersenyum. Genta menghitung lagi. Riani,
Dinda, Ian, Zafran, Arial. Riani, Dinda, Ian, Zafran, Arial. Tapi, tiba-tiba ia
mem-batin heran, kok Teletubbies bisa ada di belakangnya? Tersenyum
manis dengan pipinya yang tembem.
"Alo Boss... asem amat muke lu" Ian berujar ke Genta.
Genta tersenyum ke Ian. "Ngapain lo... pindah-pindah? Dibilang jangan
pindah."
"Lo bilang jangan bengong, lo bengong mulu dari tadi. Diem aja, makanya
Ian datang menghibur... hehehe...."
Genta menoleh ke belakang, teman-temannya tampak ter-senyum melihat
keduanya. Genta membalas senyum itu.
"Iya yah guenya malah bengong," kata Genta dalam hati
"Alo... saya Ian, marketing Dufan... sekaligus sebuah branded baru dari
Dufan, yaitu gajah bledug warna ungu yang bisa ngomong, tapi bukan
Teletubbies. Untuk diketahui, gajah bledug merupakan salah satu wahana
favorit di Dufan. Membuat gajah bledug juga gampang, semenjak anakanak gajah bledug harus direndem dalam minyak tanah supaya melar dan
menjadi besar seperti saya. Lalu, ulaskan sedikit krim pembesar anu pada
perutnya dan jadilah gajah bledug. Trus kenapa warnanya ungu? Mudah
saja, kasih jus terong tiap pagi Tertarik menikmati wahana gajah bledug?
Datanglah ke Dunia Fantasi, saya ada penawaran baru bulan ini... masuk
dua bayar satu dengan syarat..."
294
"Apa?" Genta tersenyum nggak bisa menahan tawanya melihat tingkah Ian.
"Semuanyaaaa...," Ian melihat ke belakang sebentar. "Harus nyanyi
soundtrack-nya Dufan, tapi pelan-pelan... kan lagi di hutan. Oke?"
Ian menatap ke atas, langit cuma terlihat sedikit karena tertutup dedaunan
hutan. Ian berkata dalam hati menatap ke atas sambil memelas, Boleh ya?
Ian lalu tersenyum.
"Mulai!" Soundtrack Dufan pun terdengar pelan di antara kerimbunan
hutan.
Ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne
Masuki dunia fantasi.. dunia
ajaib penuh pesona... dunia
sensasi penuh atraksi..
rekreasi untuk keluarga...
marilah kita pergi sekeluarga
ke dunia fantasi kita... Dunia fantasi kita
Ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne
Semua tertawa kecil, rombongan ini emang suka mengeksekusi hal-hal
yang nggak mungkin. Genta mulai agak santai sekarang, hatinya sedikit
berteduh di antara panas otaknya Mereka terus melangkah. Genta mulai
mantap dengan kompasnya, hanya benda ini yang dia percaya, bukan
penglihatannya. Soundtrack Dufan terdengar sayup-sayup di antara lebat
hutan Mahameru.
"Edelweis!"
"Mana?"
"Itu edelweis... kan?"
295
"Bunga Abadi...." "Iya."
"Mana?" Genta berteriak girang, hatinya berteriak, bunga edelweiss adalah
tanda bahwa jalan mereka tidak salah dan mereka sudah keluar dari hutan.
"Iya... Edelweis... bener...."
Mereka seperti keluar dari sebuah hanggar raksasa, matahari sore kembali
bersinar terang menerangi jalan setapak yang sekarang penuh dengan
ilalang kecil setinggi lutut dan bunga edelweis di mana mana.
"Wow...."
"Edelweis."
"Jangan dipetik ya...," suara berat Arial seperti mengingatkan. "Iya, nggak
nggak dipetik." "Satu boleh?"
Semuanya menggeleng, walaupun gelengan itu nggak niat, cuma mereka
udah janji nggak mau metik.
"Diperiksa nanti di bawah ya, Ta?" tanya Zafran.
Genta mengangguk. "Iya diperiksa. Tapi biasanya di Ranu Kumbolo udah
diperiksa."
"Trus kalo ketahuan?"
"Ya kayak di mana-mana, harus balikin lagi ke tempat metiknya."
"Kalo di sini, diceburin ke Ranu Kumbolo."
"Hah?
Genta dan Arial mengangguk. "Biarpun sudah sampe bawah... harus
balikin? "Yup."
"Tapi banyak juga yang bandel... yang katanya pencinta alam malah pamer
punya edelweis, pamer bangga ke semua
orang bisa lewat pemeriksaan edelweis.
296
Genta tersenyum getir. Matanya menatap edelweis yang putih bersih
bergerombol diterpa hangatnya matahari sore. "Yuk jalan lagi."
"Ntar dulu kek? Ian masih sibuk motret edelweis, Riani sibuk merekam.
"Lo mau kemaleman di sini?" "Nggak?
"Ya udah jalan. Di sepanjang jalan ini semuanya penuh bunga edelweis...
percaya deh?
Mereka berjalan lagi di antara jalan setapak yang penuh dengan ilalang
dan edelweis. Tak henti-hentinya mereka mengagumi sekeliling yang penuh
bunga edelweis... membuat suasana kuning hangat matahari sore dan
putihnya edelweis berpadu indah.
Keindahan taman bunga, ini membuat Zafran pengen nyanyi
lagi.
Kulangkahkan kakiku melewati waktu...
Bersama dengan bunga taman hatiku...
Yang selalu menemani... mimpi-mimpi ini..
Di dalam hati dan dalam jiwaku.
Bagaikan bunga bunga ditaman yang sangat indah...
Semerbak wangi tercium dalam cinta, kan kubawa kau terbang ke
atas sana berdua kita raih bulan dan bintang...
(Rindu, Planet Bumi)
Zafran tak lepas melihat sosok Dinda di depannya. Entah kenapa sesuatu
tiba-tiba muncul di kepalanya. Sesuatu yang sangat indah, yang
konsekuensinya harus membuat seorang laki-laki pada akhirnya harus
memutuskan, harus bertanya, harus bilang, apa pun yang terjadi harus
bilang, setiap laki-laki memang
297
punya saat saat seperti ini...selanjutnya? Belum ada yang tahu Zafran
tersenyum mantap melihat Arinda di depannya tersenyum manis sekali
mengaggumi bunga edelweis.
Edelweisku..., batin Zafran dalam hati. (Zafran jadi penyair
lagi)
Tak terasa langkah mereka semakin berat kelelahan, pelan-pelan kembali
memasuki rangka dan sendi-sendi mereka. Keindahan di sekitar membuat
mereka lupa akan kekuatan fisik yang semakin menurun. Keindahan
memang salah satu yang ditawarkan oleh alam pegunungan, tapi bisa juga
membunuh pelan-pelan karena manusia yang terlalu terpesona akhirnya
bisa melupakan batas-batas kelemahan tubuhnya.
Mereka terus berjalan dan berjalan, pohon-pohon di sekitar mereka tampak
berdebu tebal dan menghitam. Jalan setapak itu pun hampir berakhir. Di
depan mereka terlihat jalan setapak mulai memutus.
"Kita break di sini."
Mereka kini berada di ujung pinggiran bukit, di depan tampak lembah
kecil menganga seperti bekas sungai yang tak berair. Pasir di mana-mana,
potongan pohon besar sekali dengan akarnya yang masih terlihat tercabut
paksa dari tanah, pohon-pohon mati tampak melintang di jurang dalam
seperti bekas sungai tersebut. Di sebelah kiri, agak jauh tampak aliran
sungai itu berbelok memasuki hutan gelap, dan di atasnya Mahameru
terlihat semakin jelas dengan galir-galir pasirnya. Pohon-pohon besar
tampak bergelayut hampir jatuh, membuat suasana di bekas aliran sungai
itu terlihat menyeramkan, daun- daun pohon tampak menghitam dan
berdebu. Sepilas semua di situ terlihat hanya hitam putih menambah kesan
mistis dan menyeramkan. Semuanya menarik napas panjang, bulu kuduk
mereka berdiri.
"Tempat ini menyeramkan."
298
"Ih, tempat apa ini?" "Serem banget..." "Sumpah gue merinding!'' "Kita di...
Kalimati."
"Di Kalimati, dari sini kita bisa ngerasain Mahameru bergetar dan
ngeluarin...."
Belum habis Genta berbicara... Brr... kreteeek... kreteek... kreeetek. Brr...
kreeteeek. Partikel abu kecil hitam tampak menghitam jatuh dari langit.
"Tttt.. aa... Taaa...," kelima temannya berteriak panik, wajah mereka tampak
memendam ketakutan.
Daun-daun tampak bergoyang, sebagian jatuh.
"Subhanallah...."
Semua merasa sesuatu seperti abu dan batu kecil menimpa wajah dan
kepala mereka. Partikel-partikel abu kecil beradu dengan badan mereka.
"Hujan... hujan abu?"
Genta memejamkan matanya., mengambil kacamata. "Gentleman wear
your glasses...? "Hu... hu... jan de... de... bu..., Ta?" "Iya.. Mahameru semakin
dekat" "Nggak apa apa nih, Ta?"
"Ini salah satu petualangan di Mahameru, kita bisa ngerasain hujan abu,
Mahameru masih aktif sampai sekarang. Kita nggak pernah tau."
Semuanya merinding merasakan hujan abu. Sejenak semua terdiam
menatap Mahameru yang gagah dengan pasir di mana-mana... sampai
sesak memenuhi Kalimati.
"Pantes namanya Kalimati."
"Kenapa?"
"Iya, kalinya kan udah mati."
299
"Nggak ada airnya ... cuma pasir."
Genta mencoba menjelaskan pernyataan teman-temannya.
"Betul, tapi sebenarnya ini bukan kali untuk air, Kalimati ini terbentuk
karena aliran lahar Mahameru yang dulu meletus dan terus turun ke
bawah hingga membentuk seperti aliran sungai atau kali."
"Dan sekarang kali itu mati karena laharnya telah mengendap atau
menjadi pasir...," Zafran coba menyimpulkan.
"Betul!"
"Jadi, waktu meletus lahar yang lewat se... se... sebesar aliran kali ini?"
Genta mengangguk, "Itu yang gue tau." "Gile...."
Semuanya melihat dari pinggir tebing Kalimati yang tingginya sekitar lima
meter dari dasar. Lebar Kalimati di depan mereka hampir delapan meter
lebih dengan banyak pasir di bawahnya.
"Trus kita nyebrang ke sana?" Zafran menunjuk ke tebing seberang sungai
dengan hutan cemara dan pinus yang menghitam berdebu.
Genta mengangguk.
"Lewat mana, Ta?"
"Turun ke bawah, ke Kalimati."
"Udah tempatnya seserem ini, namanya Kalimati lagi."
Semuanya bergidik melihat ke bawah kali yang penuh dengan pasir dan
sisa-sisa pohon yang melintang.
"Ih... Kalimati...." Semua merinding.
"Jam lima lebih... hampir setengah enam," Genta berujar kalem.
Keadaan di Kalimati mulai menggelap. Sore yang mistis dengan angin
gunung yang keras dan hujan abu yang menimpa mereka.
"Jalan lagi yuk, jangan sampai kemaleman. Sebelum malam kita harus udah
di camp."
300
"Yuk."
"Gue juga nggak mau lama-lama di sini, jangan sampai kemaleman di
Kalimati."
Ian merinding lagi melihat sekitarnya, sinar matahari mulai melemah,
langit tampak membiru kehitaman menunggu malam. Ujung Kalimati
yang membelok menggelap menembus kedalaman hutan.
Sumpah, serem banget, batin Ian.
Mereka mulai menuruni tebing Kalimati yang curam hanya dengan
berpegangan pada akar pohon hingga sampai di dasar Kalimati.
"Gile banyak amat merindingnya di sini."
Zafran melihat ke sekitar, ia seperti berada di alam mistis di dasar kali
dengan tebing di depan dan belakangnya. Pohon-pohon besar yang
tergeletak mati dengan akar yang masih beriapan. Ia melihat lebih lama ke
belokan alur sungai yang menuju ke hutan gelap di samping kirinya,
Dibayangkannya apabila lahar seperti air bah datang begitu saja dan
memenuhi Kalimati. Zafran jadi malas meneruskan imajinasinya.
Semua melihat sekeliling. Dari ketinggian mereka berenam terlihat kecil
sekali seperti berada di dalam pipa alam besar terbuka. Hitam putih penuh
dengan aroma mistis. Angin sore perlahan bertiup.
"Kaki gue!!!!" Riani tiba-tiba terjatuh. Berat carriernya. menahan
punggungnya jatuh langsung menghantam dasar Kalimati.
"Riani...!!!"
Riani tergeletak di dasar Kalimati. "Riani!!!"
Rombongan itu pun mengerubungi Riani. "Kenapa?"
"Kaki gue tiba-tiba sakit banget, sumpah. Ya ampun sakit banget...
Sakiiiiit!"
301
"Tenang, buka sepatunya...," Zafran cepat membuka sepatu Riani,
membuka kaos kakinya.
"Ihh..." Semuanya bergidik. Riani ikut bergidik.
Kaki putihnya tampak membiru hitam di mana mana. Urat-urat biru
tampak menonjol jelas, bekas-bekas kapalan seperti menghitam.
"Kaki gue kenapa?" Wajahnya masih meringis menahan sakit.
Riani nggak percaya melihat kakinya yang penuh warna gelap.
"Kebanyakan jalan." "Nggak apa kok?
"Sakiiiit..." teriakan Riani terngiang pelan di Kalimati. "Cuma kram...."
Arial mencengkram telapak Riani dan membengkokkannya ke arah dalam.
"Lurisin, Ni... jangan bengkok." "Ah... ah... sakit banget"
"Shhh... tenang..., Ni...." Arial terus membengkokkan telapak Riani.
Aliran darah mulai berjalan lancar, terlihat dari muka Riani yang tampak
tidak kesakitan lagi. "Fiuh... fiuh...."
"Minum, Ni...," Ian mengacungkan botol air mineralnya. Riahi membasahi
tenggorokannya Sejuk air di tenggorokannya membuat badannya sedikit
lega "Fiuh...."
Tarikan napas panjang lega mereka berenam terdengar jelas di dasar
Kalimati.
"Istirahat sebentar aja dulu." "Di sini?" tanya Ian segan.
302
Genta menengok ke kiri-kanannya. Hatinya juga malas istirahat di dasar
Kalimati dengan pemandangan yang menyeramkan itu. Genta mengangkat
bahunya sedetik.
"Terpaksa."
Hujan abu turun lagi. Riani masih terduduk lemas. Dinda memijit-mijit
kakinya.
"Kaki gue jelek banget... Sumpah!"
Riani tersenyum enggan melihat kakinya yang dihiasi bekas hitam dan biru
di mana mana. Semua tersenyum melihat Riani ngata-ngatain kakinya
sendiri.
"Kita kebanyakan jalan, kurang break."
"Iya yah... kemarin kita break mulu, sekarang nggak berhenti-berhenti."
"Pemandanganya tadi bikin kita terhipnotis... keren banget di mana-mana."
"Tapi sebenarnya badan kita minta istirahat."
"Gila gue pernah kram, tapi nggak pernah sehebat ini sakitnya, nggak mau
lagi deh gue. Tadi tuh bos-nya kram," ujar Riani.
"Iya, kram karena capek banget..nggak biasa." "Janganjangan...." Zafran cepat melepas sepatunya. "Ih... ya
ampun." Kaos kaki putih Zafran penuh darah. "Ih....
Juple, lepas."
"Lecet gue!"
Udara dingin yang datang dan menerpa lecetnya membuat Zafran meringis.
Ia membuka kaos kakinya pelan sekali. Zafran meringis menahan sakit kala
kaos kakinya melewati bekas lecetnya.
"Ya ampun...," Dinda meringis.
Lecet Zafran tampak melebar dan mengeluarkan sedikit nanah dan banyak
darah.
"Kok nggak terasa ya? Gawat..," Zafran bengong melihat lecetnya.
303
"Betadine, perban, cepet.. cepet." Genta berteriak agak panik. "Untung lo
liat, Ple...."
"Bisa nggak kerasa, banjir darah ini di kaki gue," Zafran meringis.
Genta bergidik dan memperhatikan teman-temannya satu-satu, melihat
kaki Zafran yang berdarah, hatinya merasa bersalah. "Yang lain nggak ada
yang aneh kan di kakinya?" "Enggak."
"Tapi nanti aja diliat."
Angin sore bertiup kencang sekali.
"Su... su... mpah di... dingin banget, badan gue kayak ditusuk-tusuk."
Udara menjelang magrib menyapu mereka.
"Ple... lo nggak pa-pa kan? Maksud gue nggak pusing-pusing? Darah lo
banyak yang keluar tuh." Arial memegang bahu Zafran.
"Nggak...! nggak pa-pa... bener. Gue cuma perlu istirahat."
"Kita semua., harus istirahat..."
"Kita nggak langsung ke puncak malam ini kan, Ta?"
"Enggak lah, nggak mungkin... dari pertama rencananya emang kita ngecamp dulu malam ini,... ngumpulin tenaga."
"Dingin apa nih?" Angin sangat dingin kembali melewati mereka.
"Yuk berangkat!" Zafran memakai sandalnya, sepatunya ia gantung di
carrier.
"Mbak Riani gimana?" Dinda masih melihat iba ke Riani.
"Udah kok... yuk berangkat... gue juga enggak mau lama-lama di sini.
Tambah lama tambah serem...," ujar Riani sambil melihat sekitar,
kedalaman hutan di kejauhan makin tidak ter-lihat, tersapu gelap.
"Oh iya... Semuanya pegang senter dulu."
"Udah!"
304
"Yuk."
Rombongan itu melangkah lagi, naik ke tebing Kalimati dan memasuki
hutan cemara yang sudah mulai menggelap, mereka terus berjalan
melewati dalam hutan, keluar melewati sebuah padang ilalang kecil. Malam
pun segera datang menyambut Mereka terus mendaki masuk ke
kedalaman hutan.
Treq. Genta menyalakan senternya... diikuti yang lain
"Fiuh udah malam."
Gelap sekali. Pohon-pohon besar dan cemara tampak meng hitam, sesekali
hujan abu turun, ribuan atau bahkan puluhan ribu partikelnya tampak
jelas berjatuhan terkena lampu senter Kegelapan hutan dan malam yang
dingin membuat bulu kuduk berdiri.
"Deket-deket aja ya jalannya dan jangan ada yang bengong," Genta
menatap teman-temannya satu-satu.
Mereka melewati padang ilalang yang kecil lagi, pemandangan di sekitar
mereka sangat gelap membuat semuanya terdiam Genta jadi ingat kembali
kesendiriannya di hutan.
"Ta, liat Ta...." Ian berkata pelan sambil menunjuk ke bukit cemara dengan
beberapa cahaya kecil di depan mereka,
"Arcopodo...!" Genta menunjuk daerah tempat cahaya cahaya kecil tadi
muncul.
"Kita nge-camp di sana, di antara pohon, nggak terlalu dingin," Wajah
Genta tampak pucat, uap dingin keluar dari mulutnya,
"Lo capek, Ta?" Arial menatap Genta tajam.
Genta diam saja. Dia memang mulai merasa lelah sekali, tapi dia tahu
kelima temannya ini mengandalkan dirinya, dia nggak boleh menurunkan
mental mereka. Untuk sekarang Genta adalah pemimpin di rombongan
kecil ini dan pada saat ini dia nggak boleh ngeluh, nggak boleh ngomong
'nggak tau', dan nggak boleh nggak bisa ngambil keputusan.
30)
"Semakin ke atas semakin tipis udaranya, napas jadi agak susah." "Iya..."
"Ya ampun dingin banget"
Mereka mulai mendaki bukit hutan cemara itu. Cahaya-cahaya kecil senter
dan api di punggung bukit membuat mereka merasa sedikit lega.
Seenggaknya tidak sendirianlah, Zafran berkata dalam hati.
Mereka terus mendaki dan akhirnya bernapas lega, melewati beberapa
tenda kecil dengan para pendaki yang bercengkerama mengitari api
unggun, menyambut mereka dengan anggukan dan senyum.
"Fiuh...," semuanya menarik napas lega.
"Ketemu manusia juga"
Entah kenapa, biarpun nggak ada satu pun yang mereka kenal di situ,
semuanya seperti kawan yang lama hilang dan baru ketemu lagi. Ada
kebersamaan di situ. Salah satu pendaki tersenyum menegur Genta.
"Baru sampai, Mas?"
"Oh iya, Mas," jawab Genta.
Rombongan itu lewat di antara tenda-tenda dengan beberapa pendaki,
kebanyakan berusia muda-memperhatikan mereka satu per satu. Wajah
mereka agak kaget campur salut ketika melihat Riani dan Dinda-sesuatu
yang membuat Riani dan Dinda merasa senang sekali malam itu.
Seorang pendaki wanita yang sedang merebus air tiba-tiba berdiri dan
tersenyum ramah sekali ke Riani dan Dinda.
"Baru sampai, Kak?"
"Iya," jawab Riani dan Dinda pendek.
Genta menarik napas lega. Matanya menangkap sebuah tanah kosong
cukup luas yang dari tadi ia cari. Tanah itu lebih dari cukup untuk ukuran
tendanya yang besar.
306
"Fiuh... ketemu juga tempat buat nge-camp!"
Buk! Genta menurunkan carrier-nya, terduduk lemas kelelahan, entah
kenapa kepalanya sedikit pusing malam itu.
Malam itu Arcopodo seperti perkampungan kecil para pendaki. Malam
yang dingin pun menjadi hangat karena banyak pendaki yang
bercengkerama mondar-mandir di antara nyala api unggun dan pohon
cemara. Kehangatan yang tidak biasa mereka temukan di ketinggian
seperti ini. Sesekali mereka mendengar tawa renyah para pendaki. Setelah
mendirikan tenda dan membuat api unggun kecil mereka pun makan
malam.
"Semua harus makan banyak malam ini, kita perlu tenaga ekstra. Yang
nggak doyan makan tetap harus makan," perintah Genta.
Dengan baju yang berlapis-lapis, malam itu mereka mencoba melawan
hawa dingin yang luar biasa. Untungnya, kehangatan tawa dan banyaknya
pendaki di sekitar mereka sedikit mengurangi terpaan angin dingin.
"Ki... ki... ta u... u... dah ting... gi ba... nget ya...."
"Udah di bawah lima derajat kari ya?"
"Udah di tiga ribu meter."
Genta mengangguk.
"Makanya udah tipis udaranya, mulai susah napas." Zafran menyalakan
api unggun dan mengamati sekitarnya-hutan cemara di ketinggian itu
yang tampak memberikan aroma alam yang lain.
"Kenapa daerah ini namanya Arcopodo, Ta?" tanya Zafran. "Asal katanya
dari bahasa Jawa Arco atau. Arca yang artinya patung, dan podo yang
artinya sama atau kembar...." "Maksudnya?"
Sebelum Genta menjawab, Ian langsung menyimpulkan, "Berarti di sini ada
patung atau arca yang kembar atau sama. Bener nggak, Ta?"
307
Genta tersenyum dan mengangguk. "Ooo..."
Genta terus menjelaskan, "Di sini, di Arcopodo, memang ada dua buah
patung atau arca kembar peninggalan kerajaan Jawa tempo dulu."
"Asik... kita bisa ngeliat dong patungnya." Mata Zafran berbinar-binar.
"Patungnya ada di mana? Mau dong ngeliat." Kecuali Genta, yang lain
mengedarkan pandangan ke sekitar.
Genta tersenyum sedikit.
"Kita nggak bakal bisa ngeliat patung itu...."
"Yaa... kenapa? Udah hilang atau rusak ya?" Kelima temannya tampak
kecewa.
"Enggak, masih ada, masih utuh, masih bagus malah," jawab Genta.
"Trus kenapa nggak bisa diliat?" Riani makin penasaran.
"Patung arca itu memang ada di sini dari dulu. Tapi sejak dibuat, patung
itu memang hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki kelebihan:
bisa 'melihat' yang orang biasa tidak lihat." Jari-jari tangan Genta
membentuk tanda kutip pada kata melihat.
"Oh....
"Tapi beneran kan, kalo ada yang bisa 'melihat', arca kembar itu bisa
tampak?" Riani penasaran dan terus bertanya ke Genta.
"Dari yang pernah gue baca tentang Mahameru, memang ada beberapa
orang yang pernah melihat patung arca kembar itu di sini. Tapi dari
kesaksian mereka, kadang-kadang orang yang tadinya biasa-biasa aja juga
bisa melihat kalo mendadak saat itu diberi anugerah untuk itu."
"Oh."
"Menurut mereka yang bisa melihat, sebesar apa patung arca kembar itu?"
tanya Zafran.
308
Genta tersenyum, matanya berputar melihat ke sekitar Arcopodo. Daundaun cemara tampak menghitam terbungkus malam.
"Macam-macam. Ada yang bilang sebesar anak kecil, ada yang bilang
segede manusia dewasa, tapi ada juga yang bilang besar sekali sampai
terlihat dari Kalimati. Dan, saking besarnya ada yang pernah melihat dari
tempat kita nge-camp sekarang ini. Kita sedang berada di pangkuannya."
Pori-pori keenam anak manusia di rombongan kecil itu membesar, tarikan
napas panjang jelas terdengar.
"Merinding gue," Zafran mengangkat bahunya sedetik dan mengedarkan
pandangan ke seputar Arcopodo.
"Sama!"
Rombongan kecil itu saling memandang satu sama lain, juga ke sekitar
hutan cemara dan langit malam yang penuh dengan bintang. Udara
dingin menerpa wajah mereka. Rambut-rambut kecil sedikit beriapan
tertiup angin malam Arcopodo. Genta secepatnya mencoba mengakhiri
obrolan yang bernuansa mistis Itu.
"Rebus aja air yang banyak, bikin teh manis untuk nanti malam."
"Nanti malam memang ada apa?"
"Nanti malam kita naik... ke Mahameru."
"Jam berapa?"
"Sekarang jam berapa?"
"Jam delapan kurang sepuluh."
"Berarti kita harus udah tidur sebelum jam sembilan... nggak ada yang
ngobrol-ngobrol lagi, semuanya tidur."
"Kita punya waktu istirahat lima jam lebih. Kita nanti bangun jam setengah
tiga dan langsung naik.... Kita harus istirahat supaya bisa sampai ke
puncak."
309
Genta diam sejenak, lalu meneruskan, "Tinggal dalam hitungan jam kita
sampai puncak."
"Nanti kita ke puncak bawa back-pack kecil aja kan, Ta? tanya Arial.
"Iya."
"Ha?" Riani bengong.
"Jadi kita ke atas cuma bawa back-pack aja, Ta?" "Iya, isi aja sama makanan,
air, dan P3K, kamera atau handycam."
"Semua yang lain tinggal di tenda." "Kenapa, Ta?" tanya Ian.
"Semuanya begitu. Tinggal di tenda. Dari dulu semua pendaki begitu.
Terlalu berat ke atas bawa carrier, medannya juga nggak mungkin.
Beratnya carrier bisa bikin celaka, kecuali kita udah biasa."
"Segitunya, ya."
"Jadi semua ditinggal di sini? Di tenda, sama tenda-tenda-nya?" "Iya."
"Kalo ada yang ngambil barang-barang kita?" "Siapa yang berani? Di
tempat ini, Mahameru membuat nggak ada orang yang mau berpikiran
jadi maling di sini." "Oh."
"Jadi, track-nya nggak seperti sebelumnya?" "Nggak! Beda banget, nanti
malam kita baru bener-bener mendaki."
"Bener-bener mendaki?" Ian bengong sendiri sambil menatap kosong api
unggun.
"Yup. Malam ini...," Genta memejamkan mata, sesuatu di hatinya
memberikan suatu kemungkinan terburuk yang se-menjak awal nggak
mau Genta bayangkan. Tapi sekarang, setelah
310
di sini, mau nggak mau kemungkinan terburuk itu pasti ada, dan nggak
ada yang pernah tahu apakah kemungkinan buruk itu akan menimpa
mereka Ditatapnya langit malam, dikirimnya doa dari dalam hatinya,
"Tonight is the night."
"Jam sembilan harus tidur semua... setuju?" Genta berkata tegas sambil
melihat teman-temannya satu per satu.
"Siiip!"
"Oke Bos!"
"Setelah doa, cuma disiplin yang bisa bikin kita selamat di sini."
*
Setelah menghabiskan makan malam satu per satu, mereka mulai masuk ke
tenda yang hangat. Di dalam tenda mereka melepaskan lelah, biarpun
udara sangat dingin masih terasa menerpa-nerpa di sela-sela kehangatan
itu. Dari dalam tenda, bayangan api unggun buram, bunyi batang kayu
yang terbakar dan cengkerama para pendaki terdengar jelas di antara
suara angin malam yang berembus kencang.
"Fiuhh, lumayan juga bisa selonjoran."
Zafran merebahkan badannya, matanya menghadap ke dinding parasut
tenda yang sedikit bergoyang tertiup angin, bayangan api unggun kuning
kemerahan hinggap tidak jelas di matanya.
Tiba-tiba Zafran mendesis pelan, "Potongan-potongan kejaiban hari sudah
tertinggal di antara keindahan yang telah terlewati dan menyentuh hati ini.
Potongan-potongan itu ada di Ranu Pane, di Ranu Kumbolo, di indahnya
padang ilalang, di Indahnya padang edelweis, di Kalimati, dan sekarang di
sini... di Arcopodo. Entah nantinya kan di mana lagi, di setiap potongan itu
tertinggal, di setiap bagian dari hati ini akan
311
mengingatnya, dan diri kita pun tidak akan pernah sama seperti kita
sebelumnya."
"Keren, Ple." Ian menoleh ke Zafran di sebelahnya.
Malam itu, kelelahan membuat mereka cepat terlelap di bawah barisan
cemara berdebu di Arcopodo. Mahameru masih diam dengan gagahnya.
Pukul 02.20 malam, dingin di atas tiga ribu meter
Rombongan itu berdiri di depan tenda. Keenam anak manusia itu tertegun
melihat Mahameru dalam gelap malam. Mahameru seperti berdiri megah
di antara ranting-ranting cemara Arcopodo. Barisan lampu-lampu kecil
tampak berbaris seperti semut bercahaya di jalur pendakian.
"Udah ada yang naik dari tadi."
"Ta...."
"Iya, Yan."
"Itu cahaya senter pendaki, Ta?" "Iya...."
Semuanya menarik napas panjang, dingin yang amat sangat menusuknusuk lapisan kain yang sudah bertumpuk sekenanya, mengurangi dingin
malam. Riani tersenyum melihat berbagai macam jaket bertumpuk di
badan Ian. Badannya jadi tidak berbentuk.
"Berapa lapis, Yan?"
"Lima."
"Lo, Ni?"
"Sama."
"Gue tujuh lapis, badan gue ceking gini, nggak ada lemak, Zafran bengong
melihat badannya yang udah tidak berbentuk lagi.
Brr... brr... brr... kletek...
Hujan abu turun lagi.
"Semuanya bawa kacamata?" Genta menatap teman-temannya. "Bawa...."
"Senter?" "Consider it done?
Treq... treq... treq... treq... enam cahaya senter menerangi wajah mereka
masing-masing. "Air, makanan, P3K" "Done? "Siap!"
"Berdoa. Dipersilakan...."
Semua berkumpul membentuk lingkaran kecil, tangan mereka saling
berangkulan. Semuanya menunduk terdiam. Suara desis doa terdengar
sayup-sayup, mata mereka sedikit memburam. "Berangkat...!"
Rombongan mulai bergerak, berjalan melewati hutan cemara yang gelap.
Beberapa rombongan pendaki terlihat berjalan di depan dan belakang
mereka dengan bawaan seadanya. Malam dini hari itu, Arcopodo penuh
dengan cahaya kecil dan uap hangat yang keluar dari mulut para pendaki
yang berjalan menunduk kedinginan, sesekali mencoba mengucap syukur
akan apa yang alam telah berikan kepada mereka. Angin malam terbang ke
langit membawa kedekatan mereka kepada Sang Pencipta, membuat
mereka berani menyusuri ketidakpastian dan keajaiban alam, serta bahaya
yang selalu mengancam kapan saja di tanah tinggi ini. Semesta dan isinya
tidak pernah mengajari bagaimana mereka berani mati di sini, tapi
bagaimana mereka berani hidup.
Arcopodo seperti penuh dengan hangatnya kebersamaan antara sesama
anak manusia yang mungkin belum pernah me313
ngenal satu sama lain. Tetapi, di antara langkah-langkah pendakian
mereka, terasa kehangatan yang membuat setiap bibir selalu tersenyum
kepada siapa saja. Beribu bintang yang bertebaran indah pun seakan ikut
tersenyum, merasakan malam dingin yang menghangat karena kekuatan
hati manusia saat itu. Di malam ini, di dini hari ini, di negeri yang indah
ini, di hari ini., tanggal tujuh belas Agustus.
...
Innalillahi wa inna illaihi rojiun. Di sini bersemayam dengan tenang
sahabat terbaik dan saudara yang akan selalu kami kenang karena
keberaniannya, karena kejujurannya dan keajaiban hatinya yang telah
membuat kami bisa selalu tersenyum apabila mengingatnya.Sahabat,
namamu
akan selalu ada di dalam hati kami Beristirahatlah dengan tenang di tanah
air yang selalu kita
cintai ini.
ADRIAN. A. SUMARNO Lahir:
Bandung, 02 Agustus IS 78 Wafat: 17 Agustus 2000 Arcopodo, Taman
Nasional Bromo Tengger Semeru
Riani tertegun menunduk dan berdoa, Genta menahan napas, Dinda
memejamkan matanya, Zafran terdiam, matanya melihat kosong ke langit
Arcopodo. Arial memegang batu nisan berdebu itu, cahaya senter Ian
menerangi tulisan yang terukir indah di batu nisan. Di antara pohon
cemara berdebu, beberapa bunga pemakaman tampak masih tergeletak
segar di sekitar
314
batu nisan, berserakan di jalur pendakian Mahameru. Angin malam
berembus kencang sekali membawa butir-butir pasir Arcopodo
beterbangan.
"Temennya Deniek," Riani sedikit berbisik ke teman-temannya.
"Iya..."
"Bunganya masih segar, Deniek baru aja lewat sini. Kan kemarin dia bilang
mau ziarah." "Iya...."
Ian masih melihat dalam diam, baru sekarang dia melihat namanya sendiri
terukir di batu nisan. Angin dingin seperti masuk ke dalam hatinya,
mengelus hatinya dengan berbagai macam cara yang membuat Ian kembali
menarik napas panjang.
"Eh... ada surat." Mata Genta melihat selembar kertas folio penuh dengan
tulisan tangan ditempelkan ke batu nisan.
'Jangan dibaca, Ta."
"Cuma ditempel begini kok] Jelas bisa dibaca." Genta mengambil selembar
kertas folio yang penuh dengan tulisan tangan itu.
Keenamnya duduk Dengan cahaya senter seadanya mereka membaca
tulisan tangan yang rapi di kertas folio.
Arcopodo, 16 Agustus
Apa kabar saudaraku...?
Kita berkunjung lagi tahun ini,
Kali ini kita mencoba nggak nangis lagi kalo ingat kamu. Tadi pun kita
tersenyum di depan kamu karena kita tahu kalo kamu pastinya sudah
bahagia di sana...
Saudaraku,.
315
Kita kangen sekali sama kamu...
Sangat berat kehilangan teman di masa muda, kita nggak akan pernah
lupa gimana kita dulu bercanda bersama sama di antara rimbunnya taman
kampus tebar pesona ke junior-junior yang cantik, begadang sampai pagi,
bentak-bentak saat ospek, yang membuat kita kala itu nggak ada yang
ngalahin, cabut kuliah, nongkrong sampai malam, nginep di kampus atau
bagaimana kita dulu jalan-jalan gembel ke Jakarta, foto-foto di depan
Monas yang membuat banyak orang Jakarta melihat kita aneh...
hahahahaha... tapi kita nggak peduli kan? memang baru sekali itu kita
melihat Monas dari dekat.
Atau bagaimana dulu kita berjalan kaki dari Blok M sampai rumah
saudara di Menteng sampai nyasar-nyasar. Lagian juga kenapa kita jalan
kaki?
Tapi, waktu itu kamu selalu bilang kalau kamu mau menikmati ibukota
kita tercinta dengan sepenuhnya dan kita pun terduduk tertegun bersama
melihat patung selamat datang di bundaran HI. Bersama senja Jakarta
dengan lampu kota yang berkelap-kelip dan rimbunnya jalan Dipenogoro,
Menteng.
Ah... kamu memang orang yang sangat mencintai tanah
ini...
Ingat kedua kalinya kita ke Jakarta? Waktu itu kita kembali berjalan di
antara gedung-gedung tinggi di depan kampus Atmajaya, bersorak
semangat reformasi dengan jaket
316
almamater kebanggan kita menuju ke gedugn MPR?
inget nggak? ada ibu-ibu dan bapak-bapak di jalan yang berteriak-teriak
hidup mahasiswa! hidup mahasiswa! Atau nasi bungkus seadanya dari ibuibu yang kita lahap di trotoar Gatot Subroto. Kita seperti pahlawan perang
yang dielu-elukan, aku kadang menangis lagi kalo inget bagaimana dulu
kita menangis haru bahagia saat reformasi akhirnya tercapai. Kita berlarian
senang, berteriak-teriak di antara lorong gedung rakyat, naik ke atapnya,
melambaikan bendera merah putih di atas atap, dan berteriak
MERDEKA!... keras sekali.. di senja Jakarta, kata kamu waktu itu... pasti
Tuhan mendengar kita...
Aku selalu ingat itu.
Aku masih ingat saat reformasi tercapai dan Indonesia Raya
berkumandang, kita berpelukan dengan siapa saja yang kita temui di
gedung itu, biarpun tidak ada yang kita kenal. Aku masih suka menangis
kalo ingat kamu mencium aspal jalan Jakarta. Pemandangan itu yang
nggak pernah aku lupa dan membuat keajaiban hati kamu yang selalu
mencintai tanah air ini, tak pernah hilang... di hatiku dan di hati temanteman...
Kamu selalu bilang...
"Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bisa bermanfaat bagi orang
lain..."
Kata-kata itu entah sudah berapa kali kamu ucapkan dan kamu coba
tanamkan di hati kita semua.
317
Dan... saudaraku...
Kata-kata itu selalu aku tanam di hati ini... di hati teman-teman.
Maaf saudaraku, aku menangis lagi...
Kamu jangan ge-er ya kalo sekarang kita di kampus masih sering bercerita
tentang kamu, bagaimana kamu selalu berbuat baik kepada orang lain,
bagaimana kamu yang nggak kenal nyerah, bagaimana kamu selalu
menyemangati kita di kala kita susah, dan bagaimana kamu selalu siap
berkorban bagi kita semua, dan entah kenapa kamu adalah orang yang
bagaimanapun jeleknya berita di koran dan bobroknya negara ini, kamu
selalu yang pertama bilang kalo dari semenjak lahir cuma tanah ini tempat
kita berpijak dan airnya yang menghidupi kita setiap hari. sebobrok
apapun negara ini kamu bilang kamu sangat mencintai negara ini... dan...
Saudaraku, itu terlihat di matamu, dan setiap aku ingat itu kadang aku
menangis lagi.
Dan di sini di Arcopodo kamu tiba-tiba menghilang dan kembali
kepangkuan-Nya. Sudah beberapa tahun ini aku selalu kembali lagi kesini
dan tidak pernah lupa membawa merah putih yang waktu itu kamu ambil
di ruang B&M karena ingin kamu kibarkan di Mahameru. Seperti tahun
lalu, bendera ini akan berkibar di Mahameru dan kamu boleh yakin, tahun
ini sebentar lagi bendera ini akan berkibar di Mahameru... dan kami akan
mengingatmu setiap bendera merah putih berkibar dimana saja. Saudaraku,
beberapa waktu belakangan ini terjadi bencana besar menimpa tanah yang
kita cintai ini. Di Aceh
318
Sana terjadi gempa bumi dahsyat yang menelan korban ratusan ribu rakyat
Indonesia, seluruh kota pesisir hancur dilumatkan badai Tsunami. Dari
berita-berita aku melihat kerusakan yng dahsyat di mana-mana, tapi yang
membuat aku bangga, seluruh rakyat Indonesia dari segala lapisan dengan
cepat mengirim bala bantuan apa saja. sumbangan yang dibuka oleh
beberapa stasiun TV hanya dalam hitungan jam mampu mencapai belasan
milyar.
Aku geleng-geleng kepala sendiri sekaligus bangga, ternyata negara ini
masih ada, rakyatnya masih suka membantu satu sama lain, di manamana, di seluruh kota besar di Indonesia posko kemanusiaan untuk
bantuan berdiri di jalan-jalan, bahkan murid SD dan TK ikut
mengumpulkan sumbangan. Aku sampai terharu sendiri, samapai kaget
sendiri. kalau kamu masih ada, pasti kamu yang paling semangat tuh! Aku
harap kamu bisa merasakan yang aku rasakan. Bencana itu banyak
memberikan pelajaran berharga dan memberitahukan ke kita kalo rakyat
di Indonesia masih merasa satu. Tanah air ini masih ada.
Setiap orang masih peduli saudara sebangsanya.
Ah... saudaraku, coba kamu bisa melihatnya...
Saudaraku,
Kita-kita di kampus kangen banget sama kamu, sama kerasnya tawa kamu
yang nggak tau malu, sama tas kamu yang dari beli nggak pernah dicuci,
sama muka kamu yang selalu tersenyum. Sepatu Adidas gazelle buluk
kamu yang udah tujuh tahun kamu pakai dengan plakban dan tambalan
319
di sana sini yang pernah kita buang ke lapangan basket, tapi masih aja
kamu ambil dan masih kamu pakai... atau bagaimana kamu yang nggak
pernah lupa dan selalu ingat ulang tahun kita-kita. kamu yang sering
ngobrol dengan siapa saja, bahkan Mas Yono tukang sapu kampus.
Oh iya... Mas Yono titip salam, dia kangen curhat sama kamu katanya.
Ah saudaraku, kamu memang baik. kita kangen banget sama kamu.
Aku masih simpan semua foto zaman reformasi kita di Jakarta, sebagian
aku pajang di ruang B&M Kampus supaya semua tau siapa kamu,
mungkin satu-satunya manusia di zaman sekarang yang punya kecintaan
yang amat sangat terhadap negaranya. Setiap ada kesempatan aku selalu
cerita tentang siapa kamu ke junior kita di kampus dan bagaimana
semangat kamu selalu hidup di hati kita.. Aku mau ada Adrian-Adrian
baru yang muncul.
Iya saudaraku... kamu memang sudah tiada, tapi semangat kamu masih
ada di hati kita semua.
Saudaraku, bagi kita kamu pahlawan! Karena tidak ada orang yang
meninggal tapi masih meninggalkan bekas yang tak pernah hilang dan
sangat berarti di hati, kecuali seorang pahlawan.
KAmu dulu pernah bilang sebenarnya mudah untuk menjadi seorang
insinyur yang bail, sarjana yang bail, arsitek yang baik, dan menteri yang
baik, tapi susah sekali menjadi orang yang baik...
320
Dan kamu selalu bilang, kalo kamu cuma mau jadi orang yang baik...
Maaf ya saudaraku aku menulis sambil nangis.
Tapi aku bilang sekarang sama kamu bahwa cita-cita kamu itu tercapai.
Kamu adalah orang yang paling baik di hati kita...
titik. cita-cita kamu tercapai!
Dan kamu akan selalu kita kenang di hati ke mana pun kita pergi, ke mana
pun kita berpijak di tanah yang sangat kita cintai, dan kapan pun aku
minum air yang telah tanah ini berikan.
Terima kasih saudaraku.
Terima kasih tanahku... istirahatlah dalam damai dalam pelukan ibu
pertiwi yang selalu mencintaimu dan kamu pun sangat mencintainya.
Oh iya, mama dan papamu, abang dan adikmu titip salam, mereka
sekarang sudah bisa tersenyum dan melepasmu, kesedihan mereka kalah
oleh kebanggaan mereka sama kamu.
Sampai jumpa saudaraku.
PS:
Sekarang Indonesia punya pemenang Nobel fisika junior kelas dunia, dia
seorang anak muda berasal dari Papua.
David Beckham sudah pindah ke Real Madrid.
Brasil juara dunia lagi.
Sony sekarang sudah mengeluarkan Play Station 2
321
Nina titip salam, dia masih suka nangis kalau inget
kamu.
Istirahat dengan tenang saudaraku...
Kamu punya arti banyak di hati ini.
Still waiting for your Postcard from Heaven.
Dari Saudara dan sahabatmu.
Deniek.
Sebaik-baiknya manusia, adalah manusia yang bisa memberikan manfaat
bagi orang lain.
Mereka berenam tertunduk, Riani dan Dinda tidak bisa menahan air
matanya, bahu Ian berguncang seseggukan, Zafran tertunduk matanya
berair, Genta menggenggam keras pasir Arcopodo di tangannya. Arial
membersihkan debu-debu di nisan itu dengan tangannya.
"1978...seumuran kita."
"Eh ada fotonya."
Di balik selembar folio itu tampak Deniek, Oscar, dan satu lagi seorang
mahasiswa botak berwajah ceria dengan jaket almamater, berdiri di depan
gedung MPR memegang bendera merah putih.
"Yang pegang bendera pasti Adrian."
"Iya... tampangnya kayak tampang teman-teman kita sendiri."
"Sekarang memang dia udah jadi teman kita...."
Semuanya menunduk dan berdoa untuk Adrian yang dalam sekejap telah
mengisi hati mereka di antara dinginnya Arcopodo.
322
"Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bisa memberikan
manfaatnya bagi orang lain."
Deg. Hati mereka seperti menabrak sesuatu yang tidak terlihat. Semuanya
menarik napas panjang, melihat ke langit malam, mata mereka sedikit
terpejam.
Pertanyaan-pertanyaan seperti datang menghunjam turun dari langit
malam.
"Kalau kita melihat ke dalam diri sendiri, kita udah jadi manusia yang
seperti itu belum sih?"
"Apakah kita sudah menjadi manusia yang bisa memberi manfaat bagi
Orang lain?"
"Bukan manusia yang selalu mementingkan diri sendiri, manusia yang
terlalu mencintai dirinya sendiri."
Suara sesenggukan dan napas satu-satu menahan sesak di dada mereka,
mengisi pendengaran di jalur pendakian Mahameru. Angin yang dingin
semakin menusuk seluruh persendian, embusannya seperti menampar
muka mereka satu-satu.
"Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bisa memberi manfaat bagi
orang lain."
Beberapa tetes air mata tampak membasahi permukaan pasir Arcopodo.
"Udah belum ya? Gue punya manfaat buat orang lain."
"Udah belum yaa? Gue bisa ngasih sesuatu dalam diri gue yang bisa buat
orang lain bahagia, bisa membuat orang lain bernapas lebih lega karena
ada gue di situ."
"Ancur banget gue."
"Sepertinya belum."
"Iya, gue mikirin diri gue melulu dari dulu."
"Nggak pernah mikirin orang lain, apalagi ngasih manfaat."
"Gue gue gue dan gue."
323
"Manfaat?" "Udah belum?"
"Mudah-udahan belum terlambat."
Mata Dinda tampak berair, ia memandang ke atas langit malam dan
memberikan senyumnya. "Terima kasih."
Semuanya tertegun melihat Dinda, hati mereka seperti merasakan yang
Dinda rasakan. Dalam hati mereka pun terujar ucapan yang sama.
"Kalo Tuhan sudah memberikan kebebasan bagi setiap manusia untuk
memilih, gue mau memilih jadi seseorang yang selalu bisa memberikan
manfaat bagi orang lain."
Angin dingin Arcopodo mengembus pelan, membelai wajah mereka yang
mendongak ke langit. Desir-desir suara angin di dedaunan terdengar
seperti alunan keindahan di telinga mereka. Entah kenapa langit malam
dengan beribu bintangnya menjadi semakin indah di mata mereka, ranting
pohon dan dedaunan bergerak lambat, mencoba menggapai langit malam,
membuat mereka merasa dekat sekali dengan Sang Maha Pencipta.
Mungkin ucapan terima kasih itu terdengar.
"Selamat jalan sahabat, kita nggak pernah kenal kamu, tapi semangat
kamu sekarang ada di hati kami."
324
Sembilan
5 cm
...keajaiban mimpi, keajaibqn cita cita dan keajaiban keyakinan manusia
yang tak terkalkulasikan dengan angka
berapa pun...
Arcopodo Mahameru. Tujuh Belas Agustus. Tanah Air ini.
This world is for those who want to fight
Sehabis tertunduk, mereka mendongak ke atas. Puncak Mahameru seperti
sebuah gundukan pasir mahabesar dengan tebaran batu karang gunung di
mana mana. Jalur pendakian terlihat terang dipenuhi sinar bulan dan
cahaya senter para pendaki yang mulai mendaki Mahameru. Bintangbintang bertebaran menambah suasana malam yang tidak biasa. Hujan
abu kembali menghunjam mata mereka.
"Ada yang ingat janji kita waktu di jip? Apa yang kita perlu untuk sampai
ke puncak?"
"Masih."
"Masih...."
325
"Apa?"
"Yang kita perlu sekarang, cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari
biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang
akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering
melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja."
"Dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya...."
"Serta mulut yang akan selalu berdoa...."
Mereka pun tertunduk melihat satu sama lain, "Mahameru kita datang!"
Perjalanan diteruskan. Entah sudah berapa batu nisan yang mereka temui
selama di Arcopodo-batu nisan itu tampak memenuhi hutan cemara.
Beberapa pendaki terlihat berhenti dan berdoa di depan batu nisan.
Akhirnya mereka berada di ujung hutan cemara di sebuah tanah agak
lapang. Rasanya tinggi sekali. Di kiri kanan tampak lampu-lampu kota
yang berkilau sangat kecil seperti ribuan titik cahaya. Di antara gelapnya
malam, awan putih terlihat berada di bawah.
"Kita di atas awan."
"Itu lampu kota?"
"Kecil banget..."
"Keren...."
"Dari sana dimulai pendakian." Genta menunjuk ke sebuah jalan kecil
seperti jembatan yang menyembul di antara jurang dalam di kanan dan
kirinya. Rangkaian rantai tampak membentang di atas tonggak-tonggak,
mengikuti arah jalan kecil.
"Kita harus menyeberang jalan itu... hati-hati ya."
Semuanya berpegangan erat di rantai. Wajah mereka tampak pilu. Sedikit
saja tergelincir mereka akan jatuh ke jurang dalam. Genta menggigit
senternya, mencoba menerangi jalan kecil gelap itu. Pasir gunung terlihat
di mana mana. Gelapnya malam
326
membuat mereka tak bisa membedakan mana pasir, mana tanah keras.
Beberapa pendaki yang sudah menyeberang terlihat memegangi rantai,
saling membantu menjaga keseimbangan rantai.
Genta melangkah hati-hati sambil mengawasi teman-temannya. Disusul
Riani, Dinda, Zafran, dan Arial. Ian merasa ngeri melihat jurang dalam di
depannya... dia terus berdoa dalam hati.
Hup.
Arial yang terakhir sampai di ujung penyeberangan. Semua bernapas lega.
"Fiuh."
"Selanjutnya vertikal...," Arial melihat ke atas, gundukan pasir dan batu
gunung sekarang berada di depannya. Jalan setapak tinggi berpasir itulah
yang harus mereka taklukan.
Rombongan itu sekarang ada di awal paling bawah pendakian puncak
Mahemeru yang seperti gundukan pasir raksasa. Beberapa bongkahan
pasir kecil tampak terus-menerus jatuh.
"Hati-hati ya.:, semuanya."
Genta mulai melangkah naik, tangannya bertumpu pada tanah keras yang
menonjol... sesekali sentemyaia selipkan di mulut.
Mereka terus mendaki dan mendaki mencari tanah keras untuk tolakan
atau pijakan, beratnya medan dan banyaknya pendaki pemula di
rombongan itu membuat pendakian terasa panjang dan melelahkan.
Setengah jam sudah berlalu, mereka masih saja berada tak jauh dari awal
pendakian. Udara yang sangat dingin terus menerpa tubuh mereka seperti
tusukan ratusan jarum. Baru kali ini mereka merasakan hawa dingin
seperti ini.
"Fiuh... fiuh... susah napas...."
"Lapisan udaranya semakin tipis."
"Banyak pasir masuk ke mulut dan hidung."
"Fiuh... sumpah... berat juga."
Mereka melihat ke bawah... kecewa, sudah begini beratnya tapi jaraknya
tidak terlalu jauh.
327
"Naik lima langkah, turun merosot lagi dua langkah. Ruh." Tiba-tiba
sebuah teriakan dari atas mengejutkan mereka, "Batu, batu... awas!!!"
"Rocks!!!"
Gruduk, gruduk... berr.... .
Beberapa batu kecil dan besar seukuran genggaman tangan jatuh dari jalur
pendakian. Semua pendaki menjatuhkan badannya ke samping.
Buk.. buk... gruduk...
Batu-batu itu lewat di depan mereka. Napas mereka memburu satu-satu.
Mereka hanya bisa saling bertatapan, membayangkan kalau batu tadi
menimpa mereka.
Genta tercekat Dia lupa bilang tentang hal ini. "Sori, emang nantinya
banyak batu yang jatuh dari atas selama pendakian. Hati-hati ya...."
"Nggak bilang lo," Zafran tampak terengah-engah.
"Sori banget lupa.... Kalo denger kata 'batu' atau 'rocks' langsung aja
nengok ke atas, liat batunya jatuh ke mana terus coba menghindar, tapi
jangan panik. Begitu juga kalo kita yang bikin batu itu terlepas atau jatuh.
Kita harus teriak supaya yang di bawah denger dan nggak kena batu. Oke?"
"Emang batunya dari mana?"
"Yah dari pijakan kita, kalo pijakannya rapuh dia langsung jatuh makanya
pastiin dulu pijakannya kuat baru dipakai."
"Kalo batunya masih segede tadi sih nggak masalah," Ian melihat
sekitarnya.
"Bisa segede ini." Genta menunjuk sebuah batu hampir sebesar setengah
badan manusia di depannya.
"Makanya hati-hati, kita nggak akan pernah tau."
"Ya udah...pasang mata, pasang telinga ya...."
"Ayo!"
328
"Jalan lagi."
"Mmh... mmh... dingin banget."
"Ayo jalan lagi... jangan berhenti lama-lama, bahaya dingin banget, badan
kita harus terus mengeluarkan panas, jangan berhenti bergerak."
Cahaya-cahaya senter terus menari-nari, mencari bongkahan tanah keras
atau batu gunung untuk berpijak. Rombongan kecil itu terus mendaki dan
mendaki... melawan hawa dingin, rasa takut, dan hujan abu yang hampir
tiap lima belas menit mendatangi mereka. Tubuh mereka pun sudah tak
berbentuk lagi, terbungkus segala macam pakaian, kadang-kadang hanya
mata yang terlihat. Pendaki lain yang naik bersama mereka pun tidak
tampak jelas wajahnya, semuanya menutup badan dengan apa saja yang
bisa digunakan supaya pasir dan udara dingin tidak terlalu menghantam.
Arial yang mendaki paling belakang hanya bisa mengenali jaket paling luar
yang dipakai teman-temannya. Arial melihat ke atas, kelima temannya
masih terus mendaki. Puncak pasir mahabesar itu dari bawah jalur
pendakian terlihat seperti pipa panjang sekali, seperti saluran pasir tinggi,
dengan batu gunung besar mengapitnya. Untuk pertama kalinya dalam
pendakian, Arial merasa kelelahan yang amat sangat.
"Break? Arial berteriak lemas. Rombongan berhenti, melihat ke belakang.
Arial tampak terduduk di antara bongkahan batu gunung.
"Kewwnhwaapa, Ni?" tanya Genta.
Riani menggeleng.
"Kewwnhwaapa?" Genta berjalan mendekati Arial, melewati teman yang
lain. Napasnya memburu... sesak.
"Kewwnhwaapa?" Genta melepas penutup mulutnya. "Kenapa?"
329
"Ah... ah... ah... ah...," napas Arial tampak memburu satu-satu. "Nggak tau,
Ta, tiba-tiba badan gue lemes banget... kecapekan gue.n
Dada Arial tampak naik turun.
"Lo kedinginan, kurang tebal jaket lo...."
"Ini bukan kelelahan, ini kedinginan...."
"Minum dulu aja," Riani menyodorkan sebotol air mineral.
Arial tampak bersandar lemas di bebatuan. Kelima temannya tercekat.
Arial yang dari segi fisik diandalkan, tiba-tiba tergeletak begitu saja. Semua
mengerubungi Arial.
"Luf ewenghgak fhafha?"
"Buka dulu, Ple, dia nggak denger."
"Lo nggak apa-apa?"
Arial tidak menjawab. Matanya menatap teman-temannya satu-satu.
Kelimanya makin tercekat. "Udah berapa jauh, Ta?" "Hampir setengah."
"Masih setengah lagi?"
"Liat aja itu puncaknya. Kita udah hampir setengah, liat udah hampir
subuh...," Ian menatap ke atas.
Genta mengangguk. Di bawah masih banyak cahaya lampu senter dari
pendaki lain.
"Gimana Rambo?"
Arial masih menggeleng, sendinya terasa pegal sekali. Udara dingin terus
menusuk-nusuk.
"Pakai jaket gue nih." Ian membuka jaket luarnya dan memberikan ke
Arial.
"Lo gimana, Yan?"
"Gue lapis lima."
"Pake Rambo...."
330
"Inget, lo kedinginan bukan kecapekan ya. Lo pasti bisa ke puncak."
Arial memakai jaket Ian.
"Tambah lagi nih," Zafran melepas sweater rajutannya. "Jangan Ple, badan
lo kan kurus... bisa cepet kedinginan." "Masih ada enam lapis lagi."
Arial memakai sweater Zafran yang kekecilan, tapi bisa membuat badannya
lebih hangat "Fiuh mendingan.,.." Arial memandangi teman-temannya.
"Gue turun aja, gue lemes banget badan gue kayak ditusuk-tusuk."
"Enggak!!! Apa-apaan lo!!!" Genta menatap tajam mata Arial, tangannya
mencengkeram bahu Arial.
"Eh hat gue. Elo kedinginan, bukan kecapekan." "Kedinginan bukan
kecapekan."
"Ta, gue nggak kuat Ta..." Dada Arial tampak naik turun dengan irama
yang tidak biasa. Semuanya bingung melihat sekeliling, cahaya terang
subuh sudah hampir datang. Langit tampak sedikit membiru.
"Udah subuh...," Zafran melihat Arial tajam.
"Mas Ial, sebentar lagi juga ada matahari, pasti lebih hangat."
"Lo bilang lo udah taruh kita dan puncak Mahameru di sini," kata Zafran
sambil meletakkan telunjuknya di kening Arial. "Ayo Rambo jangan
nyerah."
"Arial, please jangan nyerah... please...."
"Arial, jangan nyerah...."
Genta mengedarkan pandangannya. Beberapa pendaki tampak melewati
mereka dan dengan ramah menanyakan keadaan Arial yang tergeletak.
Senyum beberapa pendaki tadi dan badannya yang mulai hangat kembali,
membuat semangat Arial hidup lagi.
331
"Yuk...." Tanpa berkata apa-apa lagi, Arial berdiri, matanya memicing
melihat puncak Mahameru.
"Ada orang yang mau nyerah... tapi gue bukan orang kayak gitu." Arial
meneruskan, "Lagian, kayaknya di sana lebih hangat deh. Kan lebih dekat
ke matahari." Arial tersenyum.
"Gitu dong!!!"
Semuanya berdiri, menonjok-nonjok badan Arial yang tampak aneh
memakai sweater ungu Zafran yang kekecilan.
Arial menatap tajam ke langit dan berujar tegas, this world is for those who
want to fight.
"Yuk cepet selesaikan puncak ini," ajak Arial.
"Ciee... yang udah sehat," Riani menonjok pelan bahu Arial.
"Bukan gitu, gue malu sama sweater ungu gini, mana ketat banget lagi.
"Lagian otaknya di mana? Cowok beli warna ungu." "Hahaha...." '
"Gue kan flamboyan...lain dwong artis," Zafran menaik-naikan alisnya
"Hahaha...."
"Yuk... setengah lagi...dan Mahameru...." Hujan abu turun lagi. Sekarang
bertambah deras, menimbulkan gemeletak-gemeletak menyeramkan.
"Gue di depan ya, Ta...." Arial tampak semangat. "OK Bos!"
Malam mulai beranjak pergi, udara pagi mulai menyapa mereka. Mereka
terus mendaki. Beberapa kali teriakan 'batu' dan rocks mewarnai
pendengaran mereka. Sesekali mereka meng-hindari terjangan batu-batu
yang lewat di jalur pendakian. Udara mulai terlihat terang, rona Jingga di
mana-mana.
"Break!" Arial berteriak keras.
Mereka berenam melepas lelah, udara hangat mulai menyapa. Puncak
Mahemeru mulai terlihat terang.
332
"Chewaefpef..., Yfal?" Zafran buka percakapan. "Buka dulu tutup mulut lo?
"Capek, Yal?"
Kelima pendaki yang lain melihat ke Arial yang duduk membelakangi
puncak Mahameru. Matanya menatap jauh ke depan. "Nggak...? "Ta..." "Iya,
Yal."
"Ini yang lo bilang, samudra di atas langit"
Semua memandang jauh membelakangi puncak jalur pendakian di bawah
mereka yang tampak kecil sekali. Semburat jingga mengumpul di atas
langit dan gumpalan awan seperti ombak bergulung dengan rona Jingga
tipis mengarsir pinggirannya. Awan putih bersih sekali seperti berada di
bawah mereka, bergulung tanpa ujung, bagai lautan luas mendekati langit
Hamparan putih seperti kapas itu luas sekali seperti tak berujung.
"Kita di atas awan... kita di atas awan...."
"Keren banget."
"Iya, ini yang pernah gue bilang. Samudra menyentuh langit."
"Subhanallah...." "Keren banget."
Di antara berbagai macam kain dan kacamata hitam yang menutupi
wajahnya, Zafran menatap pemandangan di depannya tajam. Di antara
lelah tak terhingga, mereka mengucap syukur dan terima kasih. Kembali
keajaiban Mahameru menyapa mereka. Lama mereka mengaggumi
keindahan pagi yang menyapa.
Matahari pagi tujuh belas Agustus pun terbit sinar matahari yang hangat
menyapa badan dingin mereka Semuanya sedikit memicingkan mata
melawan sinar matahari yang bersinar terang. Tarikan napas kekaguman
dan rasa syukur kembali terdengar.
"Yuk naik lagi, tinggal sedikit lagi...."
333
"Tinggal seperempat jalan lagi kayaknya" "Betul!"
Mereka kembali mendaki. Kali ini udara lebih hangat membuat mereka
semakin semangat mendaki. Brug!
Teriakan panik terdengar dari atas. "Awas!!! Yang di bawah awas...!"
Brug brrbklutuk lklutuk.... "Batu!!!" "Awas...!!!"
Puluhan batu sebesar ukuran kepala manusia tampak berjatuhan dari atas
mereka Semua berusaha menghindar ke samping, mencoba mencari
perlindungan di bawah batu yang lebih besar.
Brug... brug... brug.... - "Awas! Awas! Batu!"
Para pendaki yang berada di jalur pendakian berteriak sekuat tenaga.
Brug brug....
Genta panik melihat banyaknya batu yang datang, bayang-bayang temantemannya tampak menghindar ke sana kemari. Batu-batu sebesar kepala
manusia terus berjatuhan.
Genta menunduk melindungi kepalanya, wajahnya mencium pasir jalur
pendakian, beberapa batu kecil terasa menerpa punggungnya. Tiba-tiba
gulungan pasir seperti air bah memenuhi jalur pendakian, mengalir deras
ke bawah, menghunjam keras bersama rombongan batu-batu.
Brrr... brrr....
Brug... brug... brug....
"Ahh...."
"Aaaaa...:"
"Aduh... aduh...!"
334
Genta nggak percaya pada pendengarannya. Suara-suaru yang sangat ia
kenal seperti berteriak kesakitan. Hujan batu dan banjir pasir itu seperti
tidak mau berhenti. Genta masih terus tiarap melindungi kepalanya.
Hujan batu dan pasir masih belum selesai. Gemuruh. Riuh. Lalu...
keheningan memenuhi jalur pendakian.
Genta segera berdiri, matanya nanar mencari kelima temannya. Ian dan
Dinda tampak tergeletak, menelungkup. Riani tiba-tiba muncul di
depannya dengan muka penuh abu dan pasir. Genta mengguncang tubuh
Riani yang kotor penuh abu.
"Ni... Ni... nggak pa-pa kan?"
Riani menggeleng dalam diam. Genta menarik napas lega.
Zafran terlihat menggeliat dari bawah tumpukan batu besar. Telapaknya
lecet dan sikunya tampak robek. Seperti sudah tahu pertanyaan Genta, dia
hanya menganggukkan kepalanya. Kening Arial tampak lecet. Ia duduk
dan menggoyangkan tubuh adiknya yang masih tengkurap tanpa gerakan.
Di sebelahnya Ian dengan posisi yang sama.
Deg.
Semua tercekat, hati mereka seperti ditusuk pedang tajam. Darah.
Genta menyapu pasir yang menutupi wajah Ian. Keningnya tampak benjut
dan tergores panjang, tetesan darah menetes satu-satu dari situ. "Ian...
Ian...."
Ian masih terpejam. Zafran ikut menggoyang tubuh Ian, menepuk-nepuk
pipinya Riani terlihat menangis, mengeluarkan Betadine dan perban.
Beberapa pendaki mendatangi mereka. Riani melihat Dinda yang masih
belum sadar di pelukan Arial. Arial masih mengoyang-goyangkan tubuh
adiknya.
"Dinda... Dinda...."
335
Wajah Arial terlihat sangat ketakutan. Riani ikut menggoyang bahu Dinda
dan baru bernapas lega ketika melihat dada Dinda masih turun naik.
Wajah cantiknya masih tertutup pasir.
"Din... Din...."
Dada Dinda bergerak naik turun semakin cepat. Lalu, Dinda
memuntahkan banyak pasir dari mulutnya beberapa kali. Arial memijatmijat tengkuk kembarannya itu. Dinda terus muntah pasir bercampur air.
Matanya perlahan membuka, tampak berair menahan tangis dan takut.
Dinda langsung memeluk abangnya erat sekali dan menangis sesenggukan.
"Kamu nggak apa-apa kan?"
Dinda nggak menjawab. Dia masih memeluk abangnya dan menangis.
"Minum dulu, minum dulu, Din," Riani menyodorkan botol air mineralnya.
Dinda yang masih menangis, menerima uluran botol air mineral Riani dan
langsung meminumnya. Air sejuk mengalir memenuhi tenggorokannya.
Dinda tiba-tiba berkata pelan, terputus-putus, "I... i... i... an... Ian a... ada...
ba... ba... tu yang ke... ke... na ke... kepalanya...."
Dinda langsung berdiri dan mencari Ian. "Fiuhh...," Arial dan Riani saling
bertatapan lega melihat Dinda bisa berdiri.
Ketiganya langsung berlari ke tempat Ian tergeletak. Ian masih tergeletak
tak sadarkan diri, Genta langsung mencuci luka di kening Ian, memberi
Betadine dan membungkusnya dengan perban.
"Ian... Ian... Ian bangun, Yan!"
"Please bangun, Yan!"
"Ian, Ian!!!"
Zafran Riani dan Dinda menangis melihat Ian yang masih tak sadar...
seluruh badan dan wajah Ian penuh dengan pasir.
336
"Ian... Ian... bangun... Ian, please.,.?
Mereka terus mengoyang-goyang tubuh Ian. Arial menekan dada Ian.
Genta melakukan prosedur CPR...meniupkan udara ke mulut Ian. Tiba-tiba
dada Ian naik turun cepat sekali. Ian memuntahkan pasir bercampur air
dari mulutnya. Riani dan Arial agak lega karena mungkin Ian akan sadar
seperti Dinda Tapi tubuh Ian masih belum bergerak.
Genta terus mengoncang-goncangkan tubuh itu. air matanya tampak
menetes. Kembali dada Ian turun naik cepat sekali dan... badan Ian
terlonjak seperti tersengat listrik. Tiba-tiba Dada Ian berhenti naik turun
dan diam....
"Oh...." "Oh...." "Jangan!"
Riani menutup penglihatannya, matanya tidak kuat melihat pemandangan
di depannya Keheningan kembali melanda jalur pendakian itu, beberapa
pendaki tampak meneteskan air mata melihat kejadian di depan mereka.
Genta berhenti mengguncang-guncang tubuh Ian, berdiri mematung
menatap tubuh yang tergeletak dalam diam.
Riani, Arial, Dinda, dan Zafran berlari memeluk Genta.
"Ta, Ian, Ta..."
"Ian...."
Mata mereka tak lepas memandang tubuh Ian yang masih terdiam tanpa
gerakan sedikit pun. Seluruh pandangan tertuju ke dada Ian, mencoba
berharap melihat sedikit gerakan.
"Ian...."
Dalam sekejap jalur itu penuh dengan para pendaki. Hanya keheningan,
suara sesenggukan, dan tarikan napas panjang memenuhi pendengaran
mereka. Genta memejamkan
337
matanya dan melihat ke langit Mukanya merah menahan segala macam
perasaan bercampur aduk... dalam dirinya.
Zafran teringat cerita Ian di Ranu Pane saat melihat kuburan. Mungkinkah
itu pertanda? Terus nisan dengan nama Adrian? Zafran menggeleng tidak
rela pada pemikiran yang memenuhi pikirannya itu. Zafran tiba-tiba
menubruk badan Ian dan memeluknya. Tangisnya meledak saat itu juga.
"Ian jangan pergi, Yan! Ian jangan pergi, Yan... Ian jangan pergi dulu...!!!
Elo kan mau wisuda, Yan... jangan Yan, jangan... maafin gue, Yan... gue
banyak salah...."
"Ian... nggak... boleh... pergi." Genta kembali menangis, mengingat
perjuangan Ian untuk wisuda, bayangan keluarga Ian melintas di benaknya.
Cerita Ian tentang kulit tangan orang tuanya yang mulai keriput, bayangan
SMA-nya kala malam, Ian yang lucu, daerah rumah Ian, Ian dengan
seragam putih abu-abu, Ian sedang melahap Indomie, rumus Indomienya
Ian, tawa Ian yang lepas, Ian yang bercanda dengan Mas Suhartono Gembul
di angkot, Ian yang selalu..., Ian yang belum wisuda. Genta seperti nggak
rela... nggak rela. Arial untuk pertama kalinya meneteskan air mata.
"...IAAAAAAAANNNNNNN!!!" Zafran berteriak keras ke langit, suaranya
memecah keheningan.
Kosong.
"Puih... puih... kenapa lo, Ple? Bikin kaget aja... teriak-teriak. Puih... puih...
pasir nggak enak ya, Ple.... Puih nggak lagi-lagi deh gue makan pasir.
Nggak enak."
"YEAAAAAAH!!!" suara sorakan gembira memenuhi jalur pendakian
Mahameru... semuanya terlihat lega.
"YES!!!... YES!!!... YES!!!"
Ian masih bingung, banyak banget orang di sekelilingnya. Mulutnya masih
meludah-ludahkan pasir.
338
"Pasir nggak enak...." "IAN....!" Kelima sahabatnya langsung memeluk makhluk gendut yang seperti baru
bangun dari tidur. Kerumunan para pendaki yang mengerubungi mereka
berenam perlahan membubarkan diri dan meneruskan perjalanan ke
puncak.
*
"Ini berapa, Yan?" Zafran mengacungkan dua jarinya.
Ian yang sekarang tampak memakai balutan panjang perban mengitari
kepalanya langsung menjawab, "Dua"
"Ini..." Sekarang Zafran membentangkan enam jarinya.
"Enam!"
"Kalo ini berapa?" Riani membentangkan seluruh jarinya. "Sepuluh...."
"Fiuh nggak gegar otak nih gajah dumbo." "Ini berapa?" Genta melebarkan
jarinya membentuk bentangan lima.
Ian tampak berpikir lama. "Nah lho? Dia mikir?" "Tujuh!" jawab Ian
spontan. "Yah...," kelimanya tampak panik. "Hehehe bo'ong. Lima, wee...."
"Yeee... gajah dumbo becanda lagi." "Lagian emang gue gila apa?" "Kita
takut lo gegar otak, Yan."
"Gegar otak apa? Orang tadi cuma gores kok, nggak dalam cuma
goresannya panjang, jadinya darahnya rada banyak."
"Tanya lagi, tanya lagi... gue masih belum yakin, yang agak susah."
"Nama lengkap lo?"
339
"Adrian Adriano." "Rumah di...?"
"Jalan Bumi, Mayestik Jakarta Selatan. Tuh kan bener gue masih waras.
Udah deh? "Yang lebih susah... yang lebih susah." "Manchester United juara champion
berapa kali?" "Dua!"
"Tahun berapa aja?"
"69 sama 99... wee...?
"Nama dosen pembimbing lo?"
"Sukonto Legowo..., tapi bacanya jangan disambung...." "Hahaha..."
"Yang susah... musik, musik, musiknya Ian...." "Basisnya Jamiroquai?"
"Nggak ada, Hah? Nggak ada basisnya jamiroquai sekarang." "Ada!" Zafran
keukeuh.
"Dulu ada namanya Stuart Zender, sekarang dia udah keluar... wee...
Jamiroquai belum punya basis lagi." "Oh Stuart Zender udah keluar? Nggak
tau gue? "Yee... pinteran gue daripada lo. Lo kali yang gegar otak, Ple." "Dia
mah emang dari lahir." "Sialan lo?
"Udah ah... berangkat lagi." "Sekali lagi, sekali lagi." "Apa?"
"Model favorit lo?" "Paris Hilton."
"Tinggi Mahameru berapa meter dari permukaan laut?" Ini pertanyaan
yang nggak Genta harapkan jawabannya bener karena emang susah
ngingetnya.
"3676 meter... tuh masih pinter kan gue?
"Bener, Ta?" semuanya bertanya ke Genta.
340
Genta mengangguk.
"Yes..." Ian sehat-sehat aja, Genta memeluk Ian.
Angin pagi dan matahari hangat menyapa mereka di jalur pendakian
Mahameru. Semuanya menarik napas lega. Dinda terlihat tersenyum manis
memeluk abangnya. Rasa sakitnya sudah hilang.
"Yuk... masih ada satu tugas lagi buat kita."
Genta menatap Mahameru yang tinggal dalam hitungan puluhan meter
lagi. Semua tersenyum lega menatap ke atas, sesuatu telah datang lagi di
hati mereka dan satu potongan hati pun harus mereka tinggalkan di situ,
sesuatu yang nggak akan mereka lupakan seumur hidup.
"Duluan ya Mas-mas dan Mbak-mbak. Ayo sebentar lagi sampai puncak
langsung upacara bendera di atas." Seorang mahasiswa yang memakai jaket
almamater lewat sendirian, membawa bendera merah putih. Ia tersenyum
manis sekali saat menyapa.
"Oh iya, Mas. Silakan duluan," Zafran tersenyum ramah membalas sapa
ramah si mahasiswa.
"Aneh ya, Ple. Naik gunung kok pake jaket almamater."
"Itu namanya cinta kampus, Yan."
"Tapi kayaknya gue pernah ngeliat."
"Jaketnya sih warnanya hampir sama dengan jaket almamater kampus
gue."
"Anak kampus lo kali, Yan... tanyain gih!"
"Iya juga ya, wajahnya familiar, sepertinya pernah gue liat. Ntar aja di
puncak juga ketemu. Jarang-jarang ketemu teman satu kampus di sini."
Ian dan Zafran terus mendaki. Kali ini mereka tambah bersemangat setelah
melihat bendera merah putih yang dibawa oleh mahasiswa tadi.
341
" This is it... the end... of our journey..."
Genta berhenti sebentar di antara dua buah batu besar. Jalur pendakian
tampak berhenti di situ. Mereka masih belum sampai puncak,
pemandangan puncak Mahameru masih tertutup gundukan tanah kecil di
depan mereka.
"Hanya beberapa langkah lagi... kita sampai di puncak...."
"Hold my hand please...? Genta menjulurkan tangannya ke Riani di
belakangnya.
Riani tersenyum menggandeng tangan Dinda di belakangnya, Dinda
memegang tangan Ian, Zafran dan Arial terus menyambung genggaman
itu.
"Siaaap?"
Genta tersenyum lepas... semuanya memandang satu sama lain. Setengah
berlari mereka bergandengan memasuki jalur akhir pendakian yang
tinggal sepuluh meter lagi.
Tujuh meter....
Lima meter....
Tiga meter....
...!!!!
"Dan... kita di Mahameru...."
Keenam anak manusia itu seperti melayang saat menjejakkan kaki di tanah
tertinggi di Pulau Jawa. Waktu seperti terhenti, dataran luas berpasir itu
seperti sebuah papan besar menjulang indah di ketinggian menggapai langit,
di sekeliling mereka tampak langit biru-sebiru-birunya-dengan sinar
matahari yang begitu dekat Awan putih berkumpul melingkar di bawah
mereka di mana-mana, asap putih tebal yang membubung di depan
mereka sekarang terlihat jelas sekali kepulannya.
Masih dengan bergandengan mereka berputar- putar di puncak
Mahameru. Mereka seakan terbang melayang-layang, genggaman mereka
semakin erat rasa yang ada tak terbayangkan, tidak ada
342
lagi tanah lebih tinggi yang mereka lihat, tinggal langit saja-itu pun seperti
bisa tersentuh. Bentangan awan di bawah mereka seakan menunduk ikut
menyembah Mahameru... genggaman mereka pun semakin keras.
Semuanya mencopot segala macam atribut yang membebani wajah
semenjak tadi malam, membiarkan rambut-rambut beriapan dan wajah
merasakan udara di tanah tertinggi di Pulau Jawa.
Mata mereka seakan tidak mau terpejam menikmati pemandangan yang
begitu luar biasa... sepilas bayang-bayang perjalanan mereka lewat satusatu di depan mata mereka. Matarmaja, Lempuyangan, hutan jati antara
Madiun dan Nganjuk, Angkot Mas Gembul, perjalanan di atas jip menyapa
Bromo dan padang pasirnya, Ranu Pane, keajaiban hati yang mereka
tinggalkan di Ranu Kumbolo, padang ilalang, edelweis, Kalimati, Arcopodo,
surat dari Deniek untuk Adrian, Arial yang nggak kenal menyerah, hujan
batu, Dinda dan Ian yang tergeletak, teriakan Zafran yang membelah langit
memanggil nama Ian.... Tak terasa mata mereka berkaca-kaca, keyakinan
dan tekad mereka telah mengalahkan segalanya. Mimpi mereka untuk
menginjak tanah ini telah menjadi kenyataan, semuanya berawal dari
mimpi dan usaha yang tak kenal lelah... keajaiban tekad dan doa telah
mengalahkan apa pun hari ini. Hari ini mimpi yang mereka bangun
menjadi kenyataan.
Mata mereka masih melihat sekeliling, sedikit pun tidak mau terpejam.
Pemandangan yang sangat indah...sangat indah.
"Biasanya kalo manusia ngerasain keindahan yang amat sangat, dia secara
refleks akan memejamkan mata dan membawa keindahan itu ke hati
karena keindahannya nggak bisa diucapkan dengan kata-kata atau
diterjemahkan dengan cara apa pun sama indera fisik. Tapi sekarang
kayaknya di sini teori itu bisa dibantah...," Arial berkata lembut
343
Semuanya tersenyum dan menoleh ke Arial. Rombongan kecil anak
manusia itu bersujud syukur di puncak Mahameru, mengucapkan rasa
terima kasih yang tak terhingga kepada Tuhan dan kepada tanah yang
telah menghidupi mereka, Ibu yang selalu memberikan tanah dan airnya
setiap hari. Ibu yang akan selalu mencintai anak-anak bangsa. Air mata
yang berjatuhan membasahi pasir di puncak Mahameru, membuat rasa
terima kasih mereka menjadi begitu indah. Mereka berenam berpelukan
sangat erat, air mata kembali jatuh, menjadi saksi bening dan eratnya
persahabatan mereka.
Hujan abu turun lagi. Kali ini mereka bisa melihat asap tebal yang
mengepul keluar dari "Jonggring Saloka" kawah Mahameru. Kerumunan
puluhan pendaki yang baru sampai tampak bersujud syukur, saling
berpelukan dan menangis. Yang lain tampak bergembira berfoto ria
dengan latar belakang kepulan asap dan hujan abu Mahameru. Di
ketinggian ini, kebahagiaan seperti terbang ke langit dan memantul
kembali. Tidak pernah terbang terlalu tinggi dari tanah ini, di pagi yang
begitu indah ini, di antara kebahagiaan ini, di tanggal tujuh belas Agustus.
*
Di ujung tiang tertinggi di Indonesiaku ini...
Para pendaki tampak berbaris teratur di puncak Mahameru. Di depan
barisan tertancap tiang bendera bambu yang berdiri tinggi sendiri dengan
latar belakang kepulan asap Mahameru dan langit biru.
"Pengibaran Sang Saka Merah Putih di puncak Mahameru." Teriakan
seorang pendaki, memecah segala suara yang ada saat itu, menimbulkan
keheningan yang mendadak. Hanya suara angin dan desir pasir yang ada.
344
Tiga orang pendaki tampak berbaris, mendekati tiang bendera.
"Deniek!" Ian mendesis setengah berteriak.
Sebentuk wajah yang pernah mereka kenal tampak menjadi salah satu
pengibar bendera itu. Puncak Mahameru masih dalam keheningan. Suara
tali yang mengerek bendera di tiang bambu Itu pun terdengar jelas. Hingga
akhirnya Sang Dwi Warna melebar gagah terbentang.
Srrt..bhet!
"Benderaa... siap!!!"
"Kepada..., Sang Saka Merah Putih! Hormaaaat..." suara teriakan lantang
memecah keheningan puncak Mahameru.
Seluruh pendaki serentak memberi hormat dalam keheningan, suara
gesekan pakaian mereka saat memberi gerakan menghormat terdengar
serempak.
Indonesia Raya berkumandang di puncak Mahameru
Indonesia....
Tanah Airku. Tanah tumpah darahku.... Di sanalah aku berdiri..jadi pandu
ibuku. Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku.... Marilah kita
berseru Indonesia... bersatu...
Suara sesenggukan jelas terdengar di antara barisan pendaki kala
Indonesia Raya berkumandang memenuhi pendengaran seluruh makhluk
Tuhan yang paling sempurna di hari itu. Deniek tampak menengadah
memandang bendera, bibirnya terkatup rapat mencoba menahan haru.
Tangannya bergetar menarik Sang Saka Merah Putih yang perlahan naik.
Bayangan Adrian lewat sepilas di matanya, di antara kain Merah Putih...
dan Deniek pun tak tahan lagi. Dadanya berguncang keras, air matanya
menetes perlahan seirama dengan tarikan tangannya di tali tiang bendera.
345
Ian yang melihat pemandangan itu langsung tertunduk, air matanya jatuh
membasahi pasir Mahameru.
Hiduplah tanah ku hiduplah negriku Bangsaku rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya.... Bangunlah badannya untuk Indonesia raya
Tangan kanan Zafran yang menempel di keningnya tergetar dalam posisi
hormat Tangan kiri Zafran tak henti-hentinya menghapus air mata yang
jatuh, tidak ada perasaan yang bisa menandingi saat itu. Hari ini dia
menyanyikan lagu kebangsa-annya di tempat yang indah, setelah melewati
perjuangan berat yang tidak biasa,
Indonesia raya... merdeka merdeka.... Tanahku negriku yang tercinta....
Indonesia raya merdeka merdeka.... Hiduplah Indonesia raya....
Genta melihat sekelilingnya, hampir semua pendaki menyanyikan
Indonesia Raya dengan lantang dan khidmat Beberapa pendaki tampak
menyanyi terpenggal-penggal karena menahan tangis. Genta menunduk
melihat tanah pasir yang dipijaknya, kembali dia menemukan ibunya yang
lama hilang, yang telah menjumpainya di malam Ranu Pane, Ibu itu
kembali menjumpainya di sini.
Mata Arial tak lepas dari bendera. Walaupun wajahnya terlihat tegar,
beberapa tetes air mata jatuh di pipinya. Arial membiarkannya, merasakan
lembutnya air mata lewat di kulit pipinya.
346
Indonesia raya merdeka merdeka... Tanahku negriku yang kucinta...
Indonesia raya merdeka merdeka...
Dinda memincingkan matanya yang sudah basah. Matanya terus
mengikuti kain bendera, di belakang bendera tampak asap Mahameru
bergumpal-gumpal seiring laju bendera. Mulutnya bernyanyi terpenggalpenggal.
Wajah Riani basah oleh air mata, barisan tangan rapat di depan keningnya
menekan keras sekali, tangan larinya terus merekam Sang Saka Merah
Putih yang bergerak menuju ujung tiang.
Hiduplah Indonesia raya....
Dan Sang Saka Merah Putih berkibar kencang tertiup angin di ketinggian
lebih dari tiga ribu lima ratus meter, berkibar megah di tanah tertinggi
Pulau Jawa.
YEAH...!!! teriak semua pendaki serentak membahana memecahkan
keheningan, disusul dengan saling berpelukan. Sekali lagi Sang Dwiwarna
berkibar di puncak Mahameru tahun ini. Suara-suara tangis bahagia dan
teriakan-teriakan penuh semangat terdengar memenuhi puncak. Hampir
seluruh pendaki di situ tak bisa menahan haru. Di pagi ini semua merasa
dekat sekali satu sama lain, bergembira dengan hati sesak penuh
kebanggaan. Di sini... di Mahameru tanggal tujuh belas Agustus... Tanah
Air ini indah sekali. Ibu Pertiwi pun tersenyum melihat anak-anaknya yang
bergembira di atas pangkuannya.
Arial mengeluarkan MP3-nya. Open File... Songs... Indonesiaku indah....
Open File.... Cokelat... Bendera Selected.... Speaker Selected.... Play....
Bendera. Cokelat.
347
Biar saja ku tak sehebat matahari tapi slalu kucoba tuk menghangatkanmu
biar saja ku tak setegar batu karang tapi selalu kucoba tuk melindungimu
Mereka berenam berpelukan dalam rangkulan membentuk lingkaran kecil.
"Sebuah kehormatan bagi saya. Saya... Genta telah mendaki Mahameru
bersama kalian tercinta... di Tanah Air tercinta ini. Kehormatan ini tidak
akan saya lupakan seumur hidup saya."
Genta mengucapkan kalimat tadi sambil berkaca-kaca menatap temantemannya. Pelukan mereka bertambah erat.
"Suatu kehormatan juga bagi saya dan kehormatan itu buat kita semua...
saya Arial, seorang yang sangat mencintai tanah ini."
Biar saja ku tak seharum bunga mawar Tapi selalu kucoba tuk
mengharumkanmu Biar saja ku tak seelok langit sore Tapi selalu kucoba
tuk mengindahkanmu
"Juga bagi saya... Arinda, Indonesiaku... saya mencintaimu sepenuhnya."
"Semuanya berawal dari sini...," Zafran menunjuk keningnya, "Saya Zafran,
saya mencintai negeri indah dengan gugusan ribuan pulaunya sampai saya
mati dan menyatu dengan tanah tercinta ini."
Kupertahankan kau... demi kehormatan bangsa., kupertahankan kau...
demi tumpah darah... semua pahlawan pahlawanku...
348
Riani menarik napas panjang menahan tangis, "Dan selama ribuan
langkah kaki ini, selama hati ini bertekad, hingga semuanya bisa terwujud
sampai di sini, jangan pernah sekali pun kita mau menyerah mengejar
mimpi mimpi kita.... Saya Riani, saya mencintai tanah ini dengan seluruh
hati saya."
Merah putih teruslah kau berkibar... di ujung tiang tertinggi., di
Indonesiaku ini
"Saya Ian... saya bangga bisa berada di sini bersama kalian semua. Saya
akan mencintai tanah ini seumur hidup saya, saya akan menjaganya,
dengan apa pun yang saya punya, saya akan menjaga kehormatannya
seperti saya menjaga diri saya sendiri. Seperti saya akan selalu menjaga
mimpi-mimpi saya terus hidup bersama tanah air tercinta ini."
Merah putih... teruslah kau berkibar... di ujung tiang tertinggi., di
Indonesiaku ini
Merah putih ku akan selalu menjagamu
"Yang berani nyela Indonesia., ribut sama.gue? Ian tersenyum ke temantemannya.
Keenam sahabat itu melihat ke langit, berbarengan mereka mengucapkan,
"Terima kasih...."
Udara beruntai ucapan rasa syukur di antara pelukan hangat itu naik ke
atas, melewati kibaran kain Sang Saka Merah Putih terbang pelan menuju
ke langit biru, melintas cepat di antara sinar matahari dan awan putih, lalu
perlahan menghilang. Mata mereka masih melihat langit biru, entah
mengapa mereka
34<i
percaya bahwa kali ini rasa terima kasih itu pasti terdengar, tidak ada fakta
ataupun ilmu pengetahuan di seluruh dunia ini yang bisa yang bisa
membukukannya. Tapi mereka hanya perlu mempercayainya.
Ranu Kumbolo
Tujuh belas Agustus. Setengah delapan malam.
Wajah-wajah penuh ceria di antara nyala api unggun terlihat jelas di tanah
surga Mahameru. Keenam sahabat itu asik bercengkerama di tengah udara
dingin Ranu Kumbolo. Malam itu, Ranu Kumbolo terlihat sangat tenang,
bulan dan bintang tampak jelas memantul di permukaannya, pohon-pohon
cemara gelap menghitam tampak bergerak lembut.
Zafran menatap teman-temannya, "Keren ya...."
"Apa, Ple?"
"Tadi pagi."
"Iya, keajaibannya masih gue rasain sampai sekarang." "Apalagi upacara
benderanya, Indonesia Raya-nya." "Pertamanya gue nggak bisa percaya bisa
sampai puncak." "Sama."
"Gue terlalu pede, malah tepar." Arial tersenyum kecil "Hehehehe...."
"Belajar banyak lo tuh Rambo." "Betul sekali."
"Bukan Rambo aja lagi, kita semua juga...." Ian melihat jauh ke depan...
"Masih nggak percaya lho, gue bisa sampe di sana."
"Iya, masa ada Teletubbies di Mahameru...." "Hahaha...."
"Sekarang. gue tau alasan Mas Gembul langsung tobat abis dari
Mahameru," kata Ian lagi.
350
"Iya." Zafran mengangguk.
"Zafran yang sekarang juga bukan Zafran yang dulu lagi." "Betul sekali."
"Mudah-mudahan nggak ada Achilles nyasar lagi." "Achilles sih tetep,"
Zafran tertawa kecil melihat teman-temannya.
"Yahh...Juple mah..."
"Sekali Achilles tetep Achilles," Zafran tersenyum-senyum. Ian memegangmegang perutnya, "Kayaknya perut gue makin kecil deh? "Ngarang."
"Bener...," Ian menepuk-nepuk perutnya yang lebar. "Lo harusnya periksa
ke dokter, Yan," Genta ketawa ngeliat teman yang satu ini. "Kenapa?"
"Yah, efek samping krim pembesar anu kan bisa bahaya."
Zafran yang udah gatel mau nyela langsung nyela, "Enggak lagi,
mendingan dia ikutan iklannya di TV, pasti langsung laku. Kan jelas
terbukti, bisa membesarkan biarpun nggak sengaja gara-gara
ketumpahan."
"Hahaha... rese... hahaha," Ian tertawa keras.
Angin dingin Ranu Kumbolo bertiup lagi.
"Deniek mana? Katanya mau ikutan gabung?" ujar Riani.
"Nggak tau... kecapekan kali."
"Tendanya sih udah ketutup, apinya udah mati, tidur kali dia."
Tiba-tiba Ian jadi serius, "Gue nggak jadi ah ke Manchester...." "Haah?
Kenapa?" semuanya bingung. "Enakan di Indonesia."
"Katanya males sama semuanya, sama rakyatnya, sama pemerintahnya."
351
"Nggak jadi ah malesnya." "Hahaha...."
"Lagian lo kalo ditimbang juga nggak boleh masuk pesawat penumpang,
disuruh langsung ke kargo," Genta nyahut lalu tertawa keras.
"Lebih baik di sini, rumah kita sendiri."
"Lagu kan tuh?" tanya Zafran.
"Iya, lagunya God Bless."
Ian menatap sekitarnya dan meneruskan, "Iya lebih enak di Indonesia, baru
sadar gue banyak siaran langsung sepakbola,. trus juga yang paling
penting temen-temen gue di sini, dari lahir gue di sini memakai tanahnya,
minum airnya. Masa gue nggak ada terima kasihnya.... Di luar negeri mana
ada abis nonton The Groove nonton layar tancep."
"Iya, mana ada wafer superman... mana ada lempeng gapit... mana ada nasi
uduk...."
Mana ada Indomie," Zafran ikutan.
"'tul... sekali!"
Ian melanjutkan, "Inget nggak, kalo kita begadang nonton bareng siaran
langsung Liga Champion atau Piala Dunia, sebelumnya teriak-teriak main
PS. Habis itu bikin Indomie kari ayam, terus nonton bola teriak-teriak lagi
sampe pagi... abis itu nggak tidur. Makan nasi uduk Betawi pagi-pagi,
minum teh pahit anget, dengerin cablakan orang Betawi yang lucu-lucu."
"Hahaha... iya gue inget," sambut Arial.
"Apa katanya waktu itu, Yan?"
"Iya, gue kan lagi masuk angin, abis dikerokin... eh mpok-mpok Betawi
nyablak. 'Eh tong, daripada masuk angin mendingan lo masuk TNI'
katanya."
"Hahaha...," Genta menyenggol bahu Ian.
"Ada lagi Yan. Inget nggak kalo malam Minggu kita lagi
352
mati gaya nggak tau lagi mau ke mana. Kita jalan-jalan aja muter muter
Jakarta... ke Menteng," Genta menyenggol bahu Ian.
"Godain bencong. Hihihi!" Zafran berteriak kecil.
Riani tersenyum, "Inget nggak waktu itu malam Minggu jam tiga pagi kita
berhenti di atas Jembatan Semanggi, terus teriak-teriak dari atas jembatan,
tiduran-uduran di tengah jalan. Abis itu kita bengong-bengong ngeliat
Jalan Sudirman dan Gatot Subroto yang lengang kosong, tapi keren banget.
Lampu-lampu jalan dan lampu gedung bertebaran, kayaknya Jakarta
punya kita doang."
"Hahaha... gue inget. Sama kalo kita lari Jumat sore di Senayan...," Arial
berbinar-binar.
"Yo'i... sepi, tapi udaranya enak."
"Abis itu kita makan roti bakar Wiwied di Fatmawati, atau roti bakar Eddi...
keren ya?"
Ian menatap kosong ke depan, "Gue nggak bakal nemuin itu di luar negeri."
Genta menambah panjang celetukan-celetukan itu, "Apalagi kalo kita
nongkrong di parkir timur Senayan, abis main bola pasir di ABC...."
"Wah yo'i... sambil nyari CD."
"Parkir timur... gue dulu belajar nyetir mobil di sana tuh." "Sama,
semuanya... juga."
Genta tampak berbinar-binar, "Apalagi kalo bulan puasa...."
"Oh... yo'i..., Ta! Pasti banyak banget buka puasa barengnya sama temen
SMA-lah, temen kampuslah, temen kantorlah, temen di mana lah, di sana,
di sini...."
"Apalagi kalo malam takbiran... besoknya Lebaran...."
"Sungkem."
"Halal Bilhalal... ketemu temen-temen lagi." "Sebenarnya orang Indonesia
itu kebanyakan, banyak temennya ya?"
353
"Seneng temenan...."
"Tapi ada lagi. Sebenemya orang Indonesia itu kan paling kreatif sedunia,"
ujar Dinda. "Maksudnya?"
"Coba mana ada ojek payung di luar negeri... three in one aja jadi duit di
Indonesia."
"Hahaha... bener juga Dinda."
"Terong sama jengkol aja dimakan... hahaha...."
"Banyak banget makanannya... berarti kreatif."
"Mau dipanjangin nih? Apa aja ada, pempek, masakan Padang, nasi pecel
Madiun, nasi timbel pake sayur asem sama ikan asin, tahu-tempe sambel
terasi ayam goreng...."
"Tahu tek, tahu campur...."
"Cotto Makasar...."
"Bubur Manado, wuih...."
"Sate!"
"Sumpah... enggak ada yang nggak enak."
"Lebih baik di sini, rumah kita sendiri."
"Gitu dong, Yan. Akhirnya pendapatan seluruh pegawai Indofood
terselamatkan, omset Indomie nggak jadi turun."
"Bebek air Taman Mini jadi nggak kurang satu."
"Hahaha..." Tawa mereka memenuhi malam di Ranu Kumbolo.
"Eh, gue mau cerita sebentar, tapi jangan pada takut ya, mungkin juga gue
salah."
Zafran melihat sebentar ke tenda Deniek yang sudah gelap, lalu melihat ke
Ian.
"Yah, Ple jangan diceritain malam-malam, merinding gue, lagian belum
tentu bener." Ian garuk-garuk kepala sambil melihat Zafran.
"Apaan sih?" Genta dan yang lain jadi penasaran.
354
"Inget nggak tadi kira-kira sedikit lagi kita sampai puncak Mahameru ada
mahasiswa seumuran kita pake jaket almamater, bawa bendera Merah
Putih, lewat sendirian. Yang negur kita semua itu. Gue aja masih inget,
katanya 'Duluan ya... Mas-mas, Mbak-mbak... ayo sebentar lagi sampai
puncak, langsung upacara bendera di atas...."
"Nggak inget," semuanya memasang tampang bingung, kecuali Ian dan
Zafran yang masih penasaran.
"Inget nggak? Cuma dia satu-satunya yang pake jaket almamater di situ.
Masa nggak inget, kan dia negur kalian. Waktu gue liat bendera sama
senyumnya yang seperti ngasih semangat, gue langsung semangat lagi?"
"Kayaknya nggak ada deh yang jalan sendirian, negur kita pake bawa
bendera. Kebanyakan rombongan gitu," Riani meyakinkan.
Ian menarik napas dan berujar. "Sumpah lo? Gue sama Juple ngeliat
banget, ya kan Ple?"
"Iya jelas, kan lo bilang sendiri Yan, jarang-jarang ketemu temen kampus di
sini."
"Ada nggak? Dia doang tuh yang pake jaket almamater," Zafran menatap
tajam ke temen-temennya.
"Iya nggak ada."
"Lo liat, Ta?"
"Nggak."
"Ni?"
"Nggak."
"Rambo?"
"Nggak, sumpah deh gue nggak bohong?" "Dinda? Kalo Dinda nggak
mungkin bo'ong." "Nggak liat juga."
"Ian...." Zafran langsung nengok ke Ian.
355
"Juple...." Ian melakukan hal yang sama, wajahnya tampak memelas. "Yah
bener!" pori-pori keduanya mengembang, tengkuk mereka berdua
dingin dan merinding. Angin dingin Ranu Kumbolo tiba-tiba berembus.
"Kenapa? Emangnya lo berdua ngeliat apa?"
Ian dan Zafran masih saling pandang, wajah mereka tampak tegang.
Zafran menarik napas dan mulai bicara lagi....
"Berarti bener, tadi pagi di jalur Mahameru ada Adrian dan dia ikut naik
bareng kita sambil bawa bendera Merah Putih."
"Gue sama Juple ngeliat dia," ujar Ian. "Kok bisa begitu?"
"Iya, tadi pas turun dari puncak, gue sama Ian kan berhenti sebentar di
nisannya Adrian. Gue sama Ian ngeliat fotonya dia lagi, yang ada di
suratnya Deniek. Kita waktu itu langsung kaget, kok mirip banget sama
mahasiswa yang negur kita di atas. Warna jaket almamaternya sama, sama
persis dan lagi pegang bendera juga. Kita sih agak takut juga tapi, gue kira
kalian hat juga maka-nya kita mau tanya."
"Pantesan, Ple, mirip banget," Ian menunduk.
"Iya tadi pagi kita ngobrol sama Adrian."
"Ta lo liat nggak sih?"
"Enggak."
"Enggak."
"Lo berdua nggak bo'ong?" Genta menatap tajam Ian dan Zafran.
"Sumpah!" "Tanya Ian." "Tanya Juple."
356
Serentak semuanya menarik napas panjang, menengok ke tenda Deniek
yang sudah gelap. Mereka malas mikir panjang lagi.
"Nggak pa-pa lah di gunung emang. suka banyak yang aneh-aneh," ujar
Genta.
"Lagian dia kan juga nggak ganggu, malah ikut nyemangatin," ujar Riani.
"Mungkin Adrian mau berterima kasih, tadi malam kita udah doain dia...,"
ujar Dinda. "Betul juga sih."
"Lagian Adrian kan baik banget, dari suratnya Deniek lo bisa tau." "Iya."
"Udah gak papa." "Dia juga teman kita."
Zafran berbicara lagi, "Kalo gue meninggal juga, gue mau tuh dikenang
kayak gitu sama semua orang." "What's the maksud?"
"Dikenang sebagai orang yang baik. titik. Dikenal sebagai orang yang selalu
bisa memberikan manfaat bagi orang lain."
"Karena sebaik-baiknya manusia, adalah manusia yang bisa memberikan
manfaat sama orang lain."
"Nggak pernah bosen tuh gue dengar... kata-kata itu keren banget."
"Betul juga lo, Ple."
"Jadi orang yang bisa membuat napas orang lain menjadi sedikit lebih lega
karena kehadiran kita di situ... karena ada kita di situ."
"Indah banget kayaknya bisa jadi orang kayak gitu." "Eh gue jadi inget...,"
Arial membuka pembicaraan. "Tau Alfred Nobel?"
357
"Tau, namanya kan didedikasikan untuk penghargaan manusia buat ilmu
pegetahuan dan kemanusiaan." "Iya hadiah Nobel...."
"Kalo nggak salah dia kan juga penemu serbuk bahan peledak dinamit ya?"
"tul... gara-gara dinamit dia jadi kaya banget." "Trus... trus...."
Arial meneruskan, "Nah suatu hari Alfred Nobel baca koran dan membaca
berita dukacita. Isinya kira-kira begini...."
"Telah meninggal dunia, Alfred Nobel, seorang ilmuwan besar sekaligus
pencipta bahan peledak yang telah kaya raya dengan membuat sengsara
jutaan orang dengan kematian."
"Ih... kasihan bener."
"Lho... kan Alfred Nobelnya masih hidup?" "Makanya berita itu salah,
korannya salah, dikira yang meninggal Alfred Nobel, nggak taunya bukan
Alfred Nobel yang dia" "Oh...." "Trus?"
"Alfred Nobel kaget dan tersentak, 'Oh jadi gini kalo nanti saya meninggal
orang akan mengenang saya sebagai sosok yang telah membuat banyak
orang sengsara....'"
"Padahal hati kecilnya nggak mau dibilang begitu."
"Iyalah, lagian juga siapa yang mau."
"Sejak saat itu seluruh kekayaannya dia sumbangkan untuk penghargaan
bagi umat manusia sampai sekarang... ya hadiah Nobel itu."
"Oh... gitu ceritanya."
'Jadi, Alfred Nobel kalo meninggal nggak mau dikenang sebagai pencipta
kesengsaraan, dia mau bener-bener hidup di dunia ini sebagai seorang
manusia yang baik."
'Jadi gara-gara itu ada hadiah Nobel."
358
"Yup!"
"Siapa sih yang meninggalnya mau dikenang sebagai orang jahat?"
"Lagian siapa yang mau...." "Iya siapa yang mau?" "Sumpah gue juga nggak
mau."
Malam terus beranjak di Ranu Kumbolo. Udara malam di tepi danau
makin bertambah dingin. Ian masih melihat-lihat perutnya.
"Iya, gue kurusan."
Genta menatap Ian heran. "Kok lo malah nggak tepar ya, Yan? Gue kaget
juga sama lo. Padahal lo tersangka pertama gue." "Kejadiannya sama kayak
waktu gue bikin skripsi," ujar Ian. "Maksudnya?"
"Gue udah taruh puncak Mahameru di sini." Ian menunjuk keningnya,
"Sama, waktu gue ngejar skripsi, gue taruh skripsi itu di sini." Ian
menunjuk keningnya lagi, "...dan apa pun halangannya, gue nggak akan
mau nyerah."
"Sama... gue juga suka begitu," Riani setuju sama Ian.
Riani meneruskan, "Iya betul... sori bukannya sombong, tapi selama gue
magang, gue terus percaya sama keinginan gue kalo dalam satu bulan gue
harus bisa pegang liputan... eh bener kejadian."
"Sama, gue juga. kalo ada event bagaimana pun susah ngejalanin-nya, gue
tetap usaha dan gue taruh semuanya di sini" Genta menunjuk keningnya
juga, "Ada yang bilang... Whether you believe you can or whether you believe
you can't... you're absolutely right!"
" Keren... quote-nya. siapa tuh, Ta?
"Henry Ford!"
"Oh...."
Zafran tersenyum ke teman-temannya. "Yang penting kita tau dan yakin
atas keinginan kita masing-masing dan selalu percaya pada keyakinan kita
itu."
"Sama, Dinda juga entah kenapa keinginan Dinda kuat banget sampe ke
puncak. Walaupun capeknya nggak ketahan, Dinda terus percaya kalo
Dinda bisa sampe puncak. Kalo fisik, mungkin udah habis, tapi
kepercayaan Dinda nggak ada habisnya."
"Apalagi waktu lo ilang di hutan ya, Ta?" Arial menatap Genta.
"Hah? Lo pernah ilang di mana, Ta?"
"Sori, gue belum pernah cerita ya."
"Terakhir gue ke Mahameru, gue kan ilang seharian di hutan sehabis
padang ilalang tadi." "Haaaa?"
"Pantesan kemarin kayaknya panik banget... diem aja, untung ada gajah
bledug Dufan datang menghibur" "Trus gimana bisa keluar?"
"Waktu itu badan gue udah capek banget. Makanan dan minuman udah
habis... tapi di sini gue tetap yakin kalo gue bisa selamat dan keluar dari
hutan ini."
"Lo nggak takut, Ta?"
"Sumpah, itu takut yang paling takut sepanjang sejarah. Sendirian malammalam di hutan, tapi akhirnya gue tetapkan hati gue kalo gue nggak boleh
takut. Akhirnya, gue ambil rasa takut itu dari kepala gue, terus gue taruh di
telapak tangan gue. Pokoknya, gue liatin dan gue pelototin rasa takut itu
sampe rasa takut itu akhirnya takut sendiri sama. gue... dan rasa takut itu
akhirnya pergi."
"Itu namanya Kecerdasan Emosional, Intrapersonal skills.
Perseverance,"*(Keteguhan tekad) ujar Ian.
"Apaan tuh?" tanya Genta.
"Pokoknya berarti EQ, lo nggak jongkok."
"Maksudnya?" Genta belum ngerti.
"Ntar baca aja skripsi gue."
360
"Trus, trus...."
"Ya udah, gue terus aja jalan, jalan, dan jalan. Gue terus pelihara keyakinan
gue. Gue terus bilang kalo gue nggak bisa nyerah. Akhirnya gue tiba di
Kalimati dan ketemu rombongan... Alhamdulillah. Itu gara-gara gue terus
tetapkan kalo gue nggak bisa nyerah."
"Nggak mau nyerah," ujar Zafran.
"Bukan nggak mau nyerah, tapi nggak bisa nyerah. Kalo kita bilang nggak
mau nyerah berarti ada kemungkinan kita mau nyerah. Tapi kalo lo udah
bilang lo nggak bisa nyerah... sepertinya itu kata terakhir."
"Gue nggak mau nyerah... karena gue nggak bisa nyerah...."
"Iya juga ya."
Arial tertunduk memandang api unggun di depannya. "Gue juga waktu
tepar di atas sana badan rasanya udah dingin banget, tapi entah kenapa,
gue masih percaya kalo gue bisa sampai puncak Walaupun nggak ada
buktinya, gue tetep percaya."
Zafran menatap ke nyala api dan berkata, "Our greatest glory is not in
never f ailing... but in rising every time we fall."
"Keren!"
"Siapa tuh, Ple?"
"Confucius."
"Gue setuju banget tuh."
'Jadi kalo kita yakin sama sesuatu, kita cuma harus percaya, terus berusaha
bangkit dari kegagalan, jangan pernah menyerah dan taruh keyakinan itu
di sini...." Zafran meletakkan telunjuk di depan keningnya.
"Betul... banget Taruh mimpi itu di sini...," Genta melakukan hal yang sama.
'Juga keinginan dan cita-cita kamu," ujar Arial.
"Semua keyakinan, keinginan, dan harapan kamu...," Riani berkata pelan.
361
"Taruh di sini...," Dinda ikut meletakkan telunjuk di depan keningnya.
Muka Ian tampak menyala, matanya mengkilat diterangi cahaya api
unggun. "Betul! begitu juga dengan mimpi-mimpi kamu, cita-cita kamu,
keyakinan kamu, apa yang kamu mau kejar taruh di sini." Ian membawa
jari telunjuknya menggantung mengambang di depan keningnya..
"Kamu taruh di sini... jangan menempel di kening.
Biarkan... dia..
menggantung...
mengambang...
5 centimeter...
di depan kening kamu...."
'Jadi dia nggak akan pernah lepas dari mata kamu. Dan kamu bawa mimpi
dan keyakinan kamu itu setiap hari, kamu lihat setiap hari, dan percaya
bahwa kamu bisa. Apa pun hambatannya, bilang sama diri kamu sendiri,
kalo kamu percaya sama keinginan itu dan kamu nggak bisa menyerah.
Bahwa kamu akan berdiri lagi setiap kamu jatuh, bahwa kamu akan
mengejarnya sampai dapat, apa pun itu, segala keinginan, mimpi, cita-cita,
keyakinan diri...."
"...Biarkan keyakinan kamu, 5 centimeter menggantung mengambang di
depan kening kamu. Dan... sehabis itu yang kamu perlu... cuma...."
"Cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan
berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama
dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas."
"Lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja...."
"Dan hari yang akan bekerja lebih keras dari biasanya...."
362
"Serta mulut yang akan selalu berdoa..."
"Dan kamu akan selalu dikenang sebagai seorang yang masih punya mimpi
dan keyakinan, bukan cuma seonggok daging yang hanya punya nama.
Kamu akan dikenang sebagai seorang yang percaya pada kekuatan mimpi
dan mengejarnya, bukan seorang pemimpi saja, bukan orang biasa-biasa
saja tanpa tujuan, mengikuti arus dan kalah oleh keadaan. Tapi seorang
yang selalu percaya akan keajaiban mimpi keajaiban cita-cita, dan
keajaiban keyakinan manusia yang tak terkalkulasikan dengan angka
berapa pun.... Dan kamu nggak perlu bukti apakah mimpi-mimpi itu akan
terwujud nantinya karena kamu hanya harus mempercayainya."
"Percaya pada... 5 centimeter di depan kening kamu."
363
Sepuluh
Spectacular... Spectacular...
...yang bisa dilakukan seorang makhluk bernama manusia terhadap
mimpi-mimpi dan keyakinannya adalah mereka hanya tinggal
mempercayainya...
Sekali lagi, seribu kali lagi, sejuta kali lagi, CINTA.
Satu satu mereka masuk ke dalam tenda, kelelahan yang sangat membuat
mereka terlelap cepat. Genta dan Riani masih ingin menikmati malam yang
indah di Ranu Kumbolo. Mereka berdua duduk berdekatan di depan api
unggun. Bintang-bintang bertebaran, bulan yang putih bersih tampak di
permukaan danau.
Genta melihat rasi bintang Riani terpantul di permukaan Ranu Kumbolo.
Genta sudah meyakinkan dirinya, Genta harus bilang sama Riani malam
ini kalau rasi bintang Riani adalah yang paling indah yang ingin Genta
bawa ke setiap malam di hatinya. Fly me to the Moon-nya. Frank Sinatra
bersenandung pelan di bibir Genta.
Fly me to the moon
and let me play among the star
Let me see what spring is like on Jupiter and Mars
364
In others words, hold my hand In other words, baby kiss me
Fill my heart with song... and let me sing forever more You are all I long for...
all I worship and adore
In other words please be true In other words, I love you
"Hi Genta nyanyi... Sinatra ya, Ta?" Riani tersenyum dan menoleh ke Genta,
Genta mengangguk- sedikit rambut Riani yang jatuh di antara keningnya
membuat rasa yang lain di hatinya. Genta bisa melihat kilatan bintangbintang di kacamata Riani.
"Thanks ya, Ta, buat ini semua."
Genta mengangguk, matanya memandangi api unggun yang mulai
mengecil, keremangan tempat itu membuat suasana menjadi indah.
"Kita sering banget berduaan begini ya, Ta?" "Iya...."
"Seperti bapak sama ibunya anak-anak. Yang lain udah pada tidur, kita
masih sering ngobrol berdua," ujar Riani lembutGenta langsung menoleh ke Riani yang masih melihat bintang di atas sana.
Hati Genta berdesir... memang ini saatnya Riani memandang ke langit-ada
sesuatu yang ingin dia curahkan ke Genta.
Genta menarik napas panjang, mengumpulkan keberaniannya. Jari-jarinya
menarik-narik rumput liar di antara kakinya. Genta menoleh ke tenda
tempat keempat temannya telah tertidur lelap.
Dan... helaan napas panjang pun terdengar jelas. Genta me ngeluarkan
suara lembut hampir tak terdengar, menyebut nama
36T.
makhluk di sebelahnya yang wajahnya tak kenal lelah memenuhi pikiran
Genta. "Riani...."
Dan... kata-kata tumpah saat itu juga, penuh dengan cipratan-cipratan
keindahan dan argumen lembut mengalir deras dipeluk malam yang
sangat indah bagi mereka berdua di Ranu Kumbolo. Malam itu sebuah
rahasia besar bagi seorang anak manusia terucap dalam kata-kata,
mengalir indah penuh dengan keyakinan dan janji-janji manusia
mengalahkan kekuatan waktu.
Bintang-bintang bersinar terang. Bulan pun kembali tersenyum, sambil
menitikkan air mata bahagia. Senyum yang manis penuh dengan
pertanyaan, tidak tahu harus berkata apa. Sebuah keindahan cinta telah
datang kembali malam ini.
Riani yang semenjak tadi mendengarkan, menoleh lembut ke Genta,
matanya berkaca-kaca, tangannya lembutnya memegang erat tangan
Genta.
"Terima kasih, Ta."
"Tapi... bukan... kamu, Ta."
Genggaman tangan Riani semakin keras, membuat Genta tidak percaya
pada apa yang dikatakan Riani. Dengan jujur, kata-kata kembali tumpah
di bibir lembut Riani. Dengan sabar dia ceritakan semuanya malam itu ke
Genta yang sudah Riani anggap lebih dari seorang sahabat. Seorang
sahabat terbaik yang pasti sangat mengerti Riani. Riani terus bercerita
penuh kelembutan, terus bercerita, dan nama seorang sahabat pun
terucapkan di situ.
"Dia... Zafran, Ta."
Mata Genta membesar tak percaya, Genta tersenyum lembut, kekecewannya
luluh melihat kekuatan Riani selama ini melawan semua rasanya ke Zafran.
Mata Riani sudah berkaca-kaca, tetapi tak ada sedikit pun air mata
menetes. Entah kenapa
366
kekecewaan Genta malam itu seperti hilang begitu saja Melihat bagaimana
kekuatan di mata Riani berbinar-binar bercerita tentang segala rasanya
untuk Zafran, segala impiannya, segala tingkah laku Zafran yang selalu
bisa membuat Riani tersenyum... Genta belum pernah melihat Riani
sebahagia itu. Keduanya melewati malam yang indah bertaburan bintang
di Ranu Kumbolo.
Genta menunjuk ke rasi bintang yang dibuatnya untuk Riani. Rasi bintang
yang paling indah buat Genta. Riani menceritakan bagaimana Zafran
sering berpuisi sok tahu khas Zafran, tentang bintang-bintang yang
membuat mereka tertawa lepas. Malam itu keduanya bahagia sekali. Genta
tidak pernah melihat Riani sebahagia itu dan bagi Genta itu sudah cukup...
sangat cukup. Semua bebannya selama ini yang tidak terkatakan ke Riani
seperti lepas, dan yang membuat Genta bahagia adalah akhirnya dia masih
punya kesempatan dan belum terlambat untuk menyatakan segala
perasannya ke Riani. Itu adalah sebuah anugerah dari cinta yang tak
terkatakan. Bagi Genta, itu sudah cukup. Riani tidak menitikkan setetes air
mata walaupun matanya berkaca-kaca, kekuatan Riani telah meluluhkan
Genta. Genta dan Riani tidak akan pernah melupakan malam yang indah
ini di hati mereka selamanya Sebuah cinta memang harus diungkapkan
karena tidak pernah ada cinta yang disembunyikan, kecuali oleh seseorang
yang terlalu mencintai dirinya sendiri.
Mata Zafran terpejam, tapi ia masih mendengar degup di dadanya
memukul-mukul semakin cepat Semua percakapan tadi dia dengar,
bagaimana Riani dengan lembut menyebut namanya, ia memejamkan
matanya menarik napas panjang, melihat wajah Arinda yang lembut
tertidur di bahu Arial. Hati Zafran masih di situ, di antara senyum lembut
Arinda yang selalu mengisi hari harinya selama ini. Zafran menggelenggelengkan kepalanya, menyesal telah berkelakuan terlalu terus
367
terang, tentang perasaannya kepada Arinda di depan Riani yang rupanya
menyimpan ukiran rapi nama Zafran di hatinya. Cinta memang bukan
untuk dimiliki.
Arinda masih terpejam tapi tidak hatinya, tidak pendengarannya. Ia
langsung memeluk erat abangnya saat mendengar aliran lembut kata-kata
Genta. Malam itu, dalam pelukan abangnya Dinda mencoba terlelap, tidak
mau mendengar lebih banyak lagi. Selama ini hati Arinda tulus sudah ia
serahkan untuk Genta, selalu untuk Genta...tidak ada yang lain... cuma
Genta.
Dan, cinta sekali lagi membuktikan kekuatannya malam itu kalau cinta ada
untuk cinta itu sendiri, bukan untuk dimiliki, bukan untuk Genta, bukan
untuk Dinda, bukan untuk Riani, bukan untuk Zafran. Cinta memang ada
untuk dicintai dan diungkapkan sebagai sebuah jembatan baru ke
pelajaran-pelajaran kehidupan manusia selanjutnya. Cinta yang akan
membuat manusia lebih mengerti siapa dirinya dan siapa penciptanya. Dan,
dengan penuh rasa syukur akhirnya manusia menyadari bahwa tidak
ada cinta yang paling besar di dunia ini kecuali cinta Sang Pencipta kepada
makhluknya. Tidak pernah ada cinta yang bisa dimiliki oleh manusia,
kecuali cinta dari Sang Pencipta-yang tidak pernah berpaling dari manusia
dan selalu mencintai makhluk terbaik ciptaan-Nya. Sang Pencipta tidak
pernah memberikan apa yang manusia pinta, seperti cinta... Ia memberi
apa yang manusia butuhkan.
SEPULUH TAHUN KEMUDIAN
Minggu pagi di Secret Garden.
"Arian!!! jangan cabut tanaman... Papa nggak suka...."
Arial menggendong buah hatinya yang baru berumur lima tahun. Arian
memukul-mukul perut papanya yang mulai terlihat besar,
368
Mama Arian tampak mendatangi mereka. "Tuh Mama ngomel," ujar Arial.
"Kok belum pada dateng ya, Ma?" "Tuh...!"
"Japlan...!!!" Arian berteriak senang. "Alian!" seorang anak kecil berambut
gondrong berteriak gembira mendatangi mereka.
Arial menurunkan Arian dari pangkuannya. "Sana main sama Zafran."
"Zafran, benderanya Om Ial pegang ya, jangan sampai jatuh." Zafran
mengangguk, memberikan bendera kain merah putih ke Arial.
"Jaga sepelti om, jaga dili om sendili." "Hahaha... persis bapaknya" "Sana
main berdua"
"Jangan nakal ya..," Indy membelai lembut rambut Arian, harta paling
berharga di dunia yang ia miliki. "Iya...," Arian mengangguk. "Wooi
Rambo...apa kabar /o?"
Zafran menepuk bahu Arial. Badannya sudah membesar, Zafran nggak
kurus lagi. "Baik, baik! He... Ple."
Arial geleng-geleng kepala. "Anak lo... lo apain? Kecil-kecil sok bersyair."
"Hahaha..Zafran Junior nggak jauh sama seniornya."
"Bini lo mana?" tanya Arial.
"Tuh!
"Ya ampun Juple... udah isi lagi?" "Achilles memang tokcer... hahaha...,"
Zafran tertawa keras. "Mama! ada Zafran nih sama mamanya Zafran,"
Arial berteriak keras memanggil Indy, meski bingung dengan kalimatnya.
Indy tersenyum manis menghampiri.
"Ya ampun... mamanya udah isi lagi. Lo apain Juple?"
"Halo Indy... apa kabar?''
"Baik, baik... ya ampun Juple... cewek? Cowok?"
"Belum ketauan, masih kecil gitu, mudah-mudahan cewek." Zafran
memegang-megang perut istrinya.
Arial merangkul Zafran dan berujar, "Kalo cewek jangan dinamain Riani
junior juga, nggak kreatif amat sih lo."
"Nggak akan lah... papanya emang geblek dari dulu," ujar Riani sambil
membelai perutnya, tersenyum manis ke Arial dan Indy.
"Kalo cowok lagi... gue namain Achilles." "Nggak boleh," Riani mencubit
perut Zafran yang sudah mulai membuncit. "Iya iya,..."
"Genta mana, Ple?" tanya Arial
"Tadi kayaknya udah dateng. Di depan kali, lagi ngobrol sama nyokap lo."
"Alian! Japlan!"
"Nah tuh jagoannya Genta!"
Sesosok anak kecil berambut tipis berlari kencang mendekati Arian dan
Zafran Jr. "Aga!. cini!"
"Udah dong mainnya kan halus latihan buat besok." Aga mendekati temantemannya dan menarik tangan mereka.
"Iya... udah ya mainnya!" "Yuk."
Arian dan Jr pun nurut sama Aga.
"Hahaha... sumpah, Genta banget," Zafran tertawa keras.
"Halo semua,..." Genta mendatangi mereka.
370
"Genta, perut lo?" Arial dan Zafran terkaget-kaget melihat Genta.
"Hahaha...tau nih, mamanya jago ngurus suami." Genta merangkul istrinya
yang tersenyum manis. "Halo semua..." "Citra apa kabar?" "Baik, baik...."
"Riani sih nggak usah nanya kabar sama Citra, tiap hari ketemu di kantor,
hari Minggu ketemu lagi di sini," kata Indy yang sedang membawa nampan
penuh minuman.
"Hahaha...."
"Eh Dinda lagi di sini!" ujar Indy. "Oh... ya?"
"Ya ampun, kangen gue sama Dinda," Riani langsung berdiri dan
melongok ke dalam rumah.
"Mana, mana?" Riani bertanya-tanya.
"Paling lagi di dapur... lagi masak. Sepertinya sih sama nyokap."
"Sama Deniek?" tanya Genta.
"Iya...."
"Tuh Deniek."
Deniek tampak menghampiri mereka, kedua tangannya menggendong
seorang anak perempuan berumur tiga tahun dengan pipi tembem
menggemaskan.
"Halo semua... apa kabar?" Deniek tersenyum. Kumis tipis sekarang
menghiasi wajahnya.
"Baik, baik... udah punya momongan sekarang, Niek?"
"Iya dong?"
"Aduh lucu banget, siapa namanya, Niek?" "Deninda."
"Oh Deniek dan Arinda."
371
"Tuh Pa, kasih nama kayak gitu, masa Zafran lagi, Achilles... lah," Riani
menepuk bahu Zafran.
"Konsekuensi kawin sama artis emang gitu Mama-sayang," Zafran
merangkul Riani mesra,
"Kapan datang dari Surabaya, Niek?"
"Tadi malam. Mamanya Deninda kangen sama ibunya."
"Halo semua," sosok Arinda mendatangi mereka.
"Pa kabar Mbak Riani?" Dinda memeluk Riani erat.
"Citra...."
"Bang Genta, Bang Zafran."
"Halo Dinda... Pa kabar?"
"Baik, baik," Dinda tersenyum manis.
"Halooo semua..." Keluarga Ian datang memakai baju seragam merah
dengan tulisan besar di depannya. Baju Ian bertuliskan Ayah Ian, baju
anaknya yang gembul bertuliskan nanda David, dan Istri Ian yang tampak
cantik hari itu memakai baju bertuliskan Bunda Happy.
"Halo Mama Salma."
"Pa kabar?"
"Baik, baik... kalian?"
"Baik."
David langsung lari menemui keempat teman TK-nya.
"Alo... cemua."
"Eh ada Dapid."
"Alo... aga."
"Alo...Japlan."
"Alo... Alian."
"Alo Dapid."
"Yuk udah cemua dateng... latian yuk...," Aga berkata polos kepada keempat
temannya."
Keempatnya langsung berteriak lantang, "Udah! Mau latihan!"
372
"Iya, iya... SMA satu sekolah, nongkrong bareng, punya anak, TK-nya
bareng... Pusing, pusing, kapan gue bisa lepas dari lo semua? Hahaha..."
"Hahaha..."
"Achilles ngomel," Genta geli melihat Zafran.
"Lo inget nggak? Dulu waktu kita nongkrong di sekolah, kita ngayal nanti
kalo udah punya anak, kayak gimana yah? Bayangin anak kita masingmasing pada bercanda kayak bapaknya... pasti ancur."
"Ini kejadian!"
"Hahaha..."
"Tiangnya mana?"
"Tuh, udah dipasang... nih benderanya!"
Aga sebagai inspektur upacara berteriak keras sekali. "Upacala bendeya
hawli cenen.... Pengibayan cang caka meyah pyutih."
"Ssst... sst," semuanya terdiam menahan senyum melihat latihan upacara
buah hati mereka.
"Zafran Junior, Arian, dan David tampak berbaris sesuka-suka mereka,
mendekati tiang bendera.
"Arian... bisa nggak pasang talinya?" Arial berteriak agak keras ke anaknya.
"Sst, biarin aja, Pa."
Dan, ssrt... bhet...
Zafran Junior menarik keras kain Sang Saka Merah Putih. "Bendeyaaaa
ciaaaap...."
Genta, Arial, Riani, Zafran, Ian, Dinda, dan Deniek saling berpandangan,
suara tarikan bendera tadi sangat familiar terdengar di telinga mereka. Aga
berteriak keras lagi.
373
"Kepayda cang caka meyah pyutih holmaaaaat... glak!" Semua di situ
mengangkat tangannya, memberi penghormatan kepada Sang Saka Merah
Putih.
Indonesia tanah airku...
Tanah tumpah darahku...
Di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku
bangsa dan tanah airku
Marilah kita berseru Indonesia bersatu...
Indonesia Raya kembali berkumandang memenuhi hati mereka Puncak
Mahameru serasa kembali di penglihatan, bendera yang naik merambat
diiringi kepulan asap Mahameru masih membekas di hati mereka. Malam
di Ranu Pane, malam di Arcopodo, malam di Ranu Kumbolo.
Riani dan Dinda berkaca-kaca melihat pemandangan di depannya. Deniek
tampak khidmat melihat kain bendera yang perlahan naik. Sebuah
teriakan mengagetkan mereka. "Papa... Mama... Om, Tante... yang kelas
dong nyanyinya... nggak ke-dengelan."
"Iya, iya...," sekumpulan orang tua itu tersenyum bahagia.
Hiduplah tanahku hiduplah negriku Bangsaku rakyatku semuanya
bangunlah jiwanya...
bangunlah badannya untuk Indonesia raya
Genta tak berkedip memandang Sang Saka Merah Putih yang berkibar
lembut. Senyumnya tampak mengembang puas melihat anaknya dengan
gagah dan mata terpicing memberi hormat, diterangi sinar matahari pagi.
374
Arial, Ian, dan Zafran memandang penuh khidmat kulit bendera yang
melambai-lambai di antara sinar matahari pagi Tangan tangan kecil buah
hati mereka perlahan-lahan menarik Sang Dwi Warna ke puncaknya.
Pemandangan yang membual mereka sekak lagi melihat langit dan
berterima kasih.
Indonesia raya... merdeka merdeka... Tanahku negriku yang tercinta...
Indonesia raya merdeka merdeka... Hiduplah Indonesia raya...
"Tgaaaap...! Glak..."
"Hole hole hole bicaaa... bica bica... bica... hole hole...."
Keempat anak kecil lucu itu melonjak-lonjak gembira David tiba-tiba
berlari kencang sekali menuju dapur. Ian langsung berlari, mengejar
anaknya.
"Kenapa tuh si David?"
"Ayah David yah...Bunda Happy berteriak panik."
"Daviiid...!!!" Ian mengejar anaknya
David kembali dengan membawa sebungkus Indomie.
"Hahaha...."
"Bapak sama anak sama aja."
"Hore... hebat anak Papa," Genta membelai rambut Aga lembut "Berarti
besok Senin nggak takut lagi dong." Arial ikut
berbicara melihat keempat anak kecil yang masih berdiri polos. "Tapi kan
banyak oyang, takut," David melihat polos ke
ayahnya.
"Ada bu guyu lagih," Zafran Junior tertunduk, memainkan rumput di
kakinya.
375
"Tapi kamu harus yakin bisa ya!" Zafran membelai rambut anaknya yang
malah terdiam bingung.
Keempat anak kecil itu saling bertatapan bingung. "Kalo calah dimalahin
bu guyu."
Zafran melihat keempat anak kecil itu. "Kalo Papa sama Om, Tante yang
ada di sini sih percaya kalian bisa."
"Iya? Dali mana Papa tau?" Zafran Junior melihat papanya bingung.
"Pokoknya Papa tau kalian bisa."
"Benel?"
Zafran menarik napas dan melanjutkan, "Iya...sekarang kalian bayangin,
kalian hari Senin bisa naikin bendera, terus semuanya mulai dari Bu Guru
dan teman-teman...."
"Tukang es klim...."
"Iya tukang es krim."
"Copil jemputan...."
"Iya, sopir jemputan juga. Pokoknya semuanya tersenyum waktu
benderanya udah sampai ke puncak tiang. Mereka tersenyum senang sama
kalian, coba kalian bayangin."
"Merem!"
Keempat anak itu memejamkan matanya dengan keras. Wajah mereka
terlihat lucu sekali. "Buka!" "Udah!!!"
"Gimana rasanya?" "Ceneng banget."
Ian ikut membantu Zafran... "Nah sekarang taruh perasaan itu di sini. Di
depan kening kalian.... Jangan pernah kalian lepas. Sekarang latihan lagi...
latihan terus... oke?"
"Oke... ciip."
376
"Hole... hole...." "Cepet...."
"Ayo! Ambil bendeyanya."
Keluarga besar itu berkumpul di bungalow Secret Garden, memandang
anak-anak mereka yang terus berlatih menaikkan Sang Saka Merah Putih.
Angin pagi dan hangatnya sinar matahari menambah teduh suasana hati.
"Kalau sudah besar, mereka harus jadi orang yang bisa membuat orang lain
bisa bernapas lebih mudah... lebih lega... karena ada mereka di situ."
"Amin...."
Riani dan Dinda memejamkan matanya. Sekarang mereka sudah menjadi
seorang ibu. Entah kenapa setiap berdoa mereka merasakan sesuatu yang
lain, merasa dekat dan percaya kalau doa mereka selalu didengar setiap
saat setiap doa. Bungalow Secret Garden hari itu penuh dengan doa, mimpi,
dan keyakinan tulus di hati anak manusia.
"Ta...."
"Iya, Yan."
"Lo selalu pake 5 centimeter?" "Selalu...." "Gue juga" "Sama... gue juga."
"Sama, gue juga" "Selalu...."
"Sama... dan gue percaya itu." "Nggak pernah gue lepas." "Nggak pernah
ilang."
377
"Setiap kamu punya mimpi atau keinginan atau cita-cita, kamu taruh di
sini, di depan kerangkamu... jangan menempel. Biarkan...." "Dia...."
"Menggantung...." "Mengambang...."
"5 centimeter... di depan kening kamu...."
"Jadi dia nggak akan pernah lepas dari mata kamu."
Tarikan napas panjang jelas terdengar di antara mereka....
"Ada yang pernah bilang kalo idealisme adalah kemewahan terakhir yang
dimiliki oleh generasi muda."
"kita udah buktiin kalo pendapat itu salah."
Semuanya saling pandang dan tersenyum hangat satu sama lain,
kehangatan keluarga di minggu pagi dalam bungalow Secret Garden pun
menjauh... terbang ke langit biru, ke langit yang masih sama sepuluh tahun
yang lalu di antara kegagahan Mahameru.... Masih sama dengan indahnya
keajaiban mimpi-mimpi dan tekad mereka. Sebuah keyakinan yang tidak
akan pernah padam.
Belum pernah ada bukti-bukti nyata dalam angka dan kalkulasi yang bisa
dipecahkan oleh ilmu pengetahuan tentang bagaimana keajaiban sebuah
mimpi dan keyakinan bisa membuat begitu banyak perbedaan yang bisa
mengubah kehidupan manusia. Belum pernah ada. Hanya mimpi dan
keyakinan yang bisa membuat manusia berbeda dengan makhluk lain.
Hanya mimpi dan keyakinan yang membuat manusia sangat istimewa di
mata Sang Pencipta. Dan, yang bisa dilakukan seorang makhluk bernama
manusia terhadap mimpi-mimpi dan keyakinannya hanya mereka tinggal
mempercayainya.
Untuk mereka yang masih belum percaya-walaupun manusia tidak akan
pernah bisa memutar kembali waktu untuk mengulang kembali semuanya
dari awal-Tuhan telah memberikan ke378
bebasan bahwa setiap manusia bisa memulai kembali semuanya dari
sekarang, untuk membuat akhir yang baru, akhir yang lebih indah.
Bangsa yang besar ini juga harus punya mimpi....
Terima Kasih
Biografi Singkat
Donny Dhirgantoro lahir di Jakarta 27 Oktober 1978. Sulung dari empat
bersaudara ini menghabiskan seluruh waktunya dari kecil hingga besar di
Jakarta. Menyelesaikan masa-masa putih abu-abu di SMU 6 Jakarta,
sekolah yang sampai saat ini masih dibanggakan karena kenangankenangan yang menyenangkan dan tak terlupakan. Kegemaran menulis
dan membaca sudah ada semenjak mulai bisa menulis dan membaca,
konon hal ini akibat sang Papa meletakkan banyak buku di sekitar ari-ari
putra sulungnya.
Kegemaran menulis pernah mengantarnya menjadi juara pertama lomba
menulis dan membaca puisi yang diselenggarakan salah satu instansi
pemerintah. Salah satu kenangan tak terlupakan di sekolah adalah ketika
gurunya tak percaya bahwa dirinya sudah berhasil menulis puisi.
Sementara, di lingkungan tempat tinggalnya ia dipercaya menjadi ketua
karang taruna selama enam tahun berturut-turut, dengan alasan: karena
bisa nulis proposal.
Selepas SMU, ia melanjutkan studi di STIE Perbanas Jakarta dan ikut aktif
dalam segala kegiatan kampus. Pengalaman gagal mendapatkan beasiswa
pada salah satu kegiatan pelatihan kampus tidak membuatnya putus asa,
tetapi pada tahun berikutnya justru mengantarnya menjadi ketua
penyelenggaranya. Bersama teman-teman lain, ia berhasil mendapatkan
beasiswa bagi peserta pelatihan, bahkan kadang-kadang tanpa diduga ia
sering mendapat beasiswa dari kampus. Saat-saat terbaik sebagai
mahasiswa adalah ketika bergabung dalam barisan menegakkan reformasi
tahun 1998, yang membuatnya bangga menjadi bagian dari bangsa yang
besar ini.
Selain maniak film dan fotografi, bertualang ke alam terbuka adalah hobi
yang paling disukainya, sekaligus penyembuh dari otaknya yang selalu
minta berpikir keras-yang membuat orang baru pertama ketemu pasti
terjebak dalam persepsi: "ini orang tipe pemikir dan cool" atau "ini orang,
gila ya...?".
Setelah lulus kuliah ia sempat berpindah-pindah tempat kerja untuk terus
mencari bentuk pekerjaan yang tepat dan cocok, sebelum akhirnya tercatat
sebagai seorang Instructor/Trainer di salah satu perusahaan Konsultan
Sumber Daya Manusia di Jakarta.
5cm.dreams@gmail.com