Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
PENETAPAN TERSANGKA OLEH KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI PERKARA NO. 21/PUU-XII/2014 Oleh; Abdul Rauf Alauddin Said & Syaputra raufalauddin@gmail.com, MIH Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 2015 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia merupakan Negara hukum, hal tersebut termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk  menegakkan kebenaran dan keadilan, dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan (akuntabel). Olehnya semua tindakan dan tingkah laku masyarakat harus sesuai dengan kaidah-kaidah hukum. Fajlurrahman Jurdi, Komisi Yudisial, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2007, Hlm. 1. Hal itu sebagai cerminan dari adanya kehidupan demokrasi yang mengharuskan setiap negara untuk menghormati hak-hak kemanusiaan, sebagai perjanjian sosial terhadap kepatuhan masyarakat dalam suatu negara hukum. Dalam pengertian yang sangat sederhana, bahwa di negara hukum itu tidak ada warga negara yang berada di atas hukum dan karenanya semua warga negara harus patuh terhadap hukum, oleh karena itu hukum harus bersifat memaksa dan berlaku kepada siapa saja. Tidak ada yang kebal hukum, biarpun dia sebagai pembuat hukum. Sifat paksa dari hukum itu harus dilakukan oleh perangkat negara dengan pengetahuan dan justifikasi peraturan. Ibid, Hlm. 16. Menurut Lemaire Lemaire dalam P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1997, Hlm. 2., ilmu pengetahuan hukum itu merupakan nama dari berbagai ilmu pengetahuan yang semuanya mempelajari hukum dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Dikatakan lebih lanjut bahwa ilmu pengetahuan hukum terutama untuk bermaksud memahami hukum positif atau hukum yang sedang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu (ius contitutum). Salah satu hukum positif yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidanaatau yang lebih lazim disebut dengan KUHAP. Hukum acara pidana dibuat dengan tujuan untuk mencari kebenaran dan keadilan melalui pedoman-pedoman yang tertulis dan memberikan jaminan terhadap penegakan hukum pidana materil untuk mendapatkan kepastian hukum. Bismar Siregar, Hukum Acara Pidana, Bina cipta, Jakarta, 1983, Hlm. 46. Hal ini tentu saja sangat berkesesuaian dengan prinsip yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 mengenai indonesia sebagai negara hukum. Hukum acara pidana yang memuat tentang pedoman-pedoman penegakkan hukum pidana materil menurut Subekti, Subekti, Dasar-Dasar Hukum dan Keadilan, Soeroengan, Jakarta, 1955, Hlm. 107. hukum acara pidana harus mengatur; 1) cara-cara mendapatkan keterangan-keterangan tentang suatu tindak pidana, untuk mengetahui siapa si pembuatnya dan keadaan-keadaannya dalam mana perbuatan itu telah dilakukan, 2) cara-cara membuat dan menyelesaikan surat-surat pemeriksaan permulaan, 3) cara-cara menuntut tersangka ke muka hukum, 4) bagaimana dilakukannya pemeriksaan di muka sidang pengadilan hingga hakim itu mencapai putusannya, 5) bagaimana menjalankan putusan itu. Dalam penegakkan hukum pidana materiil melalui hukum acara pidana, ada beberapa asas-asas yang dianut untuk melindungi keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai objek dari penegakkan hukum acara pidana. Adapun asas-asas tersebut adalah: Sigid Riyanto, Perlindungan Hukum Tersangka Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Umum, Laporan Hasil Penelitian, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2001, Hlm. 1-2. Perlakuan yang sama di muka hukum, tanpa diskriminasi apapun. Praduga tak bersalah. Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi. Hak untuk memperoleh bantuan hukum. Hak untuk hadir di muka peradilan. Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana. Peradilan yang terbuka untuk umum. Pelanggaran terhadap hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah secara tertulis (kecuali tertangkap tangan). Hak tersangka/terdakwa untuk diberitahukan tentang apa yang disangkakan/didakwakan kepadanya. Pengadilan wajib untuk mengendalikan (mengawasi) pelaksanaan putusan yang dijatuhkan. Bersumber dari asas praduga tak bersalah, maka jelas dan wajar bila tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana wajib mendapatkan hak-haknya. Ini berarti setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. S. Tanusubroto, Peranan Pra Peradilan Dalam Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung, 1983, Hlm. 1. Sesuai dengan tujuan KUHAP yang memberi perlindungan hak-hak asasi dalam keseimbangan dengan kepentingan umum maka dalam KUHAP ada yang disebut Praperadilan yang dimana tersangka dilindungi dalam pemeriksaan pendahuluan terhadap tindakan-tindakan aparat penegak hukum yang melanggar hukum dan merugikan tersangka. Ibid. Dengan adanya penetapan seorang tersangka yang harus didasarkan atas bukti permulaan seperti sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 angka 14 KUHAP, disamping itu Praperadilan juga berfungsi sebagai alat kontrol dari penyidik terhadap penyalahgunaan wewenang yang diberikan kepadanya. Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2009, Hlm. 193. Sebelumnya diketahui bahwa dalam menetapkan seseorang itu sebagai tersangka, pada dasarnya pihak kepolisian hanya menggunakan “bukti permulaan” dengan digandeng asas presumption of guilt. “Bukti permulaan” yang dimaksud dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP tidak hanya sebatas alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP, tetapi juga dapat meliputi barang bukti yang dalam konteks hukum pembuktian universal dikenal selaku physical evidence atau real evidence. Unjuk bukti menakar “bukti permulaan” tak dapat terlepas dari pasal yang akan disangkakan kepada tersangka. Pada hakikatnya, pasal yang akan dijeratkan berisi rumusan delik yang dalam konteks hukum acara pidana berfungsi sebagai unjuk bukti. Artinya, pembuktian adanya tindak pidana itu haruslah berpatokan pada elemen tindak pidana yang ada dalam suatu pasal. Untuk mencegah kesewenang-wenangan penetapan seseorang sebagai tersangka atau penangkapan dan penahanan, setiap “bukti permulaan” haruslah dikonfrontasi antara satu dan lainnya, termasuk pula dengan calon tersangka. Mengenai hal terakhir ini, KUHAP tidak mewajibkan penyidik memperlihatkan bukti yang ada padanya kepada si tersangka. Namun, berdasarkan doktrin, hal ini dibutuhkan untuk mencegah apa yang disebut persangkaan yang tak wajar. OS Hiariej, Eddy, Menyandera Dengan Status Tersangka, www.print.kompas.com. Juli 2015 Seringkali penetapan tersangka mencederai hak yang dimiliki oleh seseorang tersebut, oleh karena itu untuk melindungi hak-hak tersebut, maka munculah suatu norma baru yang dilahirkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 yang amar putusannya sebagai berikut: Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014. Frasa“bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”,dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan pasal 21ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (LembaranNegaraRepublik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”,dan “bukti yang cukup”adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; Frasa“bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”,dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan; Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (LembaranNegara Republik IndonesiaTahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan; Berdasarkan putusan tersebut, penetapan tersangka yang telah sah menjadi bagian dari objek praperadilan memberikan implikasi tersendiri terhadap penegakan hukum dari institusi kepolisian. Hal ini terkait dengan “bukti permulaan” dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. “Bukti permulaan” dalam KUHAP sendiri tidak diatur secara jelas kompetensinya. Oleh karena itu, implikasi dari ditetapkannya klausul “bukti permulaan” yang wajib dimaknai minimal dua alat bukti yang termaktub dalam Pasal 184 KUHAP, seperti yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, tent u saja sangat mempengaruhi kinerja kepolisian dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Maka dari itu, kami ingin melihat lebih jauh apakah langkah penegak hukum dari institusi kepolisian terbatas, pasca hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas ataukah institusi kepolisian tetap menetapkan seseorang sebagai tersangka dengan menggunakan “bukti permulaan” tidak berdasarkan dua alat bukti. Rumusan Masalah Adapun fokus permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penetapan tersangka oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan dua alat bukti yang sah sebagai syarat dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka pasca putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 21/PUU-XII/2014 ? Tujuan Penelitian. Sehubungan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui, memahami dan menganalisis bagaimana penetapan tersangka oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan dua alat bukti yang sah sebagai syarat dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka pasca putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 21/PUU-XII/2014. Keaslian Penelitian. Penelitianberjudul “Penetapan Tersangka Oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 21/PUU-XII/2014.”Sepanjang penelusuran peneliti, penelitian atas judul tersebut di atas belumpernahdilakukanolehpihak lain. Oleh karenanya Peneliti berkeyakinan bahwa sejauh ini belum ada yang membahas secara spesifik tentang analisis putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas. Manfaat Penelitian. Manfaat yang dapat diambil meliputi manfaat dari segi teoritis maupun manfaat dari segi praktis. Dari penelitian ini juga mencakup kedua manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: Manfaat Teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan digunakan untuk pengembangan ilmu hukum dengan memberi masukan dan sumbangan pemikiran khususnya hukum pidana dan lebih khusus lagi hukum acara pidana. Selain itu hasil dari penelitian ini dapat menjadi wacana untuk melakukan pengembangan dan perbaikan kehidupan berperadilan di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan hukum acara pidana. Manfaat Praktis. Penelitian ini memberikan manfaat terhadap kondisi kekinian hukum acara pidana terkait penetapan tersangka oleh penegak hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia pada umumnya dan penegak hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta pada khususnya. Penelitian ini pula diharapkan dapat menjadi tambahan pemikiran dalam bentuk data sekunder terhadap masalah yang sama. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Asas-Asas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Asas diartikan sebagai dasar patokan hukum yang melandasi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam penerapan penegakkan hukum. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 35. Asas-asas inilah yang menjadi dasar bagi instansi jajaran aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP. Ibid. Dalam hal ikhwal pembuktian, terdapat beberapa asas penting yang melandasi penerapan penegakkan hukum acara pidana. Eddy. O. S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, 2012, hlm. 30. Due Process of Law Due Process of Law diartikan sebagai seperangkat prosedur yang disyaratkan oleh hukum sebagai standar beracara yang berlaku universal untuk mencegah penghilangan atas kehidupan, kebebasan, dan hak milik oleh negara tanpa suatu proses hukum. Ibid. Due Process of Law menghasilkan prosedur dan substansi perlindungan terhadap invidu yang menguji dua hal, yaitu: a) apakah penuntut umum telah menghilangkan kehidupan, kebebasan, dan hak milik tersangka tanpa prosedur; b) jika menggunakan prosedur, apakah prosedur yang ditempuh sudah sesuai dengan Due Process. Ibid. Terkait dengan pembuktian, Due Process of Law memiliki hubungan yang erat dengan masalah bewijsvoering, yaitu cara memperoleh, mengumpulkan, dan menyampaikan bukti sampai ke pengadilan mengenai hal-hal yang formalistik dengan harapan mengesampingkan kebenaran materiil. Ibid, hlm. 31. Di negara-negara yang menjunjung tinggi asas ini, dalam hukum acaranya, perlindungan terhadap individu dari tindakan sewenang-wenang aparat negara mendapat perhatian khusus. Ibid. Presumption of Innocent Presumption of Innocent diartikan sebagai asas praduga tidak bersalah. Artinya, seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan bersalah dan telah mempunyai kekuatan hukum. Ibid, hlm. 33 Dalam eksistesinya, asas ini dapat dijumpai dalam penjelasan umum butir 3 huruf c KUHAP. Dengan dicantumkannya asas praduga tidak bersalah dalam penjelasan KUHAP, dapat disimpulkan bahwa pembuat undang-undang telah menetapkannya sebagai hukum yang melandasi KUHAP dan penegakkan hukum. M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 40. Dalam praktik peradilan, manifestasi asas ini dapat diuraikan lebih lanjut, selama proses peradilan masih berjalan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan mahkamah Agung RI) dan belum memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Lilik Mulyadi, HUKUM ACARA PIDANA normatif,teoritis, praktik, dan permasalahannya, Alumni Bandung, Bandung, 2012, Hlm. 13 Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun dari segi teknis penyidikan dinamakan asas akusatur (accusatory procedure). M. Yahya Harahap, Loc. Cit Prinsip ini menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap pemeriksaan: Ibid. Adalah subjek, bukan sebagai objek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat dan harga diri. Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip ini adalah kesalahan, yang dilakukan tersangka/terdakwa. Kearah itulah pemeriksaan ditujukan. Disisi lain dikenal juga presumption of guilt, bersifat deskriptif faktual yang artinya, berdasarkan fakta-fakta yang ada, si tersangka pada akhirnya akan dinyatakan bersalah. Oleh sebab itu, terhadapnya harus dilakukan proses hukum mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai pada tahap pengadilan. Eddy O. S. Hiariej, Op. Cit, hlm. 34. Asas Legalitas Asas legalitas dalam hukum acara pidana tertuang jelas dalam BAB III Dasar Peradilan Pasal 3 KUHAP, yaitu “peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Asas legalitas mengandung tiga makna, yaitu: a) lex scripta yang berarti bahwa penuntutan dalam hukum acara pidana harus bersifat tertulis; b) lex certa yang berarti bahwa hukum acara pidana harus memuat ketentuan yang jelas; c) lex stricta yang berarti bahwa hukum acara pidana harus ditafsirkan secara ketat. Eddy O. S. Hiariej, Op. Cit, hlm. 36. Kalaupun harus dilakukan penafsiran dalam hukum acara pidana, penafsiran tersebut bersifat restriktif, karena mengingat sifat keresmian dalam hukum acara pidana dan karakternya yang sedikit lebih mengekang hak asasi manusia yang cenderung mengesampingkan kebenaran materiil suatu tindak pidana. Ibid, hlm. 37. Asas Kebenaran Materiil Bahwa dalam pemeriksaan perkara pidana lebih mementingkan pada penemuan kebenaran materiil, aspek materiil yakni suatu kebenaran yang sungguh-sungguh sesuai dengan kenyataannya. H. Syaiful Bakhri, Hukum Pembuktian dalam Praktek Peradilan Pidana, Total Media, Jakarta, 2009, hlm. 235. Asas Keseimbangan Asas ini dijumpai dalam konsideran huruf c yang menegaskan bahwa dalam setiap penegakan hukum harus berdasarkan prinsip keseimbangan yang serasi antara perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dengan perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat. M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 38. Asas keseimbangan berarti bahwa pertimbangan untuk bertindak atau memutuskan sesuatu, tidak boleh berat sebelah, tidak memihak, dan nondiskriminasi. Nikolas Simanjuntak, Op. Cit, hlm. 111. Equality Before the Law Kalau dapat disebutkan, asas ini merupakan salah satu manifestasi dari Negara Hukum (rechtstaat). Sehingga, harus ada perlakuan yang sama bagi setiap orang di depan hukum (gelijkheid van ieder voor de wet). Lilik Mulyadi, Op. Cit, hlm. 17. Dengan demikian, elemen yang melekat mengandung makna perlindungan hukum yang sama di depan hukum (equal potection on the law) dan mendapatkan keadilan yang sma di depan hukum (equal justice on the law). Ibid Asas Equality Before the Law tegas tercantum dalam Undang-Undang Kekuasan Kehakiman Pasal 5 ayat (1) dan KUHAP dalam penjelasan umum butir 3a. AndiHamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 22. Pasal 5 ayat (1) itu berbunyi: “pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Tegasnya, Hukum Acara Pidana tidak mengenal adanya peraturan yang memberikan perlakuan khusus bagi setiap orang, yang berarti undang-undang menjamin kepada setiap badan peradilan agar segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak di luar kekuasaan kehakiman dilarang. Tersangka Pengertian Tersangka dapat diperhatikan dari pengertian yang dirumuskan pada Pasal 1 butir 14, yang menjelaskan tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Mengacu pada ketentuan Pasal 27 ayat (1) Nederland van Strafvordering (Ned. Sv), dalam buku Lilik Mulyadi, Lilik Mulyadi, Op. Cit, hlm. 50 Hukum Acara Pidana, istilah dan pengertian tersangka ditafsirkan secara lebih luas dan lugas yaitu : “dipandang sebagai tersangka adalah orang karena fakta-fakta atau keadaan-keadaan menunjukkan ia patut diduga bersalah melakukan suatu tindak pidana (“...als verdachte wordth aangemerkt degen te wiens aanzien uit feiten of omstanding heden een redelijk vermoeden van schult aan eenig straafbaar feit voorvloeit...”)” Oleh karena itu, tersangka adalah orang yang diduga melakukan tindak pidana sesuai dengan bukti dan keadaan yang nyata atau fakta. M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 330. Dikarenakan hal tersebut, orang harus diselidiki, disidik, dan diperiksa oleh penyidik, jika perlu terhadap tersangka dapat dilakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan benda sesuai dengan cara yang ditentukan oleh undang-undang. Ibid. Namun hal ini bukan berarti bahwa KUHAP melakukan pendekatan inkuisitur, yang melihat tersangka sebagai objek pemeriksaan yang diperlakukan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Ibid, hlm. 331. KUHAP merumuskan beberapa hak tersangka, diantaranya: Ibid, hlm. 332. Hak tersangka untuk segera mendapat pemeriksaan (Pasal 50 KUHAP); Hak untuk mendapat pembelaan (Pasal 51 hingga Pasal 57 KUHAP); Hak tersangka yang berada dalam penahanan; dan Hak untuk menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. Dalam hal penangkapan, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1 butir 20 KUHAP, yang dimaksudkan dengan penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan, serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Loebby Loqman, Pra-Peradilan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 59.Sebagaimana juga tertera dalam Pasal 17 KUHAP, maka penangkapan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan suatu tindak pidana haruslah berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Ibid. Hal ini merupakan syarat materiil untuk dilakukannya suatu penangkapan. Ibid. Lebih lanjut lagi, suatu penahanan terhadap tersangka yang diduga keras melakukan tindak pidana haruslah berdasarkan bukti yang cukup dan dikhawatirkan akan menimbulkan keadaan dimana tersangka akan melarikan diri, akan merusak atau menghilangkan barang bukti, dan akan mengulangi lagi melakukan suatu tindak pidana. Lihat Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Dapat dilihat, bahwa dalam hal ikhwal penetapan seorang tersangka untuk dapat dilakukan proses peradilan (dalam hal penangkapan dan penahanan) dimulai dengan adanya bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup. Tugas, Fungsi dan Wewenang Kepolisian berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Berdasarkan Undnag-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Pasal 13, kepolisian memiliki tugas pokok, yaitu: Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; Menegakan hukum, dan Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas: Lihat Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; Turut serta dalam pembinaan hukum nasional; Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kemudian dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: Lihat Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Menerima laporan dan/atau pengaduan; Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian; Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; Mencari keterangan dan barang bukti; Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. Pada Pasal 15 ayat (2), Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang: Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya; Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor; Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik; Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam; Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan; Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian; Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional; Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait; Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional; Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian. Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk: Lihat Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; Mengadakan penghentian penyidikan; Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut: Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan Menghormati hak asasi ma nusia. Penyelidikan Penyelidikan adalah serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana. M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 101. Pencarian dan usaha menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, bermaksud untuk menentukan sikap pejabat penyelidik, apakah peristiwa yang ditentukan dapat dilakukan penyidikan atau tidak sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP. Ibid. Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyelidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum. Ibid. Artinya sebelum melakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik dengan maksud dan tujuan mengumpulkan bukti permulaan agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Ibid. Tujuan dari penyelidikan merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat dan martabat manusia. Ibid, hlm. 102. Tuntutan dan tanggung jawab moral yang demikian sekaligus menjadi peringatan bagi aparat penyidik untuk bertindak hati-hati karena ketika terjadi kesalahan dalam penggunaanwewenang yang berlawanan dengan hak tersangka maka akan diajukan dalam praperadilan. Ibid. Jika syarat dan pembatasan tersebut sangat sempit diartikan oleh aparat penyidik maka akan merugikan ketertiban dan kepentingan masyarakat dengan membiarkan para pelaku tindak pidana dan penjahat berkeliaran sesuka hati. Ibid. Padahal bukanlah sikap kehati-hatian aparat penyidik yang dikehendaki, melainkan bagaimana ketertiban itu harus tetap ditegakkan dan dijamin dengan menujukan tindakan penyelidikan tersebut tepat sasaran baik dari segi hukum, pelaku, hak asasi dan dari segi hukum pembuktian. Ibid. Penyidikan Pada tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan mencari dan menemukan sesuatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana. Sedangkan pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Ibid, hlm. 109. Ruang lingkup wewenang dan tanggung jawab penyidik amatlah luas jika dibanding dengan penyelidikan, hanya saja cara penguraiannya dalam KUHAP agak berserakan dalam beberapa bab. Ibid, hlm. 110. Wewenang dan kewajiban penyidik serta ruang lingkup fungsi penyidikan kurang sistematis pengaturannya, sehingga untuk memahami masalah penyidikan secara sempurna, tidak dapat hanya dilihat pada Bab V dan Bab XIV saja, melainkan dilihat dari beberapa bab dan pasal-pasal lain diluar kedua bab yang telah ditentukan. Ibid. Sistem Pembuktian Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada, dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian yang berkembang, yaitu: Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 251. Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif Sistem pembuktian ini hanya didasarkan pada undang-undanag, artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Ibid. Pembuktian ini berusaha menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Ibid. Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim. Sistem ini memberikan kebebasan hakim untuk menggunakan keyakinannya dalam membuktikan suatu perbuatan dengan dimungkinkannya tanpa didasari oleh alat-alat bukti dalam undang-undang. Ibid, hlm. 252. Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis. Sistem ini memberikan kebebasan kepada hakim untuk dapat memutuskan kepada seseorang yang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Ibid, hlm. 253. Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif. Dalam sistem ini, tidak semata adanya keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat dijatuhi suatu hukuman atau tidak sama sekali, melainkan hakim juga harus berpedoman terhadap landasan-landasan tertentu yang harus dianut oleh hakim dalam melakukan peradilan. Ibid, hlm. 257. BAB III METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian hukum pada umumnya mempunyai dua tipe, yaitu tipe normatif dan tipe normatif empiris. H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 105.Penelitian hukum normatif empiris adalah mengkaji pelaksanaan dan implementasi hukum positif (perundang-undangan) dan kontrak secara faktual pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 53. Penelitian hukum normatif empiris bermula dari ketentuan hukum positif tertulis (perundang-undangan) yang diberlakukan pada peristiwa hukum in concreto dalam masyarakat. Dalam penelitian hukum normatif empiris terdapat 2 (dua) tahap kajian. Tahap pertama, kajian mengenai hukum normatif (perundang-undangan) yang berlaku dan tahap kedua, kajian hukum empiris berupa penerapan (implementasi) pada peristiwa hukum in concreto guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu lebih kepada pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi), tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Ibid. Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Bersifat deskriptif, karena dari penelitian ini diharapkan akan diperoleh gambaran secara menyeluruh mengenai proses Penetapan Tersangka pasca adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 21/PUU-XII/2014. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya pada Kepolisian Negara Republik Indonesia daerah Istimewa Yogyakarta. Metode Pengambilan Bahan Penelitian Penelitian Kepustakaan Penelitian kepustakaan adalah penelitian pengumpulan Data sekunder. Data sekunder adalah data yang sudah dalam bentuk jadi, seperti data dalam dokumen dan publikasi. Arianto Andi, Metode Penelitian Sosial Dan Hukum, Granit, Jakarta, 2005, hlm. 57. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan.Data sekunder dalam penelitian ini dapat diperoleh dengan cara penelusuran bahan hukum, peraturan perundang-undangan, literatur, makalah-makalah, buku-buku sesuai dengan pokok permasalahan. Penelitian Lapangan Pada dasarnya penelitian lapangan adalah untuk memperoleh Data Primer. Data primer adalah data yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian di lapangan. Dalam penelitian ini data primer akan diperoleh melalui wawancara atau interview secara langsung dengan responden dari Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta, terhadap tata cara proses penetapan tersangka pasca adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 21/PUU-XII/2014. Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada yang diwawancarai. Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi. Ronny Hanitijo Soemitro, Op cit, hlm. 57. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara terstruktur, yaitu wawancara secara langsung dengan responden yang sebelumnya dengan mempersiapkan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan sebagai pedoman, kemudian masih dimungkinkan adanya variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi pada saat wawancara dilakukan. Merry Yono, Modul Metode Penelitian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Bengkulu, 2003, hlm. 33. Adapun narasumber dalam penelitian ini, terdiri atas: 3 (tiga) orang penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah istimewa Yogyakarta yaitu: AKP. Adrianus Wimar B (Penyidik) AKP. Suranto (Penyidik) BRIPKA Mulyono (Penyidik Pembantu) 1 (satu) orang Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah istimewa Yogyakarta yaitu AKBP Beja, S.H., M. Hum. (KASUBDIT II DITRESKRIMUM/HARDA) Jalannya Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya pada Kepolisian Negara Republik Indonesia daerah Istimewa Yogyakarta.Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu lebih kepada pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi), tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Ibid. Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Bersifat deskriptif, karena dari penelitian ini diharapkan akan diperoleh gambaran secara menyeluruh mengenai proses Penetapan Tersangka pasca adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 21/PUU-XII/2014. Menurut Soerjono Soekanto populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri karakteristik yang sama. Soerjono Soekanto, Metodologi Penelitian Hukum, Ui Press: Jakarta, 1986, hlm. 172. Sedangkan pendapat lain, populasi merupakan keseluruhan obyek, individu, gejala, kejadian atau unit yang hendak diteliti. Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hlm. 34. Berdasarkan uraian tersebut, populasi dari penelitian ini adalah seluruh polisi di institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta. Jadi, sampel adalah setiap manusia atau unit dalam populasi yang mendapat kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai unsur dalam sampel atau mewakili populasi yang akan diteliti. Soerjono Soekanto, Op cit, hlm. 172. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sampel adalah sesuatu yang dipergunakan untuk menunjukkan sifat suatu kelompok yang lebih besar atau bagian dari populasi statistik yang cirinya dipelajari untuk memperoleh informasi seluruhnya. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hlm. 792. Pendapat lain mengatakan sampel adalah setiap manusia atau unit dalam populasi yang mendapatkan kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai unsur dalam sampel atau mewakili yang akan diteliti. Ronny Hanitijo Soemitro, Op cit, hlm. 43. Sampel digunakan karena tidak mungkin meneliti seluruh populasi yang ada. Teknik sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dengan cara mengambil subyek didasarkan pada tujuan tertentu. H. Zainuddin Ali, Op cit, hlm. 107. Analisis Data Data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder terlebih dahulu diolah untuk mendapatkan data yang sempurna, lengkap, dan valid. Selanjutnya data dikumpulkan, diseleksi dan diklasifikasikan secara sistematis sesuai dengan pembahasan terhadap permasalahan. Data yang telah tersusun secara sistematis, dibahas, dibandingkan serta dilengkapi dengan data sekunder, selanjutnya dianalisis secara kualitatif dengan cara berpikir induktif-deduktif atau sebaliknya. Cara berpikir deduktif yaitu mengumpulkan data sekunder untuk membahas data hasil penelitian serta cara berpikir induktif yaitu menggeneralisasikan data dari sampel (nara sumber) sebagai hasil penelitian untuk menggambarkan keadaan umum mengenai konsep penetapan tersangka pasca adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif kualitatif untuk menjawab permasalahan penelitian yang disajikan dalam bentuk laporan penelitian. Soerjono Soekanto, Op cit, hlm. 264. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penetapan tersangka oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan dua alat bukti yang sah sebagai syarat dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka pasca putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 21/PUU-XII/2014 Kepolisian sebagai salah satu lembaga pemerintahan negara memiliki fungsi yakni memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan terhadap masyarakat, sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Berkaitan dengan pelaksanaan tugas Polri sebagaimana telah disebutkan dalam pasal 13 dan 14 UU No. 2 Tahun 2002, khusus di bidang proses pidana Polri mempunyai kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 16. Lihat Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian. Berdasarkan pasal ini, polisi adalah penyidik yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana yang sebelumnya didahului oleh penyelidikan oleh penyelidik. Tindak pidana yang dimaksudkan adalah pelanggaran dan kejahatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun yang tersebar di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU No. 8 Tahun 1981) pada pasal 6 menyebutkan bahwa Penyidik terdiri dari Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu. Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian (profesionalisme dan reformasi polri),Laksbang Mesdiatama, Surabaya, 2007, hlm. 27 Dalam menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum polisi wajib memahami azas-azas hukum yang digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pelaksanaan tugas, yaitu sebagai berikut: Bisri Ilham, Sistem Hukum Indonesia, Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 32. Asas legalitas, dalam melaksanakan tugasnya sebagai penegak hukum wajib tunduk pada hukum; Asas kewajiban, merupakan kewajiban polisi dalam menangani permasalahan dalam masyarakat yang bersifat diskresi, karena belum diatur dalam hukum; Asas partisipasi, dalam rangka mengamankan lingkungan masyarakat, polisi memgkoordinasikan pengamanan Swakarsa untuk mewujudkan ketaatan hukum di kalangan masyarakat; Asas preventif, selalu mengedepankan tindakan pencegahan dari pada penindakan (represif) kepada masyarakat. Asas subsidiaritas, melakukan tugas instansi lain agartidak menimbulkan permasalahan yang lebih besar sebelum ditangani oleh instansi yang membidangi. Hukum itu sendiri perlu dilaksanakan secara Law Enforcement manakala seorang tidak dengan sukarela menaatinya. Polisi adalah organ kekuasaan bagi bekerjanya hukum. Polisi harus mampu membaca perkembangan masyarakat dan kebutuhan masyarakat berkaitan dengan rasa aman dan tertib sehubungan dengan ditegakkannya hukum manakala terjadi pelanggaran hukum, dengan berbekal otot, otak, dan hati nuraninya. Di Indonesia sendiri kita mengenal sebuah sistem peradilan yang termaktub dalam sebuah kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mulai dari tahapan awal yakni penyelidikan oleh penyelidik sampai pada putusan Pengadilan oleh Hakim diatur dengan jelas oleh Undang-Undang tersebut. adanya aturan tersebut membuat prosedur yang jelas tentang tatacara peradilan dengan mengedepankan peradilan yang jurdil dan menjunjung tinggi konsep due process of law. Due process of law diartikan sebagai seperangkat prosedur yang diisyaratkan oleh hukum sebagai standar beracara yang berlaku universal. Eddy O. S. Hiariej, Op.Cit, hlm. 30. Due process menghasilkan prosedur dan substansi perlindungan terhadap individu. Setiap prosedur dalam due process menguji dua hal, yaitu: (a) apakah penuntut umum telah menghilangkan kehidupan, kebebasan, hak milik tersangka tanpa prosedur; (b) jika menggunakan prosedur, apakah prosedur yang ditempuh sudah sesuai dengan due process. Ibid. Dalam kaitannya dengan pembuktian, due process of law memiliki hubungan erat dengan bewijsvoering, yaitu cara memperoleh, mengumpulkan, dan menyampaikan bukti sampai ke pengadilan. Tidak jarang hal-hal yang bersifat formalistik mengesampingkan kebenaran materil, seperti di negara-negara yang menjunjung tinggi due process of law, dalam hukum acaranya, perlindungan terhadap individu dari tindakan sewenang-wenang aparat negara mendapat perhatian khusus. Ibid, hlm. 31 Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara No. 21/PUU-XII/2014 telah memberikan batasan terhadap tindakan aparat penegak hukum dalam proses peradilan yang mengarah pada model due proces of law di mana tujuan utamanya adalah untuk melindungi hak seseorang meskipun ia disangkakan telah melakukan perbuatan pidana. Telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 21/PUU-XII/2014 memuat mengenai penambahan objek praperadilan, diantaranya penambahan frasa mengenai penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Tidak hanya itu, frasa yang ditambahkan pun termasuk pula mengenai bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup, dalam ketiga klausul tersebut haruslah memuat minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 184 KUHAP. Dengan adanya frasa-frasa tersebut memaksa aparat penegak hukum, kepolisian pada umumnya, Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta pada khususnya untuk lebih berhati-hati dalam melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan, terutama dalam hal penetapan tersangka yang berdasarkan pada bukti permulaan. Bukti permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP, dalam rangka menetapkan seseorang sebagai tersangka adalah berdasarkan satu alat bukti dan laporan polisi. Eddy OS Hiariej, Op. Cit, hlm 97. Alat bukti yang dimaksudkan tidak hanya sebatas dalam alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP, namun juga meliputi physical evidence atau real evidence Real evidence, yaitu objek fisik dari sesuatu yang berkaitan dengan kejahatan, diartikan sama dengan physical evidence yang dalam konteks hukum indonesia disebut dengan istilah “barang bukti”. Lihat dalam Ibid, hlm 55.. Data yang didapat melalui wawancara kepada narasumber menyebutkan bahwa dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka paling sedikit menggunakan dua (2) jenis alat bukti, hal ini telah diatur sebelumnya dalam Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa: Status sebagai tersangka hanya dapat ditetapkan oleh penyidik kepada seseorang setelah hasil penyidikan yang dilaksanakan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti. Untuk menentukan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan melalui gelar perkara. Dengan rumusan pasal ini jelas bahwa dalam menetapkan status seseorang sebagai tersangka, penyidik harus melakukan gelar perkara untuk menentukan 2 (dua) jenis alat bukti agar memperoleh bukti permulaan yang cukup. Sesuai dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 secara eksplisit menyatakan bahwa dalam menetapkan status tersangka sekurang-kurangnya berdasarkan 2 (dua) alat bukti. Yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup dalam penjelasan Pasal 17 KUHAP ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14 KUHAP. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm 158. Ketentuan ini selaras dengan ketentuan Pasal 66 ayat (1) jo. Pasal 67 ayat (1) Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Namun secara kontekstual, bukti permulaan dan bukti permulaan yang cukup memiliki perbedaan yang signifikan. Perihal Bukti Permulaan dan Bukti Permulaan Yang Cukup. Pasal 1 angka 14 KUHAP menyatakan bahwa tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP, wewenang penyelidik adalah menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana, mencari keterangan dan barang bukti, memberhentikan seseorang yang dicurigai dan dapat melakukan tindakan lain berdasarkan hukum. Jika melihat wewenang yang diberikan kepada penyelidik, dan dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 angka 14, maka dalam menduga seseorang sebagai tersangka adalah dengan adanya laporan atau pengaduan serta adanya keterangan dan barang bukti. Keterangan yang dimaksudkan adalah keterangan saksi pelapor, untuk itu keterangan ini dapat dimaknai sebagai satu bentuk alat bukti sebagaimana alat bukti keterangan saksi yang dimaksudkan dalam Pasal 184 KUHAP. Namun keterangan yang dimaksudkan tidak terbatas pada keterangan saksi pelapor atau alat bukti keterangan saksi, mengingat bahwa wewenang penyelidik dilakukan melalui kegiatan pengolahan TKP, observation, interview, surveilance, tracking, undercover, penelitian dan analisis dokumen, mengarahkan penyelidik untuk membentuk alat bukti petunjuk dalam menduga bahwa telah terjadi serangkaian peristiwa pidana. Dalam olah TKP, penyidik bekerjasama dengan ahli forensik untuk mencari hubungan antara seseorang yang diduga sebagai tersangka, saksi pelapor dan barang bukti. hal ini dapat dimaknai sebagai keterangan ahli. Oleh karena itu, syarat materiil bukti permulaan adalah adalah 1 (satu) Laporan atau Pengaduan dan 1 (satu) alat bukti yang sah sebagaimana yang dimaksud Pasal 184 KUHAP. Bahwa bukti permulaan adalah alat bukti Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan, Lihat Pasal 1 angka 21 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan. Bukti permulaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP bukan ditujukan untuk menetapkan status tersangka melainkan untuk mengarahkan tindakan penyelidik bahwa ada dugaan seseorang itu adalah pelaku tindak pidana. Singkatnya, bukti permulaan adalah alat bukti yang digunakan oleh penyelidik sebagai pedoman dalam mencari dan menemukan peristiwa pidana dengan menduga seorang itu adalah tersangka. Hasil dari penyelidikan akan menentukan apakah peristiwa pidana berdasarkan bukti permulaan dapat atau tidak untuk dilakukan penyidikan. Pasal 17 KUHAP menyatakan bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dalam Rakergab Makehjapol memutuskan bahwa bukti permulaan yang cukup adalah Laporan Polisi ditambah salah satu alat bukti lainnya. Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 08/KMA/1984, No. M.02-KP.10.06 Th. 1984, No. KEP-076/J.A/3/1984, No Pol. KEP/04/III/1984 Tentang Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara Pidana, BAB III Permasalahan. Namun dalam Pasal 17 KUHAP tersirat perintah untuk melakukan penyidikan dan menetapkan seorang sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini dapat dilihat dari frasa “diduga keras”, artinya telah terdapat bukti pemulaan yang memadai untuk menyatakan bahwa seorang itu adalah pelaku tindak pidana. Bukti permulaan yang cukup didapat dari bukti permulaan yang dilakukan oleh penyelidik sebagai syarat untuk dilakukan penyidikan dalam mencari 1 (satu) alat bukti yang sah sehingga dapat menetapkan seorang sebagai pelaku tindak pidana. Artinya terdapat syarat materiil bukti permulaan yang cukup menjadi alat bukti dalam melakukan penyidikan, terutama penetapan tersangka adalah telah didapat dan ditemukan dua alat bukti yang sah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP. Tindakan penyidik dalam menggunakan dua alat bukti yang sah adalah untuk membuat terang tindak pidana tersebut dan menetapkan tersangkanya Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.. Dua alat bukti yang sah dalam penetapan tersangka diakomodir pula dalam Pasal 66 Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009. Kemudian ketentuan mengenai 2 (dua) jenis alat bukti tersebut terdapat dalam pasal selanjutnya, yaitu Pasal 67 ayat (2) yang menyebutkan jenis alat bukti sebagai berikut: Keterangan saksi yang diperoleh oleh penyidik; Keterangan ahli yang diperoleh oleh penyidik; Surat; dan Petunjuk Perihal Penilaian Alat Bukti oleh Penyidik Untuk menentukan 2 (dua) jenis alat bukti yang dimaksudkan, penyidik melakukan gelar perkara terlebih dahulu sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 66 ayat (2) Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009. Gelar perkara yang dilakukan untuk menetapkan status tersangka termasuk dalam tahap pertengahan penyidikan dalam gelar perkara biasa. Lihat Pasal 47 ayat (1) huruf a Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009. Penentuan atau penetapan status tersangka harus dilakukan setelah adanya gelar perkara tahap awal pada penyidikan. Dalam tahap awal penyidikan ini, tindakan penyelidikan ditingkatkan menjadi tindakan penyidikan, yaitu mencari dan mengumpulkan bukti sehingga dapat memantapkan pasal-pasal yang telah ditentukan untuk dapat diterapkan terhadap perbuatan pidana yang disangkakan. Dalam tahapan ini juga dibahas mengenai pemecahan masalah yang akan menghambat dalam proses penyidikan. Gelar perkara yang dilakukan pada intinya bertujuan untuk mencegah terjadinya upaya paksa oleh penyidik, khususnya tindakan kesewenang-wenangan dalam penetapan seseorang sebagai tersangka. Penetapan tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 jo. amar Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 21/PUU-XII/2014 haruslah berdasarkan pada 2 (dua) alat bukti. Alat bukti yang dimaksudkan adalah alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan Pasal 184 KUHAP.Alat-alat bukti yang dimaksudkan tersebut didapat dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk yang diperoleh oleh penyidik dalam tahapan penyidikan. Keterangan saksi yang diperoleh dalam tahap penyidikan didapat dari laporan atau pengaduan dari setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan, dan atau menjadi korban peristiwa tindak pidana, atau setiap orang yang mengetahui pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap keamanan dan ketentraman umum, atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik. Lihat Pasal 108 KUHAP. Penjelasan lainnya menyebutkan bahwa keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang dia dengar sendiri, dia lihat sendiri dan dia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu. Lihat Pasal 1 butir 27 KUHAP.Sedangkan menurut kamus hukum, saksi diartikan sebagai seseorang yang mengalami, meliha sendiri, mendengar, merasakan sesuatu kejadian dalam perkara perdata ataupun pidana. Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm 770 dalam Eddy OS Hiariej, Op. Cit, hlm 56. Pengertian ini berkesesuaian dengan pengertian saksi menurut KUHAP, yaitu orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang dia dengar sendiri, dia lihat sendiri dan dia alami sendiri. Lihat Pasal 1 butir 26 KUHAP. Dari beberapa pengertian yang disajikan, dapat dipahami bahwa keterangan saksi baru dikatakan bernilai sebagai alat bukti yang sah apabila dalam keterangan yang diberikan berdasarkan alasan dan pengetahuannya terhadap persitiwa pidana yang dia dapat dari apa yang didengarnya, dilihatnya dan dialaminya secara langsung. Tetapi terdapat perluasan definisi terhadap keterangan saksi setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 65/PUU-VIII/2010 yang tidak hanya sebatas pada apa yang didengar, dilihat dan dialami terhadap suatu peristiwa pidana, tetapi termasuk pula keterangan dalam rangka penyidikian, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010 Tanggal 8 Agustus 2011, Lihat Eddy OS Hiariej, Op. Cit, hlm 102-103. Jelas bahwa untuk menakar keterangan saksi dalam tingkat penyidikan untuk menjadi alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP tidak hanya sebatas pada peristiwa pidana yang mutlak harus berdasarkan pada apa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri tetapi juga berdasarkan pada apa yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Penyidik dalam menakar keterangan saksi dimulai dengan adanya laporan atau pengaduan tentang adanya peristiwa pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) KUHAP. Tindak lanjut terhadap laporan atau pengaduan tersebut adalah dengan mengadakan penyelidikan, jika penyelidikan tersebut telah dianggap selesai oleh penyidik, maka dilaksanakan gelar perkara seperti yang dijelaskan sebelumnya dengan tujuan untuk membuat peristiwa pidana tersebut menjadi terang. Oleh karena itu, dilakukanlah pengembangan sasaran penyidikan, salah satunya dengan mencari saksi lain selain saksi pelapor ataupun saksi korban yang didapat dari hasil pemeriksaan keterangan saksi pelapor atau saksi korban. Artinya, penyidik cukup mencari dua keterangan saksi yang sinkron dalam membuktikan bahwa telah terjadi peristiwa pidana. Dalam hal pemeriksaan saksi, agar keterangan saksi bernilai alat bukti, yang dicari adalah mutu dari keterangan saksi tersebut. Untuk menemukan mutu dari keterangan saksi agar bernilai alat bukti, penyidik harus melakukan pemeriksaan yang berlandaskan pada hukum untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki terhadap suatu peristiwa tindak pidana. Landasan hukum yang dimaksudkan adalah penjelasan Pasal 1 butir 27 jo. Pasal 116 ayat (2) bahwa keterangan yang diberikan oleh saksi adalah keterangan yang sebenarnya berhubungan dengan tindak pidana yang diperiksa. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm 144. Untuk menakar keterangan saksi bernilai alat bukti, keterangan saksi tersebut harus relevan dengan kepentingan yustisial. Ibid, hlm 145. Merujuk pada penjelasan Pasal 1 butir 27 KUHAP, bahwa keterangan saksi yang bernilai alat bukti adalah keterangan saksi yang berdasarkan apa yang ia dengar sendiri dan tidak selalu ia dengar sendiri. Disinilah penilaian penyidik dilakukan secara komprehensif apakah keterangan saksi yang tidak selalu ia dengar sendiri hanya berupa cerita yang ia dapat atau ada hakikat kebenaran terjadinya peristiwa pidana. Selanjutnya untuk menakar keterangan saksi yang bernilai alat bukti haruslah berdasar pula pada apa yang ia lihat sendiri dan apa yang tidak selalu ia lihat sendiri, artinya seorang saksi tidak memungkinkan untuk menyaksikan keseluruhan peristiwa dimulai dari awal sampai selesai. Keterangan saksi yang diperoeh dari apa yang dialami sendiri ataupun tidak selalu dialami sendiri oleh saksi merupakan nilai yang dapat membentuk alat bukti, bahwa pada dasarnya saksi ini merupakan saksi korban atau saksi utama dari peristiwa yang bersangkutan. Disamping itu, sumber pengetahuan saksi harus diuji berdasarkan dalam keterangan yang telah disampaikannya yang bertujuan untuk melogiskan bahwa peristiwa pidana yang terjadi memiliki kebenaran yang masuk akal sehingga dapat memperkuat dalam membentuk keterangan saksi bernilai alat bukti. Terhadap keterangan saksi berlaku minimum dua alat bukti secara kuantitatif, artinya keterangan dua saksi saja dianggap sebagai dua alat bukti yang sah. Interpretasi gramatikal sistematis terhadap Pasal 185 ayat (2) jo Pasal 185 ayat (3), lihat Eddy OS Hiariej, Op. Cit, hlm 105. Karena pada prinsipnya, penafsiran secara a contrario t erhadap Pasal 185 ayat (2) dengan 1 (satu) keterangan saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, keterangan lebih dari seorang saksi telah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa selama menimbulkan keyakinan hakim maka hal tersebut telah memenuhi prinsip minimum pembuktian. Ibid. Jika dalam tahap persidangan berlaku prinsip minimum pembuktian secara kuantitatif, tentu saja dalam tingkat penyidikan prinsip ini juga berlaku, mengingat bahwa pemaknaan keterangan saksi adalah orang yang mengetahui adanya peristiwa pidana maka dalam hal keterangan seorang saksi tidak dapat mempersangkakan seseorang telah melakukan perbuatan pidana tetapi dengan keterangan lebih dari seorang saksi saja dapat menimbulkan keyakinan penyidik bahwa telah terjadi tindak pidana dan bisa mempersangkakan seseorang, maka prinsip ini berlaku. Singkatnya, pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik terhadap keterangan saksi telah terbentuk dua alat bukti secara kuantitatif yang bernilai sebagai alat bukti sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP apabila dalam suatu peristiwa pidana minim alat bukti. Untuk menakar apakah dua alat bukti secara kuantitatif memiliki kekuatan pembuktian dikembalikan pada keyakinan hakim dipersidangan. Petunjuk merupakan jenis alat bukti yang digunakan dalam penetapan tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP, petunjuk didefinsikan sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Persyaratan suatu petunjuk dapat bernilai sebagai alat bukti apabila: Adami Chazawi, Hukum pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2006, dalam Eddy OS Hiariej, Ibid, hlm 110. Adanya perbuatan, kejadian, dan keadaan yang bersesuaian. Perbuatan, kejadian dan keadaan merupakan fakta-fakta yang menunjukkan tentang telah terjadinya tindak pidana, menunjukkan terdakwa yang melakukan, dan menunjukkan terdakwa bersalah karena melakukan tindak pidana tersebut. Ada dua persesuaian, yaitu bersesuaian antara masing-masing perbuatan, kejadian atau keadaan satu sama lain ataupun bersesuaian antara perbuatan, kejadian, atau keadaan dengan tindak pidana yang didakwakan. Persesuaian yang demikian itu menandakan atau menunjukkan adanya dua hal, yaitu menunjukkan bahwa benar telah terjadi suatu tindak pidana dan menunjukkan siapa pelakunya. Unsur ini merupakan kesimpulan bekerjanya proses pembentukan alat bukti petunjuk, yang sekaligus merupakan tujuan dari alat bukti petunjuk. Hanya dapat dibentuk melalui tiga alat bukti, yaitu keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Sesuai dengan asas minimum pembuktian yang diabstraksi dari pasal 183 KUHAP, selayaknya petunjuk juga dihasilkan dari minimal dua alat bukti yang sah. Dengan syarat-syarat yang dikemukan tersebut, jelas bahwa untuk mendapat suatu petunjuk haruslah dicari persesuaian antara perbuatan, kejadian dan keadaan baik satu sama lain ataupun persesuaiannya terhadap tindak pidana. Petunjuk tidak hanya ditemukan dan digunakan hakim melulu, pada tingkat penyidikan petunjuk digunakan apabila dalam pemeriksaan alat bukti lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 tidak ditemukan persesuaian karena menghasilkan fakta-fakta yang berdiri sendiri. Pembentukan alat bukti petunjuk oleh penyidik dilakukan berdasarkan kewajibannya untuk menetapkan tersangka berdasarkan 2 (dua) jenis alat bukti. Jika mengikuti ketentuan pasal 188 ayat (2) KUHAP, bahwa alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa, maka dalam tahap penyidikan, petunjuk dapat diperoleh dari dua alat bukti yang dimaksudkan dalam Peraturan Kapolri mengenai penetapan tersangka, yaitu keterangan saksi dan surat, sedangkan keterangan terdakwa hanya diperoleh dalam persidangan. Penemuan petunjuk juga tidak terlepas kaitannya dengan real evidence atau physical evidence dalam konteks hukum acara pidana Indonesia disebut barang bukti. Namun barang bukti ini tidak dapat berdiri sendiri dan tidak memiliki nilai bukti jika tidak diidentifikasi persesuaiannya dengan alat bukti yang lain meskipun barang bukti juga merupakan sumber bukti. Ibid, hlm 76. Syarat petunjuk bernilai alat bukti seperti yang jelaskan oleh Adami Chazawi haruslah adanya perbuatan, kejadian dan keadaan yang satu sama lain saling memiliki persesuaian. Persesuaian tersebut dicari oleh penyidik dengan mencari hakikat kebenaran terhadap real evidence atau physical evidence yang diperoleh di tempat kejadian perkara atau yang berkaitan dengan rumusan delik yang akan dijeratkan kepada tersangka. Terhadap elemen-elemen tindak pidana dalam suatu pasal yang akan dijeratkan diidentifikasi dan disesuaikan apakah terhadap elemen-elemen tersebut membuktikan adanya perbuatan, kejadian dan keadaan yang menunjukkan telah terjadi tindak pidana,namun nilai bukti tersebut baru dapat dijadikan sebagai unjuk bukti apabila didukung keterangan saksi ataupun keterangan saksi yang didukung oleh real evidence atau physical evidence. Barang bukti dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk mencari kebenaran suatu fakta yang diuraikan melalui ilmu forensik. Ilmu forensik didefinisikan sebagai disiplin ilmu yang menggunakan prinsip dan teknik ilmu dasar (biologi, kimia, fisika untuk menganalisis barang bukti dalam rangka mengambil informasi untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan hukum pidana dalam hal unjuk bukti. Ibid, hlm 75. Disinilah dapat dilihat bahwa hasil forensik tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti surat apabila hasil tersebut dinyatakan dalam bentuk keterangan tertulis yang diminta oleh saksi korban atau penyidik. Apabila keterangan tersebut diberikan dihadapan penyidik untuk diambil keterangannya mengenai hasil forensik, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai keterangan ahli. Bahwa keterangan ahli tidak hanya mengenai pendapat atas pokok perkara yang sedang disidangkan melainkan termasuk juga mengenai penjelasan terkait real evidence atau physical evidence diluar pokok perkara hukum. Ibid, hlm 107. Secara tidak langsung, petunjuk yang didapat membentuk alat bukti surat dan keterangan ahli. Syarat petunjuk memiliki nilai bukti adalah petunjuk yang diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Mengingat alat bukti keterangan terdakwa hanya ditemukan pada tingkat persidangan, maka alat bukti petunjuk dalam tingkat penyidikan dapat diperoleh hanya berdasar dua alat bukti pendukung saja, yaitu keterangan saksi dan surat. Prinsip minimum pembuktian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 183 KUHAP berlaku terhadap pembentukan petunjuk yang bernilai bukti, cukup dengan menggunakan minimum 2 (dua) alat bukti yang sah secara kualitatif. Prinsip minimum 2 (dua) alat bukti secara kuantitatif berlaku juga dalam membentuk suatu petunjuk yang bernilai bukti selama keterangan dua atau lebih saksi sudah cukup membuktikan bahwa telah terjadi persesuaian perbuatan, kejadian dan keadaan yang menunjukkan telah terjadinya tindak pidana. Petunjuk yang dibentuk dan bernilai bukti merupakan subjektifitas penyidik untuk menentukan bahwa petunjuk yang diperoleh memang telah menunjukkan terjadinya suatu tindak pidana. Perihal Praperadilan Secara filosofi diadakannya pranata peradilan hadir untuk menjamin hak-hak tersangka/terdakwa sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Dalam rangka terciptanya prinsip due process of law yang memiliki hubungan erat dengan masalah bewijsvoering, yaitu cara memperoleh, mengumpulkan, dan menyampaikan bukti sampai ke pengadilan. Dimana tidak jarang hal-hal yang bersifat formalistik mengesampingkan kebenaran materiil. Eddy OS Hiariej, Op.Cit, hlm 31 Hal ini pun dijamin oleh pasal 1 ayat (3), pasal 28D ayat(1), dan pasal 28I ayat (5) UUD NRI. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 21/PUU-XII/2014, maka pasal 77 huruf a KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan yang sebelumnya menyebutkan bahwa objek Praperadilan hanya mencakup sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan serta ganti rugi dan atau rehabilitasi terhadap penghentian penyidikan atau penuntutan. Dalam teknis persidangan Praperadilan, dalam pasal 78 KUHAP hanya mengatakan bahwa Praperadilan dipimpin oleh seorang hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang Panitera. Secara empirik, penyidik dalam hal menetapkan tersangka berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 21/PUU-XII/2014 wajib memenuhi 2 (dua) alat bukti, namun demikian 2 (dua) alat bukti yang dimaksudkan dalam sidang Praperadilan terhadap penetapan tersangka, wewenang hakim praperadilan hanya sebatasmemberikan penilaian/takar terhadap bewijsvoering alat bukti yang digunakan oleh penyidik dalam criminal process, sehingga nantinya dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sah, sedangkan penilaian kekuatan pembuktian terhadap alat bukti yang sah tersebut dilakukan dalam tahap persidangan peradilan. Berkaitan dengan asas ne bis in idem, dalam pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) KUHP yang mengatakan bahwa seseorang tidak boleh dituntut dua kali, karena perbuatannya oleh hakim indonesia, apabila terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 21/PUU-XII/2014, dalam hal sidang praperadilan terhadap permohonan sah atau tidaknya penetapan tersangka, maka kewenangan hakim di sini hanya sebatas memeriksa dan memutus sah atau tidaknya 2 (dua) alat bukti yang digunakan penyidik dalam rangka menetapkan seseorang sebagai tersangka. Berkenaan dengan pasal 183 KUHAP bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah dan keyakinan hakim bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi. Adapun kedudukan 2 (dua) alat bukti yang dimaksudkan dalam pasal 183 KUHAP tersebut adalah 2 (dua) alat bukti yang sah, yang diuji kekuatan pembuktiannya terhadap suatu tindak pidana. Jika dalam putusan praperadilan menetapkan bahwa upaya paksa penyidik dalam penetapan tersangka tidak sah, karena telah menghilangkan hak-hak tersangka, maka hal tersebut tidak menyebabkan berlakunya asas ne bis in idem sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 76 KUHP karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa hakim praperadilan hanya berwenang menilai sah atau tidaknya alat bukti dalam penetapan tersangka bukan menilai kekuatan alat bukti tersebut. Asas ne bis in idem sendiri hanya ditujukan pada perbuatan yang dituntut padahal perbuatan tersebut telah diadili dan sifatnya telah memiliki kekuatan hukum yang tetap dan berisi mengenai pemidanaan. Singkatnya, putusan praperadilan hanya berisikan tentang sah atau tidaknya penetapan tersangka. Oleh karena itu, apabila dalam putusan hakim praperadilan menetapkan bahwa penetapan tersangka tidak sah, maka konsekuensinya penyidik harus menemukan alat bukti baru untuk kembali menetapkan seseorang sebagai tersangka. Jelas bahwa dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 21/PUU-XII/2014 semakin memperketat kinerja aparat penyidik dalam melakukan upaya paksa terutama terhadap penetapan tersangka. Aparat penyidik harus lebih bersikap hati-hati dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Sikap kehati-hatian ini ditunjukkan dengan diadakannya gelar perkara terlebih dahulu terhadap tindak pidana yang dilaporkan atau diadukan. Penetapan tersangka memang harus berdasar dua alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 dan diperkuat lagi dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 21/PUU-XII/2014. Tujuannya adalah untuk melindungi hak-hak seseorang sebelum adanya putusan yang menyatakan bahwa seseorang tersebut bersalah terhadap perbuatan yang disangkakan/didakwakan terhadapnya. Hal ini sebagai wujud dari penerapan asas presumption of innocence. Begitupun dalam praperadilan, tujuan utamanya adalah untuk memberikan perlindungan hak asasi tersangka terhadap upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penyidik. Setiap upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik pada hakikatnya bersifat: Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm 3. Tindakan paksa yang dibenarkan undang-undang demi kepentingan pemeriksaan tindak piidana yang disangkakan kepada tersangka, Tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan undang-undang, setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi kepada tersangka. Karena tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik adalah perampasan kemerdekaan yang berupa pengurangan dan pembatasan hak asasi manusia maka tindakan ini haruslah dilakukan berdasarkkan ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku sebagai wujud tanggung jawab penyidik dalam rangka mewakili negara. Untuk itulah keberadaan lembaga praperadilan sangatlah penting dalam mengawasi dan menilai kinerja penyidik terhadap pelaksanaan kewenangannya yang berdasarkan hukum dan undang-undang. Kepentingan inilah yang ingin dicapai sehingga dalam penetapan tersangka oleh penyidik berdasarkan teknis yang diatur sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 dan diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 bahwa penetapan tersangka haruslah berdasarkan dua alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP. Sebelumnya telah dikatakan bahwa penyidik melakukan gelar perkara terlebih dahulu untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka yang merupakan perwujudan dari asas presumption of innocence. Tentu saja hal ini merupakan pelaksanaan dari asas due process of law yang bertujuan untuk memberikan arahan kepada penyidik dalam bertindak lebih lanjut dan mengesampingkan asas presumption of guilt sebagai upaya untuk menjaga dan melindungi hak asasi seseorang. Gelar perkara yang dilakukan merupakan sikap kehati-hatian penyidik melaksanakan tindakan upaya paksa yang harus berdasarkan pada undang-undnag dan ketentuan hukum. Namun asas presumption of innocence dan asas presumption of guilt bukan merupakan prinsip yang berlawanan. Eddy OS Hiariej, Op. Cit, hlm. 33. Kedua prinsip ini merupakan tindakan yang sejalan, artinya asas presumption of innocence dilakukan sebagai upaya pra-penetapan tersangka, sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 yang membagi 3 tahapan dalam melakukan gelar perkara, asas ini terdapat dalam tahap awal gelar perkara. Pada tahap menengah, asas presumption of innocence beralih menjadi presumption of guilt karena dalam penetapan seseorang menjadi tersangka harusah berdasarkan atas dua alat bukti yang sah, maka telah ada praduga bersalah terhadap seseorang sehingga tindak lanjut yang dilakukan penyidik adalah dengan menetapkan seseorang sebagai tersangka, karena telah ada minimal alat bukti yang mengunjuk bahwa seseorang dapat dipersangkakan melakukan tindak pidana. Fakta-fakta hukum yang didapatkan dan mengunjuk pada alat bukti, menunjukkan bahwa telah terjadi tindak pidana dan menunjukkan bahwa ada keterkaitan terhadap seseorang yang telah disangkakan sehingga telah dianggap bersalah. Oleh karena itu, terhadap seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka harus dilakukan proses hukum pada tahap penyidikan yang berkelanjutan agar dapat dilimpahkan pada tahap penuntutan. Apabila dalam putusan tersebut menyatakan bahwa penetapan tersangka tidak sah, konsekuensinya adalah penyidik harus membayar besarnya ganti rugi dan pemulihan nama baik apabila pihak yang dinyatakan tidak sah penetapan tersangkanya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 81 KUHAP, dan konsekuensi lainnya apabila penyidik berkeyakinan bahwa tidak pidana yang terjadi erat kaitannya terhadap orang tersebut, maka penyidik harus mencari alat bukti baru untuk kembali menetapkannya sebagai tersangka. Karena impact dari diputuskan tidak sahnya penetapan tersangka akan diikuti pula sahnya penghentian penyidikan. Jelas dalam penetapan tersangka, 2 (dua) alat bukti yang diajukan tidak memiliki keabsahan/tidak cukup bukti. Sehingga permohonan untuk mengajukan permohonan tidak sahnya penghentian penyidikan oleh penyidik pada sidang praperadilan tidak dapat diajukan. BAB V PENUTUP Kesimpulan Pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa penetapan tersangka termasuk dalam objek praperadilan, tidak membuat kinerja aparat penyidik Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta terhambat. Karena sebelum adanya putusan ini, teknis penetapan tersangka oleh penyidik pun juga berdasarkan pada 2 (dua) alat bukti yang sah, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu keterangan saksi yang diperoleh oleh penyidik, keterangan ahli yang diperoleh penyidik, surat, dan petunjuk yang masing-masing alat bukti diperoleh penyidik melalui pemeriksaan yang mendalam. Tindakan paksa penyidik ini harus dilakukan secara bertanggung jawab menurut undang-undang dan ketentuan hukum agar tidak terjadi tindakan sewenang-wenang terhadap kebebasan, kemerdekaan, dan hak asasi tersangka. Untuk mencegah hal tersebut, Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 mengisyaratkan penyidik untuk melakukan gelar perkara melalui 3 (tiga) tahapan, yaitu tahap awal, tahap pertengahan dan tahap akhir. Disinilah berlaku asas presumption of innocence dan presumption of guilt. Putusan hakim praperadilan yang menyatakan bahwa penetapan tersangka tidaklah sah, tidak berakibat terhadap berlakunya asas ne bis in idem karena berlakunya asas ini hanya terhadap perkara yang telah diadili dan merupakan putusan perkara pidana yang telah berkekuatan hukum tetap atau in kracht van gewijsde. Apabila dalam putusan tersebut menyatakan bahwa penetapan tersangka tidak sah, konsekuensinya adalah penyidik harus membayar besarnya ganti rugi dan pemulihan nama baik dan harus mencari alat bukti baru untuk kembali melakukan penyidikan dan penetapan tersangka. Saran Melalui tulisan ini, kami mengaharapkan adanya upaya yang berupa kebijakan hukum pidana, baik dalam hal dibuatnya peraturan ataupun pembaharuan KUHAP yang dapat mengakomodir ketentuan praperadilan yang lebih jelas dan mengikat agar tidak terjadi permasalahan-permasalahan multitafsir pasca putusan Mahkamah Konstitusi perkara No. 21/PUU-XII/2014. 46