Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

HTI VERSUS REDD

PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DALAM REDD+ Christiani Widia BR Karo 1307114518 Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Universitas Riau christianywidya@gmail.com ABSTRAK Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu dan non-kayu dari hutan yang semakin tidak dapat dipenuhi dari hutan alam, telah dikeluarkan kebijakan pembangunan hutan tanaman dalam bentuk Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan pola penamanan secara monokultur. Dalam perkembangannya penurunan kandungan karbon tanah gambut di Riau sebesar 2.246,18 juta ton selama 12 tahun sejak 1990 hingga 2002 (atau setara dengan 46,29 ton C/ha/tahun). Oleh karena itu, perlu kebijakan kebijakan Pemerintah untuk meningkatkan meningkatkan produktivitas produktivitas kawasan hutan produksi melalui pembangunan Hutan Tanaman (HTI). PENDAHULUAN Pengusahaan/pemanfaatan hutan alam produksi produksi sejak tahun 1970 sampai dengan tahun 1990 memberikan memberikan devisa terbesar terbesar kedua setelah setelah migas, mendukung mendukung pertumbuhan industri perkayuan nasional, menyerap tenaga kerja terutama terutama tenaga-tenaga tidak terampil terampil (Labor Intensive Labor Intensive) dan membuka membuka isolasi daerah-daerah pedalaman yang sangat diperlukan dalam pembangunan pembangunan ekonomi Indonesia. Sejak tahun 1990, kebutuhan bahan baku industri industri perkayuan tersebut tidak mungkin lagi dipenuhi dari penebangan penebangan Hutan Alam Produksi. Oleh karena itu, perlu kebijakan kebijakan Pemerintah Pemerintah untuk meningkatkan meningkatkan produktivitas produktivitas kawasan hutan produksi melalui pembangunan Hutan Tanaman (HTI) dan telah dimulai dimulai sejak tahun 1990. Gagasan hutan tanaman industri itu sendiri, pertama kali dikenalkan oleh pemerintah dalam sebuah seminar  pada tahun 1984 tentang Timber Estate, yang merekomendasikan program untuk merehabilitasi lahan-lahan hutan kritis dan tidak produktif. Pemerintah  juga telah memformalkan istilah HTI kedalam berbagai kebijakan yang mengatur HTI, diantaranya Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1990 tentang Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri, PP Nomor 34 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan, serta KEPMENHUT No. 10.1/ kpts-II/ 2000 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu JutanTanaman. Ide pembangunan hutan tanaman industri bertujuan untuk meningkatkan produktivitas hutan produksi produksi, dalam rangka pemenuhan pemenuhan kebutuhan bahan baku industri perkayuan dan penyediaan lapangan usaha (pertumbuhan ekonomi/pro-growth), penyediaan lapangan kerja (pro-job), pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan (pro-poor) dan perbaikan perbaikan kualitas kualitas lingkungan hidup lingkungan hidup (pro-enviroment), mendorong daya saing produk industri perkayuan (penggergajian, kayu lapis, pulp & paper, pulp & paper, mebel, dll.) untuk kebutuhan dalam negeri dan global. PEMBAHASAN 2.1 Konsep Mitigasi Perubahan Iklim (REDD+) Penyebab utama perubahan iklim dan pemanasan global adalah aktivitas manusia dari kegiatan industri dan deforestasi serta perubahan penggunaan lahan. Ada dua cara untuk mengurangi perubahan iklim yaitu mitigasi dan adaptasi. Mitigasi perubahan iklim adalah cara dan aksi yang dilakukan untuk mengurangi gas rumah kaca atau menurunkan tingkat konsentrasinya di atmosfir, baik melalui penguranganan sumber masalahnya maupun meningkatkan penyerapan karbon untuk menurunkan 2ºC perubahan iklim global. Sementara itu, adaptasi perubahan iklim adalah aksi yang dilakukan untuk meminimalisir dampak dari perubahan iklim. Menghindarkan dari aktivitas deforestasi dan degradasi hutan adalah salah satu cara untuk mengurangi dan menyerap emisi sekaligus sebagai upaya mitigasi dan adaptasi. Diperkirakan sekitar 15% permukaan bumi dipenuhi oleh hutan yang berisi sekitar 25% karbon. Perusakan hutan dan perubahaan penggunaan lahan menyebabkan keluarnya karbon ke atmosfer. IPCC memprediksikan bahwa emisi karbon yang bersumber dari deforestasi di kawasan tropis pada tahun 1990-an sekitar 1,6 juta ton setiap hari, atau sama dengan 20 % emisi karbon global. Oleh karena itu, upaya mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan dianggap cara yang manjur menurunkan emisi. Konsep dasar dari REDD adalah negara, pemerintah, perusahaan, proyek atau pemilik hutan di negara penyerap karbon harus diberi reward dari kegiatan penyelamatan hutan yang dilakukannya oleh negara-negara penghasil emisi. Emisi yang dikreditkan kemudian disertifikatkan dan dijual dipasar internasional. Ada dua mekanisme penghitungan kredit emisi (karbon) yaitu dengan menggunakan baseline sejarah (gross-net), yaitu memperhitungkan selisih emisi dengan melihat sejarah deforestasi dan kedua mekanisme net-net tidak memperhitungkan sejarah yang penting karbon bisa meningkat. 2.2 Hutan Tanaman Industri (HTI) dalam Perubahan Iklim (REDD+) Penyelamatan hutan dan skema REDD merupakan cara yang efektif dalam mengatasi perubahan iklim karena hutan dapat menyimpan dan menyerap karbon di daun, batang/akar dan dalam tanah, tempat hidup bagi 1,2 juta masyarakat lokal diseluruh dunia, menyediakan jasa lingkungan, siklus nutrisi, regenerasi turunnya hujan, dan dapat menekan pertumbuhan penyakit (Parker dkk., 2008). Tentunya tingkat deforestasi di berbagai negara berbeda-beda yang disebabkan oleh hal kompleks tergantung dengan konteks dan tekanannya. Pada umumnya deforestasi disebabkan oleh kegiatan pertanian karena tingginya permintaan kebutuhan pokok dan kemiskinan. Di Amerika Selatan, misalnya tingkat deforestasi dipengaruhi oleh pembukaan sekala besar bisnis pertanian, di Asia Tenggara termasuk Indonesia deforestasi disebabkan oleh pembukaan sekala besar perkebunan kelapa sawit, HTI, dan penggunaan lainnya. Oleh karena itu, menyelamatkan hutan memiliki multi benefit, yaitu mengurangi emisi, sumber pangan dan pengurangan kemiskinan, serta konservasi keanekaragaman hayati. Kaitan dan peranan HTI terhadap perubahan iklim dengan skema REDD sangat besar. Dukungan masyarakat dan bentuk serta kebijakan pembangunan HTI menjadi salah satu kebijakan kehutanan penting di negara-negara hutan tropis dan turut dalam mitigasi perubahan iklim. Tercatat lebih dari 800 juta penduduk dunia tinggal di desa dan didalam hutan tropis termasuk didalamnya penduduk yang sangat miskin. Dari jumlah tersebut 70 juta penduduk yang sangat tergantung kehidupannya terhadap hutan atau disebut masyarakat adat. REDD+ mungkin akan memberi trilun dolar dari mekanisme perdagangan karbon dari negara maju. Sebagian dari dana itu seharusnya dapat meningkatkan ekonomi masyarakat hutan, mengurangi kemiskinan, dan pengembangan masyarakat karena adanya 9 keterbatasan akses akibat skema REDD+. REDD+ juga harus bisa menghasilkan keuntungan tambahan bagi jasa lingkungan, ketersediaan air bersih dan perlindungan budaya serta keanekaragaman hayati. Indonesia termasuk negara yang cukup agresif dan responsif dengan isu REDD+. Indonesia ikut ambil bagian dalam pertemuan internasional bahkan menjadi tuan rumah COP 13 UNFCCC di Bali. Berbagai kebijakan REDD telah dikembangkan dalam kerangka mendorong pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi. Kebijakan tersebut didukung oleh komitmen Presiden RI (Susilo Bambang Yudhoyono) pada pertemuan G-20 di Duisberg-USA tahun 2009 bahwa Indonesia akan mengurangi emisi sebanyak 21% dengan dana sendiri dan 41% jika ada dukungan dan bantuan dari luar negeri. Di Indonesia sektor hutan merupakan penyumbang emisi terbesar dibandingkan sektor 10 lain. Oleh karena itu, sektor kehutanan mendapat perhatian khusus dan dapat menurunkan emisi secara signifikan. Di bidang kehutanan, HTI merupakan penyebab utama deforestasi di mana  hutan hujan tropis primer diganti dengan hutan monokultur Eucalyptus dan Acassia. Perubahan besar dalam penggunaan lahan tersebut berdampak pada kondisi lingkungan dan sosial, meningkatnya emisi gas rumah kaca, dan hilangnya keanekaragaman hayati, serta konsekuensi negatif terhadap masyarakat yang tergantung pada hutan. 2.3 PARTISIPASI HTI PULP RAWA GAMBUT PADA REDD+ Suatu faktor kunci yang mendasari pembangunan konsesi HTI adalah pesatnya perkembangan industri pulp dan kertas selama dekade yang lalu. Kapasitas terpasang produksi pulp meningkat dari 1 juta ton pada tahun 1990 menjadi hampir 5 juta ton pada tahun 2000, dan diharapkan melebihi 6 juta ton pada tahun 2001. Produksi aktual meningkat dari hampir 700.000 ton menjadi melebihi 5 juta ton pada periode yang sama (Lihat Gambar 3.6). Akibatnya, alokasi dan penanaman aktual HTI untuk produksi kayu pulp jauh melebihi areal HTI untuk produksi kayu pertukangan. Perbandingan realisasi pembangunan HTI dengan meningkatnya luasan areal kerja HTI sangat penting mengingat kebijakan kementerian kehutanan yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.101/Menhut-II/2004. Surat Keputusan ini memberikan keleluasaan bagi HTI pulp untuk melakukan pemanfaatan hutan alam melalui sistem tebang habis permudaan buatan atau yang secara sederhana berarti tebang habis hutan alam hingga pada tahun 2009, kecuali Hutan Lindung dan Kawasan Konservasi. Tentu saja dengan latar belakang pembangunan ekonomi, dispensasi bagi HTI pulp yang memiliki hubungan kemitraan dengan industri pulp dianggap penting untuk menjamin keberlangsungan industri pulp nasional. Berkenaan dengan perkembangan mekanisme REDD+, pengelolaan HTI pulp dapat berpartisipasi dalam mekanisme tersebut sepanjang syarat dan ketentuan dapat dipenuhi (Permenhut No. P.30/Menhut-II/2009 dan Permenhut No. P.36/Menhut-II/2009). Salah satu syarat teknis adalah terjadinya peningkatan kapasitas serapan karbon melalui perubahan pengelolaan (hutan alam menjadi HTI) yang secara kesatuan lanskap tertentu dapat berkontribusi menurunkan emisi. Jika syarat ini dipenuhi, aktivitas tersebut dapat dikategorikan sebagai Usaha Pemanfaatan Penyerapan Karbon (UP RAP-KARBON). Peraturan Menteri Kehutanan tersebut menyatakan pada pasal 2 bahwa UP PAN-KARBON merupakan salah satu jenis usaha pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan produksi dan hutan lindung. Perhitungan nilai ekonomi karbon pada penelitian ini mengacu pada skenario hutan alam yang relevan dengan pasal 3 ayat (2) butir (g). Skenario dimaksud adalah kegiatan UP PANKARBON dalam Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dalam bentuk perlindungan dan pengamanan pada seluruh areal atau bagian hutan atau blok dalam areal IUPHHK-HA. Karena UP PANKARBON ini merupakan aktivitas yang akan diajukan pada mekanisme REDD atau REDD+, maka kebijakan pemerintan menetapkan kawasan hutan produksi lahan gambut tertentu sebagai areal UP PAN-KARBON dapat disebut sebagai intervensi REDD+ pada hutan tersebut. Kompensasi REDD+ merupakan sebuah mekanisme perdagangan karbon yang memberikan kompensasi kepada negara tertentu karena kemampuannya menurunkan emisi dalam rentang waktu tertentu. Mekanisme REDD+ akan membayar kompensasi dari seberapa besar selisih emisi yang mampu diturunkan, atau seberapa banyak simpanan karbon yang mampu ditahan dari kehilangan akibat program pembangunan/aktivitas ekonomi pada skenario bisnis sebagaimana mestinya (business as usual-BAU). Penurunan emisi atau penahanan kehilangan simpanan karbon tersebut diintervensi oleh suatu program (pemerintah, swasta, masyarakat atau lembaga lainnya) dan disebut sebagai program intervensi REDD+. Oleh karena itu, untuk kepentingan perhitungan REDD+ diperlukan garis emisi acuan (Reference Emission Level-REL) yang ditentukan di tingkat nasional atau sub nasional. Dalam konteks pemerintah akan melakukan perluasan HTI pulp pada hutan alam gambut bekas tebangan maupun sekunder (disebut sebagai BAU) diketahui bahwa program ini beresiko menyebabkan penurunan simpanan karbon. Dalam rangka mitigasi perubahan iklim, pemerintah dapat melakukan penghindaran konversi hutan alam gambut sebagai HTI pulp (disebut sebagai intervensi REDD+). Program penghindaran konversi ini dapat diajukan ke dalam mekanisme REDD+ untuk mendapatkan kompensasi tertentu dengan menghitung selisih simpanan karbon intervensi REDD+ terhadap baseline (BAU pada HTI pulp). Gambar 10 dan 11 berikut menunjukkan kemampuan intervensi REDD+ mempertahankan simpanan karbon (melalui konservasi dengan UP PAN-KARBON) dari konversi menjadi HTI pulp. Untuk bisa menghasilkan satu ton pulp (bubur kertas) dibutuhkan 4,6 meter kubik kayu, setiap satu ton pulp mampu mengasilkan kertas sebesar 1,2 ton dan perkebunan kayu monokultur dengan jenis akasia per hektrarnya mampu menghasilkan 160 meter kubik kayu dengan daur tanam dan panen selama 6 tahun. Jika total produksi pulp Indonesia saat ini mencapai 6,4 juta ton pertahun maka dibutuhkan kayu sebesar 29,44 juta meter kubik pertahun, bayangkan berapa juta hektar lagi kawasan hutan yang harus digadaikan menjadi HTI, dimana saat ini telah berdiri 14 pabrik pulp dan 7 pabrik pulp dan kertas. Sejarah mencatat bahwa persoalan disektor industri kehutanan bukan terlatak pada persoalan bahan baku semata, akan tetapi ada persoalan inkonsistensi kebijakan, diskriminatif, kepastian hukum, peraturan ketenagakerjaan, kepastian usaha, dan kepastian lahan, yang mana persoalan ini tidak pernah dibahas tuntas jalan keluarnya. Pemerintah menyibukkan diri dan menutup mata terhadap persoalan lingkungan yang terjadi, makanya kemudian yang dilakukan pemerintah adalah dengan memberikan berbagai kemudahan kepada pengusaha yang seharusnya tidak dilakukan karena akan membuat negara ini kehilangan posisi tawar  dalam negosiasi usaha. Berbagai persoalan sosial, kerusakan lingkungan hidup, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh perusahaan tak pernah bisa diselesaikan secara tuntas oleh pemerintah, karena sejak awal pengusaha tidak pernah ditempatkan sebagai sesuatu yang sejajar melainkan sesuatu yang diatas. Pemerintah kelihatannya masih enggan belajar dari kegagalan masa lalu dan keliru dalam menafsirkan kepentingan investasi. Dimana sejatinya investasi diperlukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat bukan sebaliknya. Seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah mereview kembali kapasitas mesin masing-masing industri perkayuan, pulp and paper dan menyesuaikannya dengan ketersediaan bahan baku, focus kepada pemenuhan kebutuhan dalam negeri, dan mengalokasikan dana reboisasi bagi proses restorasi ekologi kawasan-kawasan ekologi penting yang telah terdegradasi. KESIMPULAN Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan ditingkat internasional maupun nasional untuk berpartisipasi dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tersebut. Salah satu skema yang sedang dikembangkan saat ini adalah REDD (Reducing Emission from Deforestration and Forest Degradation) dan REDD+. REDD merupakan mekanisme pembayaran kompensasi atas penghindaran pemanfaatan lahan yang menyebabkan deforestasi dan degradasi hutan sehingga mampu menahan emisi karbon (Ministry of Forestry, 2008). Adapun REDD+ adalah mekanisme kompensasi atas ketiga aktivitas di atas, ditambah dengan konservasi, pengelolaan hutan lestari, dan peningkatan simpanan karbon. Kompensasi tersebut diberikan oleh negara maju sebagai negara emiter kepada negara berkembang yang berperan dalam penurunan emisi melalui penurunan laju deforestasi dan degradasi hutan. Luasnya kawasan hutan Indonesia memberikan peluang yang sangat tinggi menuju implementasi REDD+ pada sektor kehutanan. Indonesia memiliki kapasitas dan sumber daya yang harus terus ditingkatkan untuk implementasi REDD+. Hasil studi Indonesia Forest Climate Alliance (IFCA, 2007) menyebutkan bahwa REDD berpotensi dapat diimplementasikan pada kawasan hutan gambut, hutan produksi, hutan konservasi, dan hutan tanaman industri pulp/kertas. Untuk memperkuat potensinya maka studi IFCA juga diarahkan pada aspek yang berkaitan dengan masalah metodologi, mekanisme pembayaran, pasar, serta strategi yang menyangkut hutan produksi, kawasan konservasi, lahan gambut, lahan untuk kelapa sawit, serta lahan untuk industri pulp dan kertas. Jika hutan dikonservasi dan dikelola dengan benar, maka kapasitas serapan karbonnya dapat meningkat. Namun demikian, hutan ketika dikonversi menjadi bentuk penggunaan lain dan mengalami gangguan akan berubah menjadi sumber emisi. Saat ini sejumlah besar lahan gambut tropika mengalami degradasi hebat akibat pembalakan hutan, konversi hutan (menjadi areal pertanian, perkebunan dan pemukiman) dan kebakaran (Anshari & Armiyarsih, 2005). Wahyunto et al. (2005) melaporkan bahwa penurunan kandungan karbon tanah gambut di Riau sebesar 2.246,18 juta ton selama 12 tahun sejak 1990 hingga 2002 (atau setara dengan 46,29 ton C/ha/tahun). Penurunan ini terjadi akibat perubahan kedalaman gambut yang disebabkan oleh pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri. SARAN Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 208/Kpts-II/2003 tentang Tata Cara Penilaian Kinerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Alam di Unit Manjemen dalam rangka Pengelolaan Hutan Secara Lestari, maka sekurang-kurangnya 3 tahun sekali, kepada setiap pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dilakukan penilaian kinerja Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL) oleh Lembaga Penilai Independen (LPI). Hal tersebut boleh jadi merupakan langkah baru dalam menangani dan mengawasi pengelolaan hutan kepada perusahaan-perusahaan. Tapi, yang harus diingat adalah bahwa pemerintah seringkali luput dalam mengawasi peraturan yang dibuatnya sendiri. Kontrol kebijakan mutlak dilakukan, bukan hanya sekadar berfokus terhadap pembuatan kebijakannya. Pembangunan Hutan Tanaman Industri akan berdampak luas terhadap lingkungan. HTI tidak bisa dipandang semata-mata bisnis. Pandangan seperti itu akan dapat merusak tatanan penggunaan sumberdaya lahan yang berkelanjutan tentunya. Walaupun menggunakan sebutan “hutan”, namun HTI secara hakiki bukan lagi hutan. Karena telah kehilangan ciri-ciri pokoknya, yaitu multistorey canopy, keanekaan species, continuous existence, dan ekosistem khas. Untuk itu, HTI bukanlah hutan sebagai paru-paru bumi, melainkan sebagai komoditas pasar (market commodity). Harus proporsionalnya pembagian antara hutan sebagai komoditas pasar (Hutan Tanaman Industri) dengan hutan sebagai tempat hidup (HPH) adalah solusi pemecahannya. Jika porsinya tidak seimbang (hutan hanya dipandang sebagai pasar), maka keanekaragaman hayati atau bahkan kehidupan manusia akan gampang musnah. Bencana alam seperti banjir dan tanah longsor akan dating menghantui ketika bumi tidak lagi hijau. Selain itu, pembagian lahan untuk HTI dan HPH pun harus dilakukan dengan teliti. Pertimbangan aspek kebersihan, kesehatan lingkungan, serta kehidupan masyarakat setempat harus menjadi prioritas utamanya. Perlu adanya penataan kembali sumberdaya alam, untuk kemudian dikelola sesuai dengan sifat dan karakteristiknya. Selain itu, pertimbangan terhadap aspek ekonomi, sosial, dan ekologi juga perlu dimasukkan dalam agenda ini. Salah satu upaya untuk menata dan mengelola kawasan hutan tersebut adalah dalam bentuk rehabilitasi hutan lindung sebagai tempat hidup. Misalnya, pengelolaan rehabilitasi lahan dilakukan sepenuhnya oleh badan yang dibentuk oleh desa atau pemerintahan setempat sebagai Unit Pelaksana Teknis dari Departemen Kehutanan. Sedangkan fungsi dari Dephut adalah sebagai controller dalam program tersebut. Tentunya harus ada sosialisasi terlebih dahulu mengenai agenda tersebut kepada masyarakat, agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam implementasi nantinya. DAFTAR PUSTAKA Anshari, GZ. and Armiyarsih. 2005. Carbon Decline from Peatlands and Its Implications on Livelihood Security of Local Communities. On Daniel Murdiyarso & Hety Herawati, Editor. Carbon Forestry: Who Will Benefits. Bogor: Center for International Forestry Research. Page 112 – 123. International Forest Climate Alliance. 2007. Laporan Konsolidasi Studi Tentang Metodologi dan Strategi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia. Jakarta: Departemen Kehutanan. Ministry of Forestry. 2008. IFCA 2007 Consolidation Report: Reducing Emission from Deforestation and Degradation in Indonesia. Indonesia: [FORDA] Forestry Resesarch and Development Agency, Ministry of Forestry. Wahyunto, S. Ritung, Suparto, dan Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan 2004. Bogor, Indonesia: Wetland International Indonesia Programme. PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DALAM REDD+ 2015